Problematika Pembentukan Komponen Cadangan

Page 1

tajuk 2 opini Kamis, 18 Maret 2021

”Pembangunan juga dapat dilakukan dari bawah, dengan pemberdayaan lokal, penguatan kapasitas dalam membangun masyarakat dan daerahnya” Mahasiswa Doktoral Ilmu Pembangunan Universitas Hasanuddin Wahyudi

Problematika Pembentukan Komponen Cadangan

M

elalui PP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Potensi Sumber Daya Nasional (PSDN), pemerintah Indonesia akhirnya membentuk komponen cadangan (komcad). Adapun basis formulasi kebijakan yang digunakan oleh pemerintah adalah objektif untuk memperbesar dan memperkuat kapasitas dan kemampuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen Uuama (komput) dalam sistem pertahanan negara semesta yang dianut. Kebijakan ini menuai pro dan kontra, serta menjadi diskursus panjang di mimbar-mimbar akademik dalam satu tahun terakhir pascadisahkannya UU PSDN. Seberapa relevankah pembentukan komcad ini dalam mendukung pertahanan negara? Tolok ukur Untuk menakar urgensi dan relevansi pembentukan komcad ini bagi pertahanan negara, setidaknya ada tiga tolok ukur yang bisa digunakan. Pertama, perlu dilakukan pembedahan terhadap unsurunsur intrinsik kebijakan serta kesinambungannya dengan pencapaian objektif dari diformulasikannya kebijakan. Kedua, perlu analisis secara mendalam dan jujur mengenai postur dan kapasitas TNI sebagai komput yang disinyalir “kurang besar” dan “kurang

kuat” dalam menjalankan tugas pertahanan negara, sehingga menjadi raison d’etre munculnya komcad. Ketiga, dibutuhkan pemetaan derajat ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT, singkat saja sebagai ancaman) yang dihadapi oleh Indonesia sebagai objek tugas yang harus direspons baik oleh Komput maupun Komcad dalam sistem pertahanan negara. Kita masuk pada analisa unsur intrinsik dari kebijakan ini. Dalam UU PSDN disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam komcad adalah warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional. Artinya, sekup komcad sangatlah luas, meskipun banyak pihak yang melakukan simplifikasi komcad hanya sebatas pada sumber daya manusia saja. Setiap warga negara yang memenuhi syarat bisa menjadi komcad dengan batas usia minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun. Aparatur Sipil Negara (ASN), mahasiswa, pekerja dan buruh, juga dimungkinkan untuk menjadi Komcad selama memenuhi persyaratan dalam Pasal 33 Ayat (2) UU PSDN. Poin yang menarik pada level unsur intrinsik kebijakan ini ada pada dua hal, yakni pembekalan kompetensi sebagai komcad dan mekanisme pelaksanaan tugas atau masa pengabdian. Sebagai peserta program Komcad, mereka akan menda-

patkan pendidikan dasar kemiliteran selama tiga bulan. Jika lulus, mereka akan ditetapkan dan diangkat sebagai komcad. Pelaksanaan tugas Komcad dikelompokkan ke dalam dua masa, yakni masa aktif dan masa tidak aktif. Masa aktif merujuk pada pelatihan penyegaran dan kegiatan mobilisasi (operasi militer perang/operasi militer selain perang), sedangkan masa tidak aktif adalah periode ketika mereka kembali ke profesi semula. Tolok ukur selanjutnya adalah terkait dengan postur dan kapasitas TNI. Pemilihan frasa “memperbesar” dan “memperkuat” dalam UU PSDN tentulah secara sederhana membuat siapapun yang membaca UU tersebut akan menganggap bahwa TNI dalam situasi dan kondisi “kurang atau tidak besar” dan “kurang atau tidak kuat”. Pada hemat saya, ada semacam cara pandang atau mekanisme berfikir yang kurang presisi di sini. Persoalan TNI hari ini adalah pada kurang tangguhnya kualitas dan kapasitas. Berbicara kualitas dan kapasitas, secara umum sangat terkait dengan kompetensi personel, profesional-

isme personel dalam pelaksanaan tugas, kesiapan dan ketangguhan alat utama sistem persenjataan (Alutsista), penguasaan teknologi dalam kerja-kerja institusional, kesejahteraan prajurit, hingga corak dan wujud kerja sama yang dijalin dengan institusi nasional lainnya, termasuk kerja sama eksternal dengan pihak lain dalam mengamankan pertahanan negara. Kurang tangguhnya kualitas dan kapasitas TNI akan bertaut dengan tolok ukur ketiga, yakni postur ancaman yang dihadapi oleh Indonesia sebagai sebuah entitas politik dan sosial budaya yang berdaulat. Pada level domestik, Indonesia banyak sekali menghadapi anca-

man non-militer, baik yang sifatnya laten maupun nyata. Hingga saat ini Papua masih bergejolak menuntut ketidakadilan politik dan ekonomi yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat. Persoalan lainnya, paham ekstremisme dan aksi radikalisme dan terorisme berkembang sangat cepat dari sisi metode dan taktik yang digunakan. Celakanya, mereka tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, berbaur, sehingga menimbulkan efek kontaminasi yang masif. Terlebih lagi situasi pandemi COVID-19 yang menimbulkan kerentanan sosial dan ekonomi menjadi bahan bakar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang menghadirkan digitalisasi di segala lini hingga disrupsi tak sepenuhnya positif karena masih membawa ekses negatif seperti kejahatan transnasional di ranah siber, berkembangnya hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian yang menimbulkan segregasi nasional. Pada level eksternal, major states seperti AS dan Tiongkok masih terpancing untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang unilateral dan ekspansionis sehingga memicu ketegangan dan konflik dengan negara lain, khususnya Oleh: Boy Anugerah Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research

di Laut Cina Selatan di mana Indonesia juga terkena imbasnya. Pada tataran Asia Tenggara, Indonesia masih disibukkan oleh pengawasan wilayah perairan yang luas yang sangat mungkin dilanggar oleh pihak asing, termasuk pelanggaran wilayah perbatasan darat, laut, dan udara oleh negara-negara jiran Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Timor Leste.

Pandangan Dengan melakukan pemetaan melalui ketiga tolok ukur tersebut, setidaknya ada beberapa benang merah dan kesimpulan yang bisa diambil. Pertama, AGHT yang dihadapi oleh Indonesia sifatnya adalah militer dan non-militer, baik dari domestik maupun eksternal. Kedua, kompleksitas dan tingginya derajat AGHT tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus dituntaskan oleh TNI sebagai Komput, yang mana pada hari ini, kualitas dan kapasitas TNI belum cukup memadai. TNI belum memenuhi Minimum Essential Forces (MEF) khususnya dari sisi anggaran, alutsista yang dimiliki masih tertinggal, teknologi yang belum mutakhir, serta bentang geografis yang sangat luas sebagai wilayah pertahanan yang harus diamankan. etiga, Pemerintah Indonesia merespons kompeksitas dan tingginya derajat AGHT, serta kurang tangguhnya kapasitas TNI dalam sistem pertahanan

negara melalui pembentukan Komcad sebagai salah satu respons kebijakan terhadap sirkumstansi permasalahan tersebut. Dengan berpijak pada pemetaan masalah sedemikian, pada hemat saya, pembentukan Komcad terasa kurang tepat. Merespons berbagai macam AGHT tersebut melalui mobilisasi komcad yang hanya dilatih selama tiga bulan adalah blunder fatal, terlebih lagi mereka juga masih disibukkan dengan profesi asal mereka. Akan lebih tepat apabila pemerintah melakukan penguatan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan pada TNI sebagai Komput. Pembenahan militer adalah sebuah kerja jangka panjang, apalagi merujuk pada fakta historis, militer Indonesia telah sekian lama digunakan sebagai alat penguasa pada masa Orde Baru. Melepaskan mindset dan culture set dari tentara politik dan bisnis menjadi tentara profesional tidak bisa dilakukan secara instan. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung oleh program terukur, komitmen presiden sebagai panglima tertinggi, anggaran yang memadai, serta pengawasan yang ketat dari kalangan masyarakat. Memperkuat pertahanan negara dengan memobilisasi Komcad hanya akan menimbulkan persoalan baru yang akan berdampak buruk terhadap profesionalisme militer yang terus terang masih terseok-seok hingga hari ini. l

Pandangan Terhadap Pemikiran Gustavo Tentang Development

K

ata ’development’ atau ‘pembangunan’ tentu tidak asing di telinga kita. Sejak di bangku SD hingga universitas kata ini selalu menjadi salah satu topik utama dalam pengajaran. Kata pembangunan lebih meng-Indonesia sejak Presiden Soeharto pada tahun 1983 diangkat menjadi Bapak Pembangunan sebagai apresiasi atas keberhasilannya dalam membangun Indonesia melalui Pembangunan Lima Tahun atau lebih dikenal dengan Pelita. Pertanyaannya, apakah model pembangunan yang kita pahami selama ini sudah benar pada jalurnya? Bagaimana pendapat ahli utamanya Gustavo Esteva dalam mengartikulasikan “development” ini? Tulisan ini bermaksud untuk mengulas tentang asal usul pembangunan, pendapat substansi dari ahli (utamanya Gustavo Esteva), dan mencoba memberikan kritik atau pandangan atas pemikiran tersebut. Kata pembangunan atau development muncul pada era Presiden AS, Harry S. Truman pada tahun 1949. Pascaberakhirnya perang dunia II, negara-

negara bekas jajahan Amerika dan Eropa mengalami ketertinggalan akibat terkurasnya semua sumber daya yang ada, untuk mengembalikan kondisi tersebut. Truman bersedia untuk melakukan perbaikan dan pertumbuhan daerah tertinggal untuk memperbaiki dan meningkatkan kemajuan ilmiah dan kemajuan industri. Kebijakan Truman ini kemudian oleh para filosof dikatakan sebagai upaya “penebusan dosa” dari negara penjajah kepada negara jajahannya. Melalui kebijakan tersebut, Amerika dan sekutunya mulai melancarkan paham dan ideologi yang disebarkan ke seluruh negara melalui program pembangunan, yang sejatinya agenda ini merupakan propaganda untuk melanjutkan penjajahan melalui kata “development”. Oleh karenanya, perlu dipahami bahwa “development” yang muncul pada era ini bukan hanya semata-mata kebijakan untuk merekonstruksi ketertinggalan negara-negara jajahannya, namun juga sebagai pertarungan ideologi antara AS dan sekutu yang menga-

iNFOINDONESIA.ID adalah media massa cetak di bawah payung PT. DUA SATU PRO

Oleh: Wahyudi Mahasiswa Doktoral Ilmu Pembangunan Universitas Hasanuddin nut paham kapitalisme dengan negara sosialis, dengan kata lain, “development” merupakan bungkus baru dari paham kapitalisme. Tentu saja, agar konsep development ini bisa dengan cepat berkembang dan menjadi “ideologi” baru di seluruh dunia, maka dijadikan kajian ilmu pengetahuan di universitas terkemuka di Amerika, Eropa, dan negara sekutu lainnya agar kemudian menjadi bahan rujukan kebijakan bagi kaum intelektual, teknokrat, Lembagalembaga kemanusiaan, bahkan Lembaga donor internasional sekelas World Bank dan International Monetary Fund (IMF) untuk memuluskan paradigma pembangunan. Konsepsi Development berkembang di seluruh dunia karena banyak negara-negara Dunia Ketiga seperti India, Bangladesh, Negara Afrika, dan Amerika Latin diidentikkan dengan masalah kemiskinan,

korupsi dan sederat permasalahan lainya yang menyeret negara tersebut kepada jurang keterbelakangan. Hingga akhirnya mereka berlomba-lomba untuk mengimplementasikan konsepsi development atau modernisasi melalui perjanjian atau kesepakatan internasional. Akibatnya, development atau pembangunan atau modernisasi hanya menguntungkan bagi negaranegara maju dan menjadi melapetaka bagi negara-negara yang tertinggal. Kritik dan Kecamatan terhadap paradigma “development” terus bermunculan. Gustavo Esteva (1992) menyatakan bahwa keterbelakangan Dunia Ketiga diakibatkan oleh proses penjajahan dan eksploitasi sumber daya alam. Pembangunan dengan tolak ukur yang dirumuskan oleh negara maju tersebut dalam penerapannya tidak sesuai dengan kondisi dan dinamika lokal karena pembangunan yang diusung hanya mengedepankan dari pertumbuhan ekonomi. Sementara keadilan dan keberlanjutan yang diharapkan oleh masyarakat luas tidak

diperhitungkan, artinya, pembangunan yang dinyatakan dalam angka-angka tidak dapat dijadikan sebagai patokan untuk menggambarkan pemerataan yang diharapkan oleh sebuah negara. Pemikiran Gustavo pada intinya adalah menolak teori development yang selalu menjadi pedoman sebuah negara dalam melakukan pembangunan di negaranya. Pada dasarnya menurut Gustavo, strategi dan konsep pembangunan tidak dapat digeneralisir dan diterapkan pada suatu negara tanpa mengetahui latar belakang sejarah negara, latar belakang sosial budaya, dan latar belakang ekonomi suatu negara yang akan melakukan proses pembangunan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis merangkum beberapa pandangan Gustavo terkait Development: Development atau pembangunan adalah kondisi yang tidak bermartabat yang akan menimbulkan keterbelakangan. Development hanya berpusat pada manusia dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam guna mencapai kemak-

muran generasi masa kini.
 Teori pembangunan secara tidak langsung bertujuan untuk mengendalikan dan menguasai pemikiran-pemikiran negara berkembang.
 Pembangunan dinilai hanya akan membuat negara berkembang semakin terpuruk dan miskin, karena pembangunan di negara barat tidak dapat diterapkan secara serta merta ke negara berkembang
 Teori development dianggap menciptakan garis-garis kesenjangan baru antara negara maju dengan negara berkembang. Di sini timbul pemikiran bahwa negara berkembang pada akhirnya merasa dirugikan dan bahkan dieksploitasi. Selain itu, dari kondisi ini sangat memungkinkan adanya praktik-praktik kolonialisme pada negara-negara berkembang tersebut. Contoh, lumbung sumber daya alam negara berkembang yang dikuras oleh

negara-negara maju dengan berkedok pembangunan. Satu hal yang sering terlupa dalam teori development adalah, tidak selamanya pembangunan dari atas dan diukur dari pertumbuhan eokonomi semata. Pembangunan juga dapat dilakukan dari bawah dengan pemberdayaan lokal, penguatan kapasitas dalam membangun masyarakat dan daerahnya. Oleh karena itu, Gustavo Esteva berusaha menawarkan solusi baru dari pembangunan, yaitu mendengarkan suara negara-negara dunia ketiga/negara pinggiran yang selama ini hanya dieksploitasi. Konsep ini bukan untuk menghentikan pembangunan yang terjadi, melainkan merubah metode pembangunan agar tidak berlandaskan pada pertumbuhan semata, namun keadilan merata dan berlandaskan pluralisme tatanan sosial sosial budaya lokal.l

Punya Pemikiran Menarik yang Bisa Diterbitkan di Koran info indonesia Kirim Materi Tulisan Kamu ke redaksi@infoindonesia.id Tulisan dibuat dalam bentuk Microsoft, minimal 600 kata berserta profil diri

lPendiri Waherman St. Mangkuto, H. Zainuddin lDirektur Usman Rizal lPemimpin Perusahaan Kiki Ibrahim lKUASA HUKUM: M Kamel Fahresy, S.H. ­lPemimpin Redaksi Aldi Gultom lWakil Pemimpin Redaksi Rio Taufiq Adam Redaktur Pelaksana Widya Victoria Redaktur Aprilia Rahapit, Hesti Dimalia, Rusdiyono, Benni Martha Daya, Yuliani lReporter Rifky Ilmi, Pras Budi Presetya, Ahmad Yani, Yuni Watiana, Mario Ananta, Khoirur Rozi, Rahmad KR, Iwan Fals, Heni Elsa Wulandari, Dedy Sagita, Nina Iskandar, Jifran, Dian Taresa (Kalimantan Tengah), Zaki (Kalimantan Timur), Basri (Kalimantan Utara), Rizky Ananda (Nusa Tenggara Barat), Abu Bakar Usman (Kepulauan Bangka Belitung) lKepala Biro Info Sulawesi Wulandari D lKepala Biro Info Bali-Lombok Anugrah Dani lKepala Biro Info Papua Nurmanto W lKepala Biro Info Batam Abu Bakar lKepala Biro Info Kalimantan Zaki DD lKepala Biro Info Jawa Adji Sumarno lKepala Biro Info Sumatera Raden Mohd Solehin lFotografer M. Iqbal lDesain Video Grafis Al Amin lKeuangan dan Administrasi Niken lSekretaris Redaksi Niken lDivisi Pengembangan IT Oemar lDistribusi Abdul Muhctar lBank Account A/N PT. DUA SATU PRO BCA : No Rek : 553-068-2121 KCP Otista Jakarta Timur lAlamat Jalan Raya Kalibata No. 8 Jakarta Selatan (12750) lTelp 021-27812397 lFax 021-79196786 lHarga Iklan FC : Rp 45.000/mm lBW Rp 40.000/mm lTwitter @_infoindonesia lFacebook infoindonesia.id ­l Instagram@info_indonesia.id lEmail redinfoindonesia@gmail.com, redaksi@infoindonesia.id lPERCETAKAN PT MEDIA NYATA GRAFIKA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.