Silang Sengkarut Masalah PNS

Page 1

Silang Sengkarut Masalah PNS Posted October 17, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah Menteri Pendayag PANRB), Asman Abnur, menyatakan bahwa rasionalisasi terhadap satu juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) resmi dibatalkan. Sebagai gantinya, pemerintah akan memberlakukan redistribusi pegawai untuk menata sistem kepegawaian negara. Dari total 4,5 juta PNS di seluruh Indonesia, 37 persen atau sebanyak 1,6 juta PNS adalah tenaga administrasi umum. 37 persen pegawai berstatus tenaga administrasi umum inilah yang direncanakan akan diredistribusi ke jabatan fungsional tertentu. Melalui kebijakan redistribusi, PNS diharapkan dapat menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara teknis, kebijakan redistribusi pegawai dapat diterjemahkan sebagai pemindahan pegawai di level provinsi ke kabupaten/kota, begitu juga sebaliknya. Sistem ini memang masih diterapkan dalam satu provinsi, belum antar provinsi. Melalui sistem redistribusi seperti ini, pemerintah berkeyakinan bahwa pengetahuan PNS dapat semakin bertambah. Lebih lanjut, kebijakan ini juga dapat menjadikan PNS sebagai pegawai nasional, bukan lokal. Pasca menggantikan Yuddy Chrisnandi sebagai pejabat menteri, dapat dipahami bahwa Asman Abnur memikul beban yang berat untuk mewujudkan birokrasi yang memiliki tata kelola yang baik, efektif dan efisien dalam mendukung terlaksananya program-program pemerintah. Tak pelak, ia menjadikan PNS sebagai sasaran utama untuk dibenahi terlebih dahulu. Status sebagai aparat negara dengan jumlah terbanyak, serta stigma negatif masyarakat bahwa PNS loyo dan tidak profesional menjadikan PNS sebagai area kritis yang harus diperbaiki. PNS merupakan kepanjangan tangan negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tak berlebihan jika PNS menjadi representasi dan wujud eksistensi negara di tengah-tengah masyarakat. Baik buruk negara, sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap kinerja PNS sebagai aparat negara. Permasalahan PNS sejatinya merupakan permasalahan klasik yang tak kunjung selesai. Beberapa citra negatif yang melekat pada PNS hari ini, merupakan konsekuensi dari kebijakan salah kaprah yang dijalankan pemerintah sejak dahulu.


Hulu persoalannya terletak pada permasalahan rekrutmen, baik di level daerah, maupun level nasional. Pertama, kebijakan rekrutmen cenderung dilaksanakan secara berkala, dari tahun ke tahun, tanpa dibekali feasibility study terlebih dahulu mengenai kebutuhan di masingmasing instansi, kesesuaian latar belakang pendidikan dengan jabatan yang akan diisi, serta pengetahuan mengenai perputaran (turn over) jumlah pegawai masuk dan keluar. Kedua, budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih dilanggengkan dalam rekrutmen pegawai, bahkan setelah rezim orde baru tumbang. Masih ditemui fenomena setoran-setoran kepada oknum pejabat untuk memuluskan calon tertentu sebagai PNS. Ketiga, mekanisme seleksi yang tidak jelas. Ketiadaan mekanisme yang disusun secara ketat menjadikan produk seleksi kurang kompeten, baik dari segi keahlian maupun perilaku. PNS hasil rekrutmen juga jauh dari budaya melayani yang merupakan modal dasar sebagai aparat negara. Kesalahan pengelolaan pegawai tidak hanya terletak di hulu, tapi juga berlanjut pada sistem pengelolaan dan pemeliharaan pegawai. Kerapkali pegawai tidak memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas ketika bekerja, khususnya mereka yang berstatus sebagai pegawai baru. Tak jarang kita temui kenyataan bahwa PNS baru di instansi pusat atau daerah hanya dijadikan sebagai pembuat kopi untuk atasan, menanak nasi di dapur kantor, bahkan pengantar surat dari satu ruangan ke ruangan yang lain. Padahal mereka adalah produk globalisasi yang high skill dan kritis. Kompetensi mereka yang mumpuni tidak dimanfaatkan secara maksimal karena salah kaprah dalam pemeliharaan. Kondisi ini merupakan produk dari sistem yang keliru dan budaya kolot dari PNS lama yang inkompeten. Tak hanya itu, PNS juga minim sekali pendidikan dan pelatihan yang dapat meningkatkan hard skill dan soft skill mereka, seperti pelatihan kepemimpinan, komunikasi publik, bahasa asing, penggunaan teknologi berbasis komputer, dan masih banyak lagi. Secara umum, PNS hanya mendapatkan pendidikan ketika hendak memulai bekerja melalui diklat prajabatan dan diklat kepemimpinan bagi mereka yang hendak naik jabatan, selebihnya tidak ada. Praktis dengan metode seperti ini, tak akan ditemui PNS dengan spirit kerja yang tinggi dan antusias dalam melayani, apalagi berkompetensi tinggi menyelesaikan problem pemerintahan yang semakin hari semakin kompleks. Kondisi PNS semakin keruh ketika menilik budaya yang ada di pikiran dan lingkungan kerja PNS itu sendiri. Ketiadaan sistem meritokrasi yang jelas dalam bekerja menjadikan PNS malas-malasan. Bekerja tidak bekerja gaji tetap sama. Berprestasi atau tidak berprestasi, naik golongan tetap sama, yakni empat tahun sekali.


PNS tidak termotivasi untuk berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaik bagi negeri melalui status dan jabatan PNS yang mereka emban. Alhasil, masyarakat sebagai konsumen mereka menjadi tidak puas. Kondisi ini menciptakan ekonomi biaya tinggi di masyarakat. Setiap berhubungan dengan birokrasi, waktu yang dibutuhkan lama agar proses selesai, uang yang dikeluarkan juga harus lebih banyak agar proses lebih cepat. Kalau bisa diperlama, mengapa dipercepat. Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah. Begitu kira-kira stereotipe yang dilekatkan masyarakat kepada PNS. Kebijakan redistribusi pegawai dari Kementerian PANRB patut diapresiasi sebagai ikhtiar untuk mengurai sengkarut dalam pengelolaan pegawai di negeri ini. Kebijakan rasionalisasi yang merupakan bahasa halus dari pangkas jumlah pegawai terasa kurang humanis dan cenderung menghakimi PNS yang tidak kompeten. Kesalahan tidak hanya terletak pada mereka sehingga mereka loyo dalam bekerja dan tidak profesional. Ada kesalahan pemerintah yang menyebabkan terciptanya kondisi tersebut. Kebijakan redistribusi menjadikan mereka memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan berbakti kepada negeri. Ini juga menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki diri dengan melakukan reformasi sistem pengelolaan dan pemeliharaan pegawai. Peningkatan kompetensi harus diaktualisasikan melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan yang dapat meroketkan kualitas pegawai. Pemerintah disarankan tidak berpuas diri melalui pemilihan kebijakan redistribusi pegawai. Setidaknya ada dua hal minimum bersifat jangka pendek yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu mengkaji secara mendalam ekses negatif yang mungkin ditimbulkan. Ada potensi konflik yang bisa muncul dari kebijakan ini. Pemindahan pegawai di level kabupaten/kota ke provinsi merupakan sebuah kehormatan bagi pegawai tersebut, namun tidak demikian sebaliknya bagi pegawai yang dipindahkan dari provinsi ke kabupaten/kota. Kedua, kebijakan redistribusi ini secara otomatis membuka kembali kran rekrutmen pegawai. Agar rekrutmen pegawai baru tidak menambah persoalan, sudah seharusnya pemerintah menyusun skema rekrutmen yang komprehensif sebagai strategi jangka panjang. Pemerintah disarankan berjalan pada koridor rekrutmen berbasis kompetensi dan perilaku. Sistem CAT yang diterapkan pemerintah memang mampu memfasilitasi terjaringnya PNS yang berkualitas, namun belumlah cukup. Pemerintah juga harus mengedepankan seleksi berbasis perilaku. Dibutuhkan pegawai bermental melayani sesuai khitahnya sebagai pelayan masyarakat. Seleksi berbasis perilaku juga bisa mencegah bibit-bibit pegawai korup di masa yang akan datang. Pemerintah perlu mencontoh sistem rekrutmen di dunia swasta. Aspek


perilaku merupakan penilaian utama, kompetensi urusan sekian. Hal ini terjadi karena perilaku merupakan modal dasar. Kompetensi yang rendah dapat ditingkatkan melalui sistem pemeliharaan dan pengelolaan pegawai yang baik. Permasalahan PNS merupakan permasalahan yang kompleks. Sangat banyak persoalan yang akan muncul jika kita bahas satu per satu. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Upaya redistribusi pegawai merupakan satu dari sekian banyak ikhtiar yang harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan tercapainya birokrasi yang sehat. Kita juga berharap citra PNS akan semakin baik. Sejatinya menjadi PNS adalah beribadah dan mengabdi bagi agama dan negeri.

*)Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, PNS di Lembaga Ketahanan Nasional RI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.