Hasil Wawancara dengan Titi Anggraini - Direktur Eksekutif Perludem

Page 1

1

Narasumber

: Titi Anggraini, S.H., M.H.

Jabatan

: Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi

Kepakaran

: Hukum tata negara, konstitusi, pemilihan umum, dan demokrasi

Waktu Wawancara

: Jumat, 14 Agustus 2020 / Pukul 16.30 s.d. 17.35 WIB

Media Wawancara

: Zoom Meeting

Hasil Wawancara: Pandangan mengenai demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi Indonesia dan model demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan: Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang lazim dipahami sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), ada dua faktor utama dalam demokrasi yakni popular control atau kendali dari rakyat dan political equality atau kesetaraan politik. Artinya, bagaimana kendali yang dipegang oleh rakyat tersebut dijalankan dengan kesetaraan politik. Kesetaraan politik meliputi hak untuk memilih dan dipilih. Pemilu bukan satu-satunya instrumen demokrasi, akan tetapi ada komponen-komponen lainnya yang menyusun. Demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah demokrasi konstitusional, yakni kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan konstitusi dalam bingkai negara hukum. Berbicara mengenai sistem Pemilu yang paling cocok di Indonesia, yang perlu dipahami adalah sedikitnya ada tiga macam Pemilu yang dijalankan di Indonesia, yakni Pemilu legislatif, presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Jika kita hendak mencari sistem Pemilu yang paling cocok buat Indonesia, maka kita harus pahami bahwa Indonesia adalah negara yang beragam. Oleh sebab itu, penting untuk merumuskan sebuah sistem Pemilu yang mampu mewadahi keberagaman tersebut. Selain itu, prinsip kedaulatan rakyat harus bisa diimplementasikan dalam praktik demokrasi, baik dalam sistem politik, sistem pemerintahan, sistem perwakilan, maupun sistem Pemilu yang dijalankan. Prinsip kedaulatan rakyat yang dijalankan dalam praktik demokrasi yang baik, diharapkan dapat berkontribusi pada terciptanya pemerintahan yang juga baik dam efektif. Pandangan mengenai Pemilu sebagai salah satu perwujudan prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: Komponen sistem Pemilu itu terdiri atas beberapa variabel. Ada variabel yang secara langsung berpengaruh terhadap perolehan kursi, ada juga variabel yang secara tidak langsung berpengaruh. Beberapa variabel dari sistem Pemilu itu antara lain metode pencalonan, metode pemberian suara, formula konversi suara menjadi kursi, ambang batas, serta jadwal pelaksanaan Pemilu. Pemilu tidak hanya soal metode pemberian suara, apakah satu putaran atau dua putaran, tapi juga tersusun oleh banyak variabel. Di Indonesia, Pilpres menganut sistem Pemilu mayoritas atau sistem Pemilu dua putaran. Hal ini diamanatkan secara tegas


2

dalam konstitusi. Artinya, partai politik harus memiliki suara 50 persen plus 1 untuk dapat menentukan calon terpilih atau pemenang dalam Pilpres yang dilaksanakan. Perludem sendiri mendorong untuk diterapkannya Pemilu yang memperhatikan penjadwalan, yakni Pemilu serentak nasional dan Pemilu serentak daerah. Dalam konteks penjadwalan Pemilu secara serentak ini, maka mekanisme yang paling cocok adalah Pemilu dengan sistem plural dan satu putaran. Hal ini dapat dijalankan dengan catatan ambang batas pencalonan dihapuskan. Dengan demikian, semua partai politik peserta Pemilu dapat mencalonkan kandidatnya untuk berkontestasi dalam Pilpres. Jika dibuat skema satu putaran dan bukan dua putaran seperti yang diberlakukan konstitusi saat ini, maka partai politik akan benar-benar berhitung dengan sangat strategis jika hendak memaksa mengusung kadernya sendiri dan tidak bergabung dalam koalisi dengan partai lain. Mereka akan berfikir dua kali jika hendak mengusung calonnya yang tidak populer di masyarakat dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan insentif politik jika tidak berkoalisi dengan partai lain. Seperti kita ketahui, selama ini partai politik bergabung dalam sebuah koalisi dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden dengan harapan untuk mendapatkan insentif politik seperti jabatan menteri dalam kabinet dan sebagainya. Oleh sebab itu, agar tercipta Pemilu yang efektif, maka dibutuhkan amandemen konstitusi untuk merubah sistem Pemilu mayoritas dua putaran menjadi sistem Pemilu plural satu putaran. Hal ini diikuti dengan pemberlakukan pengahapusan ambang batas pencalonan agar Pemilu yang dijalankan berjalan efektif. Pandangan mengenai definisi konseptual antara Pilpres secara langsung (dipilih langsung oleh rakyat) dan tidak langsung (dipilih oleh MPR RI): Sejak berjalannya reformasi politik pada 1998, kita seharusnya bergerak maju dan melangkah ke depan. Wacana untuk mengembalikan Pilpres dari mekanisme langsung menjadi tidak langsung menjadi kurang relevan apabila kita memperhatikan fakta bahwa pelaksanaan Pilpres langsung dibandingkan dengan dua Pemilu lainnya (Pileg dan Pilkada) relatif tidak menimbulkan banyak masalah, khususnya dalam konteks mekanisme penyelenggaraannya. Hal ini dikarenakan proses pemilihannya lebih simpel dan kompetisinya lebih mudah diawasi. Jika Pilpres dikelola dengan baik, maka potensi konflik akar rumput tidak akan terjadi. Mengapa konflik akar rumput atau polarisasi di masyarakat terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, hal ini disebabkan oleh pemberlakuan ambang batas pencalonan kandidat pada Pilpres. Pemberlakuan ambang batas tersebut tidak cocok dengan keberagaman yang melekat pada Indonesia. Secara singkat, saya hendak mengatakan bahwa munculnya polarisasi tersebut disebabkan oleh kebijakan dan narasi yang bersifat membelah yang diciptakan oleh para elit. Yang terjadi adalah adanya kecenderungan para elit untuk melakukan pendekatan yang tidak cocok dengan keberagaman masyarakat Indonesia dengan membatasi pilihan politik masyarakat dalam Pilpres. Yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat sistem Pilpres secara langsung dengan pilihan-pilihan variabel sistem Pemilu yang lebih baik lagi, demokratisasi pencalonan di partai politik, penegakan hukum yang efektif, serta fungsionalisasi pendidikan politik yang dijalankan oleh partai politik kepada masyarakat dan kadernya. Pelaksanaan Pilpres secara tidak langsung hanya akan menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat akibat adanya disparitas antara pilihan dari elit atau partai politik dengan ekspektasi dan pilihan dari masyarakat. Kata kunci yang harus dipegang adalah perbaikan tata


3

kelola Pilpres secara langsung dengan memperbaiki sistem pencalonan yang dilakukan oleh partai politik. Partai politik sudah seyogianya memajukan calon-calon dengan kemampuan terbaik, serta sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pandangan mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur untuk memetakan kualitas dan efektivitas penerapan demokrasi di Indonesia: IDI yang ada hari ini sudah cukup komprehensif karena menggunakan banyak komponen. Selain IDI, ada juga indeks-indeks lainnya yang dirilis oleh lembaga asing seperti Fredom House, EIU, dan juga Global State of Democracy Index. Hanya saja dalam IDI ada komponen perlindungan hak pilih, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Yang harus dipikirkan adalah fakta bahwa setiap tahun tidak ada aktivitas elektoral. Oleh sebab itu, IDI yang disusun setiap tahun harus menjadikan kondisi tersebut sebagai pertimbangan dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian. IDI disusun dengan sangat ilmiah, akademis, melibatkan para pakar, dan menggunakan variabel yang jelas, sehingga menurut saya IDI ini sudah sangat baik dan perlu dilanjutkan secara terus-menerus. Jika merujuk pada hasil IDI, ada dua lembaga yang memiliki skor yang buruk, yakni partai politik dan DPRD. Catatan yang hendak saya berikan adalah jangan sampai IDI ini hanya sekedar menjadi angka-angka. Skor yang diberikan oleh IDI sudah seharusnya dijadikan sebagai panduan dan komitmen bagi para pemangku kepentingan, termasuk juga kepala daerah untuk mengevaluasi skor IDI, sehingga bisa ditindaklanjuti melalui aksi-aksi yang dapat memperkuat demokrasi di daerah. Yang menjadi tugas para kepala daerah adalah bagaimana mewujudkan rasa kepemilikan terhadap IDI tersebut dan kemauan untuk menindaklanjuti hasil yang diberikan oleh IDI, sehingga muncul komitmen dari pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal. Jika IDI betul-betul disusun secara konsisten pada metodologi, dikerjakan secara terbuka, transparan, akuntabel, serta objektif, maka IDI dapat dijadikan sebagai instrumen alat ukur publik. Jika semua syarat tersebut dipenuhi, maka IDI dapat dijadikan sebagai alat legitimasi bagi pemerintah dalam pelaksanaan demokrasi yang dikembangkan. Sebaliknya, jika syaratsyarat tersebut tidak terpenuhi, maka masyarakat akan mengetahui dan bisa membandingbandingkan dengan indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga lainnya seperti EIU dan Gobal State of Democracy Index. Jika diketemukan adanya syarat yang tidak dipenuhi, seperti tidak transparan dan tidak akuntabel, maka sulit mengharapkan kepercayaan masyarakat akan hasil yang dikeluarkan oleh IDI mengenai penerapan demokrasi di Indonesia. Bagaimana anda melihat ekses negatif yang ditimbulkan oleh Pilpres secara langsung seperti oligarki partai politik, politik berbiaya tinggi untuk kandidasi dalam Pemilu, polarisasi dan pembelahan di masyarakat, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, dan sebagainya? Polarisasi di masyarakat pada Pemilu disebabkan oleh kebijakan para elit. Ada temuan menarik dari Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Indikator, bahwa pada Pemilu 2019, politik uang mengalami penurunan sebagai konsekuensi polarisasi di masyarakat yang mana masyarakat sudah memiliki pilihan politiknya masing-masing. Yang bisa kita pelajari dari studi tersebut adalah masyarakat Indonesia pada dasarnya bisa


4

diajak untuk memiliki loyalitas politik dan tidak mempan dengan praktik politik uang yang dijalankan oleh calon dan partai politik. Yang menjadi pekerjaan rumah ke depan adalah bagaimana membuat loyalitas politik tersebut menjadi rasional, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang sifatnya melanggar hukum. Pada dasarnya masyarakat Indonesia sangat mudah digerakkan dan terlibat pada proses dan aktivitas demokrasi. Hanya saja yang mencederai situasi yang sudah baik ini adalah tindakan para elit yang membatasi pilihan politik masyarakat melalui kebijakan ambang batas pencalonan presiden. Jika ini direspons melalui kebijakan Pilpres tidak langsung, maka akan tercipta disparitas yang semakin lebar antara logika elit dengan logika publik. Polarisasi yang terjadi di masyarakat yang berdampak pada pembelahan politik yang sangat luar biasa, jangan hanya dilihat dari sisi hilirnya saja, tapi perlu dilihat juga dari sisi hulunya, yakni regulasi dan proses yang diciptakan oleh para elit. Jika dalam kondisi Pilpres secara langsung saja elit berani bertindak sedemikian, maka jika Pilpres secara tidak langsung diterapkan, maka rakyat akan semakin ditinggalkan. Pilpres 2019 harus dimaknai sebagai suatu refleksi bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya mau untuk terlibat dalam proses demokrasi. Akan tetapi, kebijakan yang dibuat oleh para elit membuat iktikad untuk terlibat tersebut terlihat tidak positif karena adanya pemaksaan kehendak elit melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pilpres secara langsung hari ini dari sisi teknis merupakan jenis Pemilu yang paling aman dibandingkan dengan Pileg dan Pilkada. Secara prosedural hampir tidak ada masalah. Namun demikian, memang masih ada hal-hal yang harus dibenahi. Tetapi ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengembalikan mekanisme Pilpres ke model tidak langsung. Jika ini dilakukan, maka hegemoni elit akan semakin kuat dan membuat kesenjangan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan elit semakin lebar. Pilpres 2019 dapat menjadi pembelajaran betapa hegemoni elit benar-benar kuat. Sudah seharusnya fakta ini menjadi pembelajaran untuk tidak menempuh kembali mekanisme-mekanisme yang dapat memperkuat hegemoni elit tersebut. Pilpres tidak langsung berpotensi melahirkan ketidakpuasan di masyarakat dan dinamika politik negara akan cenderung menjadi tidak stabil. Ada fakta menarik lainnya yang perlu saya sampaikan. Pemerintah saat ini cenderung memaksakan gelaran Pilkada 2020 tetap berjalan di tengah situasi pandemi COVID-19. Argumentasi yang disampaikan oleh Mendagri RI, Jend Pol (Purn) Tito Karnavian, adalah bahwa Pilkada tersebut dapat menggerakkan ekonomi. Mengacu pada argumentasi tersebut, saya justru berkeyakinan bahwa jika Pilkada saja mampu menggerakkan perekonomian, apalagi Pilpres secara langsung yang skalanya jauh lebih besar. Pilpres secara langsung sudah pasti dapat menjadi pemicu dan penggerak perekonomian masyarakat di tengah situasi pandemi. Ekses negatif yang ditimbulkan dalam Pilpres seperti polarisasi di masyarakat, hoaks, kampanye hitam, dan sebagainya harus dilihat akarnya terlebih dahulu, yakni kebijakankebijakan yang dibuat oleh para elit. Perludem sudah dua kali pergi ke Mahkamah Konstitusi RI untuk menguji ambang batas pencalonan presiden. Di parlemen, tidak semua partai politik sepakat dengan penetapan ambang batas pencalonan presiden. Sedikitnya ada empat partai politik di parlemen yang menolak ambang batas tersebut pada rapat paripurna pengesahan UU No. 7 Tahun 2017. Segala ekses negatif merupakan implikasi dari kebijakan yang dipilih oleh para elit. Oligarki partai politik, menurut hemat saya, akan menjadi kuat apabila Pemilu yang dijalankan semakin jauh dari pelibatan partisipasi politik masyarakat dan juga terjadi pada


5

ruang sempit yang hanya ditentukan oleh segelintir orang. Hak masyarakat untuk menentukan seseorang calon terpilih atau tidak terpilih merupakan proses pada hilirnya saja, hulunya ada pada partai politik. Ketika partai politik memainkan peran elitis, maka yang dipilih oleh masyarakat adalah pilihan-pilihan sebagai artikulasi dari kebijakan yang dibuat oleh elit-elit di partai politik tersebut. Salah satu hal yang sering kita lakukan pasca 1998 adalah kita terlalu berorientasi mengevaluasi kedaulatan rakyat dengan menghubungkannya pada dampak buruk tadi. Tetapi kita tidak pernah serius mengevaluasi kinerja partai politik sebagai institusi demokrasi, baik dari peran kaderisasi yang mereka jalankan, rekrutmen politik yang masih ditentukan oleh segelintir orang, serta kebijakan-kebijakan yang tidak merefleksikan kehendak publik. Kita hanya melihat ekses negatif pada kesalahan rakyat dalam mengeksekusi haknya, akan tetapi tidak melihat hulunya yang mana partai politik sesungguhnya sangat berkuasa dalam menentukan kebijakan dalam kontestasi elektoral. Siapa yang dipilih oleh rakyat dan penegakan hukum model apa yang akan dijalankan. Yang harus dititikberatkan adalah bagaimana peran partai politik dalam pelaksanaan Pilpres secara langsung, apakah mereka sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam memihak pada demokrasi konstitusional yang hendak kita wujudkan secara bersama-sama. Kecederungan hari ini adalah dengan menempuh hal yang paling gampang saja, yakni menyalahkan masyarakat karena mereka berada pada posisi paling lemah dan tidak bisa membela diri, ketimbang elit yang jauh lebih kuat, memiliki akses pada kekuasaan, serta memiliki peran besar dalam menentukan kebijakan elektoral. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai apabila peningkatan kualitas demokrasi diletakkan sebagai objektif utama dalam pelaksanaan Pilpres dan strategi yang bisa dijalankan untuk mereduksi implikasi negatif dari model Pilpres tersebut: Kualitas demokrasi pada sebuah kompetisi seperti Pemilu ditentukan oleh banyak faktor. Yang pertama adalah aturan main, regulasi, atau kerangka hukum yang ditetapkan. Kedua, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya harus mencerminkan perilaku politik yang demokratis sejalan dengan kompetisi yang diharapkan berjalan jujur dan adil, terutama partai politik yang memiliki peran yang besar, khususnya demokratisasi politik yang mereka jalankan. Aktoraktor yang dimaksudkan di sini juga termasuk para penyelenggara Pemilu yang independen, serta para pemilih yang cerdas. Ketiga, penegakan hukum yang berkeadilan. Terakhir adalah budaya politik masyarakat yang betul-betul menciptakan kesadaran kolektif terhadap kebutuhan akan adilnya kompetisi elektoral yang langsung, umum, jujur, adil, dan demokratis. Oleh sebab itu, Pilpres langsung membutuhkan beberapa penguatan dalam implementasinya. Pertama, desain sistem. Desain sistem ini terdiri atas beberapa variabel. Salah satunya adalah penjadwalan Pemilu. Penjadwalan Pemilu yang dilakukan adalah penjadwalan yang dapat mendorong partai politik untuk selalu meningkatkan performanya di masyarakat. Jangan sampai partai politik hanya bekerja dalam lima tahun sekali. Dalam siklus Pemilu, masyarakat dapat memberikan reward dan punishment kepada partai politik (Pemilu partai politik). Dalam konteks ini, dalam pandangan Perludem, jadwal Pemilu serentak nasional yang mana presiden dipilih bersamaan dengan DPR RI dan DPD RI, serta dua setengah tahun kemudian Pemilu serentak daerah yang mana DPRD dipilih secara bersamaan dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah, ini akan lebih menopang partai politik untuk


6

dapat menjaga performanya. Hal ini disebabkan jika mereka berkinerja buruk di level nasional, masyarakat bisa memberikan punishment di Pemilu lokal. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang tidak puas dengan revisi terhadap UU KPK. Namun demikian, masyarakat tidak bisa mengevaluasi partai politik dalam waktu singkat karena masyarakat harus menunggu, suka tidak suka, pada lima tahun berikutnya, yakni 2024. Hal ini dapat dicegah apabila kita memiliki penjadwalan Pemilu yang mampu memaksa partai politik untuk terusmenerus meningkatkan performanya dan membuat kebijakan yang tidak meninggalkan publik. Pemilu serentak nasional dan daerah juga dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensil dan memperkuat efektivitas pemerintahan di daerah. Selain itu, kita juga perlu mengkaji sistem dua putaran yang kita anut saat ini. Sistem Pemilu serentak di daerah akan lebih kompatibel apabila dilangsungkan hanya satu putaran karena partai politik akan berfikir jangka panjang dalam mengusung calonnya, konsekuensi apa yang diterima jika mengusung calon sendiri dan konsekuensi apa yang diterima jika berkoalisi dengan partai politik lainnya. Untuk merubah sistem dua putaran menjadi satu putaran, diperlukan amandemen terhadap konstitusi, yakni Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945. Selain itu dibutuhkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden. Pemilu serentak secara nasional tidak relevan apabila menggunakan ambang batas pencalonan presiden, terlebih lagi apabila ini dirujukkan pada hasil Pemilu lima tahun sebelumnya. Ini seperti sistem presidensil rasa parlementer. Disebut demikian karena sesungguhnya sistem presidensil tidak pernah tergantung kepada parlemen. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, pencalonan presiden yang sangat tergantung pada kekuatan parlemen. Hal ini sangat kontradiktif dengan sistem presidensil. Penetapan ambang batas pencalonan presiden secara eksplisit menunjukkan bahwa pencalonan presiden sangat tergantung pada kepemilikan suara dan kursi di parlemen. Aspek penegakan hukum juga menjadi hal krusial lainnya yang harus kita perhatikan. Di samping itu, ada juga akuntabilitas dana kampanye. Di Indonesia, dana kampanye hanya menjadi isu yang sifatnya basa-basi saja. Saya katakan demikian karena banyak pihak yang menyebut bahwa Pemilu di Indonesia adalah politik biaya tinggi. Namun ketika dana kampanye dikonfirmasi, laporan dana kampanye para calon tidak menunjukkan adanya politik biaya tinggi. Artinya di sini terdapat missing link antara akuntabilitas dana dengan klaim-klaim mengenai biaya tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengaturan dana kampanye secara lebih baik di masa yang akan datang, serta penegakan hukum yang jauh lebih baik. Secara umum dibutuhkan perbaikan pada partai politik sebagai institusi demokrasi. Partai politik dewasa ini memegang peranan yang sangat besar, tidak hanya dalam skema Pemilu, tapi juga dalam penentuan jabatan publik melalui skema fit and proper test di parlemen. Jika partai politik bisa kita benahi, maka perdebatan antara sistem langsung dan tidak langsung tidak diperlukan lagi karena ini hanya merupakan hilirnya saja. Hulunya sudah selesai di partai politik. Salah satu usulan dari Perludem untuk memperbaiki partai politik adalah biaya yang diberikan negara kepada partai politik harus lebih besar sehingga dapat mengurangi oligarki partai politik. Diskursus mengenai Pilpres tidak terlepas dari diskursus mengenai partai politik. Membenahi Pilpres artinya membenahi partai politik. Yang ingin saya sampaikan adalah perbaikan sistem Pilpres tidak hanya memperhatikan mekanisme langsung dan tidak langsunya saja, tapi juga harus memperhatikan mekanisme penjadwalan Pemilu, demokratisasi pencalonan yang dilakukan oleh partai politik, pemberian suara, serta konversi suara ke kursi. Realitas hari ini, sebagai informasi, pencalonan yang dilakukan oleh partai politik hanya melibatkan elit saja, yakni ketua umum


7

dan sekretaris jenderal, sedangkan pengurus dan anggota lainnya ditinggalkan. Singkat kata, Pilpres apabila ditilik dari sisi prosedural maupun praktiknya, merupakan Pemilu yang relatif tidak terlalu bermasalah apabila dibandingkan dengan Pileg dan Pilkada yang jauh lebih kompleks. Terkait menguatnya ekses negatif pada Pilpres langsung 2014 dan 2019, bagi saya ekses negatif hanya menguat pada dua Pemilu itu saja, sedangkan Pilpres 2004 dan 2009 cenderung berlangsung aman-aman saja. Segala bentuk perselisihan politik antarcalon presiden dan wakil presiden bisa selesai dengan damai di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2009, Megawati Soekarnoputri yang kalah pada kompetisi pergi ke MK, ada riak, namun setelah diputuskan oleh MK semua konflik dan ketidakpuasan langsung selesai. Tambahan lainnya dari saya adalah, memang benar seperti yang anda sampaikan bahwa polarisasi menyumbang partisipasi politik publik yang tinggi pada 2019. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah masing-masing kandidat memiliki massanya masing-masing yang bisa dimobilisasi. Jati tidak sepenuhnya ditopang oleh polarisasi yang terjadi di masyarakat. Selain itu patut juga dicermati mengenai apa yang terjadi pada 2014 yang mana pada waktu itu gelaran Pileg dan Pilpres dilaksanakan secara terpisah. Hasilnya, partisipasi publik pada Pileg jauh lebih tinggi ketimbang partisipasi publik pada Pilpres. Artinya, tidak benar bahwa polarisasi pada Pilpres menjadi kontributor utama peningkatan partisipasi publik pada masyarakat. Sekedar tambahan, pada hemat saya, ada faktor lain yang menyumbang polarisasi, yakni aktivitas media sosial seperti banyaknya buzzer dari masing-masing calon. Yang menjadikan eksistensi buzzer tersebut kian kompleks dan bermasalah adalah ketiadaan regulasi yang mengatur mereka. Ini juga menjadi salah satu permasalahan yang harus kita sikapi ke depan.

*****


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.