“OPTIMALISASI PENCAPAIAN KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA DALAM KERANGKA KERJA SAMA INDO-PASIFIK�
Kaum liberalisme klasik serta neo-liberalisme dalam studi hubungan internasional yang dipelopori oleh para filsuf seperti John Locke, Adam Smith, Immanuel Kant, serta Jeremy Bentham memaparkan sebuah tesis menarik bahwa negara-bangsa sebagai sebuah entitas politik yang berdaulat cenderung mengedepankan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan nasionalnya. Hal ini merujuk pada asumsi dasar kaum liberalisme yang percaya akan potensi sisi positif manusia, kekuatan aturan hukum (rule of law), demokrasi, dan hak-hak asasi manusia (Steans, Pettiford, Diez, 2005:22). Pada periode pasca Perang Dunia ke-I, dikenal bentuk kerja sama bernama Liga Bangsa-Bangsa (LBB), kemudian berlanjut pada pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasca berakhirnya Perang Dunia ke-II dan bertahan hingga kini. Dewasa ini, di tengah turbulensi politik global yang ditandai meletusnya konflik di berbagai belahan dunia, muncul bentuk kerja sama baru di antara negara-negara yang terletak pada lingkar Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Wadah ini dinamakan sebagai kerja sama Indo-Pasifik. Pada 2013, Indonesia melalui menteri luar negerinya waktu itu, Marty Natalegawa, pernah menyampaikan idenya mengenai kerja sama Indo-Pasifik. Dalam pemahaman Indonesia, interaksi antar negara di kedua samudera harus dibungkus dalam kerangka kerja sama yang kuat, tidak dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai perimbangan kekuatan (balance of power), melainkan berupaya mewujudkan keseimbangan yang dinamis dengan mengakomodasi kepentingan semua kekuatan mayor di kawasan. Pasca pernyataan Marty Natalegawa, tepatnya pada 2017, Jepang sebagai salah satu kekuatan di kawasan Asia Pasifik turut mengutarakan konsep Free and Open Indo Pacific (FOIP) yang telah menjadi patokan kebijakan keamanan Shinzo Abe. Sekutu strategis Jepang, yakni Amerika Serikat, melalui Menteri Pertahanannya kala itu, Jim Mattis, juga menyatakan bahwa kawasan Indo-Pasifik telah menjadi
prioritas kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam rangka membendung ekspansi Tiongkok di kawasan. Kesepakatan negara-negara anggota untuk membentuk kerja sama Indo-Pasifik pada hakikatnya menunjukkan betapa strategis serta bernilainya kawasan Indo-Pasifik, baik secara ekonomis, maupun geopolitik. Hal ini secara tidak langsung mendorong negara-negara yang tergabung di dalamnya, utamanya negara dengan kekuatan mayor, untuk berlomba-lommba mencapai kepentingan nasionalnya sendiri, bahkan tak segan untuk berkonflik dengan negara lain. Sehingga dengan demikian, masing-masing negara tak segan untuk menempuh cara-cara unilateral, khas prinsip kaum realisme klasik. Gelagat terciptanya konflik antar negara Indo-Pasifik bisa dibaca dengan jelas. Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, pada November 2017 pernah melontarkan gagasan mengenai kerja sama Indo-Pasifik versi Amerika Serikat. Poin penting yang hendak disampaikan dalam gagasan tersebut adalah upaya Amerika Serikat
untuk mengajak India, Australia,
serta Jepang untuk
mengimbangi pengaruh Tiongkok di kawasan. India tak mau ketinggalan. Sebagai salah satu kekuatan baru di Pasifik, India melontarkan gagasan untuk membentuk Indo-Pacific Treaty Organization (IPTO), meniru pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO) di Eropa. Upaya ini menunjukkan hasrat India untuk menjalankan politik perimbangan kekuatan di kawasan dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya.1 Berbeda dengan negara lainnya, Tiongkok tetap berkhidmat pada mekanisme perdagangan dan investasi melalui implementasi gagasan One Belt One Road (OBOR) sebagai sebuah daya tarik Tiongkok bagi negara lain dari sisi pasar dan finansial. Bagaimana dengan peran Indonesia pada kerangka kerja sama ini? Apa saja yang menjadi kepentingan nasional Indonesia? Apa saja yang menjadi tantangan dan hambatannya? Indonesia sudah bergerak menjadi negara besar, bukan lagi sebagai negara potensial. Hal ini bisa merujuk pada pernyataan Jim O’Neill, “Understanding China Belt and Road Initiative�, diunduh dari https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding%20China%E2%80%99 s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.pdf, pada tanggal 7 April 2019, pukul 02.05 WIB. 1
1
ekonom senior Goldman Sachs Asset and Management, yang mengelompokkan Indonesia bersama Meksiko, Nigeria, dan Turki (MINT) sebagai poros baru ekonomia dunia. 2 Oleh sebab itu, besarnya kapasitas Indonesia seyogianya berbanding lurus dengan upaya untuk mengoptimalisasi kerangka kerja sama Indo-Pasifik dalam mendukung kepentingan nasionalnya di semua gatra berbangsa dan bernegara. Namun demikian ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, yang mana masing-masing tantangan berkarakter khusus atau spesifik. Pertama, tanggung jawab moral Indonesia untuk mengedepankan instrumen ASEAN dalam kerja sama Indo-Pasifik. Kedua, konsistensi Indonesia untuk menjalankan prinsip politik luar negeri bebas aktif di tengah menguatnya unilateralisme di antara kekuatan mayor kawasan. Ketiga, upaya Indonesia untuk mengelola isu Papua yang menjadi sorotan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Pembentukan sebuah mekanisme kerja sama regional dan supranasional pada hakikatnya ditujukan untuk menciptakan kemudahan bagi sebuah negara-bangsa dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Namun demikian, tidak dimungkiri bahwa hal tersebut mengundang kompleksitas atau kesukaran tersendiri bagi negara-bangsa di dalamnya sehingga menuntut untuk disikapi dan diselesaikan dengan baik. Hal inilah yang dijumpai Indonesia dalam konteks kerja sama Indo-Pasifik. Alih-alih mencapai ragam kemudahan dalam hubungan internasional, Indonesia dituntut untuk memainkan peran yang fleksibel namun sigap terhadap beragam ancaman, gangguan, hambatan, serta tantangan yang menghadang kepentingan nasional di depan. Pada bagian ini, akan dipaparkan secara mendetil apa saja yang menjadi tantangan Indonesia tersebut, serta alternatif solusi apa yang ditawarkan kepada para pemangku kepentingan, sebagai berikut:
“Indonesia Negara Maju Ala MINT�, diunduh dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/01/08/mz2eqk-indonesia-negara-maju-ala-m int, pada tanggal 2 April 2019, pukul 19.05 WIB. 2
2
a) Pengarusutamaan Mekanisme ASEAN Dalam Kerja Sama Indo Pasifik Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-32 ASEAN yang dilaksanakan di Singapura pada 28 April 2018 yang silam menyatakan bahwa pengembangan kerangka kerja sama Indo-Pasifik harus mengacu
pada
prinsip-prinsip
keterbukaan,
inklusif,
transparan,
mengedepankan kerja sama serta persahabatan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kerja sama yang dilakukan harus tetap mengedepankan sentralitas ASEAN.3 Pengarusutamaan ASEAN ini memiliki peranan vital karena kerja sama Indo-Pasifik memiliki relevansi dengan tujuan ASEAN serta tantangan bagi ASEAN sendiri untuk dapat menunjukkan kemampuannya dalam merespons perubahan lingkungan strategik. Secara teoritis, upaya Indonesia untuk mengarusutamakan penggunaan instrumen
ASEAN
tidak
terlepas
dari
maksud
untuk
menciptakan
perimbangan kekuasaan secara harmonis, mengingat kompleks dan tajamnya perbenturan kepentingan antar negara anggota kerja sama Indo Pasifik. Tanpa penggunaan instrumen ASEAN, negara anggota ASEAN akan terjebak pada sikap unilateralisme dalam pencapaian kepentingan nasional, bahkan
secara
kalkulatif
berpotensi
tidak
mampu
untuk
mencapai
kepentingan nasionalnya. Perimbangan kekuasaan atau balance of power sendiri adalah sebuah teori dalam studi hubungan internasional yang menyatakan bahwa setiap negara atau sebuah kelompok negara melindungi negaranya dengan cara mengimbangi kekuatan negara yang menjadi rivanya. Teori ini merupakan produk kaum realis, baik klasik maupun positivis, dengan para prominennya seperti Thomas Hobbes, Nicollo Machiavelli, serta Kenneth Waltz. 4 Pada kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga usulan dalam mengedepankan peranan ASEAN. Pertama, ASEAN harus “Kerja Sama Indo-Pasifik Harus Inklusif dan Utamakan Kerja Sama”, diunduh dari http://ksp.go.id/kerja-sama-indo-pasifik-harus-inklusif-dan-utamakan-kerja-sama/index.html, pada tanggal 7 April 2019, pukul 02.10 WIB. 4 “Balance of Power”, diunduh dari http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/14831/2/T1_372013006_BAB%20II.pdf, pada tanggal 15 April 2019, pukul 18.00 WIB. 3
3
dapat menjadi motor penggerak bagi terwujudnya enabling environment. Pada intinya, Indonesia mengajak semua negara-negara kawasan untuk mematuhi hukum dan norma internasional yang berlaku, mengembangkan mekanisme
dialog
dalam
menyelesaikan
persoalan
yang
timbul,
penyelesaian sengketa secara damai dengan menghindari penggunan kekerasan. Kedua, ASEAN harus dapat mendayagunakan sumber daya yang dimiliki untuk menanggulangi tantangan keamanan, khususnya berbagai kejahatan internasional. Beberapa bentuk kejahatan internasional yang perlu lebih dicermati di antaranya radikalisme, terorisme internasional, perdagangan narkoba, serta perompakan di laut. Ketiga, ASEAN harus pro-aktif dalam menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru, khususnya di Samudera Hindia. Oleh sebab itu, ASEAN harus tetap menjaga sistem ekonomi yang bersifat terbuka dan adil seperti yang dijalankan selama ini.5
b) Konsistensi Dalam Implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif Di Tengah Turbulensi Global Konsepsi politik luar negeri bebas aktif secara genealogis hadir sebagai respons Indonesia terhadap situasi dan kondisi pada masa Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Pada waktu itu, Indonesia tak hendak terjebak pada pertikaian ideologis antara kedua belah pihak, terdikotomi ke dalam salah satu blok. Indonesia hendak menjadi negara independen yang bersahabat dengan semua pihak, serta berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dunia yang terancam terjerumus ke dalam perang terbuka. Merujuk pada kondisi di kawasan Asia Pasifik dewasa ini, prinsip politik luar negeri yang menekankan konsepsi bebas, yakni tidak memihak dan bekerja sama dengan pihak manapun, serta konsepsi aktif, yakni berpartisipasi secara nyata dalam menyelesaikan permasalahan dunia, sangatlah relevan untuk merespons unilateralisme pencapaian kepentingan nasional dari 5
Artikel opini Prof. Aleksius Jemadu, Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), di Harian Kompas tanggal 30 Januari 2018 berjudul “Kerja Sama Indo-Pasifik�.
4
negara-negara kekuatan mayor di kawasan, khususnya Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, serta India. Melalui penerapan prinsip politik luar negeri bebas aktif, Indonesia tak akan menempatkan negara-negara tersebut vis a vis atau berhadap-hadapan secara langsung dengan Indonesia, melainkan merangkul kekuatan-kekuatan tersebut sebagai media dalam pencapaian kepentingan nasional. Secara konkret, implementasi prinsip ini dapat dilihat dari penguatan kerja sama bilateral dengan masing-masing negara, semisal penguatan dari sisi perdagangan antara Indonesia-Tiongkok, penguatan kerja sama militer dan anti-terorisme antara Indonesia-Amerika Serikat, serta peningkatan kerja sama di bidang sosial-budaya (ilmu pengetahuan dan teknologi) antara Indonesia-India. Mekanisme penyelarasan kepentingan nasional melalui upaya bersama dalam menyelesaikan persoalan inilah yang pada hakikatnya menjadi inti dari terbentuknya kerja sama Indo-Pasifik. Keberhasilan Indonesia dalam merangkul semua kekuatan di satu sisi, serta mencapai kepentingan nasional dengan mulus dan nir-konflik di sisi lain, dapat menempatkan Indonesia sebagai role model dalam diplomasi internasional.
c) Pengelolaan Isu Papua Yang Mendukung Diplomasi dan Kedaulatan Teritorial Indonesia Indonesia saat ini bisa dikatakan sedang menghadapi ancaman disintegrasi bangsa yang bersifat internal dan eksternal terkait isu Papua. Secara internal, meskipun sudah mendapatkan otonomi khusus dari pemerintah pusat untuk mengelola daerah beserta segenap sumber kekayaan alamnya sendiri, masih terdapat anasir-anasir negatif di Papua yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini makin kompleks ketika isu Papua mengalami internasionalisasi oleh kelompok-kelompok eksternal. Tidak dimungkiri bahwa terjadi semacam penguatan upaya pemisahan diri dari Indonesia yang diinisiasi oleh beberapa kelompok di Papua. Terjadi 5
gerakan politik kaum muda Papua secara masif yang didukung luas secara regional dan internasional oleh negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) dan Pacific Island Forum (PIF). Terkait negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung dalam MSG, Indonesia tampak mulai memberikan atensi yang serius. Pada satu kesempatan, anggota Komisi I DPR RI yang membidangi isu pertahanan keamanan, hubungan internasional, serta komunikasi, Tantowi Yahya, menyampaikan bahwa terjadi perubahan persepsi dari negara-negara di kawasan Pasifik, dari semula mendukung Papua sebagai bagian dari Indonesia, berubah menjadi mendukung gerakan Papua Merdeka. Beberapa anggota MSG seperti Papua Nugini, Vanuatu, Fiji dan Kepulauan Solomon, mengakui Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai anggota pengamat. Padahal dalam forum yang sama, Indonesia duduk sebagai associated member.6 Lantas bagaimana sikap Indonesia seharusnya dalam merespons fenomena ini? Penanganan yang dilakukan seyogianya bersifat integral, holistik , dan komprehensif, bukan pendekatan tambal sulam. Menurut kajian yang dilakukan oleh LIPI, terdapat sedikitnya empat akar masalah yang menjadi sumber konflik di Papua, yakni marjinalisasi dan efek diskriminasi, pembangunan Papua yang tidak optimal, kekerasan politik negara yang menjurus kepada pelanggaran hak asasi manusia, serta fenomena sejarah integrasi Papua yang tidak memuaskan semua pihak.7 Jika ingin meredam tekanan pihak eksternal, khususnya diplomasi ala OPM di MSG, maka Indonesia harus melakukan penanganan secara menyeluruh terhadap empat akar masalah tersebut. Diplomasi yang bersifat satu arah terhadap negara-negara MSG saja, tidak akan efektif tanpa meredam akar “Internasionalisasi Isu Papua, Ini Respons Pemerintah dan DPR”, diunduh dari https://nasional.tempo.co/read/740097/internasionalisasi-isu-papua-ini-respons-pemerintah-dan-d pr/full&view=ok, pada tanggal 7 April 2019, pukul 11.43 WIB. 7 “Updating Papua: Internasionalisasi Papua, Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM, dan Optimalisasi Otsus Papua”, diunduh dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/kolom-papua-2/1077-updating-papua-internasionalisasipapua-penyelesaian-kasus-kasus-pelanggaran-ham-dan-optimalisasi-otsus-papua, pada tanggal 7 April 2019, pukul 11.48 WIB. 6
6
konflik yang sesungguhnya. Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah teknis seperti penyelesaian isu HAM yang berbasis hak-hak sipil, politik, ekonomi, serta sosial budaya, penyelesaian tiga kasus pelanggaran HAM utama yakni Wamena, Wasior dan Paniai, dan terakhir adalah mengevaluasi kebermanfataan otonomi khusus yang diberikan kepada Papua, apakah menguntungkan segenap rakyat atau hanya segelintir elit saja sehingga tetap memantik resistensi rakyat untuk memisahkan diri.
Simpulan •
Kerja sama Indo-Pasifik merupakan salah satu bentuk dan poros kerja sama baru yang diinisiasi oleh negara-negara yang berlokasi di lingkar Samudera Pasifik. Indonesia sebagai salah satu komunitas global juga turut menunjukkan kejeliannya dalam berdiplomasi dengan menyampaikan usulannya pada 2013 melalui Menteri Luar Negeri RI waktu itu, Marty Natalegawa.
•
Tidak hanya Indonesia saja yang memandang penting dan strategisnya kerja sama Indo-Pasifik, tapi juga negara-negara kekuatan mayor di kawasan seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, hingga India. Hanya saja persepsi dan kepentingan nasional di antara negara-negara tersebut tidak selamanya selaras, sehingga berpotensi menimbulkan konflik dan benturan kepentingan nasional satu sama lain.
•
Sedikitnya terdapat tiga isu penting yang menjadi atensi Indonesia terhadap negara-negara di kawasan Pasifik. Pertama, bagaimana Indonesia dituntut untuk terus mampu mengarusutamakan penggunaan instrumen ASEAN dalam mekanisme kerja sama Indo-Pasifik. Kedua, konsistensi Indonesia dalam mengimplementasikan politik luar negeri bebas aktif. Ketiga, penanganan isu Papua yang mengalami efek internasionalisasi di MSG dan forum lainnya.
7
Saran •
Indonesia adalah negara kunci dari sisi atribut nasional, serta memanggul peran sejarah pembentukan ASEAN. Mekanisme kerja sama Indo-Pasifik memiliki cakupan yang lebih besar dari ASEAN, namun yang perlu digarisbawahi adalah ASEAN merupakan bagian yang intergral dari Indo-Pasifik itu sendiri. Oleh sebab itu, adalah sebuah kecermatan dan kejelian sendiri dalam berdiplomasi bagi Indonesia apabila mampu mengarusutamakan
mekanisme
ASEAN
dalam
bandul
kerja
sama
Indo-Pasifik. •
Indonesia diharapkan mampu konsisten menjalankan prinsip politik luar negeri bebas aktif di tengah penguatan unilateralisme negara-negara kekuatan mayor di kawasan seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan India.
•
Isu Papua mengalami efek internasionalisasi di MSG. Merespons hal ini, Indonesia tidak elok hanya bersifat defensif saja dan memainkan diplomasi satu arah. Penanganan yang bersifat holistik, integral dan komprehensif terhadap akar masalah merupakan sebuah keharusan untuk dilakukan.
Daftar Pustaka: Artikel opini Prof. Aleksius Jemadu, Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), di Harian Kompas tanggal 30 Januari 2018 berjudul “Kerja Sama Indo-Pasifik”. “Understanding China Belt and Road Initiative”, diunduh dari https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding%20Chi na%E2%80%99s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.pdf “Indonesia Negara Maju Ala MINT”, diunduh dari https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/01/08/mz2eqk-indonesia-ne gara-maju-ala-mint “Kerja Sama Indo-Pasifik Harus Inklusif dan Utamakan Kerja Sama”, diunduh dari http://ksp.go.id/kerja-sama-indo-pasifik-harus-inklusif-dan-utamakan-kerja-sama/i ndex.html “Internasionalisasi Isu Papua, Ini Respons Pemerintah dan DPR”, diunduh dari 8
https://nasional.tempo.co/read/740097/internasionalisasi-isu-papua-ini-respons-p emerintah-dan-dpr/full&view=ok “Updating Papua: Internasionalisasi Papua, Penyelesaian Kasus-Kasus Pelanggaran HAM, dan Optimalisasi Otsus Papua�, diunduh dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/kolom-papua-2/1077-updating-papua-in ternasionalisasi-papua-penyelesaian-kasus-kasus-pelanggaran-ham-dan-optimal isasi-otsus-papua
9