Hasil Wawancara dengan Prof. Dr. Lili Romli, M.Si. - Profesor Riset LIPI

Page 1

1

Narasumber

: Prof. Dr. Lili Romli, M.Si.

Jabatan

: Profesor Riset LIPI

Kepakaran

: Partai Politik, Parlemen, Eksekutif, Pemilihan Umum (Pemilu)

Waktu Wawancara

: Rabu, 29 Juli 2020 / Pukul 10.00 s.d. 10.36 WIB

Media Wawancara

: Sambungan Telepon

Hasil Wawancara: Pandangan mengenai demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi Indonesia dan model demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan: Demokrasi merupakan sistem politik yang dipilih oleh para founding father pada saat kemerdekaan. Gagasan demokrasi ini sudah muncul sejak masa pergerakan dan terkristalisasi sebagai suatu komitmen dan keinginan bersama. Hal ini lebih lanjut terefleksikan ke dalam batang tubuh UUD NRI 1945, yakni Pasal 28 UUD NRI 1945. Demokrasi juga merupakan sistem politik yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti pada beberapa hasil survei yang dijalankan oleh LSI, Indonesia Indikator, dan survei dari lembaga lainnya yang mana 70 persen masyarakat Indonesia menginginkan demokrasi sebagai sistem politik. Demokrasi secara konseptual membutuhkan penyesuaian atau adaptasi dalam penerapannya. Dalam konteks Indonesia, demokrasi harus selaras dengan nilai-nilai budaya dan kearifan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Demokrasi yang diterapkan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Inggris misalnya, tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia karena terdapat perbedaan nilai dan budaya yang mempengaruhi implementasinya. Namun demikian, penerapan demokrasi di Indonesia tetap harus berpegang teguh pada nilai-nilai universal dari demokrasi itu sendiri yang meliputi prinsip kedaulatan di tangan rakyat, persamaan, kebebasan, toleransi, kebebasan untuk berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat. Pandangan mengenai Pemilu sebagai salah satu perwujudan prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: Indonesia tidak menerapkan demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan. Oleh sebab itu, Pemilu yang dijalankan di Indonesia, baik Pemilu Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), maupun Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), merupakan perwujudan dari demokrasi perwakilan yang diyakini. Mereka yang terpilih dalam Pemilu menyandang status sebagai wakil rakyat. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Pemilu sebagai perwujudan demokrasi, yakni Pemilu harus dilaksanakan secara demokratis, penyelenggara Pemilu harus bersifat independen, Pemilu harus dijalankan secara adil, pelaksanaan Pemilu harus berpegang teguh pada netralitas birokrasi, serta terdapat kebebasan untuk memilih bagi warga negara. Fungsi Pemilu secara garis besar ada tiga, yakni sirkulasi elit, pendidikan politik, dan legitimasi. Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah


2

adanya partisipasi dan kompetisi yang adil. Calon dalam Pemilu tidak boleh dibatasi, tidak ada calon tunggal, dan warga negara sebagai pemilih dapat melaksanakan hak-hak politiknya untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Pandangan mengenai sistem presidensil sebagai sistem pemerintahan yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia sebagai negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi: Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer pada masa lampau. Namun demikian, ada ekses negatif seperti instabilitas politik yang disebabkan oleh sering terjadinya pergantian kabinet. Sistem presidensil juga merupakan amanat konstitusi UUD NRI 1945, khususnya Pasal 6 UUD NRI 1945. Meskipun sesuai dengan dengan konstitusi, dalam sistem presidensil, terdapat dua legitimasi, yakni presiden atau eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat, serta parlemen atau legislatif yang juga dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu. Masing-masing kekuatan memiliki legitimasi yang sah karena mendapatkan suara rakyat. Hal ini menjadikan sistem presidensil yang berjalan di Indonesia menjadi tidak cocok atau tidak kompatibel yang berdampak pada terciptanya pemerintahan yang terbelah. Menyikapi kondisi ini, presiden yang terpilih harus memiliki dukungan politik yang kuat di parlemen. Untuk mendapatkan dukungan politik yang kuat, dibutuhkan partai politik penyokong presiden yang besar dan kuat, atau bisa dengan membentuk mekanisme koalisi pendukung pemerintah (kekuatan mayoritas pendukung pemerintah). Dalam konteks mendukung penguatan sistem presidensil, dibutuhkan penyederhanaan partai politik. Situasi dan kondisi hari ini yang mana banyak sekali partai politik (multi partai ekstrem) mengakibatkan sistem presidensil yang berjalan menjadi kurang ideal. Langkah lainnya untuk memperkuat sistem presidensil adalah penguatan kapasitas kepemimpinan presiden dalam melakukan kompromi atau pendekatan terhadap kekuatan partai politik yang menyusun parlemen guna mendukung kebijakankebijakan yang diambil pemerintah. Pandangan mengenai Pilpres seperti apakah yang harus dijalankan di Indonesia dalam konteks negara demokrasi: Pilpres yang sudah berjalan saat ini, yakni Pilpres langsung harus diperkuat. Pilpres dijalankan secara serentak dengan Pemilu Legislatif agar Pemilu berlangsung efektif. Saat ini kita mengenal adanya Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Pilpres juga harus memperhatikan ambang batas atau presidential threshold dalam pencalonan presiden. Selain itu, dibutuhkan Pemilu pendahuluan yang dilakukan oleh partai politik semacam konvensi untuk promosi calon, menggali saran dan masukan, serta mengetahui preferensi masyarakat terhadap calon presiden yang diusung. Diharapkan dengan adanya Pemilu pendahuluan atau konvensi ini, akan diperoleh calon-calon presiden yang berkualitas untuk berkontestasi dan dipilih lebih lanjut oleh masyarakat dalam Pilpres. Pandangan mengenai definisi konseptual antara Pilpres secara langsung (dipilih langsung oleh rakyat) dan tidak langsung (dipilih oleh MPR RI): Apabila Pilpres dilakukan secara tidak langsung oleh MPR RI, akan terjadi oligarki partai politik karena presiden dipilih oleh segelintir orang. Selain itu, legitimasi presiden terpilih


3

menjadi lemah. Amandemen konstitusi telah mengkoreksi sistem Pilpres sebelumnya. Pilpres yang dijalankan secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya penghilangan partisipasi politik publik. Sedangkan Pilpres secara langsung memiliki legitimasi yang kuat karena merupakan keinginan masyarakat yang disuarakan dalam reformasi politik 1998. Memang terdapat implikasi negatif dari Pilpres langsung seperti polarisasi dalam masyarakat dan penguatan politik identitas. Namun demikian, situasi dan kondisi ini tidak bisa digeneralisasi. Implikasi negatif tersebut baru mencuat pada dua Pilpres terakhir saja, yakni 2014 dan 2019, sedangkan dua Pilpres langsung lainnya, yakni 2004 dan 2009 tidak seperti itu. Mengapa hal tersebut bisa terjadi pada 2014 dan 2019, hal ini terjadi karena adanya pembatasan calon, serta hilangnya ambang batas pencalonan. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki pilihan kandidat presiden dan wakil presiden yang beragam. Ekses negatif dalam Pilpres langsung tersebut tidak bisa dijadikan sebagai basis argumentasi untuk kembali pada model Pilpres sebelumnya. Hal ini akan menjadi setback atau kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Tidak terlalu sulit untuk mengatasinya. Pilpres secara langsung tetap dijalankan, sedangkan ekses negatifnya diatur dalam regulasi mengenai Pemilu seperti larangan untuk mempraktikkan politik identitas dan sebagainya. Larangan ini agar diikuti kepatuhan oleh masyarakat perlu diperkuat dengan sanksi hukum yang tegas. Pandangan mengenai Pilpres langsung tidak sesuai dengan prinsip permusyawaratan dan perwakilan: Permusyawaratan dapat dimaknai dalam dua hal, yakni musyawarah dan pemungutan suara. Hal ini hanya permasalahan tafsir saja. Prinsip permusyawaran dan perwakilan juga pada dasarnya tidak mengikat karena terletak dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Justru amanat amandemen konstitusi untuk melaksanakan Pilpres secara langsung lebih memiliki legitimasi yang kuat. Apabila ada kalangan yang tetap bersikukuh untuk mengembalikan Pilpres ke model sebelumnya, maka hal tersebut akan berdampak pada kembalinya Indonesia ke era orde baru. Ada yang berpandangan bahwa Pemilu secara langsung justru memproduksi elit-elit yang melakukan praktik korupsi, kolusi, dan sebagainya. Namun demikian, hal itu juga terjadi pada Pemilu yang dilakukan secara tidak langsung. Permasalahannya bukan pada langsung atau tidak langsungnya Pemilu, melainkan partai politik harus mampu menghadirkan para calon, termasuk calon presiden, yang benar-benar bersih dan berkualitas. Tanggung jawab moral dan politiknya terletak pada partai politik sebagai instrumen penting demokrasi saat ini. Merujuk pada pemikiran para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles, demokrasi memang bukan sistem terbaik, melainkan politea yang mana pemimpin dipilih oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan dan kebijaksanaan khusus. Namun demikian, apabila ini hendak diterapkan di Indonesia, para elit politik yang duduk di MPR RI atau parlemen secara umum belum memiliki kapasitas untuk itu. Para elit yang duduk di parlemen bukanlah orang-orang yang terbaik untuk melakukan kewenangan tersebut. Pandangan mengenai Pemilu secara tidak langsung tidak sesuai dengan sistem presidensil: Dalam sistem presidensil, presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, bukan dipilih oleh dan bertanggung jawab terhadap legislatif. Esensi Pilpres dalam sistem presidensil adalah


4

kedaulatan rakyat dan makna kedaulatan rakyat itu sendiri adalah suara dan keinginan rakyat Presiden yang dipilih oleh MPR RI pada dasarnya menimbulkan pertanyaan. MPR RI saat ini seperti kehilangan relevansinya. Disarankan agar MPR RI hanya menjadi joint session saja antara DPR RI dan DPD RI seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Hal ini dapat membantu terjadinya penghematan anggaran negara (tidak perlu ada sekretariat, mobil dan rumah dinas, serta biaya untuk pegawai dan staf). Demikian pula halnya dengan status DPD RI. Apabila DPD RI tugas pokok dan fungsinya tidak diperkuat, maka lebih baik untuk dibubarkan saja. Pandangan mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur untuk memetakan kualitas dan efektivitas penerapan demokrasi di Indonesia: Dibutuhkan evaluasi atas alat ukur tersebut. Terkadang alat ukur yang dikembangkan di Indonesia berbeda dengan alat ukur yang digunakan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Ada contoh menarik untuk hal ini, yakni tingkat kemiskinan yang disampaikan oleh BPS RI kerap berbeda dengan laporan kemiskinan di Indonesia yang disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional. Perbedaan seperti ini harus dipelajari agar menjadi masukan bagi pengembangan alat ukur yang digunakan oleh Indonesia itu sendiri. Selain itu, validitas dari alat ukur ini perlu ditelaah lebih lanjut dari metodologi yang digunakan. Hal yang harus digarisbawahi adalah jangan sampai alat ukur seperti ini hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan saja bagi pemerintah. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai dalam mewujudkan penguatan pada aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi yang menjadi variabel kunci dalam IDI: Ketiga variabel yang ada memiliki urgensi masing-masing dan tidak bisa dibedakan. Ketiga variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan kedua model Pilpres. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai apabila peningkatan kualitas demokrasi diletakkan sebagai objektif utama dalam pelaksanaan Pilpres dan strategi yang bisa dijalankan untuk mereduksi implikasi negatif dari model Pilpres tersebut: Yang paling sesuai adalah Pilpres langsung dengan rakyat sebagai pemilih. Alasannya adalah Pilpres langsung bersifat lebih demokratis, memiliki legitimasi yang kuat, serta mendorong partisipasi publik untuk menggunakan hak-hak politiknya. Tidak ada istilah membeli kucing dalam karung jika Pilpres secara langsung digelar. Hanya saja ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam mekanisme Pilpres secara langsung ini. Partai politik kerap melakukan fait accompli terhadap masyarakat dengan menyodorkan calon yang tidak kompeten dan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Sebagai solusinya, disarankan kepada partai politik untuk melakukan Pemilu pendahuluan untuk memilih calon terbaik yang akan diusung, sekaligus promosi kepada masyarakat untuk calon tersebut. Mekanisme Pemilu pendahuluan atau yang lazim disebut konvensi ini berguna untuk memilih kandidat terbaik, serta sebagai sarana untuk meminta saran, masukan, serta dukungan dari masyarakat. Pada masa lalu, hal ini pernah diterapkan Golkar dan Partai Demokrat untuk memilih calon yang akan diusung dalam Pilpres. Sedangkan untuk memitigasi dampak negatif dalam penyelenggaraan Pilpres langsung seperti polarisasi dalam masyarakat, maraknya hoaks,


5

ujaran kebencian, kampanye hitam, serta menguatnya politik identitas, maka hal tersebut harus dimasukkan ke dalam regulasi atau peraturan perundang-undangan untuk diatur lebih lanjut pelarangannya, lengkap dengan sanksi yang dijatuhkan apabila dilakukan oleh calon presiden dan pendukungnya. Terakhir, tidak ada batasan jumlah calon yang diusung, sehingga kandidat presiden dan wakil presiden akan lebih banyak dan rakyat memiliki pilihan yang beragam. Rakyat juga akan terhindar dari polarisasi dan perpecahan sebagai konsekuensi pelaksanaan Pilpres.

*****


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.