1
Narasumber
: Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, M.MAS., M.P.A.
Jabatan
: Gubernur Lemhannas RI
Kepakaran
: Reformasi kelembagaan dan demokrasi
Waktu Wawancara
: Jumat, 7 Agustus 2020 / Pukul 13.30 s.d. 14.27 WIB
Media Wawancara
: Tatap Muka
Hasil Wawancara: Pandangan mengenai demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi Indonesia dan model demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan: Kita harus berfikir positif. Tidak ada satu sistem yang diturunkan dari langit semua serba sempurna dan memenuhi semua keinginan kita. Semua sistem dilaksanakan oleh manusia dan sangat tergantung pada tingkat peradaban manusia sebagai pelaksana-pelaksananya. Terkadang kita hanya melihat satu model saja yang ada di depan mata, dan satu model itu langsung menimbulkan ketidakpuasan atau kekecewaan. Tapi kita cenderung tidak bisa membuat alternatif-alternatif, mencari sistem yang lebih baik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cengeng dan mudah mengeluh. Jika demokrasi dianggap mengecewakan, pertanyaannya adalah adakah sistem yang lebih baik? Bisakah kita sampai pada alternatifalternatif lain tersebut? Ada yang mengatakan bahwa demokrasi pada dasarnya merupakan sistem yang rumit, namun tidak dimungkiri bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem-sistem yang semuanya buruk. Mengapa bisa muncul kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap demokrasi, menurut pendapat saya, yang menjadi permasalahan adalah kultur. Bangsa Indonesia menganut kultur kerajaan. Pada masa orde baru, Presiden Soeharto bagaikan raja yang menyelesaikan segala persoalan kebangsaan dengan TNI sebagai pilarnya. Rakyat menjadi manja. Ketika demokrasi muncul dengan sistem one man one vote, rakyat menjadi kebingungan. Dalam konteks Pemilu, demokrasi jangan hanya sekedar dimaknai pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memberikan suara saja, tapi juga harus dilakukan kontrol atau pengawasan. Dalam konteks itu, kita berarti melaksanakan demokrasi secara utuh. Prinsip demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi bagi Indonesia adalah sistem perwakilan. Agar demokrasi berlangsung dengan baik, perlu dibuat sistem dan prosedur. Dalam konteks Pemilu misalnya, setelah rakyat memberikan suaranya di TPS, perlu dibuat mekanisme agar rakyat bisa berkomunikasi dengan wakil yang mereka pilih. Dengan adanya sistem dan prosedur, maka segala bentuk penyimpangan akan lebih mudah dideteksi dan dicarikan solusinya. Inilah yang harusnya menjadi kunci penelitian saudara. Indonesia berada pada kondisi transisi demokrasi. Demokrasi tidak bisa diasumsikan sudah sangat klop dengan kultur kita sebagai bangsa Indonesia. Kultur bangsa Indonesia adalah
2
paternalistik. Artinya, bangsa Indonesia tidak bisa hidup tanpa pemimpin dan bersifat komunitarianisme. Komunitarianisme berarti semuanya diserahkan kepada pemimpin. Tanggung jawab perorangan bukan merupakan ciri yang kuat dalam masyarakat Indonesia. Ketika demokrasi diberikan kepada perseorangan, one man one vote, kita menjadi tidak terbiasa. Sejak kecil kita semua ditentukan oleh orang tua. Kita tidak dikembangkan dan dibangun untuk percaya pada diri sendiri. Sekarang kita sudah naik kelas, dari kebersamaan menuju perseorangan. Namun itu tidak cukup, karena perseorangan yang tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan anarki. Kita harus naik kelas satu tingkat lagi, yakni perseorangan yang bertanggung jawab. Inilah yang menjadi tanggung jawab kita bersama secara sosial dan pendidikan agar seimbang antara hak dan kewajiban. Yang menjadi persoalan lainnya dalam demokrasi kita adalah bangsa Indonesia selalu berupaya mencari seorang pemimpin yang sempurna, padahal tidak ada satupun pemimpin yang sempurna. Demokrasi tidak menjanjikan pemimpin yang sempurna. Kita kerap terkecoh dan tidak mengakui. Yang dijanjikan oleh demokrasi adalah pemimpin yang sah mewakili rakyat. Karena demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pilpres bukanlah ajang adu pintar antarpresiden, melainkan ajang untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Demokrasi seperti kejuaraan Liga Champion Eropa. Semua pihak pasti menginginkan untuk menjadi juara, tapi siapa yang menjadi juara harus dihormati. Dalam satu kompetisi, akan terpilih satu yang menjadi juara. Jika sudah ada yang menjadi juara, cek apakah ia sudah mematuhi peraturan yang ada. Jika mematuhi peraturan yang ditetapkan, maka akui kemenangannya. Demokrasi menjadi tidak tertib karena ada permasalahan pada kultur dan masyarakat. Persoalan demokrasi hari ini adalah tidak adanya figur yang cukup memadai untuk menjadi guru bangsa dalam mendidik rakyat. Masih banyak pihak-pihak yang memanfaatkan kelemahan demokrasi dan mengambil keuntungan dari kelemahan tersebut untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Pandangan mengenai Pemilu sebagai salah satu perwujudan prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: Benar. Pemilu merupakan mekanika untuk menyaring dan mewadahi aspirasi rakyat. Pemilu merupakan mekanismenya dan partai politik menjadi pilarnya. Partai politik berperan untuk menjaring aspirasi. Dalam setiap Pemilu, Partai Politik berjualan. Jualannya adalah ideologi. Ideologi di sini bukanlah liberalisme atau kapitalisme, melainkan sebuah landasan atau platform. Golongan Karya (Golkar) pada era orde baru misalnya, mengusung ketersediaan sembako untuk rakyat. PDI-P, jualannya adalah siapa yang menjadi bapak bangsa, yakni Soekarno, serta marhaenisme sebagai ideologi mereka. Pemilu pada hakikatnya memilih partai politik beserta platformnya, bukan memilih presiden. Yang memilih presiden adalah partai politik meskipun dikontestasikan dalam Pemilu. Partai politik yang menang dalam Pemilu, platformnya akan digunakan sebagai platform nasional. Ada aturan bagi partai politik untuk menunjuk siapa yang akan menjadi calon presiden karena partai politik tidak bisa menjadi presiden. Rakyat tidak bisa menjalankan pemerintahan, harus menunjuk wakilwakilnya. Oleh sebab itu dijalankan mekanisme yang disebut Pemilu. Salah satu hasil dari Pemilu tersebut adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun demikian, presiden juga adalah seorang manusia biasa yang rentan untuk melakukan kesalahan. Oleh sebab itu,
3
dijalankan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI yang mana orang-orang yang duduk di parlemen juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Saya menyarankan kepada rakyat agar tidak ikut menjajakan barang dagangan partai politik. Rakyat harus memahami bahwa mereka memiliki hak politik, tapi bukan dengan cara berkampanye untuk kepentingan partai politik atau aktor-aktor politik tertentu. Rakyat itu pembeli, rakyat itu raja. Bagi saya, orang yang bepolitik adalah orang yang terlibat dan berpihak memenangkan seseorang. Orang yang berpolitik adalah mereka yang tergabung secara resmi menjadi anggota partai politik dan menjalankan platform partai politik tersebut. Demokrasi menjadi rusak karena fenomena relawan. Aktor-aktor politik tidak mau berhenti pada tingkat penjualan saja, mereka mencari “tanah-tanah kosong� untuk mendukung kepentingan politik mereka. Oleh sebab itu, mereka merekrut banyak relawan. Apakah relawan tersebut layak disebut sebagai orang yang berpolitik? Tentu saja tidak. Bagi saya, mereka ikut berkampanye karena ada kepentingan semacam meminta jabatan apabila calon yang mereka dukung menang dan terpilih pada Pemilu. Pandangan mengenai sistem presidensil sebagai sistem pemerintahan yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia sebagai negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi: Sesuai dan tidak sesuai tergantung pada kita. Kita jangan terlalu sering melakukan judgment mengenai mana yang sesuai atau tidak sesuai. Pertanyaannya adalah apakah bangsa tersebut mau menjaga sistemnya. Memang ada trauma dengan sistem parlementer. Pada awal-awal kemerdekaan kita pernah menerapkan sistem parlementer. Pada saat itu bangsa Indonesia belum matang berdemokrasi. Dalam sistem parlementer, seorang Perdana Menteri bisa membubarkan parlemen. Setelah bubar, diadakan Pemilu lagi dan itu berlangsung setiap tiga bulan sekali. Banyak orang yang berpandangan bahwa sistem parlementer identik dengan kolonial Belanda yang menganut federalisme. Penerapan sistem parlementer pada masa lampau tersebut menimbulkan pertanyaan, jika setiap tiga bulan sekali parlemen bubar, lantas kapan waktunya untuk membangun. Inilah yang menjadi alasan kita menganut sistem presidensil. Namun demikian, ini tidak bisa dijadikan sebegai preseden atau penilaian bahwa sistem parlementer itu buruk. Banyak negara-negara di dunia menerapkan sistem parlementer secara matang dan mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik. Kalau kita tidak berhasil, mungkin kita yang bodoh. Kelebihan dalam sistem parlementer adalah semuanya bertumpu pada partai politik. Jika salah satu partai politik menang, maka biasanya ketua partai politik tersebut akan menjadi perdana menteri. Partai politik tersebut juga memiliki kabinet bayangan. Semua kabinet harus berasal dari anggota parlemen. Berbeda dengan sistem presidensil, anggota kabinet bisa berasal dari tetangganya, saudaranya dan itu merupakan administrasi presiden. Sebagai administrasi presiden, namanya seharusnya bukan kementerian, melainkan departemen. Departemen tersebut dipimpin oleh sekretaris. Sebagai contoh, kementerian pertahanan harusnya dinamakan departemen pertahanan. Pemimpinnya dinamakan sebagai sekretaris departemen pertahanan. Menanggapi pertanyaan saudara mengenai ketidakcocokan antara konsep presiden dipilih melalui MPR dan sistem presidensil yang dianut, saya berpendapat bahwa jangan sekalisekali dicoba. Itu bagaikan sesosok hewan dengan kepala gajah tapi berbadan harimau. Pada
4
praktik sistem parlementer di masa lampau, tidak ada sidang tahunan MPR RI. Tugas MPR RI itu hanya bersidang pada awal dan akhir masa bakti presiden dan wakil presiden. Di era sekarang, MPR RI melakukan sidang tahunan. Setahun sekali MPR RI bersidang. Sebagai akibatnya, muncul potensi pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden setiap kali MPR RI bersidang. Bagi saya, sistem itu pada dasarnya buatan manusia. Manusia itu sendiri punya kelemahan. Oleh sebab itu, perlu dicari sebuah sistem yang mampu menutup kelemahan manusia. Pandangan mengenai definisi konseptual antara Pilpres secara langsung (dipilih langsung oleh rakyat) dan tidak langsung (dipilih oleh MPR RI): Pilpres secara langsung bukan berarti lebih demokratis, tapi lebih meningkatkan kredibilitas pemenang karena dipilih secara langsung. Pilpres melalui MPR RI tidak bisa disebut tidak demokratis karena presiden dan wakil presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat di parlemen. Perlu dilihat kembali, masalahnya kembali ada pada manusia. Manusia cenderung berupaya untuk meraih kekuasaan dan uang. Dulu diperhitungkan bahwa jika Pemilu secara langsung harus menyogok rakyat. Sedangkan jika Pemilu melalui MPR RI, sekupnya lebih sempit. Yang disogok hanyalah wakil-wakil rakyat di parlemen yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Saat ini tidak ada presiden yang bisa terlepas dari partai politik. Sebagai contoh, saat ini Presiden Joko Widodo ditopang oleh koalisi partai politik di parlemen. Saya kurang sepakat jika stabilitas pemerintahan ditentukan oleh partai politik. Pada era orde baru yang menjadi kunci stabilitas politik adalah sistem otoritarianisme yang dijalankan oleh Presiden Soeharto. Semua stabilitas politik dan pemerintahan terwujud karena sistem yang dijalankan oleh Presiden Soeharto. Sistem ini diterapkan melalui, contoh, PNS dan keluarganya harus mencoblos Golkar pada Pemilu, demikian juga halnya dengan prajurit TNI dan keluarganya. Cuma yang menjadi pertanyaan saya sekarang, apabila rakyat menginginkan stabilitas politik dan pemerintahan, apakah rakyat siap untuk kembali kepada sistem otoritarianisme tersebut? Semuanya berpulang pada rakyat. Namun demikian, rakyat jangan bingung. Harus berani menentukan pilihan. Pandangan mengenai Pilpres langsung tidak sesuai dengan prinsip permusyawaratan dan perwakilan: Bagi saya tidak bisa dikatakan seperti itu. Pilpres secara langsung maupun tidak langsung semuanya sesuai dengan prinsip permusyawaratan dan perwakilan. Dalam Pilpres melalui MPR RI, rakyat memilih partai politik sebagai wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen. Wakil-wakil tersebut lebih lanjut akan membentuk komposisi sendiri di parlemen. Tidak ada musyawarah dan mufakat murni. Bagi saya itu terlalu naĂŻf. Musyawarah dan mufakat murni mungkin bisa diterapkan pada tingkat desa, tapi tidak bisa diterapkan pada tingkat nasional. Musyawarah mufakat juga tidak bisa selalu diterapkan untuk persoalan-persoalan besar. Pada era orde baru, musyawarah mufakat tercipta bukan karena sistem yang dijalankan, melainkan karena figur Soeharto. Pada era tersebut, yang ada adalah mufakat dahulu, baru musyawarah. Pada masa lalu, yang memiliki suara berbeda akan menerima konsekuensi-konsekuensi sendiri dari perbedaannya.
5
Jika mengacu pada pendapat Filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles, demokrasi bukanlah konsep yang terbaik. Yang terbaik adalah politeia yang mana rakyat memilih sekelompok orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk memimpin negara. Namun perbedaannya, Yunani tempo dulu adalah sebuah negara atau komunitas yang kecil, Indonesia adalah entitas yang sangat besar. Konsep tersebut tidak dapat dijalankan. Kondisi hari ini, rakyat bukan menginginkan sosok yang pintar, tapi sosok yang mau menjemput aspirasi rakyat. Inilah yang akan mereka pilih. Pemilu tidak menghasilkan sosok yang pintar, tapi sosok yang diinginkan rakyat. Sosok pintar dan sosok yang inginkan rakyat memiliki jalur sendiri-sendiri, jadi tidak akan ketemu. Roh demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Sebagai contoh, Jenderal Edi Sudrajat pernah mendirikan partai politik bernama PKPI karena ia yakin bahwa prajurit adalah kelompok orang yang cinta negara, patritorisme, dan dicintai rakyat. Faktanya, PKPI gagal. Gagal karena rakyat punya preferensi lebih terhadap partai politik lainnya. Pandangan mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur untuk memetakan kualitas dan efektivitas penerapan demokrasi di Indonesia: Perlu waktu tambahan untuk merenungkan. Hal tersebut pernah terjadi di Lemhannas RI. Lemhannas RI mengembangkan Indeks Ketahanan Nasional yang dijalankan oleh Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas). Namun hasilnya melenceng, asumsinya salah. Misalnya, indeks pertahanan hijau semua, atau bagus semua. Pertanyaan saya, apabila Natuna diduduki oleh Tiongkok, apakah kita siap untuk berperang? Hemat saya, kita belum siap. Lalu mengapa hasil pengukuran yang disuguhkan indikatornya bagus semua? Menurut saya, ada yang salah dalam pengukuran tersebut. Indikator yang digunakan adalah sekedar ada tidaknya anggaran, undang-undang, dan organisasi. Tapi tidak menjurus kepada backward planning. Tugas akhir dari pertahanan adalah memenangkan perang dengan mengalahkan musuh. Untuk mengalahkan musuh kita butuh backward, yakni kita butuh kekuatan. Untuk memiliki kekuatan, kita butuh anggaran dan latihan. Singkatnya, jika indikator salah, maka hasilnya juga bisa salah. Untuk saat ini, saya belum bisa menjawab pertanyaan saudara. Butuh waktu untuk perenungan lebih mendalam untuk menilai apakah indikator yang digunakan BPS RI tersebut sudah cukup memadai atau tidak. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai dalam mewujudkan penguatan pada aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi yang menjadi variabel kunci dalam IDI: Jawaban saya adalah Pilpres langsung, presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu. Dalam Pilpres langsung, aspirasi dan keinginan rakyat ditangkap secara langsung. Sedangkan dalam Pilpres tidak langsung, aspirasi rakyat harus disalurkan melalui pipa-pipa politik terlebih dahulu. Penyaluran melalui pipa-pipa politik ini pada masa lampau pada dasarnya menjadi sebuah masalah. Pada masa lalu kita mengenal istilah utusan daerah dan utusan golongan. Utusan daerah didominasi oleh para Pangdam, dan utusan golongan terus terang tidak jelas. Pertanyaan saya, apakah Jakmania atau Persatuan Anak Menteng bisa dikatakan sebagai utusan golongan? Ini sekedar ilustrasi saja bahwa definisi utusan golongan tidak clear. Padahal cita-cita Bung Hatta pada masa lampau adalah meletakkan para ekonom-ekonom untuk mengarusutamakan koperasi sebagai corak kebijakan
6
ekonomi Indonesia dengan menempatkan para ekonom tersebut melalui utusan golongan, tapi fakta yang terjadi tidak demikian. Adanya DPD RI hari ini juga tidak menjadi jaminan bahwa pipa-pipa politik menjadi lebih tajam. Para senator tersebut memiliki keterbatasan. Apa yang bisa diperbuat oleh satu kepala? Bandingkan dengan partai politik yang memiliki mesin organisasinya sendiri untuk menjalankan aktivitas politik. Di Indonesia, sangat sulit bagi seseorang untuk berpolitik tanpa melalui partai politik. makanya bagi saya calon independen itu kurang relevan. Bagaimana anda melihat ekses negatif yang ditimbulkan oleh Pilpres secara langsung seperti oligarki partai politik, politik berbiaya tinggi untuk kandidasi dalam Pemilu, polarisasi dan pembelahan di masyarakat, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, dan sebagainya? Yang paling berdosa dalam semua kekacauan politik yang terjadi selama ini adalah partai politik. Permasalahannya pada dasarnya terletak pada ketidakmampuan partai politik untuk membiayai dirinya sendiri. Sebagai akibatnya, partai politik membiarkan calonnya untuk membiayai sendiri kandidasi. Partai politik juga kerap tidak menjalankan fungsinya. Di satu sisi, partai politik tidak menjalankan pendidikan politik kepada rakyat. Di sisi lain, partai politik tidak sanggup untuk menjalankan kaderisasi terhadap anggotanya. Oleh sebab itu, kuncinya adalah melakukan reformasi partai politik dan menciptakan partai politik yang modern. Saya percaya bahwa reformasi tidak bisa dilakukan dari luar, tapi harus digedor dari dalam. Oleh sebab itu, reformasi yang dilakukan oleh TNI bisa menjadi pembelajaran untuk melakukan reformasi pada partai politik. Berbagai ekses negatif tersebut juga disebabkan oleh kesalahan paradigma berfikir para elit di Indonesia. Kita terlalu antusias untuk meniru model demokrasi Amerika Serikat bahwa partai politik itu hanya ada dua. Berbagai rekayasa regulasi yang dilakukan terkait pelaksanaan Pemilu juga ditempuh untuk meniru model Amerika Serikat tersebut. Sebagai akibatnya terjadi ekses negatif sedemikian. Ketika terjadi permasalahan, baru alternatif tiga, empat, lima partai dan seterusnya ditengok kembali. Saya sepakat bahwa UU No. 7 Tahun 2017 yang membatasi kandidat presiden dan wakil presiden melalui penetapan presidential threshold merupakan salah satu penyebab mengapa ekses negatif pada Pilpres secara langsung tersebut muncul. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai apabila peningkatan kualitas demokrasi diletakkan sebagai objektif utama dalam pelaksanaan Pilpres dan strategi yang bisa dijalankan untuk mereduksi implikasi negatif dari model Pilpres tersebut: Ini pekerjaan besar karena harus memperbaiki sistem. Kita juga hendaknya tidak beranggapan bahwa dengan mengembalikan Pilpres melalui MPR RI akan membuat proses menjadi lebih sederhana karena kita juga harus mempelajari implikasi-implikasinya. Sebagai contoh, presiden menjadi berada di bawah MPR RI, komposisi DPD perlu dilihat kembali, hingga perlu disusunnya konstitusi yang baru melalui amandemen untuk melegitimasi perubahan mekanisme tersebut. Apabila Pilpres hendak digelar secara langsung, juga butuh perbaikan secara komprehensif, terutama pada bagaimana caranya menghilangkan politik uang dan oligarki partai politik. Pada hakikatnya, semuanya akan bertumpu pada reformasi atau
7
perbaikan partai politik. Perlu dilakukan transformasi pada partai politik agar lebih baik. Bagaimana menciptakan partai politik yang sesungguhnya, yakni partai politik yang benarbenar mampu menjalankan fungsi-fungsinya, terutama pendidikan dan kaderisasi politik. *****