1
Revitalisasi Sistem Rekrutmen Partai Politik Guna Mendukung Penguatan Demokrasi
Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah instrumen vital yang wajib ada di suatu negara dalam rangka menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Beberapa pendapat bahkan menyatakan bahwa tidak ada demokrasi di suatu negara apabila tidak ada partai politik di dalamnya. Carl J. Friedric menjelaskan bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk meraih dan mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya. Berdasarkan pada penguasaan tersebut, pimpinan partai akan memberikan manfaat yang bersifat ideologis dan materil kepada anggota partainya (Friedric, 1974). Sementara itu, George B. de Huszar dan Thomas H. Stevenson mendefinisikan partai politik sebagai sekelompok individu terorganisir yang ikut serta mengendalikan suatu pemerintahan agar dapat menjalankan programprogram kerjanya, serta menempatkan anggota-anggotanya pada struktur pemerintahan tersebut (de Huszar, 1951). Ada banyak fungsi yang dijalankan oleh partai politik, salah satu yang paling vital adalah rekrutmen politik. Rekrutmen politik sendiri dimaknai sebagai proses merekrut orang-orang untuk menjadi anggota partai dan aktif dalam aktivitas partai, serta menyeleksi anggota-anggota partai yang kompeten untuk dipersiapkan menjadi calon-calon pemimpin (Haryanto, 1982). Lazimnya, cara yang ditempuh oleh partai politik adalah dengan merekrut generasi muda untuk dididik dan dijadikan kader. Dalam proses kaderisasi tersebut akan terlihat anggota-anggota yang berbakat dan kompeten yang nantinya dapat dipromosikan sebagai calon-calon pemimpin. Pemimpin dalam konteks tersebut adalah mereka yang menduduki jabatan sebagai anggota legislatif, serta pejabat publik yang meliputi kepala negara dan kepala pemerintahan (presiden), menteri negara di kabinet, serta kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum (pemilu) (Budiardjo, 2004). Rekrutmen politik telah menjadi fungsi utama partai politik dalam rangka memainkan perannya sebagai agen penghubung (intermediary agent) antara negara dengan warga negara dalam konteks representasi politik. Melalui rekrutmen politik, partai politik berperan sebagai jembatan penghubung yang mengantarkan warga negara untuk menempati posisi strategis di pemerintahan, baik di level legislatif, maupun eksekutif. Akan tetapi yang lebih fundamental adalah melalui rekrutmen yang digelar partai politik, rakyat juga memiliki kesempatan untuk menyalurkan berbagai hak politiknya seperti hak untuk berorganisasi, berserikat, berkumpul, serta menyatakan pendapat, yang mana hak-hak tersebut dijamin secara konstitusional di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian, esensi utama demokrasi, yakni sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dapat terselenggara dengan baik (Perludem, 2018). Indonesia pasca runtuhnya orde baru pada 1998 memasuki sebuah tahapan yang lebih demokratis dalam sistem politik dan pemerintahan. Dalam konteks partai politik, demokratisasi mewujud dalam bentuk peningkatan jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu. Jika pada era Soeharto, partai politik ‘dibonsai’
2
hanya menjadi tiga saja (Golkar, PPP, dan PDI), maka pada pemilu selanjutnya, partai politik yang berpartisipasi meningkat angkanya menjadi sebagai berikut: Pemilu 1999 (48 partai politik), Pemilu 2004 (24 partai politik), Pemilu 2009 (38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal), Pemilu 2014 (12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal), serta Pemilu 2019 (14 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal) (Kompas, 2018). Peningkatan jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu ini tentu saja berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah warga negara yang direkrut partai politik sebagai kader, utamanya kader yang diusung untuk bertarung dalam kandidasi politik seperti pemilu (Pilpres, Pilkada, dan Pileg). Peningkatkan jumlah partai politik pasca jatuhnya rezim Soeharto ini tidak sertamerta dan tidak selalu memiliki signifikansi terhadap penguatan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang diyakini oleh bangsa Indonesia. Samuel P. Huntington menyatakan bahwa hanya partai-partai politik yang kuat dan terinstitusionalisasi dengan baik saja yang mampu mendukung terbangunnya demokrasi yang lebih baik (Huntington, 1968). Pernyataan ini secara implisit bermakna bahwa tidak hanya kuantitas partai politik saja yang dibutuhkan dalam membangun demokrasi, tapi juga kualitas yang dicirikan dengan struktur organisasi yang kuat dan praktik kelembagaan yang dijalankan. Kedua aspek vital yang menyusun bobot kualitas partai politik tersebut secara sederhana akan bermuara pada satu hal, yakni kualitas sumber daya manusia yang dimiliki untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi partai politik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kualitas sumber daya manusia partai politik ditentukan oleh sistem rekrutmen yang dijalankan. Melihat kondisi Indonesia dalam dua dekade pasca reformasi, sistem rekrutmen yang dijalankan pada dasarnya tidak terlalu membanggakan. Sirkumstansi politik yang dipengaruhi oleh regulasi seperti pemilu langsung yang menempatkan rakyat sebagai direct voters, mengakibatkan partai politik harus jeli dalam memilih kandidat yang diusung. Hal tersebut penting untuk memastikan bahwa kandidat tersebut memiliki elektabilitas yang tinggi di masyarakat. Tak jarang partai politik melakukan mekanisme ‘shortcut’ dengan merekrut dan mengusung kandidat yang sudah populer di mata masyarakat semisal artis dan figur publik lainnya. Tingginya biaya politik dalam pemilu langsung juga menyebabkan partai politik merekrut kader yang memiliki dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, partai politik banyak merekrut individu yang berasal dari kalangan pengusaha. Permasalahan krusial lainnya dalam rekrutmen yang dijalankan oleh partai politik adalah mekanisme yang masih bersifat ‘tradisional’. Pola yang dikembangkan masih berciri catch all party, belum memiliki basis sosial yang jelas dan spesifik, serta masih sangat tergantung pada figur individu tertentu. Partai politik juga belum memiliki sistem kaderisasi yang sistematis, sehingga sumber rekrutmen politik yang dilakukan masih bersifat oligarkis. Sebuah kajian dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI dan Institute for Multiparty Democracy (IMD) menunjukkan bahwa pola rekrutmen yang dijalankan oleh partai politik masih mengikuti faktorfaktor primordial seperti agama, hubungan kedaerahan, kesamaan daerah, serta faktor-faktor kedekatan atau kesetiaan dengan pejabat teras partai politik. Selain itu, pimpinan partai politik juga masih memainkan peran sentral dalam rekrutmen. Pimpinan partai politik kerapkali memainkan peran yang sangat dominan dan
3
subjektif dalam proses seleksi dan kandidasi para calon anggota legislatif di Indonesia sehingga bertentangan dengan prinsip rekrutmen yang berbasis pada kompetensi (KPK & LIPI, 2016). Situasi dan kondisi di atas sejatinya memberikan implikasi negatif bagi partai politik dan juga bobot demokrasi Indonesia. Partai politik akan didominasi oleh individu-individu yang minim kompetensi, integritas, dan komitmen organisasionalnya karena lebih menekankan pada elektabilitas, modal finansial, bahkan menjalankan praktik rekrutmen berbasis AMPI (anak, menantu, paman, dan istri). Pada taraf lebih lanjut, hal ini akan berdampak fatal bagi kualitas suprastruktur politik tempat di mana mereka akan duduk, seperti birokrasi pemerintahan daerah, lembaga legislatif, dan kursi eksekutif. Kinerja lembagalembaga tersebut menjadi kurang optimal dalam melayani rakyat karena orangorang yang duduk tidak berkompeten. Aspirasi dan kebutuhan rakyat akan demokrasi yang berkualitas yang mampu membawa mereka pada kesejahteraan akan tersumbat. Inilah yang menjadi tantangan bagi partai politik untuk melakukan revitalisasi sistem rekrutmen, sekaligus sebagai peluang untuk berkontribusi dalam penguatan demokrasi Indonesia. Pembahasan Revitalisasi sistem rekrutmen partai politik menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan apabila mengacu pada situasi dan kondisi hari ini. Meskipun ada kendala-kendala yang bersifat regulatif, partai politik, terlebih lagi elit partai politik, tak seharusnya menjadikan kendala regulatif tersebut sebagai celah untuk menjadikan rekrutmen politik sebagai momen transaksional jelang pemilu. Keinginan untuk meraih performansi yang baik dalam pemilu juga seyogianya tidak menjadikan partai politik terjebak pada prinsip oportunis dan kapitalis. Kondisi tersebut sejatinya merupakan momen yang dapat dikonversi menjadi momentum bagi partai politik untuk melakukan revitalisasi pada sistem rekrutmen. Ada dua strategi besar dalam menjalankan revitalisasi tersebut. Pertama, sistem rekrutmen berbasis konstitusi. Kedua, teknis rekrutmen yang selaras dengan upaya penguatan demokrasi, khususnya demokrasi yang mampu membawa masyarakat akan terwujudnya cita-cita akan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Pasca reformasi 1998, UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional bangsa dan negara Indonesia untuk pertama kalinya memperjelas fungsi rekrutmen partai politik melalui amandemen. Tambahan Pasal 6A ayat (2) memberikan amanat bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pemilu diselenggarakan. Selanjutnya, Pasal 22E ayat (3) juga mengamanatkan bahwa pemilu untuk anggota DPR dan DPRD diikuti oleh peserta yang diajukan oleh partai politik. Amanat-amanat konstitusi hasil amandemen tersebut secara eksplisit mengukuhkan partai politik pada posisi strategis sebagai satu-satunya sumber rekrutmen politik di Indonesia. Partai politik juga menyandang status sebagai pilar utama demokrasi. Berbekal pada amanat konstitusi hasil amandemen tersebut, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh partai politik adalah menerapkan prinsip-prinsip rekrutmen yang berbasis konstitusi. Sedikitnya ada 10 (sepuluh) prinsip dalam
4
rekrutmen politik yang harus dijalankan partai politik secara konsisten, sebagai berikut: 1. Prinsip loyalitas; bahwa individu yang direkrut harus harus memiliki loyalitas yang tinggi kepada partai politik tempat ia bernaung yang terefleksi dalam cara ia berfikir, berbicara, serta bersikap-tindak yang sesuai atau selaras dengan kepentingan dan ideologi partai politik; 2. Prinsip bersih; bahwa individu yang direkrut pada nantinya akan mewakili rakyat, baik di kursi eksekutif, maupun legislatif. Oleh sebab itu, mereka harus bebas dari perilaku dan tindakan tercela, baik yang melanggar norma sosial, agama, maupun kepentingan publik; 3. Prinsip keterbukaan; keterbukaan yang dimaksudkan di sini adalah keterbukaan dalam segala hal yang menyangkut calon anggota yang meliputi informasi mengenai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, kemampuan ekonomi atau kondisi keuangan, harapan dan komitmen terhadap organisasi ke depan. Prinsip keterbukaan juga akan menyentuh transparansi dalam hal mekanisme rekrutmen, serta hasil penilaian terhadap kandidat; 4. Prinsip akuntabilitas; proses rekrutmen yang dijalankan hendaknya dapat dipertanggungjawabkan kepada anggota partai, serta masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiary) nantinya; 5. Prinsip meritokrasi; proses rekrutmen harus condong pada upaya untuk mendapatkan anggota atau calon yang memiliki keahlian, kecakapan teknis, kepemimpinan yang baik, serta memiliki pengalaman berorganisasi. Khusus untuk kandidasi dalam pemilu, calon yang diusung diutamakan para kader yang berprestasi dan berkontribusi bagi partai politik; 6. Prinsip demokratis; proses rekrutmen yang dijalankan tidak hanya dipusatkan pada keputusan segelintir elit partai politik, tapi mencerminkan kebutuhan partai politik dan anggota secara keseluruhan; 7. Prinsip desentralisasi; prinsip ini erat kaitannya dalam penentuan calon anggota legislatif. Proses penetuan calon di tingkat pusat dan daerah harus dijalankan secara proporsional. Seleksi di level daerah harus dengan intervensi dan persetujuan oleh pimpinan pusat, sebaliknya seleksi di level pusat harus mempertimbangkan saran dan masukan dari pimpinan di level daerah; 8. Prinsip kecukupan pembiayaan (self-sufficiency); seleksi calon anggota harus mempertimbangkan aspek finansial dari sang calon dalam memberikan kontribusi kepada organisasi Dalam konteks kandidasi, kader atau calon yang diusung oleh partai politik harus memiliki kecukupan pembiayaan yang mandiri atas kandidasi yang dilakukan, di samping tentu saja ada kontribusi reguler dari partai politik untuk setiap calon yang mereka usung; 9. Prinsip humanis.; rekrutmen dijalankan dengan mengedepankan rasa empati dan keadilan. Rekrutmen yang dijalankan harus bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin mengikuti, tidak ada diskriminasi sosial (faktor primordialisme) atau ekonomi (status kaya miskin) terhadap calon anggota; 10. Prinsip non-partisan; prinsip ini harus dipegang dan dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang melakukan seleksi (judges). Dengan berpegang pada prinsip ini, pihak penyeleksi harus berlaku adil terhadap para calon, terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kesepuluh prinsip tersebut apabila diterapkan secara konsisten dan konsekuen oleh partai politik, maka akan memberikan dampak yang besar bagi reformasi
5
struktural dan kultural partai politik. Kekhawatiran akan adanya kader-kader yang tidak kompeten, minim integritas dan loyalitas, termasuk kemungkinan terjebak pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme akan dapat diminimalisir. Selain penerapan kesepuluh prinsip tersebut, upaya revitalisasi rekrutmen partai politik harus kompatibel dengan penguatan demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Upaya mencari kompatibilitas antara dua variabel tersebut bisa ditempuh melalui dua cara. Pertama, melihat kesesuaian visi-misi sang calon dengan aspek-aspek yang berpengaruh dalam penguatan demokrasi. Kedua, menguji pemahaman sang calon mengenai proyeksi kontribusinya melalui partai politik dan lembaga suprastruktur politik tempat ia mengabdi nantinya dalam konteks penguatan demokrasi. Pada saat rekrutmen dilakukan, partai politik harus memastikan bahwa kandidat memiliki visi-misi yang selaras dengan ikhtiar penguatan demokrasi di Indonesia. Visi-misi tersebut harus dipastikan dapat menopang penguatan dalam tiga aspek utama demokrasi yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang meliputi aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi. Semakin besar kontribusi mereka dalam memperkuat ketiga aspek tersebut, semakin kuat demokrasi Indonesia. Paralel dengan upaya tersebut, partai politik dapat membuat semacam komitmen dengan calon yang diusung dalam pemilihan umum agar merumuskan program kerja yang sesuai dengan ideologi partai secara khusus, dan mendukung penguatan demokrasi secara umum melalui jabatan politik yang mereka emban nantinya. Kedua hal inilah yang akan menjadi titik temu antara penguatan sistem rekrutmen partai politik dengan ikhtiar untuk menguatkan demokrasi Indonesia. Penutup Reformasi 1998 dan alam demokrasi telah membuka peluang yang sebesarbesarnya bagi partai politik untuk melakukan konsolidasi struktural dan kultural guna menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi. Hanya saja keuntungan tersebut belum dimaksimalkan oleh partai politik karena sebagian besar masih berkutat pada paradigm lama, khususnya dalam konteks pelaksanaan rekrutmen politik. Paradigma lama tersebut tercermin dari besarnya otoritas pimpinan partai politik (elit) dalam proses rekrutmen dan penetapan calon dalam kandidasi politik, intensi rekrutmen yang kerapkali berbasis primordialisme, serta kegagapan dalam mencari kompatibilitas rekrutmen dengan regulasi yang ditetapkan dalam pemilihan umum. Kondisi ini menimbulkan dampak negatif, baik bagi partai politik sebagai pilar demokrasi, maupun bagi demokrasi sebagai sistem politik itu sendiri. Revitalisasi sistem rekrutmen partai politik menjadi kata kunci untuk membenahi itu semua. Oleh sebab itu, tulisan ini menyajikan dua solusi komprehensif. Pertama, sistem rekrutmen berbasis konstitusi, dan kedua, teknis rekrutmen yang harmonis dengan upaya penguatan demokrasi di Indonesia. Referensi Budiardjo, M. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. de Huszar, G. B. (1951). Political Science. Salt Lake City: University of Utah.
6
Friedric, C. J. (1974). Constitutional Government and Democracy, The Theory and Practice in Europe and America. New Delhi: Oxford and IBH Publishing. Haryanto. (1982). Sistem Politik: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Huntington, S. P. (1968). Political Order in Changing Societies. New Haven and London: Yale University Press. Kompas. (2018, February 20). Partai Politik yang Bertarung di Pemilu dari Masa ke Masa. Retrieved March 16, 2020, from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2018/02/20/13275281/partai-politik-yangbertarung-di-pemilu-dari-masa-ke-masa?page=3 KPK & LIPI. (2016). Panduan Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik Ideal di Indonesia. Retrieved March 16, 2020, from kpk.go.id: https://aclc.kpk.go.id/wp-content/uploads/2018/07/Panduan-Rekrutmen-danKaderisasi-Parpol-Ideal.pdf Perludem. (2018, November 1). Jurnal 11 Demokratisasi Rekrutmen Partai Politik. Retrieved March 13, 2020, from Perludem.org: http://perludem.org/2018/11/01/jurnal-11-demokratisasi-rekrutmen-partaipolitik/