“OPTIMALISASI PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL SEBAGAI PIRANTI GATRA SIBER GUNA MENDUKUNG STABILITAS KEAMANAN NASIONAL JELANG PILPRES 2019�
Pada 17 April 2019 yang akan datang, bangsa Indonesia akan merayakan perhelatan pesta demokrasi terbesar lima tahunan, yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Seperti jamaknya pemilu pada umumnya, masing-masing kontestan akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dukungan, simpati, serta suara publik melalui penyampaian visi misi, kunjungan langsung kepada rakyat pemegang hak suara, hingga kampanye politik resmi melalui mekanisme yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun demikian, situasi yang patut disayangkan untuk terjadi adalah mencuatnya fenomena hoaks atau kabar bohong di seputar perhelatan ini. Fenomena hoaks di sini sangat mengkhawatirkan karena dapat memecah belah masyarakat,
menciptakan
perbenturan
antar
kontestan
Pemilu,
hingga
mengancam persatuan dan kesatuan. Banyaknya penggunaan media sosial di Indonesia, tapi digunakan dengan kadar tanggung jawab sosial dan moral yang rendah, serta belum optimalnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, menyebabkan alih-alih media sosial bermanfaat dalam merajut persatuan dan kesatuan, tapi justru berdampak sebaliknya. Merujuk pada data yang dirilis oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia, sedikitnya 62 konten hoaks terkait Pilpres 2019 teridentifikasi selama periode Agustus hingga Desember 2018. Pada Agustus 2018 misalnya, beredar hoaks bahwa Tiongkok meminta Jokowi untuk menjual Pulau Jawa dan Sumatera serta isu bahwa Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, menyetujui kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Pada September 2018, hoaks yang beredar antara lain pelaku bom bunuh diri di Surabaya masih hidup dan dukung 2019 ganti presiden, serta isu bahwa Capres Prabowo Subianto memiliki hutang sebesar Rp. 17 Triliun. Hoaks lainnya yang berhembus antara Oktober hingga Desember 2018 yakni PDI-P meminta agar seluruh pesantren ditutup, tersebarnya foto seksi Grace Natalie yang merupakan Ketua Umum PSI pendukung Jokowi-Amin, hingga foto Prabowo Subianto di
dinding pemimpin luar negeri.1 Ada banyak kausa untuk menjelaskan mengapa hoaks begitu tumbuh subur menjelang Pemilu. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, sedikitnya ada tiga faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Pertama, ketiadaan regulasi yang belum menjangkau pemberantasan hoaks. Kedua, adanya semacam pembiaran yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon. Ketiga, lambannya respons dari lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu.2 Secara spesifik Titi menjelaskan bahwa faktor pertama terjadi karena adanya disparitas pemaknaan penegakan hukum, sedangkan faktor kedua terjadi karena pasangan calon tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memerangi hoaks. Sedangkan faktor ketiga, sangat erat kaitannya dengan kapasitas dan kapabilitas penyelenggara Pemilu dalam menangani
penyebaran hoaks.
Secara genealogis, maraknya hoaks yang terjadi merupakan resultansi dari masifnya penggunaan media sosial di masyarakat. Penggunaan media sosial sendiri merupakan “anak kandung” dari globalisasi yang melanda seluruh dunia. Globalisasi memproduksi berbagai kemudahan bagi umat manusia melalui kemunculan gawai dan perangkat canggih di bidang informasi, komunikasi, serta transportasi. Mengutip istilah Yasraf Amir Piliang, globalisasi membuat dunia seakan dilipat.3 Disadari atau tidak, globalisasi pada umumnya, dan serta deviasi penggunaan media sosial melalui hoaks pada khususnya, merupakan ancaman terhadap ketahanan nasional bangsa, utamanya terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional jelang Pilpres 2019. Eksistensi hoaks yang berada pada ranah siber yang notabene tidak berwujud secara fisik, memiliki sekup yang luas, serta berdaya rusak tinggi terhadap moral dan integrasi bangsa, perlu disikapi dengan “62 Hoax Pemilu 2019 Teridentifikasi Kominfo, Ini Daftarnya”, diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-4368351/62-hoax-pemilu-2019-teridentifikasi-kominfo-ini-daftarnya , pada tanggal 26 Maret 2019, pukul 16.05 WIB. 2 “Mengapa Hoaks Lestari Dalam Pemilihan Umum di Indonesia ?”, diunduh dari https://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/20162671/mengapa.hoax.lestari.dalam.pemilihan.u mum.di.indonesia, pada tanggal 26 Maret 2019, pukul 16.15 WIB. 3 Amir Piliang, Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat. Bandung: Jalasutra. Halaman 4. 1
1
cepat dan tepat. Di sinilah urgensi kewaspadaan nasional segenap komponen bangsa sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa Indonesia terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa atau NKRI.4 Pemilihan umum, baik dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres), maupun Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), sejatinya merupakan media bagi segenap rakyat Indonesia untuk memilih figur pemimpin yang diyakini mampu mengemban amanah dan cita-cita perjuangan bangsa. Namun media ini menjadi sumir dan terdistorsi tatkala muncul beragam hoaks yang mendiskreditkan masing-masing calon sehingga membingungkan rakyat dalam menentukan pilihan. Faktor
penyebab
utama
maraknya
penyebaran
hoaks
tersebut
adalah
penggunaan media sosial yang tidak terkendali dan minim tanggung jawab moral dan sosial oleh para penggunanya. Hal ini semakin kompleks ketika para pemangku kepentingan Pemilu, serta pemerintah pada umumnya, masih memiliki celah atau titik lemah dalam hal mitigasi dan penanganan hoaks. Berikut pemetaan masalah serta alternatif solusi yang ditawarkan kepada para pemangku kepentingan terkait, sebagai berikut:
a) Penguatan Regulasi atau Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pemberantasan Penyebaran Hoaks Dalam
suatu
negara
perundang-undangan
hukum sangat
(rechstaat), dibutuhkan
regulasi dalam
atau
peraturan
mengelola
suatu
permasalahan sebagai restriksi yuridis agar sebuah tindakan tidak merugikan kepentingan masyarakat banyak. Selain eksistensi dari regulasi atau peraturan perundang-undangan tersebut, hal terpenting lainnya adalah penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam upaya pemberantasan penyebaran hoaks, regulasi yang sudah diterbitkan oleh pemerintah antara lain penggunaan Kitab Undang-Undang
4
Bahan Ajar PPRA Lemhannas RI 2019, Bidang Studi Kewaspadaan Nasional. Halaman 49-50.
2
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Penerapan berbagai regulasi tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap para pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian. Sebagai contoh, jikalau hoaks yang disebarkan dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, serta mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat, maka sanksi hukuman (pidana penjara) yang dapat dikenakan adalah enam tahun dan/atau denda sebesar Rp. 1 Miliar. 5
b) Strategi Kontra Hoaks dan Ujaran Kebencian dari Para Pemangku Kepentingan Terkait Dipahami bersama bahwa hoaks merupakan konsekuensi logis yang hadir dari maraknya penggunaan media sosial serta masifnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Hanya dengan sebuah gawai elektronik, setiap orang dapat memberikan opini serta menyebarkan informasi, meskipun jauh dari validitas dan kebenaran faktual. Namun demikian, situasi dan kondisi seperti ini tidak serta merta menjadi sebuah dasar atau penghakiman bahwa media sosial selamanya berdampak negatif terhadap masyarakat, maupun bangsa dan negara. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah langkah cerdik untuk mengatasinya, yakni melalui strategi kontra opini di media sosial sehingga dapat menjadi daya tangkal terhadap hal-hal yang sifatnya negatif. Para pemangku kepentingan Pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri, TNI, serta kelompok masyarakat madani peduli terhadap kelancaran dan kesuksesan Pemilu, dapat menggunakan media sosial dengan mengunggah konten-konten positif yang dapat menggerakkan masyarakat untuk menolak kabar bohong, isu menyesatkan, serta ujaran “Penebar Hoaks Bisa Dijerat Segudang Pasal�, diunduh dari https://kominfo.go.id/content/detail/8863/penebar-hoax-bisa-dijerat-segudang-pasal/0/sorotan_me dia, pada tanggal 26 Maret 2019, pukul 18.22 WIB. 5
3
kebencian yang dihembuskan oleh para perusak bangsa di media sosial. Upaya-upaya para pemangku kepentingan tersebut lebih lanjut telah ditopang melalui inisiatif pemerintah dengan mendirikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai penanggung jawab matra siber di Indonesia. Adapun tugas pokok lembaga ini adalah melaksanakan keamanan siber secara efektif dan
efisien
dengan
memanfaatkan,
mengembangkan,
serta
mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber. 6 Bagaimanapun hoaks adalah sebuah ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan nasional, terlebih lagi terdapat potensi bahwa hoaks tidak hanya dihembuskan oleh pihak domestik saja, tapi juga terindikasi adanya anasir-anasir asing. Oleh sebab itu, sinergi dan koordinasi antar pemangku kepentingan adalah sebuah keharusan agar terwujud kewaspadaan nasional yang tangguh.
c) Edukasi Sosial dan Kultural serta Pendidikan Politik Kepada Masyarakat Dalam Penggunaan Media Sosial Globalisasi secara genealogis merupakan produk sosial dan budaya. Globalisasi muncul sebagai sebuah kemajuan dari daya cipta, rasa, karsa, serta karya manusia. Hanya saja kognisi dan pengetahuan manusia berbeda-beda sehingga respons terhadap globalisasi juga berbeda-beda. Ada
yang
menggunakannya
untuk
tujuan
positif,
ada
juga
yang
menggunakannya untuk tujuan destruktif. Hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial adalah contohnya. Upaya-upaya penegakan hukum melalui berbagai regulasi dan peraturan perundang-undangan memang sudah ditempuh oleh pemerintah, hanya saja hal ini lebih bersifat legal formal. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya lain yang bersifat jangka panjang dan internalistik, yakni melalui edukasi sosial kultural serta pendidikan politik kepada masyarakat agar penggunaan media sosial lebih memberikan nilai. “Tugas dan Fungsi BSSN�, diunduh dari https://bssn.go.id/tugas-dan-fungsi-bssn/, pada tanggal 26 Maret 2019, pukul 18.40 WIB. 6
4
Ada banyak strategi sosial kultural yang dapat dikedepankan seperti menggiatkan budaya literasi atau membaca di kalangan masyarakat. Di sisi lain memang upaya ini membuka sebuah fakta bahwa miskinnya budaya literasi di Indonesia justru menjadi penyebab maraknya hoaks itu sendiri. Oleh sebab itu, situasi kritis yang diciptakan dari penyebaran hoaks ini seyogianya menjadi daya tekan kepada para pemangku kepentingan untuk semakin mendorong majunya literasi. Hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah melalui institusi terkait seperti Perpustakaan Nasional RI, Kemendikbud RI, Kemenristekdikti RI, serta Arsip Nasional RI. Upaya pelibatan media arus utama yang kredibel juga merupakan strategi sosial budaya dalam memerangi hoaks. Maraknya hoaks disebabkan oleh menjamurnya produk-produk sosial budaya oleh media gurem dan amatir berwujud digital yang tidak terkontrol dengan baik. Terakhir, dalam konteks memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk bijak bermedia sosial jelang Pilpres, dapat dilakukan dengan melibatkan para tokoh, baik tokoh agama, masyarakat, pemuda, hingga para akademisi berintegritas dalam memberikan ceramah, kuliah serta sosialisasi untuk menggunakan media sosial secara cerdas dan bertanggung jawab.
Simpulan •
Salah satu tantangan besar dalam penyelenggaraan Pilpres 2019 ke depan adalah maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial yang menyebabkan konflik di masyarakat, benturan antar pasangan calon, hingga terganggunya stabilitas politik dan keamanan nasional.
•
Hoaks melalui media sosial pada hakikatnya merupakan produk dan resultansi globalisasi. Melalui globalisasi, tercipta berbagai gawai dan perangkat canggih yang memudahkan dalam komunikasi, berbagi informasi, serta transportasi. Hanya saja kemajuan tersebut tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral dan sosial yang baik dalam penggunaannya.
•
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab membuncahnya hoaks di media sosial. Pertama, minimnya regulasi serta lemahnya penegakan hukum dalam 5
pemberantasan hoaks. Kedua, terdapat semacam pembiaran oleh pasangan calon yang berkontestasi dalam Pemilu selama hoaks itu menguntungkan mereka. Ketiga, kurang optimal dan lambannya respons para penyelenggara Pemilu dalam pemberantasan hoaks.
Saran •
Dibutuhkan regulasi atau peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat sebagai kerangka legal formal dalam pemberantasan hoaks. Beberapa regulasi tersebut yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronil (ITE), serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
•
Implementasi dan diseminasi strategi kontra hoaks dan ujaran kebencian dari para pemangku kepetingan terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri, TNI, hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
•
Dibutuhkan strategi sosial kultural untuk penanganan masalah hoaks di masyarakat. Oleh sebab itu, dibutuhkan penguatan budaya literasi di masyarakat serta partisipasi media arus utama yang kredibel untuk menanggulanginya. Selain itu, dapat diselenggarakan sebuah pendidikan politik dengan melibatkan tokoh-tokoh agama, masyarakat, kepemudaan, serta para akademisi berintegritas untuk mengarahkan pengguna media sosial agar cerdas dan bertanggung jawab dalam penggunaannya.
Daftar Pustaka;
Amir Piliang, Yasraf. 2004. Dunia yang Dilipat. Bandung: Jalasutra. Halaman 4. “62 Hoax Pemilu 2019 Teridentifikasi Kominfo, Ini Daftarnya”, diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-4368351/62-hoax-pemilu-2019-teridentifikasi-komi nfo-ini-daftarnya “Mengapa Hoaks Lestari Dalam Pemilihan Umum di Indonesia ?”, diunduh dari https://nasional.kompas.com/read/2017/05/03/20162671/mengapa.hoax.lestari.d 6
alam.pemilihan.umum.di.indonesia “Penebar Hoaks Bisa Dijerat Segudang Pasal”, diunduh dari https://kominfo.go.id/content/detail/8863/penebar-hoax-bisa-dijerat-segudang-pas al/0/sorotan_media “Tugas dan Fungsi BSSN”, diunduh dari https://bssn.go.id/tugas-dan-fungsi-bssn/
7