Sengat Globalisasi Di Pelosok Desa MUDIK, Satu kata tunggal yang memiliki seribu romansa. Setidaknya itulah yang mungkin dialami oleh ribuan bahkan jutaan pemudik Indonesia di hari raya Idul Fitri tahun ini. Berita Terkait Problematika Regulasi Uang Elektronik Rencana Pemerintah Gunakan Dana Filantropi Konyol dan Memalukan! Anies Baswedan Dan Suara Rakyat (Keadilan Untuk Semua) Perjalanan panjang nan melelahkan seakan tidak menjadi halangan demi bertemu sanak keluarga di kampung halaman. Keinginan untuk bertukar cerita dengan kawan lama atau sekedar melihat sudut-sudut desa yang sudah lama tidak disusuri menjadi sebuah daya tarik tersendiri yang memacu para pemudik untuk segera tiba di kampung halaman masing-masing. Namun demikian, ada yang sedikit berbeda pada hari raya tahun ini. Setidaknya itulah yang saya alami ketika tiba di Baturaja, kota kecil di Sumatera Selatan, yang menjadi kampung halaman saya. Perayaan lebaran tahun ini begitu gegap gempita, bukan karena masyarakatnya yang guyub dan saling bersilaturahmi satu sama lain, bukan juga karena tiap tahun angka pemilik kendaraan bermotor meningkat sehingga menimbulkan kebisingan, tapi semaraknya lebaran tahun ini disebabkan oleh kemunculan pusat perbelanjaan bergaya modern dan dilengkapi oleh fasilitas bioskop layaknya kota-kota besar ibukota provinsi. Sebenarnya di tahun lalu, sudah berdiri pusat perbelanjaan di kota saya, dilengkapi dengan department store yang menjual aneka kebutuhan yang sesuai dengan kocek kelas menengah ke bawah yang hidup di Baturaja. Akan tetapi pusat perbelanjaan baru ini sungguh berbeda karena didukung oleh fasilitas bioskop yang konon kabarnya menjadi kartu sakti setiap pusat perbelanjaan karena selalu menjadi titik yang akan selalu dikunjungi. Seingat saya, terakhir kali kota saya memiliki bioskop sekitar belasan tahun yang silam, tepatnya ketika saya masih menjadi pelajar sekolah dasar. Saat ini saya berusia 31 tahun. Keperkasaan pusat perbelanjaan baru ini semakin menjadi-jadi ketika saya temukan perusahaan retail makanan dan minuman raksasa bercokol di sana, yang tampaknya selalu akan dikunjungi oleh ibu-ibu rumah tangga untuk mengebulkan dapur rumah. Sebenarnya saya sudah berdamai denga diri saya sendiri untuk tidak mengkritik apa yang
disebut sebagian kalangan sebagai “kemajuan�. Ya, tidak bisa dibohongi bahwa kondisi ini bisa disebut sebagai kemajuan. Faktanya bisa saya dedahkan. Jika sebelumnya anak-anak muda menghabiskan waktunya untuk balapan liar di sudut-sudut kota yang sepi, aktivitas tersebut rupanya surut karena dialihkan ke acara-acara kongkow di pusat perbelanjaan. Jika sebelumnya para kutu buku harus menempuh sekian jam perjalanan untuk mendapatkan buku berkualitas baik di ibukota Provinsi, saat ini mereka tinggal pilih di pusat perbelanjaan modern tersebut. Jika ibu-ibu yang hendak belanja sayur-mayur bisa dipastikan akan berlepot lumpur karena masuk ke pasar tradisional yang becek, saat ini mereka dengan flamboyan bisa memilih kebutuhan apapun, bahkan hanya dengan menyeret trolly dan dikipasi AC nan dingin. Apa yang terjadi di kota kecil saya, yang saya yakin juga terjadi di kota-kota kecil atau bahkan desa para pemudik lainnya merupakan satu dari sekian banyak dampak globalisasi. Kemajuan di bidang teknologi informasi, komunikasi, serta transportasi memudahkan para pemilik modal untuk menyeret modalnya kemanapun mereka mau, selama laba bisa dikeruk. Di sini yang digunakan hanyalah kalkulasi yang bersifat finansial, dan saya yakin tak ada aspek sosial budaya apalagi ideologis yang menjadi pertimbangan-pertimbangan mendasar bagi mereka dalam memancangkan roda bisnisnya. Masyarakat, apalagi kelas bawah, tentu tidak sadar akan kondisi ini. Bagi mereka, kepuasan adalah satu-satunya indikator untuk mengukur baik tidaknya suatu fasilitas. Selama saya puas, suami atau istri saya puas, begitu pula anak-anak yang menyunggingkan gelak tawa ketika bermain, semuanya akan baik-baik saja. Saya hendak memastikan bahwa saya tidak akan meletakkan para pemodal tersebut pada posisi yang salah. Jika saya meletakkan mereka pada wrong position, saya akan terjebak pada apa yang disebut sebagai “dilema globalisasi� yang naga-naganya akan menjerumuskan saya kepada hipokrisi. Tengoklah Kim Jong Un dan Fidel Castro, para tiran yang konon kabarnya anti kapitalisme, tapi tidak segan-segan berlaku lebih kapitalis dari para kapitalis. Mereka membohongi rakyatnya dengan jargon-jargon tapi hidup dalam kemunafikan. Yang ingin saya katakan adalah mengantisipasi dampak negatif dari globalisasi, dibutuhkan intervensi dari pemerintah daerah. Intervensi ini seyogianya diletakkan pada tataran yang bersifat sosial budaya. Hemat saya, perlu dihidupkan lagi fasilitas layar tancap yang menampilkan film-film atau kesenian daerah. Masyarakat jadi punya alternatif dalam memilih hiburan. Dalam kerangka tujuan jangka panjang, perlu digagas rumah atau kantor kesenian daerah yang menjadi tempat berkreasi para seniman daerah. Saya membayangkan suatu saat nanti, kota saya akan hirukpikuk dengan acara pembacaan puisi, lomba melukis dan menyanyi, atau sayembara menulis cerita pendek dan artikel-artikel bernas di media massa. Pemerintah juga harus memposisikan agenda penggiatan budaya literasi sebagai prioritas utama. Kemajuan sebuah kota tidak bisa dipisahkan dari tingginya budaya literasi masyarakat. Oleh sebab itu, eksistensi pusat-pusat pertokoan yang menyediakan buku-buku berkualitas menjadi sebuah kondisi yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Satu kemajuan yang saya catat dilakukan oleh pemerintah daerah saya adalah menghidupkan kembali taman kota. Ini hal yang sungguh brilian. Jika pusat perbelanjaan adalah tempat yang sangat selektif terhadap konsumennya, taman kota tidak menyuguhkan seleksi kelas. Siapapun bisa berkunjung, bahkan tuna wisma sekalipun.
Dua hari yang lalu saya menyaksikan aksi Mark Wahlberg dan Laura Haddock membantu Optimus Prime menyelamatkan bumi dalam film Transformers: The Last Knight. Sehari sebelumnya saya menyaksikan bagaimana Tom Cruise harus rela menjadi monster demi menghidupkan kembali Annabelle Wallis dari kematian dalam film The Mummy. Saya jadi berpikir, jika tidak ada bioskop di kampung halaman saya, saya harus kembali dulu ke Jakarta beberapa hari lagi untuk menikmati hobi saya tersebut. Dalam hati saya berkecamuk “dilema globalisasi� ![***]
Boy Anugerah, S.IP., M.Si. Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia/Pemudik Lebaran