Januari 2018
TERANG YANG TAK KUNJUNG TERBIT
Makassar Pasca Gerakan 30 September
Saya Tidak Tahu, Gerakan Mahasiswa di Saya Hanya Bawah Bayang - Bayang Bujang Sekolah Pembantaian 1965-1966
Editorial Penantian Panjang Frasa ini tidak merujuk pada menanti seorang kekasih. Tetapi “Penantian Panjang” disini kiranya merujuk pada tiga hal. Pertama, penantian panjang akan terwujudnya masa depan bangsa yang pernah di cita-citakan founding father kita yaitu terciptanya tatanan masyarakat adil dan makmur, dalam bahasa Bung Karno dia istilahkan menuju “Sosialisme Indonesia”. Kedua, hal ini merujuk pada penantian panjang kami atas terbitnya buletin Catatan Kaki edisi khusus yang sedang anda baca . Lika-liku dalam proses pembuatan buletin Catatan Kaki yang tim redaksi lalui cukup panjang dan beragam, hingga bisa tersaji untuk pembaca. Banyak aral melintang yang menghalangi tim dalam menyelesaikan buletin ini. Kondisi anggota yang jumlahnya mampu dihitung jari membuat tim sedikit kewalahan dalam pembagian kerja, selain itu kurangnya anggota yang ingin berpartisipasi dalam penelusuran peristiwa pasca G30S ini juga menjadi kendala tersendiri. Kami harus terlebih dahulu selesai dengan diri kami, mengapa mesti mengangkat tema sejarah G30S. Agar setiap individu yang ikut terlibat dapat merasakan pentingnya menggali fakta-fakta baru yang terjadi pasca peristiwa G30S di Makassar, dan kisah penderitaan yang dialami para eks Tahanan Politik (Tapol) Moncongloe. Narasi pada fase sejarah ini, terkhusus kejadian di Makassar, kiranya masih kurang ditemui. Penelusuran kami diawali dengan melakukan studi pustaka (buku, arsip dan dokumen lain) serta melacak lokasi kamp pengasingan Moncongloe. Kami harus sangat berhati-hati ketika melontarkan pertanyaan pada narasumber, mereka tidak mudah bercerita soal apa yang mereka alami saat penahanan dan menyandang status Tahanan Politik Orde Baru.
Salah satu dari mereka bahkan menolak untuk dicantumkan namanya. Dia hingga kini masih merasakan trauma. Saat ditanya, sesekali dia tertunduk dan terdiam. Katanya perih kalau ingat masa lalu. Kami juga bertemu dengan seorang janda tua, istri seorang eks tapol. Kami bertanya tentang suaminya, tapi dia enggan untuk bercerita. Katanya, semua hanya janji-janji, pemerintah tidak serius memulihkan kasus kami. Dari semua eks Tapol yang kami temui, mereka memiliki harapan yang sama hingga hari ini, berharap nama dan hak-hak mereka segera dipulihkan. 52 tahun telah berlalu sejak peristiwa berdarah ini, mereka masih menantikan langkah pasti dari Negara. Penantian mereka sudah begitu lama, hingga sebagian darinya harus mewariskan “Penantian Panjang” itu pada anak cucu. Inilah penantian panjang ketiga yang kami maksud, yang merujuk pada korban dan keluarganya. Catatan Kaki bukanlah media yang ingin mendapat apresiasi ataupun sejenisnya. Kami hanya mencoba melihat sejarah peristiwa G30S dari sudut gelap yang lain, sudut yang tidak nampak dari bagian besar penciptaan narasi sejarah versi Orde Baru. Kami sadari, apa yang kami lakukan hanyalah bagian yang sangat kecil dari tebaran narasi yang lebih besar dan beragam dengan sudut pandang berbeda dari versi penguasa. Zaman telah berubah. Kita tidak lagi berada dalam zaman kegelapan Orde Baru. Hari ini, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat itu dijamin oleh Undang-Undang. Kami mencoba menyambut kebebasan itu, bahwa kebenaran bisa datang dari mulut siapapun yang berani membukanya, sebagaimana Catatan kaki berusaha menjadi “Kaki Tangan Demokrasi dan Keadilan”. Mari….!!
Pimpinan Umum Max Id Pemimpin Redaksi Indah Wels
2
Reporter Uk Marco Jude Al Ginger Immank Petunia Ay
Editor Nopi Ita Oshinsky Layouter Peraya Riuh Bambang
REDAKSI
Daftar Isi
Editorial ........................ 2 Daftar isi ................................ 3 Introduksi Makassar ; Pasca Gerakan 30 September 4-7 Reportase Dari Polisi ke Tahanan Politik 8-10 Jakaria: Jangan Lagi Ada Peristiwa Seperti Ini 12-14 Elegi Perempuan Gerwani 15-18 Kronika .................................................. 20 Reportase Saya Tak Tahu, Saya Hanya Bujang Sekolah 22-23 Korban Pelanggaran HAM Butuh Keadilan Sejarah 24-27 Opini Gerakan Mahasiswa di Bawah Bayang- Banyang Pembantaian Tahun 1965-1966 29-31 Wawancara Khusus Melihat dari Sisi Kemanusiaan 31-32 Tokoh Salawati Daud 33-34 Review Film .................................. 35 Review Album ................................ 36 Resensi Buku ..................................... 37 Puisi ........................................................ 39 ari
Janu
ari
nu
Ja
18
ari
20
nu
Ja
NG YA UNG NG NJ RA KU E T AK IT T ERB T
18
ari 20
Janu
2018
18
20
G YAN G ANG JUN G TERK KUN YANNG TA RBIT ANG NJU TE TERK KUT TA RBI TE
ANG NG Y TERA KUNJUNG TAK IT TERB
a di asisw yang Mahng - Ba-19 66 kanBa ya 1965 i Gera ad g wah aian sw yan 6 i Ke ik Ba mbant Pe hasi - Ba-196Dari Polis Polit nan Ma g 65 di g 19sca Taha anBayarnn wa an rakah as saia Pa sis- Bay 966 ta GeaM a 30 n n w ak -1 h a B eGe mbraka ber Maang 65 P iSeptem i Ke ik an ay n 19 d g olis olit rak h B taia a yan 6 ri P n P Geawaban Da hana isw a 96 B em Ta a as - B 5-1 P Ke tik asc ah g 6 lisi oli ar P M an 19 Po n P n ay n kass n 30r ari ana kah B taia Maerakambe D a h r a n G pte Ta Geaw ba ca Se as B em rP P e ik ssa 30 ka an er i K lit Maerak mb lis Po G epte Po n ri na S Daaha T ca as rP sa 30 r as an e ak k b M era tem G ep S
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Desain Sampul Peraya Riuh
3
Introduksi
Makassar; Pasca Gerakan 30 September Oleh : Petunia
“Massa anti PKI dari berbagai organisasi masyarakat dan mahasiswa yang mengutuk G30S terus berlangsung. Sejak bulan Oktober secara terorganisir, aksi-aksi perusakan berlangsung di Makassar dengan sasaran kantor dan gedunggedung milik PKI dan simpatisannya ……… “
P
agi-pagi buta pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Untung telah berhasil menduduki Radio Republik Indonesia (RRI). Mereka menyebarkan berita pengumuman bahwa telah mengamankan para Dewan Jenderal yang bermaksud melancarkan kudeta Presiden Soekarno. Pengumuman selanjutnya menyatakan akan segera membentuk Dewan Revolusi sebagai kekuasaan Negara tertinggi dengan cabangcabangnya di setiap provinsi untuk menggantikan tatanan politik dan sosial yang lama diseluruh Negeri. Lebih lanjut kelompok G30S akan melakukan tindakan-tindakan di seluruh Indonesia kepada kaki tangan dan simpatisan Dewan Jenderal. Indonesia tengah berada dalam Coup d'etat (baca:kudeta!). Pada tanggal yang sama di Makassar, kabar mengenai penculikan dan pembunuhan Dewan Jenderal masih dipahami sebagai sebatas isu politik yang belum jelas. Pemberitaan di korankoran lokal juga tidak menunjukkan adanya Gerakan 30 September di Jakarta. Namun, aktivitas tentara dan petugas yang mondar-mandir di jalan menimbulkan segudang tanda tanya. Selain dari itu, aktivitas pemerintahan masih berjalan dengan normal, perekonomian seperti hari-hari sebelumnya dan keamanan relatif masih dapat dikendalikan dengan baik. Keesokan harinya, Gubernur Sulawesi Selatan A.A Rifai menyatakan sikap hanya mendukung dan menaati perintah Presiden
4
Soekarno dengan meminta kepada rakyat untuk tidak melakukan tindakan separatis. Hal ini sesuai dalam sidang Pleno Luar Biasa DPRD GR tertanggal 02 Oktober 1965. Dilain sisi ada aktivitas-aktivitas massa yang tidak setuju dengan sikap Gubernur dengan menyebarkan berita Harian Djakarta yang isinya bersimpati dengan G30S. Namun semua kondisi itu masih dalam kendali pemerintahan. Demi mengantisipasi adanya kekacauan, selang beberapa hari setelahnya masyarakat mengadakan ronda malam pada pukul 24.00 sampai pukul 06.00 di beberapa kelurahan Kota Makassar. Dengan ditemukannya jenazah para Dewan Jenderal pada 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Soeharto sebagai Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) berpidato di depan media : ”……. disini saudara juga akan melihat bahwa daerah di dekat sumur itu telah digunakan sebagai pusat latihan tenaga-tenaga sukarela dibawah Angkatan Darat. Tenaga terdiri dari anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani……”. Secara tidak langsung Soeharto menuduh PKI sebagai pelaku utama dan memperlihatkan dalam media kepada rakyat foto-foto para Jenderal yang sudah membusuk. Keguncangan di seluruh daerah Indonesia pun semakin meningkat. Di Sulawesi Selatan sendiri, golongan yang mengatasnamakan Islam merespon paling cepat. Keesokan harinya GEMUIS (Generasi Muda Islam) beserta 20 organisasi anggotanya serta BAMUS angkatan 45 Dati I Sulselra (Sulawesi Selatan dan Tenggara) menyatakan sikap ke pemerintah dengan berdiri di belakang Presiden Soekarno dan Pangdam XIV
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Penangkapan Pemuda Rakyat di depan Lapangan Militer Hasanuddin (Sumber Foto : anp-archief.nl )
Hasanuddin; Brigjen Solichin G.P. Sedangkan dari pihak PKI dan ormasnya di Makassar lebih memilih diam dan tidak menyatakan sikap apapun tentang G30S. Ketegangan politik antara simpatisan G30S dengan ormas anti-PKI mulai terasa di Makassar. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut pada tanggal 7 Oktober 1965 Walikota Makassar Dg. Patompo melarang siapa saja untuk mengadakan rapat tanpa mempunyai izin. Menghadapi kekacauan diberbagai daerah, Presiden Soekarno menyatakan ketidaksetujuannya terhadap G30S dan menunjuk kepada Mayjen Pranoto Roksosamodro sebagai aspek militer administratif sedangkan aspek teknis masalah keamanan dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto. Soeharto kemudian melembagakan wewenang yang diberikan dengan membentuk KOPKAMTIB (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada 10 Oktober 1965, yang tugas pokoknya memulihkan keamanan dan ketertiban sebagai akibat peristiwa G30S. Untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara sendiri dipimpin oleh Brigjen Solichin G.P sebagai Peperda (Penguasa Perang Daerah). Gerakan anti komunis mulai berkembang beberapa hari setelahnya. Massa anti PKI dari berbagai organisasi masyarakat dan mahasiswa yang mengutuk G30S terus berlangsung. Sejak bulan Oktober secara terorganisir aksi-aksi pengrusakan berlangsung di Makassar dengan sasaran kantor dan gedung-gedung milik PKI dan simpatisannya, terutama kantor CC PKI di Jalan Bulu Kunyi. Mahasiswa Makassar juga ikut merespon dengan membentuk KAMI (Kesatuan
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Aksi Mahasiswa Indonesia) konsulat Sulawesi. Rapiuddin Hamarung selaku Ketua Umum HMI Cab. Ujung Pandang disepakati menjadi Ketua KAMI dan Jusuf Kalla sebagai sekretaris jenderal. Dalam merumuskan aksi-aksi mahasiswa selanjutnya, rumah Jusuf Kalla di Jl. Andalas No. 2 menjadi tempat pertemuan terutama dari HMI dan KAMI. Pada 10 Oktober 1965 para demonstran mulai melakukan penjarahan di toko-toko atau rumah milik orang-orang Tionghoa, karena adanya anggapan bahwa semua orang-orang Tionghoa adalah komunis. Tak hanya itu, orang-orang pendatang dari Jawa pun juga dianggap sebagai komunis. Pengrusakan rumah-rumah terjadi di Balang Boddang Makassar yang merupakan daerah pemukiman orang-orang Jawa. Kasman dan grup keseniannya dituduh PKI lalu dikejar-kejar massa, semua harta bendanya ikut dihancurkan oleh demonstran anti-PKI. Dalam mengantisipasi keadaan, pihak Peperda Sulselra mengeluarkan kebijakan “mengamankan” seluruh anggota PKI dan simpatisannya dari amukan massa di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Melalui birokrasi dari Kodam XIV Hasanuddin “pengamanan” dilakukan bagi mereka yang dianggap anggota PKI dan simpatisannya. Cak Gun, ia ditangkap pada malam hari di rumahnya dengan cara dikepung sekelompok orang tidak dikenal dan langsung dibawa ke kantor Kodim. Kasus lain dialami oleh Jhonli, mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan anggota
5
Lekra. Ia ditangkap pada malam hari di rumahnya dengan tuduhan mendukung G30S. Penangkapanya disebabkan pada hari sebelumnya dia tidak ikut aksi pembakaran poster. Bagi rakyat yang merasa terancam dengan gerakan massa yang memburu mereka, memilih untuk menyerahkan diri ke kantor polisi dan Kodam untuk meminta perlindungan. Namun, secara tidak langsung anggota PKI dan simpatisannya yang meminta perlindungan telah diubah statusnya menjadi tahanan politik (tapol). Sampai awal tahun 1966, ribuan orang “diamankan� dan dibawa ke kantor Kodim dan kepolisian. Pada tanggal 15 Oktober 1965, diadakan rapat akbar di lapangan Karebosi yang dihadiri sebanyak 22 organisasi seperti HMI, Pemuda Ansor, PSII, Front Pemuda, Front Nasional Daerah, KAMI, KAPPI, DPRD GR dan sebagian golongan nasionalis kecuali PNI menuntut pembubaran PKI. Setelah mengadakan rapat, massa terus berdemonstrasi mendatangi rumah-rumah Pimpinan Ormas PKI, seperti HIS, SOBSI dan sebagainya. Massa melakukan pengrusakan dan pelemparan batu terhadap rumah para anggota PKI dan simpatisannya. Kemudian ratusan demonstran dari KAMI, KAPPI, dan Pemuda Ansor mendatangi Komtabes Makassar tempat anggota PKI dan simpatisannya mengamankan diri. Dengan jumlah petugas yang hanya sedikit para demostran menerobos masuk sel-sel. Tetapi para anggota PKI dan simpatisannya sudah berlarian keluar, mereka memanjat tembok dan mencari tempat persembunyian diantara perumahan warga. Setelah demonstran anti-PKI bubar, anggota PKI dan simpatisannya kembali ke kantor yang dinilai lebih aman. Langkah selanjutnya Brigjen Solichin melakukan pembersihan terhadap anggota PKI dan simpatisannya di dalam tubuh instansi pemerintahan. Sebagian dari pegawai yang tidak masuk kerja sejak tanggal 30 September 1965 diberhentikan sementara karena adanya anggapan bahwa mereka adalah anggota PKI dan simpatisannya yang sedang bersembunyi Kebencian terhadap anggota PKI dan simpatisannya semakin tinggi akibat propaganda dari masjid dan gereja. Hal ini sesuai dengan intruksi Pemerintah Kotapraja Makassar dalam mengendalikan keadaan, pemerintah menghimbau kepada imam-imam kampung dan pimpinan geraja agar melakukan khotbah di mesjid atau gereja yang menitikberatkan kepada seruan untuk membantu pemerintah mengembalikan dan stabilisasi keadaan secara menyuluruh di dalam wilayah Kota Makassar. Dianjurkan pula untuk mengadakan pembasmian terhadap orang-orang yang terlibat G30S. 6
Massa membakar buku, berkas, lambang, foto dan dokumen yang terkait dengan PKI (Sumber Foto : vrijegallerij.nl )
Kemudian pada tanggal 18 Oktober 1965 Peperda Sulawesi Selatan Brigjen TNI Solichin G.P mengeluarkan surat keputusan 024/10/PPDD/65 tentang pelarangan sementara kegiatan-kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta ormas seperti Gerwani, BTI, Sobsi beserta seluruh organisasi buruh yang bernaung dibawahnya, Pemuda Rakyat, CGMI, Perhimi,Lekra, HIS serta masyarakat yang terindikasi terlibat G30S. Tepat Hari Pahlawan Nasional, pada 10 November 1965, demonstran anti-PKI kembali berkumpul untuk melakukan pengganyangan. Sasarannya adalah kompleks Kodim dan kepolisian tempat ratusan tahanan diamankan. Penggayangan terjadi pada pagi hari dan dilanjutkan sore harinya. Sebagian tahanan lari dengan memanjat tembok sebagian lagi bersembuyi di dalam kompleks kepolisian. Setelah massa anti-PKI pergi, para tahanan kembali ke kantor polisi. Dalam mengatasi gelombang massa antiPKI, maka Walikota Makassar memberlakukan jam malam dan menghimbau kepada para Rektor Universitas di Makassar untuk mengkoordinir para mahasiswa pada 10 November 1965 agar tidak meluasnya peristiwa dan juga para mahasiswa tetap diberi indoktrinasi untuk tetap memberi bantuan kepada militer. Keesokan harinya para tahanan dibawa
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
“Pengrusakan rumah-rumah terjadi di Balang Boddang Makassar yang merupakan daerah pemukiman orangorang Jawa�
‘‘
oleh tentara untuk berangkat ke Malino demi menghindari tindakan-tindakan demonstran antiPKI. Mereka kemudian dikembalikan pada akhir Desember ke Penjara Karebosi. Dalam penanganan selanjutnya beberapa dari mereka dibebaskan namun dengan syarat wajib lapor dua kali seminggu di kelurahan. Aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Demontrasi terbesar mahasiswa dilakukan pada tanggal 27 Januari 1966 dengan menyerbu dan merebut gedung konsulat RRT (Republik Rakyat Tiongkok) di Jl. Chairil Anwar. Pada 8 Maret 1966 bertempat di Lapangan Segitiga Makassar, ribuan mahasiswa, pelajar dan sukarelawan mengadakan rapat siaga. Setelahnya mereka mengadakan pawai keliling Makassar dan menyebarkan pamflet Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat); pembubaran PKI dan ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora dan turunkan harga sembako. Dengan adanya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), Mayjen Soeharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 melalui Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966. Sementara di Makassar pada tanggal 16 Maret 1966 kembali diadakan rapat akbar di lapangan Karebosi yang dihadiri oleh Panglima Dejahit madjajah Askari, Panglima Kodam Brigdjen Solichin G.P, Gubernur Sulsel Bridgjen A. Rifai, dan Walikota Makassar Major M. Dg. Patompo. Rapat akbar dilanjutkan dengan membacakan
C a t a t a n K a k i J a n u a r i
2 0 1 8
putusan TAP MPRS tentang pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya dari pusat sampai daerah. Dalam periode penangkapan anggota PKI dan simpatisannya secara besar-besaran di seluruh Indonesia, daerah Indonesia Timur tidaklah sebesar dan seberingas di Jawa, Sumatera ataupun Bali. Para demonstran mengejar-ngejar anggota PKI dan simpatisannya, tidak langsung dibunuh ditempat namun diserahkan kepada pihak Kodam walaupun pada beberapa kasus terjadi pembunuhan. Peristiwa ini merembes sampai jauh ke berbagai daerah. Di Kab. Takalar ada sebuah desa yang dicap sebagai markas PKI, mereka dianggap demikian karena kebanyakan dari mereka menerima cangkul pemberian dari partai. Kericuhan terbesar terjadi di Kab. Bone, penangkapan dan pembunuhan lebih banyak lagi, namun referensi yang kurang tidak dapat memastikan jumlah mereka yang ditangkap. Hampir disetiap kabupaten di Sulawesi Selatan terjadi kekacauan akibat peristiwa ini. Penangkapan anggota PKI dan simpatisannya masih terus berlanjut. Jumlah tahanan anggota PKI dan simpatisannya yang ditahan tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan laporan jumlah tahanan G30S pada 16 Februari 1968, terdapat 198 orang yang ditangkap, baik dari kalangan sipil maupun militer. Jika berdasarkan pada jumlah tahanan Kamp. Pengasingan Moncongloe yang dibuka pada tahun 1969 terdapat 911 tahanan politik (tapol), terdiri atas 52 perempuan dan 859 lakilaki. Dan jika berdasarkan pada laporan Pemerintah Kotamadya Makassar pada tahun 1985 tentang bekas tahanan G30S di wilayah Kotamadya Dati II berjumlah 2.353 orang. Selain itu, masih terdapat tempat penahanan bagi para tapol ditempat lain; Penjara Karebosi, Penjara Maros, Penjara di Gunung Sari, Rumah Tahanan Militer (RTM) yang jumlah tahanan pastinya tidak diketahui. (*) 7
Reportase
Dari Polisi ke Tahanan Politik Oleh : Uk Marco
“Tidak ada alasan saat ditangkap, para polisi yang di tugaskan untuk membawanya hanya mengatakan; pokoknya ikut saja, nanti di kantor kita bicarakan”.
S
epasang mata tertuju pada badan jalan. Di sepanjang kiri dan kanan dapat dilihat berdiri jejeran bangunan perumahan, baik yang sudah rampung maupun yang sedang dalam proses pengerjaan. Para pengembang mulai mengerjakan pembangunan diantara kebun singkong dan rumpun bambu di Kawasan Mamminasata'. Wilayah yang berada antara perbatasan Maros - Gowa ini, telah dijadikan kawasan penyangga akibat pesatnya perkembangan pembangunan Kota Makassar. Kawasan ini lebih dikenal dengan nama Moncongloe. Selain itu, dulunya juga dikenal dengan sebutan “Tanah Merah”. Sebelum para tahanan politik (tapol) didatangkan untuk menjadi pekerja rodi, kawasan ini merupakan hutan perbukitan. Tidak banyak yang tahu mengenai kisah para tapol, karena belum banyak sumber informasi mengenai cerita salah satu kamp pengasingan para tahanan politik G30S ini . “Itu rumah Soemiran”, kata seorang warga yang sedang mandi di sumur dekat masjid tua sambil menunjukkan salah satu rumah yang nampak sepi kepada tim Catatan Kaki. Soemiran adalah salah satu tapol Orde Baru yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia ditahan pada tahun 1967 di Rumah Tahanan Militer (RTM) dan dibebaskan pada tahun 1979. Setelah dibebaskan dari RTM, dia memilih mengikuti program transmigrasi khusus tapol dan menetap di Moncongloe. Sampai saat kami bertandang, istri dan dua anak perempuannya masih menempati rumah peninggalan Soemiran yang meninggal dunia dua tahun silam. Karena 8
istrinya tidak ingin bercerita banyak soal almarhum, dia hanya menyebutkan satu nama dan menyarankan kami untuk menemuinya.
Tidak ada ruang pembelaan Dia adalah Soetoyo (Red.), seorang polisi yang dikirim dari P. Jawa untuk bertugas di Pelabuhan Makassar pada tahun 1964. Dia ditangkap pada tahun 1969 saat bertugas di Pelabuhan Makassar, dibawa paksa oleh polisi yang merupakan kawannya sendiri. Menurutnya saat penangkapan tidak ada surat perintah penahanan, namun dia tetap ikut ke kantor polisi karena didatangi banyak pasukan. Tidak ada alasan yang jelas atas penangkapannya. Saat menanyakan alasan penangkapan, para polisi yang di tugaskan untuk membawanya hanya mengatakan “pokoknya ikut saja, nanti di kantor kita bicarakan”. Sebelum ditangkap dan ditahan, dia pernah ikut Sekolah Kepolisian lanjutan di Jalan Somba Opu Makassar bersama teman-temannya dari kepolisian. Proses pendidikan di sekolah tersebut untuk memperoleh kenaikan pangkat. Salah seorang bekas guru Soetoyo yang namanya tidak diingatnya lagi, terlibat PKI. Dia juga tidak mengerti tentang semua yang dituduhkan padanya. Hanya karena dekat dan pernah berkunjung ke rumah gurunya tersebut, akhirnya dia ikut dituduh terlibat PKI dan harus menyandang status tapol. “Saya inikan polisi, namanya polisi ya pasti dekat dengan masyakarat”, ujar Soetoyo. Dia menjelaskan bahwa, dia tidak banyak tahu soal PKI. Saat di tahanan mereka diperiksa dengan cara disudutkan dan terkadang dipaksa mengaku terlibat PKI. “Saya tidak mau ngaku, itulah kadangkala dipukul” ujarnya. Beberapa kali diperiksa dia tetap tidak mengaku dan tidak pernah menandatangani berita acara pemeriksaan. Pria kelahiran Madiun September 1944 ini awalnya ditahan ke Komando Kota Besar (KOMTABES) Makassar. Tidak berselang lama kemudian dipindahkan ke Staf Komando Daerah Kepolisian (SKOMDAK). Karena SKOMDAK mengalami kebakaran, para tahanan dikembalikan ke KOMTABES. Setelah tahun 1969 semua tahanan kemudian dipindahkan dan disatukan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar. Hingga di RTM pemeriksaan tetap berlangsung dan kekerasan fisik tetap dialaminya. Proses pemeriksaan para tahanan biasanya ditangani oleh dua sampai tiga orang. Saat pemeriksaan berlangsung mereka diinterogasi oleh satu orang, sisanya hanya ikut
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
mengawasi. “Kalau pemeriksaan, yang namanya pukulan itu sudah dianggap hal yang biasa”, lanjutnya sambil terus berusaha mengingat masamasa saat di penjara. Selama 10 tahun di penjara, para tahanan merasakan penderitaan. Selain kekerasan fisik yang dirasakan, mereka juga hidup dengan asupan makanan yang tidak wajar. Menurutnya, selama di penjara makanan diatur sepenuhnya oleh petugas dan dibagikan langsung kepada para tahanan. Jadwal makan pun tidak teratur, serta jatah makanannya tidak cukup untuk memenuhi standar gizi, hanya ada nasi sedikit ditambah sayur kangkung. Pembagian jatah makanan kemudian berubah, yang sebelumnya masih diatur dan dibagikan langsung oleh petugas. Para tahanan memasak sendiri dengan diberi jatah beras satu kaleng susu per hari. Sementara sayur masih diatur dan dibagikan dari petugas RTM. ”Sayur masih diatur jadi satu dari (petugas) RTM, tapi sudah masak sendiri-sendiri, sayurnya ya sayur kangkung”, tambahnya.
Awal kebebasan, haknya juga masih di-kebiri Pada akhir tahun 1977 Soetoyo dan para tahanan dari kalangan ABRI dipindahkan ke Kamp Moncongloe, satu tahun sebelum kamp pengasingan bagi orang-orang yang terlibat PKI ini resmi ditutup. Kamp pengasingan Moncongloe ini dibuka tahun 1969 untuk para tapol dari kalangan sipil. Untuk mengurangi biaya Negara dalam mengurusi tapol, mereka dipaksa untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan merambah hasil-hasil hutan dan juga berkebun . Sedangkan untuk tahanan dari kalangan ABRI dipenjara di RTM Makassar, sebelum dibawa ke Moncongloe dan dibebaskan. Tapol ABRI yang didatangkan dari RTM ke Moncongloe berjumlah 30 KK. Saat kedatangan mereka, para tahanan dari kalangan sipil sudah tidak ada, namun barak, gereja, masjid, aula dan pos jaga masih ada saat itu . Soetoyo tidak banyak mengetahui soal kondisi tapol sipil, karena saat dipindahkan ke Moncongloe para tahanan sipil telah dibebaskan secara bertahap. “Saat saya kesini, orang-orang tahanan sipil sudah bebas”, ujarnya sambil mengingat masa kelam itu. Mereka dipindahkan ke Moncongloe dan diperintahkan untuk berkebun. Dengan bermodalkan peralatan pertanian sederhana seperti cangkul, arit dan peralatan lain dari
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
“Menurut komandan dua hektar, tapi yang di sini nyatanya hanya satu hektar, yang satu hektar tidak tahu kemana. Namanya tahanan kan trauma, dikasi satu hektar ya terima saja”
‘‘
peninggalan para tapol sipil, mereka mulai menggarap kebun-kebun dibawah kendali Militer (Komandan DENPOM). Untuk tempat tinggal sementara, mereka menempati barak-barak bekas tapol sipil, sebelum dipindah ke rumah-rumah yang mereka bangun. Walaupun belum bebas sepenuhnya, Soetoyo dan kawan-kawannya merasakan sedikit kebebasan dibandingkan saat masih di Penjara RTM. Menurutnya rata-rata tahanan merasakan kebebasan, karena diperbolehkan kemana saja selama di Moncongloe walaupun tetap dalam pengawasan ketat dan belum terlepas dari statusnya sebagai tapol. Hampir setahun berkebun di Moncongloe dan menempati barak-barak. Sekitar tahun 1978 barulah dia dibebaskan. Waktu itu ada kebijakan dari pemerintah yang disampaikan melalui Sutomo selaku Komandan DENPOM kepada para tapol. Para tahanan diberi pilihan untuk pulang ke daerah masing-masing atau ikut program transmigrasi khusus dan tinggal menetap di Moncongloe. Kebanyakan tahanan yang merupakan asli Jawa memutuskan untuk tinggal dan menetap, sementara yang berasal dari daerah sekitar Sulawesi rata-rata memutuskan pulang ke kampung halaman. “Terus saya ikut mendaftar itu. Ya orang yang tinggal di sini memang ikut mendaftar program transmigrasi”, katanya. Mereka yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Moncongloe diberi lahan seluas satu hektar dan satu rumah pondok untuk memulai hidup baru. Menurut Soegio awal pertemuan membahas persoalan pembagian lahan. Komandan DENPOM menyampaikan bahwa para bekas tahanan militer akan diberi lahan seluas dua hektar, namun saat pengurusan administrasi yang tertera dalam sertifikat hanya seluas satu hektar. “Menurut komandan dua hektar, tapi yang di sini nyatanya hanya satu hektar. Yang satu hektar tidak tahu kemana. Yang namanya tahanan kan trauma, dikasi satu hektar ya terima saja”, tambahnya. Karena para tahanan masih dalam trauma, maka segala keputusan diterima begitu saja.
9
Para tahanan politik di Kamp Moncongloe (Sumber foto : Historia.id)
Pembagian jatah lahan untuk para tahanan ABRI di Moncongloe berbeda dengan daerah transmigrasi khusus lainnya, misalnya saja mereka para tahanan sipil yang diberangkatkan ke Nanga-nanga, Kendari. Para Tapol yang mendaftar masing-masing mendapat lahan seluas dua hektar. Hal ini dipertegas melalui keterangan Rukiah yang merupakan salah satu bekas tapol yang ikut transmigrasi ke Nangananga.
satu hektar yang diterimanya, karena selain masih dalam tekanan psikologi (trauma), para tapol lebih berfokus bekerja demi menata secara perlahan kehidupannya. Selain satu hektar lahan, mereka diberi satu unit traktor untuk digunakan menggarap lahan secara bersama. Masing-masing hanya bisa menggunakan traktor untuk menggarap seperempat hektar. Jika sudah melebihi maka mereka harus bayar sewa kepada Komandan.
Menurutnya, para tapol sipil dari Kamp pengasingan Moncongloe yang diikutkan trasmigrasi khusus ke Nanga-nanga, Kendari, mendapat masing-masing tanah seluas dua hektar per orang. “Disana itu setelah kita buka lahan, saya dapat tanah dua hektar dan suami saya juga dua hektar�, lugasnya. Jika tahanan yang berangkat ke Nanga-nanga sepasang suami istri, maka mereka mendapat empat hektar, suami dan istri masing-masing mendapat dua hektar.
Kebijakan itu membuat mereka kesulitan untuk cepat menggarap lahan pertanian. Ditambah tidak ada biaya untuk menyewa traktor, maka lebih baik memilih bekerja sama secara kelompok dalam menggarap lahan dengan menggunakan cangkul dan peralatan sederhana lainnya.
Soetoyo saat itu tidak banyak mempermasalahkan soal lahan 10
Sejak masa itulah Soetoyo dan para bekas tahanan Politik yang menetap di Moncongloe, berusaha untuk bertahan hidup dengan bertani. Biaya hidup sebesar Rp. 9.000- /bulan selama dua tahun yang diberi oleh Pemerintah tidak cukup untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari, maka Soetoyo bertani singkong dan juga beternak kambing. Selain itu keuangan Soetoyo mulai terbantu setelah menikah. Istrinya berjualan nasi kuning keliling ke Home base – home base AD. Dengan pekerjaan itu, secara perlahan dia dan istrinya mulai membangun keluarga dan menghidupi 4 orang anak. Walaupun pada akhirnya harus menjual setengah hektar lahannya untuk membiayai sekolah anakanaknya. Dia tetap berharap dan menunggu tindakan dari pemerintah agar hak-haknya sebagai orang yang pernah mengabdi sebagai aparat Negara itu dikembalikan. Karena dia telah ditahan selama sepuluh tahun tanpa pernah melalui proses hukum dan tidak ada vonis bersalah. “apa ini tidak ada kelanjutan, apa tidak ada pembela-pembela hukum, ya kita masih nunggu adanya perbaikan� ujar lulusan Kepolisian Mojokerto itu. (*)
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Pembakaran dokumen dan buku-buku di Kantor Konsulat RRT Jl. Khairil Anwar Makassar tahun 1965 (Sumber Foto : Irsal Kasim)
Reportase
Jakaria: Jangan Ada Lagi Peristiwa Seperti Ini Oleh : Jude Al Ginger
“Kisah Jakaria saat ditangkap dan masa penahanan di Kamp Pengasingan Moncongloe”
T
im Catatan Kaki menemui seorang eks tahanan politik orba kasus 65. Kini beliau berusia 72 tahun dan tinggal bersama keluarganya di Makassar. Berikut ini cerita dia saat ditangkap dan ditahan di Kamp Pengasingan Moncongloe. Nama saya Jakaria Dg. Passeleng. Saya tinggal di Malembongan Baru, Makassar. Saya pernah aktif di organisasi Partai Komunis Indonesia sebagai orang kedua (Wakil ketua) dari Central Sub Seksi (CSS) Kec. Bontoala. Dulunya, saya juga pernah kerja sebagai pegawai di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin. Saya mulai bekerja sebagai penjaga laboratorium Fisika mulai tahun 1964.
Tangan dan kaki saya di ikat Pada saat peristiwa G30S pecah, saya ke rumah sepupuku, Baharuddin Dengsu di Jl. Terong. Disana banyak mahasiswa, mereka berkumpul karena katanya ada peristiwa di Jakarta. Saya bertanya ke mereka, bagaimana kah itu kejadian? mereka bilang, setelah peristiwa itu akan dibentuk Dewan Revolusi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sudah itu saya pulang ke rumahku. Besok paginya (tanggal 1 Oktober) saya masuk kerja, keadaan pada waktu itu sudah geger. Setelah hari itu, saya sudah tidak masuk kerja lagi. Saya dengar kabar kalau Dokter Soenarto (anggota HIS) mati terbunuh oleh orang-orang yang tidak dikenal, dirumahnya di kompleks di Fakultas Kedokteran Unhas. Karena kabar itu, semakin buat saya tidak mau masuk kerja dan main kucing kucingan dengan keadaan pada waktu itu.
12
Saya kembali masuk kerja bulan depannya, tanggal 31 Oktober. Pada hari itulah saya di tangkap. Saya sementara pesan gado gado di kantin untuk sarapan. Belum selesai dibuat, dua tentara Kodim datang, mereka pakai seragam militer, bawa laras senapan yang diujungnya terpasang sangkur. Namanya Letnan Burhan, yang satunya lagi saya tidak kenal. Mereka berbicara ditengah kerumunan, “mana pak Jakaria?”. Saya langsung berdiri “saya pak”. Tentara itu bilang, naik di oto (mobil). Mobilnya itu jeep-jeep tentara luar negeri macam Rusia begitu. Di dalam mobil dua orang saja, jadi sama saya tiga orang. Tidak ada tahanan lain diatas mobil, hanya saya sendiri. Setelah itu saya langsung dibawa ke kodim 1408. Tidak berapa lama di Kodim 1408, pada jam 2 malam kami dikumpul di belakang Kodim. Kira-kira bejumlah 250-an orang. Setelah itu, kami semua di angkut ke Malino. Disana kami ditempatkan di sebuah bangunan yang dulunya bangunan Jepang. Disitu kami ditampung. Itu bukan penjara. Saya tidak tau itu tempat apa tapi disitu ada beberapa kolam mandi. Kami disana kira-kira dua bulan lebih. Saat di Malino saya di interogasi sama petugas. “Saudara ini memang masuk anggota PKI?”. Saya bilang “iya, saya memang masuk anggota PKI”. Jadi itu saja pemeriksaan pertama dan terakhirmi, karena setelah pemeriksaan di Malino kami tidak pernah lagi diperiksa. Teman saya namanya Aksa Dg. Lau itu meninggal saat di interogasi, dia disiksa dengan disentrum. Setelah semua tahanan diperiksa di Malino
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
kami di kembalikan ke Makassar, di Jl. Banda pada tahun 1966.. Disitu ada pembebasan, termasuk saya, yang tidak bebas dikembalikan lagi ke Kodim. Pada bulan Juni 1967 kami ditangkap kembali dalam kaitannya PKI gaya baru yang dipimpin oleh Markus Girot. Saya ditangkap di Jl. Sunu Malimongan Baru oleh Letnan Kasim bersama satu orang temannya. Sesampainya di Kodam baru di Jl. Ahmad Yani. Saya dikasi masuk di kamar. Tangan dan kaki saya di ikat ke belakang. Dikamar itu adami suarasuara orang bicara tidak baku lihat, ternyata teman-temanku yang lebih duluan ditangkap. Kalau di kasi makan dibukaji mata dan tangan, di suruh menghadap ke tembok. Kira-kira lima hari kemudian kami dipindahkan di Kodam lama di Jl. Mongosidi. Sesampai disana kami dimasukkan ke dalam kamar sel, ikat mata sudah dibuka, baru kami kenal satu sama lain, jumlahnya 15 orang. Keadaan kami sangat menderita, tidur berdesakdesakan di sel, makanan sedikit dan mandinya di sumur tanah. Tiga bulan lamanya kami di sel. Pada bulan September 1967 kami dipindahkan lagi ke Lembaga Pemasyarakatan Makassar Karebosi di Jl. Ahmad Yani. Disana saya ditahan sampai tahun 1969. Dipenjara Karebosi-lah kami dikirim ke Moncongloe. Pengirimannya itu tidak sekaligus semua tahanan tapi bertahap. Pengiriman pertama itu kira-kira 15 orang termasuk perempuan untuk memasak. Jadi tugas dari tim pertama yang dikirim itu untuk membuat barak darurat. Mereka membuat barak darurat itu dengan bahan seadanya. Tiangnya dari bambu dan atapnya dari seng. Tidak berapa lama kemudian, ada pengiriman kedua, itu berkisar 20 orang, termasuk saya.
Kerja rodi Saat di Moncongloe, mula-mula kami dibagikan tanah seluas dua hektare per orang untuk digarap. Tapi tidak berapa lama setelah kami mulai menggarap tanah, terjadi perubahan. Karena kekhawatiran para perwira para tapol akan kaya jika dibiarkan leluasa menggarap tanahnya masing-masing, maka dilakukan rapat oleh para perwira di KAPOM. Pembicaraan tersebut akhirnya memutuskan agar semua tapol ditugaskan untuk mengerjakan kebun milik para petugas. Sehingga tanah seluas dua hektare milik para tapol tidak bisa digarap karena harus mengerjakan kebun para petugas. Kami dipekerjakan secara rodi di kebunkebun petugas. Tiap pagi kami harus bekerja sampai sore dan tidak ada bagi hasil antara petugas dan para tapol. Malah saat itu kami juga membuatkan rumah untuk para petugas, jadi ada
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
tukang kayu dan tukang gergaji yang harus masuk hutan mencari kayu yang cocok untuk dibuat menjadi balok-balok, papan, dan lain-lainnya. Itu kerja rodi semua, tanpa digaji. Jadi begitulah perlakuan petugas kepada kami. Setiap hari, pekerjaan kami mengolah lahan mulai dari mencangkul, menanam, dan merawat tanaman sampai bisa dipanen. Hasil pertanian seperti ubi kayu, kacang-kacangan dan lain-lain kemudian dijual untuk petugas sendiri, dan dari hasil itu juga para petugas bisa membeli motor. Pokoknya hidupnya baik dan itu semua dari hasil kerja kami. Bagi tapol yang bermalas-malasan dan tidak mau bekerja, mereka dikembalikan masuk ke kamp penahanan. Salah satu kawan saya bernama Supardi pernah dipukuli dengan pistol besi sampai kepalanya pecah dan berdarah-darah. Beberapa kali Komandan yang memimpin para tapol di Moncongloe bergonta-ganti. Komandan yang pertama bernama Rakimin, lalu diganti dengan Bonar Siregar asal Batak, kemudian diganti lagi oleh orang Manado, namanya Toliu. Tidak berapa lama kemudian Toliu diganti oleh Wahyudin Lubis. Saat Pak Toliu jadi komandan, kami mengusulkan agar kami kerja setengah hari saja, agar setengah harinya lagi bisa kami gunakan untuk kerja di kebun masing-masing. Usul kami akhirnya diterima. Jadi kami menanam ubi kayu, pisang dan kacang dikebun kami.
Pelecehan seksual Di kamp pengasingan Moncongloe pernah ada pelecehan seksual. Ceritanya begini, saat itu memang ada wanita-wanita yang biasa dipanggil ke rumah petugas untuk memasak jagung, lalu mereka dipulangkan jauh malam. Seorang wanita bernama Norma Intan mengaku pernah dilecehkan oleh komandan kamp Bonar Siregar. Pelecehan yang lainnya juga dialami oleh Hatipa, dia malah diperkosa hingga hamil saat diundang ke rumah Letnan Kasim. Sesudah itu, Letnan Kasim kemudian memanggil salah satu tahanan, namanya Rasyid. Tahanan itu diminta oleh Letnan Kasim untuk menikahi Hatipa. Tapi Rasyid tidak bersedia, sehingga akhirnya Hatipa menggugurkan kandungannya itu.
Tapol sakit tanpa pengobatan Selama di Moncongloe, ada beberapa tahanan yang jatuh sakit bahkan sampai meninggal di dalam tahanan. Saya ingat beberapa tahanan yang terkena penyakit waktu itu, diantaranya adalah Bagio, dia itu sakit jantung. Ada lagi tahanan bernama Jaruddin, dia terkena penyakit sesak nafas sampai meninggal. Andi Zemmeng kepala penerangan Provinsi Sulseltra meninggal dunia disebabkan penyakitnya yakni muntah darah. Kemudian tahanan lainnya
13
yaitu Lasanu orang Parepare dan Zakaria yang juga sakit sampai meninggal di Moncongloe. Di sana ada juga poliklinik dan dokter, tapi pengobatan yang dilakukan hanya sekadarnya saja. Belakangan kami oleh petugas bahwa tidak ada lagi pengobatan untuk tapol, tetapi kami tetap ngotot datang ke klinik. Beberapa tahanan yang meninggal kemudian dibawa ke Makassar oleh pemerintah, karena tidak ada pemakaman di Moncongloe. Keluarga korban yang tinggal disekitar Makassar datang ikut di pemakaman, adapun keluarga yang tinggal jauh seperti di Selayar, hanya kabar kematian mereka saja yang disampaikan. Selama kami ditahan, pembesuk hanya diperbolehkan datang pada hari-hari Minggu. Mereka pun tidak boleh masuk ke dalam kamp, jadi kami bertemu di luar kamp saja, yaitu di pondokan kebun milik para tapol.
Propaganda kebencian Pada mulanya, sebelum datang ke Moncongloe, ada propaganda kebencian kepada masyarakat tentang kami sebagai pembunuh, dan tuduhan lain yang sejenisnya. Sehingga mereka semua takut kepada kami. Tapi lama-kelaman setelah kami mulai bergaul dengan masyarakat, mereka bilang ternyata kami adalah orang baik-baik semua. Tidak ada yang merasa digertak oleh kami. Bahkan ada masyarakat bilang “Kami ini dibohongi”. Mereka akhirnya menerima keberadaan kami, dan jika kami bertemu maereka, biasanya kami membeli pisang milik mereka dengan uang hasil kebun. Saya saat itu seringkali menjual pisang di dalam kamp penahanan dan pembelinya lumayan banyak. Setelah kami dibebaskan, masyarakat datang di barak, banyak yang menangis.
bertanya, “ada apa Jakaria?” Saya jawab, “ada permohonan beberapa tahanan saya bawa pak” Dia kemudian mengambil permohonan itu dari tanganku, kemudian dia lihat lalu kembali bertanya, “adami calonnya?” Saya bilang “iya pak”. Akhirnya setelah bercerita panjang dan Wahyudin Lubis merestuinya, saya langsung pulang ke kamp. Saya dan Susanti bersama lima pasang tahanan lainnya dinikahkan di masjid Kamp Moncongloe pada hari Jumat. Setelah beberapa hari usai pernikahan itu, kami akhirnya dibebaskan. Kami pun membuat acara perpisahan bersama tahanan lainnya, tidak ada keluarga yang datang di acara perpisahan itu. Setelah bebas kami dikirim ke Nanga-nanga. Tanggal 31 Desember tahun 2010, saya kembali di Makassar, jadi selama 33 tahun saya tinggal di Nanga-nanga. Demikian Jakaria mengisahkan peristiwa penangkapannya hingga kembali ke Makassar. Dia menutup ceritanya dengan harapan dikembalikannya hak para korban. “Jangan lagi ada peristiwa seperti ini”, ucap Jakaria.
Menikah di kamp pengasingan Di Moncongloe, saya bertemu dengan seorang wanita bernama Susanti. Dia adalah tenaga kesehatan, kerjanya mengajarkan kepada para anggota teori dan praktek. Tenaga kesehatan ini bukan hanya di Makassar, tetapi ada juga di beberapa daerah, seperti di Parepare, Palopo, dan Kendari. Jadi waktu kejadian itu, Susanti sedang bertugas di Makasssar hingga akhirnya ditangkap oleh petugas. Saya pun bersama dengannya di dalam tahanan sampai dikirim ke Moncongloe. Setelah itu kami bertemu, kenalan,danakrab sampai akhirnya saya berpacaran dengannya.. Saat pernikahan itu, kami berjumlah lima pasang tahanan. Kami memasukkan permohonan kepada Wahyudin Lubis sebagai komandan kamp yang sedang menjabat saat itu. Saya sendiri yang membawa permohonan itu ke rumah komandan. Saat saya sampai, pak Wahyuddin Lubis langsung 14
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Reportase
Elegi Perempuan Gerwani Oleh : Petunia Siang hari pada 1 Oktober 1965, kabar melalui radio tentang G30S di Jakarta terdengar di Makassar, tentara dan polisi mondar-mandir di jalan-jalan mengamankan situasi. “Ada apa ini?” tanya Rukiah. “Tenang! tenang! itu urusan orang pusat kita tidak tau apa-apa, jangan ada yang macam-macam”, Rukiah meniru ucapan Supiati Aminuddin Muklis, pimpinan Gerwani cabang Makassar.
Cita-cita revolusioner
R
ukiah dengan ciri fisik memiliki tahi lalat di dahi, lahir di Makassar pada 7 Februari 1940. Bapaknya bekerja sebagai juru mudi kapal dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Sebelum G30S, Rukiah tercatat sebagai anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dengan jabatan sekretaris cabang Makassar. Ia bergabung dengan Gerwani saat umurnya masih 16 tahun, usia dimana perempuan Makassar dianggap sudah matang untuk menikah secepatnya. Dengan pikiran mudanya, Rukiah terbilang berani melawan budaya konservatif yang menganggap bahwa derajat perempuan masih di bawah laki-laki. Demi melawan itu, Rukiah memilih untuk masuk dalam organisasi Gerwani yang dinilainya sebagai organisasi yang menolak imprealisme, poligami dan budaya konservatif. Padahal stigma di masyarakat organisasi wanita masih dianggap tabu. Perempuan dinilai tidak cocok dalam organisasi, tidak pantas mengeyam pendidikan tetapi pantas dimadukan. Rukiah berujar, “kalo saya tidak ikut organisasi wanita atau perempuan saya akan tetap berkubang di dalam sistem masyarakat yang ada pada waktu itu”. Rukiah tampil ke depan untuk mendongkrak sistem kolot itu. Dengan tutur suara bersemangat Rukiah bercerita semasa di Gerwani. Menurut Rukiah, “Gerwani sama sekali tidak ikut berpolitik cuma gerakan sosial”. Gerwani sering mengadakan pelatihan-pelatihan
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
kepada anggota, perekrutan anggota baru, barisberbaris, mendirikan TK di Jl. Cendarawasih, Jl. Lemboto dan Karangayar sekaligus sebagai pengajar termasuk dirinya. Pernah pula dia dan beberapa teman di Gerwani nekat menurunkan poster film “buka-bukaan” Amerika di bioskop. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan protes kepada pemerintah yang dianggap memberikan izin masuk kepada imperialis. Gerwani juga ingin memperlihatkan bahwa ibu-ibu rumah tangga dan wanita-wanita muda juga menolak budaya asing karena dinilainya dapat merusak budaya kita. Hal ini membuatnya berurusan dengan kepolisian. Sekitar tahun 1960-an pernah terjadi aksi pencoretcoretan di jalan oleh Pemuda Rakyat menanggapi adanya pameran mobil Holden yang juga memamerkan perempuan-perempuan dalam pakaian minim dan dikenal dengan peristiwa Holden. Dalam peristiwa itu beberapa Pemuda Rakyat ditahan, Rukiah sebagai anggota Gerwani menjadi delegasi untuk membantu membebaskan Pemuda Rakyat karena sealiran dengan ideologi Gerwani, sama-sama menolak imprealisme. Semenjak itu Gerwani memiliki kedekatan dengan Pemuda Rakyat, Rukiah kemudian menjalin hubungan dengan salah satu anggotanya, Marsaid dan sekaligus menjadi suaminya pada tahun 1963an. 15
Jangan masuk rumah saya! Beberapa hari setelah peristiwa G30S, dua teman Rukiah di Gerwani, Marsina dan seorang lagi yang Ia tidak diingat namanya datang menemui ketua cabang, Supiati namun mereka tidak kembali lagi ke rumah. Anak mereka datang mencari ibunya ke rumah Rukiah. Pada 17 Oktober 1965 Rukiah semakin gelisah, suaminya juga tidak pulang ke rumah, “saya sudah gelisah kenapa tidak kembali ke rumah ini”, ujarnya. Namun belakangan diketahui teman dan suaminya itu sudah ditahan di Kodim. Malam harinya suara teriakan dari kerumunan massa memenuhi jalan. “Ganyang PKI, ganyang Gerwani”, Rukiah bercerita menirukan suara teriakan massa. Dia hanya sendiri, anak pertamanya yang berusia dua tahun telah diungsikan sebelumnya ke rumah ibunya karena takut. Seraya mengintip dari dalam rumah “kok mereka masuk di lorong rumah saya?”, kata Rukiah. Perasaan takut pada kerumunan massa, membuatnya lari meninggalkan rumah. Dalam kondisi perut besar hamil delapan bulan, Rukiah memanjat pagar tembok dengan menumpuk batang pisang sebagai tempat pijakan. Ia lari bersembunyi di rumah tetangganya sembari melihat rumahnya di obrakabrik massa, beras berhamburan, lemari pakaian dibongkar, dan beberapa anggota massa pulang dengan memakai jas dan kain sutra hasil rampasan di rumah milik Rukiah.
kerumahnya. Dia takut, “kalo kita ditangkap (terus) dibawa, kan tidak apa tapi kalo kita dihakimi massa?”, utarnya. Bersama dengan iparnya, dia bersembunyi melintasi pinggir pantai Mariso. Setiba di rumah ibunya, ada tetangga yang mengenali Rukiah. Dia mendengar ada tetangga yang mengatakan dimana ada anak ayam pasti disitu ada induknya. Rukiah menilai mereka juga akan mengganyang rumah ibunya yang dia datangi Karena takut akan bertambahnya korban, Rukiah kembali mengungsi dari rumah ibunya. Saat air laut sedang surut, Rukiah ditemani ipar, berjalan kaki ke pantai Losari. Kemudian naik becak ke rumah tantenya di dekat gedung bioskop. Setiba dirumah tantenya.“tante saya juga takut saya masuk dirumahnya, takut juga diganyang rumahnya”, ujar Rukiah. Dia hanya bisa tidur di luar rumah saat itu. “Jadi saya terpaksa bermalam di luar rumah dari pada di rumahnya orang nanti diganyang lebih baik saya di luar rumah, saya pikir saya juga bisa lari”, tutur Rukiah mengenang momen itu. Keesokan harinya, Rukiah menyimpulkan sudah tidak ada lagi tempat untuk lari, dia takut rumah yang didatangi akan diganyang lagi oleh massa anti-PKI. Rukiah memilih untuk mengamankan diri di kantor polisi.
Di pagi-pagi buta. Setelah pengganyangan, Rukiah dijemput ipar karena tidak berani lagi kembali
Hidup mati anak Saya di tanganmu Saat Rukiah di kantor polisi, pada 28 Oktober 1965, dari kejauhan sudah terdengar teriakan-teriakan ratusan demonstran yang ingin menyerbu kantor polisi. Para petugas yang berjumlah belasan tidak dapat menahan demonstran menerobos masuk. Mereka yang mengamankan diri di kantor polisi pada berhamburan berlarian melompati pagar. Rukiah mendengar cerita dari sekitar bahwa yang dicari perempuan hamil dan punya tahi lalat di dahi, pimpinan Gerwani kata mereka. “Saya ini kan perut besar jadi saya lari keluar lewat pagar kawat 16
menelusuri perumahan penduduk di belakang”, tuturnya. Setelah situasi sudah aman Rukiah dan mereka yang mengamankan diri kembali lagi ke kantor polisi. Pada 2 November 1965, Rukiah dibawa ke rumah bersalin. Setelah melahirkan anak keduanya, dua hari setelahnya dia dijemput lagi petugas ke kantor polisi untuk diamankan “yang penting istilahnya diamankan”, Rukiah menambahkan. Saat Hari Pahlawan 10 November 1965 kembali terjadi dua kali penyerbuan. Mereka yang mengamankan diri disana
kembali pada berhamburan bersembunyi di perumahan warga. Rukiah berucap “saya sebenarnya sudah hampir putus asa karena saya punya bayi baru satu Minggu”. Rukiah sendiri ditempatkan di kantin dan bersembunyi di dalam lemari pengap tanpa udara, lemari dilempari batu dan dipukul dengan sekop oleh demonstran “saya hampir pingsan”, kata dia. Rukiah mengenali salah seorang diantara demonstran, Ia adalah keluarga dari suaminya yang antipati terhadap Rukiah dan tergabung dalam Pemuda Ansor.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Sore harinya demonstran kembali mengganyang kantor polisi. Rukiah membawa lari bayinya dengan memanjat pagar kawat menelusuri rumah mencari tempat bersembunyi. “Saya gendong bayi saya, saya gedorgedor pintunya, cuma tidak ada mau kasi masuk, untung bayi saya ini tidak nangis kasian”, ujar Rukiah. Rukiah bersembunyi di bawah tempat tidur salah satu rumah warga. Setelah demonstran pergi, Rukiah kembali. “Saya pasrah, saya kira ada demo lagi terserah lah tinggal Allah saja terhadap umatnya ini, saya bilang saya pasrah sekali”. Karena tekanan terus menerus, Rukiah
Pelarian ke Jawa Ketakukan akan ditahan lagi, Rukiah lebih memilih untuk merantau ke Surabaya dengan membawa anak keduanya. Karena merasa khawatir akan membahayakan nyawa anaknya, dia menitipkan anak pertamanya ke neneknya. Seraya berpesan “ibu tenang saja, kalo mereka menanyakan saya, bilang saja saya meninggalkan Makassar entah kemana”, kata Rukiah. Dia juga berpesan pada adiknya, “dek kalo ada sampai apa-apa, ada yang cari saya tolong selamatkan ibu”, tambahnya. Rukiah juga berpamitan pada suaminya yang masih ditahan “saya mau meninggalkan kota demi keamanan anak saya, jiwa saya merasa terganggu dengan tekanan-tekanan dari masyarakat”, ucap Rukiah ke suaminya. “Oke yang penting bisa jaga diri, tidak usah pikirkan saya disini nanti tidak lama juga saya akan menyusul”, Rukiah menirukan ucapan suami kepadanya. Demi memenuhi kebutuhan hidupnya disana dia menjual motor Vespa miliknya sekaligus sebagai ongkos kapal pemberangkatan.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
menitipkan anak keduanya kepada iparnya “saya bilang hidup matinya tergantung ditanganmu”, Rukiah bercerita mengenang momen itu sambil menitihkan air mata. Keesokan harinya, pada 11 November 1965 pihak kepolisian sudah tidak sanggup mengamankan anggota PKI dan korbannya dari amukan demonstran yang berjumlah ratusan. Kepolisian menyerahkan mereka ke pihak militer untuk diamankan. Dengan menggunakan empat mobil mereka dipindahkan saat tengah-tengah malam untuk dibawa ke Malino. Para tahanan geger, kabar yang beredar mereka
Pada tahun 1968 saat gejolak revolusi membuncah di kota Paris, militer di Jawa kembali melakukan “pembersihan” anggota PKI dan simpatisannya setelah terjadinya peristiwa Blitar. Rukiah kembali ditangkap pada tahun itu juga. Penangkapannya dikenal dengan istilah “samber raga”. Sebelum dimasukkan ke dalam sel tahanan, para tapol dipukuli dan ditendang hingga terjerambab, itu hanya perkenalan menurut petugas militer.“Pada saat penyiksaan petugas menyalakan radio tape keras-keras sehingga teriakan para tapol tidak terdengar sampai keluar”, kenang Rukiah saat diwawancarai tim CaKa. Dalam proses introgasi, petugas akan berhenti melakukan penyiksaan jika telah mendapat jawaban sesuai keinginan mereka, yaitu para tahanan terlibat dengan G30S. Para tahanan pasrah saja mengatakan kalo mereka terlibat. Ini dikarenakan sudah tidak sanggup menahan siksaan dari petugas “Jadi kalo kita bohong dia akan percaya, harus mengetahui tentang G30S,
akan dieksekusi disana “kita sudah gelisah karena katanya mau ditembak mati”, ujar Rukiah. Pada akhir Desember tahanan kembali dipindahkan ke mes BPUP. Kec. Mariso yang sekarang menjadi BULOG. Menurut kabar yang mau dibebaskan berada dulu disana. Selang beberapa hari setelahnya sebagian dari mereka dibebaskan bersyarat dengan wajib lapor dua kali seminggu di kelurahan termasuk Rukiah. Namun, secara tidak langsung status mereka yang sebelumnya hanya mengamankan diri di kepolisian telah berubah menjadi tahanan politik (tapol).
harus mengetahui ini dan sebagainya, padahal kita kan sama sekali tidak tahu”, kata Rukiah. Rukiah bercerita tentang seorang polisi wanita yang baik padanya, Sumarmi Suharko namanya. Sumarmi itu membawakan makanan, pakaian, sepatu, dan mainan untuk anaknya. Dengan adanya rencana pemindahan tahanan lagi, Rukiah takut anaknya akan mendapat siksaan dari petugas. Dia juga tidak mau anaknya hidup dalam dunia yang ia rasakan. Rukiah memutuskan untuk memberikan anaknya ke Sumarmi. “bu ini anak saya, saya serahkan kepada ibu untuk ibu mengambil sebagai anaknya sendiri, jangan anggap anak saya dan sepenuhnya hidupnya, saya serahkan kepada ibu”, tulis Rukiah dalam suratnya. Semenjak ditangkap tahun 1968, Rukiah dalam penahanannya telah dipindahkan berkali-kali. Terakhir sempat ditahan di Penjara Sidoarjo sampai dibawa kembali ke Makassar pada tahun 1972. 17
Dikembalikan ke Penjara Makassar Pada tahun 1972 Rukiah dikembalikan ke penjara Karebosi, Makassar. Di penjara itu, dia kembali bertemu dengan suami yang juga masih di tahan. Pada tahun 1973 Rukiah sempat di bawa ke kamp pengasingan Moncongloe. Petugas memberikan perintah kepada Rukiah untuk bekerja di rumah petugas sebagai pembantu. Tapi Rukiah menolak bekerja “saya tidak mau bekerja, saya sudah
tahanan ini saja sudah setengah mati, makan terbatas tidak ada kebebasan, petugas dapat enaknya kita yang capek”, kata Rukiah. Tak sampai satu bulan Rukiah dikembalikan ke penjara Karebosi. Tiga tahun setelahnya, Rukiah dipindahkan ke Gunung Sari pada tahun 1975 bersama lima wanita lainnya. Sedangkan bagi tahanan laki-laki dipindahkan ke penjara Maros. Pada tahun 1977, para tahanan dibebaskan termasuk
suami dan adik Rukiah dibebaskan. Pihak militer memberikan pilihan kepada tahanan, bagi yang sudah tidak punya tempat pulang bisa ikut sebagai sukarelawan, dan akan diberikan tanah 2 hektar dalam program transmigrasi ke Nanga-nanga, sekitar 10 km dari kota Kendari. Rukiah dan suaminya memilih ikut sebagai sukarelawan dan diberangkatkan bersama sekitar 40 sukarelawan lainnya.
Kehidupan di Nanga-nanga Sesampainya di Nanga-nanga ternyata hanya ada barak, lahannya pun masih hutan belantara. Tidak seperti kampung transmigrasi lainya yang punya rumah dan sebagian tanahnya sudah dibuka. Para tahanan langsung di tempatkan di barak yang dijaga oleh militer dan sipil. Beberapa hari setelah dilakukan absen dan baris-berbaris. Status “sukarelawan” mereka masih terkungkung dalam pengawasan militer. Rukiah dan suaminya mendapat masing-masing tanah 2 hektar. Para “sukarelawan” membuka lahan dengan cara gotong royong, satu lahan dikerja bersama sampai setengahnya dan kemudianlagi ke lahan lainnya. Sebagian lahan yang telah terbuka kemudian dibangun rumah berbahan papan. Setelah rumah dibangun, setengah lahan sisanya kembali dibuka secara bersama. Pada akhir tahun 1979, para “sukarelawan” dibebaskan secara penuh. Dalam surat
18
pembebasannya, tertera bahwa tahanan politik hanya mendapat status golongan tahanan bukan vonis sidang penangkapan. Rukiah sendiri mendapat golongan B. Dia bercerita bahwa memang penahanannya selama 14 tahun sama sekali belum pernah disidang sehingga ia tidak tahu dengan jelas mengapa Ia ditahan sebegitu lamanya. Pada tahun itu juga Rukiah melahirkan anak ketiganya.
membawanya, dia merasa bahwa Sumarni lah yang membesarkannya. Tapi Rukiah berpesan jikalau anaknya ingin pergi menjenguk ke Kendari jangan dihalangi, Ia pun memberikan alamatnya. Beberapa tahun berselang, anak keduanya datang menjenguk Rukiah di Kendari. Hingga kini anak keduanya masih menetap di kota Malang.
Kini dalam usia 77 tahun Rukiah masih tinggal di Nanga-nanga. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Anaknya juga sudah menikah dan Rukiah sudah memiliki beberapa cucu. “Saya berharap pemerintah meluruskan sejarah, biar tidak ada lagi diskriminasi terhadap semua eks-tahanan politik. Semoga generasi sekarang sudah Berbulan-bulan lamanya mencari, tidak ada lagi embel-embel eksakhirnya dia bertemu anak yang PKI, semoga generasi sekarang keduanya. Saat itu anak keduanya bisa melanjutkan perjuangan agar sudah menginjak bangku SMA. Dia tidak ada lagi penindasan”, dapat mengenali anaknya karena harapnya. (*) punya tanda hitam diperut. Saat itu Rukiah tidak lantas
Setelah kehidupan Rukiah mulai membaik, Rukiah membawa bapak, adik dan anak pertamanya ikut ke Nanga-nanga. Rukiah juga bersama suami dan dibantu kemanakannya berangkat ke Jawa untuk mencari anak keduanya yang dia berikan kepada Sumarmi sewaktu masih ditahan di Jawa.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
i
Kal
P ag ar K awa t
m ur U Dap um
Bara anit kW
aki
-L Laki arak
B
a Paga
alai
Aula/B
at
r Kaw
eja
Ger
Ruang
Pos Yandu Masjid
Jala
n se tapa k
Pos Keamanan
Jalan
U Ilustrasi Denah Kamp Pengasingan Moncongloe (Sumber ; Hasil ilustrasi berdasarkan observasi tim CaKa dan keterangan langsung bekas tanahan politik) Bekas Kamp Pengasingan Moncongloe berada di Dusun Moncongloe, Desa Paccelekang, Kec. Pattallassang Kab. Gowa. Tidak ada lagi peninggalan bangunan barak-barak, yang tersisa dan masih dapat di temui diantaranya bangunan masjid, gereja, pos yandu (dulunya pos keamanan). Ketiga bangunan yang tersisa dalam kondisi telah direnovasi, dan masih digunakan oleh masyarkat sekitar sampai hari ini.
1922 PKI mulai masuk dan menanamkan pengaruhnya, melakukan propaganda serta menyebarluaskan programprogramnya melalui media yang sudah dikuasainya yaitu “Pemberita Makassar�.
1950 Permulaan musim Paceklik Petani Sulawesi Selatan karena iklim yang tidak menentu. Keadaan ini berlangsung lama dan menyebabkan kerugian yang besar bagi seluruh lapisan masyarakat Sulawesi Selatan.
1961 Diangkatnya 34 Anggota DPR-GR Sulawesi Selatan yang didominasi oleh orang-orang militer yang Anti-Komunis.
1951 Pemberontakan DI/TII meletus di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pemberontakan ini menjadi salah satu faktor terjadinya musim paceklik para petani.
1952 Beberapa partai politik membentuk organisasi buruh, diantaranya Masyumi dengan SBI, PNI dengan HIMBI, PSI dengan GOBI, sementara PKI dengan SOBSI. Ini menjadi awal terjadinya pemogokan buruh besar-besaran di Sulawesi Selatan. Masalah yang menjadi tuntutan yaitu kenaikan upah, pemberhentian, hadiah lebaran, dan jaminan kesehatan.
1954 Seksi Comite (SC) PKI Sulawesi Selatan diubah menjadi Central Comite (CC) PKI untuk wilayah Sulawesi dan Maluku yang berpusat di Makassar. Tujuan pengubahan ini adalah kosentrasi perekrutan anggota sebanyak-banyaknya.
1960 Kodam XIV Hasanuddin mulai mengawasi propaganda Komunis di Sulawesi Selatan, sehingga Panglima Kolonel Inf. M. Jusuf melarang semua aktivitas PKI di wilayah yurisdikasinya. Pemerintah juga membuat aturan agar setiap kegiatan PKI harus dilaporkan kepada Kepala Daerah, Bupati atau Walikota.
1957 Para Perwira militer mencetuskan Permesta (Pemberontakan setengah hati) dengan memberlakukan pemerintahan darurat militer di Sulawesi Selatan.
1955 Panglima Warouw (Komandan Tentara dan Teritorium (TT) VII/Indonesia Timur) menyusun organisasi OPI X dengan mengangkat Mayor M Saleh Lahade sebagai perwira penanggungjawabnya. Hal ini dilakukan untuk mengatasi perekonomian yang kian buruk untuk tetap bisa membiayai operasi militer di Sulawesi Selatan. Hal ini juga yang menjadi awal kepercayaan diri perwira Sulawesi Selatan untuk mencetuskan Permesta dan otonomi daerah
1984
1963 CC PKI mengeluarkan keputusan adanya keinginan menerapkan strategi revolusioner “ala Republik Rakyat Cina” melakukan aksi massa dengan jalan aksi sepihak. Keputusan ini kemudian melahirkan polarisasi masyarakat mejadi dua pihak.
1965 Peristiwa G30S meledak dan menjadi awal pembantaian besar-besaran terhadap orangorang yang terlibat PKI. Di Sulawesi Selatan, melalui surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP. 024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965, Kodam XIV Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan pembubaran PKI di Sul-Sel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan PKI.
1966 Para Tahanan Politik mulai dipindahkan dari Kodim ke Penjara. 50 orang tapol dipindahkan ke Malino, 70 orang dipindahkan ke Asrama Lompobattang atau KISS (RTM), dan sekitar 60 orang dipindahkan ke Maros. Tetapi beberapa bulan kemudian sebagian tapol tersebut dipindahkan kembali ke penjara Makassar di depan lapangan Karebosi.
1967 Wali Kota Pare-Pare A. Mallarangeng menggunakan tenaga tahanan politik untuk membangun jalan raya dan memberikan keringanan kepada para tapol yaitu memperbolehkan untuk pulang ke rumah pada jam 16.00 dan tetap kembali ke penjara pada pukul 20.00
Moncongloe diserahkan kepada pemerintah daerah Maros dan Gowa sebagai wilayah administratif.
1977 Penahanan Kamp Tapol Moncongloe berakhir. Para tapol dibebaskan dan dikembalikan kepada masyarakat dengan status terasingkan dan dicap sebagai “komunitas tidak bersih lingkungan”.
1972 Terjadi pergantian Komandan CPM Kodam XIV Hasanuddin dari Let. Kol. CPM. W.R. Samallo ke Let. Kol. CPM Sarosa. Pergantian ini berefek pada pergantian Kamsing dari kapten CPM Rakimin ke Kapten CPM Seregar dan nama Kamp Pengasingan (Kamsing) menjadi Kamp Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Moncongloe.
1971 Tapol gelombang selanjutnya didatangkan menjelang pemilihan umum. Mereka merupakan tapol golongan C.
1969 Pemerintah Orde Baru melalui Kodam XIV Hasanuddin membuka Kamp Pengasingan Tahanan Politik di Moncongloe. Secara bertahap para Tapol didatangkan dari berbagai penjara di Sulawesi Selatan. Pada gelombang pertama, sebanyak 466 Tapol golongan B, kemudian disusul 455 Tapol lainnya.
1968 Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengeluarkan kebijakan penanganan tahanan politik. Pertama Gol A diselesaikan lewat pengadilan, Gol B tetap ditahan berdasarkan pertimbangan keamanan, dan Gol C dibebaskan dan dikembalikan ke masyarakat.
Reportase
Saya Tidak Tahu, Saya Hanya Bujang Sekolah Oleh : Uk Marco
“Ketidaktahuannya mengenai PKI, serta pembelaannya tidak dapat menyelamatkan dia dari status Tapol”
Saya ditanya “Kau kenal dengan orang ini (polisi menyebutkan nama orang yang terlibat PKI).”, Saya bilang tidak kenal. “Masa' kamu tidak kenal? (menirukan si pemeriksa). Disitu tetap dipaksa, saya dipukul pake palu-palu karet, di belakang kepala (sambil dua tangannya memegang kepala menirukan saat diperiksa waktu itu) sampai kepala bengkak saya rasa. Sekitar dua tiga jam (diintrogasi) disuruh kembali ke rumah. Setelah satu minggu baru saya ditahan di penjara.
Masa tapol, masa berkebun untuk sang komandan
D
ia adalah Dg Rabai atau biasa disapa Tata' Rabai. Seingatnya, saat ini umurnya sudah 82 tahun. Dulu dia adalah bujang sekolah di SD 66 Ujung Tanah, Kota Ujung Pandang. Sehari-hari bertugas membuka dan mengunci ruang kelas. Tak ada pekerjaan lain selain menjadi bujang. Istrinya ikut membantu mencari nafkah dengan berjualan di kantin sekolah. Sekolah tempatnya bekerja memang sering digunakan rapat oleh Gerwani dan ormas lainnya. Jika ruangan sekolah digunakan pertemuan, tugas Rabai membuka dan mengunci ruangan. Menurutnya setiap diadakan rapat, biasanya dia duduk di belakang menunggu hingga rapat 22
selesai. Tugasnya sama, dia memastikan ruangan kelas sudah tertutup. Sewaktu peristiwa G30S 1965 terjadi, Tata' Rabai dituduh terlibat. Dia pun ikut menjadi korban penangkapan. Alasannya, namanya ada dalam daftar hadir peserta rapat bersama Gerwani. Dia harus pasrah menerima kesialan yang menimpahnya. Dia harus menjalani hidup sebagai tahanan politik (tapol) selama kurang lebih tujuh tahun. Dia dipaksa mengakui terlibat PKI dan mengalami beberapa kali pemukulan saat pemeriksaan. Meskipun dia tak terlibat, Rabai menjadi tahanan. Meskipun saat diperiksa di penjara, dia
sempat melakukan pembelaan diri. Jika dirinya tak terkait, namanya hanya tercatat dalam daftar. “Memang ada namaku di situ, kan kebetulan saya jadi bujang sekolah, saya buka itu ruangan orang pakai rapat, saya hadir disitu, tidak ada lain itu saja,” kata Tata Rabai membela diri dihadapan petugas. Bukannya dilepas, justru terus menerus ditanya dan didesak petugas. Tak ada jawaban lain yang ampuh ketika itu selain menjawab “Iya”. “Dari pada terus dipukul.”. Ketidaktahuannya mengenai PKI serta pembelaannya tidak dapat menyelamatkan dia dari status tapol.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Pada tahun 1965 dia mulai menjalani hidup di Rumah Tahanan Militer (RTM) Makassar. Tik lama berada di RTM, dia dan sembilan tanahan lainnya di kirim ke Home Base Linud yang berada di Kalukku. Lokasi Home Base Linud tidak jauh dari Kamp Pengasingan Moncongloe, Maros. Di sana dia lebih aman sebab bebas dari kekerasan fisik. Walaupun sudah tidak mengalami pemukulan dan kekerasan fisik, tapi selama kurang lebih tujuh tahun dia harus menjadi abdi. Dia bekerja menggembala sapi dan mengerjakan kebun Komandan Kompi (Namanya Syarif). Dia pun bekerja tanpa digaji sepersen pun. “Saya di suruh mengembala sapi, jadi pigi mengembala sapi di gunung, itu sapinya panglima (namanya lupa), sapinya di jagai, tidak ada gaji. Disuruh kerja kebunnya komandan kompi, saya makan dari hasil kebun itu. Tidak dikasih kebun untuk kerja sendiri, kebunnya tentara di kerja”. “Saya tidak disiksa ji, tapi temanku sering dipukul, Bahar itu orang selayar, umpamannya dia
kerja tidak selesai kerjanya, di pukul mi, dekatan rumah ka' itu kasian, saya sama ka' komandan kompi”.
kita kerjakan. Ada waktu hujan deras, nah itu jembatan harus dikerja hujan- hujan, tetap kerja,” tambahnya.
Selain tinggal di rumah komandan kompi, dia lebih banyak tinggal di pondok kebun yang digarapnya. Tidak ada fasilitas dalam pondok hanya pelita berbahan minyak tanah sebagai penerang. Disanalah hari-harinya dia nikmati menjadi tapol. Seorang tapol yang berkebun menanam ubi, jagung dan tanaman lainnya hingga berbuah hasil. ”Kita tanam jagung, kalau tua kita panen, pipil, jemur,” ujarnya. Hasil kerja dari kebun itu, rata-rata setiap panen bisa mencapai 1 ton bahkan lebih. Setelah jagung kering, mobil datang mengangkut hasil panen untuk dijual ke kota. Akan tetapi, hasil penjual sepenuhnya dinikmati oleh Komandan kompi sebagai majikan Tata' Rabai.
Jelang setahun sebelum bebas, dia dikirim masuk ke kamp pengasingan Moncongloe. Di kamp pengasingan itulah dia tinggal bersama tahanan lainnya, tahanan yang lebih dahulu menempati barak-barak dalam kamp. “Pada waktu itu kita pindah di kamp, tidak lama di sana dikasi bebasmi,” katanya sambil terus mengingat. Kemudian pada tahun 1972, dia dibawa dari kamp ke Penjara Karebosi. Disanalah dia dibebaskan.
Setelah bebas, dia tidak lagi memiliki rumah di Ujung Tanah. Dia pun memilih kembali ke pondok kebun bersama keluarganya. Untungnya bekas majikannya bersedia. Rumah di Ujung Tanah telah dijual istrinya. Menurut keterangan istrinya, Bukan hanya mengerjakan kebun setelah Tata' Rabai ditahan, tapi pekerjaan kasar lainnya dilakoninya. Dia dan tahanan yang terpaksa rumahnya dijual demi menyambung hidup bersama lain pernah mengerjakan anaknya. jembatan. “Apa saja diperintah
Menjadi penjaga masjid Kini Tata' Rabai bersama seorang istri dan anak semata wayangnya, tinggal di atas lahan yang bukan miliknya. Dengan kondisi rumah beralaskan tanah, dinding kayu digrogoti rayap, dan atap mulai kebocoran. Tidak ada yang spesial isi dalam rumah Rabai. Di dalam tidak ada kamarnya, hanya ada dinding papan setengah badan yang membatasi antar ruangan. Tempatnya tidur besi yang sudah karatan dengan dapur seadanya. Di ruang depan terdapat TV, itu pun sudah rusak. Pasca bebas sebagai tahanan politik pada tahun 1972, Tata Rabai tidak lagi bekerja sebagai bujang sekolah di SD 66. Dia bertahan hidup dengan bekerja sebagai tukang batu dan berkebun untuk menghidupi keluarganya. Usianya sudah lanjut. Dia memutuskan untuk tidak lagi
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
memaksakan tenaga. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya Rabai mengurusi masjid tepat berada di depan rumahnya. Setiap hari dia membersihkan masjid, menyalakan radio sebagai mengingat waktu shalat. Rabai digaji Rp450 ribu per tiga bulan, itulah yang menjadi tumpuan hidupnya. Kadang kala jika belum gajian, untuk makan sehari-hari betapa sulit. Dia pun kerap mendapat bantuan dari tetangga. Tetangga Rabai cukup baik, mereka kadang datang membawakan beras, ataupun singkong. Keluarganya memang terdaftar sebagai rumah tangga miskin di Kecamatan Moncongloe. Rabai harus bekerja sendiri, istrinya juga sudah menua dan anak perempuan satusatunya mengalami kebutaan sejak kecil. Kini Rabai tetap ber juang untuk keluarganya. (*)
‘‘
Kini Tata' Rabai bersama seorang istri dan anak semata wayangnya, tinggal di atas lahan yang bukan miliknya.
23
Reportase
Korban Pelanggaran HAM Butuh Keadilan Sejarah Oleh : Uk Marco
B
angsa ini masih belum menemui titik terang sejarah. Gelap abadi hampir saja terjadi andai Orde baru masih bercokol di pucuk pemerintahan. Tragedi berdarah yang terjadi pasca G30S 1965, menyisakan luka dan tanya dalam memori kolektif bangsa ini. Orang-orang yang tertuduh komunis merasakan bagaimana kemanusiaan tidak memiliki harga di mata negara atas kendali Mayjen Soeharto. Mereka dibunuh dengan berbagai cara yang tidak lazim. Dipenjara/diasingkan tanpa proses hukum, dikucilkan, dan bahkan para keluarganya bertahun-tahun mengalami diskriminasi oleh rezim Orde Baru. Rasa-rasanya, demokrasi di Indonesia mengalami kegamangan persis era sebelum 65. Bagai kebebasan bergerak bagi orang yang kaki tangannya di potong lalu dimasukkan ke dalam kardus, kemudian diperintah untuk bermain sepakbola. Sementara wasitnya adalah orang buta yang kelaparan. Itulah demokrasi era 65. Pasca tumbangnya rezim diktator Orde Baru, negara perlahan telah memperlihatkan adanya upaya dalam penggalian sejarah dan penegakan keadilan bagi semua anak bangsa yang menjadi korban tragedi 1965/1966 dan pelanggaran HAM lainnya. Berbagai Undang-Undang dan kebijakan diterbitkan sebagai
24
usaha perlindungan HAM terhadap mereka yg menjadi korban kesialan sejarah, sebuah kesewenang-wenangan yang terorganisir. Pada tahun 1999, terlahir UU No. 39 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Dan di tahun 2000 lahir juga UU No. 26 mengenai Pengadilan HAM. Kedua UU ini lahir sebagai bentuk upaya perlindungan rakyat dari kesewenang-wenangan rezim yang berkuasa sebagaimana yang pernah dilakukan oleh rezim Soeharto. Selanjutnya TAP MPR No. V/MPR/2000 mengamanatkan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menjalankan tugas untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM masa lalu serta melaksanakan rekonsiliasi. Bahkan pada tahun 2004 kembali terbit UU No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun usaha rekonsiliasi dan pemulihan hak para korban hingga kini belum juga tuntas, karena masih banyak juga pihak yang menolak Negara melalui pemerintahnya melakukan permohonan maaf. Simposium yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 April 2016 di Hotel Arya Duta merupakan usaha dari pemerintah untuk membedah tragedi 1965 melalui pendekatan sejarah, juga masih
mendapat respon negatif dari berbagai kalangan. Parahnya, sampai-sampai membuat simposium tandingan. Bahkan akibat dari simposium 65 yang digagas oleh FSAB (Forum Silaturahmi Anak Bangsa) yang dipimpin Letjen (purn.) Agus Wijoyo ini dianggap sebagai usaha membangkitkan PKI atau Komunis Gaya Baru (KGB), oleh kelompok garis keras anti-PKI. Reformasi berjalan dengan penuh reot, memang masih dibayangi oleh Orde Baru. Baik melalui penguasa, ormas-ormas sisa Orba maupun kuatnya narasi-narasi sejarah anti komunisme yang telah bertahun-tahun membius dalam memori bangsa. Membuat usaha penggalian sejarah kelam bangsa ini harus tetap didorong. Walau sudah banyak narasinarasi yang bermunculan terkait peristiwa politik 65/66 utamanya yang berperspektif korban. Baik melalui buku, majalah dan mediamedia online. Namun, belum semua fakta-fakta terbuka dan juga proses transformasi narasi kesejarahan ini belum secara menyeluruh. Tentu semuanya butuh peran dari berbagai elemen, baik itu pemerintah, ormas-ormas/LSM, terutama peran media sebagai sarana informasi dan edukasi masyarakat. Menurut Budi Setyarso yang merupakan Pemimpin Redaksi
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Tempo, ada beberapa temuantemuan baru tentang peristiwa tahun 1965/1966 yang coba diungkap. Dalam tragedi tersebut selama bertahun-tahun dari Orde Baru, yang selalu dianggap hitam putih itu adalah antara ABRI dan PKI, putih yang ABRI dan yang hitam PKI. “Tidak menutup kemungkinan bahwa disitu ada hijaunya, ada abu-abunya dan segala macam,” papar Budi saat ditemui di Hotel Aston Makassar (30/11/2016). Pada faktanya, logika yang dipakai oleh sisa-sisa generasi penguasa orde baru mengamini oposisi-binner. Misalnya, kalau bukan Pro Orba, ya PKI. Apa yang terjadi dimasa lalu memang harus menjadi perhatian. Mengingat bahwa setelah peristiwa 30 September banyak sekali orang-orang yang ditangkap, dipenjarakan, dibunuh tanpa diadili sama sekali. Mereka bertahan hidup dengan susah payah bertahun-tahun di pulau buru dan kamp-kamp pengasingan lainnya.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Jadi kalau itu ditutup-tutupi dan tidak coba dibuka secara jujur dan faktual, maka tidak ada pelajaran yang dapat dipetik. “Saya katakan bahwa tidak pernah ada satu sejarah yang hitam putih, yang satu A benar yang satu B salah, selalu ada yang di tengah-tengahnya atau grade yang lain, dan itu harus dibuka semua, demi orang bisa belajar,” lanjut Budi menjelaskan. Sebagai Negara demokrasi, bangsa ini seharusnya lebih bersifat terbuka terhadap apa yang telah lama menjadi rahasia umum. Peristiwa 65 ini jelas-jelas masih coba disembunyikan bahkan dilupakan begitu saja, padahal ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan korban yang telah merasakan kekejian masa lalu ini. “Jika ada kesalahan masa lalu, yah Negara harus minta maaf. Karena jelas-jelas Negara terlibat di sini.” tutur Pemimpin Redaksi majalah Tempo tersebut.
umum, maka tidak akan ada persoalan yang signifikan, justru yang akan menjadi persoalan dan akan berdampak buruk di masa depan ketika kasus ini terus ditutup-tutupi. “Jadi menurut saya semua yang di buka diskusinya itu malah mengurangi potensi ledakan di masa depan”.
‘‘
Jika ada kesalahan masa lalu, yah Negara harus minta maaf. Karena jelasjelas Negara terlibat di sini”
Budi juga menambahkan bahwa, ketika kasus ini dibuka secara
25
Media harus ikut mendorong pemulihan HAM Memang jika kita memerhatikan, bahwa informasi mengenai kasus kasus pelanggaran HAM khususnya kasus 65, masih dikuasai media Nasional. Media lokal masih belum begitu tertarik mengangkat persoalan-persoalan semacam ini. Maka dari itu sangat dibutuhkan kerja dari penggiat-penggiat HAM untuk mengangkat persoalan ini tidak hanya pada aras Nasional, tapi upaya penyelesaian kasus ini harus kita dorong bersama melalui aras lokal. Mengingat juga bahwa hampir diseluruh wilayah NKRI terdapat korban, baik yang dibantai, maupun yg hanya dipenjara tanpa proses hukum. Sudah banyak media yang berani membicarakan persoalan peristiwa 65/66 ini. Tidak terkecuali media yang secara aktif ikut memberi kontribusi dalam usaha menarasikan sejarah yang berdarah itu,
26
adalah majalah Tempo yang di beberapa edisi liputannya mengangkat persoalan peristiwa tersebut. Tempo juga beberapa kali menerbitkan buku biografi tokoh-tokoh kiri Indonesia yang seperti disembunyikan dari sejarah, mulai dari biografi D.N Aidit, Syam Kamarusaman, Nyoto dan tokoh kiri lainnnya. Berikut ini pernyataan mas Budi terkait peran media juga termasuk pers mahasiswa mengenai kasus pelanggaran HAM ini. “Disitu media menurut saya rasa sangat pas untuk membicarakannya secara terbuka tentang apapun. Dan kita selalu kalau media yang menjaga posisinya akan selalu membela yang lemah, memberikan suara kepada orang yang tidak tersuarakan. Jadi walaupun mayoritas orang mengganggap ini membahayakan posisi mereka, kalau kita mengganggap justru yang benar itu yang kecil kita
harus ambil posisi itu. Sering sekali sih kita pada posisi yang harus melawan pandangan mayoritas orang, karena kita mengnggap apa yang kita yakini itu benar jadi selalu begitu, selama itu tidak dilakukan dengan sembarang, basisnya harus argumentative, harus penegakannya pada perlindungan hak asasi manusia. Kalau yang sekarang relevan anti korupsi, itu adalah sifat yang harus diambil. Apalagi ini pers mahasiswa itu harus membuat orang berfikir lagi tentang sikap yang diambil selama ini sudah benar atau tidak, atau sebenarnya mereka hanya ikut arus orang banyak. Kita harus mendidik orang untuk berfikir terbuka. Di kantor kebetulan ada pameran grafis, ada satu kutipan yg menurut saya relevan, itu stiker di lipat gitu, jadi kalau itu kebuka baru kebaca, berbunyi Pikiran akan berfungsi hanya kalau terbuka,
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
kita itu harus membuka pikiran banyak orang, itu menurut saya fungsi media. Bukan berarti bahwa apa yang kita sampaikan itu 100% benar, tapi kita dengan basic yang kita punya kita meyakini ini benar, benar bagi masyarakat banyak, dan itulah panduannya, jangan panduan karena ditekan orang atau panduan karena media kita punya seseorang.� Tidak hanya media sekelas Tempo yang sudah berani mengangkat persoalan ini, pada tahun 2015 media yang dikelola oleh Pers Mahasiswa juga pernah mencoba melakukan penggalian faktafakta baru terkait kasus yang terjadi pada 65. Yaitu LPM Lentera yang dalam edisi majalahnya berjudul Salatiga Kota Merah, mencoba melakukan penelusuran di Kota Salatiga yang juga merupakan salah satu kota yang banyak memakan korban.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Menurut Bima, mantan pemimpin redaksi Lentera saat diwawancarai melalui pesan elektronik, dia menuturkan bahwa pers mahasiswa harus mengambil peran alternatif mengingat banyak media nasional yang telah dikuasai oleh banyak kepentingan. “Pers mahasiswa perlu terlibat aktif soal itu. Saat media nasional yang tersentralisir dan berorientasi jakartasentris atau jawasentris, pers mahasiswa harus menjadi media alternatif yang menyorot isu-isu lokal, termasuk pengungkapan sejarah dan demokrasi di aras lokal� pungkas Bima.
Dia menambahkan bahwa sejauh ini pengungkapan kejadian 65 belum sepenuhnya dilakukan sampai ke bagian terkecilnya, hanya diangkat secara garis-garis besarnya saja, “Jadi, sejauh ini sejarah yang versi "lurus" sudah banyak berkembang. Sayangnya, liputan mengenai peristiwa G30S dan pembantaian 65/66 adalah narasi secara makro, atau apa yang terjadi secara keseluruhan pada aras nasional. Apa yang terjadi di daerah belum banyak digali, walau sudah tercatat pada banyak literatur sejarah, termasuk Salatiga.�
Dia melihat banyak pers mahasiswa cenderung bermain di dalam kampus, mengangkat isu-isu kampus, walaupun hal ini tidak masalah sebenarnya. Tapi mereka justru terlokalisir, macam pelacuran, pelacuran intelektual tepatnya, karena mereka terlepas dari masyarakat umum di sekitar kampus.
Media seharusnya mengambil peran banyak pada peristiwa ini, karena secara kolektif kasus ini masih dipandang sebagai sesuatu yang sangat tabu, sehingga penyadaran kolektif melalui media baik secara nasional maupun lokal apalagi pers mahasiswa harus ikut mengambil bagian. (*)
27
“Kita harus jujur pada sejarah� _ Gusdur
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Opini
Sejumlah Mahasiswa berbagai kalangan melakukan aksi di depan Istana Bogor pasca peristiwa G30S (Sumber Foto : gettyimages.com)
Gerakan Mahasiswa di Bawah Bayang Bayang Pembantaian Tahun 1965-1966 Oleh : Immank “Yang paling berkepentingan akan masa depan adalah kami (mahasiswa), oleh karena itu penentuan masa depan yang tidak terlepas dari keadaan kini adalah juga hak dan kewajiban kami. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjalanan bangsa Indonesia.� -Poin Keempat Petisi 24 Oktober Dema UI, 1973 Hari yang lain, suasana kampus masih sama. Kuliah, kantin, nongkrong, tidur di sekret, berulang dan terus berulang, sampai tak terasa ternyata tahun baru sudah di depan mata. Ah, dengan berakhirnya tahun 2017 ini, maka genap sudah 52 tahun sejak aksi heroik 'mahasiswa' dalam mengebiri kekuasaan rezim Soekarno. Namun, setelah melalui 52 tahun yang penuh dengan berbagai dialektika, penguasa bukannya menjadi lebih maju dalam berdemokrasi, gelagat mereka hari ini malah semakin 'sakit'. Dengan kondisi mereka yang sedang sakit ini, mereka terus memperkuat hegemoni mereka, mencoba menularkan penyakitnya kepada masyarakat. Mahasiswa sendiri, yang merupakan bagian dari masyarakat, memiliki waktu luang yang relatif besar serta kelompok yang berkecimpung dalam dunia intelektual. Mereka juga memiliki
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
sejarah pergerakan yang sangat progresif - namun juga penuh dengan konflik internal - masih belum memberikan pendidikan yang memadai bagi penguasa semenjak gerakan reformasi. Di Indonesia, pergerakan mahasiswa selalu memiliki peran dalam berbagai momen perubahan sosial dan politik. Khususnya pada momen pergerakan mahasiswa angkatan '66, generasi mahasiswa yang berandil besar dalam penggulingan rezim Soekarno di tahun 1967. Bisa dikatakan bahwa pada periode ini lah sejarah tentang pergerakan mahasiswa di Negara Indonesia dimulai dan merupakan dasar berbagai pergerakan mahasiswa setelahnya. Semangat perjuangan angkatan '66 ini terus kita warisi sampai sekarang. Entah berasal dari cerita mengenai momen- momen pergerakan mereka ketika pada masa penggulingan rezim, atau melalui
29
karya-karya tokoh terkemukanya. Namun, dibalik penampakan penuh kejayaan ini, terdapat suatu konflik internal dalam tubuh generasi tersebut. Mahasiswa di masa kekuasaan Soekarno terbagi ke dalam dua kubu yang saling berlawanan yakni kelompok yang dominan, kelompok mahasiswa kiri atau yang pro dengan Soekarno seperti CGMI dan GMNI dan kelompok mahasiswa minoritas. Kelompok yang kontra terhadap rezim Soekarno atau anti-kiri yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), kelompok mahasiswa yang kini kita kenal sebagai representasi angkatan '66. KAMI sendiri terdiri dari kumpulan beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti kelompok mahasiswa underbow partai MASYUMI dan PSI. Terbaginya kedua kubu ini tidak berlangsung lama. Pada peristiwa pembantaian 1965, setiap orang yang pro Soekarno dan PKI termasuk mahasiswa dibantai oleh militer bersama dengan organ massa bawahannya, serta terlibat pula beberapa anggota KAMI yang memang banyak berjaringan dengan pihak militer. Bila tidak dibunuh, kelompok mahasiswa yang pro Soekarno ini disiksa kemudian dipenjarakan sebelum akhirnya diasingkan ke kamp konsentrasi. Akhirnya, mahasiswa yang tersisa, orang-orang yang menjadi representasi kelompok mahasiswa di Indonesia akhir 1960-an hanyalah mereka yang pro terhadap penumbangan rezim Soekarno dan anti-kiri. Mereka yang masih bebas berkeliaran pada masa dimana ibu kawannya diperkosa dan dibunuh, tetangga mereka satu per satu diculik dan tidak pulang, paman dan bibi mereka diasingkan ke kamp-kamp konsentrasi oleh penguasa. Para mahasiswa ini kemudian membangun narasi sejarah pergerakan mahasiswa dari perspektif mereka sendiri. Dengan dilandasi oleh penilaian atas sikap mahasiswa dimasa pembantaian yang cenderung bungkam atas peristiwa pembantaian tersebut, serta kebutuhan para mahasiswa akan alat analisis yang dieksplisitkan oleh Negara dalam memahami kondisi yang ada. Generasi baru mahasiswa disekitaran tahun 1980an mulai mempertanyakan peran pendahulunya dalam aksi-aksi penumbangan rezim Soekarno. Dipicu dengan pembebasan 12.000 tahanan politik G30S dari kamp konsentrasi Pulau Buru, mahasiswa kemudian terdorong untuk kembali memahami sejarah, khususnya sejarah pembantaian 1965. Usaha yang jelas akan mengganggu kekuasaan rezim orba yang dimapankan oleh sejarah yang dirakitnya sendiri. Karenanya, pada masa-masa itu, Negara mencoba melumpuhkan usaha tersebut dengan melancarkan kampanye masif untuk memperkuat cengkraman
30
narasi sejarah versinya, seperti memasukkan doktrinnya ke dalam kurikulum sekolah, membuat film propaganda Pengkhianatan G30S-PKI, dan berbagai usaha lainnya. Namun, pada tahun 1998 kesadaran untuk mempertanyakan narasi sejarah versi orba telah menyebar dan mulai ramai dilancarkan. Tangan yang penuh darah hasil dari pelanggaran HAM oleh penguasa orde baru mulai tersingkap. Alhasil, fakta-fakta yang terkumpul hasil dari perjuangan panjang pelurusan sejarah pembantaian 1965 semakin lengkap. Pada periode inilah perbedaan dalam pembacaan sejarah transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto antara organisasi mahasiswa yang dulu merupakan bagian dari KAMI yang jelas eksistensinya akan terganggu dengan adanya sejarah alternatif tersebut di satu sisi dan organisasi mahasiswa yang baru lahir di rezim orde baru di sisi lainnya mulai menjadi tajam. Sampai kini, kasus-kasus pelanggaran HAM, baik oleh Negara maupun kelompok masyarakat binaan Negara masih kerap terjadi. Berbagai pengalaman penuh darah rakyat Indonesia belum dapat dan mungkin tidak akan dapat menyadarkan penguasa akan pentingnya menjaga hak asasi manusia. Kasus pembunuhan Munir, kekerasan terhadap petani, pembungkaman mahasiswa, diskriminasi terhadap eks-tapol, genosida di Papua, pelarangan penyebaran ideologi tertentu serta tidak diratifikasinya konvensi anti penghilangan paksa, merupakan beberapa dari sekian banyak masalah HAM yang masih menggerogoti wajah kemanusiaan kita. Kasus pelanggaran HAM oleh negara yang terbesar yang pernah terjadi yakni pembantaian 1965 masih belum ditanggapi dengan serius oleh penguasa, bahkan sejarah yang lurus mengenainya masih disangsikan oleh mereka. Ini menandakan betapa bebal dan butanya penguasa di tanah ini terhadap persoalan HAM. Bila kasus pelanggaran HAM masa lalu yang juga merupakan kasus pelanggaran HAM terbesar di Indonesia ini tidak juga diperhatikan oleh penguasa, maka jelaslah berbagai kasus pelanggaran HAM setelahnya juga akan diperlakukan sama oleh mereka. Sebagai bagian dari mahasiswa Indonesia yang telah memiliki sejarah pergerakan yang panjang sehingga dapat banyak belajar dari kesalahan masa lalu, kita kini diperhadapkan dengan berbagai persoalan masa lalu yang menuntut untuk ditanggapi. Namun, dengan kondisi mahasiswa hari ini, dimana mahasiswa yang terlibat dalam gerakan politik masih terkotak-kotakkan dalam berbagai golongan semu akibat dari pemahaman sejarah yang berbeda-beda seturut dengan kepentingan kelompoknya, dan yang tidak politis sekedar
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
menjalani kepentingannya masing-masing dalam rangka membangun masa depannya yang sakinah mawadah warohmah, seperti pandangan khas Orde baru yakni tugas mahasiswa adalah kuliah, tidak untuk berpolitik, maka masih sangat sulit untuk menghadapi persoalan tersebut. Karenanya, opsi yang tersisa bagi kita untuk mencapai ribuan langkah kedepan ini pertama-tama adalah dengan
mundur satu langkah terlebih dahulu. Dengan kata lain, tugas untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi hanyalah merupakan kunci untuk membuka gerbang awal menuju perjalanan panjang perjuangan mahasiswa dan masyarakat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya mari kita segera merapatkan barisan dan mengambil satu langkah mundur ini. Mari! (*)
Wawancara Khusus
Melihat dari Sisi Kemanusiaan Oleh : Max Id Usaha Rekonsiliasi korban peristiwa pelanggaran HAM pasca G30S secara Nasional belum menemukan titik terang. Pemerintah Pusat dan juga pemerintah daerah lainnya, patut mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Rusdi Mastura. Rusdi Mastura dengan besar hati saat menjabat sebagai Wali Kota Palu menjadi orang pertama yang mewaliki pemerintah menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM, terutama yang terjadi pada 1965 di Kota Palu. Apa yang dilakukan dan bagaimana prosesnya?, berikut kutipan wawancara khusus Tim Catatan Kaki bersama Rusdi Mastura (Mantan Wali Kota Palu), yang berkenan kami wawancarai via telepon pada 6 Desember lalu; Bagaimana bapak melihat peristiwa pembantaian orang-orang PKI dan partisipannya pada tahun 1965-1966? Rusdi Mastura /Sumber : alibaba.kumpar.com
Pertama saya tidak mau berkomentar soal keberpihakan saya, karena hal ini merupakan situasi dan kondisi yang cukup rumit dan tragis. Saya Cuma mau menekankan bahwa ada masa lalu kita yang kelam dimana orang-orang saling menyalahkan, saling bunuh-membunuh, padahal kita adalah bangsa yang halus. Saat itu PKI yang mendapat dukungan dari presiden Sukarno melakukan agitasi dan provokasi yang berlebihan, sehingga mendapat perlawanan dari mana-mana. Pada akhirnya para tentara turun ikut terlibat untuk mengamankan tetapi terjadi balas dendam di antara tentara dan PKI. Saya melihat bahwa kejadian itu sangat politis dan tidak berdiri sendiri, sehingga akhirnya
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
kaum komunis/PKI yang tidak bersalah pun akhirnya diembat dan disapu bersih. Nah ini yang berlebihan dilakukan oleh tentara. Tetapi jika kita juga melihat provokasi-provokasi PKI dan pemberontakan yang begitu hebat melalui beberapa pemberitaan media seperti Harian Bintang Timur saat itu, dimana PKI juga dibela oleh Sukarno yang akhirnya berhadapan dengan angkatan darat. Karena itu, muncul keberanian dari seluruh masyarakat untuk melakukan balas dendam kepada PKI. Permasalahannya yang salah bagi saya adalah masyarakat kita melampiaskan dendam yang berlangsung cukup lama, seperti membuat aturanaturan yang melanggar Hak Asasi Manusia, misalnya para anggota PKI dan keluarganya tidak memiliki hak
31
kebebasan untuk mengakses beberapa pelayanan publik seperti sekolah, pegawai negeri, itu kan sudah melanggar hak asasi manusia bagi saya. Waktu itu saya berusia sekitar 15 tahun, saya masih SMA kelas 1 dan aktif di Masyumi, tapi sekali lagi saya tidak mempersoalkan apakah dia berasal dari Masyumi, PKI atau kelompok manapun, saya melihatnya dari sisi kemanusiaan, mereka para korban ini harus dilihat sebagai manusia yang harus dihormati. Sewaktu bapak menjadi Wali Kota Palu, bapak pernah melakukan usaha Rekonsiliasi dengan pihak keluarga korban pembantaian 65-66, bisa bapak ceritakan seperti apa? Iya betul waktu itu saya masih menjadi Wali Kota Palu, pada intinya bagi saya seluruh masyarakat kota Palu entah itu komunis atau apapun, dia tetap masyarakat saya yang harus dilindungi, diberdayakan, dan disejahterakan. Karena saya tahu persis, bahwa peristiwa tahun 65-66 ini juga terjadi di daerahdaerah dan mereka yang diduga terlibat juga ditangkap semuanya. Terjadi pula balas dendam yang berlebihan diluar peri kemanusiaan sehingga saya menganggap itu sebuah kesalahan dan saya harus meminta maaf. Alasannya bukan karena dia PKI, tetapi saya minta maaf kepada siapa saja yang dilanggar kemanusiaannya dan saya berpikir harus membela mereka, karena telah terpinggirkan, jadi miskin, yah saya harus berdayakan mereka. Langkah apa yang Bapak lakukan pada proses rekonsiliasi tersebut? Waktu itu saya minta maaf secara terbuka dan menindaklanjuti dengan program-program memberantas kemiskinan dan pemulihan hak-hak bagi keluarga korban 65-66. Jadi hal pertama yang saya lakukan adalah membuat PERWALI (Peraturan Walikota) No. 25 melalui Biro Hukum Kota Palu agar supaya hak-hak para keluarga korban pembantaian 65-66 itu bisa dikembalikan dan mereka bisa diberdayakan lagi. Selain itu saya juga mengajak organisasi komnas HAM untuk bersama-sama memikirkan bagaimana menanggulangi persoalan ini. Sehingga akhirnya komnas HAM waktu itu tertarik dan menginginkan agar ini ini menjadi isu nasional dan juga bisa direplikasikan di kabupaten-kabupaten lain. Sehingga dari kabupaten-kabupaten kota itulah bisa membawa wacana ini sampai ke pusat sehingga pemerintah pusat bisa mengeluarkan satu gagasan besar tentang persoalan 65-66 itu. Bagaimana bentuk dukungan atau pun tekanan dari pihak-pihak terkait?
32
Pemerintah khususnya di Kota Palu sangat mendukung dan sangat antusias, tidak ada penantangan dari kelompok-kelompok lain. Ada dari beberapa kelompok-kelompok agama yang menantang, meskipun saya juga anak dari aktivis Masyumi, saya dekat dengan Al khairat, saya juga ketua Pemuda Pancasila tapi saya pikir ini adalah kesalahpahaman. Saya pikir alasan saya cukup jelas yaitu kemanusiaan. Saya diajarkan untuk saling menghormati pandangan orang lain. Dan tidak ada yang bisa melarang saya jika ini merupakan murni alasan kemanusiaan. Bagaimana tanggapan Bapak terkait pembubaran kelompok-kelompok diskusi terkait 65-66 yang marak terjadi di Pulau Jawa belakangan ini? Di Jawa memang kondisinya berbeda, sejak awal memang kondisi pertentangaanya terlalu keras. Misalnya di Jawa Timur itu ada pertentangan antara pemuda Anshor dan Pemuda Rakyat, sehingga pengaruhnya bisa dirasakan sampai sekarang, begitupun agitasi dan aksi yang orang-orang lakukan juga terlalu besar. Tetapi bagi saya tidak ada persoalan, selagi pemimpin daerahnya berwibawa dan bisa berkomunikasi dengan baik bersama semua pihak terkait tentang kegiatan yang sedang diperbuat oleh masyarakatnya. Bagi saya tidak ada masalah, misalnya di daerah saya Kota Palu, saya tetap berbuat baik kepada masyarakat, entah dia komunis atau apapun, dia tetap masyarakat saya, kalau ada orang yang mau berbicara tentang masa lalu komunis, kan tidak apa-apa. Saya biasa di lapangan bertemu dengan orang-orang komunis secara terbuka dan kita berdialog, dia adalah masyarakat saya juga. Mereka punya hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Apa harapan Bapak untuk Pemerintah Indonesia saat ini terkait usaha rekonsiliasi ? Harapan saya, dengan apa yang sudah saya lakukan itu, tidak usahlah kita menunggu Negara untuk bergerak, kita bisa memulainya sebagai Bupati, Wali Kota, Gubernur di seluruh Indonesia. Sehingga kalau semua aparat pemerintah berpikir seperti kita, maka kita bisa kembali memberdayakan semua masyarakat kita, tanpa memperdulikan dia komunis atau bukan. Kemudian kita meminta maaf jika ada pelanggaran di masa lalu, dengan begitu saya pikir ini semua bisa selesai, sehingga dengan begitu negara, melalui presiden bisa dengan mudah meminta maaf secara resmi. Kita bikin rekonsiliasi Nasional, tapi saya juga tidak setuju kalau ini kemudian dibawa ke rana hukum atau apapun, intinya kita semua salah, kita bangsa yang memiliki masa lalu yang salah, tapi mari kita menyudahinya, jangan karena kesalahan ini kita sampai kehilangan rasa kemanusiaan. (*)
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Tokoh
Salawati Daud, Tokoh Perempuan Revolusioner Sulawesi Selatan, Sejarah Tak Mencatat Itu...! Oleh: Ay
“Seperti halnya dengan banyak tokoh penting yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Namanya dikubur dalam-dalam oleh sejarah Orde Baru yang lahir diatas lumuran darah satu juta anak bangsa�
T
ak banyak orang yang mengenalnya. Sosok perempuan berdarah Sulawesi yang aktif dalam gerakan perempuan pada masa perjuangan kemerdekaan hingga sebelum pembantaian massal orang-orang yang terlibat komunis tahun 1965-1966 terjadi. Berjuang membela hakhak perempuan pada masa kolonial Belanda hingga pasca kemerdekaan. Dia adalah Charlotte Salawati Daud, yang merupakan kawan seperjuangan Emmy Saelan. Ia merupakan figur wanita yang tangguh dalam berpolitik dan juga turut berjuang melawan penjajah Belanda serta mempertahankan kedaulatan bangsa. Tapi namanya tak seperti Emmy Saelan yang dikenal akan keberaniannya melempar granat kearah pasukan Belanda sesaat setelah ditangkap. Salawati Daud seperti hilang ditelan sejarah, bahkan tulisan mengenai dirinya juga jarang didapatkan, padahal sangat besar sumbangsinya dalam memberi sumbangan pemikiran, tenaga dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Salawati Daud aktif menyuarakan pembelaan terhadap kaum perempuan melalui pers, hal ini di
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
http://www.berdikarionline.com
buktikan dengan diterbitkan majalah wanita di Makassar pada tahun 1948-1949 yang dipimpin oleh dirinya. Majalah tersebut terbit mingguan dan oplahnya mencapai ribuan tiap kali terbit. Selain majalah itu, Salawati Daud juga menerbitkan majah bersatu pada tahun 1953 yang oplahnya kurang lebih mencapai kisaran yang sama. Tak hanya lewat media Salawati Daud juga turut terlibat dalam organisasi dan gerakan, ia merupakan salah satu pelopor terbentuknya gerakan perempuan di Indonesia. Pada tahun 1950, Salawati Daud terlibat dalam pembentukan Gerakan Wanita Sadar yang di singkat Gerwis yang kelak mengganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan juga aktif menjadi pengurus didalamnya. Organisasi ini aktif dalam kampanye dan aksi-aksi menuntut pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), serta menantang kembalinya modal asing, dan mengutuk peristiwa reaksioner pada 17 oktober 1952 (upaya sejumlah perwira AD mengkudeta Bung Karno dan membubarkan parlemen). Tidak hanya itu aksi yang dilakukan oleh kumpulan pelajar
di Makassar pada 29 oktober 1949. Hal ini dipicu karena ditangkapnya Mania Sophian selaku pimpinan organisasi pusat Pemuda Nasional Indonesia oleh Netherlands-Indies Civil Administration (disingkat NICA), yang membuat Salawati Daud dan kawan-kawanya di partai kedaulatan rakyat (PKR) mendirikan tim penerangan yang bertujuan melakukan kampanye penolakan terhadap kehadiran kolonialis Belanda di Sulawesi. Selain berkampanye, tokoh perempuan ini juga ikut menenteng senjata dalam memerangi tentara NICA. Beberapa sumber menyebutkan dia kerap ikut serta dalam berbagai tindakan bela negara, salah satunya bersama Emmy Saelan dalam penyerbuan tangsi polisi di Masamba. penyerbuan itu dipimpin olehnya. Pasca di pukul mundurnya NICA oleh pejuang kemerdekaan di Makassar dan diperolehnya pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia. Salawati Daud dipercakan menjadi Walikota di Makassar 1949-1950, ia merupakan Wali Kota perempuan pertama di Sulawesi - Selatan bahkan di 33
Indonesia. Pada saat dia menjabat sebagai Wali Kota Makassar, Salawati Daud masih aktif dalam mempertahankan kedaulatan negara. Seperti keterlibatannya melawan pemberontakan yang dilakukan Raymond Westerling. Salawati Daud juga aktif bergerak dalam partai politik, dia pernah terlibat aktif sebagai anggota Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). Partai ini sangat pro Republik dan memperjuangkan kaum-kaum perempuan. Setelah di PKR ia lalu beranjak ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Seperti yang tercacat dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, pada pemilu tahun 1955 Ia masuk daftar calon DPR dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada enam anggota Gerwani yang masuk
daftar calon DPR PKI, yakni Suharti Suwarto, Ny Mudigdio, Salawati Daud, Suwardiningsih, Maemunah, dan Umi Sardjono. Meletusnya peristiwa G30S atau yang biasa juga di kenal sebagai peristiwa Gestok, membuat semua ormas-ormasnya dituding mendalangi peristiwa tersebut dan dilakukan penangkapan. Saat usai bersidang di parlemen, Salawati Daud bersama teman-temannya yang berasal dari PKI seperti Umi Sardjono, Ny.Mudigdo, ditangkap oleh tentara dan dibawah ke markas Kostrad. Selepas peristiwa itu kabar tentang Salawati Daud tak terdengar lagi. Sosok perempuan tangguh yang membela kaum perempuan, berani melawan penjajah, dan mempertahankan kemerdekaan hilang dalam ingatan bangsa. (*)
Langit Terbuka Luas Kenapa TIDAK Pikiranmu
34
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
m] [Review Fil
The Act Of Killing Oleh: Veraya An Riuh
“Enam Lima” adalah ingatan kelam untuk negara ini. Tahun yang terbentuk oleh perang ideologi dan pemegang trofi adalah fasisme. Jutaan korban jiwa melayang secara paksa, menuntut keadilan atas bentuk genosida negara. Diskriminasi, pelecehan dan trauma menghantui keluarga korban hingga sekarang. Barang siapa yang mencoba mencari kebenaran atas peristiwa “Enam Lima”, lekaslah belajar untuk tahan terhadap intimidasi, karena setiap ingatan dipaksakan terendap untuk tidak gemercik lagi. Ada sebuah ajaran yang dilarang di negara ini. Ajaran itu bernama Komunisme. Jhosua Oppenheimer lewat karyanya berjudul “The Act Of Killing” akan membawa kita kembali mengungkit ingatan masa kelam genosida di Indonesia. Film bergenre dokumenter ini mengambil sudut pandang eksekutor pembantaian. Adalah Anwar Kongo yang menjadi tokoh preman bioskop. Masa muda Anwar yang kelam memaksanya untuk terlibat dalam agenda besar pemberangusan kaum komunis. Mabuk menjadi stimulant Anwar ketika mengeksekusi. Seni pembunuhan seperti penggunaan kawat untuk melilit leher sampai penebasan yang membabibuta dipraktekkannya. Pemuda Pancasila menjadi organisasi masyarakat yang sangat bertanggungjawab atas
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
pelanggaran hak asas ini. Organisasi yang berkedok Nasionalis Medan menjadi anjing penjaga dalam pelestarian status quo fasisme. Organisasi yang makan dan besar dari uang rampokan pengusaha Cina yang ingin tetap hidup. Entah premanisme seperti inikah yang memang diinginkan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam ceramahnya di Musyawarah Pemuda Pancasila. Walaupun dengan kebanggaan heroik pelaku eksekutor, dalam beberapa segmen menyatakan penyesalan dan kesadaran bahwa yang mereka lakukan di masa lalu adalah suatu hal yang tidak manusiawi. Membawa kembali aktor ke dalam narasi masa lalu , kembali mengunjungi beberapa tempat yang menjadi lokasi penjagalan. Hal ini menjadi refleksi peristiwa masa lalu yang pernah dilakukannya. Namun para eksekutor dikuatkan dengan pembelaan berkedok Nasionalisme atau jihad memperjuangkan agama. Film ini menjadi wajib bagi anak yang lahir di era TV hitam putih. Era yang melalui TV dengan siaran ketika tanggal 30 September muncul Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Hegemoni yang dilakukan melalui media telah meracuni pikiran. Usai menonton film ini, kita akan mendapat serum untuk racun yang telah ditanamkan ke otak.
35
bum] l A w e i v [Re
Dialita
Menyanyikan Semangat Di Masa Kelam Oleh: Veraya An Riuh
Hanya semangat yang ku ingat ketika seseorang bercerita tentang album ini. Dialita “Dunia Milik Kita” adalah sebuah album yang bercerita tentang perlawanan dengan ingatan yang dipaksa hilang. Suatu pelanggaran hak asasi yang secara kolektif dan sadar direkonstruksi dalam pikiran kita melalui buku pelajaran sekolah. Sebuah kebohongan sejarah mencekoki pikirankita. Paduan suara Dialita datang bercerita tentang kisah lama menagih keadilan. Mengingatkan kita bahwa kita pernah memiliki kekuatan yang sangat besar. Album ini berisi sepuluh lagu yang akan memanjakan telinga pendengarnya. Bukan hanya sekedar nyanyian biasa, beberapa musisi yang tidak asing mengiringi paduan suara ini. Adalah Frau, Cholil Mahmud, Sisir Tanah, Nadya Hatta & Prihatmoko Catur, Kroncongan Agawe Santoso dan Lintang Radittya. Beberapa musisi ini turut andil dalam mengkomposisi kembali lantunan lagu dalam album ini. Lagu ini juga dikumpulkan dengan pelik dari ingatan para paduan suara Eks tahanan politik. Kita per tama akan dijemput oleh “Ujian” yang di aransemen oleh Frau. Menyanyikan lagu sedih dengan kobaran semangat suatu keyakinan akan selalu bangkit. Sangat sulit mendengarnya tanpa menjatuhkan air mata. Lagu ini melukiskan kondisi di balik jeruji besi yang penuh cobaan, bagaimana mungkin tahanan politik “Enam Lima” menjalaninya tanpa kegetiran. Sebuah keyakinan yang membuat mereka kuat menghadapi diskriminasi. Nuansa ciri khas Cholil dalam bermusik sangat kental dalam lagu “Salam Harapan”. Lagu untuk seorang kawan yang akan menjalani hari. Pendengar mendengar sebuah harapan ketika akan
menjalani rutinitas. Sebuah lagu penyemangat, Cholil berhasil membuat bunyi – bunyian yang menyenangkan dalam lagu ini. Sisir tanah, Frau dan Lintan Gradittya mampu menyulap “Di Kaki –kaki Tangkuban Perahu” menjadi sebuah kolaborasi petikan gitar dan alunan piano bertemu menjadi satu lewat cerita perjuangan petani melawan pemerintah. Ladang tempat mereka bertani menyatukan tekad dan harapan aturan yang mensejahterakan dimasa depan. Lagu ini membawa kita ke sawah bersama petani yang dibelai angin. “Padi untuk India” adalah lagu yang berisi catatan sejarah. Pada tahun 1946, India mengalami krisis pangan. Indonesia kemudian berinisiatif memberikan bantuan pangan kepada India Sebagai bentuk solidaritas negara yang dijajah. Sisir tanah memberikan sentuhan kebahagian yang berlebih. Senyuman tidak terelakkan saat mendengar lagu ini. Keriangan ketika membantu seseorang berada dalam jiwa lagu ini. Sebuah lagu berbahasa Spanyol meyelip dalam album ini. Kita pasti mengingat GANEFO sebagai sebuah olimpiade tandingan pada saat olimpiade mencampur adukkan antara politik dengan olahraga. Indonesia kala itu menjadi tuan rumah penghelatan GANEFO pertama. Sisir tanah sukses mengiringi lagu “Viva Ganefo”. Album ini sedikit banyak bercerita tentang sejarah dari masa kelam Indonesia. Pada akhirnya saya dengan penuh semangat mengucapkan selamat menikmati sebuah bayangan dari masa kelam yang menagih, mengajak menari di pasca-reformasi yang berstatus membebaskan hak setiap individu tapi melarang asupan pengetahuan tentang Marxisme, Leninisme, dan Komunisme.
Resensi Buku
Kamp Pengasingan Moncongloe: Menolak Romantisme Sejarah
Judul Buku : Kamp Pengasingan Moncongloe Pengantar : Erwiza Erman Penulis : Taufik Penerbit : Desantara Cetakan : Pertama, 2009 Tebal : xxii + 278 halaman
Oleh: Petunia
Kita telah menikmati demokrasi meskipun reotpincang di sana-sini. Berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto semakin memperpanjang daftar kekuasaan yang jatuh pada akhir abad ke 20 tahun Masehi di Nusantara. Para kaum reformis khususnya sejarawan dan para aktivis HAM mulai berani membuka sandiwara Soeharto saat masih berkuasa. Semasa tahun 1965 hingga runtuhnya kekuasaan Orde Baru, rakyat terus di paksakan dengan sejarah tunggal. Gaetano Mosca, jurnalis handal asal Milan menyebutnya sebagai The Ruling Class, seolah-olah sejarah adalah sejarah bagi para pemenang. Adalah hal yang merisaukan karena tidak akan ada cacat dalam alur sejarah seperti itu. Pemenang akan merasa dan terasa sebagai patriot yang telah menyelamatkan bangsa, patriot ala fasis! Dengan menghindar dari sejarah tunggal, para kaum reformis mulai mengancam dalam bukubuku tentang sisi yang dianggap terlarang oleh para Soehartois. Sejarah pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya mulai di reka ulang. Usaha ini bukan hanya berdasar pada kebencian terhadap Soeharto. Namun lebih kepada mengenai hak-hak manusia yang telah terampas dan dilupakan. Demikian pula buku ini adalah usaha untuk membalikkan klaim negara Orde Baru dari bangsa tanpa sejarah ke bangsa dengan sejarahnya sendiri. Buku ini ingin terhindar dari sejarah tunggal yang dikonstruksi oleh antek-antek Orde Baru. Buku ini merupakan tesis Taufik sekaligus antitesis bagi narasi Orbais dalam penyelesaiannya sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah dalam program studi Antropologi Universitas Hasanuddin. Tesis berjudul “Komunitas Tahanan Politik PKI Moncongloe Sulawesi Selatan: Kontrol Negara yang Berlapis (1969-1977)”. Dalam buku ini di bagi dalam beberapa bagian, yakni bab I pendahuluan; bab II kemunculan dan perkembangan PKI di Sulawesi Selatan; bab III
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
Moncongloe: dari hutan menjadi kamp pengasingan tahanan politik; bab IV tahanan politik di Moncongloe; bab V pembebasan tahanan politik; serta kesimpulan dan saran. Dalam mengumpulkan data, Taufik menggunakan metode wawancara dengan eks tapol, petugas inherab baik militer maupun sipil, keluarga eks tapol, dan keluarga petugas. Sedangakan dari sumber tertulis data diambil dari arsip, dokumen dan kepustakaan. Tahun 1965-1966 adalah masa penangkapan secara besar-besaran, basis penangkapan hampir di seluruh provinsi Sulawesi-Selatan, SulawesiTenggara dan Sulawesi-Barat. Banyaknya anggota PKI dan simpatisannya yang tertangkap tak cukup menampung mereka di tempat tahanan. Dalam mengurangi biaya yang besar untuk para tapol (tahanan politik), pemerintah membuat kebijakan untuk mendirikan kamp pengasingan. Di Sulawesi, Moncongloe kemudian menjadi daerah yang terpilih sebagai tempat pengasingan tapol yang dibangun pada tahun 1969. Moncongloe berada di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 16 Km dari ibukota Makassar. Daerah ini kemudian dikenal pula dengan nama “Tanah Merah”. Dalam kamp pengasingan Moncongloe, para tapol kemudian diberikan “pembinaan” mental dan fisik. Penuturan kisah-kisah para tapol menunjukkan adanya eksploitasi tenaga kerja dalam jumlah yang besar dan waktu yang cukup lama. Kerja wajib adalah rutinitas sehari-hari para tapol, apel pada pukul 06.00, berangkat kerja hingga pukul 18.00 di selingi istirahat sejenak pada siang hari. Setelahnya diberlakukan lagi apel malam, para tapol diperiksa, dihitung satu persatu. Tenaga tapol juga dikerahkan untuk mengurus kebun petugas, mereka bekerja tanpa diberikan makan, bahkan apabila tidak memenuhi target akan mendapat pukulan. Dalam memenuhi hasrat petugas, kemudian dibentuk regu yang meliputi regu pembuka lahan, penebang pohon, pengergaji, pencari batu dan penebang bambu.
37
Hasil dari pertanian sebagian besar diserahkan kepada petugas, sedangkan hasil penebangan tapol hanya diberikan sabun, gula, kopi atau teh. Keserakahan pertugas mengambil hasil panen memaksa para tapol melakukan apa saja yang bisa memenuhi gizinya. Laode Wale, selalu memakan hewan yang didapat di hutan, mulai dari kadal, ular, tokek hingga kucing. Pada tahun 1977, tapol dibebaskan seluruhnya dari kamp dan menjadi tahanan rumah yang harus melapor seminggu sekali. Ekploitasi tenaga tapol sudah tidak ada lagi. Tapol sudah dibebaskan secara semu dari penderitaan selama beberapa tahun. Namun kebebasan tapol nyaris tidak memiliki apa-apa, harta benda mereka telah terampas, mereka dipecat dari tempat kerjanya. Belum lagi keluarga mereka yang bercerai-berai, siksaan, penyakit malaria, asma, lever, bronchitis, mata rabun, tuli, cacat fisik dan gila adalah yang mereka terima sebagai kenyataan hidup. Diperparah lagi dengan trauma berkepanjangan, ketidak percayaan diri dan sudah dianggap orang
jahat oleh masyarakat. Buku ini layak dibaca bagi manusia yang peduli dengan penindasan. Taufik dengan jelas menggambarkan bagaimana negara telah menyebarkan teror kepada rakyatnya sendiri. Bagaimana penderitaan para tahanan semasa di Moncongloe hingga setelah dibebaskan masih terdapat diskriminasi. Benar yang dikatakan Taufik bahwa negara telah menjadi alat kekuasaan untuk mengontrol rakyatnya secara berlapis. Bisa jadi buku ini hanya ranting-ranting kecil yang baru terjangkau dari beraneka pohon fakta. Penderitaan tahanan politik mungkin tak ada lagi yang mengingat. Tapi buku ini setidaknya telah menegur semua pihak bahwa ada penindasan terhadap manusia oleh negara dalam sejarah bangsa kita. Pemerintah kita memang sudah lanjut usia dan sakit-sakitan, ia telah lupa dengan perbuatan kejamnya semasa muda. Sudah seharusnya menjadi tanggung jawab generasi sekarang untuk mengingatkan para orang tua yang buta, tuli, dan gagap itu. (*)
Adi Ibrahim S.H Andi Iqbal, S.Sos Andi Nurul ARA S.E Andre Pranata Durau S.Hum Aynandar Masrip S.Sos Fenty Rahmayanty U S.Hum Israwati S.Sos I Gusti Putu Bawa S.Hut Ratna S.E Siti Aisyah S.Sos Siti Mudrika S.P Syahrul Rauf S.Sos
Pabrik sedang menanti kalian dengan tangan terbuka, Waspadalah dan tetap warass
Congrats Comrades 38
Mati adalah pilihanku Uk M
Matamu penuh dengan hasrat Seperti para massa yang mengejarku dilorong gelap malam itu.... Entah malaikat mana yang akan turun.. Izrail kah....? atau Malaikat Atid...? atau keduanya.... Mereka menyeret ku .... Menuju lembah buangan penuh hasrat berkedok abdi untuk Negara.... Tanpa pernah tahu apa salahku.. Matamu jelas melihatku Seperti tulang belulang atau manusia kotor penuh dosa, yang bisa kau perlakukan melebihi ternak...
Obituari Kemanusiaan Veraya An Riuh
Gedoran pintu adalah alarm kematian yang tidak teratur. Seperti teriakan dan ledakan senapan di belakang rumah. Aku hanya memperjelas apakah Tentara atau Setan yang membawa surat mandat dari tuhan. Sudah kupastikan neraka adalah tempat yang layak, untuk para pendosa yang belajar kemanusiaan.
Saat kau todongkan senapan ditengah selangkanganku. Saat itu juga aku sudah tau.. Malaikat mana yang akan turun.... Karena Mati adalah pilihanku
Janganlah terlalu cemas untuk kabar pasti. Yang diperlukan hanya mempersiapakan diri, juga sebuah foto 5R dengan senyuman termanis. Kita sebaris berjalan pelan, berpakaian tidur, berkepala karung beras. bergantian dan tidak ikhlas. Mati adalah pilihan yang strategis dibandingkan hidup yang tragis. Sekarang kita bisa memesan metode akhir yang baik. Dimakan ikan, dimakan cacing, atau menjadi debu. Terbang bersama imajinasi menjadi manusia.
Catatan Kaki - Edisi Januari 2018
39
www.catatankaki.info