“MENDAYAGUNAKAN GEOGRAFI INDONESIA UNTUK KEMANDIRIAN PANGAN”
Dalam studi geografi, dikenal istilah determinisme geografi untuk menggambarkan betapa vitalnya peran geografi dalam kehidupan suatu masyarakat, bangsa, dan negara. Determinisme geografi sendiri didefinisikan sebagai sebuah relasi antara kondisi lingkungan fisik yang ditempati suatu masyarakat dengan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Betapa pentingnya aspek geografi dalam tataran stategis juga tergambar dalam studi geopolitik. Salah seorang ahli geopolitik, Cohen, berpendapat bahwa proses politik suatu negara sangat ditentukan oleh pengelolaan aspek greografis yang dimiliki.1 Indonesia, apabila ditilik secara fungsionalisasi geografi, dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang memiliki potensi yang sangat besar di bidang agraria. Potensi besar dari sisi agraris tidak terlepas dari kondisi bahwa Indonesia adalah negara yang beriklim tropis karena letaknya yang berada pada persilangan Benua Asia dan Australia, serta Samudera Hindia dan Pasifik.2 Indonesia juga memiliki banyak gunung berapi karena berada pada Circum Pacific Belt sehingga menyebabkan daratannya menjadi subur.3 Konsekuensi geografis tersebutlah yang membentuk Indonesia sebagai sebuah negara agraris. Sebagai sebuah negara agraris, keunggulan di bidang produksi pangan sudah seharusnya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Indonesia sendiri pernah mencapai swasembada pangan pada dekade 1980-an di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Dewasa ini, kapasitas Indonesia dalam produksi pangan bisa dikatakan menurun. Hal ini tercermin dalam berbagai kasus impor yang dilakukan oleh pemerintah yang tentu saja mengingkari spirit kemandirian pangan nasional. Indonesia juga masih terjebak pada pola dependensi konsumsi pada satu-dua komoditas saja sebagai makanan pokok., yakni beras dan sagu.Tentu saja dibutuhkan berbagai langkah strategis untuk mengembalikan status Indonesia sebagai negara 1
Wijoyo Soepandji, Kris. 2019. Geopolitik, Negara, dan Bangsa Masa Kini. Jakarta: Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 37 Maret 2019. Halaman 43. 2 “Dinamika Iklim di Indoensia”, diunduh dari http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/katam/bagian2.pdf, pada tanggal 11 Mei 2019, Pukul 14.20 WIB. 3 “Meski Sering Gempa, Ini Keuntungan Indonesia ada di Cincin Api Pasifik”, diunduh dari https://kumparan.com/@kumparansains/meski-sering-gempa-ini-keuntungan-indonesia-ada-di-cincinapi-pasifik-1538966218783046842, pada tanggal 11 Mei 2019, Pukul 14.25 WIB.
1
agraris yang berdaulat di bidang pangan seperti pada masa periode emas yang dicapai sebelumnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa meskipun memiliki potensi sumber daya alam yang besar di bidang agraria, tidak serta-merta menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat di bidang pangan. Dibutuhkan identifikasi masalah yang komprehensif perihal mengapa kekayaan hayati Indonesia di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, tidak cukup kapabel dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional, malah terjebak pada pola impor yang melemahkan kemandirian dan daya saing bangsa. Secara garis besar, terdapat empat permasalahan besar bagi Indonesia dalam mewujudkan kemandirian pangan. Pertama, belum adanya visi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kemandirian pangan dan bagaimana cara untuk mencapainya. Kedua, agenda kemandirian pangan belum diatur dengan baik secara regulatif atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, mekanisme impor kerap dipilih tatkala kebutuhan masyarakat lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan pangan dalam negeri. Keempat, belum adanya diversifikasi konsumsi pangan di masyarakat Indonesia sehingga tercipta dependensi terhadap komoditas pangan tertentu. Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan dalam penulisan ilmiah ini adalah, “Bagaimana
mendayagunakan
geografi
Indonesia
untuk
mewujudkan
kemandirian pangan?� Barry Gordon Buzan dalam bukunya yang dipublikasikan pada 1991 berjudul People, State and Fear: An Agenda for International Security Studies in Post Cold War Era, menjelaskan secara rinci mengenai terminologi keamanan. Menurut Buzan, keamanan saat ini tidak lagi diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat militeristik saja, tapi lebih kepada hal-hal yang sifatnya non-konvensional, seperti demokrasi, penegakan hak asasi manusia, lingkungan, hingga keamanan pangan (food security). Dunia saat ini sedang dilanda kelangkaan pangan. Kondisi inilah yang menyebabkan meletupnya banyak konflik di berbagai negara di dunia, baik yang sifatnya intra negara (perang saudara), hingga konflik antar negara yang berebut sumber daya alam satu sama lain. Konsepsi penting untuk mendukung teori Barry Buzan yang dijadikan rujukan ini, sekaligus berfungsi sebagai pisau analisis dalam penulisan ilmiah ini adalah konsepsi kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan 2
yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga, yang berdasarkan pada prinsip solidaritas.4 Bagian Pembahasan ini akan mengupas secara terperinci mengenai permasalahanpermasalahan yang muncul di seputar isu kemandirian pangan nasional, beserta alternatif solusi yang ditawarkan kepada pemangku kepentingan nasional. Alternatif solusi yang ditawarkan akan merujuk pada kondisi faktual serta teori dan konsep seperti yang dipaparkan pada landasan teoritis, sebagai berikut:
a) Kedaulatan Pangan sebagai Konsep dan Strategi Mewujudkan Kemandirian Pangan Nasional Dalam mewujudkan kemandirian pangan yang lebih lanjut akan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, dibutuhkan konsep dan strategi yang jelas. Konsep dan strategi ini harus dirumuskan secara tegas dalam perencanaan pembangunan nasional, baik yang sifatnya jangka menengah, maupun jangka panjang. Tidak dimungkiri bahwa saat ini Indonesia masih terjebak pada konsep dan paradigma ketahanan pangan yang lebih mendasarkan pada aspek keamanan dan persaingan bebas. Dengan demikian, muncul krisis pangan, energi, serta iklim. Sebaliknya, visi kedaulatan pangan mengedepankan hak setiap bangsa untuk memiliki dan memilih prinsip serta strategi politik pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dan kebutuhan lain yang bisa dihasilkan dalam proses usaha pertanian. Dengan demikian, Indonesia sudah seyogianya bergerak dalam aras kedaulatan pangan, serta meninggalkan pola pikir lama yang berbasis pada ketahanan pangan.
b) Penguatan Regulasi Dalam Mewujudkan Kemandirian Pangan Nasional Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Mewujudkan Kedaulatan Pangan Melalui Revisi UU No. 18 Tahun 2012� yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan pada 12 Februari 2019 yang silam,
“Kedaulatan Pangan�, diunduh dari https://spi.or.id/isu-utama/kedaulatan-pangan/, pada tanggal 11 Mei 2019, Pukul 16.35 WIB. 4
3
disampaikan bahwa pembenahan birokrasi serta fungsi dan peran antar kementerian yang berkaitan dengan urusan pertanian dan pangan penting dilakukan sebagai mekanisme jangka pendek. Hal ini dikarenakan tidak dimungkiri bahwa selama ini masih terdapat tumpang tindih kebijakan dan saling lempar tanggung jawab antar elit. Sebagai payung hukum yang bersifat mengikat, Indonesia sejatinya sudah memiliki berbagai regulasi di bidang pangan seperti UU Pangan No. 18 Tahun 2012, UU Perlindungan dan Pemberdayaan No. 19 Tahun 2013, serta UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Penggunaan regulasi-regulasi ini pada awalnya diharapkan dapat menata kembali penguasaan tanah kepada orang yang tak bertanah, petani gurem, buruh tani, serta masyarakat adat. Selain itu, regulasiregulasi tersebut diharapkan dapat merombak cara bertani menjadi pertanian yang ekologis, ekonomis, serta fokus pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri ketimbang pemenuhan kepentingan pasar global. Namun demikian, dalam dinamikanya, eksistensi regulasi-regulasi tersebut kerap berbenturan dengan regulasi lainnya, bahkan beberapa diantaranya bisa dikatakan tidak relevan lagi dalam menjawab dinamika dan kebutuhan saat ini. Sebagai contoh, muncul wacana di parlemen untuk merevisi UU Pangan No. 18 Tahun 2012. Munculnya wacana revisi ini juga disertai harapan dari banyak pihak agar proses revisi dapat memasukkan sejumlah poin untuk mengganti konsepsi ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan.5
c) Hentikan Kebijakan Impor dan Optimalisasi Upaya Untuk Mewujudkan Swasembada Pangan Nasional Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai sebesar US$ 1,03 Miliar sepanjang tahun 2018. Selama kurun waktu tersebut, impor beras dilakukan secara bertahap dengan mendatangkan beras setiap bulan. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka impor beras pada 2018 merupakan
5
“Kedaulatan Pangan Harus Gantikan Konsep Ketahanan Pangan�, diunduh dari https://www.pikiranrakyat.com/nasional/2019/02/13/kedaulatan-pangan-harus-gantikan-konsep-ketahanan-pangan, pada tanggal 11 Mei 2019, Pukul 17.15 WIB.
4
angka tertinggi. Sebagai perbandingan, pada 2017, Indonesia mengimpor beras sebanyak 305, 27 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 143,64 juta.6 Fakta di atas, suka tidak suka, akan menimbulkan keprihatinan. Besarnya sumber daya alam agraria yang dimiliki Indonesia, tidak berbanding lurus dengan kapsitas produksi beras tanah air. Hal ini baru berbicara pada sekup kebutuhan akan komoditas beras, belum komoditas lainnya yang diyakini akan memperpanjang daftar komoditas impor Indonesia. Apabila benar visi kedaulatan pangan yang hendak dicapai, maka mekanisme impor sudah semestinya ditiadakan. Yang menjadi opsi yang harus ditempuh oleh pemerintah tentu saja adalah upaya mewujudkan swasembada pangan seperti yang pernah dicapai Indonesia pada dekade 1980-an. Untuk mencapai sirkumstansi tersebut, ada beberapa hal yang harus ditempuh. Pertama, pemahaman bahwa potensi sumber daya alam yang besar harus bisa dikonversi dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, dukungan penuh dari pemerintah kepada petani lokal, baik sarana maupun prasarana pertanian. Ketiga, perbaikan rantai distribusi dan pengelolaan logistik. Faktor ketiga ini memiliki peran vital, karena kelangkaan pasokan beras di pasar bukan karena ketiadaan produksi, melainkan rantai distribusi dan manajemen logistik yang terkendala. Terakhir, strategi harga yang diterapkan di pasar harus mampu mewujudkan win-win solution antara petani di satu sisi, serta masyarakat di sisi lain.
d) Diversifikasi Komoditas Pangan Konsumsi Indonesia adalah negara yang sangat heterogen, bukan saja dalam konteks sosial dan budaya, tapi juga kondisi geografisnya. Kontur muka bumi Indonesia sangat beragam dan unik, ada dataran tinggi dan dataran rendah, ada wilayah pegunungan dan perbukitan, ada yang beriklim kering dan ada yang beriklim lembab, dan masing-masing wilayah memiliki keunggulan komoditas yang berbeda-beda. Kondisi ini seyogianya menghasilkan sebuah determinisme geografis, bahwa pola konsumsi pangan di Indonesia akan menyesuaikan dengan lingkungan geografisnya. Namun demikian, asumsi ini tidak sepenuhnya benar, 6
“RI Impor Beras 2,25 Juta Ton Sepanjang 2018, Ini Rinciannya�, diunduh dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4386820/ri-impor-beras-225-juta-ton-sepanjang-2018-inirinciannya, pada tanggal 11 Mei 2019, Pukul 17.25 WIB.
5
karena
mayoritas
atau
sebagian
besar
masyarakat
Indonesia,
masih
menempatkan beras sebagai konsumsi utama sehari-hari. Sebagai akibatnya, kelangkaan keberadaan beras di pasar akan berdampak signifikan terhadap kedaulatan pangan nasional. Untuk menyikapi kondisi ini, instansi pemerintah terkait sudah seyogianya menggalakkan program konsumsi komoditas non-beras sebagai makanan pokok, semisal sagu, gandum, atau jagung, sesuai dengan kondisi geografis masing-masing wilayah di Indonesia.
Indonesia memiliki atribusi geografis yang sangat mendukung untuk mewujudkan visi kemandirian pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyatnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan identifikasi permasalahan secara tepat, serta pengambilan solusi atau tindak lanjut yang cermat berbasis keunggulan nasional yang dimiliki agar cita-cita kedaulatan pangan nasional dapat terwujud secara konkret dan tanpa kendala berarti.
Daftar Pustaka: Wijoyo Soepandji, Kris. 2019. Geopolitik, Negara, dan Bangsa Masa Kini. Jakarta: Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 37 Maret 2019. “Dinamika Iklim di Indoensia”, diunduh dari http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/katam/bagian-2.pdf, pada tanggal 11 Mei 2019 “Meski Sering Gempa, Ini Keuntungan Indonesia ada di Cincin Api Pasifik”, diunduh dari https://kumparan.com/@kumparansains/meski-sering-gempa-ini-keuntunganindonesia-ada-di-cincin-api-pasifik-1538966218783046842, pada tanggal 11 Mei 2019 “Kedaulatan Pangan”, diunduh dari https://spi.or.id/isu-utama/kedaulatan-pangan/, pada tanggal 11 Mei 2019 “Kedaulatan Pangan Harus Gantikan Konsep Ketahanan Pangan”, diunduh dari https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2019/02/13/kedaulatan-pangan-harusgantikan-konsep-ketahanan-pangan “RI Impor Beras 2,25 Juta Ton Sepanjang 2018, Ini Rinciannya”, diunduh dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4386820/ri-impor-beras-225-jutaton-sepanjang-2018-ini-rinciannya
6