banyak negara anggota satu kata dan senada.
ASEAN dan Soliditas Kawasan Oleh: Boy Anugerah, M.Si. Pada tanggal 8 Agustus 1967 atau 49 tahun lalu di Bangkok, Thailand, lima negara Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina mengadakan konferensi menyepakati pembentukan ASEAN. Ini adalah organisasi kerja sama kawasan Asia Tenggara. Berdirinya ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengembangkan kebudayaan, memajukan perdamaian, dan stabilitas kawasan. Dia menjadi media menyelesaikan permasalahan dan perbedaan negara-negara anggota secara damai. Organisasi memiliki nilai lebih pada masanya. Ketika dunia terkoyak karena Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet, para pendiri secara tegas menyatakan ASEAN bersifat nonpolitis, apalagi militeristik. Sikap inilah yang sedikit banyak menghindarkan anggota ASEAN dari kepentingan politik dua kekuatan adidaya tersebut. Proses integrasi Asia Tenggara ke dalam ASEAN tak mulus karena butuh waktu tiga dekade hingga seluruh negara kawasan mengikatkan diri dalam ASEAN. Proses integrasi juga berliku karena ketika ASEAN berdiri, masih ada negara Asia Tenggara yang berstatus jajahan. Kerja sama kawasan pada hakikatnya menuntut keikhlasan dan komitmen dari setiap negara berdaulat di dalamnya untuk meletakkan kedaulatan di bawah badan supranasional. Bentuk kerja sama ini juga menuntut setiap anggota untuk meletakkan kepentingan nasional masing-masing berada di bawah kepentingan kawasan. Prasyarat ini tidak mudah karena sulit
Kerapkali kerja sama kawasan hanya dari kedekatan geografis. Padahal kerja perlu juga persamaan aspek lain seperti sosial, kebudayaan, historis, persepsi politik, keinginan untuk hidup bersama secara damai. Dinamika ASEAN dalam rentang waktu 49 tahun sejujurnya tidak begitu solid, meskipun tak bisa juga disebut rapuh. Beragam konflik mewarnai lima organisasi ini. Dua negara serumpun, Indonesia dan Malaysia berseteru dalam perebutan Blok Ambalat. Pada tahun 1979, Malaysia memasukkan blok tersebut dalam peta wilayahnya, namun ditolak Indonesia karena peta tersebut belum didokumentasikan di Majelis Umum PBB. Malaysia juga berseteru dengan Singapura terkait saling klaim wilayah Pedra Branca. Konflik ini akhirnya diselesaikan di Mahkamah Pidana Internasional pada tahun 2008 dengan pembagian wilayah bagi kedua negara. Seakan tak mau ketinggalan, Thailand dan Kamboja bertikai memperebutkan kuil kuno dari abad ke-11, Preah Vihear. Penganugerahan World Heritage Site oleh UNESCO kepada pemerintah Kamboja menyulut kemarahan kaum nasionalis Thailand yang mengklaim kuil tersebut sebagai asetnya. Baku tembak kedua pihak di perbatasan pada 2008 sedikitnya menewaskan tiga orang, dua dari Kamboja dan satu dari Thailand. Konflik intra ASEAN tidak melulu soal perbatasan. Persoalan domestik satu negara anggota yang tidak bisa diselesaikan dapat meningkat menjadi masalah kawasan dan menimbulkan resistensi. Contoh, penindasan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar menyebabkan eksodus ribuan orang ke Asia Tenggara. Mantan PM Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah melontar – k a n pernyataan pedas bahwa Myanmar sebaiknya keluar dari ASEAN jika tidak mampu mengelola masalah domestiknya. Tak pelak, komentar Mahathir menimbulkan
ketegangan Myanmar.
antara
Malaysia
dan
Ekonomi Permasalahan di tubuh ASEAN juga tidak an sich dalam tataran politik dan keamanan saja, tapi juga di ranah ekonomi. Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015 menyisakan beragam permasalahan. Penerapannya tidak hanya mengakibatkan perputaran cepat arus barang dan jasa saja, tapi juga tenaga kerja. Permasalahan muncul ketika ada kesenjangan keahlian tenaga kerja dari satu negara dengan negara lainnya. Banjir tenaga kerja Vietnam ke Indonesia, misalnya, menjadi keresahan tingkat lokal karena kalah bersaing. Hal ini juga menjadi ancaman ketahanan ekonomi Indonesia. ASEAN bukan tak punya cara dalam menyelesaikan konflik antaranggotanya. Pada bulan November 1971, dideklarasikanlah Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOFPAN) sebagai mekanisme untuk menjaga stabilitas kawasan dan melindungi Asia Tenggara dari campur tangan pihak asing. Teranyar, kesepuluh negara anggota sepakat untuk mengedepankan ASEAN Way. Ini sebagai media dalam menyelesaikan sengketa secara damai, mengedepankan prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, tidak bersikap konfrontatif, serta mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam mencari solusi bersama. Namun demikian, kedua perangkat tersebut terkesan tak cukup kuat membangun soliditas ASEAN. Ego sektoral anggota serta campur tangan asing membuat ASEAN tak kompak. Kondisi ini segera disikapi. Instabilitas sekecil apa pun akan berdampak siginifikan bagi negara-negara anggotanya. Yang paling fatal apabila kekuatan asing masuk dan memecah belah soliditas ASEAN untuk kepentingannya sendiri. ASEAN bisa belajar dari kasus Asia Tengah. Rapuhnya kerja sama negara-
negara di Asia Tengah menyebabkan wilayah mereka menjadi zona pertarungan kepentingan antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Langkah bijak yang perlu ditempuh, peremajaan semangat dan komitmen anggota untuk bekerja sama dan hidup berdampingan secara rukun. Sebisa mungkin ego sektoral dalam hal pencapaian kepentingan nasional masingmasing diredam untuk mengedepankan kepentingan kawasan. Rejuvenasi komitmen ini tidaklah normatif apabila diejawantahkan secara taktis dan aplikatif. Misalnya ditempuh perubahan pola hubungan antarnegara. Dibutuhkan diplomasi, komunikasi, dan pola relasi yang tidak didominasi isu politik dan keamanan (high politics) saja. Maka, perlu diperbanyak kerja sama ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Kerja sama ini tidak melulu bersifat government to government, tapi akan lebih baik bila ditempuh dengan mekanisme people to people contact. Jadikan keberagaman dan perbedaan sebagai kemajemukanguna mewujudkan ketahanan kawasan. Tolok ukur kerja sama tidak sebatas pada tercapainya tujuan, tapi juga seberapa tangguh kawasan menghadapi ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan. Guna mendukung konsep ini, perlu digagas komunitas epistemik ASEAN, untuk menyelesaikan berbagai masalah. Jadikan kemiskinan sebagai musuh bersama untuk memperkukuh soliditas. Musuh bersama di sini bisa dimanifestasikan dalam bentuk bentuk perang total dalam memerangi kemiskinan dan kejahatan transnasional. Dengan demikian aka nada perekat dan pemusatan konsentrasi negara anggota untuk melakukan kerja sama secara intens. Penulis Alumus Magister Ketahanan Nasional UI, bekerja di Lemhannas RI http://www.koran-jakarta.com/aseandan-soliditas-kawasan/