Partai Politik dan Komitmen Antikorupsi Posted December 29, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah Jakarta Pusat, pada Rabu, 7 Desember yang lalu, sosiolog dari Universitas Tilburg Belanda, Max Regus, menyatakan bahwa kasus korupsi besar yang terjadi saat ini telah melibatkan jajaran birokrasi, kepala daerah, anggota parlemen, hingga lembaga yudikatif. Tak berlebihan apabila hal ini disebut sebagai fenomena organisasi kejahatan politik. Lebih lanjut Max menyebutkan bahwa dalam sebuah riset muncul pertanyaan, apakah demokrasi dalam dirinya sendiri bisa mengurangi korupsi? Jawaban pertanyaan tersebut adalah bisa, dengan catatan bahwa ada tiga elemen utama yang harus dipenuhi. Pertama adalah akuntabilitas vertikal, kedua, pentingnya lembaga politik dan aktornya membangun akuntabilitas horizontal dalam bentuk check and balances, dan terakhir adalah perlunya lembaga dan aktor politik membangun kepekaan sosial yang tinggi dengan rakyat. Mengguritanya korupsi dengan segala turunannya di negeri ini tidak terlepas dari eksistensi partai politik sebagai mesin utama demokrasi. Partai politik memiliki peranan yang sangat penting dalam memproduksi aktor-aktor politik yang menduduki jabatanjabatan strategis di negeri ini, mulai dari level eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Secara sederhana, apa yang menjadi kebijakan, keputusan, sikap, dan cara pandang aktor-aktor politik tersebut dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya merupakan cerminan dari proses sosialisasi, rekrutmen, pendidikan, serta kaderisasi yang ada di tubuh partai politik itu sendiri. Dengan kata lain, maraknya kasus korupsi di negeri ini mulai dari kelas teri hingga kelas kakap merupakan produk dari kegagalan partai politik. Celakanya lagi, partai politik seolah lepas tangan dengan apa yang terjadi pada kader-kadernya. Pencegahan dan pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saja. Yang lebih menggelikan adalah respon partai politik terhadap kader-kader yang terjerat kasus korupsi. Alih-alih menjadi sarana introspeksi dan evaluasi diri, partai politik justru
menyediakan bantuan hukum dalam bentuk pengacara, tidak peduli apakah kader tersebut benar atau salah. Bahkan ada partai politik yang cenderung buang badan dengan berdalih bahwa itu murni kesalahan pribadi sang oknum dan tidak melibatkan partai politik tempat ia bernaung. Jika kita menilik ke belakang, ke sejarah kelam republik ini di bawah pemerintahan Soeharto, apa yang menimpa partai politik justru menimbulkan simpati. Partai politik pada era Soeharto tak lebih dari sekedar kambing jantan yang dikebiri, mandul. Mereka yang dicap sebagai golongan kanan diterungku ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mereka yang berhaluan nasionalis dikerangkeng dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kebiri politik yang dilakukan oleh rezim Soeharto bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Baik PPP maupun PDI tidak diperbolehkan berkembang dan kritis. Hanya Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin kekuasaan Soeharto yang diperbolehkan menjalankan hak-hak politik sebagai partai politik. Ketika angin reformasi berhembus dengan tergulingnya Soeharto pada medio 1998, muncul harapan bahwa partai politik akan kembali pada khitahnya sebagai mesin demokrasi. Indikatornya cukup jelas. Pada Pemilu pertama pascareformasi tahun 1999, partai politik beranakpinak dengan beragam platform, visi, misi, dan tentunya segudang calon alternatif. Rakyat Indonesia yang haus akan kebebasan memiliki banyak opsi untuk memenuhi dahaga mereka. Namun sayang sungguh disayang, setelah 18 tahun negeri ini bebas dari kungkungan rezim totaliter, sejatinya demokrasi tidak berhasil direngkuh. Korupsi yang menjadi hantu belau demokrasi pada zaman Soeharto justru bermetamorfosis menjadi lebih masif dan vulgar. Jika korupsi pada zaman Soeharto hanya terkonsentrasi pada segelintir pihak, saat ini, semua orang bisa korupsi. Ada kega Apa yang menjadi proses inti dalam partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya adalah platform yang tidak dipegang secara kukuh, masih banyaknya penyintas orde baru yang bersalin rupa dan menginang di partai politik untuk tetap eksis, motif busuk dari para pendiri partai politik sehingga kader-kader partai politik tidak memiliki panutan dalam berpolitik, hingga lemahnya kapasitas partai politik untuk menghidupi dirinya sendiri. Dewasa ini sulit sekali mencari partai yang benar-benar kukuh memegang ideologinya. Politik aliran seakan tak relevan lagi dibicarakan. Partai yang mengklaim nasionalis
misalnya, membentuk unit-unit berbasis keagamaan untuk menarik suara dari golongan religius. Begitu juga partai-partai berbasis keagamaan, tanpa sungkan mendirikan sayap-sayap nasionalis untuk mendulang suara dari kaum nasionalis. Kondisi ini menjadi bumerang sendiri karena menimbulkan perpecahan di tubuh partai politik. Tak bisa dimungkiri juga bahwa kerusakan partai politik saat ini disebabkan oleh parasit politik bernama penyintas orde baru. Mereka yang menjadi peliharaan orde baru, baik berlabel sipil maupun militer, tiba-tiba menjelma menjadi sang demokrat sejati, menyuarakan pentingnya kebebasan pers, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi. Mereka berani berlagak sedemikian rupa seakan-akan rakyat Indonesia bodoh dan lupa. Suka tidak suka, banyak partai politik berpengaruh di negeri ini didirikan oleh pejabat militer yang memiliki sejarah kelam, bermasalah dengan penegakan hak asasi manusia, juga merupakan produk politik orde baru. Silahkan pembaca cek sendiri! Ketika ABRI direformasi pada tahun 2004, praktis militer tidak memiliki saluran lagi untuk memuaskan syahwat politiknya, juga libidonya berbisnis. Alhasil ketika berstatus purnawirawan, ambisi tersebut disalurkan dengan mendirikan berbagai partai politik. Partai politik juga hidup bak sosialita yang doyan pesta, butuh dana besar untuk hidup. Sirkumstansi ini menjadi peluang dan celah pada bocornya idealisme partai politik. Lahirnya kebijakan internal partai politik yang mewajibkan mahar bagi para kader yang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, juga iuran wajib bagi mereka yang duduk di kursi eksekutif maupun legislatif, menjadi coreng hitam wajah partai politik tanah air. Belum lagi prostitusi intelektual yang dilakukan partai politik dengan menerima danadana panas dari aparat negara yang berinvestasi politik, berharap suatu saat nanti bisa diroketkan karirnya apabila partai politik tersebut memegang tampuk kekuasaan. Serangkaian fenomena di atas menghasilkan kemirisan tak terperi di hati rakyat. Citacita rakyat untuk hidup makmur, adil, dan sejahtera melalui proses demokrasi yang sehat seakan jauh panggang dari api. Partai politik sebagai mesin utama demokrasi bagaikan melukis dengan kuas kotor dan tinta dari air comberan. Dengan kondisi seperti ini, masihkan kita berharap partai politik mampu menjalankan khitahnya? Masih layakkah merajut asa bahwa partai politik siap berkomitmen untuk memberantas korupsi yang sudah mendarah daging di tubuh mereka?
Solusi yang diutarakan oleh sosiolog Max Regus ya Tidak berlucah ria dengan korupsi yang menghisap darah rakyat negeri ini. Solusi dari Max Regus jauh lebih halus dan membangun dibandingkan dengan solusi bernada kemarahan dari beberapa pihak yang menyarankan dijadikannya korupsi sebagai bentuk pelanggaran HAM atau bahkan mereka yang meneriakkan slogan “ �( c : ) Yang menjadi pertanyaan penulis sekarang, siapkah partai politik bertobat dan memancangkan komitmen dalam memerangi korupsi? Jika tidak siap, lebih baik bubarkan saja. *)Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)