1
Narasumber
: Bivitri Susanti, S.H., LL.M., Ph.D.
Jabatan
: Pendiri PSHK Indonesia dan Pengajar STH Indonesia Jentera
Kepakaran
: Hukum tata negara dan konstitusi
Waktu Wawancara
: Senin, 18 Agustus 2020 / Pukul 16.00 s.d. 17.23 WIB
Media Wawancara
: Zoom Meeting
Hasil Wawancara: Pandangan mengenai demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi Indonesia dan model demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan: Secara konstitusional Indonesia sudah mengadopsi sistem yang secara teoretik disebut sebagai demokrasi, meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam konstitusi. Meskipun tidak tercantum dalam konstitusi, akan tetapi apabila merujuk pada sistem pemerintahan yang dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, begitu juga dengan sistem pemilihan yang mana sudah ada aturan mainnya dan komisi pemilihan yang menjalankannya, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbicara mengenai demokrasi Indonesia, maka titik balik terdekat adalah reformasi 1998. Disebut demikian, karena pada titik balik tersebut banyak pemikiran dan pembongkaran ulang mengenai demokrasi. Banyak kritik terhadap praktik-praktik demokrasi pada masa orde baru. Pada zaman orde baru atau zaman Soeharto, demokrasi dijalankan secara prosedural, belum substantif. Pada periode tersebut kita sudah mengetahui bahkan sebelum Pemilu digelar bahwa Soeharto akan terpilih kembali menjadi presiden, begitu juga dengan Golongan Karya (Golkar) yang akan memenangi suara mayoritas di parlemen. Demokrasi memang berjalan, tetapi tidak secara substantif. Oleh sebab itu, banyak perbaikan atau perubahan pada konstitusi pasca reformasi 1998, salah satunya adalah mekanisme Pilpres dari Pilpres yang dijalankan oleh MPR RI menjadi Pilpres secara langsung dengan rakyat yang betindak sebagai direct voters. Pandangan mengenai sistem presidensial sebagai sistem yang paling sesuai untuk diterapkan di Indonesia yang menganut prinsip-prinsip demokrasi? Hal ini merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Saya sering mengatakan kepada mahasiswa agar kita jangan terpaku dulu mengenai mana sistem pemerintahan yang terbaik. Terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia sebelum amandemen konstitusi pada 1999 hingga 2002, sebenarnya ada dua pandangan. Ada yang mengatakan bahwa sistem pada waktu itu adalah sistem presidensial, namun diselewengkan. Namun ada juga beberapa pemikir tata negara yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dulu kita miliki adalah semi parlementer dan semi presidensial karena presiden dipilih dan bisa dijatuhkan oleh MPR RI seperti yang terjadi pada Presiden Soekarno tahun 1967 dan Presiden Gus Dur pada 1999, termasuk juga Presiden B.J. Habibie. Menurut pandangan Sartori, definisi sistem
Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
2
presidensial itu cukup rigid, yakni presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen. Namun demikian, apabila merujuk pada implementasi di Indonesia pada masa lalu, apa yang diimplementasikan oleh Indonesia menjadi tidak sesuai dengan definisi konseptual mengenai sistem presidensial. Pada waktu kita mengamandemen konstitusi sejak 1999 hingga 2002, muncul semacam ketakutan apabila memperbincangkan tentang sistem parlementer. Pada pembahasan mengenai amandemen konstitusi, terdapat semacam kesepakatan politik untuk tidak mengganggu gugat sistem pemerintahan presidensial, konsepsi negara kesatuan, dan Pembukaan UUD NRI 1945. Merujuk pada sejarah bangsa, memang ada ketakutan dan pelabelan negatif terhadap sistem parlementer. Ketika Indonesia menerapkan sistem parlementer, katakanlah kita melihat periode pelaksanaannya pada 1950 hingga 1957, ada banyak sekali kekurangan seperti sudah ada tujuh perdana menteri yang memerintah dalam kurun waktu tersebut, banyaknya pemberontakan, serta munculnya konflik di tubuh TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang menciptakan instabilitas politik dan pemerintahan. Singkat kata, sistem parlementer dianggap sebagai sistem pemerintahan yang buruk. Meskipun pada hakikatnya pandangan tersebut belum tentu benar. Dalam sistem parlementer, seorang kepala pemerintahan benar-benar dikontrol secara ketat oleh parlemennya. Kita bisa melihat praktik yang berlangsung di Inggris dan Jerman, di mana kepala pemerintahan melalui proses dialektika pemerintahan yang dinamis bersama oposisi. Saya kira praktik yang sedemikian adalah praktik yang baik dalam pemerintahan. Yang ingin saya garisbawahi adalah sistem parlementer juga sistem yang baik. Terkait dengan praktik sistem presidensial di Indonesia, sejujurnya kultur politik di Indonesia belum cukup siap. Partai politik di Indonesia belum matang, baik pada awal reformasi, maupun hingga kini. Reformasi partai politik adalah reformasi yang paling jauh ketinggalan dibandingkan dengan reformasi pada sistem lainnya seperti amandemen konstitusi dan perubahan sistem Pemilu yang sudah berlangsung berkali-kali. Reformasi yang belum berjalan inilah yang menimbulkan kritik seperti banyaknya oligarki elit di partai politik. Terlepas dari kekurangan tersebut, sistem presidensial tetap dipilih karena menjamin stabilitas politik dan pemerintahan. Dengan kondisi politik Indonesia dan keberagaman yang ada, opsi untuk memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan menemukan relevansinya ketimbang memilih sistem parlementer yang menyuguhkan dinamika yang berat bagi politik Indonesia. Saya punya contoh untuk menggambarkan stabilitas sistem presidensial. Kelompok-kelompok pengkritik pemerintah seperti Rocky Gerung, Said Didu, dan sebagainya, sekeras apapun kritik mereka terhadap presiden, mereka tetap tidak bisa menjatuhkan presiden. Inilah jaminan stabilitas yang disediakan oleh sistem presidensial tersebut. Ada studi menarik dari Jayadi Hanan, yakni mengenai sistem presidensial multipartai. Sebagai konsekuensi dari sistem multipartai, ada ambang batas yang harus dipenuhi bagi seorang kandidat presiden untuk dapat dimajukan dalam Pilpres. Ambang batas inilah yang mendorong seorang kandidat presiden yang diusung oleh sebuah partai politik untuk menjalin koalisi dengan partai politik lainnya agar memenuhi ambang batas yang ditetapkan. Ketika terpilih nanti, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggung karena presiden terpilih diusung oleh gabungan partai politik untuk memenuhi ambang batas tersebut. Hal inilah yang membuat sistem presidensial kita berat sekali untuk dijalankan, sehingga muncul pendapat Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
3
yang mengatakan bahwa meskipun kita menganut sistem presidensial, tapi aroma parlementernya sangat kuat. Ekses negatif dari kondisi tersebut pada dasarnya dapat diminimalisir apabila partai politik yang mendukung kandidasi seorang calon presiden, mampu bersikap profesional. Seperti misalnya dalam penunjukan menteri oleh presiden. Partai politik yang mendapat jatah menteri dapat menunjuk kadernya yang profesional dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diemban. Namun praktiknya tidak demikian yang terjadi. Oleh sebab itu, harapan agar presiden membentuk kabinet profesional dengan menunjuk profesional-profesional tertentu sebagai menteri menjadi tidak terwujud karena bargaining position yang dilakukan oleh partai politik pada saat pencalonan. Ada contoh lain untuk menegaskan bahwa yang terjadi adalah sistem presidensial dengan cita rasa parlementer. Pada saat pembahasan RUU Cipta Kerja, presiden mendapatkan dukungan penuh dari partai-partai pendukung di parlemen, semua merapatkan barisan karena RUU tersebut memang diinisiasi oleh pemerintah. Berbeda dengan RUU lainnya yang isunya kurang mendapat dukungan pemerintah, maka koalisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen juga akan merapatkan barisan. Pada masa Presiden SBY, bahkan ada Sekretariat Gabungan (Setgab) untuk memperkuat posisi pemerintah di parlemen. Pemilu dianggap sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip demokrasi. Pandangan mengenai model Pemilu yang bisa dijalankan agar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi: Ada banyak sekali model Pemilu, sehingga jawaban saya tidak bisa straight forward. Dalam konteks Indonesia, ada banyak aspek yang harus dilihat dan dipertimbangkan. Pertama adalah dari aspek tingkat pendidikan politik di suatu negara. Tingkat pendidikan politik ini akan terlihat, misalnya dalam angka voters turn out. Negara dengan kesadaran politik yang tinggi cenderung memiliki angka voters turn out yang cukup tinggi. Masyarakatnya cenderung paham mengenai apa yang bisa mereka lakukan. Tingkat pendidikan politik ini merupakan faktor yang sangat penting karena akan menentukan model Pemilu yang akan kita pilih, apakah ada suara yang terbuang atau tidak dalam Pemilu. Misal, dalam sistem Pemilu ada yang namanya parliamentary threshold. Dengan adanya ambang batas seperti ini, dimungkinkan ada suara rakyat yang terbuang karena penetapan ambang batas tersebut membuat partai politik yang tidak mampu mencapainya tidak mendapatkan kursi di parlemen. Saya memilih salah satu kandidat dari PSI pada Pileg Jakarta, akan tetapi suara saya terbuang karena PSI tidak memenuhi ambang batas parlemen. Faktor kedua adalah karakter partai politik, yakni apakah partai politik sudah menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Jika merujuk pada praktik yang dijalankan oleh partai politik di Indonesia, masih banyak kartelisasi politik dan politik dinasti yang dijalankan seperti yang berlaku di PDI-P dan Partai Demokrat. Ada politik dinasti yang dijalankan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono untuk melanggengkan kekuasaan mereka di partai politik. Fakta ini tentu kurang baik bagi demokrasi tanah air. Aspek inilah yang juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan model Pemilu yang terbaik bagi Indonesia. Faktor ketiga adalah tingkat keberagaman dan luas geografis Indonesia. Saya fikir, ketiga aspek tersebut harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam perumusan model Pemilu.
Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
4
Pandangan mengenai definisi konseptual antara Pilpres secara langsung (dipilih langsung oleh rakyat) dan tidak langsung (dipilih oleh MPR RI): Saya akan melihatnya dari segi-segi empirik yang saya jelaskan tadi. Pilpres langsung adalah Pilpres yang dilakukan oleh rakyat, bukan oleh parlemen Sedangkan Pilpres secara tidak langsung adalah Pilpres yang dilakukan oleh cabang kekuasaan lainnya, dalam hal ini legislatif yang memilih presiden dan wakil presiden. Hal ini bisa kita lihat praktiknya di negara lain seperti Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, parlemen dinamakan sebagai kongres. Meskipun ada electoral college yang dijalankan, tetapi yang memilih presiden di Amerika Serikat bukanlah kongres, melainkan rakyat Amerika Serikat secara langsung. Pandangan mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur untuk memetakan kualitas dan efektivitas penerapan demokrasi di Indonesia: Saya pernah membaca, tapi belum pernah berefleksi secara mendalam. Mengenai model ukur demokrasi, saya kira ada banyak model ukur demokrasi seperti yang dikeluarkan oleh The Economist. Menurut saya, secara prinsip tiga variabel dalam IDI merupakan elemen-elemen yang penting dan bisa diterima. Apabila dilihat turunan-turunannya, misal kebebasan sipil yang mencakup kebebasan pers, pada hemat saya IDI cukup komprehensif sebagai sebuah model ukur. Namun secara jujur saya hendak mengatakan bahwa saya belum terlalu mengetahui mengenai metodologi yang digunakan. Oleh sebab itu, saya perlu waktu untuk berefleksi secara mendalam mengenai hal ini. Namun demikian, pada hemat saya, kalau kita melihat secara anekdotal, atau melihat realitas empirik secara kualitatif, saya melihat ada potensi ketidaksesuaian antara hasil yang dirilis dengan fakta di lapangan. Semisal pernyataan mengenai IDI sudah cukup baik, padahal apabila kita melihat lebih jauh realitas di akhir tahun 2019, saya tak hendak berbicara mengenai realitas hari ini di tengah situasi pandemi, muncul semacam pembatasan-pembatasan pada kebebasan sipil yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, overall, bagi saya, IDI sudah cukup baik sebagai sebuah model ukur. Pandangan mengenai kesesuaian implementasi Pilpres langsung dengan amanat reformasi politik 1998 dan amanat amandemen konstitusi pada 2001: Saya memandang ada problem pada ambang batas pencalonan presiden. Dengan adanya ambang batas tersebut, regenerasi pemimpin tidak berlangsung cepat. Calon yang muncul akan itu-itu saja, tidak ada calon yang baru. Padahal banyak sekali tokoh-tokoh baru yang muncul seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan lain-lain. Yang muncul itu-itu saja, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Dengan adanya ambang batas tersebut, sistem presidensial yang berjalan adalah sistem presidensial yang masih kental dengan aroma parlementer. Dalam sistem presidensial yang berlangsung hari ini, meskipun rakyat bertindak sebagai pemilih langsung, akan tetap calon yang mereka pilih sudah difilter terlebih dahulu oleh partai politik. Oleh sebab itu, menurut hemat saya, sistem presidensial yang berjalan ini sejujurnya belum optimal, masih setengah dari bentuk idealnya. Partai politik masih dominan dan belum direformasi, sehingga partai politik cenderung menciptakan oligarki yang berdampak buruk terhadap sistem presidensial.
Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
5
Pandangan mengenai ekses negatif yang ditimbulkan oleh Pilpres secara langsung seperti oligarki partai politik, politik berbiaya tinggi untuk kandidasi dalam Pemilu, polarisasi dan pembelahan di masyarakat, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, dan sebagainya: Permasalahannya ada pada partai politik yang belum direformasi. Partai politik tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, melainkan memanfaatkan kebodohan masyarakat. Sebagai contoh, partai politik kerap memainkan sentimen politik identitas dalam Pemilu. Hal ini bisa dilihat pada Pilkada DKI Jakarta yang silam, khususnya yang terkait dengan kasus Ahok. Inilah yang menyebabkan munculnya ekses-ekses negatif di masyarakat. Partai politik hanya memandang Pemilu sebagai ajang untuk meraih jabatan dan kekuasaan, sehingga praktik-praktik yang mereka lakukan tidak mendidik masyarakat. Jika pada Pilpres 2014 dan 2019 muncul istilah Cebong dan Kampret untuk menyebut pendukung masing-masing pasangan calon, saya tidak tahu apa lagi yang akan dimainkan oleh partai politik pada Pilpres 2024 nanti. Sekali lagi bagi saya permasalahannya ada pada partai politik yang belum direformasi. Pandangan mengenai adanya upaya untuk mengembalikan model Pilpres dari langsung menjadi tidak langsung seperti yang terjadi pada era Orde Baru: Saya secara jelas berada dalam posisi tidak setuju. Secara konseptual, berbagai ekses negatif tadi disebabkan oleh partai politik yang kerap memainkan sentimen agama dan politik identitas dalam Pemilu, sedangkan sistemnya sendiri pada dasarnya tidak ada yang keliru. Selain itu, ada praktik-praktik yang mengakibatkan mekanisme Pilpres langsung berjalan tidak optimal seperti adanya presidential threshold yang saya sebutkan tadi. Jika kita kembalikan esensinya secara konseptual, yakni partai politik bisa menjalankan fungsinya dengan baik, seperti melakukan pendidikan politik, penghargaan terhadap keberagaman, maka saya yakin Pilpres langsung akan berjalan dengan baik. Jangan sampai kita terjebak pada paradigma bahwa ketika muncul hal-hal negatif dalam pelaksanaan, kita langsung mengambil langkah mundur. Hal ini akan menyebabkan kita menjadi tidak konsisten terhadap langkah yang kita pilih. Upaya mengembalikan model Pilpres menjadi tidak langsung ibarat membakar lumbung padi, tidak melalui cara berfikir yang sistemik, dan ini merupakan pola pikir yang sangat berbahaya. Pandangan mengenai strategi untuk mereformasi partai politik, baik secara struktural maupun kultural: Ada studi menarik yang dilakukan oleh KPK dan LIPI mengenai bagaimana caranya untuk mereformasi partai politik. Mungkin itu bisa dijadikan referensi. Bagi saya pribadi, reformasi partai politik adalah suatu hal yang harus dipaksakan untuk dilakukan. Sebagai contoh, keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen dari total anggota parlemen, merupakan sebuah hal yang dipaksakan untuk terjadi melalui mekanisme undang-undang. Hanya saja dalam konteks reformasi partai politik, akan menjadi lebih sulit karena yang melakukan pengesahan di parlemen adalah partai politik itu sendiri. Saya pribadi memiliki beberapa rekomendasi. Pertama, mekanisme internal partai politik, negara harus bisa mengintervensi. Sebagai contoh, mekanisme pemilihan pimpinan partai politik. Sebagai Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
6
perbandingan, Jerman memberlakukan mekanisme pemilihan pimpinan partai politik yang diatur melalui mekanisme UU Partai Politik. Hal ini dapat mendorong demokratisasi partai politik, jangan sampai partai politik teriak-teriak mengenai demokrasi padahal perilakunya sendiri tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Kedua, partai politik dipaksa untuk melakukan perluasan dan dinamisasi keanggotaannya. Ketiga, partai politik harus mampu mendorong pendidikan politik secara luas, baik kepada kadernya maupun kepada masyarakat. Kecenderungan hari ini, partai politik cenderung mengandalkan publik figur sebagai vote getter, sehingga muncul fenomena artis yang melenggang ke parlemen. Kader-kader partai politik yang bagus akhirnya banyak yang tidak terpilih karena suara mereka diraih oleh para vote getter dari kalangan publik figur tersebut. Pandangan mengenai demokratisasi pencalonan yang dilakukan oleh partai politik dalam sebuah kontestasi. Padangan mengenai mekanisme konvensi: Saya setuju dengan mekanisme konvensi dalam proses pencalonan karena merupakan cerminan demokrasi yang berjalan di internal partai politik. Hal ini juga dapat memutus mata rantai oligarki elit di partai politik. Di PDI-P misalnya, jangan semuanya ditentukan oleh Megawati Soekarnoputri. Di Gerindra, jangan semuanya ditentukan oleh Prabowo Subianto. Manuver-manuver politik jangan dilakukan secara pribadi saja. Melalui mekanisme konvensi, manuver-manuver politik akan menjadi terbuka, bukan di balik layar atau meja. Fenomena Harun Masiku di PDI-P merupakan salah satu bukti nyata adanya fenomena elit dalam menentukan kebijakan strategis partai politik. Oleh sebab itu, dalam proses penentuan calon untuk berkontestasi dalam sebuah kompetisi, dibutuhkan mekanisme pemilihan yang mempunyai ukuran yang jelas, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai apabila peningkatan kualitas demokrasi diletakkan sebagai objektif utama dalam pelaksanaan Pilpres dan strategi yang bisa dijalankan untuk mereduksi implikasi negatif dari model Pilpres tersebut: Saya tentu memilih Pilpres secara langsung, akan tetapi diperkuat dengan tidak adanya presidential threshold, bahkan dimungkinkan untuk munculnya calon independen. Bagi saya calon independen berpeluang menjadi solusi. Jangan takut akan munculnya pembludakan calon, karena ada sistem dan tahapan-tahapan sendiri seperti seleksi administratif yang akan melakukan filterisasi. Bukan berarti ketika kran pencalonan dibuka dengan cara sedemikian, semua orang langsung berbondong-bondong menjadi calon presiden. Sebagai tambahan, dengan tidak adanya presidential threshold, partai-partai kecil juga dapat memajukan calonnya. Pandangan mengenai mekanisme satu dan dua putaran dalam gelaran Pilpres secara langsung: Mekanisme dua putaran dibutuhkan untuk memastikan legitimasi presiden terpilih. Jangan sampai dukungan hanya sekitar 10 persen atau 20 persen lantas ia diputuskan sebagai pemenang dalam Pilpres yang diselenggarakan. Jadi betul dalam dua putaran akan terjadi koalisi partai politik. Namun demikian, koalisi partai politik yang terbentuk sudah memiliki gambaran yang jelas, bukan seperti membeli kucing dalam karung, melainkan melalui Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia
7
pertimbangan-pertimbangan yang jelas. Konsep dua putaran merupakan konsep terbaik dan harus dipertahankan, hanya saja aturan mainnya perlu diperkuat kembali sehingga lebih terbuka.
*****
Wawancara Tesis Boy Anugerah - SGPP Indonesia