“TANTANGAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) INDIVIDUAL DAN SOSIAL DI ERA DEMOKRATIS”
Eksistensi bangsa dan negara Indonesia, sejak zaman revolusi fisik (perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah kolonial), proklamasi 17 Agustus 1945, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, orde baru, hingga zaman reformasi yang sarat demokratisasi di segala lini kehidupan, begitu kental dan penuh akan muatan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada zaman merebut dan mempertahankan kemerdekaan, terjadi pelanggaran HAM terhadap bangsa Indonesia, seperti perampasan hak kepemilikan atas harta benda, hak untuk berbicara dan berpendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hingga hak hidup. Pada zaman orde baru, pelanggaran HAM justru terjadi dan dilakukan oleh pemerintah atas nama negara seperti pemberangusan oposisi, pembonsaian partai politik, hingga penculikan dan penghilangan aktivis demokrasi yang vokal dalam menentang pemerintah. Zaman sudah bergerak. Sejak meletusnya reformasi pada 1998 dan tergulingnya rezim otoriter Soeharto, aspek HAM secara simultan mengalami penguatan, baik dari sisi struktural, maupun kultural, meskipun proses penanganan HAM pada masa lampau belum sepenuhnya paripurna. Hal yang paling signifikan adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM yang selanjutnya payung hukumnya berubah menjadi di bawah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Komnas HAM. Menurut UU tersebut, Komnas HAM berwenang untuk melaksanakan pengkajian, penelitian,
penyuluhan,
pemantauan,
dan
mediasi
HAM.1
Selanjutnya,
kewenangan Komnas HAM juga ditambah berdasarkan penerbitan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Upaya penegakan HAM di era reformasi yang demokratis seperti sekarang ini sejatinya
belum
bersifat
komprehensif
dan
holistik,
meskipun
era
ini
menghadirkan kebebasan yang begitu luas dalam segala hal. Justru kebebasan
“Tentang Komnas HAM”, diunduh dari https://www.komnasham.go.id/index.php/about/1/tentangkomnas-ham.html, pada tanggal 6 Juli 2019, Pukul 10.22 WIB. 1
1
itu sendiri yang menjadi belenggu dalam penegakan HAM. Demokrasi yang membungkus kebebasan tersebut justru terjerumus menjadi mobokrasi, yakni suatu
keadaan
ketika
hukum
ditentukan
oleh
kerumunan
massa.2
Konsekuensinya, terjadi pelanggaran HAM antar sesama warga negara. Hal ini mewujud dalam bentuknya yang paling anarkis seperti persekusi, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, hingga konflik horizontal yang menelan korban jiwa. Upaya penegakan HAM, baik secara sosial dan individual di Indonesia dewasa ini juga masih tersandung aspek masa lalu yang kelam, yakni belum tuntasnya pengusutan pelanggaran HAM di masa lampau, seperti tragedi PKI 1965, beberapa pelanggaran HAM di seputar kejatuhan Soeharto pada 1998, hingga konflik agraria antara petani dengan pemodal dan pemerintah di berbagai titik di tanah air. Konflik-konflik tersebut alih-alih selesai, justru menjadi diskursus dan perdebatan panjang dalam perumusan resolusinya. Oleh sebab itu, upaya penegakan HAM di aras demokrasi saat ini sudah seharusnya merujuk pada khittah HAM itu sendiri, yakni hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia.3 Definisi dan konsepsi inilah yang harus dipegang oleh pemerintah, utamanya melalui aparatnya, agar pelanggaran HAM yang terjadi antar sesama warga negara yang terjadi saat ini tidak menular juga kepada aparat pemerintah yang seyogianya mengemban tanggung jawab untuk menegakkan HAM itu sendiri. Perlu pembenahan tata kelola demokrasi bernegara secara visioner ke depan dari para pemimpin nasional agar era demokrasi yang diharapkan menjadi kuda pacu penegakan HAM tidak berkembang menjadi hambatan dalam penegakan HAM itu sendiri. Masuknya Indonesia pada periodisasi demokrasi seyogianya menjadi momentum untuk melakukan perbaikan serta penguatan sikap dalam menjunjung tinggi HAM
“Mobokrasi�, diunduh dari https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/02/20/mobokrasi/, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 10.30 WIB. 3 “UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia�, diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 10.39 WIB. 2
2
sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Demokrasi dengan segala keterbukaan dan peningkatan partisipasi publik dalam beragam sendi kehidupan menjadi katalisator terpenuhinya hak-hak warga negara, baik hak di bidang politik dan hukum, maupun hak sosial budaya. Namun demikian, dalam implementasinya, kondisi ideal tersebut, setidaknya apabila merujuk pada kondisi hari ini, belum terpenuhi dengan baik. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, demokrasi yang terjadi hari ini belum mengambil bentuk demokrasi yang seutuhnya. Demokrasi bergerak dengan berbagai penyimpangan seperti mobokrasi hingga anarki sehingga menyebabkan beberapa disrupsi terhadap tatanan ideal masyarakat. Kedua, hal yang bersifat filosofis, belum diimplementasikannya empat konsensus nasional yakni Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara konsisten oleh semua elemen bangsa, padahal pengakuan dan jaminan akan penegakan HAM seutuhnya sudah termaktub dalam empat konsesus nasional tersebut. Sehingga dengan demikian, bukan suatu hal yang aneh apabila terjadi diskrepansi dalam penegakan HAM di tanah air, seperti pelanggaran HAM antar sesama warga negara, hipokrisi penegakan HAM oleh pilar-pilar demokrasi tanah air, benturan antar anak bangsa dalam menyikapi dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lampau, fragilitas ketahanan nasional bangsa dalam menghadapi tekanan pihak internasional, hingga distrust dari masyarakat terhadap integritas dan independensi lembaga negara yang mengemban tugas sebagai penegak HAM. Merujuk pada kondisi tersebut, perumusan masalah dalam penulisan ilmiah kali ini mengangkat pertanyaan penting, “Bagaimana Menyikapi Tantangan Penegakan HAM Individual dan Sosial di Era Demokratis?� Dalam membedah fenomena penegakan HAM di era demokratis yang menjadi tema sentral dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan dua teori atau pandangan yang memiliki korelasi satu sama lain. Pertama adalah pandangan mengenai demokrasi, kedua adalah pandangan mengenai HAM secara ontologis. Menurut Joseph A. Schemer, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. 3
Sedangkan menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama para wakil mereka yang terpilih.4 Hak Asasi Manusia (HAM) secara konsepsional memiliki korelasi yang erat dengan demokrasi. Hal ini dapat dibaca secara jelas pada definisi yang diberikan oleh Austin-Ranney bahwa HAM adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah.5 Bagian
Pembahasan
ini
akan
mengupas
secara
terperinci
mengenai
permasalahan-permasalahan yang muncul mengenai tantangan penegakan HAM individual dan sosial di era demokratis saat ini. Alternatif solusi yang ditawarkan akan merujuk pada kondisi faktual serta teori seperti yang dipaparkan pada landasan teoritis, sebagai berikut:
a) Penguatan Pilar-Pilar Demokrasi Sebagai Fondasi Dasar Penegakan HAM di Tanah Air Demokrasi sebagai sebuah sistem sekaligus filsafat pemerintahan memiliki prasyarat agar objek yang hendak dicapai dapat terpenuhi dengan baik. Prasyarat tersebut terletak pada kompetensi dan integritas pilar-pilar penyusunnya yang mencakupi pilar eksekutif, legislatif, yudikatif, serta pers atau lembaga informasi dan komunikasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.6 Sulit membayangkan terwujudnya kualitas demokrasi yang baik apabila pilar-pilar tersebut tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya ditetapkan. Belum stabilnya penegakan HAM di tanah air, meskipun sudah lepas dari belenggu otoritarianisme orde baru, sedikit banyak ditentukan oleh kualitas pilar-pilar demokrasi tersebut. Masih banyak aparat negara yang mengabdi
“Demokrasi”, diunduh dari http://eprints.uad.ac.id/9437/1/DEMOKRASI%20dwi.pdf, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12.20 WIB. 5 “Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli dan Secara Umum”, diunduh dari https://www.zonareferensi.com/pengertian-hak-asasi-manusia/, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12.29 WIB. 6 “Kamu Masih Ingat Gak, Apa Pilar Demokrasi?”, diunduh dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/kamu-masih-ingat-gak-apa-pilardemokrasi/full, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12. 36 WIB. 4
4
sebagai Trias Politica negara tapi terjebak pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Beberapa anggota legislatif misalnya, alih-alih menyusun regulasi yang pro HAM, justru menjadi kuda tunggang para pemodal dan pihak berkepentingan dalam menyusun regulasi yang merenggut hak-hak sipil, politik, serta sosial budaya masyarakat. Lembaga pers dan penyiaran, yang pada era pasca orde baru dibuhulkan sebagai pilar demokrasi sebagai sebuah mekanisme penyeimbang Trias Politica, alih-alih menjadi second opinion bagi masyarakat, tapi justru terjebak pada kepentingan elit yang menungganginya. Tak heran jika saat ini masyarakat mengkonsumsi informasi yang tidak netral dan bebas nilai, tapi sarat kepentingan para pihak yang disusupkan dalam informasi dan berita yang disiarkan. Inilah patologis penegakan HAM yang sesungguhnya di tanah air.
b) Komitmen Penyelesaian Perkara Pelanggaran HAM di Masa Lampau Indonesia akan sulit bergerak menjadi sebuah demokrasi yang kuat apabila masih tersandung kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Kasuskasus tersebut, apabila tidak diselesaikan dengan baik, bukan saja menjadi bara dalam sekam serta luka anak bangsa saja, tapi juga menjadi komodifikasi pihak-pihak asing yang tak hendak melihat Indonesia eksis di panggung internasional. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang mengemuka dan belum tuntas sampai hari ini antara lain tragedi pembantaian anggota PKI pada 1965, Kasus Trisakti dan Semanggi 1998 di seputar jatuhnya rezim orde baru, serta konflik-konflik terlokus seperti Tragedi Tanjung Priok, Wasior dan Wamena, Kedung Ombo, hingga penculikan pembunuhan para aktivis HAM
dan
demokrasi seperti Wiji Thukul, Marsinah dan Munir yang belum terungkap hingga saat ini. Namun demikian, poin penting dari perlu diungkap dan diselesaikannya pelanggaran HAM masa lampau tersebut adalah basis pemahaman dari HAM itu sendiri yang merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia dan tidak boleh dikurangi atau dilanggar oleh siapapun, termasuk negara. Terlebih lagi negara diberikan amanat untuk menjamin hak-hak warga negara seperti yang dinyatakan dalam sekian banyak pasal dalam UUD NRI 1945. 5
c) Pemahaman Yang Mendalam Terhadap Konsensus Nasional Sebagai Buku Saku Aparat Negara Dalam Menjalankan Tugasnya Dalam kasus pengungkapan Tragedi 1965, para pihak yang terlibat berdalih bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah atas nama negara dan PKI merupakan unsur dan anasir yang mengancam keutuhan republik. Pendapat tersebut benar secara parsial, tapi salah pada parsial lainnya. Salah dikarenakan rezim yang berlaku pada waktu itu adalah rezim otoriter yang jauh dari amanat rakyat bahkan terindikasi melakukan pelanggaran konstitusional. Salah secara parsial karena ada mekanisme lain yang lebih bijak dalam mengadili para penjahat komunis tanpa menumpahkan darah mereka. Hal ini bukan saja menjadi luka anak bangsa, tapi juga menjadi coreng hitam bagi jejak demokrasi Indonesia di mata dunia internasional. Oleh sebab itu, agar penyalahgunaan wewenang negara oleh aparat dan rezim negara yang berkuasa tidak terjadi, dibutuhkan iktikad untuk menyelami, memahami, serta mengimplementasikan empat konsensus nasional secara bersih dan murni, terlepas dari anasir kuasa serta kepentingan sectoral segelintir pihak saja.
Era demokrasi adalah momen yang sudah seharusnya dijadikan momentum oleh bangsa Indonesia untuk melakukan rekonsiliasi anak bangsa terhadap pelanggaran HAM di masa lalu, membentuk institusi pemelihara HAM yang tangguh dan berintegritas, serta memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pelaksanaan hak-hak dasar yang melekat pada mereka. Beragam tantang penegakan HAM akan dapat diselesaikan dengan baik dan tepat apabila modal dasar dalam mewujudkannya dapat terpenuhi dengan baik, seperti pilar-pilar demokrasi yang kuat dan amanah, penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lampau agar tak menjadi duri dalam daging, serta pemahaman yang mendalam akan amanat empat konsensus nasional bangsa dan negara Indonesia.
6
Daftar Pustaka: “Tentang Komnas HAM”, diunduh dari https://www.komnasham.go.id/index.php/about/1/tentang-komnas-ham.html, pada tanggal 6 Juli 2019, Pukul 10.22 WIB. “Mobokrasi”, diunduh dari https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/02/20/mobokrasi/, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 10.30 WIB. “UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia”, diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 10.39 WIB. “Demokrasi”, diunduh dari http://eprints.uad.ac.id/9437/1/DEMOKRASI%20dwi.pdf, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12.20 WIB. “Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli dan Secara Umum”, diunduh dari https://www.zonareferensi.com/pengertian-hak-asasi-manusia/, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12.29 WIB. “Kamu Masih Ingat Gak, Apa Pilar Demokrasi?”, diunduh dari https://www.idntimes.com/news/indonesia/vanny-rahman/kamu-masih-ingat-gakapa-pilar-demokrasi/full, pada tanggal 6 Juli 2019, pukul 12. 36 WIB.
7