Kudatuli Dan Praktik Oposisi TANGGAL 27 Juli kemarin, tepat 21 tahun usia tragedi penyerbuan terhadap kantor DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Berita Terkait Problematika Regulasi Uang Elektronik Rencana Pemerintah Gunakan Dana Filantropi Konyol dan Memalukan! Anies Baswedan Dan Suara Rakyat (Keadilan Untuk Semua)
Tragedi yang akrab dengan sebutan Kudatuli tersebut, merujuk pada laporan Komnas HAM bulan Agustus 1996, tercatat menewaskan sedikitnya 5 orang, 143 orang menderita luka-luka, dan 23 orang berstatus hilang. Tragedi ini tergolong kasus berbobot besar. Setidaknya dapat dilihat dari gemuknya jumlah saksi yang dihadirkan, yakni hampir mencapai 150 orang dari berbagai kalangan, baik sipil, kepolisian, hingga militer. Penyelidikan kasus inipun berdampak luas, tidak hanya sebatas penangkapan dan pengadilan terhadap massa PDI Megawati saja, tapi juga pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis prodemokrasi pada masa itu, kendati mereka tidak terkait langsung dengan konflik di tubuh PDI. Hasil penelitian tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dituangkan dalam buku berjudul "Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di belakang Peristiwa 27 Juli?" (2001) menjelaskan bahwa akar konflik bermula ketika pada Kongres PDI 1993, Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Naiknya putri Bung Karno ini ke tampuk pimpinan dianggap penguasa orde baru sebagai ancaman, sehingga digelar kongres tandingan pada Juni 1996 yang berakhir dengan terpilihnya Soerjadi sebagai ketua umum. Berbeda dengan Megawati, Soerjadi mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pada kesempatan ini, penulis tak hendak mengorek luka lama republik pada masa
militeristik orde baru. Namun demikian, tragedi ini menjadi pembelajaran sejarah yang sangat penting bahwa menjalankan peran oposan terhadap penguasa tak pernah mudah untuk dilakukan. Sebagai perbandingan, Aung San Suu Kyi, aktivis prodemokrasi Myanmar yang memimpin Partai NLD menentang junta milter Myanmar harus mendekam selama 20 tahun sebagai tahanan rumah sampai dibebaskan secara resmi pada tanggal 13 November 2010. Di Malaysia, sikap kritis dan vokal terhadap pemerintah menyebabkan Anwar Ibrahim, mantan Wakil PM Malaysia tahun 1993-1998 harus mendekam di penjara karena tuduhan korupsi dan sodomi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, eksistensi oposan merupakan sebuah kelumrahan. Kekuasaan berpotensi untuk korup, apalagi kekuasaan yang bersifat mutlak (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely). Oleh sebab itu, dibutuhkan pengawasan dan keseimbangan dalam bentuk pihak-pihak yang menjalankan praktik oposisi. Di negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi seperti Indonesia, keberadaan oposan adalah sebuah keniscayaan. Secara filosofis, kondisi ini bisa dianalogikan dengan sebuah pepatah, rambut boleh sama hitam, tapi pandangan bisa berbeda-beda. Suatu hil yang mustahal untuk meniadakan perbedaan. Dalam sejarahnya, relasi pemerintah dan oposan tak pernah akur. Bentuk-bentuk hubungan diantara keduanya beragam, tergantung dengan sistem dan kondisi politik yang dijalankan oleh penguasa. Dalam sistem pemerintahan yang bercorak otoritarian dan militeristik, tak jarang oposan mengalami berbagai macam tekanan, mulai dari intimidasi, kekerasan, penculikan, hingga pembunuhan. Kondisi inilah yang dihadapi oposan pada masa orde baru. Dalam alam "menuju demokrasi" seperti yang dijalani Indonesia saat ini, relasi penguasa dan oposan berlangsung lebih dinamis dan cair. Pihak oposan tak segan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tak prorakyat, namun terkadang mereka tak sungkan menyebut diri sebagai "mitra kritis" untuk kebijakan yang senafas dengan ideologi atau selaras dengan kepentingan mereka. Jika praktik oposisi pada rezim otoriter berlangsung hingga rezim tumbang, di era reformasi, praktik oposisi terkadang hanya sebatas pada saat pemilu berlangsung, yakni menantang incumbent untuk mendulang suara rakyat, namun dapat berubah drastis pasca pemilu ketika mendapat tawaran politik untuk bergabung dalam pemerintahan melalui kursi di kabinet atau posisi strategis di BUMN. Oposisi sejatinya merupakan sebuah sikap mental yang menentukan posisi berdiri (standing
position) seseorang atau sekelompok orang terhadap subjek yang lazimnya adalah pemerintah atau penguasa. Salah kaprah apabila oposisi dimaknai sebatas subjek karena subjek tak pernah permanen. Subjek bergerak berdasarkan kepentingan. Salah besar apabila oposisi hanya dilekatkan pada partai politik saja. Dalam era "menuju demokrasi" di mana masyarakat madani semakin kuat, praktik oposisi bisa dijalankan oleh siapa saja, mulai dari gerakan mahasiswa intra dan ekstra kampus, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok penekan, kelompok kepentingan, hingga kalangan pers. Namun demikian, dalam pemahaman masyarakat Indonesia hari ini, oposisi memang lebih banyak dilabelkan kepada partai politik yang kalah Pemilu atau secara tegas menyatakan posisinya sebagai oposan. Indonesia dewasa ini sudah bergerak maju menuju kehidupan yang lebih demokratis. Partai politik yang dulu hanya dibatasi 3 parpol saja, sekarang sudah beranak-pinak dengan beragam platform dan visi-misi. LSM tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Media massa semakin kontributif menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi dan pengawas kebijakan pemerintah. Gerakan mahasiswa juga lebih cerdas dalam menyuarakan aspirasi dan kritik. Jika dahulu gerakan mahasiwa identik dengan unjuk rasa yang anarkis, saat ini mereka menuangkan gagasan dan kritik melalui tulisan yang dimuat oleh media massa. Sudah jarang kita lihat aksi bakar ban atau bakar diri sebagai martir. Di alam Indonesia yang semakin demokratis ini, sudah seyogianya praktik oposisi dijalankan dengan lebih dewasa dan tujuan yang jelas, yakni semata-mata demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara. Kita tak lagi hidup di zaman orde baru yang tak segan menumpahkan darah para tukang kritik. Oleh karena itu, mereka yang menjalani peran sebagai oposan selaiknya meluruskan niat agar praktik oposisi yang dijalankan memang ditujukan agar pemerintahan berjalan sesuai koridor dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Praktik oposisi yang dijalankan hanya untuk kepentingan sekelompok orang atau menarik simpati masyarakat agar memberikan suara pada pemilu selanjutnya bukanlah tindakan yang terpuji. Tidak boleh ada standar ganda dalam praktik oposisi. Praktik oposisi juga tak an sich sebatas memberikan kritik, tapi juga saran-saran konstruktif agar kebijakan pemerintah yang sudah baik, menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Memainkan peran oposan sejati tentu bukanlah perkara mudah. Perlu sikap kenegarawanan atau pribadi yang selalu berorientasi untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak.
Menjalankan peran oposan sejati yang berorientasi pada kepentingan umum berkontribusi bagi terwujudnya ketahanan nasional. Sistem politik dan pemerintahan menjadi seimbang, ada check and balances yang jujur antara pemerintah dan pihak oposan. Dialektika pemikiran antara keduanya diharapkan akan menjadi sumber munculnya kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan cita-cita bersama, masyarakat berkeadilan, makmur, dan sejahtera.[***]
Boy Anugerah Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia