Pemimpin Ideal? Pelaksanaan pemilihan umum presiden Indonesia sudah semakin dekat! Sosok presiden seperti apa ya yang dibutuhkan Indonesia? Pemimpin seperti apa sih yang kira-kira ideal untuk Indonesia? Berikut jawaban dari beberapa teman kita... Lintang, Broadcasting Komunikasi Vokasi UI 2013 “Pastinya yang bisa bertanggung jawab atas janji, visi, dan misinya. Harus anti korupsi juga pastinya. Gender, agama, atau rasnya tidak berpengaruh sih, yang jelas dia haru s bisa membenahi Indonesia.”
OLEH :
DHIA RAHMI FOTO: SHITTA MUTYAHARA
Riza Putra, FK UI 2011
Ivan, Sastra Jerman FIB UI 2010
“Kalau dilihat dari Indonesia sekarang, pemimpin yang baik itu yang paling penting harus bersih. Kalau pemimpinnya sudah bersih, dia bisa tegas dan menularkan itu ke bawahanbawahannya. Kalau pemimpinnya saja kotor atau korupsi sih, kebayang kan orang-orang di bawahnya bagaimana? Terus pemimpinnya juga harus bisa tegas dan jujur, benar-benar tidak boleh KKN, dan dia niat jadi pemimpin memang untuk rakyatnya, bukan untuk partai atau dirinya sendiri.”
“Presiden Indonesia yang baik itu yang bisa mengayomi penduduknya dan juga tegas. Saat ini kan kita bisa lihat presiden kita yang sudah menjabat 10 tahun sistem kinerjanya kurang baik menurut gue pribadi, karena setiap ada masalah, misalnya masalah dengan negara lain, tindakannya itu lambat banget sehingga masalah itu susah juga dipecahkan. Menurut gue sih yang tegas aja.”
Afini W, Psikologi UI 2013 “Pemimpin yang bisa secara pribadi bawa dia ke surga deh, jangan yang malah nambah-nambahin dosa ke dia, kasihan. Sudah presiden, tanggung jawabnya besar, terus masuk neraka nanti, kasihan kan? Pokoknya yang benar deh, yang bisa bawa bangsa Indonesia dan dirinya sendiri masuk surga.”
04 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
Inan, FE UI 2013 “Mungkin yang elektabilitasnya tinggi. Jadi kalau diliat dari track record-nya yang korupsinya paling dikit, soalnya kalau korupsinya paling sedikit mungkin kemungkinan untuk korupsinya nanti bakal sedikit juga. Terus yang tegas sih, butuh banget yang tegas, jadi tidak mudah dijelek-jelekin rakyatnya.”
Are You Ready to
Vote? “Look well to the characters and qualifications of those you elect and raise to office and places of trust.“ - Mathias Burnett
P
ada edisi ini, redaksi BUNCH memilih satu sosok yang giat mempromosikan partisipasi politik di kalangan pemilih muda. Ia adalah Brammeswara Habib Prasetya, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI 2010 yang juga bagian dari CEPP-FISIP UI cluster Rock The Vote. Yuk disimak hasil wawancaranya!
SEKILAS TENTANG ROCK THE VOTE INDONESIA (RTVI) Rock The Vote Indonesia (RTVI) bermula dari pusat kajian mengenai pemilu dan partai politik di FISIP UI yakni Center for Election and Political Party (CEPP) FISIP UI. CEPP FISIP UI kemudian terus berkembang, berjejaring dengan 45 kampus di 33 provinsi di Indonesia membentuk CEPP UniLink. Setelahnya, munculah RTVI yang merupakan bentuk keprihatinan akademisi CEPP terhadap meningkatnya apatisme dan golput di Indonesia. Berbeda dengan gerakan yang banyak muncul akhir-akhir ini, RTVI tidak sebatas mengajak pemilih muda untuk berpartisipasi di Pemilu 2014. Target dari RTVI selain mengatasi apatisme dan golput secara umum, juga untuk menyiapkan calon pemimpin Indonesia untuk “100 Tahun Kemerdekaan Indonesia” di tahun 2045. Hal itu yang membuat RTVI memilih pemilih muda (17-29 tahun) sebagai sasaran kegiatan mereka karena di tahun 2045 nanti generasi ini yang akan menjadi pemimpin negeri. JANGAN MALAS MENGAWAL DEMOKRASI Bagi Bram, masyarakat Indonesia sebenarnya masih terus berkembang untuk mencari tingkat kematangan demokrasi yang lebih baik. Akan tetapi ada hambatan utama untuk mencapainya, yakni kecenderungan rakyat yang ingin segera merasakan keuntungan tanpa harus berjuang.
OLEH :
DARIATUS SADIAH FOTO: SHITTA MUTYAHARA Berbeda dengan Orde Baru yang mana pemerintah lebih otoriter dalam mengatur segala hajat hidup rakyat, di masa Reformasi ini rakyat lebih dibebaskan untuk mengurus dirinya sendiri. Oleh karena itu, justru tugas terbesar rakyat hadir saat pascapemilu, yakni mengawal wakil rakyat dalam pembentukan kebijakan umum. Pengawalan terhadap hal tersebut merupakan bentuk partisipasi politik yang penting dalam sebuah negara demokrasi. Hal ini yang masih kurang diterapkan oleh masyarakat. Maka, jangan heran apabila sehabis Reformasi justru banyak muncul kesan pemerintahan dan politik itu “busuk”. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh pengawalan yang lemah dan ketidakpedulian kepada politik.
PAHAM KONSTITUSI DAN MEMILIKI KOMITMEN, BEKAL PENTING CALON PEMIMPIN INDONESIA Pemimpin Indonesia yang cocok untuk keadaan saat ini bagi Bram harus memenuhi 4 kriteria. Pertama, pemimpin harus menjalankan tugasnya sesuai dengan landasan konstitusi, yakni UUD 1945 dan Pancasila. Kedua, mereka juga harus memiliki komitmen yang kuat sehingga dapat menaklukan berbagai godaan selama menjabat. Moralitas, seperti kejujuran dan etika yang baik juga perlu dimiliki pemimpin Indonesia. Terakhir, mampu mengembangkan Indonesia menjadi welfare state sesuai dengan yang tertera pada pembukaan UUD 1945. Selain 4 kriteria tersebut, ada satu hal yang perlu dijadikan evaluasi bagi pemimpin Indonesia selanjutnya. Selama ini pemimpin Indonesia lebih sering mengobral program pembangunan yang cukup memberatkan pengeluaran negara. Seharusnya, pemimpin Indonesia bisa lebih peduli mengenai isu peningkatan pendapatan negara, misalnya dengan pajak, agar anggaran bisa lebih seimbang antara pendapatan maupun pengeluaran. Hal inilah yang perlu dicermati oleh pemimpin selanjutnya.
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 05
Why Do People
Nominate Themselves? FOTO: MADE CYNTHIA
OLEH :
DESCHA ANNISA
T
anggal 9 April 2014 kemarin, Indonesia telah melaksanakan tahapan pertama pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu Pemilihan Umum (pemilu). Pemilu tahap satu kemarin adalah pemilihan yang dilaksanakan untuk memilih calon legislatif (caleg). Penduduk Indonesia memilih caleg yang terbagi menjadi empat kategori tingkatan legislatif, yaitu DPR RI, DPRD I, DPRD II, dan DPD. Secara nasional, tercatat sekitar 200 ribu orang yang mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif. Jumlah caleg yang terhitung banyak ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan, yaitu: faktor apa saja yang dapat memengaruhi seseorang untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota legislatif? Dua hal yang dapat menjadi faktor tersebut adalah motivasi dan ambisi. Faktor pertama adalah motivasi, yaitu kekuatan yang menggerakkan seseorang untuk berperilaku, berpikir, dan merasakan hal yang mereka lakukan (King, 2011). Perry (dalam Mbogo, 2013) mengemukakan Public Service Motivation Theory, yang menyatakan bahwa motivasi yang dimiliki oleh para pekerja publik lebih tinggi dibandingkan pekerja pada bidang lainnya. Menurut teori ini, para caleg mengajukan diri karena mereka memiliki ketertarikan dengan masalah publik sehingga berkeinginan untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik, kepentingan umum, dan masalah-masalah publik lainnya. Di sisi lain, motivasi seorang caleg bisa jadi karena selfinterest. Menurut self-interest motivation, semua orang bertindak atas kepentingannya yang berasal dari dalam diri sendiri (Downs dalam Mbogo, 2013). Singkatnya, teori ini menyatakan bahwa keinginan mengajukan diri menjadi anggota legislatif berasal
06 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
“Politics is not a game. It is an earnest business� - Winston Churchill dari kemauan diri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh apapun yang berasal dari lingkungan luar. Faktor kedua adalah ambisi. Schlesinger (dalam Robinson, 2007) mengidentifikasi beberapa manifestasi yang berbeda dari ambisi politik. Dua di antaranya adalah ambisi stastis dan ambisi progresif. Ambisi statis menjelaskan bahwa para caleg berusaha untuk menang agar dapat memegang jabatan tertentu. Contohnya seorang caleg mengajukan diri karena ingin memegang jabatan anggota DPR RI, DPD, dan lain-lain. Kedua, ambisi progresif. Dalam ambisi progresif, caleg dilihat memiliki keinginan untuk menambah tinggi jabatan yang saat ini telah mereka miliki. Misalnya seorang walikota yang mengajukan diri sebagai caleg, ia ingin menambah tinggi jabatannya dari walikota menjadi anggota DPR RI. Apakah hanya 2 faktor itu? Pada kenyataannya tidak hanya faktor-faktor tersebut, tetapi masih banyak faktor lain yang memengaruhi seseorang untuk mengajukan diri menjadi anggota legislatif. Faktor-faktor itu juga tidak berdiri sendiri, tetapi saling mendukung hingga menciptakan alasan yang kuat bagi para caleg untuk mengajukan dirinya. Referensi: King, L. (2011). The science of psychology: An appreciative view. New York: McGraw-Hill Mbogo, S. (2013). A grounded theory study of the values and motivations for leadership among members of the emerging legislative assembly of South Sudan. Umi Dissertation. Diperoleh dari search.proquest.com/docv ew/1357147900/2186674D0E2741D8PQ/1?accountid=17242 Robinson, G. (2007). Ambition theory and legislative organization. Umi Dissertation. Diperoleh dari search.proquest.com/docview/304847948/26E0C2553526 250PQ/1?accountid=17242
Bang Hamdi
Bicara
Pemilu &
Perubahan
P
ada edisi kali ini, redaksi BUNCH berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu staf pengajar di Fakultas Psikologi UI yang merupakan pakar di bidang Psikologi Politik. Sosok tersebut adalah Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si. atau yang akrab disapa Bang Hamdi. Sebagai informasi, Bang Hamdi sering menulis artikel, buku, dan jurnal serta tampil di berbagai media untuk membahas isu-isu politik. Keren kan? Nah, pada pesta demokrasi tahun 2014, Bang Hamdi akan memberikan pandangannya mengenai pemimpin yang cocok untuk kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Simak pandangan Bang Hamdi berikut ini! Q : Menurut pandangan Bang Hamdi, bagaimana antusiasme masyarakat menghadapi pesta demokrasi saat ini? A : Sistem presidensial yang digunakan di Indonesia sangat kompleks. Dalam satu daerah pemilihan (dapil) setiap partai mengusung minimal 6 calon legislatif (caleg), berapa total keseluruhan caleg dengan 12 partai politik yang ada saat ini? Daftar caleg yang sangat banyak membuat masyarakat bingung dalam memilih pilihan. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh caleg-caleg tersebut mengenai visi misi mereka. Hal lain yang mempengaruhi adalah political efficacy yang rendah, yaitu pandangan masyarakat bahwa pemilihan yang mereka lakukan tidak akan berdampak pada pemerintahan. Pada akhirnya hal tersebut menyebabkan keengganan masyarakat untuk berangkat ke TPS lalu menjadi kelompok non-vote. Berbeda dengan pemilihan presiden (pilpres), antusiasme masyarakat lebih tinggi karena calon presiden jumlahnya tidak banyak dan memiliki visi misi yang jelas, sehingga masyarakat tidak akan merasa bingung untuk menentukan pilihan.
FOTO: AMINDARI Nadia F.
OLEH :
Cania Cantia Casela Q : Bagaimana antusiasme Bang Hamdi sendiri dalam menghadapi pesta demokrasi? A : Sangat antusias, karena dengan adanya pesta demokrasi ini diharapkan dapat membawa perubahan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “orang jahat merajalela karena orang baik diam�. Marilah kita bergotong royong dan tidak kehilangan political efficacy, sehingga diharapkan kita dapat meningkatkan keinginan orang di sekitar kita untuk memilih di TPS. Q : Pemimpin seperti apa yang cocok dengan keadaan Indonesia saat ini? A : Pemimpin yang dapat menjawab public delivery dengan membawa perubahan untuk memakmurkan kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik. Permasalahan public delivery belum sepenuhnya teratasi, salah satu penyebabnya adalah karena dana APBN dikorupsi. Selain itu kita juga butuh pemimpin yang ketika sudah ditetapkan menjadi pemimpin, loyalitasnya kepada partai selesai dan mengabdi sepenuhnya untuk publik. Q : Apa saran Bang Hamdi untuk pemilih muda? A : Jadilah pemilih yang kritis, “melek� politik dan juga sejarah. Sekarang sudah banyak lembaga yang menyediakan data calon pemimpin yang bersih, silakan dijadikan referensi! Mulai mencari pemimpin yang dapat melepas baju partai ketika sudah memimpin, tidak melakukan penyelewengan publik, berpengalaman dalam bekerja, dan memiliki integritas yang tinggi.
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 07
FOTO: MADE CYNTHIA
Peri
OLEH : putri bayu g.
M
enurut data yang dikumpulkan oleh para peneliti, dua latar belakang utamanya ialah umur dan pendidikan, namun kedua hal itu tidak cukup menjelaskan, mengingat betapa kompleksnya cara berpikir dan berperilaku manusia. Maka muncullah sebuah teori bernama model electoral participation (Brady, Verba, & Schlozman, 1995, dalam Blais, 2007). Model pertama yaitu resource, menjelaskan bahwa alasan memilih atau tidak memilih tergantung pada faktor ekonomi, waktu, dan kemampuan (skill) individu yang bersangkutan. Model ini memiliki kelemahan dalam menjelaskan faktor kemampuan, karena tidak diperlukan suatu kemampuan khusus untuk menjadi seorang pemilih. Model kedua yaitu ketertarikan individu terhadap politik. Ada dua faktor yang menyebabkan ketertarikan itu muncul, yaitu pendidikan dan orangtua. Pendidikan yang tinggi dan erat kaitannya dengan politik akan mempengaruhi ketertarikan individu. Begitu pula dengan orang tua yang sejak awal telah memperkenalkan politik kepada anak-anaknya. Semakin tinggi pengaruh kedua faktor tersebut, maka semakin tinggi pula ketertarikan anak terhadap politik. Sayangnya, model ini juga memiliki kelemahan, yaitu seseorang yang tertarik pada politik tidak selalu memutuskan untuk menjadi pemilih, sehingga model ini tidak dapat dijadikan acuan utama alasan seseorang menjadi pemilih atau bukan pemilih.
08 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
Beralih pada model ketiga yaitu mobilisasi, yang menjelaskan pengaruh lingkungan sekitar individu. Model ini menekankan pada akses yang dimiliki terhadap partai politik dan kondisi lingkungan yang menuntutnya untuk menjadi seorang pemilih. Individu yang kehidupan sehari-harinya lekat dengan politik maupun partai politik tentu diharapkan ikut berpartisipasi aktif dalam pemilihan. Harapan lingkungan tersebutlah yang bisa menjadi salah satu alasan individu untuk memilih. Model terakhir yaitu rational choice model yang menjelaskan bahwa mereka yang bukan pemilih (non-voters) beralasan bahwa kalau pun mereka menjadi pemilih, keputusan tersebut toh tidak akan membuat suatu perubahan yang berarti, baik bagi negara mereka maupun kehidupan mereka secara pribadi. Andaikata individu tersebut menjadi pemilih, maka dapat dipastikan ia telah memperhitungkan pengorbanan dan keuntungan yang akan dia dapatkan dari proses pemilihan. Jika keuntungannya lebih besar, maka individu dengan senang hati ikut memilih, begitu pun sebaliknya. Keempat model di atas telah menjelaskan secara parsial alasan-alasan di balik pemilih dan bukan pemilih, namun lebih dari semua itu, masyarakat menjadi pemilih dengan alasan kepuasan yang timbul karena telah memenuhi
Ada Apa Saja di Balik
ilaku Memilih?
Coba perhatiakan sekeliling kalian, ada sebagian masyarakat yang dengan senang hati menyisihkan waktu ke TPS untuk mencoblos, sedangkan sebagian yang lain sama sekali tidak acuh dengan Pemilu. Apa alasan mereka berperilaku seperti itu? Apa yang membedakan pemilih dan orang yang enggan memilih dalam mengambil keputusan?
hak sekaligus kewajiban sebagai warga negara (Blais, 2007). Rasa puas, ketertarikan terhadap politik, dan kesadaran sebagai warga negaralah yang menjadi kunci alasan individu menjadi pemilih.
Emosi dalam Voting Behavior Pengambilan keputusan tidak dapat terlepas dari peran emosi di dalamnya. Berkaitan dengan perilaku memilih, emosi yang turut ikut campur tidak hanya emosi secara umum (emosi positif dan negatif ), melainkan emosi yang lebih spesifik seperti antusiasme dan kecemasan. Antusiasme memengaruhi siapa yang akan kita pilih, dan kecemasan memengaruhi bagaimana kita mencari informasi mengenai para kandidat (Cottam, Uhler, Mastors, & Preston, 2004). Rasa cemas memengaruhi kerja memori seseorang. Individu yang tingkat kecemasannya tinggi cenderung mengingat informasi pada memori jangka panjangnya dibanding individu yang tingkat kecemasannya rendah. Pemilih yang merasa cemas terhadap kegiatan Pemilu maupun mencemaskan masa depan bangsanya tentu akan bersusah payah menggali informasi untuk memastikan apa yang dia pilih adalah tepat. Lain halnya jika kemarahan yang memenuhi diri individu. Hal yang akan terjadi ialah individu tersebut menggali informasi tidak sejeli yang dilakukan oleh orang yang merasa cemas. Alasannya, individu yang cemas cenderung waspada terhadap lingkungan
sekitarnya, sedangkan individu yang marah hanya berusaha untuk menyerang. Contohnya kita marah pada pemerintah yang tidak maksimal menggunakan masa jabatannya. Maka kita akan menyerang pemerintah habis-habisan, mungkin juga berusaha menjatuhkan, dengan harapan bentuk pemerintahan yang buruk seperti itu akan musnah. Berbeda jika kita merasa cemas dengan kerja pemerintah, maka kita akan berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi hal yang kita cemaskan tersebut. Apabila individu merasakan ‘muak’ terhadap suatu objek (misal: sistem tata negara), maka perilaku yang dimunculkan juga akan berbeda dengan perasaan yang telah dibahas sebelumnya. Rasa muak ini akan mengakibatkan individu menghindari objek yang bersangkutan dan cenderung bersikap apatis. Dengan kata lain individu lebih senang menjadi non-voters daripada harus berurusan dengan hal yang tidak ia sukai. Ketiga emosi di atas dikategorikan dalam emosi negatif. Bagaimana dengan emosi positif? Memang jauh lebih banyak pembahasan mengenai emosi negatif daripada emosi positif, namun bukan berarti emosi positif tidak memiliki dampak pada pengambilan keputusan. Salah satunya ialah ketertarikan (interest) yang dapat menyebabkan individu lebih teliti dalam mempelajari
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 09
‘‘
Jika diberi edukasi dengan baik, maka akan tumbuh dan menjamurlah para pemuda dengan kesadaran berpolitik yang tinggi
FOTO: amindari nadia f. informasi yang beredar di sekelilingnya. Pemilih yang merasa tertarik dengan kegiatan pemilihan maupun politik itu sendiri akan cenderung menggali informasi sedalamdalamnya seperti halnya mereka yang merasa cemas.
memberikan perhatian lebih pada gerakan yang bertujuan memprotes sesuatu akan cenderung lebih berpartisipasi secara aktif di masa yang akan datang dibanding mereka yang tidak (Jennings, 2004).
Perilaku Memilih Pada Pemuda Dalam ilmu psikologi, sosialisasi politik awalnya difokuskan pada anak-anak dengan anggapan bahwa partisipasi berpolitik akan konstan, setelah sebelumnya dibentuk di masa-masa awal, namun Niemi dan Hepburn (1995) menolak teori ini dengan anggapan bahwa sikap dan perilaku akan selalu berubah dan apa yang dipelajari pada masa kanak-kanak mungkin tidak akan relevan lagi di fase kehidupan yang selanjutnya (Cottam, Uhler, Mastors, & Preston, 2004). Oleh karena itu sosialisasi politik kini difokusan pada masyarakat dengan rentang umur 14 hingga 25 tahun. Alasannya terjadi perubahan psikologis dan sosial yang mencolok pada umur tersebut, serta terdapat usaha lingkungan sekitar untuk mengedukasi mereka mengenai partisipasi sebagai warga negara (Niemi & Hepburn, 1995, dalam Cottam, Uhler, Mastors, & Preston, 2004).
Jika diberi edukasi dengan baik, maka akan tumbuh dan menjamurlah para pemuda dengan kesadaran berpolitik yang tinggi. Merekalah generasi penerus bangsa. Prof. Hamdi Muluk, M.Si dalam wawancaranya mengatakan bahwa pemuda seharusnya lebih “melek” politik, mempelajari sejarah bangsanya sendiri, dan kritis. Beliau juga mengutip pernyataan Anies Baswedan bahwa “Korupsi ada bukan hanya karena banyak orang jahat, tetapi karena orang baik memilih untuk diam”, sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat, khususnya para pemuda, untuk menjadi non-voters hanya karena pesimis terhadap ‘kebersihan’ para kandidat yang tersedia. Mengingat umurnya, para pemuda justru lebih labil dan rentan menapakkan kaki di alur yang salah, maka sebaiknya semakin ditingkatkan sosialisasi politik yang dilakukan.
Sosialisasi politik yang dimaksudkan disini ialah edukasi mengenai partisipasi politik baik melalui keluarga, pendidikan formal maupun non-formal, dan interaksi dengan lingkungannya. Pada tahap umur remaja, individu jauh lebih banyak mempelajari sikap dan perilaku berpolitik dari keseharian orangtuanya, namun bukan berarti orang tua yang berpartisipasi aktif dalam politik akan secara otomatis menjadikan anaknya mengikuti perilaku tersebut. Pada tahap dewasa muda, individu telah memperlihatkan tanda-tanda aktif atau tidaknya perilaku dia dalam berpolitik kelak. Contoh, mereka yang bergabung atau
10 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
Begitulah segelintir ‘rahasia’ di balik perilaku memilih yang secara sadar kita lakukan. Apakah ‘rahasia’mu termasuk salah satunya? Referensi: Blais, A. (2007). The Oxford handbook of political behavior. Dalton, R.J., dan Klingemann, H.D. (Eds.). New york: Oxford University Press. Cottam, M., Uhler, B.D., Mastors, E.M., & Preston, T. (2004). Introduction to political psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Jennings, M.K. (2004). American political participation viewed through the lens of political socialization project. In M.G. Hermann (Ed.), Advances In Political Psychology (pp. 1-16). Oxford: Elsevier ltd. Strongman, K.T. (2003). The psychology of emotion (5th ed.). Chichester: John Wiley & Sons Ltd. Niedenthal, P.M., Gruber, S.K., dan Ric, F. (2006). Psychology of emotion. New York, NY: Psychology Press.
Their
Unique Ways To Attract Voters
FOTO: albertus christian
OLEH :
FADHILAH ERYANANDA
S
epanjang pemilu, sering dijumpai berbagai baliho caleg. Untuk menarik perhatian masyarakat, baliho dibuat seatraktif mungkin sebagai alat untuk mendapatkan popularitas guna memperoleh elektabilitas pada proses Pemilu tanggal 9 April 2014. Seyogyanya, di dalam baliho yang digunakan para caleg untuk berkampanye, hanya terdapat informasi yang berhubungan dengan tujuannya, namun pada kenyataannya baliho diisi dengan rupa-rupa informasi yang justru tidak berhubungan. Contohnya adalah kalimat ‘Pilih Zubaedah karena saya menantunya Ibu Siti’ Pertanyaan yang langsung ada di benak kita, siapa itu Ibu Siti sehingga Zubaedah sebagai menantunya harus kita pilih? Contoh kedua, baliho diisi dengan gambar kartun yang wajahnya diganti dengan wajah caleg, atau membuat tagline yang nyeleneh dengan menjual kejujuran seperti ‘Pilih saya karena saya kalau korupsi tidak banyak-banyak.’
HUMOR BERKORELASI DENGAN ATENSI PEMILIH? Dengan banyaknya caleg, baliho sebagai alat promosi diri dibuat semenarik mungkin agar masyarakat tertarik untuk melihat dan diharapkan memilih dirinya pada Pemilu nanti. Banyak hal yang dituding dapat membuat masyarakat tertarik terhadap sebuah produk, dalam hal ini caleg adalah produknya, seperti menyisipkan humor dalam alat promosinya. Caleg menggunakan dasar tersebut ketika berpromosi di dalam balihonya. Cline dan Kellaris (2007, dalam Amelia, 2012) mengatakan bahwa humor berkorelasi positif
dengan mood dan atensi pemilih, sehingga ketika di-recall kembali, produk yang menggunakan humor sebagai media promosi memiliki tingkat elektabilitas yang lebih tinggi dibanding yang tidak menggunakan humor.
MENGAPA BUTUH MOOD POSITIF? Dalam psikologi, diketahui bahwa mood atau suasana hati juga dapat memengaruhi proses kognitif individu (Matlin, 2005, dalam Amelia, 2012). Ada tiga cara baik emosi maupun mood dapat memengaruhi memori individu, yakni: (1) individu lebih menyenangi stimulus yang menyenangkan, (2) individu me-recall material yang sesuai dengan emosi yang dirasakannya pada saat itu, dan (3) individu lebih efisien dan lebih akurat dalam mengulang item-item yang menyenangkan. Jadi, seseorang dengan mood menyenangkan akan lebih mudah mengingat suatu materi dibandingkan dengan ketika mood-nya dalam keadaan tidak menyenangkan (Matlin, 2005, dalam Amelia, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut, humor selalu diidentikkan dengan stimulus untuk mood positif sehingga ketika melihat baliho, masyarakat merasa senang dan akan lebih mengingat caleg tersebut.
Referensi: Amelia, M. R. (2012). Pengaruh aroma terhadap kemampuan mengingat jangka pendek pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Diperoleh dari http://repository.usu.ac.id bitstream/123456789/31401/4/Chapter%20II.pdf
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 11
“In politics, loyalty is the only currency you can count on” - Paul Zara
Melihat Politik Lewat Film
FOTO: ISTIMEWA
OLEH :
NADIA AGNIATY
The Ides of March
D
unia politik bukanlah hal yang asing lagi bagi kita, khususnya di dunia perfilman. Sudah banyak film yang mengusung tema politik, salah satunya adalah The Ides of March. Film yang diadaptasi dari karya panggung berjudul Farragut North (2008) ini disutradarai sekaligus diperankan oleh George Clooney. Film ini berfokus pada Stephen Myers (Ryan Gosling), yang merupakan Manajer Kampanye Junior dari seorang calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, yaitu Mike Morris (George Clooney). Bersama dengan Manajer Kampanye Seniornya, Paul Zara (Philip Seymour Hoffman) dan Ben (Max Minghella), Stephen berjuang keras untuk mendapatkan suara lebih banyak dari kota bagian Ohio untuk dapat mengalahkan jumlah suara dari Partai Republik. Konflik mulai muncul ketika Ted Pullman (Michael Mantelli), salah satu perwakilan dari Partai Republik, mulai menunjukan bahwa Partai Republik pun tidak kalah tangguh dengan Partai Demokrat. Belum lagi kisah asmara Stephen dengan Molly Stearns (Evan Rachel Wood) yang pada akhirnya membawa Stephen pada intrik-intrik manipulasi dunia perpolitikan.
PENCITRAAN CALON PRESIDEN Dalam film The Ides of March, penonton diperlihatkan bahwa dengan pencitraan calon presiden yang ‘tepat sasaran’ pada masyarakat, maka masyarakat seolah-olah tidak lagi kritis pada calon presiden tersebut. Terbukti dengan pencitraan pada tokoh Mike, para pemilih seolah-olah terbuai dengan janji-janji manisnya tanpa mengulik lebih jauh lagi mengenai latar belakang siapa Mike sebenarnya.
12 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
PENCITRAAN DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI Hal ini terjadi karena politisi berusaha membangun self-image yang ideal. Politisi melakukan self-promotion, yaitu usaha menampilkan atribut-atribut positif yang ia miliki (Baron & Branscombe, 2012). Dalam melakukan self-promotion, kerap kali seseorang tidak jujur membangun self-image. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ellison, Heino, dan Gibbs (2006, dalam Baron & Branscombe, 2012) yang menyimpulkan bahwa orang cenderung berusaha menampilkan diri dengan “sedikit kebohongan putih” di internet. Orang cenderung berusaha menampilkan diri yang dianggapnya ideal dibanding menampilkan diri yang sesungguhnya (Baron & Branscombe, 2012). Orang yang tidak jujur dalam membangun self-image juga cenderung lebih popular dari pada mereka yang jujur (Baron & Branscombe, 2012). Pada akhirnya, hal-hal yang ditunjukkan film ini pun banyak terjadi di kehidupan nyata. Black campaign, pencitraan, dan segala macam intrik politik yang telah banyak menipu masyarakat untuk memilih oknum-oknum tertentu, hingga timbul satu pertanyaan, “apakah masih ada sisi terang dari politik?”
Referensi
Baron, R. A., & Branscombe, N. A. (2012). Social psychology. New Jersey, NJ: Pearson.
Saatnya
Rasional Menemukan Arah
“Saat pemilih rasional telah menjadi sesuatu yang dominan di Indonesia, para pemimpin yang hanya bermodalkan uang, tidak akan mudah mempengaruhi masyarakat.�
P
emilu merupakan sarana pemilihan demokratis bangsa Indonesia. Apakah kalimat tersebut masih sesuai untuk menggambarkan keadaan sekarang? Mari kita lihat beberapa informasi berikut. Menurut Quantum Vote Indonesia angka pragmatisme di Indonesia makin hari semakin tinggi. Masyarakat masih terhitung tidak kritis dan memilah track record pemimpin yang dipilihnya (Anton, dalam Vesky, 2014). Selain itu masih banyak masyarakat yang memilih berdasarkan agama, kesamaan ras, penampilan, dan faktor-faktor lain yang tidak mencerminkan kualitas pemimpinya. Sebagai contoh, sebuah kasus agama sempat hadir di Pemilu Jakarta, yang mana seorang pemuka agama menyerukan untuk tidak memilih pemimpin yang bukan golonganya (Sasmita, 2012). Politik uang pun turut mewarnai pemilu kali ini, bahkan ada salah satu partai politik terbukti membagikan uang kepada simpatisannya (Purnomo, 2014). Apakah pemimpin-pemimpin seperti ini yang pantas hadir, bukan menang, dalam pemilu kali ini? Rasanya sebagian dari perusak bangsa akan mengatakan ya. Aktivitas kampanye dan cara-cara memperoleh kekuasaan yang ditunjukkan sekarang bisa jadi adalah gambaran cara pemimpin tersebut saat memimpin. Kita tidak ingin lima tahun ke depan menjadi tahun merana karena melihat pemimpin yang entah apa kerjanya untuk negara. Selama lima tahun ke depan pula banyak uang negara yang diberikan, padahal seharusnya uang tersebut menjadi alat kesejahteraan rakyat. Uang tersebut bisa jadi salah digunakan jika banyak yang tidak kritis memilih pemimpinya, sehingga isu pemilih rasional seharusnya tidak lagi menjadi isu yang mengurusi soal golput. Urgensi dari pemilih rasional telah bergeser menjadi urgensi kehidupan bernegara lima tahun mendatang dan kita sebagai mahasiswa selayaknya menjadi agen yang turut menggencarkan pentingnya pemilih rasional di Indonesia. Pemilih rasional merupakan pemilih yang memiliki alasan jelas mengenai apa yang dipilihnya. Berdasarkan definisi
FOTO: MADE CYNTHIA
OLEH :
DEPT. KAJIAN STRATEGIS BEM FPSI UI
tersebut, pemilih rasional merupakan syarat utama terpilihnya pemimpin yang berkualitas, namun kondisi pemilih rasional masih harus diupayakan di Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara muda yang sedang mencari makna demokrasi. Secara tipologi, indonesia masih termasuk negara dengan kategori pemilih tradisional. Pemilih tradisional adalah pemilih yang memiliki orientasi ideologi yang tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih ini sangat mengutamakan kedekatan sosialbudaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya, pemilih jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos, dan nilai historis sebuah partai politik atau kontestan (Rohrscheneider, dalam Kurnianto, 2013). Saat pemilih rasional telah menjadi sesuatu yang dominan di Indonesia, para pemimpin yang hanya bermodalkan politik uang tidak akan mudah memengaruhi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat akan memilih pemimpin yang memiliki track record bagus. Terciptanya pencerdasan inilah merupakan suatu PR tersendiri bagi agen-agen perubah bangsa. Oleh karena itu, mari kita jadikan Pemilu sebagai suatu kunci, kunci yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam kesejahteraan dan kemahsyurannya. Referensi:
Kurnianto, F. (2013). Dari pemilih tradisional ke rasional-kritis. Diperoleh dari http:sinarharapan co/index.php/news/read/29549/dari-pemilih-tradisional-ke-rasionalkritis.html Purnomo, A. (2014). Terlibat politik uang, caleg Demokrat diadili. Diperoleh dari http://pemilu tempo.co/read/news/2014/04/24/269572932/Terlibat-Politik-Uang-Caleg Demokrat-Diadili Sasmita, I. (2012). Jimly: Kasus Rhoma Irama jangan dilebih-lebihkan. Diperoleh dari http: www.republika.co.id/berita/menuju-jakarta-1/news/12/08/06/m8c1pg-jimly kasus-rhoma-irama-jangan-dilebihlebihkan Vesky, F. R. (2014). Pemilih dinilai kian pragmatis. Diperoleh dari http://padangekspres co.id/?news=berita&id=50396
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 13
BEM FAKULTAS PSIKOLOGI UI P E D U L I
2014
U N T U K
B E R K A R Y A
APA SAJA YANG BARU DI KEPENGURUSAN BEM FAKULTAS PSIKOLOGI UI 2014?
VISI Mewujudkan Mewujudkan Badan Badan Eksekutif Eksekutif Mahasiswa Mahasiswa Fakultas Fakultas Psikologi Psikologi UI UI yang yang meningkatkan meningkatkan kepedulian kepedulian mahasiswa mahasiswa Fakultas Fakultas Psikologi Psikologi UI UI terhadap terhadap kegiatan kegiatan kemahasiswaan kemahasiswaan sehingga sehingga dapat dapat menciptakan menciptakan karya karya yang yang bermanfaat bermanfaat bagi bagi Psikologi, Psikologi, UI, UI, dan dan masyarakat. masyarakat.
MISI INFORMASI Mengoptimalkan penyaluran informasi kemahasiswaan Fakultas Psikologi UI
AFEKSI Membangun hubungan yang dekat, hangat, dan kooperatif dengan sivitas Fakultas Psikologi UI
KARYA Memfasilitasi pengembangan diri mahasiswa Fakultas Psikologi UI untuk berprestasi, berkreasi, dan melakukan inovasi melalui berbagai program kerja BEM Fakultas Psikologi UI
A M A K N
O LO B E M P SI K
14 GI UI 20
MAKARA BIRU MUDA Melambangkan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi UI
WARNA
LAMBANG TRISULA Warna didominasi oleh warna biru muda, melambangkan warna Fakultas Psikologi UI
Terdapat beberapa tingkat gradasi warna biru muda, merepresentasikan beragamnya mahasiswa yang ada dalam Fakultas Psikologi UI
14 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
Trisula yang melengkung melambangkan BEM mewakili, menaungi, dan menjadi wadah bagi seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi UI. Trisula yang menjadi simbol dari ilmu psikologi juga menjadi pemersatu seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi UI dan demi kemajuan ilmu psikologi.
FITUR
LO G O
ILUSTRATOR:
SYADZWINA HASYYATI
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 15
Jepang
Mengintip Pelaksanaan pemilu di
P
ernahkah kalian bertanya-tanya mengenai pelaksanaan pemilu di negara lain? Apakah sama-sama dengan cara mencoblos? Apakah kampanye para calon pemimpinnya bertabur baliho, spanduk, serta billboard yang bertebaran dengan tak teratur di seluruh penjuru kota? Ternyata pelaksanaan pemilu di negara lain tidak dapat disamakan dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Masing-masing negara di dunia memiliki cara dan keunikan tersendiri dalam melaksanakan pemilunya. Korea Utara, misalnya. Pada pemilunya yang terakhir, hanya terdapat satu kandidat calon presiden, yaitu Kim Jong Un. Korea Utara mengharamkan aksi golput sehingga Kim Jong Un secara otomatis memenangkan pemilu dengan 100% suara. Contoh lainnya adalah cara berkampanye di Inggris. Tidak seperti para caleg di Indonesia yang sibuk menempel spanduk atau melakukan bakti sosial sekedar untuk pencitraan, kampanye para calon pemimpin di Inggris ini dilakukan dengan cara yang lebih santun dan intelek, yaitu dengan debat publik. Debat publik ini menjadi semacam fit and proper test para calon perdana menteri dan calon anggota parlemen di hadapan masyarakat. Keunikan lainnya adalah pelaksanaan pemilu di Jepang yang tak lain merupakan topik utama dalam tulisan ini. “Kerusuhan” pemilu di Jepang masih kalah jauh jika dibandingkan dengan launching game atau gadget terbaru. Kampanye pemilu di Jepang berjalan dengan sangat tenang. Telah disediakan papan khusus berukuran besar—semacam papan tulis yang telah dikotak-kotakan lengkap dengan nomor beserta nama caleg—untuk menempel foto-foto para caleg sehingga tidak tampak baliho, poster, spanduk, maupun pamflet caleg yang ditempel atau beredar di sembarang tempat. Pemilu di Jepang tidak dilakukan dengan cara mencoblos, melainkan menuliskan nama caleg yang menjadi pilihan di surat suara. Karena orang Jepang seringkali melakukan kesalahan dalam penulisan kanji, pada papan
16 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
FOTO: ISTIMEWA
OLEH :
DEPT. KREASI , SENI, DAN BUDAYA BEM FPSI UI
tersebut, nama depan caleg ditulis dengan huruf hiragana, sementara nama keluarganya (marga) ditulis dengan huruf kanji. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak salah dalam menuliskan nama depan caleg yang akan dipilih nanti. Para caleg di Jepang juga berkampanye dengan cara yang unik, yaitu dengan berkeliling naik mobil sambil mengumandangkan visi serta misinya lewat pengeras suara. Mobil yang digunakan pun bukan mobil mewah, melainkan mobil biasa seperti yang masyarakat umumnya gunakan. Selain itu, ada pula sebagian caleg yang berkampanye seorang diri di depan stasiun kereta atau di tempat-tempat ramai. Apabila hari hujan, para caleg ini tetap gigih memegangi payungnya seraya terus berkoar-koar di tengah keramaian dan hiruk pikuk para penduduk Jepang (mirisnya, biasanya hampir tidak ada orang yang menggubris aksi kampanye para caleg ini). Seusai menyampaikan visi dan misinya, para caleg ini akan membereskan “peralatan”-nya dan pindah ke tempat lain. Masa-masa tenang menjelang hari pemilihan yang kelewat tenang pun seringkali membuat warga Jepang lupa kapan pemilu dilaksanakan. Keunikan lainnya adalah apa yang menjadi pertanda hari pelaksanaan pemilu, yaitu anak-anak kecil yang membawa balon. Di Jepang, rupanya para orangtua yang telah mengikuti pemilu mendapatkan balon tiup secara cuma-cuma. Balon tiup bertuliskan ajakan untuk mensukseskan pemilu ini biasa mereka hadiahkan kepada anak-anak mereka. Tak heran jika pemandangan yang lumrah terlihat di hari pelaksanaan pemilu adalah para anak kecil dengan balon-balon mereka. Referensi
Koshino, Weedy. (6 Maret 2014). Tenang dan Tertibnya Pemilu di Jepang. Diakses pada 31 Maret 2014 dari http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/03/06/tenang dan-tertibnya-pemilu-di-jepang-639675.html Hensi. (16 Mei 2010). Pemilu di Inggris. Diakses pada 31 Maret 2014 dari http://hensi wordpress.com/2010/05/16/pemilu-di-inggris/ n.d. (11 Maret 2014). Jadi Kandidat Tunggal di Pemilu Korut, Kim Jong Un Menang Mutlak 100%. Diakses pada 24 April 2014 dari http://www.fiskal.co.id berita/fiskal-12/1747jadikandidat-tunggal-di-pemilu-korut,-kim-jong-un menang-mutlak100#eU1ipvfmSyuE
Pilih Siapa Ya? Did You Know? 1. 2.
3.
4.
Apa motivasimu dalam memberikan suara saat voting? Salah satu alasan seseorang bersedia memberikan suara adalah bila memilih atau memberikan suara tersebut menguatkan atau membenarkan nilai-nilai yang mereka anut. Kita harus sangat kritis nih dalam memilih presiden. Bahkan ternyata ekspresi wajah pembawa berita saat menyampaikan berita tentang seorang calon presiden (political candidate) dapat berpengaruh pada voting pattern dari penonton berita. Ekspresi wajah tersebut dapat memengaruhi penontonnya, atau malah penonton yang mempersepsi ekspresi itu sesuai dengan pandangan pribadinya. Pernah merasa melakukan “judge a book by its cover�? Wajar kok, karena kita punya mekanisme otomatis dalam menilai kompetensi seseorang berdasarkan informasi fisik atau potongan kecil informasi sosial. Susan Fiske dan Shelley Taylor menjelaskan adanya halo effect yang mengatakan bahwa kita secara instan mempersepsi muka seseorang ke kategori positif, negatif, atau netral. Persepsi inilah yang dapat memengaruhi cara kita memproses informasi tentang orang tersebut. Sikap kita terhadap media juga berpengaruh terhadap cara kita memilih, loh! Orang yang mempunyai sikap negatif atau tidak percaya pada media lebih cenderung memilih berdasarkan partai politik dari kandidat yang ada.
Referensi: 1. Caprara, G. V., Vecchione, M., & Schwartz, S. H. (2012). Why people do not vote: The role of personal values. European Psychologist, 17(4), 266-278. Diperoleh pada 5 April dari http://search.proquest.com/docview/1267233449/F0B80CDD06354457PQ/1?ac countid=17242 2. Mullen, B., Futrell, D., Stairs, D., Tice, D. M., Baumeister, R. F., Dawson, K. E., & Rosenfeld, P. (1986). Newcasters’ facial expressions and voting behavior of viewers: Can a smile elect a president? Journal of Personality and Social Psychology, 51(2), 291-295. Diperoleh pada 5 April dari http://search.proquest.com/docview/614306133/C1507996F7A545D9PQ/5?accountid=17242 3. Riggio, H. R., & Riggio, R. E. (2010). Appearance-based trait inferences and voting: Evolutionary roots and implications for leadership. Journal of Nonverbal Behavior, 34(2), 119-125. Diperoleh pada 5 April dari http://search.proquest.com/docview/229267129/ E5CF6F1B7F442B7PQ/17?accountid=17242 4. Ladd, J. M. (2010). The role of media distrust in partisan voting. Political Behavior, 32(4), 567-585. Diperoleh pada 9 April dari http://search.proquest.com/docview/807564991/E4CE81BF3ED74334PQ/8?accountid=17242
Oleh: Anindita Alkarisya
Oleh: DHIA RAHMI
biro media/ bem fakultas psikologi ui /2014 | 17
Untitled
Down 1. Menurut Cottam, Uhler, Mastors, dan Preston (2004), ... memengaruhi bagaimana kita mencari informasi mengenai para kandidat
1. Kecemasan 2. Public service 3. Rasional 4. Mood 5. Participation KUNCI JAWABAN
18 | BUNCH 7TH edition/ MAY / 2014
2. Motivation Theory menyatakan bahwa motivasi yang
dimiliki oleh para pekerja publik lebih tinggi 5. Pada tahun 1995, Brady, Verba, dan Schlozman, membuat dibandingkan pekerja pada bidang lainnya model electoral ... 3. Pemilih ... merupakan pemilih yang memiliki alasan jelas mengenai apa yang dipilihnya 8. Di Amerika, oposisi dari Partai Demokrat adalah Partai... 9. ... adalah pandangan masyarakat mengenai dampak pemilihan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan 10. Ekspresi wajah pembawa berita saat menyampaikan berita tentang seorang calon presiden dapat berpengaruh pada ... dari penonton berita 12. Model pertama pada model yang ada pada nomor 5 adalah... 13. ... Indonesia adalah komunitas yang giat mempromosikan partisipasi politik di kalangan pemilih muda 16. Ambisi ... menjelaskan bahwa para caleg berusaha untuk menang agar dapat memegang jabatan tertentu 17. Karena adanya ..., kita secara instan mempersepsi muka seseorang ke kategori positif, negatif, atau netral 18. Model keempat pada model yang ada pada nomor 5 adalah ... choice model
6. Antusiasme 7. Public delivery 8. Republik 9. Political efficacy 10. Voting
1. Menurut Cottam, Uhler, Mastors, dan Preston (2004), ...dampak 9. ... adalah pandangan masyarakat mengenai pemilihan yang mereka lakukan terhadap pemerintahan memengaruhi bagaimana kita10. mencari informasi mengenai Ekspresi wajah pembawa berita saat menyampaikan berita tentang seorang calon presiden dapat para kandidat 2. .... Motivation Theory menyatakan bahwa motivasi yang dimiliki oleh para pekerja publik lebih tinggi dibandingkan pekerja pada bidang lainnya 3. Pemilih ... merupakan pemilih yang memiliki alasan jelas mengenai apa yang dipilihnya 4. Salah satu alasan caleg menggunakan humor dalam media publikasinya adalah untuk menimbulkan ... positif pada pemilih 6. Menurut Cottam, Uhler, Mastors, dan Preston (2004), ... memengaruhi siapa yang akan kita pilih 7. Menurut Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si., pemimpin yang cocok untuk Indonesia adalah pemimpin yang dapat menjawab ...dengan membawa perubahan untuk memakmurkan kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik 11. Orang-orang yang tidak memilih disebut dengan... 14. Pemilih ... adalah pemilih yang memiliki orientasi ideologi yang tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan 15. Salah satu alasan caleg berkeinginan untuk menambah tinggi jabatan yang telah mereka miliki adalah karena mereka memiliki ambisi
MENDATAR
15. Progresif 16. Statis 17. Halo effect 18. Rational
8. Di Amerika, oposisi dari Partai Demokrat adalah Partai...
pattern 11. Nonvoters 12. Resource 13. Rock the Vote 14. Tradisional
MENURUN
Across 5. Pada tahun 1995, Brady, Verba, dan Schlozman, membuat model electoral...