Policy Brief III: Implementasi HAM dalam Kerja Sama Internasional Penanganan Tindak Pidana Terorisme

Page 1

POLICY BRIEF

“Impementasi Hak Asasi Manusia dalam Kerjasama Internasional Penanganan Tindak Pidana Terorisme”

Dipublikasikan sebagai bagian dari program“NGO– Security Service Engagement to Stem Human Rights Abuses in Indonesia” ”

Ringkasan Eksekutif

Sumber Foto: Google Search

Pengantar … sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.1 1

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi

Strategi Global Kontra-Terorisme Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadopsi pada Sidang Umum PBB pada tanggal 8 September 2008 menjadi Resolusi Sidang Umum 60/288 merupakan salah satu dokumen awal yang menyepakati adanya kerangka kerja strategis global dan komprehensif dalam kontra-terorisme. Dokumen ini juga menekankan pentingnya penempatan setiap upaya penanganan tindak pidana terorisme sebagai bagian dari pemenuhan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan dalam Strategi Global tersebut, yang dalam kenyataannya juga sejalan dengan amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Bab XA tentang HAM. Artinya, kewajiban Negara untuk menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM merupakan kewajiban konstitusional yang sejalan dengan hukum HAM internasional sebagaimana diadopsi dalam Resolusi Sidang Umum PBB 60/288. Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Daftar Isi

Pengantar ............................................................................................................................................................................................................. 1 Ringkasan |Eksekutif .......................................................................................................................................................................................... 1 Pendahuluan ....................................................................................................................................................................................................... 3 Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ..................................... 5 Praktek Integrasi HAM dalam Kerjasama Regional Eropa untuk Memerangi Terorisme ................................................................................. 8 Pentingnya Mendorong Adopsi Praktek Penanganan Terorisme dalam Kerjasama Internasional oleh Pemerintah Indonesia ......................... 11 Penutup ............................................................................................................................................................................................................... 13 Kontributor: TIM PENULIS Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) I Editor: Mufti Makaarim I Database: Nurika Kurnia I Penanggungjawab: Search for Common Ground I Konsultan Ahli: Andi K Yuwono & Agung Yudha


Tujuan utama pemerintah sendiri dalam merumuskan kebijakan penanganan tindak pidana terorisme adalah memastikan adanya jaminan keamanan dan keselamatan seluruh warga negara dari segala bentuk ancaman, termasuk ancaman terorisme. Aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir jelas merupakan ancaman nyata terhadap keselamatan dan keamanan masyarakat, baik terkait jiwa, harta maupun kebebasan dalam beraktivitas ataupun berdiam di suatu wilayah. Apalagi para pelaku bukan sekedar menjalankan aksi yang bersifat lokal, namun merupakan bagian dari suatu jaringan teroris internasional, yang menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai salah satu wilayah operasi aksi teror maupun perekrutan anggota. Dengan demikian apa yang dilakukan pemerintah untuk memerangi terorisme sejalan dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan keselamatan seluruh warga negara. Menghadapi tantangan ini pemerintah telah menjalankan berbagai kebijakan berupa penyusunan dan penetapan payung hukum untuk memberikan dasar hukum terhadap segala bentuk kebijakan operasional dan

Sumber Foto: Google Search

2

tindakan pencegahan maupun penindakan –melalui Undang-undang (UU) N0 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2002 tentang Pemberantasana Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, pembentukan dan pengkoordinasian aktor-aktor keamanan –termasuk dengan membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) Polri berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Skep Kapolri) No 30/VI/2003, serta penggalangan kerjasama internasional dalam rangka memperkuat kapasitas aparat keamanan dan penegak hukum dalam menindak tindak pidana terorisme. Terkait kerjasama internasional, pemerintah juga mendorong kerjasama di tingkat regional maupun kerjasama bilateral dan multilateral dengan beberapa negara yang memiliki pengalaman dalam penanganan aksi-aksi terorisme maupun negara-negara yang menjadi wilayah operasi jaringan teroris internasional. Dalam rangka kerjasama internasional tersebut, kalangan organisasi pegiat HAM menekankan bahwa salah satu pilar penting –yang juga merupakan tujuan penanganan tindak pidana terorisme– yang harus diperhatikan adalah pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM dalam setiap kerjasama internasional memerangi terorisme. Tujuan terpentingnya bukan sekedar menangkap para teroris yang beroperasi lintas Negara atau membongkar jaringan terorisme internasional, tetapi juga untuk memastikan jaminan HAM bagi setiap orang dimana kerjasama antar negara dilakukan. Policy Brief Edisi III ini mengangkat topik pentingnya implementasi penegakan HAM dalam kerjasama internasional penanganan tindak pidana terorisme, antara lain bentuk


memasukkan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM dalam kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia, baik dalam skema bilateral maupun multilateral dan melalui mekanisme PBB. Sebagai pembanding Policy Brief III ini mengambil contoh bagaimana mekanisme yang dibangun oleh negara-

negara Eropa di tingkatan regional. Policy Brief III ini juga akan melihat bagaimana kerjasama internasional yang dapat dilakukan oleh Polri (termasuk Densus 88) selain dari apa yang dilakukan pemerintah dalam mewujudkan kinerja penegakan hukum oleh aparat kepolisian dan pengak hukum lainnya yang menjunjung tinggi HAM.

Pendahuluan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan bahwa Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Peran pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, serta perlindungan dan pengayoman masyarakat yang merupakan tugas pokok Polri di atas mensyaratkan adanya personil atau anggota Polri yang profesional, menghormati HAM, tunduk pada ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku nasional maupun internasional, serta dapat bekerjasama secara aktif dengan pelbagai unsur pemerintahan, institusi keamanan serta masyarakat. Paska peristiwa bom Bali, pemerintah Republik Indonesia terus meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam penanganan terorisme. Peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 jiwa dan melukai 209 jiwa, bukan sekedar menjadi momentum awal bagi pemerintah untuk menyusun payung hukum bagi pemberantasan tindak pidana terorisme melalui penerbitan Perpu No 1/2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.2 Peristiwa ini memunculkan solidaritas internasional kepada pemerintah Indonesia, dimana masyarakat internasional berbondong-bondong menawarkan bantuan kerjasama untuk mengungkap peristiwa tersebut. PBB dan ASEAN misalnya, segera mengeluarkan resolusi dan keputusan yang meminta semua negara untuk segera bekerjasama memberikan bantuan dan dukungan kepada Indonesia serta menyerukan untuk memerangi aksiaksi terorisme dalam bentuk apapun. Proses identifikasi jenazah yang berhasil dilakukan dengan cepat dan investigasi yang mengungkap jaringan terorisbom Bali merupakan hasil dari kerjasama antara Polri dengan negara-negara lain seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris.3

2 Dasar penetapan ini adalah pandangan bahwa payung hukum yang ada belum memadai dan terbukti tidak efektif pada beberapa peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya, serta pandangan bahwa peristiwa bom Bali merupakan aksi terorisme terburuk dalam sejarah Indonesia yang tidak mungkin diatasi dengan payung hukum biasa yang sudah ada sebelumnya. Perpu ini kemudian ditetapkan menjadi UU No 15/2003 Tentang Penetapan Perpu No 1/2002 menjadi UU, diikuti UU No 16/2003 Tentang Penetapan Perpu No 2/2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU. 3 Lihat Pernyataan Pers Menteri Luar Negeri Republik Indonesia: Refleksi Tahun 2002 dan Proyeksi Tahun 2003, disampaikan di Jakarta pada 8 Januari 2003

3


Dasar Hukum Integrasi HAM dalam Kerjasama Internasional Memerangi Terorisme Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada pasal 43 menyatakan bahwa “Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku�. Perpu yang kemudian diundangkan menjadi UU No 15 Tahun 2003 ini hanya menjelaskan ruang lingkup kerjasama yang meliputi bidang intelijen, kepolisian dan teknis lainnya. Sementara parameter standar HAM yang mengatur bagaimana integrasi HAM dalam sebuah kerjasama internasional pemberantasan terorisme tidak secara eksplisit disebut dalam pasal ini. Namun ini bukan berarti pemerintah dapat mengabaikan pentingnya integrasi HAM dalam pemberantasan terorisme, karena pada pertimbangannya UU No 15 Tahun 2003 menyatakan “bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme�. Pada pasal 2 Perpu dinyatakan bahwa pemberantasan terorisme merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan HAM, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras maupun antar golongan.4 4 Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

4

Sumber Foto: Google Search

Selanjutnya, UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur kewenangan kerjasama Polri di dalam dan di luar negeri, dengan ketentuan: a. hubungan dan kerjasama Polri dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki; b. hubungan dan kerjasama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas; c. hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan; d. pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri Kemauan Polri untuk menjadi intitusi yang menjunjung tinggi HAM ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Kapolri (Perkap) No 8/2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri. Perkap menyatakan bahwa, “sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.� Prinsip-prinsip penting HAM yang ditegaskan dalam Perkap No 8/2009 bersumber dari kovenan dan konvensi hukum HAM internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia maupun Hukum HAM nasional. Dengan demikian, institusi Polri sebenarnya siap untuk melakukan integrasi HAM di tingkat internal Polri maupun dalam kerjasama yang dilakukan di tingkat nasional maupun internasional. Indikasi ini terlihat dengan diadopsinya prinsip-prinsip HAM dalam Perkap ini, seperti: 1. Penegasan bahwa setiap aparat kepolisian tidak dapat pengabaikan pemenuhan jaminan perundangundangan terhadap HAM setiap warga negara ketika bertugas di lapangan. 2. Penegasan prinsip-prinsip perlindungan HAM yang meliputi: a. perlindungan minimal; b. melekat pada manusia; c. saling terkait; d. tidak dapat dipisahkan; e. tidak dapat dibagi; f. universal; g. fundamental; h. keadilan; i. kesetaraan/

persamaan hak; j. kebebasan; k. nondiskriminasi; dan l. perlakuan khusus bagi kelompok yang memiliki kebutuhan khusus (affirmative action). 3. Penegasan tentang HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang meliputi: a. hak untuk hidup; b. hak untuk tidak disiksa; c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; d. hak beragama; e. hak untuk tidak diperbudak; f. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; g. hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; dan h. hak untuk tidak dipenjara karena tidak ada kemampuan memenuhi perjanjian. 4. Penegasan kewajiban setiap anggota Polri untuk dapat memahami instrumen-instrumen HAM nasional dan internasional. 5. Penegasan kewajiban untuk memperhatikan asas legalitas (kesesuaian dengan prosedur dan hukum), asas nesesitas (tindakan anggota Polri bertujuan untuk penegakan hukum dan pembatasan yang dilakukan hanya terhadap kejadian pelanggaran hukum), serta asas proporsionalitas (keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi).

5


6. Penegasan tentang standar perilaku umum bagi setiap anggota/petugas Polri berupa ketentuan berperilaku (Code of Conduct) dan larangan, serta standar perilaku dalam tindakan kepolisian yang mengatur secara ketat dan terinci perihal prosedur kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. 7. Penegasan tentang jaminan hakhak tersangka yang meliputi: a. asas praduga tak bersalah; b. hak tersangka; c. hak untuk diadili secara adil; dan d. penghormatan martabat dan privasi seseorang. 8. Penegasan tentang ketentuan perlindungan HAM dalam situasi darurat dan perlindungan HAM dalam kerusuhan massal yang harus dapat dipenuhi oleh setiap anggota/petugas Polri. 9. Penegasan tentang ketentuan penggunaan senjata api yang mensyaratkan: a. pengutamaan tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan; b. penerapan tindakan keras bila sangat diperlukan; c. untuk tujuan penegakan hukum yang sah; d. tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum; e. penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum; f. penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi; g. harus

6

ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan h. kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/ tindakan keras harus seminimal mungkin. 10. Penegasan bahwa petugas kepolisian hanya boleh menggunakan senjata api untuk: a. menghadapi keadaan luar biasa; b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/ atau luka berat; d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkahlangkah yang lebih lunak tidak cukup. 11. Penegasan tentang ketentuan pelayanan korban dan saksi. 12. Penegasan tentang perlindungan HAM bagi anggota Polri, yang meliputi: a. perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang dari atasan; b. adanya hak mendapat perlindungan hukum (immunity) bagi anggota Polri yang menolak perintah pimpinan yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum; c. adanya hak meminta perlindungan hukum kepada pimpinan atas pelaksanaan tugas yang telah diperintahkan oleh pejabat Polri kepada anggotanya.


Di tingkat regional, pemerintah Indonesia bersamasama dengan para pemimpin ASEAN pada KTT ke-8 ASEAN mengesahkan Declaration on Terrorism yang selain mengecam tragedi bom Bali dan Filipina Selatan juga menegaskan bahwa terorisme tidak terkait dengan agama atau suku bangsa tertentu, serta meminta masyarakat internasional untuk membantu usaha ASEAN melawan terorisme dan pemulihan dunia usaha di kawasan. Deklarasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan tingkat Menteri ASEAN dengan Amerika Serikat pada 1 Agustus 2002 yang menghasilkan penandatanganan MoU ASEAN-US Joint Declaration for Cooperation to Combat International Terrorism. Sayangnya MoU ini tidak menjelaskan secara eksplisit muatan pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM sebagai basis kerjasama Negaranegara ASEAN dan Amerika Serikat. Naskah MoU yang ditandatangani di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam ini berfokus pada komitmen untuk menerapkan beberapa kesepakatan prinsipil dengan memperhatikan hukum yang berlaku di negara masing-masing untuk: a. Melanjutkan dan meningkatkan pertukaran informasi intelijen dan pembiayaan teroris untuk tujuan kontra-terorisme, termasuk pembentukan kebijakan, aturan hukum dan rezim administrasi untuk meningkatkan efektivitas kegiatan kontra terorisme. b. Membangun hubungan antar lembaga penegak hukum untuk mendukung rezim kontra-terorisme yang praktis/dapat bekerja efektif.

c. Memperkuat upaya pengembangan kapasitas melalui pelatihan dan pendidikan; konsultasi antar pejabat yang berwenang, analis dan operator lapangan; dan seminar, konferensi serta operasi gabungan sesuai kebutuhan. d. Menyediakan bantuan transportasi, hambatan pengawasan imigrasi dan perbatasan, termasuk dokumen dan identitas untuk membatasi ruang gerak teroris yang berhubungan dengan materi, pembiayaan dan individu. e. Menyesuaikan kegiatan dengan Resolusi PBB 1373, 1267, 1390 dan resolusiresolusi PBB lainnya atau deklarasi tentang terorisme internasional. f. Menggali wilayah kerjasama lainnya yang saling menguntungkan.5 Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara ASEAN yang banyak melakukan ratifikasi konvensi dan kovenan internasional terkait HAM –termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya--, seharusnya pemerintah Indonesia dapat mendorong adanya satu kesepakatan regional yang selain terfokus pada konteks upaya penindakan terorisme dan jaringannya, juga terfokus pada pengintegrasian nilai-nilai dan prinsip HAM lebih eksplisit, sebagaimana dilakuan oleh negara-negara Eropa melalui Komisi Para Menteri Dewan Eropa (Council Of Europe Committee Of Ministers).

5 http://www.asean.org/resources/item/asean-united-states-of-america-joint-declarationfor-cooperation-to-combat-international-terrorism-bandar-seri-begawan-1-august-20025?category_id=32

7


Praktek Integrasi HAM dalam Kerjasama Regional Eropa untuk Memerangi Terorisme Resolusi Sidang Umum PBB 54/164 tentang HAM dan Terorisme yang diadopsi pada tanggal 17 Desember 1999 mendefenisikan terorisme sebagai “tindakan-tindakan yang dilakukan dengan merusak HAM, kebebasan fundamental dan demokrasi, mengancam integritas territorial dan keamanan suatu negara, mengganggu stabilitas pemerintahan yang sah, menghilangkan kehidupan masyarakat sipil yang beragam, serta membawa konsekuensi serius terhadap pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara�. Berdasarkan defenisi ini, pelbagai upaya nasional dan internasional dilakukan untuk mengatasi ancaman terorisme tersebut di banyak negara di dunia. Di wilayah Eropa misalnya, Komisi Para Menteri Dewan Eropa (Council Of Europe Committee Of Ministers) menetapkan panduan yang disebut sebagai Panduan HAM dan Perang Melawan Terorisme (Guidelines on Human Rights and the Fight Against Terrorism) sebagai panduan yang berlaku di dalam negara-negara anggota Dewan Eropa dan di dalam kerjasama-kerjasama yang dilakukan antar negara-negara Eropa maupun dengan negara-negara di luar Eropa. Panduan ini merupakan bentuk upaya negara-negara Eropa untuk membangun kerjasama dalam menetapkan prinsip-prinsip penting HAM yang harus melekat dalam memerangi aksi-aksi terorisme. Beberapa hal penting yang menjadi bagian dari Panduan ini dan berlaku di seluruh negara-negara anggota Dewan Eropa antara lain: a. Kecaman terhadap segala bentuk tindakan, metode dan aksi terorisme sebagai perbuatan kriminal yang tidak dapat ditolerir untuk dilakukan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun. 8

b. Penegasan bahwa keberadaan para teroris tidak dapat menjadi alasan pengecualian atau pembenar untuk ‘mengakali’ (citing) motif perlindungan HAM atau pelanggaran hak. c. Penegasan bahwa setiap pemerintahan bukan sekedar dibolehkan, tapi sangat diharuskan untuk memerangi terorisme dengan menghormati HAM, aturan hukum (rule of law) dan jika dapat diaplikasikan, hukum humaniter internasional. d. Permintaan kepada seluruh negara untuk melakukan upaya semaksimal mungkin serta saling bekerjasama sehingga tersangka pelaku, organisasi atau pendukung teroris dapat diadili untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka. e. Permintaan kepada seluruh negara untuk memastikan adanya kompensasi bagi para korban tindak terorisme. f. Permintaan kepada seluruh negara untuk memikirkan langkah jangka panjang pencegahan terhadap penyebab terorisme dengan mempromosikan kohesi sosial serta dialog antar budaya dan agama. g. Pelarangan penyiksaan dan segala bentuk tindakan atau hukuman tidak manusiawi lainnya dalam segala bentuk upaya memerangi terorisme, khususnya dalam penangkapan, interogasi dan penahanan tersangka pelaku, termasuk penerapan asas praduga tak bersalah dan pemenuhan hak-hak individualnya.


bersenjata harus benar-benar proporsional dengan tujuan melindungi setiap orang dari tindak kekerasan atau dengan tujuan melakukan penahanan yang sah.

Sumber Foto: Google Search

h. Permintaan kepada seluruh negara untuk tetap menghormati kehidupan pribadi dalam pengumpulan dan pengelolaan data pribadi oleh otoritas yang berwenang dalam pengamanan negara dengan memperhatikan: i). batasan pembolehan dalam ketentuan perundang-undangan setempat; ii). proporsionalitas dan sebatas tujuan keamanan negara yang dimaksudkan sehingga dilakukan pelacakan data ini, dan; iii). prosesnya harus diawasi oleh otoritas ekternal yang independen. i. Permintaan agar ‘pelanggaran’ privasi seperti penggeledahan tubuh, penggeledahan rumah, penyadapan telepon, pemantauan korespondensi dan penggunaan agen intelijen yang menyamar harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini harus dapat digugat di pengadilan apabila di kemudian hari terdapat dugaan penyalahgunaan atau pelanggaran. j. Permintaan agar upaya-upaya yang dilakukan untuk memerangi terorisme harus direncanakan dan diawasi oleh otoritas yang berwenang untuk meminimalisasi penggunaan kekuatan bersenjata, dimana penggunaan senjata api oleh aparat

k. Permintaan agar seorang tersangka teroris hanya boleh ditahan dengan alasan yang sah dan yang bersangkutan harus diberi tahu alasan tersebut. Sebelum diadili, yang bersangkutan harus mendapatkan hak-hak hukum dan kejelasan masa penahanan, serta harus diperbolehkan menggugat keabsahan penahanannya sebelum digelarnya peradilan atas dugaan terorisme yang dilakukannya. Mereka yang peradilannya tertunda harus dapat dievaluasi perihal legalitas penahanannya oleh pengadilan. l. Permintaan agar seseorang yang ditetapkan sebagai pelaku terorisme memiliki hak atas pemeriksaan yang adil, pada waktu yang jelas oleh pengadilan yang independen dan imparsial yang ditetapkan berdasarkan UU. Mereka berhak atas asas praduga tak bersalah. Dakwaan terorisme tidak berarti membatasi hak mereka untuk membela diri, terutama dalam hal: i). hak untuk mengakses dan berkomunikasi dengan pengacara; ii). hak untuk mengakses berkas perkara, dan; iii). penggunaan pengakuan yang disamarkan (anonymous testimony). m. Permintaan agar hukuman yang ditetapkan bagi tersangka teroris harus ditetapkan oleh dan sesuai dengan ketentuan hukum dengan berdasarkan pada tindak kriminal yang dilakukan pada saat terjadinya peristiwa. n. Penegasan bahwa permintaan suaka adalah hak individual. Pemerintah berhak menolak status permintaan suaka apabila ditemukan 9


fakta yang kuat akan keterlibatan yang bersangkutan dalam aksi terorisme. Adalah kewajiban negara penerima permintaan suaka bahwa kemungkinan untuk memulangkan peminta suaka ke negara asal atau negara lainnya tidak menyebabkan yang bersangkutan akan dihukum mati, mengalami penyiksaan, tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi. Termasuk dalam hal pengusiran terhadap mereka. o. Penegasan bahwa ekstradisi merupakan prosedur esensial bagi kerjasama efektif dalam memerangi terorisme. Ekstradisi seseorang ke suatu negara yang kemungkinan akan menjatuhkan hukuman mati terhadap tersangka teroris tidak disarankan. Negara peminta ekstradisi harus dapat menjamin bahwa yang bsersangkutan tidak akan dihukum mati atau dalam hal hukum tersebut berlaku, tidak akan ditetapkan bagi yang bersangkutan. p. Ekstradisi dapat tidak dilakukan apabila ada alasan serius yang terpercaya terkait: i). seseorang yang diminta untuk diekstradisi akan mengalami penyiksaan, tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi; ii). permintaan ekstradisi dilakukan untuk menjatuhkan hukuman dengan pertimbangan ras, agama, kebangsaan atau pandangan politik yang bersangkutan, atau yang bersangkutan rentan untuk mendapat hukuman dengan alasan-alasan tersebut. q. Penggunaan hak milik perorangan atau organisasi yang menjadi tersangka teroris harus dihindari atau dibatasi, sesuai dengan tujuan atau dugaan terkait aktivitas terorisme dan pembekuan atau penyitaannya harus dilakukan oleh otoritas yang berwenang. Pemilik dapat menggugat pelanggaran hukum yang diduga terjadi sebelum 10

pengadilan yang memutuskan pengambilan dilakukan. r. Penegasan bahwa perang melawan terorisme ketika dilakukan dalam situasi perang atau darurat yang mengancam kehidupan suatu bangsa, maka negara harus mendeklarasikan pengecualian sementara terkait pemenuhan kewajiban sesuai dengan instrumen hukum internasional tentang perlindungan HAM. Negara harus mengumumkan otoritas yang berwenang untuk memerangi terorisme dan menyesuaikannya dengan instrumen hukum internasional. Negara tidak dibenarkan dengan alasan apapun dan bagaimanapun perbuatan tersangka teroris untuk mengecualikan hak hidup yang dijamin instrumen HAM internasional, penyiksaan, tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi lainnya, prinsip legalitas hukuman yag sesuai dengan perbuatan, dan hukuman yang berlaku surut atas perbuatan pidananya. Pengecualian ini harus dapat dievaluasi secara regular dengan tujuan untuk sesegera mungkin mencabutnya ketika situasi perang atau darurat berakhir. s. Penegasan bahwa Negara tidak boleh melanggar norma-norma hukum internasional dan hukum humaniter internasional ketika diterapkan. Dengan adanya panduan ini, negara-negara Eropa memiliki aturan hukum yang sama dalam memerangi terorisme di wilayah masingmasing negara dan dalam membangun kerjasama mengatasi ancaman terorisme lintas negara atau di regional Eropa. Sejauh ini Panduan ini merupakan contoh praktek terbaik (best practices) kerjasama internasional antara negara maupun regional dalam mengatasi ancaman terorisme.


Satu hal positif dari mekanisme kerjasama regional antar negara-negara Eropa ini adalah adanya pembuktian bahwa pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM tidak melemahkan kapasitas aparat keamanan dan penegak hukum dalam memerangi terorisme. Negara-negara Eropa relatif lebih sedikit mendapat kritik terkait dugaan kasuskasus pelangaran HAM dalam upaya mereka memerangi aksi-aksi terorisme.

Pentingnya Mendorong Adopsi Praktek Penanganan Terorisme dalam Kerjasama Internasional oleh Pemerintah Indonesia

Pelapor Khusus (Special Rapporteur) PBB untuk Promosi dan Perlindungan HAM serta Kebebasan Fundamental dalam Mengatasi Terorisme, Martin Scheinin, dalam laporan yang disampaikan kepada Dewan HAM PBB pada tanggal 22 Desember 2010 telah mengidentifikasi 10 praktek terbaik (best practices) dalam penanganan terorisme, berdasarkan apa yang sudah dilakukan beberapa negara di dunia. 10 praktek terbaik ini merupakan adopsi perjanjianperjanjian internasional, resolusi-resolusi serta jurisprudensi pengadilan-pengadilan internasional dan regional oleh beberapa negara dalam menangani masalah terorisme (lihat Policy Brief I).6 Beberapa konsep dalam Laporan Martin Scheinin 6

Human Rights Council, Sixteenth session, Agenda item 3 Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including the right to development, Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms while countering terrorism, Martin Scheinin, Ten areas of best practices in countering terrorism.

yang terkait upaya mempromosikan HAM sangat relevan untuk juga diintergrasikan dalam kerjasama internasional dalam perang melawan terorisme. Konsep-konsep tersebut jika diuraikan dapat menjadi daftar rekomendasi bagi DPR, Pemerintah (Presiden dan kementerian terkait, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dan aktor keamanan terkait kerjasama internasional antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain sebagai berikut: 1. Bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus memastikan perundang-undangan yang diberlakukan tidak bertentangan dengan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter. 2. Bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia dalam mengaplikasikan UU kontraterorismenya tidak diperkenankan melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan ketentuan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter (misalnya dengan memperhatikan batasan penggunaan kekuatan sesuai kebutuhan, agar tidak melanggar hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun --nonderogable rights). 3. Bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara yang melakukan

11


kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus mendorong peran otoritas sipil yang dipercaya dalam hal perluasan lingkup operasi dan pertimbangan pengerahan kekuatan di luar kewajaran dalam situasi darurat menghadapi terorisme. Terorisme tidak dapat menjadi alasan pengerahan kekuatan darurat/berlebihan yang bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.

12

terorisme; dan ii). cedera fisik atau kerusakan lainnya, atau pelanggaran HAM sebagai akibat tindakan terorisme atau penanganan dalam kontra-terorisme.

4. Bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus mendorong ketentuan tentang Pemulihan (remedies) bagi setiap orang yang terlanggar hak asasinya dalam pelaksanaan operasi kontra-terorisme atau pelaksanaan UU kontra-terorisme yang memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan yang cepat, efektif dan dapat dilaksanakan. Pengadilan memiliki tanggung jawab utama memastikan pemenuhan hak ini berjalan efektif.

6. Bahwa pemerintah Indonesia dan negaranegara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus mengatur ketentuan tentang penyusunan daftar kelompokkelompok teroris, terutama dalam hal: i). sangsi terhadap individu atau entitas yang diketahui melakukan, berpartisipasi atau memfasilitasi aksi terorisme berdasarkan alasan hukum yang sah; ii). pemberitahuan terhadap individu atau entitas yang terdaftar, termasuk latar belakang pendaftaran nama dan konsekuensinya; iii). hak memohon penghapusan nama dari daftar atau penghentian sangsi, serta hak atas penilaian pengadilan terhadap permohonan tersebut; iv). masa kadaluarsa dan pembaharuan daftar; dan v). kompensasi bagi individu atau entitas yang menjadi korban salah daftar, termasuk pihak ketiga.

5. Bahwa pemerintah Indonesia dan negaranegara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus membuat ketentuan tentang reparasi dan bantuan bagi korban sesuai ketentuan hukum HAM internasional, termasuk bantuan hukum, kesehatan, psikologis dan bantuanbantuan lainnya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi sosialnya dari anggaran negara. Ketentuan-ketentuan tersebut terutama terkait dengan: i). kerusakan harta benda seseorang yang dimiliki alamiah atau berdasarkan hukum sebagai akibat serangan terorisme atau tindakan yang dilakukan atas nama memerangi

7. Bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara yang melakukan kerjasama kontra-terorisme dengan pemerintah Indonesia harus memastikan tidak adanya pelanggaran HAM dalam penangkapan dan introgasi tersangka teroris. Segala bentuk penahanan secara rahasia dilarang. Setiap individu berhak menghubungi pengacara sejak awal penangkapan atau penahanan. Segala bentuk penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dilarang. Penggalian informasi melalui penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dilarang dalam setiap prosedur,


dan tidak boleh diajukan atau ditolerir. Setiap orang yang ditangkap sebagai tersangka teroris yang terancam resiko penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan

martabat, harus mendapat hak tidak dipulangkan, diekstradisi, baik secara resmi ataupun tidak ke negara atau area dimana ia mendapat resiko tersebut.

untuk diusir resmi akan

Penutup Manfaat yang diharapkan dari kerjasama internasional pemberantasan atau penanganan tindak pidana terorisme antara pemerintah Indonesia dengan Negara lain adalah adanya pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM. Jaminan HAM tersebut tercermin dari timbulnya rasa aman masyarakat dari ancaman taaksi-aksi terorisme serta dari kemungkinan kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum di lapangan. Sebagai penutup, Policy Brief Edisi III ini menyampaikan sejumlah rekomendasi penting kepada Pemerintah dan aktor keamanan (Polri) terkait pentingnya integrasi HAM dalam setiap kerjasama internasional pemberantasan terorisme. • Kepada Pemerintah 1. Meminta Presiden Joko Widodo dan Kementerian terkait memastikan adanya integrasi HAM dalam setiap kerjasama internasional memerangi aksi-aksi terorisme di Indonesia. Integrasi yang dimaksud adalah dengan memasukkan secara eksplisit prinsip-prinsip HAM sebagai salah satu parameter tujuan dan ukuran keberhasilan pemberantasan terorisme di Indonesia, termasuk sebagai tujuan dan tolok ukur keberhasilan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memerangi terorisme.

2. Meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk untuk mengadopsi 10 Praktek Terbaik penanganan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana tertuang dalam laporan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) terkait Promosi dan Perlindungan HAM serta Kebebasan Fundamental dalam Mengatasi Terorisme, Martin Scheinin. Praktek terbaik ini dijadikan sebagai panduan pemerintah, parlemen dan sektor keamanan untuk menyusun kebijakan terkait penegakan hukum tindak pidana terorisme, termasuk dalam melakukan kerjasama internasional pemberantasan terorisme. 3. Meminta kepada pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT (khususnya Deputi III yang membidangi kerjasama internasional) untuk memastikan adanya integrasi HAM dalam setiap kerjasama internasional memerangi aksi-aksi terorisme dengan memasukkan secara eksplisit prinsip-prinsip HAM sebagai salah satu parameter tujuan dan ukuran keberhasilan pemberantasan terorisme di Indonesia dimana BNPT menjadi badan yang memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi penanganan terorisme di Indonesia.

13


• Kepada Dewan Perwakilan Rakyat 4. Meminta DPR untuk mengefektifkan fungsi Pengawasan (oversight) terhadap pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM dalam kebijakan dan kinerja penanganan tindak pidana terorisme yang dijalankan pemerintah dan Polri. Termasuk mendorong adanya integrasi prinsip-prinsip HAM dalam kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memerangi terorisme. • Kepada Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia 5. Meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jenderal (Pol) Sutarman untuk memastikan implementasi maksimal Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri dalam tugas-tugas penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. • Kepada Petugas/Anggota Densus 88 AT Polri 6. Meminta kepada pimpinan dan anggota Densus 88 untuk secara konsisten dan menyeluruh mengintegrasikan Perkap No

8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri dalam tugas-tugas penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. 7. Meminta kepada pimpinan dan anggota Densus 88 AT untuk tidak bersikap reaktif terhadap pelbagai kritik dari kalangan masyarakat, namun justru menjadikannya sebagai masukan dalam membangun organisasi dan kinerja yang semakin profesional dan berperspektif HAM. • Kepada Masyarakat Sipil 8. Meminta kepada kalangan masyarakat untuk melakukan pemantauan yang efektif terhadap kebijakan pemerintah dan upaya penegakan hukum oleh Polri terhadap tindak pidana terorisme, memberikan kritik dan saran bagi perubahan dan perbaikan kebijakan pemerintah dan kinerja aparat penegak hukum, serta terlibat secara aktif dalam pelbagai upaya pembangunan profesionalitas dan akuntabilitas agenda perang melawan ancaman terorisme, baik yang dilakukan pemerintah Indonesia sendiri maupun dalam kerjasama internasional dengan negara-negara lain.

Search for Common Ground di Indonesia Search for Common Ground adalah organisasi nirlaba internasional di bidang perdamaian. Kami telah bekerja di Indonesia sejak 2002 dengan mengajak masyarakat memilih pendekatan kerjasama daripada kekerasan, dalam menghadapi konflik. Kami mempertemukan pihak-pihak yang berseberangan dari berbagai latar belakang untuk mencari solusi berdasarkan kepentingan bersama melalui dialog, peningkatan kapasitas dan media (televisi, video, radio, komik dan media sosial). Kami bekerja sama dengan masyarakat sipil (perempuan, pemuda, organisasi kemasyarakatan), pemerintah, parlemen dan sektor keamanan. Search for Common Ground Indonesia Jl. Cipaku II No. 7, Petogogan, Jakarta, 12170 Tel: (62-21) 7200964 I Fax: (62-21) 7201034 www.sfcg.org www.facebook.com/CommonGroundIndonesia 14

www.twitter.com/CommonGroundID


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.