1
BAHAN MASUKAN WAKIL KETUA MPR RI, DR. H. JAZILUL FAWAID, S.Q., M.A., PADA WEBINAR NGAJI KEBANGSAAN BERSAMA FORUM CENDEKIAWAN MUSLIM MUDA DENGAN TEMA “MEMBACA ASPIRASI WARGA NAHDLIYIN DAN NASIONALIS PADA PILPRES 2024”, KAMIS, 1 JULI 2021
Pemilu Sebagai Instrumen Demokrasi
Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui penerapan prinsip-prinsip umum demokrasi dalam praktik politik dan pemerintahan, salah satunya adalah melalui penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas secara LUBER dan JURDIL. Di Indonesia sendiri, Pemilu digelar secara langsung dengan rakyat sebagai pemberi suara (direct voter). Pemilu di Indonesia terdiri atas dua jenis, yakni Pemilu Eksekutif (Pilpres dan Pilkada), serta Pemilu Legislatif (Pileg). Pemilu merupakan salah satu instrumen untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun bukan satu-satunya, tidak dimungkiri Pemilu merupakan instrumen utama demokrasi. Melalui Pemilu, hak-hak politik warga negara seperti hak memilih (right to elect) dan dipilih (right to be elected) mendapatkan wahana untuk diaktualisasikan. Melalui Pemilu, warga negara dapat menyalurkan aspirasinya, serta menetapkan preferensinya mengenai siapa wakil-wakilnya yang akan duduk di posisi eksekutif maupun legislatif. Pemilu juga merupakan medium untuk terjadinya sirkulasi elit. Sebagai contoh, melalui Pilpres dan Pilkada, elit yang duduk sebagai presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota, mengalami pergantian secara berkala. Pergantian secara berkala ini merupakan konsekuensi dari skema fixed term masa jabatan untuk para eksekutif tersebut. Mereka memiliki masa jabatan tetap selama lima tahun, serta dapat dipilih kembali untuk kedua kalinya melalui mekanisme Pemilu. Fungsi Pemilu sebagai medium sirkulasi elit makin menguat ketika dilakukan amandemen konstitusi ketiga (pada 2001) yang merubah skema Pilpres dari tidak langsung menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga diikuti dengan pemilihan kepala daerah secara langsung melalui Pemilu. Dengan adanya skema Pemilu eksekutif secara langsung, maka sistem Pemilu di Indonesia menempatkan Pileg dan Pilpres secara equal, yakni sama-sama dipilih oleh rakyat secara langsung. Meskipun konskeuensi negatifnya adalah terjadi semacam dual legitimacy antara eksekutif dan legislatif karena sama-sama dipilih secara langsung, akan tetapi sisi positifnya adalah semakin menguatnya prinsip daulat rakyat (people sovereignty) dalam praktik kenegaraan. Pilpres 2024 merupakan Pilpres kelima yang akan digelar secara langsung setelah Pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019. Beberapa diskursus penting terkait dengan Pilpres 2024 di antaranya adalah wacana penghapusan presidential threshold pencalonan presiden/wakil presiden, wacana penolakan dua pasang calon seperti 2014 dan 2019 karena memicu polarisasi dan segregasi nasional,
2
serta munculnya keinginan masyarakat agar muncul calon-calon alternatif dengan visi kebangsaan dan kenegaraan yang kuat. Wacana lainnya yang berhembus seputar Pilpres 2024 adalah wacana tiga periode untuk Presiden Jokowi. Wacana ini dimunculkan oleh para pendukungnya, khususnya relawan politik yang dalam satu dekade terakhir menjelma sebagai kekuatan politik non-partai yang cukup besar dari segi kuantitas dan militansi perjuangan. Para pendukung Presiden Jokowi berpandangan bahwa seandainya tidak terganjal konstitusi, maka kans Presiden Jokowi untuk berlaga di 2024 masih sangat besar karena masih memiliki elektabilitas paling besar dibanding calon lainnya. Perubahan masa jabatan presiden sendiri menjadi tiga periode adalah suatu hal yang dimungkinkan karena ada prosedurnya dalam konstitusi. Hanya saja pertanyaan mendasarnya adalah adakah pihak yang secara resmi mengajukan usulan ini ke MPR RI? dan apakah ini sudah sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat?
Aliran Sebagai Determinan Politik (Baca: Politik Aliran)
Kontur masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen yang terdiri atas banyak suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, serta agama yang berbedabeda. Heterogenitas masyarakat Indonesia ini tercermin dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan tonggak sejarah penting bagi munculnya politik nasionalis untuk menyatukan segenap keberagaman menjadi kekuatan yang bulat dan penuh dalam melawan kekuatan kolonial. Semakin kuat dan formal ketika heterogenitas ini dijembatani secara formal oleh para pendiri bangsa melalui penetapan semboyan negara, Bhinneka Tungga Ika Tanhanna Dharmma Mangrva, yang artinya walaupun berbeda-beda namun tetap satu jua, tak ada kebenaran yang mendua. Sebagian kalangan menyebut heterogenitas masyarakat Indonesia sebagai bentuk pluralisme. Plural artinya banyak atau beragam. Dengan kontur masyarakat yang heterogen atau plural tersebut, maka tentu saja proses nation building ataupun state building Indonesia sejak proklamasi, bahkan hingga kini, bukanlah sebuah proses yang mudah. Keberagaman jika tidak dikelola dengan baik, maka dapat menjadi titik rapuh yang melemahkan persatuan dan kesatuan. Atau dalam skala minimal, dapat memunculkan perbedaan pandangan yang tajam dalam mengelola negara (sebagai konsekuensi perbedaan) sehingga pengelolaan negara menjadi tidak produktif dan penuh politik kepentingan (political interest). Heterogentitas masyarakat Indonesia tidak sekedar dalam konteks yang sifatnya bawaan saja (suku, budaya, bahasa, agama, dll), tapi juga dalam relasi sosial budaya dengan politik. Adalah Clifford Geertz, seorang Indonesianis, yang mencetuskan istilah politik aliran sebagai refleksi atas pembelahan sosial yang sangat tajam pada perpolitikan Indonesia periode pasca kemerdekaan. Pada waktu itu, pembelahan sosial ini bersumber dari agama, etnisitas, serta sentimen kedaerahan. Dalam pandangan Geertz, masyarakat Indonesia terbelah menjadi
3
tiga kelompok besar, yakni (1) kaum santri, (2) kaum abangan, dan (3) kaum priyayi atau bangsawan. Tak hanya Geertz, Indonesianis lainnya yang memotret politik aliran di Indonesia adalah Herbert Feith dan Lance Castle. Kedua tokoh tersebut mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam lima aliran besar, yakni (1) Islam, (2) tradisionalis Jawa, (3) sosialis-demokrat, (4) nasionalis-radikal, serta (5) komunis. Baik aliran versi Clifford Geertz, maupun versi Feith-Castle, semuanya memiliki afiliasi terhadap partai-partai politik, serta menjadi sumber suara dan penentu kemenangan partai-partai politik yang memang pada waktu itu juga selaras metode perjuangannya dengan konsep politik aliran (menjadikan komposisi masyarakat yang beragam tersebut sebagai ceruk suara). Relasi sosial budaya dengan politik yang terbungkus dalam konsep politik aliran tersebut dapat dilihat kontekstualisasinya pada Pemilu 1955. Masing-masing aliran memiliki preferensi politik yang berbeda. Kaum nasionalis, priyayi, dan abangan lebih condong ke partai politik non-agama seperti PNI, PKI, PSI, dan IPKI. Sedangkan kaum santri memilih partai-partai politik Islam seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Partai-partai politik pada masa itu juga memiliki agenda dan program yang berbeda-beda menyelaraskan dengan ceruk suara aliran yang mendukung mereka. Inilah kompatibilitas sosial budaya masyarakat dengan struktur politik pada masa itu. Soekarno sebagai tokoh politik sentral pada masa pasca kemerdekaan, sekaligus presiden pertama Indonesia, memainkan politik sinkretisme, yakni berupaya menghimpun kontur heterogen masyarakat Indonesia dan pluralisme politik yang ada menjadi kekuatan yang padu. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya ideologi marhaenisme yang bersandar pada prinsip sosi-nasionalis, sosio-religius, dan sosio-demokrat. Kebijakan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) era Soekarno juga merupakan produk politik sinkretisme yang dijalankan oleh Soekarno agar keberagaman politik yang ada tidak menjadi kekuatan buruk yang mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan di era ia berkuasa. Pertanyaan mendasar saat ini, apakah politik aliran masih cukup relevan untuk diterapkan? Di era pasca reformasi, liberalisme politik begitu menggejala. Liberalisme politik yang dicirikan dengan prinsip vote-oriented dan moneyoriented perlahan tapi pasti telah menggerus konsep dan prinsip politik aliran. Partai-partai politik menyadari bahwa dengan globalisasi dan disrupsi yang melanda, begitu juga dengan postur masyarakat yang didominasi oleh generasi muda yang lebih rasional dan berwawasan, maka politik aliran dianggap kurang kompatibel dalam mengakumulasi suara rakyat di bilik suara. Partai-partai politik cenderung menjalankan politik cover all-sides. Sebagai contoh, sebuah partai politik nasionalis besar di tanah air (PDI-P), merasa perlu untuk membuat sayap organisasi Muslim hanya untuk menghilangkan kesan bahwa mereka partai politik sekuler. Dalam perhelatan Pilpres 2019 misalnya, calon yang mereka usung yakni Jokowi, dipadu-padankan dengan tokoh agama agar ceruk kaum ulama juga terwadahi. Hal ini juga berlaku bagi partai-partai
4
politik berbasis agama yang membentuk sayap nasionalis untuk menghimpun suara dari kaum nasionalis, melengkapi suara dari basis religius yang mereka miliki. Gejala menguatnya post-truth juga menjadi petanda berakhirnya politik aliran. Di era post-truth yang ditandai dengan banyaknya informasi yang beredar di masyarakat, namun masyarakat tidak memiliki filter yang kuat untuk memilih dan memilah informasi tersebut, mana informasi yang benar, mana yang misinformasi dan dis-informasi, maka aliran politik yang menentukan preferensi politik di bilik suara juga ikut terpengaruhi. Masyarakat yang tidak dibekali dengan literasi digital yang baik, meskipun memiliki basis aliran yang kuat (misalnya kaum santri pasti memilih partai agama), tidak tertutup kemungkinan berubah menjadi swing voter / floating mass (pemilih galau) hanya karena informasi baru yang dikonsumsinya, terlepas apakah informasi tersebut benar atau salah. Di tengah situasi dan kondisi seperti yang digambarkan di atas, maka partai politik di era saat ini tidak bisa bersandar pada politik aliran saja untuk menjadi The Champ pada pesta demokrasi. Kecakapan partai politik dalam menjalankan fungsi dasar partai politik (pendidikan politik, kaderisasi, sosialisasi dan komunikasi) menjadi fondasi dasar kemenangan. Selanjutnya adalah kecakapan dalam memilih figur atau calon yang sesuai dengan selera dan kecenderungan pasar saat ini (baca: keinginan rakyat).
Memaknai 4 Pilpres (2004, 2009, 2014, 2019)
Pada era orde baru, Presiden Soeharto sebenarnya bisa disebut menjalankan politik aliran. Hanya saja politik aliran ini sifatnya konotatif atau dalam tanda kutip, yakni fusi yang sengaja dibuat untuk mengontrol kekuatan politik yang ada. Partai politik dihimpun menjadi tiga kekuatan saja yakni GOLKAR sebagai mesin politik pemerintah (bersama ABRI dan Birokrasi -disebut ABG pada masa itu), PPP (wadah partai agama), serta PDI (wadah partai nasionalis). Adapun partaipartai berbasis agama non-Islam pada masa itu lebih memilih berhimpun di PDI yang nasionalis, bukan PPP. Era reformasi menandai munculnya praktik politik yang lebih cair. Muncul beragam partai politik dengan beragam platform. Platform nasionalis misalnya, ditandai dengan kemunculan Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem, dll. Platform religius ditandai dengan munculnya PAN, PKB, serta PKS. Singkat kata, reformasi menjadi ibu lahirnya kebebasan politik warga negara. Dengan komposisi partai politik yang beragam, maka persaingan dalam mekanisme Pemilu pun berlangsung tajam. Partai politik dengan irisan ideologi yang sama tidak terhindarkan untuk bertempur satu sama lain. Partai politik nasionalis tidak hanya vis a vis dengan partai politik religius saja, tapi juga vis a vis dengan sesama partai berplatform nasionalis. Begitu juga dengan partai berplatform religius.
5
Merujuk pada empat gelaran Pilpres terakhir, banyak akademisi politik dan praktisi politik menyebutnya sebagai kemenangan golongan nasionalis. Hal ini ditandai dengan kemenangan GOLKAR, Partai Demokrat, serta PDI-P pada empat gelaran Pilpres tersebut. Definisi kemenangan nasionalis di sini disebut demikian karena partai politik nasionalis sangat dominan dalam menguasai parlemen, serta mampu menempatkan kadernya di pucuk eksekutif tertinggi negeri ini. Hanya saja politik memang tidak selalu dijalankan secara Zero Sum Game (menang-kalah). Dibutuhkan Positive Sum Game (menang-menang) untuk menciptakan stabilitas politik sehingga dibentuklah koalisi pemerintahan sehingga partai-partai berplatform religius juga memiliki wadah untuk beraktualisasi, khususnya pada pilar eksekutif (posisi menteri dll).
Religius dan Sirkulasi Elit
Di tengah berbagai problematika kebangsaan dan kenegaraan akhir-akhir ini, muncul dorongan dari masyarakat (seperti kaum Nahdliyin) agar kaum santri dan ulama semakin meningkatkan kiprahnya di panggung kepemimpinan nasional. Santri dan ulama diharapkan tidak tinggal diam terhadap berbagai permasalahan tersebut, tetapi bersikap proaktif memberikan sumbang saran, masukan, dan tenaga. Dorongan ini adalah sebuah hal yang wajar mengingat begitu besarnya peran santri dan kaum ulama apabila dirujukkan pada sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang dipraktikkan pada masa lampau tersebut diharapkan dapat dikontekstualisasikan dalam menjawab tantangan kebangsaan hari ini. Menelisik ke masa lampau, adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU), yang menyerukan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda yang hendak merebut kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Resolusi jihad yang diserukan tersebut mewajibkan seluruh umat Islam yang berada di radius 94 kilometer untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di medan pertempuran, dengan atau tanpa mengangkat senjata. Resolusi jihad ini menjadi tonggak sejarah kiprah para santri dan kaum ulama, serta menjadi pemantik berkobarnya perjuangan yang lebih besar melawan penjajah oleh segenap bangsa Indonesia hingga meletus peristiwa 10 November 1945 yang sangat fenomenal. Manifestasi peran santri dan ulama juga dapat ditilik pada masa pergerakan nasional di era pra-kemerdekaan. Pada awal abad ke-20, banyak sekali bermunculan organisasi pergerakan nasional dengan berbagai platform atau ideologi, salah satunya adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Organisasi yang pada 1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) ini didirikan oleh kalangan ulama dengan tujuan untuk menjadi sarana perjuangan umat Islam melalui bidang niaga dalam melawan penjajahan Belanda yang pada waktu itu hadir dalam bentuk kongsi dagang bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC.
6
Begitu masifnya kiprah santri dan ulama pada masa revolusi fisik dan pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam terhadap problematika kebangsaan yang ada. Dalam konteks membangun bangsa (nation-building) dan membangun negara (state-building), santri dan ulama berperan sebagai katalisator bagi komponen bangsa lainnya. Ketika muncul pihak-pihak yang mempertentangkan antara agama dan negara pada masa awal kemerdekaan, kaum santri dan ulama juga tampil di garda depan. Bagi kaum santri dan ulama, dengan diproklamasikannya kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara, perdebatan antara agama versus negara sudah tuntas di negeri ini. Sistem politik Indonesia modern memungkinkan para santri dan kaum ulama untuk berperan aktif dalam masalah-masalah kebangsaan. Sistem politik modern menyediakan dua kanal bagi warga negaranya untuk berpartisipasi, yakni infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Berbeda dengan suprastruktur politik yang bersifat formal karena mencakupi unsur Trias Politika bernegara, infrastruktur politik bersifat lebih cair dan terbuka. Infrastruktur politik yang termanifestasikan dalam bentuk organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, hingga media massa, dapat menjadi wadah perjuangan yang inklusif bagi para santri dan ulama untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka. Hal ini bisa dilihat jelas dari keberadaan ormas Islam seperti NU dan berbagai partai politik Islam lainnya yang aktif berdakwah melalui jalur sosial budaya dan politik. Dalam konteks infrastruktur politik, eksistensi, kontribusi, serta kiprah kaum religius seperti santri dan ulama bisa dikatakan mengakar dengan kuat, khususnya di era pasca reformasi dan keterbukaan publik saat ini. Tak heran, sebagai contoh, apabila NU dikukuhkan sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini, bahkan dunia. Namun demikian, eksistensi ini tentunya diharapkan tidak hanya sebatas pada level infrastruktur politik, tapi juga suprastruktur politik yang sangat terkait erat dengan produksi kebijakan (policymaking process) dan corak kepemimpinan nasional. Inilah yang begitu kencang disuarakan oleh arus bawah masyarakat yang menghendaki pemimpin dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang kuat, mampu membawa bangsa dan negara keluar sebagai pemenang dalam mengatasi problematika yang dihadapi. Persoalan kepemimpinan nasional bukanlah dikotomi antara nasionalis versus religius, Jawa vis a vis Non-Jawa, atau sipil versus militer. Persoalan kepemimpinan nasional adalah visi komprehensif untuk membawa bangsa dan negara agar mampu memenuhi tujuan nasional seperti yang dinyatakan dalam preambul konstitusi. Dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang padu, kaum santri dan ulama diharapkan untuk semakin menegaskan kiprahnya dalam panggung kepemimpinan nasional. Harapan dan dorongan tersebut tentu saja akan diuji lebih jauh dalam instrumen-instrumen demokrasi di mana rakyat bertindak sebagai penentu. Jika rakyat benar-benar yakin dan menginginkan sosok pemimpin yang holistik visi kebangsaan dan keagamaannya, maka
7
niscaya kiprah dan kontribusi konkret santri dan kaum ulama akan semakin masif di panggung kepemimpinan nasional ke depan.
Bekasi, 30 Juni 2021 Disusun oleh, signed Boy Anugerah, S.IP., M.Si., MPP. Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI (JF)