“Meningkatkan Interaksi Antar Etnis di Indonesia Guna Mencegah Konflik Sosial”
Ada sebuah anekdot di masyarakat untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya mengurus sebuah negara bernama Indonesia. “...Lee Kuan Yew sukses mengurus Singapura, tapi belum tentu sukses mengurus Indonesia karena luas Singapura bahkan tak lebih besar dari Jakarta”. Anekdot tersebut memang tak berlebihan apabila merujuk betapa pluralnya bangsa Indonesia baik dari segi bahasa, adatistiadat, suku, etnis, agama dan kepercayaan. Pluralitas yang dimiliki Indonesia tersebut juga menjadi faktor penyebab mengapa selama kurang lebih tiga setengah abad bangsa Indonesia dibelenggu oleh kolonialisme sebelum munculnya kesadaran untuk bersatu padu melalui Sumpah Pemuda pada 29 Oktober 1928. Salah satu pluralitas yang menjadi atensi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini untuk dikelola lebih baik ke depannya adalah mengenai keragaman etnis. Keragaman etnis suka tidak suka menciptakan semacam fragilitas bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Jika pada masa revolusi fisik permasalahan keragaman etnis tercermin dari perjuangan sporadis masing-masing suku dan etnis dalam melawan penjajah kolonial sehingga mudah dipatahkan, maka permasahan pada hari ini adalah terciptanya segregasi di masyarakat melalui konflik berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Konflik di sini tidak hanya bersifat horizontal, tapi juga kerap dikomodifikasi oleh sekelompok orang demi kepentingan tertentu (vested interest). Ada banyak konflik sosial yang terjadi di Indonesia yang mana bisa dijadikan pembelajaran penting baik bagi pemerintah maupun masyarakat agar tidak terulang kembali. Pertama konflik Sampit yang terjadi pada 2001. Konflik ini mewujud dalam bentuk pertikaian berdarah yang melibatkan suku Dayak dan suku Madura sebagai pendatang di tanah Kalimantan. Konflik ini sedikitnya memakan korban 500 orang warga tewas dan 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Konflik Sampit bisa disebut sebagai konflik etnis murni yang terjadi karena perebutan lahan tempat tinggal dan mata pencaharian.1 Konflik lainnya yang berbasis etnis yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran ke depan adalah kerusuhan Sambas. Kerusuhan Sambas terjadi di Sambas, “4 Penyebab Perang Sampit Yang Terjadi Pada Tahun 2001”, diunduh dari https://hukamnas.com/penyebab-perang-sampit, pada tanggal 23 Juni 2019, pukul 20.16 WIB. 1
1
Kalimantan Barat, pada 1999. Dalam konflik ini, terjadi pertikaian antara etnis Madura, Melayu, Bugis, yang kemudian juga melibatkan suku Dayak. Kerusuhan ini mengakibatkan sedikitnya 265 orang tewas (252 orang suku Madura, 12 orang suku Melayu, serta 1 orang suku Dayak), 38 orang luka berat, serta 9 orang luka ringan. Selain itu, kerusuhan ini mengakibatkan kerugian materil yang tidak sedikit, yakni sebanyak 2.330 rumah hangus terbakar dan 164 rumah dirusak massa, empat mobil dibakar dan enam dirusak, serta sembilan sepeda motor dibakar dan satu dirusak.2 Masih banyak lagi kerusuhan lainnya yang berbasis etnis seperti konflik antar suku di Papua serta konflik antar etnis di Morowali, Sulawesi Tengah, di mana masyarakat saling serang dengan menggunakan senjata tajam.3 Beragam konflik tersebut seyogianya dijadikan sebagai pembelajaran penting untuk merawat kebhinnekaan ke depan. Bahwa pluralitas di satu sisi menghasilkan keunggulan komparatif bagi bangsa dan negara dalam bentuk modal sosial yang besar, namun di sisi lain dapat menjadi katalisator terjadinya segregasi sosial di masyarakat. Konflik adalah sebuah keniscayaan untuk terjadi, bahkan sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia. Tugas kita bersama untuk mengelola konflik agar tidak memberikan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan pada apa yang dijelaskan pada latar belakang, maka dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa dibutuhkan sebuah manajemen atau tata kelola yang baik dari pemerintah terhadap keragaman etnis yang dimiliki oleh Indonesia. Beragam konflik etnis yang terjadi selaiknya menjadi bahan analisis untuk melakukan perbaikan ke depan. Ada banyak faktor yang bisa dicermati sebagai kausa munculnya konflik etnis di masyarakat. Kausa-kausa tersebut antara lain faktor kesejahteraan yang belum terpenuhi, dalam hal ini adalah pendapatan seharihari yang minim, lahan pertanian yang tidak berbanding lurus dengan jumlah penduduk, minimnya tingkat pendidikan sehingga mempengaruhi pola pikir dan cara pandang, kebijakan transmigrasi yang hanya berbasis pada analisis ekonomi saja, tapi menegasikan analisis di bidang sosial budaya, pranata sosial budaya yang belum berfungsi secara optimal, dan masih banyak lagi.
“Dendam Laten di Bumi Borneo�, diunduh dari https://www.liputan6.com/news/read/9009/dendamlaten-di-bumi-borneo, pada tanggal 23 Juni 2019, pukul 20.27 WIB. 3 “Konflik Antar Suku Pecah di Morowali�, diunduh dari https://sultrakini.com/berita/123932, pada tanggal 23 Juni 2019, pukul 20.35 WIB. 2
2
Ragam
kausa
tersebut
menjadi
bahan
bagi
penulis
untuk
merumuskan
permasalahan dalam tulisan ini sebagai berikut: “Bagaimana Meningkatkan Interaksi Antar Etnis di Indonesia Guna Mencegah Terjadinya Konflik Sosial?’”. Pada hemat penulis, permasalahan di level sosial budaya, seyogianya diselesaikan juga melalui mekanisme budaya, bukan mekanisme lainnya. Dalam hal in solusi yang digunakan adalah pendekatan penguatan interaksi antar etnis yang berbeda melalui komunikasi antar budaya yang tepat dan efektif. Komunikasi antar budaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yakni perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan oleh perbedaan kebudayaan. Sebagai konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya, maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Definisi yang paling sederhana dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar
belakang
kebudayaannya. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,
Intercultural Communication: A Reader,
mendefinisikan komunikasi antar budaya sebagai komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnis dan ras, serta antar kelas sosial. Samovar dan Peter juga mengatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.4 Bagian Pembahasan ini akan mengupas secara terperinci mengenai permasalahanpermasalahan yang muncul di seputar isu peningkatan interaksi antar etnis di Indonesia guna mencegah konflik sosial, beserta alternatif solusi yang ditawarkan kepada pemangku kepentingan nasional. Alternatif solusi yang ditawarkan akan merujuk pada kondisi faktual serta teori seperti yang dipaparkan pada landasan teoritis, sebagai berikut:
“Teori Komunikasi dan Komunikasi Antar Budaya”, diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/17360/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllow ed=y, pada tanggal 23 Juni 2019, pukul 21.08 WIB. 4
3
a) Internalisasi Empat Konsensus Nasional Terhadap Segenap Lapisan Masyarakat Tanpa Kecuali; Di tengah era globalisasi dengan produk paling mutakhirnya yang dikenal dengan sebutan Revolusi Industri 4.0., diskursus mengenai konsensus nasional menjadi semakin samar, bahkan cenderung hilang. Jarang sekali terdengan pembahasan mengenai nilai-nilai Pancasila di kalangan anak muda, kajian mengenai kebhinnekaan di antara para pemuda. Mereka semua tenggelam dalam hingar bingar kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Jika para generasi muda yang terdidik dengan baik tersebut saja tidak mampu menjadikan empat konsensus nasional5 sebagai elan vital dalam kehidupan bermasyarakat, sudah barang tentu kondisinya lebih mengkhawatirkan bagi masyarakat yang berada pada daerah-daerah pedalaman nan terpencil, yang mana pendidikan untuk sekedar baca tulis saja adalah menjadi sebuah kemewahan
tersendiri.
Sangat
sulit
untuk
menginternalisasikan
empat
konsensus nasional sebagai nilai dasar apabila aspek fundamentalnya saja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh sebab itu, terdapat dua kata kunci di sini, yakni penguatan aspek pendidikan, serta program yang berkesinambungan untuk menyosialisasikan dan menginternalisasikan empat konsensus nasional ke segenap lapisan masyarakat.
b) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan (Lingua Franca); Komunikasi antar budaya merupakan elemen vital dalam meningkatkan interaksi antar etnis di Indonesia yang beragam, terlebih lagi dalam konteks mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat. Komunikasi antar budaya hanya dapat tercipta apabila masing-masing etnis dan suku yang beragam tersebut memiliki moda yang sama untuk digunakan. Moda di sini adalah bahasa nasional sebagai lingua franca, bahasa yang dimengerti dan disepakati untuk digunakan secara bersama-sama. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari beragam etnis dan daerah menyatakan tekadnya untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Lahirnya kesepakatan ini bukanlah sebuah konsensus yang lahir 5
Empat konsensus nasional yang dimaksudkan di sini adalah Pancasila, UUD NRI 1945, Sesanti Bhinneka Tunggal Ika, dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
4
secara ujuk-ujuk, melainkan melalui kelumit sejarah perjuangan yang panjang. Mereka menyadari bahwa fragmentasi perjuangan sepanjang revolusi fisik tidak membuahkan kemerdekaan karena mereka tidak berkomunikasi dalam modal yang sama. Dalam konteks prevensi konflik sosial, penggunaan bahasa Indonesia diharapkan menjadi alat kontrol untuk mencegah terjadinya bias dalam berkomunikasi, kesalahpahaman satu sama lain, perbedaan makna dalam proses penafsiran, serta mengukuhkan semangat ke-kitaan sebagai bangsa Indonesia.
c) Kebijakan Sosial dan Kebudayaan Yang Komprehensif dalam Mencegah Terjadinya Konflik Sosial di Masyarakat; Dalam studi ketahanan nasional dipahami bahwa masing-masing gatra penyusun ketahanan nasional suatu negara saling terkait satu sama lain, tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, formulasi kebijakan pada satu bidang, seyogianya meletakkan konsiderasi pada bidang lainnya. Sebagai contoh sederhana, kebijakan
transmigrasi
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
dalam
rangka
menciptakan pemerataan persebaran penduduk, tidak hanya berlandaskan pada basis analisis studi demografi saja atau ekonomi saja, tapi juga menghitung aspek terkait lainnya seperti sumber kekayaan alam dan sosial budaya. Jika kebijakan transmigrasi ini tidak menghitung aspek sumber kekayaan alam, maka dikhawatirkan terjadi perebutan sumber kekayaan alam antara penduduk lokal dan masyarakat pendatang. Hal inilah yang terjadi pada konflik Sampit dan Sambas di Kalimantan tempo dulu. Hal yang sama berlaku pada basis analisis sosial budaya. Kebijakan transmigrasi membutuhkan basis analisis sosial dan budaya karena kebijakan ini mempertemukan masyarakat dengan pola pikir dan sudut pandang yang berbeda. Melalui basis analisis sosial budaya yang kuat misalnya, dapat ditentukan apakah perbauran masyarakat lokal dan pendatang nantinya mengarah pada asimilasi atau akulturasi, termasuk kemungkinan terjadinya konflik sosial itu sendiri.
Simpulan Konflik Sampit dan kerusuhan Sambas di Kalimantan yang terjadi pada hampir dua dasawarsa yang silam mengajarkan kepada kita, bangsa Indonesia, bahwa merawat persatuan dan kesatuan bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan. Jika pada 5
masa lalu semangat persatuan dan kesatuan sangat mudah untuk diikat karena adanya musuh bersama, yakni penjajah asing, maka dewasa ini ini semangat tersebut perlahan tapi pasti luntur dan hilang. Arus globalisasi yang kencang begitu mudah menghapus ingatan kolektif dan kolegial bangsa betapa tidak mudahnya merebut kemerdekaan. Gesekan sedikit saja di masyarakat yang berbeda suku dan etnis misalnya, dengan mudah menjadi bahan bekar terjadinya konflik sosial yang memakan korban jiwa dan harta. Oleh sebab itu, dibutuhkan peningkatan interaksi antar etnis di Indonesia melalui perspektif komunikasi antar budaya yang efektif agar konflik sosial bisa dihindari. Dengan demikian persatuan dan kesatuan lebih mudah disulam lebih kuat.
Daftar Pustaka: “4 Penyebab Perang Sampit Yang Terjadi Pada Tahun 2001”, diunduh dari https://hukamnas.com/penyebab-perang-sampit “Dendam Laten di Bumi Borneo”, diunduh dari https://www.liputan6.com/news/read/9009/dendam-laten-di-bumi-borneo “Konflik Antar Suku Pecah di Morowali”, diunduh dari https://sultrakini.com/berita/123932 “Teori Komunikasi dan Komunikasi Antar Budaya”, diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/17360/Chapter%20II.pdf?sequ ence=4&isAllowed=y
6