Prospek Hillary Clinton Hillary Rodham Clinton, mantan menteri luar negeri dan ibu negara Amerika Serikat, mencatatkan sejarah sebagai perempuan pertama yang memenangi pencalonan presiden dari Partai Demokrat dalam perhelatan Konvensi Nasional Partai Demokrat (26/7). Hillary juga berpeluang besar menorehkan sejarah kedua sebagai perempuan presiden pertama di negeri Abang Sam jika memenangi pilpres Amerika Serikat bulan November mendatang. Kapasitas dan pengalaman Hillary tergolong mumpuni dalam memenangi pesta demokrasi rakyat Amerika tersebut. Ibu dari Chelsea Clinton ini memiliki segudang pengalaman politik sebagai ibu negara, pernah menjadi senator mewakili New York, bertarung melawan Obama dalam nominasi calon presiden Partai Demokrat pada tahun 2008, dan menjadi menteri luar negeri di era kepemimpinan Obama. Dari sisi akademik, Hillary ditopang dengan pengetahuannya yang mendalam di bidang hukum. Penetapan Hillary sebagai calon presiden dari Partai Demokrat secara otomatis menempatkannya berhadapan dengan calon presiden dari kubu Republik, miliarder sekaligus taipan real estate, Donald Trump. Jajak pendapat terakhir yang dipublikasi Ipsos/Reuters tanggal 4 Agustus waktu setempat memperlihatkan bahwa Hillary unggul dibanding Trump sebesar 43 persen atau naik delapan poin dibanding jajak pendapat sebelumnya. Secara detail, jajak pendapat menunjukkan bahwa Hillary unggul di empat negara bagian kunci tempat di mana Trump telah berkampanye, yakni Michigan, New Hampshire, Pennsylvania, dan Florida. Lantas bagaimana peluang perempuan 68 tahun tersebut memenangi pemilu November mendatang? Dalam sejarah pemilu Amerika Serikat, mereka yang unggul dalam jajak pendapat belum tentu memenangi pemilu. Inilah yang harus diwaspadai dengan saksama oleh Hillary dan kubu Demokrat. Terlebih lagi, ada beberapa catatan yang berpotensi menggerus opini positif publik Amerika Serikat terhadap Hillary. Hillary dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab ketika pos diplomatik Amerika Serikat di Benghazi, Libya, diserang pada tahun 2012 dan menewaskan sedikitnya empat diplomat. Hillary juga dikritik karena memakai server surat elektronik pribadi ketika menjalankan tugas dalam kapasitasnya sebagai menteri luar negeri. Dua isu inilah yang terus "digoreng" kubu Republik untuk menjatuhkan popularitas Hillary.
Di negara kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat, rakyat sebagai pemberi suara tergolong matang dan berpendidikan. Rakyat Amerika sangat melek dan paham akan rekam jejak dan kapasitas calon yang mereka pilih. Dalam konteks ini, pertarungan antara Hillary dan Donald Trump akan lebih banyak didominasi oleh bagaimana kemampuan keduanya membaca kemauan dan harapan rakyat Amerika Serikat serta menuangkannya dalam visimisi dan program kerja. Jika tak sesuai dengan harapan publik, baik Hillary maupun Trump harus bersiap menuai kekalahan. Amerika Serikat dewasa ini memasuki fase baru. Tantangan yang dihadapi berada pada sekup yang lebih luas. Jika dulu diskursus mengenai terorisme dan beragam ancaman keamanan lainnya menjadi menu utama para pemangku kebijakan, saat ini tantangan dan ancaman yang dihadapi sudah meluas pada spektrum non-militer. Kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia dari Timur suka tak suka telah menguras perhatian Amerika Serikat. Ekspansi ekonomi Tiongkok di Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara, serta klaim sepihak terhadap Laut Cina Selatan telah mengganggu kepentingan nasional Amerika Serikat. Geliat "Naga dari Timur" tersebut sangat kentara pengaruhnya dalam melemahkan eksistensi Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Amerika Serikat juga terhenyak dengan katastrofi terbesar abad ini yang terjadi di Eropa, yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa, yang dikenal luas publik dengan akronim Brexit (British exit). Guncangan apa pun yang terjadi di Uni Eropa, baik skala kecil maupun skala besar, akan berdampak negatif terhadap Amerika Serikat yang notabene merupakan tetangga dan sekutu utama beberapa negara besar anggota Uni Eropa. Sumber ancaman bagi Amerika Serikat sebagai sebuah entitas politik dan sosial pun mengalami pergeseran. Jika sebelumnya sumber ancaman diidentifikasi berasal dari luar, seperti Alqaidah dan kelompok teroris lainnya, ancaman yang dihadapi saat ini lebih banyak didominasi oleh masalah domestik Amerika Serikat sendiri. Beberapa kali Amerika Serikat terjungkal dalam krisis ekonomi sehingga melemahkan daya saing mereka di kancah global. Kebijakan kepemilikan senjata yang longgar bagi rakyat Amerika juga menjadi bumerang karena tingginya angka kriminalitas. Kondisi ini tentu membuat rakyat Amerika merasa tidak nyaman. Merujuk pada tantangan dan kondisi kekinian yang dihadapi Amerika Serikat, rasanya tak berlebihan apabila Hillary diunggulkan untuk mengalahkan Donald Trump dalam pemilihan November mendatang. Posisi Hillary yang menekankan kampanyenya pada isu-isu nonmiliter dan domestik terasa lebih menggiurkan dibandingkan dengan isu-isu konfliktual yang diangkat Trump dan kubu Republik. Dalam kampanyenya, Hillary berjanji untuk mereformasi Wallstreet secara bertahap, memperketat aturan kepemilikan dan penggunaan senjata, serta memperbaiki prosedur kewarganegaraan bagi kaum imigran. Sementara itu, Trump masih berkutat dengan "lagu lama" soal pemberantasan terorisme dan ancaman keamanan dari ISIS dan negara-negara musuh Amerika Serikat lainnya.
Kemenangan dalam pemilu juga ditentukan oleh soliditas parpol sebagai mesin politik dan pendulang suara. Kubu Demokrat sebagai pengusung Hillary terlihat senada dan seirama dalam memenangkan mantan ibu negara tersebut. Bernie Sanders yang dikalahkan Hillary dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat, berbalik mendukung dan berkampanye untuk Hillary. Dukungan tambah solid ketika Presiden Obama dan istri berjanji akan berkampanye untuk Hillary. Hadirnya Obama dan istri tentu menjadi amunisi ampuh untuk menjungkalkan Trump dan pendukungnya. Berbeda dengan kubu Demokrat, Partai Republik terkesan mengalami perpecahan. Muncul penolakan dari dalam terhadap posisi Trump sebagai calon presiden. Ide-ide Trump yang kontroversial dan memicu konflik seperti pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko, sikap tegas terhadap Tiongkok, dan ucapan rasialis terhadap Muslim menjadi noda hitam Trump di mata sejawatnya. Ted Cruz, calon presiden yang dikalahkan Trump dalam konvensi Partai Republik, menyindir Trump dengan mengajak rakyat Amerika untuk memilih calon dengan hati nurani dan memiliki cinta kasih. Mantan capres Republik periode sebelumnya, yakni Mitt Romney juga menolak hadir pada konvensi. Dari semua aspek yang menjadi keunggulan Hillary dalam pemilu November mendatang, tampaknya aspek idiosinkratik Hillary sendiri yang akan menjadi kunci kemenangan. Idiosinkratik pemimpin menjadi cermin bagi rakyat sebagai pemberi suara mengenai gambaran kebijakan yang akan diambil sang calon pada masa mendatang, baik kebijakan dalam ranah domestik maupun luar negeri. Faktor klan Clinton dalam darah Hillary jauh lebih seksi dibanding segudang prestasi bisnis yang ditorehkan oleh Donald Trump. Terbukti di berbagai negara, faktor klan politik menjadi determinan utama yang mendukung kemenangan capres perempuan. Cory Aquino di Filipina, Christina Fernandez di Argentina, Begum Khalida Zia di Bangladesh, menjadi bukti sahih. Status Trump sebagai konglomerat, di satu sisi menjadi keuntungan, namun di sisi lain bisa menjadi kartu mati. Rakyat Amerika yang sadar politik tentu tak hendak Amerika dikelola layaknya perusahaan yang berburu laba. Dahaga panjang rakyat Amerika Serikat akan seorang perempuan di takhta presiden juga berpotensi mendudukkan Hillary sebagai perempuan presiden pertama di negeri Abang Sam tersebut. Kita tunggu saja hasilnya November nanti. Boy Anugerah Analis Kerja Sama Luar Negeri di Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/08/08/obl3ei7-prospek-hillary-clinton