Santri, Ulama, dan Kepemimpinan Nasional Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024 Di tengah berbagai problematika kebangsaan dan kenegaraan akhir-akhir ini, muncul dorongan dari masyarakat agar kaum santri dan ulama semakin meningkatkan kiprahnya di panggung kepemimpinan nasional. Santri dan ulama diharapkan tidak tinggal diam terhadap berbagai permasalahan tersebut, tetapi bersikap proaktif memberikan sumbang saran, masukan, dan tenaga. Dorongan ini adalah sebuah hal yang wajar mengingat begitu besarnya peran santri dan kaum ulama apabila dirujukkan pada sejarah perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang dipraktikkan pada masa lampau tersebut diharapkan dapat dikontekstualisasikan dalam menjawab tantangan kebangsaan hari ini. Sisi historis Menelisik ke masa lampau, adalah K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU), yang menyerukan resolusi jihad untuk melawan penjajah Belanda yang hendak merebut kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Resolusi jihad yang diserukan tersebut mewajibkan seluruh umat Islam yang berada di radius 94 kilometer untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di medan pertempuran, dengan atau tanpa mengangkat senjata. Resolusi jihad ini menjadi tonggak sejarah kiprah para santri dan kaum ulama, serta menjadi pemantik berkobarnya perjuangan yang lebih besar melawan penjajah oleh segenap bangsa Indonesia hingga meletus peristiwa 10 November 1945 yang sangat fenomenal. Manifestasi peran santri dan ulama juga dapat ditilik pada masa pergerakan nasional di era pra-kemerdekaan. Pada awal abad ke-20, banyak sekali bermunculan organisasi pergerakan nasional dengan berbagai platform atau ideologi, salah satunya adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905. Organisasi yang pada 1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) ini didirikan oleh kalangan ulama dengan tujuan untuk menjadi sarana perjuangan umat Islam melalui bidang niaga dalam melawan penjajahan Belanda yang pada waktu itu hadir dalam bentuk kongsi dagang bernama Vereenigde OostIndische Compagnie atau VOC. Begitu masifnya kiprah santri dan ulama pada masa revolusi fisik dan pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal diam terhadap problematika kebangsaan yang ada. Dalam konteks membangun bangsa (nation-building) dan membangun negara (state-building), santri dan ulama berperan sebagai katalisator bagi komponen bangsa lainnya. Ketika muncul pihak-pihak yang mempertentangkan antara agama dan negara pada masa awal kemerdekaan, kaum santri dan ulama juga tampil di garda depan. Bagi kaum santri dan ulama, dengan diproklamasikannya kemerdekaan yang berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara, perdebatan antara agama versus negara sudah tuntas di negeri ini.
Sistem politik Permasalahan bangsa dan negara hari ini tentu saja jauh lebih kompleks dari persoalan yang dihadapi pada masa lampau. Upaya untuk melakukan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, utamanya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, pemanfaatan sumber kekayaan alam untuk kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan daya saing bangsa di panggung internasional, jauh lebih berat dari sekedar merebut kemerdekaan. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat, visioner, patriotik, serta berlandaskan visi keagamaan dan kebangsaan yang baik. Spirit yang dimiliki dan praktik kebangsaan yang dilakukan oleh kaum santri dan ulama pada masa lalu sejatinya tetap kompatibel dan relevan untuk merespons persoalan kebangsaan dan kenegaraan hari ini. Sistem politik Indonesia modern memungkinkan para santri dan kaum ulama untuk berperan aktif dalam masalah-masalah kebangsaan. Sistem politik modern menyediakan dua kanal bagi warga negaranya untuk berpartisipasi, yakni infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Berbeda dengan suprastruktur politik yang bersifat formal karena mencakupi unsur Trias Politika bernegara, infrastruktur politik bersifat lebih cair dan terbuka. Infrastruktur politik yang termanifestasikan dalam bentuk organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, hingga media massa, dapat menjadi wadah perjuangan yang inklusif bagi para santri dan ulama untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran mereka. Hal ini bisa dilihat jelas dari keberadaan ormas Islam seperti NU dan berbagai partai politik Islam lainnya yang aktif berdakwah melalui jalur sosial budaya dan politik. Dalam konteks infrastruktur politik, eksistensi, kontribusi, serta kiprah kaum religius seperti santri dan ulama bisa dikatakan mengakar dengan kuat, khususnya di era pasca reformasi dan keterbukaan publik saat ini. Tak heran, sebagai contoh, apabila NU dikukuhkan sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia saat ini, bahkan dunia. Namun demikian, eksistensi ini tentunya diharapkan tidak hanya sebatas pada level infrastruktur politik, tapi juga suprastruktur politik yang sangat terkait erat dengan produksi kebijakan (policy-making process) dan corak kepemimpinan nasional. Inilah yang begitu kencang disuarakan oleh arus bawah masyarakat yang menghendaki pemimpin dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang kuat, mampu membawa bangsa dan negara keluar sebagai pemenang dalam mengatasi problematika yang dihadapi. Kehendak rakyat Persoalan kepemimpinan nasional bukanlah dikotomi antara nasionalis versus religius, Jawa vis a vis Non-Jawa, atau sipil versus militer. Persoalan kepemimpinan nasional adalah visi komprehensif untuk membawa bangsa dan negara agar mampu memenuhi tujuan nasional seperti yang dinyatakan dalam preambul konstitusi. Dengan visi keagamaan dan kebangsaan yang padu, kaum santri dan ulama diharapkan untuk semakin menegaskan kiprahnya dalam panggung kepemimpinan nasional. Harapan dan dorongan tersebut tentu saja akan diuji lebih jauh dalam
instrumen-instrumen demokrasi di mana rakyat bertindak sebagai penentu. Jika rakyat benar-benar yakin dan menginginkan sosok pemimpin yang holistik visi kebangsaan dan keagamaannya, maka niscaya kiprah dan kontribusi konkret santri dan kaum ulama akan semakin masif di panggung kepemimpinan nasional ke depan.
*****