Bara di Teheran dan Sengkarut Doha Posted June 14, 2017 in Opini Oleh : Boy Anugerah Kawasan dengan api gejolak tanpa henti. Mungkin itu kalimat yang paling pas untuk menggambarkan situasi politik dan kondisi keamanan di kawasan Timur Tengah, sejak dulu hingga kini. Konflik berurat berakar antara Palestina dengan Israel terkait klaim atas Jerusalem, serangan koalisi Arab Saudi ke Yaman, perseteruan Irak dan Iran, kemunculan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang menebar teror hingga ke seluruh penjuru dunia, merupakan agenda-agenda global yang muncul dari kawasan ini. Barubaru ini kita kembali dikejutkan oleh serangan teroris yang melanda Teheran serta krisis hubungan diplomatik antara Qatar dengan sejumlah negara Arab. Dunia dibuat tersentak ketika pada Rabu, 7 Juni yang lalu, negeri para Mullah diserang oleh kelompok teroris. Serangan tersebut menyasar dua tempat yang dianggap strategis dan sakral di Iran, yakni gedung parlemen yang merupakan simbol demokrasi di Iran, serta Mausoleum Ayatollah Ruhollah Khomeini, bapak revolusi Iran. Serangan tersebut berdampak pada tewasnya 17 orang dan sedikitnya 50 orang luka-luka. Menyikapi serangan terorisme ini, pemerintah Iran melakukan langkah-langkah cepat. Pasukan keamanan bekerja sama dengan kepolisian dan pasukan elit Korps Garda Revolusi Iran berhasil mengidentifikasi dan menangkap sejumlah tersangka pelaku penembakan dan pengeboman di dua tempat tersebut. Menurut berita yang dilansir oleh media Iran, Press TV, 41 anggota NIIS berhasil ditangkap di Provinsi Kermanshah, Kordestan, Azerbaijan Barat, serta Ibukota Teheran pasca serangan teror. Bergeser sejenak dari Teheran ke Doha, Ibukota Qatar. Baru-baru ini Qatar memasuki periode paling pelik dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangganya di kawasan seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, serta Bahrain. Negara-negara tersebut beranggapan bahwasanya Qatar adalah negara sponsor terorisme (state sponsored terrorism). Dalam persepsi negara-negara tersebut, apa yang dilakukan Qatar dengan menjalin hubungan khusus dengan Iran, penyaluran dana kepada kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbullah, serta Hamas yang dianggap negara barat sebagai kelompok terorisme merupakan bentuk dukungan kepada gerakan teror. Pemutusan hubungan diplomatik yang mereka lakukan merupakan sebuah tekanan agar Qatar mengubah garis kebijakan politiknya di kawasan.
Rasa Saling Curiga Dua isu mutakhir di negara kawasan Timur Tengah tersebut di atas tidak bisa dipandang remeh dan menjadi sebuah urgensi untuk diselesaikan. Dalam kasus serangan teror di Iran misalnya, berkembang rasa saling curiga dan meningkatnya ketegangan antara Iran yang notabene menganut aliran Syiah dengan Arab Saudi yang dianggap sebagai poros Sunni di kawasan. Tak tanggung-tanggung, pasca serangan teror, korps elit Iran, Garda Revolusi Iran melancarkan pernyataan keras kepada pemerintah Arab Saudi. Mereka menuduh Arab Saudi berada di balik serangan tersebut. Tudingan Iran kepada Arab Saudi ini bukanlah tanpa dasar. Pertama, konflik kedua negara adalah konflik lama terkait perbedaan aliran agama. Kedua, Arab Saudi memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat dan beberapa negara barat sekutu AS yang notabene menjadi musuh bagi Iran. Ketiga, kunjungan Donald Trump beberapa pekan lalu ke Arab Saudi sebelum aksi teror, ternyata berdampak pada pemutusan hubungan diplomatik antara Arab Saudi dengan Qatar yang merupakan negara mitra Iran. Memang tudingan Iran kepada Arab Saudi ini harus diuji lagi secara empiris kebenarannya. Secara faktual, NIIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan tersebut. Klaim NIIS ini secara tidak langsung mematahkan tudingan Iran. Namun demikian, tudingan Iran ini bisa bermakna beberapa hal. Satu, tudingan ini menggambarkan riil politik di Timur Tengah bahwa rasa saling curiga diantara negara-negara kawasan semakin menguat. Kedua, perang proksi yang dijalankan oleh negara-negara Barat di kawasan berdampak pada segregasi politik antarnegara. Ketiga, tudingan tersebut bisa dimaknai bahwa tindakan Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik (baca: menekan secara politik) dengan Qatar yang merupakan sekutu Iran, ditentang keras oleh Iran. Secara tidak langsung Iran hendak mengatakan bahwa mereka ada dan siap di belakang Qatar. Dari sudut pandang lainnya, begitu mudahnya Teheran diserang aksi-aksi teror menunjukkan bahwa sistem intelijen dan pertahanan Iran tidak cukup tangguh untuk menangkal terorisme. Bahkan dua tempat utama yang menunjukkan jati diri atau identitas Iran dengan mudah diluluhlantakkan musuh. Fakta ini secara implisit juga menyiratkan bahwa tuduhan AS, negara-negara Barat, serta Israel bahwa Iran adalah ancaman global seakan terpatahkan. Hal ini menjadi semacam blessing in disguise bagi Iran bahwa tuduhan yang dilancarkan selama ini hanyalah perwujudan saling curiga dan ketidaksenangan di kawasan. Namun demikian, pembelajaran penting yang bisa dipetik Iran dari serangan tersebut adalah setiap kebijakan dan politik luar negeri selalu membawa konsekuensi, baik positif maupun negatif. Sikap politik Iran yang memberikan dukungan kepada rezim Bashar Al Assad, pemimpin Suriah, merupakan faktor picu serangan teror NIIS.
Eskalasi Konflik Merujuk pada kasus Qatar dan negara-negara Arab, peluang tereskalasinya konflik sangatlah besar. Ada beberapa faktor yang bisa didedahkan. Pertama, relasi antara Arab Saudi dan Qatar bisa dikatakan relasi yang asimetris. Qatar begitu tergantung kepada Arab Saudi dalam hal suplai pangan. Seratus persen kebutuhan pangan Qatar bersumber dari luar, empat puluh persen diantaranya bersumber dari Arab Saudi. Dalam konteks ini, Arab Saudi begitu lihai membaca situasi. Demikian pula (mungkin) negara-negara sponsor di belakang Arab Saudi (AS dan sekutunya). Kedua, adalah suatu hal yang mustahil Qatar tidak memiliki koalisi. Tekanan politik yang dilancarkan Arab Saudi dan kawan-kawan akan memancing resistensi dari Turki dan Iran. Hal inilah yang dapat memicu konflik yang lebih besar. Menyikapi konflik Qatar, baru-baru ini Parlemen Turki menyetujui rancangan undang-undang yang memperkenankan Turki mengirim pasukan ke Qatar. Ditaksir Turki akan mengirimkan sedikitnya 3000 pasukan untuk melindungi penguasa Qatar dan menjaga perbatasan Qatar dengan Arab Saudi. Pemerintah Iran juga tak tinggal diam menyikapi isu Qatar. Di tengah ancaman domestik yang mereka hadapi pasca teror Teheran, Menlu Iran melakukan langkahlangkah taktis strategis dengan menggalang koordinasi dengan Menlu Turki untuk menyikapi krisis tersebut. Dalam konflik ini, suka tidak suka Iran mendapatkan keuntungan politis. Tergantungnya Qatar akan wilayah udara Iran sebagai jalur alternatif suplai bahan pangan pasca pemutusan hubungan diplomatik dengan Arab Saudi, UEA dan Bahrain menjadi kapital politik bagi Iran dalam hubungannya dengan Qatar ke depan. Namun demikian, ada bahaya laten yang mengancam. Semakin harmonisnya hubungan Qatar dan Iran saat ini akan menjadi faktor sulit terwujudnya resolusi konflik antara Qatar dengan koalisi Arab Saudi saat ini. Berbicara kawasan Timur Tengah memang seakan tiada habis-habisnya membahas isu konflik dan ketegangan. Kawasan ini seakan-akan dikutuk untuk selalu berkonflik tiada ujung. Dibutuhkan kearifan banyak pihak untuk mewujudkan perdamaian. Dibutuhkan mawas diri yang bersifat regional agar kepentingan kawasan tidak mudah tercemar oleh anasir-anasir kepentingan pihak luar. Juga dibutuhkan kerja sama kawasan yang bersifat komprehensif dengan berpijak pada isu-isu low politics agar tensi politik kawasan bisa melandai. Terpenting dari semua itu, negara-negara kawasan Timur Tengah harus meredam nafsu besarnya sendiri untuk berkonflik. Ini yang paling sulit. *)Penulis Anggota DPP PA GMNI Bidang Politik Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan 2015-2020/Bekerja di Lemhannas RI (Pendapat Pribadi)