1
Narasumber
: Yunarto Wijaya, S.I.P., M.M.
Jabatan
: Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Kepakaran
: Survei politik, partai politik, dan Pemilu (Pilpres, Pilkada, Pileg)
Waktu Wawancara
: Kamis, 12 Agustus 2020 / Pukul 10.30 s.d. 11.51 WIB
Media Wawancara
: Zoom Meeting
Hasil Wawancara: Pandangan mengenai demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi Indonesia dan model demokrasi yang paling sesuai untuk diterapkan: Demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi melalui sebuah proses evolusi sejarah dalam politik modern. Pertentangan ideologi dan pertarungan kekuasaan menjadi variabel yang paling mempengaruhi sistem politik yang paling demokatis, termasuk ketika kita membahas mengenai sistem pemerintahan, presidensial atau palementer. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Hal ini merupakan ide yang dimunculkan oleh para pendiri bangsa untuk menciptakan sesuatu hal yang berbeda. Demokrasi Pancasila juga merupakan bentuk respons terhadap pertarungan ideologi atau kekuasaan pada masa lalu yang mana ideologi liberalisme kapitalisme berhadap-hadapan dengan ideologi komunisme. Soekarno sebagai bapak bangsa membedakan ideologi Pancasila dengan ideologi lain karena ideologi Pancasila merupakan ideologi yang digali langsung dari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Saya memiliki sudut pandang yang sedikit berbeda dengan beberapa kalangan yang menganggap bahwa demokrasi Pancasila merupakan bentuk demokrasi tak langsung. Demokrasi tak langsung di sini maksudnya adalah demokrasi perwakilan. Dasar yang sering digunakan adalah sila keempat Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan�. Demokrasi perwakilan tidak bisa serta-merta mengikutkan masyarakat pada pemilihan umum karena pada dasarnya demokrasi sendiri sudah bermakna perwakilan. Demokrasi Pancasila sudah merupakan harga mati bagi bangsa Indonesia, namun demikian, kita hendaknya harus berhati-hati dalam menafsirkannya. Dalam konteks pemilihan umum, dalam pandangan saya, konsepsi pemilihan umum secara langsung merupakan bentuk yang paling sesuai dengan demokrasi Pancasila yang kita anut. Pandangan mengenai sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia sebagai negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi: Berbicara mengenai sistem pesidensial atau sistem parlementer pada dasarnya merupakan sebuah pilihan. Sistem yang dianut merupakan konsekuensi dari pilihan yang diambil. Menurut saya, pilihan mengenai sistem pemerintahan hendaknya harus mengacu pada ideologi yang kita anut, yakni Pancasila, termasuk penerapannya sebagai demokrasi Pancasila. Sistem presidensial merupakan sistem yang menerapkan mekanisme divided government. Dikaitkan
2
dengan pemilihan umum, dalam sistem presidensial, rakyat akan memilih dua lembaga sekaligus, yakni memilih wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif secara langsung, dan juga memilih kandidat untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, rakyat hanya akan memilih dalam pemilihan umum legislatif, dan partai politik pemenang pemilihan umumlah yang akan memilih kepala pemerintahan. Dalam sistem parlementer tidak ada centralized government atau pemerintahan yang terpusat karena lahirnya pemerintahan berasal dari rahim parlemen. Sistem parlementer menganut tradisi sistem partai kuat, sedangkan sistem presidensial menganut tradisi sistem partai lemah. Negara Indonesia memiliki banyak variabel seperti jumlah penduduk yang besar, jumlah etnis yang sangat banyak, tersebar dan terpecah-pecah di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan instabilitas politik. Berbeda dengan negara-negara lain yang lebih kecil, yang cenderung monolitik, dan tidak terpisah-pisah secara geogafis. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa sistem presidensial yang kita pilih, bukan sistem parlementer. Sistem presidensial dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling realistis. Namun secara pribadi saya tidak mengatakan sistem presidensial merupakan sistem yang terbaik. Selain itu, sistem presidensial lebih memberikan jaminan bagi keberlangsungan pemerintahan dalam periode waktu tertentu. Dalam sistem presidensial, parlemen tidak bisa membubarkan pemerintah. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer yang mana kabinet dapat sewaktuwaktu dibubarkan oleh parlemen, kemudian dibentuk kabinet dan dipilih perdana menteri yang baru. Penyebabnya adalah pemerintah berasal dari rahim partai politik di parlemen. Sistem presidensial adalah sistem yang terbaik, meskipun sistem presidensial yang kita anut masih merupakan sistem presidensial setengah hati karena masih dibayang-bayangi oleh kekuatan partai politik atau parlemen. Ini merupakan residu dari sistem yang dibuat Presiden Soeharto pada masa lalu. Pada masa lalu presiden dipilih oleh MPR yang terdiri atas partai politik, utusan daerah, serta utusan golongan. Sebagai akibatnya presiden bertanggung jawab terhadap parlemen. Seperti yang saya sampaikan bahwa sistem presidensial menganut prinsip divided government. Melalui prinsip pemerintahan yang terbagi tersebut, berjalanlah apa yang dinamakan sebagai check and balances system. Berbeda dengan sistem parlementer. Pada sistem parlementer, cenderung tidak terjadi perdebatan yang konstruktif dan adanya pertarungan ide. Tidak ada mekanisme check and balances yang berlangsung. Pertanyaannya pada sistem presidensial hari ini adalah adanya kecenderungan untuk membuat semua kekuatan partai politik di parlemen mendukung pemerintah, sehingga esensi perdebatan yang konstruktif dan check and balances yang diharapkan terwujud menjadi tidak berjalan. Memang harus diakui bahwa salah satu kendala pada harapan terwujudnya sistem presidensial yang kuat adalah kemungkinan terjadinya presiden yang terbelenggu karena kebijakan yang ditempuh oleh presiden belum tentu disetujui oleh kekuatan partai politik di parlemen yang dipenuhi oleh partai-partai politik yang bukan mengusung presiden dalam Pemilu. Ada baiknya kita menengok penerapan sistem presidensial di Amerika Serikat. Di sana terdapat dua kekuatan yang menjalankan fungsi legislatif, yakni kongres dan senat. Meskipun keduanya menjalankan fungsi check and balances, namun keduanya ditempatkan pada strata yang berbeda. Senat berkuasa selama enam tahun, presiden lima tahun, kongres dua tahun. Pertama, hal itu merupakan implementasi dari prinsip divided government. Dengan pengaturan sedemikian, jangan heran ketika presiden
3
masih menjabat sedangkan partai politik yang berkuasa di parlemen telah berganti dari partai politik yang mendukungnya digantikan oleh partai politik oposisi. Kedua, terdapat hal yang menarik dalam proses perumusan undang-undang di Amerika Serikat. Rancangan undangundang diserahkan terlebih dahulu kepada kongres yang merupakan representasi partai politik. Di sana terjadi pertarungan ide antar-partai politik. Setelah dihasilkan putusan sebagai hasil kontestasi pemikiran di kongres, hasilnya harus di lempar ke majelis tinggi atau senat. Proses yang berjalan tentu berbeda. Yang terjadi bukanlah pertarungan ide, melainkan pertarungan empiris yang mana senat memainkan peran sebagai perwakilan dari masing-masing daerah atau negara bagian. Yang dilihat adalah apakah hasil tersebut sesuai dengan kebutuhan masingmasing negara bagian atau tidak. Setelah melalui pertarungan empiris di senat dan menghasilkan putusan, baru hasil tersebut diserahkan kepada presiden. Yang menjadi menarik adalah ketika senat memutuskan untuk menolak. Terkait penolakan tersebut, presiden memiliki hak veto terhadap keputusan yang dibuat majelis rendah atau majelis tinggi. Pada kondisi seperti ini, yang hendak saya katakan adalah presiden menjadi tidak terbelenggu oleh kekuatan partai politik di parlemen. Inilah model yang seharusnya coba kita kaji dan mungkin kita terapkan untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Hal ini jauh lebih esensial ketimbang proses yang berlaku di Indonesia hari ini di mana kandidasi presiden dibatasi oleh presidential threshold dan proses-proses lainnya. Pandangan mengenai definisi konseptual antara Pilpres secara langsung (dipilih langsung oleh rakyat) dan tidak langsung (dipilih oleh MPR RI): Pilpres secara langsung maupun tidak langsung pada dasarnya merupakan turunan saja dari sistem pemerintahan yang kita pilih, apakah presidensial atau parlementer. Terkait hal tersebut, kita sepakat untuk memilih sistem presidensial. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa kunci dalam sistem presidensial adalah divided government. Untuk mewujudkan pemerintahan yang terbagi tersebut, harus dipastikan bahwa lembaga-lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama. Mekanisme yang dapat ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui pemilihan umum secara terpisah, yakni pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil mereka di parlemen, serta memilih wakil mereka sebagai presiden dan wakil presiden. Wakilwakil yang duduk di parlemen memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan terhadap presiden. Inilah yang menjadi makna penting dalam sistem presidensial, bahwa pemerintah berdiri sendiri dan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Pemerintah memiliki kontrak politik secara langsung kepada rakyat. Pemerintah juga memiliki jaminan dan kepastian untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam periode waktu tertentu yang dijamin dalam sistem pemilihan umum. Perbedaan dengan pilpres secara tidak langsung atau mekanisme yang mana presiden dan wakil presiden dipilih oleh parlemen adalah presiden bertanggung jawab terhadap parlemen yang berisikan representasi partai politik. Akibatnya presiden dapat setiap saat dipecat oleh parlemen. Inilah yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto pada masa orde baru dan Gus Dur pada masa reformasi. Bagi saya pribadi, apa yang terjadi pada Gus Dur adalah sebuah kesalahan sejarah tata negara. Ini bukan sekedar kesalahan atau cacat pertarungan politik dan koalisi saja, tapi lebih merupakan kesalahan tata negara. Namun apabila hendak disebut cacat sepenuhnya, tentu saja tidak benar karena yang menjatuhkan Gus Dur adalah MPR RI yang memiliki legitimasi pada waktu itu. Saya juga
4
secara pribadi menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Hal ini akan mengacaukan sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, pemilihan eksekutif secara langsung tidak hanya dijalankan pada level nasional saja, tapi juga harus dijalankan di level daerah. Jika kepala daerah dipilih oleh parlemen daerah, maka fondasi utama sistem presidensial akan roboh. Filosofi dasar dalam pemerintahan terpusat yang dianut oleh sistem presidensial akan roboh karena akan banyak tercipta komplikasi-komplikasi dalam impelemntasinya. Oleh sebab itu. pemilihan presiden secara langsung sudah seharusnya sejalan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung di level daerah. Pandangan mengenai Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur untuk memetakan kualitas dan efektivitas penerapan demokrasi di Indonesia: Saya pikir perumusan model ukur seperti ini akan sangat membantu, meskipun sosialisasi indikator yang ada pada IDI ini pada hemat saya belum berjalan secara optimal. Saya yakin bahwa masih banyak penyelenggara pemerintahan dan kepala daerah yang belum sepenuhnya memahami IDI dan memperhatikan indikator-indikator dalam IDI tersebut ketika menjalankan tugas pemerintahan yang mereka emban. Mereka kadang lebih terfokus pada penyematan status kepada Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dan damai, serta mampu menjalankan pemilihan umum secara one man one vote dalam pemilihan umum secara langsung. Namun demikian, yang menjadi persoalan mendasar adalah bukan hanya dalam konteks kebebasan berpendapat, pemilihan umum yang berlangsung demokratis, kebebasan pers, berkembangnya partai politik, dan juga transparansi dari partai dan aktor-aktor politik lainnya. Akan tetapi halhal yang paling mendasar yang membuat demokrasi kita menjadi tidak berkualitas adalah bagaimana karakter partai politik sebagai pilar utama demokrasi yang masih cenderung bebentuk dinasti yang ditandai oleh sentralisasi kekuasaan dan dominasi sosok dari keluarga tertentu. Pemilihan kandidat baik untuk pemilihan umum presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif sangat ditentukan oleh para elit partai politik. Efeknya kemudian berpengaruh terhadap rekrutmen dan kaderisasi yang dijalankan oleh partai politik. Akibatnya masyarakat hanya ditempatkan sebagai aktor di level hilir saja yang hanya menerima saja pilihan yang ditetapkan oleh partai politik untuk dipilih atau tidak dipilih di bilik suara. Akan tetapi dalam hal rekrutmen dan penetapan bakal calon, masyarakat tidak dilibatkan. Hal ini berbeda dengan negara-negara maju lainnya yang sudah matang secara politik. Masyarakat dilibatkan dalam hal rekrutmen dan seleksi, baik melalui mekanisme konvensi, pemilihan umum pendahuluan, dan keterbukaan informasi yang bisa dilaporkan ke masyarakat. Inilah yang menjadi catatan bagi bangsa Indonesia jika hendak mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Apa yang terjadi saat ini hanya kosmetik politik saja. Reformasi sistem politik di Indonesia relatif berlangsung sangat cepat, sedangkan reformasi partai politik berjalan dengan sangat lambat. Padahal seperti kita ketahui bahwa aktor utama yang akan mengisi sistem politik dan sistem pemerintahan yang baru tersebut adalah partai politik. Gap besar inilah yang membuat demokrasi Indonesia hari ini cenderung baik-baik saja, aman-aman saja, karena menggunakan prosedur secara baik. Akan tetapi prosedur yang dijalankan secara baik tersebut tidak sejalan dengan lahirnya pemimpin yang berkualitas.
5
Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai dalam mewujudkan penguatan pada aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi yang menjadi variabel kunci dalam IDI: Bagi saya sederhana, ketika masalah utamanya ada pada partai politik, bagaimana mungkin kita menyerahkan amanat rakyat dalam sistem pemerintahan presidensial kepada partai politik yang dapat disebut sebagai aktor terlemah. Hal ini akan membuat tingkat kesalahan yang dibuat partai politik menjadi berjenjang dan dua kali lipat. Pertama, kesalahan yang harus ditanggung dalam konteks tata negara dan divided government. Kedua, kita menyerahkan mandat rakyat kepada partai politik yang menjadi sumber masalah. Oleh sebab itu, apabila kita menjatuhkan pemilihan umum presiden kepada parlemen yang disusun oleh kekuatan partai politik, berarti kita melegalkan oligarki yang tidak berkualitas. Inilah yang saya sebut sebagai kesalahan berjenjang. Sudah terjadi oligarki politik, terjadi juga proses yang tidak berkualitas. Apakah Pilpres secara langsung yang sudah berjalan sejak 2004 hingga 2019 sudah sesuai dengan amanat reformasi politik 1998 dan amanat amandemen konstitusi pada 2001? Pertama, secara prosedural munculnya putra-putri terbaik dalam pemilihan umum seharusnya sudah melalui proses terlebih dahulu yang dijalankan di masyarakat. Kita bisa mencontoh model yang dijalankan di Amerika Serikat, di mana dilakukan semacam konvensi dan pemilihan umum pendahuluan. Yang saya maksudkan adalah adanya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan dan segenap kader, pendukung, relawan, atau simpatisan partai politik bahu-membahu memilih calon-calon terbaik untuk dimajukan dalam sebuah kontestasi dan kandidasi politik yang bernama pemilihan umum. Jangan sampai calon yang diajukan bermasalah atau masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk memilih dari bakal calon menjadi calon. Inilah hal prosedural yang harus dipenuhi. Selain itu, masih dalam kerangka prosedural, secara ideal dalam sistem presidensial, pada dasarnya tidak dibutuhkan apa yang dinamakan sebagai presidential threshold atau ambang batas yang harus dipenuhi agar seseorang bisa diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden oleh partai politilk. Hal ini dikarenakan konsep utama ambang batas tersebut adalah pembelengguan para calon sejak dini kepada partai politik yang membuat ia lolos dan memenuhi syarat. Sehingga pada saat ia sudah menjadi calon, sudah ada negosiasi dengan partai politik tersebut mengenai siapa yang menjadi menteri, komisaris BUMN, dan sebagainya. Akibatnya, siapapun yang menjadi presiden tidak memiliki keleluasaan. Selain itu, ada faktor yang secara substantif yang membuat pemilihan umum menjadi tidak sepenuhnya berkualitas. Yang masih berlangsung dari dulu hingga saat ini adalah pemilihan umum yang bergantung pada mekanisme pemberian, serta kampanyekampanye yang bersifat pragmatis. Masyarakat masih tergantung pada pemberian seperti ada tidaknya sembako yang disediakan oleh para calon, termasuk juga money politic. Dalam dua Pilpres terakhir, pada skala tertentu, politik identitas memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan rasionalitas pemilih dalam memilih kandidat yang memiliki programprogram yang bagus apabila mereka terpilih. Hal-hal secara prosedural dan substansial itulah yang menyebabkan mengapa dalam dua Pilpres terakhir, kualitas pemilihan umum Indonesia cenderung turun atau bisa dikatakan kurang baik.
6
Bagaimana anda melihat ekses negatif yang ditimbulkan oleh Pilpres secara langsung seperti oligarki partai politik, politik berbiaya tinggi untuk kandidasi dalam Pemilu, polarisasi dan pembelahan di masyarakat, maraknya hoaks dan ujaran kebencian, dan sebagainya? Berbagai ekses negatif tersebut tidak sepenuhnya ada pada presidential threshold, meskipun penetapan ambang batas presiden tersebut juga menyumbang pada munculnya ekses-ekses negatif dalam Pilpres secara langsung. Permasalahan utamanya ada pada partai politik. Dalam konteks ambang batas presiden, yang dikehendaki oleh partai politik adalah adanya kontrak politik antara presiden dengan partai-partai politik dalam menjalankan lima tahun pemerintahannya. Munculnya dua calon saja dalam Pilpres secara langsung pada 2014 dan 2019 tidak sepenuhnya disebabkan oleh penetapan ambang batas presiden, tapi lebih disebabkan oleh pertarungan strategi para calon presiden dalam kandidasi tersebut. Polarisasi yang terjadi di masyarakat merupakan konsekuensi yang harus ditanggung dalam pemilihan umum secara langsung. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai basis argumentasi untuk menyatakan bahwa Pilpres secara langsung adalah sesuatu yang haram untuk dijalankan. Ada kekhawatiran dari saya bahwa keinginan untuk menciptakan pemilihan umum yang damai dan tidak terjadi polarisasi akan membawa kita pada sistem otoritarianisme di masa lampau yang cenderung tidak demokratis. Hal ini tentu sangat berbahaya. Hal ini sama saja dengan mengatakan bahwa perumusan regulasi pemilihan, pelaksanaan tugas dari aparatur pemilihan umum seperti KPU dan Bawaslu, termasuk juga proses penegakan hukum dalam pemilihan umum seakan angkat tangan dengan situasi dan kondisi yang ada. Misalnya dalam konteks politik identitas atau isu SARA, ada banyak pasal yang dapat dikenakan oleh aparatur pemilihan umum dan penegak hukum terhadap para pelanggar. Akan tetapi yang terjadi adalah para aktoraktor yang bermain aman dan cenderung mendiamkan. Hal ini menjadi semacam tradisi atau kebiasaan yang boleh dilakukan oleh masyarakat karena tidak ada ketegasan dari pemerintah, baik dalam konteks pembuatan peraturan maupun pemberlakuannya sendiri. Menurut saya, ekses negatif tersebut bukan pada mekanisme langsung atau tidak langsungnya. Pertanyaan saya, apakah jika Pilpres digelar secara tidak langsung maka isu-isu SARA tersebut akan hilang dengan sendirinya? Jawabannya tentu saja tidak. Isu SARA is just more than election. Bibit intoleransi itu sudah ada, demikian juga bibit-bibit ekstremisme sudah ada sejak dulu, terutama dalam sepuluh tahun terakhir perjalanan bangsa. Begitu juga dengan politik uang. Perubahan mekanisme Pilpres dari langsung menjadi tidak langsung hanya akan merubah politik uang dari pemberian pecahan lima puluh ribu dan seratus ribu rupiah menjadi pecahan dolar Singapura (baca: ratusan miliar atau triliunan rupiah). Hal ini dikarenakan para anggota parlemen menganggap bahwa diri mereka adalah representasi dari ratusan juta rakyat Indonesia. Tinggal dikalikan saja lima puluh ribu atau seratus ribu rupiah tersebut dengan jumlah penduduk Indonesia. Sebagai contoh, sebuah partai politik yang mewakili 9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 260 juta jiwa. Katakanlah 9 persen tersebut adalah 24 juta jiwa. 24 juta jiwa dikalikan dengan seratus ribu rupiah maka akan menjadi 240 miliar rupiah. Hal ini sangat berbahaya karena eksitensi partai politik di parlemen yang memilih presiden akan menjadi variabel pengali.
7
Saya harapkan jangan sampai kita menggunakan logika yang melompat-lompat dengan menjadikan berbagai ekses negatif yang ada pada Pilpres secara langsung untuk kembali kepada model Pilpres melalui MPR RI. Posisi kelembagaan MPR RI pada hari ini harus kita cermati. Yang berlaku di Amerika Serikat misalnya, bukanlah pelembagaan dalam bentuk MPR RI, melainkan hanya joint session saja antara majelis tinggi dan majelis rendah. Seperti yang saya sebutkan tadi bahwa masing-masing majelis memiliki keunikan sendiri meskipun sama-sama menjalankan fungsi legislasi. Hal ini berbeda dengan postur DPR RI sebagai kongres dan DPD RI sebagai senat di Indonesia. DPD RI cenderung memiliki otoritas yang terbatas, katakanlah tidak strategis. Fungsi MPR RI hari ini juga berbeda dengan MPR RI pada masa lampau. Kompleksitas di MPR RI jauh lebih lunak dibandingkan dengan kompleksitas di DPR RI. MPR RI hari ini cenderung menjalankan tugas-tugas kebangsaan seperti sosialisasi empat pilar dan sebagainya. Dalam MPR RI, partai-partai politik yang memperoleh kursi di parlemen semua diakomodasi dalam kursi pimpinan. Hal ini berbeda dengan DPR RI. Fragmentasi politik yang ada di MPR RI juga cenderung tidak menjadi sebuah polemik atau isu tersendiri seperti halnya yang berlaku di DPR RI. Hal inilah yang saya pikir bisa menjelaskan bagaimana pimpinan MPR RI bisa berlaku cenderung santai pada hari ini seperti Saudara Bambang Soesatyo yang bisa aktif di media sosial, makan bubur dengan tukang bubur, dan sebagainya. MPR RI cenderung menjadi tempat “kongkow-kongkow� bagi partai politik di parlemen. Dalam Pilpres langsung, masyarakat cenderung dijadikan objek pembodohan partai politik. Pilpres juga diterapkan dalam situasi Indonesia yang masih berada pada transisi demokrasi. Bagaimana pendapat anda? Saya cenderung tidak setuju dengan pernyataan bahwa masyarakat menjadi semakin bodoh dengan pelaksanaan Pilpres secara langsung. Jika harus memilih, bagi saya dengan pelaksanaan Pilpres secara langsung, dalam terminologi yang berbeda, masyarakat cenderung menjadi semakin pintar. Namun demikian, masyarakat Indonesia hari ini cenderung melihat sistem pemerintahan dan pemilihan umum sebagai sesuatu hal yang tidak berdiri dan ada bersama mereka. Dalam Pilpres langsung, masyarakat tidak lagi berada di dalam kotak hitam dan menjadi pintar hanya karena pendidikan yang diberikan oleh para elit politik. Di era sekarang, di media sosial khususnya, jangan heran jika ada masyarakat yang sangat kritis terhadap proses politik, peraturan perundang-undangan, dan rancangan undnag-undang. Tiba-tiba ada dokter yang sangat tidak paham akan politik, tetapi sangat kritis dan mampu mempreteli kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 yang kita hadapi saat ini. Jangan kaget juga jika tiba-tiba ada netizen yang mampu mengkritisi undang-undang hanya karena ia menempuh pendidikan di universitas negeri tanpa kita tahu namanya apakah pernah terdaftar sebagai anggota partai politik atau pernah menjadi aktivis. Partai politik dan pemerintah saat ini sedang berhadapan dengan masyarakat yang semakin pintar, akan tetapi menganggap politik itu sebagai sesuatu yang kotor. Dalam konteks Pilpres secara langsung, pertarungan untuk memperebutkan suara rakyat sejatinya telah terjadi di ruang-ruang baru, yakni sosial media, seperti Kompasiana, Kaskus, dan lainnya, bukan dalam pemilihan umum. Hal inilah yang menurut saya belum diukur dalam IDI yang memetakan penerapan demokrasi di Indonesia. Pernyataan bahwa rakyat semakin bodoh dan kita sedang dalam transisi demokrasi menurut saya hanyalah bahasa partai politik saja sebagai justifikasi. Lanjut pada masyarakat yang
8
semakin pintar tadi, dalam konteks pemilihan umum, masyarakat yang semakin pintar dan kritis ini akan membentuk tiga sikap politik. Pertama, masyarakat kritis yang memilih calon dengan hati-hati dengan mempertimbangkan rekam jejak dan visi-misi sang calon. Kedua, masyarakat yang bersifat apatis dengan tidak peduli pada proses politik dan siapapun kandidat yang bertarung dalam pemilihan umum, sehingga memutuskan untuk tidak memilih siapapun calon dalam pemilihan umum. Ketiga, masyarakat pragmatis yang beranggapan bahwa sistem politik yang berjalan adalah sistem yang buruk dengan kandidat yang juga kurang kompeten. Hanya saja bagi kelompok ketiga ini, mereka akan memilih jikalau ada insentif yang mereka peroleh seperti uang dan sebagainya. Yang harus digarisbawahi, masyarakat yang pragmatis ini bukan berarti masyarakat yang bodoh. Sekali lagi yang ingin saya sampaikan adalah Pilpres langsung merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem presidensial yang kita anut, meskipun memang harus diakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pekerjaan rumah tersebut adalah bagaimana merubah masyarakat kritis dan pintar namun pragmatis ini menjadi masyarakat yang rasional yang mampu mendalami isu-isu yang dijual oleh partai politik dan para calon dalam pemilihan umum. Pandangan mengenai model Pilpres yang paling sesuai apabila peningkatan kualitas demokrasi diletakkan sebagai objektif utama dalam pelaksanaan Pilpres dan strategi yang bisa dijalankan untuk mereduksi implikasi negatif dari model Pilpres tersebut: Pilihan saya jelas adalah pada Pilpres secara langsung karena sebagai turunan dari sistem presidensial yang kita anut. Pilpres secara tidak langsung bagi saya tidak rasional ditempuh karena lemahnya sistem kepartaian yang kita anut, sehingga tidak mungkin kita menyerahkan cek kosong tersebut kepada parrtai politik untuk memilih presiden dan wakil presiden. Ekses negatif seperti polarisasi dalam masyarakat pada level tertentu harus kita kurangi agar tidak mengganggu fundamental dalam negara dan proses politik yang berjalan dan terkonversi sebagai isu-isu SARA atau politik identitas seperti yang terjadi selama ini. Berbagai ekses negatif lainnya seperti kampanye hitam dan ujaran kebencian dapat ditanggulangi apabila kita konsisten melakukan penegakan hukum. Para penegak hukum dan penyelenggara pemilihan umum diharapkan menjadi wasit yang adil. Wasit bukan dalam konteks SARA atau politik identitas, melainkan wasit yang mampu menjaga dan menegakkan nilai-nilai yang sudah digariskan dalam konstitusi. Secara umum, ekses negatif dapat diminimalisir apabila pemilihan umum yang berlangsung adalam pemilihan umum yang berkualitas yang dijalankan oleh masyarakat yang berpegang pada rasionalitas, bukan pragmatisme dan emosional pemilih. Bukan pada pemilih yang cenderung menunggu untuk menerima uang atau memberikan suaranya berdasarkan faktor SARA tadi. Untuk mencapai tahapan itu, setidaknya kita membutuhkan tiga kali pemilihan umum lagi agar terwujud Pilpres yang benar-benar berlangsung dengan baik.
*****