Katalog Perkembangan Batik di Jakarta

Page 1


PERKEMBANGAN

Batik di Jakarta


PERKEMBANGAN

di Jakarta

Batik

Melalui catatan sejarah diketahui bahwa batik telah di buat di Jakarta (dulu Batavia) sejak abad ke-18. Batik-batik yang diproduksi lebih bersifat komersial, dan mengutamakan produksi yang cepat melalui prosedur yang sederhana. Batik cap dicatat sebagai batik yang diproduksi pada masa tersebut, meskipun pada dekade berikutnya diproduksi juga batik tulis. Usaha pembatikan pada pada umumnya dilakukan oleh orang Tionghoa yang berdomisili di Batavia.

Sebuah katalog pameran batik kolonial di Amsterdam pada tahun 1883 menyebutkan daerah-daerah pembatikan di Batavia, di antaranya adalah Kampung Karet, Kampung Tanah Abang, Kampung Yepan, Kampung Pasar Bahru, Kampung Pondok Pinang dan Kampung Senen.


Batik dari Batavia yang ikut dipamerkan pada pameran tersebut adalah Patron Raden Saleh (ragam hias yang dibuat oleh istri Raden Saleh), Parang Kemon (variasi ragam hias parang), dan Oudang Oudang (udang) [Lee, 2014].

Batik tampaknya telah menjadi bagian dari busana yang dikenakan oleh masyarakat yang tinggal di Batavia sejak saat itu. Untuk pakaian sehari-hari, perempuan Eropa mengenakan sarung batik yang dipadu dengan kebaya renda berwarna putih. Sedangkan laki-laki Eropa mengenakan pantalon batik pada kesempatan santai. Perempuan Peranakan juga mengenakan sarung batik dengan baju panjang. Hal ini mengacu pada Undang Undang yang dikeluarkan pada tahun 1872 bahwa setiap orang yang tinggal di Hinda Belanda harus memakai busana sesuai dengan kelompok etnisnya. Secara hukum hanya perempuan yang dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa yang boleh mengenakan kebaya putih dan sarung batik.


Tatanan ini mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910 yang menempatkan semua orang Tionghoa yang orang tuanya sudah menetap di Indonesia memiliki kedudukan yang sejajar dengan bangsa Belanda, walaupun belum menjadi warna Negara Belanda. Dengan status barunya ini perempuan Peranakan Tionghoa mulai mengenakan kebaya putih dengan sarung batik (Achjadi, 2015).

Pemakaian sarung batik dengan kebaya ini tetap berlanjut sebagai bagian dari gaya berbusana perempuan di Jakarta hingga saat ini. Batik yang digunakan umumnya bergaya pesisiran. Bahkan pada awal pemilihan Abang None Jakarta pada tahun 1970-an, sarung batik karya Norma Makarim dari Pekalongan menjadi salah satu batik favorit yang dikenakan oleh None Jakarta.


Tahun 1970 merupakan tonggak yang penting dalam perkembangan batik di Jakarta. Pada tahun 1970 Gubernur Ali Sadikin mendeklarasikan kemeja batik lengan panjang sebagai pakaian resmi laki-laki di Jakarta. Iwan Tirta adalah sosok perancang muda yang mempopulerkan kemeja batik lengan panjang untuk laki-laki dan mulai berkreasi dengan batik untuk fesyen pada masa itu. Beberapa seniman batik yang berbasis di Jakarta pun ikut menyemarakkan perkembangan batik pasca Iwan Tirta hingga saat ini, di antaranya Kakak beradik Setiawati dan Tati Suroyo, Harry Darsono, Obin, dan Benny Adrianto. Sebelumnya, Ibu Soed turut berkiprah dengan batik gaya Terang Bulan yang sangat populer.

Selain seniman yang berbasis di Jakarta, beberapa seniman dari luar Jakarta turut memeriahkan perkembangan batik di Jakata. Go Tik Swan dari Surakarta dengan batik Indonesianya dan Norma Makarim yang dikenal dengan batiknya yang


berwarna-warni. Batik karya kedua seniman tersebut sangat digemari oleh sekelompok masyarakat di Jakarta pada masanya.

Setelah mengalami kemuduran sejak tahun 1980, industri batik di Jakarta kembali bergeliat pada sekitar tahun 2010, dengan maraknya komunitas-komunitas yang mulai peduli untuk menghidupkan kembali kejayaan batik di Jakarta. Saat ini sudah mulai bertumbuh sentra-sentra batik di beberapa daerah di Jakarta yang mengusung tema kebudayaan, kesenian, flora, fauna dan ikon khas Jakarta.

Pameran Perkembangan Batik di Jakarta menampilkan sebagian wastra batik yang dipakai oleh masyarakat Jakarta dan wastra batik yang dibuat di Jakarta dari masa setelah kemerdekaan hingga saat ini. Semoga pameran ini dapat menambah wawasan masyarakat dan menjadi sumber inspirasi bagi seniman batik di Jakarta dalam berkarya.


Referensi


Achjadi, Judi. 2015. Kebaya Encim Sebuah Fenomena di Dunia Fesyen Tradisional Indonesia. Jakarta: Museum Seni. Achjadi, Judi. 2009. Debat Seru “Batik Betawi”. Jurnal Wastra #15, Desember 2009. Jakarta: Himpunan Wastraprema. Achjadi, Judi & Damais, Asmoro. 2006. Butterflies and Phoenixes. Chinese Inspirations in Indonesian Textiles Art. Singapore: Marshall Cavendish International. Lee, Peter. 2014. Sarong Kebaya. Peranakan Fashion in Interconnected World 1500 – 1950. Singapore: Asian Civilisations Museum. Tim Penggiat Museum Tekstil. Tokoh-Tokoh Inspiratif Dalam Dunia Wastra Indonesia. Jurnal Wastra #27, Mei 2016. Jakarta: Museum Tekstil Jakarta.


G O T I K S WA N &

Batik Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia, atas permintaan Presiden Soekarno, Go Tik Swan dari Surakarta mengembangkan batik yang dapat dipakai oleh siapa saja tanpa melihat latar belakang dan status sosial pemakainya, yang mencerminkan ke-Indonesiaan. Maka terciptalah Batik Indonesia, yang menggabungkan unsur batik keraton Surakarta dan Yogyakarta yang sarat makna dan unsur batik pesisir yang kaya warna. Dalam menciptakan batik, Go Tik Swan selalu berpedoman pada filosofi nunggak semi, sebuah konsep pengembangan kebudayaan yang berakar pada budaya yang sudah ada. Batik yang dibuat pada era 1950-an tersebut sangat digemari oleh perempuan elit di Jakarta, dan digunakan sebagai cinderamata kenegaraan pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno.


Kain Panjang Renggopuspito Surakarta, Jawa Tengah Katun; batik tulis; Karya Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro Koleksi Sri Sintasari (Neneng) Iskandar



Kain Panjang Gedebyah Surakarta, Jawa Tengah Katun; batik tulis Karya Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro Koleksi Sri Sintasari (Neneng) Iskandar


Bintang Soedibyo (Ibu Soed) Ibu Sud merupakan salah satu seniman batik yang berkiprah pada tahun 1950-an, setelah Indonesia merdeka. Salah satu desain batik Ibu Soed yang terkenal pada masa itu adalah gaya ‘Terang Bulan’. Batik dengan gaya Terang Bulan memiliki hiasan yang padat di bagian tepi bawah dan salah satu atau kedua sisinya. Sedangkan bagian tengahnya polos tanpa hiasan atau diberi ragam hias kecil yang menyebar di seluruh badan kain. Batik ini sangat digemari di daerah Priangan.

Batik-batik karya Ibu Soed dijual di tokonya yang bernama Arti Warna. Wastra batik yang dijual di toko tersebut biasanya diberi stempel dengan tulisan ‘Arti Warna’ di bagian ujung kain yang berwarna putih. Selain batik-batik buatannya sendiri, di toko ini, pada masa tertentu dijual juga batik karya Go Tik Swan. Ibu Soed dan Go Tik Swan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di Istana Kepresidenan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


Kain Panjang Terang Bulan Jakarta Katun; batik tulis Karya Bintang Soedibyo Koleksi Carmanita



Kain Panjang Terang Bulan Jakarta Katun; batik tulis Karya Bintang Soedibyo Koleksi Carmanita


Batik Sida Mukti Batik Sida Mukti merupakan salah satu produsen batik yang tetap mempertahankan motif-motif tradisional dan sangat memperhatikan nilai seni dalam proses pembuatannya. Batik cap yang diproduksi menggunakan cap bolak balik, sehingga hasilnya menyerupai batik tulis.

Batik Sida Mukti didirikan oleh Ny. Kwee Hok Gwan di Yogyakarta pada tahun 1923. Pada tahun 1948 pindah ke Jakarta dan mengawali produksinya dengan membuat batik soga di kawasan Jatinegara pada tahun 1949. Sejak tahun 1959 Ny. Sanyoto, putri bungsu Ny. Kwee Hok Gwan, melanjutkan pengelolaan batik Sida Mukti yang dikenal dengan batik GANEFO.


Kain Panjang Lokcan Jakarta Katun; batik cap Karya Batik Sida Mukti Koleksi Batik Sida Mukti


Setiawati & Tati Suroyo Setiawati dan Tati Suroyo adalah kakak beradik yang sama-sama berkarya dalam dunia batik. Kecintaan terhadap batik pada kedua bersaudara tersebut diturunkan dari ibunya, Siti Fatimah Sugeng, yang juga seorang pembatik. Batik karya mereka terkenal akan isen-isennya yang memenuhi latar kain, seperti isen galaran, beras mawur, gribigan, galaran brintik dan isen tradisional lainnya. Batik karya Setiawati dan Tati Suroyo hampir serupa, karena mereka selalu berkomunikasi satu dengan lainnya dalam proses penciptaan sebuah karya. Tema bunga tampaknya menjadi pilihan batik mereka, walaupun ada juga tema batik tradisional yang dibuat berwarna warni dengan versi kekinian. Kedua bersaudara ini mulai berkarya pada tahun 1950-an, dan batik-batik mereka sangat populer di tahun 1970-an.


Sarung Lung Lungan Jakarta Katun; batik tulis Karya Tati Suroyo Koleksi Ira Bambang



Kain Panjang Lung Lungan Jakarta Katun; batik tulis Karya Setiawati Koleksi Tari Hardi Utomo


Irwan Tirta Nusjirwan Tirtaamidjaja atau lebih dikenal dengan Iwan Tirta, merupakan salah satu seniman batik yang membawa batik Indonesia ke panggung internasional di tahun 1970-an. Karya-karyanya banyak terinspirasi dari gurunya, Go Tik Swan Panembahan Hargjonagoro. Iwan terkenal akan desain motifnya yang diperbesar, dengan melakukan pendekatan mikroskopis, sehingga menghasilkan kesan yang memukau. Sejak tahun 1970-an, Iwan banyak bereksperimen menggunakan berbagai media seperti sutera, crepe de chine, dan organza untuk menciptakan batik yang mewah, dengan tetap mempertahankan unsur-unsur tradisional. Karya Iwan Tirta lebih banyak digunakan untuk adibusana, walaupun ia juga membuat batik untuk interior. Iwan Tirta lah yang mempopulerkan kemeja batik untuk laki-laki pada tahun 1970-an.


Selendang Jakarta Sutera; batik tulis Karya Iwan Tirta Koleksi Suwandari Soekrisno



Bahan Kar Jagad Jakarta Sutera; batik tulis Karya Iwan Tirta Koleksi Sari Ramdani


Harry Darsono Harry Darsono, perancang busana kenamaan yang berbasis di Jakarta pernah merancang batik di tahun 1970-an. Rancangan batiknya berupa flora dan ragam hias yang terinspirasi dari berbagai sentra batik di Indonesia.


Syal Jakarta Sutera; batik tulis Karya Harry Darsono Koleksi Sri Sintasari (Neneng) Iskandar



Selendang Taman Minang Jakarta Sutera; batik tulis Karya Harry Darsono Koleksi Harry Darsono


Norma Makarim Norma Makarim belajar membatik secara autodidak dari masa remaja bersama-sama dengan kakaknya Muhani Makarim ketika mereka tinggal di Pekalongan bersama keluarga besar Makarim. Awalnya ia membuat sarung untuk dijual kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi rupanya batiknya diminati juga oleh pendatang dari Jakarta. Melihat peluang ini, Norma kemudian memasarkan batiknya ke Jakarta, dan menjadi batik yang digemari oleh masyarakat Jakarta pada tahun 1970-an, bahkan hingga saat ini masih tetap menjadi incaran kolektor batik. Setelah meninggal dunia pada tahun 1991, usaha batiknya dilanjutkan oleh putranya Nasir Achmad.

Ciri khas batik buatan Norma Makarim terletak pada tata warnanya yang mencolok, menampilkan warna-warna yang kontras. Desain batiknya menggabungkan motif-motif dari Pekalongan dan motif motif yang mendapat pengaruh Cina.


Sarung Pekalongan, Jawa Tengah Katun; batik tulis Karya Norma Makarim Koleksi Sri Sintasari (Neneng) Iskandar



Sarung Pekalongan, Jawa Tengah Katun; batik tulis Karya Norma Makarim Koleksi Nasir Achmad


Obin Josephine Werratie Komara yang lebih dikenal dengan nama Obin, merupakan salah seorang seniman batik yang piawai mengolah wastra batik menjadi fesyen yang trendi dan modern. Melalui eksperimen dan inovasi yang berkelanjutan, karya Obin menjadi salah satu produk fesyen yang digemari di kalangan elit di Indonesia maupun di manca Negara.

Berkreasi menggunakan bahan tenun sutera yang dikombinasikan dengan batik tulis, Obin tetap setia menggunakan motif-motif tradisional yang dirancang dengan gaya kekinian.

Melalui Bin House, perusahaan yang didirikan pada tahun 1986, Obin berhasil menampilkan batik dan tenun tradisional menjadi wastra kontemporer yang tak lekang oleh zaman.


Sarung Jakarta Sutera; batik tulis Karya Josephine Komara Koleksi Laksmi Djuwita



Selendang Jakarta Sutera; batik tulis Karya Josephine Komara Koleksi Sari Ramdani


Benny Adrianto Benny Adrianto memulai kiprahnya di dunia batik pada tahun 1989 dengan mendirikan GalerI Batik DJAWA. Dalam mengembangkan desain batiknya, Benny Adrianto mengambil ide dasar dari ornamen-ornamen Nusantara yang sangat beragam melalui pendekatan baru yang lebih kekinian. Filosofi karyanya adalah kompilasi rancangan yang berbasis tradisional menjadi lebih kontemporer.

Selain membatik di media katun, Benny Adrianto banyak bereksperimen menggunakan serat alam seperti serat nanas, serat pelah (pucuk daun rotan), serat goni (rosella), serat agel (sejenis palem hutan) dan serat doyo (anggrek liar), dan serat abaca (sejenis pisang).


Selendang The Poppies Jakarta Ulap doyo; batik tulis Karya Benny Adrianto Koleksi Benny Adrianto



Sarung Tapak Dara dan Elang Bondol Jakarta Katun; batik tulis Karya Benny Adrianto Koleksi Benny Adrianto


K O M U N I TA S B AT I K

Jakarta Berbagai komunitas yang memproduksi batik saat ini berkembang di Jakarta. Di antaranya Batik Palbatu di Jakarta Pusat, Batik Setu Babakan di Jakarta Selatan, Batik Tarogong di Jakarta Selatan, dan Batik Marunda di Jakarta Utara. Ragam hias batik yang dibuat oleh komunitas batik ini terinspirasi dari flora, fauna, budaya, kesenian dan ikon-ikon populer di Jakarta.


Kain Panjang Ondel Ondel Jakarta Katun; batik tulis Koleksi Batik Setu Babakan



Kain Panjang Tapak Dara Jakarta Katun; batik tulis Koleksi Batik Setu Babakan



K O L E K S I B AT I K L A I N YA N G D I G U N A K A N D I

Jakarta Kain Panjang Terang Bulan Pekalongan, Jawa Tengah Katun; batik tulis Koleksi Museum Tekstil Jakarta Sumbangan Mien Soedarpo



Sarung Bang Biru Lasem Katun; batik tulis Koleksi Museum Tekstil Jakarta Sumbangan Ida Hashari


U C A PA N

Terima Kasih

Pameran ini terselenggara atas doa, sumbangsih dan dukungan berbagai pihak. Kami mengucapkan terima kasih kepada:


Kolektor : Benny Adrianto Benny Gratha Carmanita Elisabeth Imelda Harry Darsono Ira Bambang Koesdorotanti Laskmi Djuwita Nasir Achmad Sari Ramdani Sri Sintasari (Neneng) Iskandar Susrinah Sanyoto Suwandari Soekrisno Tari Hardi Utomo Yuni Agus Batik Marunda Batik Palbatu Batik Setu Babakan Batik Sida Mukti Batik Terogong Museum Tekstil Jakarta


Catalogue Design by Claudia Sergio


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.