Siaga Bonus Demografi, Lalai Bonus Geografi Posted November 4, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah Bukan hanya diskursus intelektual, tapi bonus demografi menjadi kosakata penting yang tidak bisa diabaikan oleh setiap pemangku kepentingan di republik ini. Bonus demografi menjelma sebagai atensi dan input utama dalam penyusunan kebijakan di setiap lini, mulai dari aspek kependudukan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, industri, perdagangan, hingga ketenagakerjaan, baik kebijakan di level daerah, maupun di level pusat. Bonus demografi sendiri secara sederhana merupakan sebuah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Secara kuantitatif, proporsi antara penduduk usia produktif dan nonproduktif adalah 70 persen berbanding 30 persen, atau secara total 180 juta jiwa berbanding 60 juta jiwa. kalkulasi ini bermakna bahwa Indonesia akan memiliki amunisi yang cukup besar untuk mangakselerasi pembangunan nasional melalui kelebihan sumber daya manusia yang berusia produktif ini. Analisis yang lebih tajam menyatakan bahwa komposisi 70:30 mengindikasikan bahwa 10 orang usia produktif akan menanggung 3-4 orang usia nonproduktif, sehingga implikasinya adalah meningkatnya tabungan masyarakat dan tabungan nasional. Fenomena bonus demografi, yang sejatinya berada pada tataran prakiraan, meskipun memiliki akurasi yang tinggi untuk terjadi, tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang penting karena berpotensi menjadi ancaman apabila tidak dikelola dengan baik. Potensi ancaman tersebut dapat berupa tingginya jumlah pengangguran, angkatan kerja yang tidak memiliki kompetensi yang baik, kriminalitas, dan dalam sekup yang lebih besar berupa lemahnya daya saing ekonomi nasional. Namun demikian, besarnya atensi yang diberikan terhadap bonus demografi ini seyogianya tidak menegasikan aspek lain yang tak kalah penting, bahkan sudah ada dalam genggaman dan di depan mata kita sendiri, yakni bonus geografi yang tidak ternilai harganya.
�
terbang
ting � P datangnya bonus demografi, tapi cenderung menegasikan bonus geografi yang sudah dimiliki. Pemerintah seakan lupa bahwa bonus demografi hanyalah medium atau alat untuk mengelola potensi geografis yang kita miliki. Pernyataan ini penulis sampaikan dalam kondisi bahwa penulis tidak membuat derajat perbandingan antara bonus demografi dan bonus geografi, mana yang lebih penting. Pernyataan ini penulis sampaikan untuk mengingatkan dan menegaskan kembali bahwa antara keduanya terkait satu sama lain, saling menentukan, serta tidak dapat dipisahkan. Istilah bonus geografi ini memang kalah populer dibandingkan dengan bonus demografi, maklum bangsa ini kadangkala kurang bersyukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis, terletak pada jalur dua benua, Asia dan Australia, serta dua samudera, yakni Pasifik dan Hindia. Posisi ini sangatlah menguntungkan karena Indonesia menjadi jalur perdagangan internasional. Terbukti sejak dahulu kala para pedagang mancanegara seperti Arab, Persia, Tiongkok, bahkan Eropa berduyun-duyun datang ke Indonesia. Mereka datang untuk berdagang, bahkan hingga menikah dengan warga lokal dan menetap di bumi nusantara. Strategisnya posisi geografis Indonesia juga didukung oleh sumber daya alam negeri yang luar biasa, minyak bumi, gas alam, hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan masih banyak lagi. Menggambarkan keunggulan yang luar biasa ini, nenek moyang kita memiliki anekdot yang masih sering kita dengar hingga hari ini, � � Besarnya kekayaan sumber daya alam yang dimiliki ini menjadikan Indonesia bak gadis seksi di mata bangsa lain. Hal ini terbukti dengan datangnya Inggris, Portugis, Belanda, hingga Jepang yang hendak menguasai sumber daya alam Indonesia. Sampai saat inipun beragam kekuatan asing masih terus berusaha untuk menguasai, baik negara yang berkepentingan, maupun melalui tangan-tangan perusahaan multinasional. Jika kita menengok kondisi negeri saat ini, tentulah realitas yang ada berbanding terbalik dengan kekayaan yang kita miliki. Cara berfikir sederhana tentulah menghasilkan pemahaman bahwa jika sumber daya alam melimpah, maka negeri tersebut akan kaya raya, makmur sejahtera. Ini das sollen, yang seharusnya. Namun senyatanya, kondisi yang ada menunjukkan paradoks. Negeri ini masih mengimpor beras dan garam, padahal katanya Indonesia negeri agraris dan maritim. Kita punya banyak tempat-tempat wisata eksotis seperti Bali, Lombok, dan Papua, namun masih bisa disalip oleh Thailand dan Malaysia di level Asia Tenggara. Lautan kita kaya akan hasil laut, seperti ikan, rumput laut, dan terumbu karang, namun nelayan masih hidup melarat dan dijerat oleh tengkulak.
Kebijakan Poros Maritim Presiden Jokowi yang mengarusutamakan sektor perairan yang menjadi atribut utama geografis Indonesia layak diapresiasi, meskipun di sisi lain menimbulkan kemirisan tak terperi. Selama hampir 70 tahun merdeka, Indonesia bak ayam mati di lumbung padi, tak paham apa yang menjadi kekuatan diri. Kita abai akan lautan kita yang sangat kaya, kita bahkan tak mampu mempertahankan kekayaan tersebut yang dijarah oleh kapal-kapal asing. Kekayaan alam Indonesia yang begitu besar bak pepesan kosong yang tidak bisa dikapitalisasi pemerintah menjadi kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Lantas salah siapa? Antarrezim biasanya saling tunjuk, mencari kambing hitam dan tidak mau disalahkan. Lagu lama dan tabiat bangsa ini. Segenap bangsa Indonesia, pemerintah, rakyat, siapapun tanpa kecuali selaiknya buka mata dan telinga agar tidak abai atas bonus geografi yang dimiliki. Segenap kelebihan yang dimiliki akan menjelma sebagai kutukan apabila kita tidak sadar dan mawas diri. Fenomena negara-negara gagal di Afrika yang kaya sumber daya alam namun dikecamuk oleh pertikaian, konflik, dan perang saudara baiknya dijadikan pembelajaran. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia sudah seharusnya ditinjau ulang. Singkirkan regulasi yang hanya menguntungkan pihak asing. Revisi kebijakankebijakan yang berpotensi melemahkan kapasitas dan daya saing nasional. Susun beragam rencana kegiatan untuk memampukan bangsa ini sebagai bangsa yang maju dan mandiri. Sesuai dengan titah Bung Karno, daulat politik, mandiri ekonomi, dan berkepribadian budaya. Yang tak kalah penting, hentikan kegaduhan politik yang tak berguna agar segenap elemen pemerintah fokus membangun negeri. Bonus geografi merupakan jembatan penghubung dan modal dasar bagi bangsa dan negara Indonesia dalam menyambut bonus demografi yang dinanti-nanti. Pengelolaan bonus geografi dengan tepat merupakan piranti keras yang dibutuhkan untuk menyukseskan bonus demografi sebagai piranti lunak pembangunan. Kegagalan dalam pengelolaan bonus geografi akan menjadikan kaum produktif gagap dalam mengejar target pembangunan. Yang paling fatal, bonus demografi akan menjelma menjadi bencana geografi. Indonesia bisa tekor dua kali!
*)Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, bekerja di Lembaga Ketahanan Nasional RI