Geliat Tiongkok dan Kewaspadaan Nasional Indonesia
PADA 12 Juli 2016, Permanent Court of Arbitration (PCA) memenangkan klaim Filipina atas wilayah yang disengketakan dengan Tiongkok di Laut China Selatan (LCS). PCA menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum atas klaim di perairan LCS. Lebih lanjut, PCA menyebutkan bahwa Tiongkok telah memperburuk keamanan kawasan dengan melakukan reklamasi lahan dan membangun pulau buatan sehingga mengakibatkan kehancuran terumbu karang dan kondisi alam di wilayah sengketa. Alih-alih menerima, Tiongkok berang dengan keputusan badan PBB yang bermarkas di Den Haag, Belanda itu. Tiongkok pun mengumumkan langkah patroli pesawat tempur secara reguler sebagai upaya penerapan Zona Identifikasi Pertahanan Udara. Tiongkok juga memperingatkan para seterunya untuk tidak menjadikan wilayah sengketa sebagai medan tempur. Jauh sebelum keputusan PCA diumumkan, langkah
militerisasi Tiongkok di LCS telah memicu ketegangan. Tak pelak, tindakan Tiongkok ini menjadi 'dilema keamanan' bagi negara-negara yang bersengketa. Aksi konfliktual Mungkin ada benarnya petuah Deng Xiaoping, bapak reformasi Tiongkok, "sudahkah Anda pergi ke laut?", yang dimaknai oleh anak cucunya sebagai, "sudahkan Anda mencari uang?." Petuah ini ditafsirkan layaknya titah sehingga tak afdal rasanya lesatan pertumbuhan ekonomi dicapai tanpa melakukan penaklukan terhadap wilayah perairan bernilai ekonomis tinggi di dunia. Patut dicatat, Tiongkok tak hanya mengobar bara di LCS. Di Laut China Timur (LCT), Tiongkok bertikai dengan Jepang, seteru abadi mereka. Secara sepihak, Tiongkok mengeluarkan deklarasi tentang Zona Pertahanan Udara pada 23 November 2013 yang mewajibkan semua pesawat yang melintasi LCT harus meminta izin terlebih dahulu. Sikap congkak Tiongkok inilah yang menyulut kemarahan Jepang. Geliat 'Naga dari Timur' ini yang cenderung memilih aksiaksi yang konfliktual dengan negara lain dapat dimaknai sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensi diri di panggung internasional. Tidak hanya berkonfrontasi secara langsung, Tiongkok juga bermain peran sebagai 'induk semang' bagi Korea Utara yang kerap melakukan uji coba nuklir dan memantik konflik dengan Korea Selatan dan Jepang. Sadar bahwa kapasitas sebesar apa pun tak akan berarti jika bertarung sendirian menghadapi banyak musuh, Tiongkok tak segan menggandeng Rusia sebagai aliansi. Kedekatan secara ideologis di masa lampau serta adagium, "Musuh dari musuhku adalah temanku", menempatkan Rusia sebagai mitra strategis bagi Tiongkok. Pandangan realisme Dalam Studi Hubungan Internasional, kaum neorealis menyatakan bahwa struktur sistem internasional bersifat anarkistis dan konfliktual. Setiap negara berlomba-lomba untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing. Tak jarang dalam mencapai kepentingan tersebut, satu negara tak segan bertikai dengan negara lain. Apalagi, kalkulasi kapasitas yang dimiliki menunjukkan bahwa mereka cukup mampu menaklukkan negara lain tersebut. Inilah yang menjadi keyakinan para pemangku kebijakan di Tiongkok. Mimpi menjadi negara adidaya nan pilih tanding hanya bisa dicapai apabila mereka menguasai lautan sebagai jantung dunia. Di dalam lautanlah sumber kekayaan alam tak ternilai berupa minyak bumi dan gas alam terkandung. Tiongkok juga tak sungkan menerapkan prinsip kaum realis klasik bahwa perdamaian ialah suatu hal yang mustahil tercapai. Negara diibaratkan bak manusia yang cenderung memangsa sesama (homo homini lupus) dan selalu didorong oleh nafsu untuk mendominasi (animus dominandi). Oleh sebab itu, pembangunan kapasitas dan kapabilitas militer dan intelijen menjadi rumus baku. Inilah yang menjadi sandaran bagi Tiongkok untuk menaikkan anggaran pertahanan dari tahun ke tahun. Sikap yang galib dimiliki oleh sebuah negeri yang bermimpi menjadi
negara adidaya. Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi sepak terjang Tiongkok ? Sejatinya, globalisasi telah menyeret tata politik dunia menjadi lebih cair. Pola hubungan dalam sistem internasional tak lagi head to head antarnegara, melainkan turut melibatkan aktor-aktor nonnegara. Praktik diplomasi juga tak lagi menekankan pada aspek high politics seperti pertahanan dan keamanan, tapi telah bergeser ke ranah yang lebih lunak, seperti sosial dan budaya. Poin inilah yang selaiknya menjadi fokus Indonesia dalam memandang geliat Tiongkok. Dalam rangka pencapaian kepentingan nasional, Indonesia harus menempatkan Tiongkok sebagai mitra strategik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengindikasikan pesatnya pertumbuhan kelas menengah di negara tersebut. Indonesia sudah seharusnya memiliki perspektif cerdas untuk menjadikan Tiongkok sebagai pangsa pasar. Hal Ini sangat memungkinkan, mengingat Indonesia dan Tiongkok memiliki kerangka kerja sama dalam bentuk CAFTA. Penguatan kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada relasi pertahanan dan keamanan kedua negara. Ketegangan yang muncul mengingat Pulau Natuna potensial untuk dicaplok Tiongkok dijamin akan mengendur. Kewaspadaan nasional Namun demikian, Indonesia tetap perlu untuk memiliki sikap kewaspadaan nasional. Segala macam bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan harus disikapi dengan cermat dan bijak. Politik luar negeri bebas aktif wajib menjadi pijakan dalam menyikapi setiap gerak langkah Tiongkok. Kata 'bebas' dan 'aktif' juga dapat menjadi kata kunci bagi Indonesia dalam menghadapi dilema kepentingan antara negara claimant states Asia Tenggara sebagai saudara di satu sisi serta Tiongkok sebagai negara sahabat di sisi lainnya. Indonesia seyogianya menjadi mediator yang aktif dan adil. RI sebagai negara besar harus cermat menafsir kebangkitan Tiongkok. Ada pesan penting yang hendak disampaikan ras kuning ini melalui kebangkitannya. Melalui geliatnya yang gesit, 'Naga dari Timur' ini hendak menyampaikan pesan bahwa tata dunia yang baru perlu dibentuk dengan Tiongkok sebagai pemimpin. Selama dua abad, bangsa-bangsa Asia hanya duduk di bangku penonton menyaksikan dominasi dan keangkuhan Amerika dan Eropa dalam menguasai panggung politik, sistem perdagangan, dan produksi pengetahuan bangsa-bangsa di dunia. Selama itu pula bangsa-bangsa Asia, meskipun tak seluruhnya, mengalami pemiskinan dan pembodohan struktural sehingga hanya menjadi pangsa pasar dan pemamah yang konsumtif akan produk-produk Amerika dan Eropa. Eksistensi lembaga-lembaga dunia juga tak lebih sekadar badut yang hanya menguntungkan dua kekuatan besar tersebut. Entahlah, mungkin benar yang dikatakan Samuel P Huntington tentang benturan peradaban yang masyhur itu. Benturan itu pulalah yang mungkin menyeret bandul tidak lagi berpihak kepada Barat, tetapi Tiongkok sebagai representasi suara, sikap, dan pandangan bangsa-
bangsa Timur. Namun sekali lagi, Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan nasional guna menyikapi Tiongkok yang semakin menggeliat. Selain itu, Indonesia harus tetap mempertahankan pandangan geopolitiknya wawasan nusantara yang memandang Indonesia sebagai Negara Kepulauan demi kepentingan nasionalnya. Pulau, laut, dan darat merupakan satu kesatuan wilayah RI. Kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa pun sangat dibutuhkan untuk memahami berbagai aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembangunan nasional sehingga mampu memperkuat ketahanan bangsa. http://mediaindonesia.com/news/read/63278/geliat-tiongkok-dan-kewaspadaannasional-indonesia/2016-08-25 Penulis: Boy Anugerah Staf Lembaga Ketahanan Nasional RI