Selamat Jalan Kamerad Fidel Posted November 30, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah Tiga bulan yang lalu, tepatnya pada 13 Agustus, ribuan rakyat Kuba dalam suasana yang berbahagia, turun ke jalan-jalan di Havana sembari menari-nari dan mengikuti alunan musik berirama latin. Mereka melakukan tradisi rutin yakni perayaan hari ulang tahun ke-90 Sang Panglima Tertinggi Revolusi Kuba, Fidel Alejandro Castro Ruz, atau akrab disapa Fidel Castro. Susana tiga bulan lalu tersebut berbanding terbalik dengan suasana saat ini. Begitu Raul Castro, Presiden Kuba saat ini, mengumumkan berita wafatnya sang kakak pada 26 November, rakyat Kuba diselimuti kedukaan yang mendalam. Melalui saluran televisi, Raul mengumumkan bahwa Fidel telah wafat dan akan segera dikremasi. Pemerintah Kuba menetapkan hari berkabung nasional mulai Sabtu hingga beberapa pekan ke depan. Suksesi politik di Kuba sebelum wafatnya Fidel bisa dikatakan berlangsung mulus. Sadar akan kondisi fisiknya yang terus menurun, Fidel menyerahkan tampuk kekuasaan politiknya kepada adiknya, Raul. Meskipun telah menerima mandat politik untuk berkuasa pada 2006, Raul sendiri baru secara resmi menjadi Presiden Kuba dua tahun setelahnya. Sebagai salah satu pemimpin komunis dunia yang paling disegani, Fidel mencatatkan beberapa sejarah penting, tidak hanya bagi politik nasional Kuba, tapi juga bagi percaturan politik global. Cakar kekuasaan Castro membentang sejak revolusi Kuba pada 1959, perang dingin, bahkan sepak terjangnya menginspirasi gerakan sosialis yang menggeliat di negara-negara Amerika Selatan saat ini. Sejarah penting yang diukir Castro pertama adalah penggulingan kediktatoran Fulgencio Batista pada 1959. Meskipun upaya pemberontakan pertama yang dilancarkan pada 1953 gagal dan menyebabkan Fidel dan saudaranya Raul dijatuhi hukuman belasan tahun penjara, namun kegagalan tersebut tak menyurutkan langkah Fidel. Kembali gagal pada pemberontakan 1956, bersama Che Guevara dan Camilo Cienfuegos, pada bulan Januari 1959, Fidel mampu memaksa Batista lari tunggang langgang meninggalkan Kuba dan mengasingkan diri ke Republik Dominika. Kedua, sumpah Fidel untuk menjadikan Marxisme dan Leninisme sebagai ideologi negara Kuba. Ajaran Karl Marx dan Vladimir Lenin tersebut diabadikan dalam bentuk
konstitusi Kuba. Praktis dengan ideologi ini, Kuba menempatkan diri sebagai musuh AS di era perang dingin. AS bahkan tak segan-segan menerapkan embargo ekonomi untuk mematikan perekonomian Kuba. Posisi ini juga secara otomatis menempatkan Fidel sebagai target utama pembunuhan yang didalangi oleh AS. Tercatat ada 638 kali upaya pembunuhan yang diotaki CIA dan Barat, mulai dari bahan peledak di cerutu, hingga suntikan beracun untuk merontokkan janggut Fidel. Ketiga, kharismatiknya citra Fidel menjadikannya sebagai inspirasi para tokoh-tokoh dunia, terutama mereka yang menolak tunduk dan menentang hegemoni AS. Fidel menjadi guru dan rujukan para pemimpin dunia seperti Evo Morales dari Bolivia dan mendiang Hugo Chavez dari Venezuela. Di level domestik Kuba, Fidel diperlakukan bak dewa, dipuja rakyatnya hingga kematiannya. Berbeda dengan Kim Jong Il di Korea Utara, kuatnya ketokohan Fidel lebih disebabkan internalisasi ideologi komunis di pikiran rakyat dan kemampuannya membawa rakyat Kuba hidup dalam kesejahteraan, bukan indoktrinasi dan represi seperti yang terjadi di Korea Utara. Dengan kematian Fidel, pertanyaan yang meliputi benak banyak orang adalah bagaimana arah masa depan politik Kuba? Serta bagaimana dampaknya terhadap peta politik global? Kondisi yang dihadapi Kuba pasca wafatnya Fidel kurang lebih sama dengan yang dihadapi oleh Venezuela ketika wafatnya Chavez. Namun demikian fondasi politik Kuba jauh lebih solid. Suksesor Fidel tidak lain adalah adiknya sendiri yakni Raul yang notabene merupakan bagian penting dari Revolusi Kuba 1959, bukan aktor ahistoris yang ujug-ujug naik ke tampuk kekuasaan. Sebagai adik sekaligus murid Fidel, Raul diyakini akan tetap menjalankan politik Kuba seperti yang dijalankan di era Fidel. Rakyat Kubapun diprediksi akan mendukung penuh Raul dan jajarannya sehingga kecil kemungkinan terjadi turbulensi politik. Pada masa pemerintahan Raul, hubungan Kuba dan AS perlahan-lahan mengalami perbaikan. Pembicaraan intens antara Raul dan Obama (mantan Presiden AS) untuk memulihkan hubungan diplomatik yang sempat terputus sejak 1960 menjadi titik masuknya. Di satu sisi, pemerintah Kuba menyadari bahwa politik isolasi yang diterapkan oleh AS telah banyak merugikan Kuba, tidak hanya dari sisi ekonomi perdagangan, tapi juga dari sisi politik. Entah benar atau tidak, pemerintah Kuba era Raul mulai menyadari bahwa tek relevan lagi berkonflik dengan alasan ideologi. Di sisi lain, AS juga menyadari bahwa cita-cita AS untuk mempromosikan demokrasi dan HAM di Kuba tak akan pernah terwujud apabila antara kedua negara tidak pernah berkomunikasi satu-sama lain.
Sebagai pemimpin Kuba saat ini, Raul sepatutnya mencermati sirkumstansi politik di AS di era Trump. Partai Republik tentunya berbeda haluan dengan Partai Demokrat pendukung Obama yang getol mendukung harmonisasi hubungan dengan Kuba. Jangan sampai relasi buruk dengan rezim Trump membawa hubungan kedua negara kembali ke masa-masa suram Perang Dingin. Dunia pastinya kehilangan sosok legendaris seperti Fidel Castro. Terlepas dari beberapa citra negatif Fidel, seperti pelanggar HAM dan sebagainya, figur Fidel merupakan simbolisasi perlawanan terhadap hegemoni dan kedigdayaan AS. Sedikit sekali pemimpin di dunia yang berani secara total melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan AS sebagai adidaya dunia karena faktor ideologis, bahkan hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Senor Fidel. Saya yakin AS pun bersedih kehilangan musuh nomor wahid seperti anda. Sepak terjang anda akan dicatat dalam sejarah dunia.
*) Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia