Slogan Soeharto dan Resureksi Orde Baru

Page 1

Slogan Soeharto dan Resureksi Orde Baru Posted October 6, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah

Piye kabare, enak zamanku to? Sapaan dalam bahasa Jawa dengan gambar mantan presiden kedua RI, HM Soeharto (Pak Harto), sambil tersenyum dan melambaikan tangan sering kita jumpai menghiasi bagian belakang mobil angkutan umum dan truk, khususnya di daerah-daerah pedesaan. Di daerah kota yang lebih maju, sapaan dan gambar tersebut bisa kita temui di temboktembok jembatan layang atau dinding-dinding bangunan kota. Terkesan lucu dan iseng, tapi ada pesan politis yang bisa dicermati dari fenomena ini. Indonesia saat ini sudah menapaki tahun ke-18 pasca runtuhnya orde baru (orba). Ketika rezim orba yang militeristik dan otoriter berhasil digulingkan, harapan segenap rakyat Indonesia membuncah. Impian akan hidup yang lebih makmur, adil, dan sejahtera, serta negara yang maju, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dicapai. Harus diakui, banyak perubahan yang terjadi pasca runtuhnya orba. Legislatif yang pada masa lampau tak lebih dari tukang stempel, akhirnya mendapatkan porsinya kembali sesuai fungsi dalam Trias Politica. Pemilu berlangsung secara demokratis dengan rakyat sebagai pemilih langsung pada tahun 2004, hingga sekarang. Partai politik yang pada masa Soeharto dikebiri hanya menjadi tiga partai saja semakin beranak pinak dengan beragam platform. Pers semakin terbuka dan bebas, lepas dari kungkungan pemerintah. Masyarakat madani juga semakin berkembang yang bisa dilihat dari banyaknya lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, serta kalangan aktivis dari berbagai bidang. Namun demikian, perubahan yang terjadi hanya berlangsung pada tataran prosedural, belum menyentuh aspek substansial dari kehidupan berdemokrasi. Perubahan Semu Perubahan yang terjadi justru menghadirkan paradoks demokrasi. Relasi legislatif dan eksekutif dalam tata pemerintahan berlangsung berat sebelah,legislative heavy. Berbagai kebijakan pemerintah yang tak sesuai kepentingan parpol dengan mudah dijegal untuk kemudian dijadikan sebagai objek politik transaksional.


Pemilu berlangsung secara demokratis dengan rakyat sebagai pemilih langsung, namun praktik politik uang dari para elit, rakyat yang belum teredukasi dengan baik secara politik, serta beragam kecurangan menjadi noda dalam penyelenggaraan pemilu. Belum lagi ditambah budaya oligarkis di tubuh parpol dalam penentuan calon. Masyarakat madani yang diharapkan sebagai penyeimbang dan pengontrol kebijakan pemerintah agar pro rakyat masih sering terkotak-kotak karena perbedaan platform dan tujuan, bahkan tak jarang terkena sindrom ‘masuk angin� karena diberi jatah kue yang enak oleh penguasa. Singkat kata, periode pasca runtuhnya orba, tak membawa perubahan substansial bagi rakyat Indonesia. Rakyat menjadi kecewa, putus asa, dan marah. Banyak analisa yang dikemukakan oleh akademisi dan praktisi politik untuk menjelaskan kondisi Indonesia tersebut. Sebagian menganggap bahwa Indonesia sedang berada dalam periode transisi demokrasi atau periode menuju demokrasi. Jika dianalogikan seperti balap lari, Indonesia bak seorang pelari yang harus melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum berlari kencang menuju garis finish. Sebagian menganggap bahwa Indonesia terjerumus ke dalam mobokrasi, demokrasi yang kacau dan salah kaprah. Terlepas dari berbagai paham dan penjelasan tersebut, yang harus dicermati oleh segenap pihak yang pro reformasi adalah adanya upaya dari antek-antek orba serta penerima manfaat dari rezim orba untuk menghidupkan kembali rezim tersebut. Situasi rapuh Indonesia saat ini dikomodifikasi dan dicitrakan sebagai kondisi yang lebih buruk dibandingkan pada masa orba. Celakanya, orba dengan segala macam sistem dan tetek bengeknya dikedepankan sebagai solusi. Slogan piye kabare, enak zaman ku to? yang sering kita jumpai, merupakan satu dari sekian banyak upaya untuk merestorasi kembali orba sebagai tatanan politik dan pemerintahan. Penyintas Orba Harus jujur diakui bahwa orba dengan segala peninggalannya belum ditumpas sampai ke akar-akarnya. Banyak antek-anteknya yang sekedar tiarap sambil menunggu momentum untuk menunggangi proses reformasi. Mereka yang pada masa orba bak anjing penjilat kekuasaan berubah tabiat 180 derajat menjadi penyeru demokrasi dan perubahan. Sayang seribu sayang, hal ini koinsiden dengan rakyat Indonesia yang belum terdidik dan kerap mengalami amnesia sejarah. Lebih fatal lagi, mereka yang terjun langsung merubuhkan orba banyak berlaku pragmatis. Laku lucah dan tindak-tanduk mereka yang saat ini sudah masuk ke perut kekuasaan, entah itu yudikatif, legislatif, atau eksekutif jauh lebih hina dan memalukan. Atas nama politik kekuasaan, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi ikon busuk orba dilakukan dengan telanjang, tanpa malu-malu. Mereka dengan segala ketelanjangan


mereka, tak segan menari-menari di atas rakyat yang menjerit kelaparan, miskin, dan papah. Para penyintas orba yang hendak merestorasi rezim tersebut ke dalam sistem politik dan pemerintahan saat ini terbilang cukup cerdik. Ibarat teknik kaum pemasar, mereka mencocokkan tujuan mereka dengan target sasaran. Klop. Rakyat di desa yang lebih banyak menggunakan angkutan umum disuguhi pemandangan sang jenderal tersenyum hangat dengan sapaan yang ramah, piye kabare, enak zaman ku to? Sederhana tapi mengena. Rakyat pedesaan seakan disentil bahwa reformasi tidak memberikan kebaikan apa-apa. Mereka masih tetap miskin dan terbelakang, hanya menikmati remah-remah pembangunan yang masih berat di pusat. Rakyat di perkotaan, disuguhi pemandangan sang jenderal yang tersenyum simpul di dinding jembatan, jalan, dan berbagai bangunan ketika terjebak macet di jalanan. Mereka seakan ditohok dengan telak. Problem perkotaan dewasa ini seperti kemacetan, banjir, dan tingginya kriminalitas merupakan produk kegagalan pemerintah. Pembangunan sangat pro para pemodal. Kendaraan beranak pinak menimbulkan polusi dan kebisingan, ruang hijau bak gadis seksi yang tak dibiarkan begitu saja agar tetap perawan. Tingginya kriminalitas memaksa rakyat untuk bernostalgia, lebih enak zaman Soeharto, bandit kelas teri hingga kelas kakap diringkus, petrus. Demi rasa aman masyarakat. Dalam tataran yang lebih kompleks, upaya restorasi orba dimanifestasikan ke dalam bentuk yang lebih riil. Masih ingat tragedi cebongan? Aksi koboy Kopassus dari Kandang Menjangan yang menembak mati para tahanan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Yogyakarta waktu itu. Sekilas, aksi main hakim sendiri tersebut menunjukkan sikap heroisme militer. Para penjahat yang dibui tidak cukup hanya dibelenggu dengan borgol saja, tapi harus dibasmi agar tidak mengganggu masyarakat di kemudian hari. Namun mereka yang jeli, tidak menerima begitu saja. Muncul istilah, “bandit tembak bandit� merujuk aksi main hakim sendiri yang tak sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Dalam contoh yang lebih mutakhir, lepasnya jabatan militer secara sadar oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam pertarungan menuju DKI I, secara implisit bisa dibaca sebagai upaya untuk menanamkan pemahaman bahwa kepemimpinan becorak militer (gaya orba) masih merupakan solusi dalam menangani masalah bangsa hari ini yang berlarut-larut. Pola kepemimpinan sipil dianggap lemah dan terlalu menyediakan ruang lebar untuk diskusi. Akibatnya masalah tak kunjung selesai. Dalam konteks AHY sebagai Cagub DKI I, pola kepemimpinan dan karakteristik militer disodorkan sebagai solusi. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengajak semua pihak yang pro reformasi agar menjaga proses reformasi tetap berjalan sesuai jalurnya, yakni sebagai ikhtiar untuk


mewujudkan negara yang lebih maju dan berwibawa, rakyat yang adil, makmur dan sejahtera, terpenuhi kebutuhan dasarnya. Dibutuhkan sikap mawas diri dan saling mengingatkan satu sama lain. Siapapun yang pro reformasi dan anti restorasi orba, baik aktivis, pejabat pemerintah, hakim, maupun anggota dewan dapat berkontribusi dari sekarang, termasuk media massa yang memuat tulisan ini.

*)Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI, bekerja di Lemhannas RI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.