POLICY BRIEF
“Integrasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Terorisme”
Dipublikasikan sebagai bagian dari Program “NGO– Security Service Engagement to Stem Human Rights Abuses in Indonesia”
sumber foto: google search
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif ...........................................................1 Pengantar ........................................................................... 2 HAM sebagai Hak Konstitusional Warga Negara ............. 3 Isu-isu HAM dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme ........................................................................... 5 Panduan PBB untuk Penanganan Tindak Pidana Terorisme ........................................................................... 6 Penegakan HAM sebagai Salah Satu Indikator Profesionalitas POLRI ...................................................... 9 Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................ 10 Bacaan Lanjutan .............................................................. 11 Kontributor: TIM PENULIS Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) I Editor: Mufti Makaarim I Database: Nurika Kurnia I Penanggungjawab: Search for Common Ground I Konsultan Ahli: Andi K Yuwono & Agung Yudha
“Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara alamiah melekat pada setiap manusia dalam kehidupan masyarakat, meliputi bukan saja hak perseorangan melainkan juga hak masyarakat, bangsa dan negara yang secara utuh terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Declaration of Human Rights 1948 dan konvensi internasional lainnya.” Penjelasan Pasal 4 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Ringkasan Eksekutif Terorisme bukanlah fenomena baru. Namun eskalasi aksi-aksi terorisme meningkat tajam dalam 15 tahun terakhir hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. Perlindungan warga negara dan keamanan dalam menghadapi ancaman terorisme terkesan memunculkan dua kontradiksi: pertama, adanya kewajiban negara untuk menjamin rasa aman masyarakat dari
ancaman serangan teroris di satu sisi, dan kedua, dalam mengatasi ancaman tersebut, pemerintah juga tidak diperkenankan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum. Salah satu upaya penting yang dilakukan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengatasi kesan kontradiksi ini adalah menunjuk Pelapor Khusus terkait Promosi dan Perlindungan HAM serta Kebebasan Fundamental dalam Mengatasi Terorisme (Special Rapporteur on the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms while countering terrorism) di tahun 2005 serta adanya adopsi terhadap Strategi Global Kontra-Terorisme pada 2006 oleh Sidang Umum PBB yang memasukkan penghormatan HAM dan hukum sebagai salah satu pilarnya. Prinsipnya, upaya mengatasi ancaman terhadap terorisme juga merupakan bagian dari upaya perlindungan dan penghormatan HAM, sehingga tidak dibenarkan untuk mentolerir adanya bentuk-bentuk pelanggaran HAM apapun terhadap siapapun. Dalam konteks Indonesia, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hendaknya serius menggunakan landasan HAM sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan perundang-undangan lain yang memberikan jaminan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM dalam setiap kebijakan yang akan dikeluarkan dan diterapkan. Aktor-aktor keamanan hendaknya memperhatikan landasan hukum dan perundang-undangan sehingga dapat menghindari adanya tuduhan atau fakta pelanggaran hukum dan HAM dalam mengatasi tindak pidana terorisme.
Pengantar Upaya Bangsa Indonesia untuk mendorong penghormatan HAM dapat dikatakan sama panjangnya dengan usia perjuangan memperoleh kemerdekaan dan upaya mengisi kemerdekaan paska terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat, merdeka dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Pada masa perjuangan kemerdekaan, gagasan HAM berhubungan dengan kepentingan membebaskan diri dari belenggu penjajahan, yang tercetus dalam momentum Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, serta Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dengan tegas menyatakan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” 2
UUD 1945 menetapkan aturan pokok HAM yang bersifat kontekstual dengan penegasan pentingnya kemerdekaan. Selanjutnya, secara eksplisit gagasan HAM sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948 dicantumkan dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang berlaku sejak 27 Desember 1949 dan UndangUndang Dasar Sementara 1950 (UUDS) yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.1 Paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ketika Indonesia kembali pada UUD 1945 yang dikukuhkan oleh DPR pada 22 Juli 1959, tekad untuk mewujudkan perlindungan HAM berlanjut dengan adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sementara (MPRS) No XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan Dokumen Rancangan Piagam HAM dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. Keputusan Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967 menyatakan menerima hasil kerja Panitia Ad Hoc untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Namun Sidang Umum MPRS tahun 1968 tidak membahasnya karena mengutamakan pembahasan rehabilitasi dan konsolidasi nasional paska peristiwa Gerakan 30 September 1965.2 Tigapuluh tahun kemudian, tepatnya paska Reformasi 1998, UUD 1945 yang mengalami 4 fase perubahan sejak tahun 1999-2002 pada akhirnya memasukkan kembali secara eksplisit pengakuan HAM sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa perundang-undangan terkait HAM serta ratifikasi sejumlah intsrumen HAM internasional dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memperkuat implementasi jaminan hukum atas pemenuhan, 1 UUD 1945 menyinggung hal-hal umum yang bisa ditafsirkan terkait HAM seperti pengakuan kemerdekaan sebagai hak semua bangsa, segala bentuk penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, persamaan seluruh warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat yang diatur Undang-undang (UU), kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing, hak atas pendidikan, serta pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar oleh negara. UUD RIS mencantumkan Bagian V tentang Hak dan Kebebasan Dasar Manusia, yang diantaranya meliputi pengakuan setiap orang sebagai individu manusia, hak setiap orang untuk menuntut perlakukan dan perlindungan yang sama oleh UU, hak atas bantuan hukum, hak perlindungan diri dan harta benda, hak bebas bergerak dan tinggal di dalam negara, hak bepergian keluar negeri dan kembali, hak tidak diperbudak, hak tidak disiksa atau dihukum dengan hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak tidak ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang, hak tidak dihukum dengan hukuman yang berlaku surut, hak tidak kehilangan kewarganegaraan atau hak perdata atas dalih suatu pelanggaran hukum, hak atas privasi, hak atas kebebasan berfikir dan beragama, termasuk kebebasan bertukar agama atau melaksanakan agama di muka umum atau dilingkungannya sendiri, hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berkumpul dan rapat secara damai, hak turut serta dalam pemerintahan, serta larangan melakukan pembatasan selain untuk kepentingan penjaminan hak-hak orang lain dan menafsirkan hak-hak di atas oleh penguasa, golongan atau orang yang dapat mengurangi hak-hak di atas. UUDS 1950 menegaskan kembali jaminan dalam UUD 1945 dan ketentutan tentang Hak dan Kebebasan Dasar manusia dalam UUD RIS di atas dengan menambahkan beberapa ketentuan seperti hak melakukan demonstrasi dan pemogokan, hak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, hak memilih pekerjaan dan syarat perburuhan yang adil, hak mendirikan serikat pekerja, hak atas pengajaran, serta hak melakukan pekerjaan sosial dan amal. 2 Ketetapan (TAP) MPR-RI No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, ditetapkan pada 13 November 1998
penghormatan dan perlindungan HAM di Indonesia. Policy Brief ini bertujuan menyegarkan kembali ingatan kolektif bangsa Indonesia akan pentingnya konsistensi dan sikap konsekuen dalam memastikan penghormatan HAM sebagai bagian dari cita-cita luhur kemerdekaan dan upaya pada pendiri negara untuk menciptakan suatu tatanan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. HAM bukanlah gagasan yang ‘asing’ yang dipaksakan untuk diterima atau diterapkan di negara Indonesia, namun justru merupakan inti dari tujuan berbangsa dan bernegara seperti tertuang dalam UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan tidak dapat dilakukan dengan mentoleransi adanya pelanggaran HAM, baik terhadap masyarakat, tersangka teroris maupun aparat yang bertugas. Karenanya penting bagi pemerintah untuk dapat mewujudkan suatu sistem penanganan yang memastikan adanya jaminan perlindungan HAM.
warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh; dan 3). Bangsa Indonesia menyadari bahwa HAM bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.3 Pandangan ini menjadi latar belakang penting konsepsi HAM yang kemudian dituangkan dalam amandemen kedua UUD 1945 Bab XA tentang HAM yang menguraikan bentuk-bentuk HAM dalam pasalpasal sebagai berikut: • Pasal 28A: Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan. • Pasal 28B: Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dan hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh,dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. • Pasal 28C: Hak atas pengembangan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, serta hak memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
sumber foto: google search
HAM Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara TAP MPR-RI No XVII Tahun 1998 tentang HAM menyebutkan pandangan tentang konsep HAM yang dipahami bangsa Indonesia, yaitu: 1). Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia; 2). Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin,
• Pasal 28D: Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak atas status kewarganegaraan. • Pasal 28E: Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama masing-masing, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali, hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, serta hak atas kebebasan berserikat, berkumpul,dan mengeluarkan pendapat.
3 Ketetapan (TAP) MPR-RI No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, ditetapkan pada 13 November 1998
3
• Pasal 28F: Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk pengembangan pribadi dan lingkungan sosial, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. • Pasal 28G: Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaan seseorang, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusiadan hak memperoleh suaka politik dari negara lain. • Pasal 28H: Hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan, hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri seseorang secara utuh sebagai manusia yang bermartabat dan hak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. • Pasal 28I: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, serta identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yang dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. • Pasal 28J: Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
4
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Untuk memastikan jaminan perlindungan HAM sejumlah instrument HAM nasional disiapkan, baik yang diinisiasi berdasarkan kebutuhan akan adanya perudangan-undangan baru maupun yang merupakan ratifikasi dari pelbagai instrument HAM internasional.4 Termasuk dengan memasukkan pertimbangan pemenuhan HAM dalam beberapa perundang-undangan, seperti UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan UU No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang. UU No 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa POLRI bertujuan mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat POLRI senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi HAM dan mengutamakan tindakan pencegahan. Sedangkan UU No 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan HAM, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antar golongan.
4 Beberapa Perundang-undangan tersebut antara lain: UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM UU No 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Meyampaikan Pendapat di Muka Umum UU No 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuaan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. UU No 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial UU No 3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU No 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya UU No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik UU N0 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Sebelum tahun 1998 ada juga ratifikasi yang dilakukan pemerintah RI, UU No 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,
terorisme merupakan suatu kejahatan yang keji, namun pemerintah dan aparat penegak hukum dituntut untuk ‘tidak mengambil kebiijakan dan menggunakan kekuatan represif secara berlebihan’, yang dapat menimbulkan persoalan baru terkait HAM, baik terhadap masyarakat maupun tersangka teroris.
sumber foto: google search
Isu-isu HAM dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme Tak lama setelah peristiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 jiwa dan melukai 209 jiwa, tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu) No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.5 Perpu tersebut akhirnya ditetapkan menjadi Undang-undang (UU) No 15/2003 Tentang Penetapan Perpu No 1/2002 menjadi UU, diikuti UU No 16/2003 Tentang Penetapan Perpu No 2/2002 Tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi UU. Selanjutnya UU ini menjadi dasar hukum pelaksanaan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. UU ini juga menjadi latar belakang pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (Skep) Kapolri No 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, dengan tujuan untuk melaksanakan UU No 15/2003, terutama yang berhubungan penegakan hukum seperti kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (pasal 26 dan 28 UU No 15/2003). Dalam upaya penegakan hukum yang dilakukan Densus 88 AT menghadapi tindak pidana terorisme inilah muncul kritik dan tuntutan dari pelbagai kalangan, terutama berkaitan dengan dampaknya terhadap HAM. Meskipun perbuatan yang dilakukan oleh pelaku 5 Penetapan ini dilakukan dengan pandangan bahwa payung hukum yang ada tidak memadai dan gagal mengatasi acaman serupa yang pernah terjadi sebelumnya dan peristiwa peledakan bom di Bali merupakan aksi terorisme terburuk dalam sejarah Indonesia yang tidak mungkin diatasi dengan payung hukum yang ada.
Terkait upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasa (KONTRAS) dalam laporannya yang berjudul “Keadilan Macet, Kekerasan Jalan Terus: Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia 2012” menyoroti penggunaan senjata api yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sipil atau tersangka teroris, salah tangkap, intimidasi dan kekerasan. Kasus penggerebekan Densus 88 AT di Bali terhadap persembunyian tersangka teroris di Jalan Gunung Soputan Denpasar dan Jalan Danau Poso Sanuar mengakibatkan 5 orang terduga teroris tewas ditembak di tempat. Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Hariadi, mengatakan ada kemungkinan warga lokal yang menjadi korban tewas, namun sampai hari ini tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang kejadian tersebut. Pada tahun 2012 di Poso, 2 tersangka teroris tewas ditembak dan 5 orang terluka, serta sebanyak 8 orang ditangkap secara paksa. Di tahun yang sama, 2 orang tersangka teroris mati ditembak di Provinsi Banten. Di Solo, dalam penyisiran wilayah untuk mencari pelaku terror terjadi praktik penyalahgunaan prosedur yang mengakibatkan insiden salah tangkap (salah membaca instruksi surat perintah penangkapan), kekerasan serius, dan intimidasi seperti yang dilakukan terhadap Muarifin (18/07/12) dan Dul Rahman 18 (22/11/12), yang ditangkap di lokasi berbeda, serta insiden pemukulan dan ancaman fisik terhadap Wiji Suwito (31/08/12) – ayah mertua Bayu Setiono yang diduga kuat terlibat dalam aksi teror di Solo.6 Kontras mencatat sejak pertengahan Agustus hingga minggu keempat Oktober 2012, terjadi 2 kasus penembakan yang mengakibatkan 1 warga meninggal dunia dan 1 orang mengalami luka tembak di Poso. Dilaporkan pula adanya penculikan 2 anggota Polisi yang bertugas di Polsek Poso Pesisir, yang kemudian keduanya ditemukan tewas terkubur di satu lubang di wilayah pegunungan Tamanjeka, Poso Pesisir. Selain itu, praktik salah tangkap dan penyiksaan dengan tuduhan terlibat dalam insiden penembakan 20 Desember 2012 yang menewaskan 4 anggota Brigade Mobile (Brimob) dan melukai beberapa anggota lainnya terjadi terhadap 14 orang dari Desa Kalora dan Desa Tambarana yang 6 Kontras, Keadilan Macet, Kekerasan Jalan Terus: Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia 2012, Jakarta: Kontras, 2012, h. 17-18
5
kebanyakan berprofesi sebagai guru sekolah dan petani. Mereka baru dibebaskan setelah melewati proses pemeriksaan 7 x 24 jam. Namun sebelum mereka dibebaskan, mereka mengalami praktik kekerasan yang berlebihan, seperti pemukulan, penyiksaan dan intimidasi. Menurut Kapolres Poso AKBP Eko Santoso, ke-14 orang tersebut sudah datang dalam keadaan babak belur sebelum dimasukkan ke sel tahanan dan menjalani pemeriksaan.7 Dalam pernyataan tertulis yang disampaikan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada Sesi ke-14 Dewan HAM PBB pada 28 Mei 2010, mereka menyebutkan persoalan HAM terkait upaya penegakan hukum oleh Densus 88 AT Polri. Menurut INFID, “Terorisme telah menjadi alasan untuk meniadakan HAM. Terutama dalam tindakannya, Densus 88, dalam menghadapi terorisme cenderung menggunakan senjata api sebagai ganti proses hukum. Dalam tayangan televisi, kita dapat menyaksikan bahwa polisi sebenarnya masih mampu untuk menahan tembakan, dalam upaya untuk menangkap seseorang yang disangka sebagai teroris tagar tidak membahayakan. Jika terpaksa melepaskan tembakan, seharusnya tidak pada sasaran yang mematikan. Akibatnya, penyergapan terhadap teroris dianggap bertujuan untuk melakukan pembunuhan di luar prosedur hukum (extra judicial killing).” INFID juga menegaskan, “meskipun terorisme merupakan kejahatan yang khusus, setiap aktor keamanan yang menanganinya harus tetap berpegang pada hukum Indonesia seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan mengedepankan prinsip-prinsip HAM. Tersangka teroris berhak menuntut kebenaran atas tuduhan terhadap mereka dan berhak mendapat bantuan hukum.”8 Sebelumnya, Human Rights Watch dalam laporannya berjudul, “In The Name of Counter-Terrorism: Human Rights Abuses Worldwide” mengkritisi upaya penetapan Perpu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU No 15/2003, sementara UU pidana yang ada oleh kalangan advokat HAM dianggap cukup memadai untuk menindak tindak pidana terorisme. Regulasi ini berpotensi mengancam hak-hak fundamental dan defenisi terorisme dapat digunakan untuk menyerang kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan pemerintah. UU ini memperolehkan penggunaan informasi intelijen sebagai dasar penahanan 7 x 24 jam tanpa akses informasi bagi tersangka dengan 7 Ibid 8 Human Rights Council, Fourteenth session, Agenda item 3: Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including the right to development, Written statement submitted by the International NGO Forum on Indonesian Development, a non-governmental organization in special consultative status.
6
keluarga dan kuasa hukum. UU ini juga mengesahkan hukuman maksimum berupa hukuman mati. Pada bulan September 2002, Menteri Luar Negeri Hasan Wirayuda memberikan label teroris kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah melakukan aksi terorisme. Pernyataan-pernyataan ini menurut Human Rights Watch merupakan politisasi dari upaya perang melawan terorisme yang awalnya hanya ditujukan terhadap jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.9 Beberapa contoh keberatan dan kritik terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme di atas tidak menegasikan pentingnya upaya penegakan hukum serta seriusnya ancaman terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Apa yang disampaikan merupakan harapan dan dukungan terhadap penegakan hukum yang disertai dengan kecermatan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip HAM, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, instrumen dan standar HAM internasional. Akuntabilitas hukum dan HAM menjadi salah satu indikator penting yang melengkapi statistik pelaku/tersangka teroris yang telah tertangkap serta ancaman yang berhasil dicegah dan diatasi Densus 88 AT POLRI.
Panduan HAM PBB untuk Penanganan Tindak Pidana Terorisme Pelapor Khusus (Special Rapporteur) terkait Promosi dan Perlindungan HAM serta Kebebasan Fundamental dalam Mengatasi Terorisme, Martin Scheinin, dalam laporan yang disampaikan kepada Dewan HAM PBB pada tanggal 22 Desember 2010 mengidentifikasi 10 praktek terbaik (best practices) dalam penanganan terorisme yang berkembang di beberapa negara di dunia berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional, resolusi-resolusi yang diadopsi oleh organisasi-organisasi internasional serta jurisprudensi pengadilan-pengadilan internasional dan regional.10 9 Human Rights Watch, In the Name of Counter-Terrorism: Human Rights Abuses Worldwide, A Human Rights Watch Briefing Paper for the 59th Session of the United Nations Commission on Human Rights, March 25, 2003, New York: 2003, h. 16-17 10 Konsep ‘praktek terbaik’ merujuk pada kerangka legal dan institusional yang menjamin promosi dan perlindungan HAM, kebebasan fundamental serta penegakan hukum (rule of law) dalam semua aspek kontra-terorisme. Praktek terbaik tidak semata-mata merujuk pada apa yang disyaratkan hukum internasional termasuk hukum HAM, namun juga memasukkan prinsip-prinsip yang lebih maju yang mengikat kewajiban HAM. Identifikasi praktek terbaik dilakukan berdasarkan kriteria: 1). Adanya pengakuan yang kredibel bahwa praktek yang ada atau sedang disiapkan merupakan sesuatu yang diminta atau direkomendasikan oleh atau berdasarkan jurisprudensi peradilan internasional, regional atau domestik; 2). Pratik tersebut berhubungan dan mempromosikan perang yang efektif terhadap terorisme; dan
Martin mengusulkan 10 praktek terbaik ini dapat diadopsi negara-negara anggota PBB untuk menjadi panduan penanganan terorisme di negara-negara tersebut. Praktek-praktek tersebut adalah:11 •
Praktek 1: Adanya konsistensi undang-undang kontra-terorisme dengan hukum HAM, hukum pengungsi dan hukum humaniter. Rancangan undang-undang (RUU) atau amandemen UU harus dipastikan tidak bertentangan dengan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter. Anggota parlemen atau komisi khusus di parlemen harus memastikan RUU atau usulan amandemen ini disahkan menjadi UU. Sistem penegakan hukum harus dipastikan melaksanakannya dan merancang teknik pelaksanaan dengan memberikan tafsir hukum yang konsisten dengan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter, mendeklarasikan tidak adanya dampak buruk terhadap masyarakat atas pelaksanaan UU ini, dan jika terjadi dampak negatif pemerintah diharuskan melakukan pemulihan segera.
•
•
Praktek 3: Adanya ketentuan tentang prinsip tentang keadaan normal dan keadaan tertentu. Perluasan lingkup operasi, pertimbangan dalam menghadapi terorisme harus dilakukan otoritas sipil yang dipercaya memegang fungsi terkait perang
Praktek 4: Adanya ketentuan tentang penilaian terhadap implementasi UU Kontra-terorisme dan pelaksanaannya di lapangan. Ketika institusi khusus kontra-terorisme dibentuk berdasarkan Praktek 3 di atas, mereka harus dibubarkan 12 bulan setelah bertugas, kecuali jika parlemen melakukan penilaian dan perpanjangan masa tugas sebelum tenggat akhir masa tugas. Eksekutif harus menunjuk individu atau badan yang bertindak sebagai penilai independen terhadap pelaksanaan UU kontra-terorisme. Individu yang ditunjuk sekurang-kurangnya setelah 12 bulan melaporkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan UU dan temuan-temuan terkait penilaian tersebut kepada eksekutif dan legislatif yang memuat pandangan tentang: implikasi UU atau penilaian apakah UU tersebut sesuai dengan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter, serta apakah implementasi UU selama periode penilaian sesuai dengan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter.
Praktek 2: Adanya konsistensi pelaksanaan operasi kontra-terorisme dengan hukum HAM, hukum pengungsi dan hukum humaniter. Dalam mengaplikasikan seluruh fungsi UU kontraterorisme, tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan ketentuan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter. Penggunaan kekuatan harus berdasarkan tujuan jelas menurut UU dengan memperhitungkan secara mendalam kebutuhan kekuatan untuk dikerahkan dan tidak melanggar hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights). Pelaksanaan UU terorisme membutuhkan tujuan yang sah dan diterima oleh publik serta proporsional, semata-mata untuk mencapai tujuan sah yang telah ditetapkan.
•
melawan terorisme dan pengerahan kekuatan dengan wajar. Selain jika keadaan darurat telah dideklarasikan secara resmi karena ancaman terorisme yang nyata-nyata mengancam kehidupan bangsa dan membutuhkan proses pertimbangan yang tidak bisa dilakukan berdasarkan pembatasan di atas serta dibolehkan oleh hukum HAM internasional, maka terorisme tidak dapat menjadi alasan pemicu pengerahan kekuatan darurat/berlebihan. Ketika UU memuat ketentuan khusus dengan alasan mendesak dan dipertimbangkan penting dalam memerangi terorisme dan membentuk otoritas-otoritas dengan kewenangan khusus, maka penggunaan kekuatan otoritas-otoritas tersebut untuk tujuan di luar memerangi terorisme tidak diperkenankan.
•
Praktek 5: Adanya ketentuan tentang Pemulihan (remedies). Setiap orang yang terlanggar hak asasinya dalam pelaksanaan operasi kontra-terorisme atau pelaksanaan UU kontra-terorisme memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan yang cepat, efektif dan dapat dilaksanakan. Pengadilan memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan pemenuhan hak ini berjalan efektif.
3). Praktek yang dilakukan sesuai dengan HAM dan/atau memperomosikan jaminan HAM dan kebebasan fundamental. 11 Human Rights Council, Sixteenth session, Agenda item 3 Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including the right to development, Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms while countering terrorism, Martin Scheinin, Ten areas of best practices in countering terrorism.
7
•
Praktek 6: Adanya ketentuan tentang reparasi dan bantuan bagi korban.
•
Kerusakan harta benda seseorang yang dimiliki alamiah atau berdasarkan hukum sebagai akibat serangan terorisme atau tindakan yang dilakukan atasnama memerangi terorisme harus dipulihkan atau dibayarkan kompensasinya dari keuangan negara, sesuai ketentuan hukum HAM internasional. Seseorang yang mengalami cedera fisik atau kerusakan lainnya, atau mengalami pelanggaran HAM sebagai akibat tindakan terorisme atau penanganan dalam kontra-terorisme harus mendapat bantuan hukum, kesehatan, psikologis dan bantuanbantuan lainnya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi sosialnya dari anggaran negara. •
•
Praktek 8: Ketentuan tentang kejahatan penghasutan untuk melakukan terorisme. Ini merupakan kejahatan yang disengaja dan disebarkan secara melanggar hukum, atau berupa penyediaan satu pesan kepada publik dengan tujuan mengajak ikut serta dalam kejahatan teroris, dimana tindakan tersebut meskipun tidak secara terbuka mendukung serangan teroris dapat menyebabkan mara bahaya dimana satu atau lebih kejahatan dapat terjadi.
8
Tanpa bergantung pada praktek Dewan Keamanan mendaftar individu atau entitas tertentu sebagai teroris, implementasi sangsi apapun terhadap mereka harus sesuai dengan pelindungan minimum berikut: 1). Sangsi terhadap individu atau entitas tertentu harus berdasarkan alasan mendasar yang masuk akal dimana individu atau entitas tersebut diketahui melakukan, berpartisipasi atau memfasilitasi aksi terorisme (seperti didefenisikan dalam praktek 7 di atas); 2). Individu atau entitas yang terdaftar tersebut harus segera mendapat pemberitahuan perihal pendaftaran nama, latar belakang pendaftaran nama, konsekuensi dan halhal pada point 3 berikut ini; 3). Mereka yang terdaftar berhak membuat permohonan penghapusan nama dari daftar atau penghentian sangsi dan berhak atas penilaian pengadilan terhadap aplikasi permohonan penghapusan nama tersebut, termasuk penutupan kasus dan ketentuan keharusan membuktikan bahwa semuanya sepadan dengan beratnya sangsi; 4). Individu atau entitas yang terdaftar tersebut berhak membuat permohonan baru untuk penghapusan nama atau pencabutan sangsi ketika terjadi perubahan situasi atau adanya bukti baru yang relevan dengan pendaftaran; 5). Daftar nama individu atau entitas tersebut secara otomatis akan kadaluarsa setelah 12 bulan, kecuali jika diperbaharui melalui penentuan yang memenuhi persyaratan point 1 dan 3 di atas; dan 6). Kompensasi tersedia bagi individu atau entitas yang menjadi korban salah daftar, termasuk pihak ketiga.
Praktek 7: Ketentuan pendefenisian terorisme. Terorisme diartikan sebagai tindakan atau percobaan tindakan yang: 1). Didasari keinginan untuk sengaja menyandera; atau 2). Menyebabkan kematian atau luka tubuh serius terhadap satu atau beberapa anggota dari populasi umum atau sebagiannya; atau 3). Melibatkan kekerasan fisik yang serius atau mematikan terhadap satu atau lebih dari populasi umum atau sebagiannya; atau tindakan yang dilakukan atau dicoba dilakukan dengan tujuan 4). Memprovokasi situasi menakutkan (state of terror) di ruang publik atau sebagiannya; atau 5). Memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; dan tindakan yang berhubungan dengan 6). Apa yang didefenisikan sebagai kejahatan sipil serius dalam hukum nasional, yang ditetapkan dengan tujuan penyesuaian dengan konvensi-konvensi internasional dan protokol-protokol atau resolusi Dewan Keamanan yang berhubungan dengan terorisme, atau 7). Semua elemen kejahatan serius yang didefenisikan hukum nasional.
Praktek 9: Adanya elemen utama praktek terbaik dalam penyusunan daftar kelompok-kelompok teroris.
•
Praktek 10: Adanya elemen utama praktek terbaik dalam penangkapan dan introgasi tersangka teroris. Segala bentuk penahanan secara rahasia dilarang. Setiap individu berhak menghubungi pengacara yang dia inginkan sejak awal penangkapan atau penahanan. Segala bentuk penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dilarang dan pemenuhan larangan ini harus diawasi ketat. Penggalian informasi melalui penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dilarang dalam setiap prosedur, dan tidak boleh diajukan atau ditolerir. Setiap orang yang ditangkap sebagai tersangka teroris yang terancam resiko penyiksaan atau tindakan lain yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, harus
mendapat hak untuk tidak dipulangkan, diekstradisi, diusir baik secara resmi ataupun tidak resmi ke negara atau area dimana ia akan mendapat resiko tersebut.
Penegakan HAM sebagai Salah Satu Indikator Profesionalitas POLRI Sebagai alat negara yang menjalankan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, maka sudah menjadi kewajiban Polri untuk turut serta mendorong pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM. Kewajiban ini melekat dalam kewajiban pemerintah untuk memastikan jaminan perlindungan HAM melalui kebijakan perundangundangan, kebijakan pembangunan serta pemeliharaan keamanan. Pada tahun 2009 Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri. Dalam konsiderans Menimbang, Perkap menyatakan bahwa, “sebagai alat negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.� Karenanya Perkap ini ditujukan agar seluruh jajaran Polri (termasuk Densus 88 AT) memiliki pedoman sehingga dapat menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Prinsip-prinsip penting HAM yang ditegaskan dalam Perkap No 8/2009 ini antara lain: 1. Adanya pencantuman perundang-undangan yang berhubungan dengan HAM pada konsiderans Mengingat, sehingga setiap aparat kepolisian tidak dapat pengabaikan pemenuhan jaminan perundangundangan terhadap HAM setiap warga negara ketika bertugas di lapangan. 2. Adanya pencantuman prinsip-prinsip perlindungan HAM yang meliputi: a. perlindungan minimal; b. melekat pada manusia; c. saling terkait; d. tidak dapat dipisahkan; e. tidak dapat dibagi; f. universal; g. fundamental; h. keadilan; i. kesetaraan/ persamaan hak; j. kebebasan; k. non-diskriminasi; dan l. perlakuan khusus bagi kelompok yang memiliki kebutuhan khusus (affirmative action). 3. Adanya penegasan agar setiap anggota Polri
memperhatikan instrumen perlindungan HAM sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 pasal 27, pasal 28 dan pasal 29. 4. Adanya penegasan tentang HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights) yang meliputi: a. hak untuk hidup; b. hak untuk tidak disiksa; c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani; d. hak beragama; e. hak untuk tidak diperbudak; f. hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; g. hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; dan h. hak untuk tidak dipenjara karena tidak ada kemampuan memenuhi perjanjian. 5. Adanya kewajiban bagi setiap anggota Polri untuk dapat memahami isntrumen-instrumen HAM nasional dan internasional. 6. Adanya kewajiban untuk memperhatikan asas legalitas (kesesuaian dengan prosedur dan hukum, asas nesesitas (tindakan anggota Polri bertujuan untuk penegakan hukum dan pembatasan yang dilakukan hanya terhadap kejadian pelanggaran hukum), serta asas proposionalitas (keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi). 7. Adanya standar prilaku umum bagi setiap anggota/ petugas Polri berupa ketentuan berprilaku (Code of Conduct) dan larangan, serta standar prilaku dalam tindakan kepolisian yang mengatur secara ketat dan terinci perihal prosedur kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. 8. Dalam upaya penegakan hukum, Perkap ini menjamin hak-hak tersangka yang meliputi: a. asas praduga tak bersalah; b. hak tersangka; c. hak untuk diadili secara adil; dan d. penghormatan martabat dan privasi seseorang. 9. Perkap mengatur ketentuan perlindungan HAM dalam situasi darurat dan perlindungan HAM dalam kerusuhan missal yang harus dapat dipenuhi oleh setiap anggota/petugas Polri. 10. Adanya ketentuan penggunaan senjata api yang mensyaratkan: a. pengutamaan tindakan dan caracara tanpa kekerasan; b. penerapan tindakan keras bila sangat diperlukan; c. untuk tujuan penegakan hukum yang sah; d. tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum; e. penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus proporsional dengan tujuannya dan 9
sesuai dengan hukum; f. penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi; g. harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan h. kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin. 11. Terkait penggunaan senjata api, petugas hanya boleh menggunakannya untuk: a. menghadapi keadaan luar biasa; b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat; c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat; d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. 12. Adanya ketentuan tentang pelayanan korban dan saksi. 13. Adanya ketentuan perlindungan HAM bagi anggota Polri, yang meliputi: a. perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang dari atasan; b. adanya hak mendapat perlindungan hukum (immunity) bagi anggota Polri yang menolak perintah pimpinan yang nyata-nyata bertentangan dengan hukum; c. adanya hak meminta perlindungan hukum kepada pimpinan atas pelaksanaan tugas yang telah diperintahkan oleh pejabat Polri kepada anggotanya. Melengkapi upaya untuk memaksimalkan perlindungan HAM, khususnya dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme, Polri mengeluarkan Perkap No 23/2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme. Perkap ini menegaskan prinsip-prinsip penting dalam penindakan tersangka terorisme yang meliputi prinsip legalitas (berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan), prinsip proporsional (tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan eskalasi ancaman yang dihadapi), prinsip keterpaduan (memelihara koordinasi, kebersamaan, dan sinergitas segenap unsur/komponen bangsa yang dilibatkan dalam penanganan), prinsip nesesitas (teknis pelaksanaan penindakan terhadap tersangka tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi dan kondisi lapangan), dan prinsip akuntabilitas (penindakan terhadap tersangka tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan). Selanjutnya perkap ini mengatur aspek-aspek teknis seperti kategori 10
dan tahapan penindakan, kegiatan pra-penindakan, prosedur penindakan, kegiatan paska penindakan, serta kegiatan dukungan penindakan.
sumber foto: google search
Kesimpulan dan Rekomendasi Pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM merupakan tujuan dan dampak yang diharapkan dari pelbagai upaya penegakan hukum dan keamanan, termasuk dalam penanganan tindak pidana terorisme. Rasa aman masyarakat bukan semata-mata rasa aman dari terhadap ancaman kejahatan maupun keselamatan mereka, namun juga rasa aman dari kemungkinan kesalahan atau penyalahgunaan kewenangan dari aparat penegak hukum di lapangan. Karenanya publik membutuhkan aparat penegak hukum yang profesional dan berperspektif HAM, yang bercirikan: 1). Memiliki keahlian yang terus meningkat; 2). Patuh dan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 3). Bekerja proporsional berdasarkan analisa ancaman dan strategi penindakan yang seimbang; dan). Memiliki mekanisme akuntabilitas publik serta terbuka atas penyelidikan hukum apabila ada dugaan pelanggaran. Pelbagai upaya untuk memastikan jaminan HAM telah dilakukan pemerintah dan DPR, termasuk sektor keamanan seperti Polri. Kalangan masyakat sipil yang diwakili sejumlah LSM, tokoh masyarakat dan akademisi juga memberikan kontribusi dalam bentuk kritik, saran dan kerjasama sehingga memberikan satu nuansa penegakan HAM yang komprehensif. Dalam rangka meningkatkan efektivitas perlindungan HAM dalam penanganan tindak pidana terorisme, Policy Paper ini menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: •
Kepada Pemerintah 1. Meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kementerian terkait untuk terus menerus mendorong profesionalitas dan akuntabilitas
HAM dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme dalam bentuk evaluasi dan penataan agenda kontra-terorisme yang telah berjalan sehingga konsisten dengan ketentuan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter. 2. Meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mememrintahkan kementerian terkait untuk mengadopsi 10 Praktek Terbaik penanganan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana tertuang dalam laporan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) terkait Promosi dan Perlindungan HAM serta Kebebasan Fundamental dalam Mengatasi Terorisme, Martin Scheinin, untuk kemudian menjadi panduan pemerintah, parlemen dan sector keamanan untuk menyusun kebijakan terkait penegakan hukum tindak pidana terorisme yang berperspektif HAM. •
•
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat 3. Meminta DPR untuk mengefektifkan fungsi Pengawasan (oversight) terhadap kebijakan dan kinerja penanganan tindak pidana terorisme yang dijalankan pemerintah dan Polri, terutama untuk memastikan terjaminnya pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM secara efektif. DPR juga diharapkan untuk mengevaluasi implementasi UU No 15/2003 yang sampai dengan saat ini dianggap berdampak pada persoalan-persoalan HAM dalam penanganan tindak pidana terorisme. Kepada Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia 4. Meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Timur Pradopo untuk memerintahkan penggunaan secara ketat Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri dalam tugas-tugas penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme untuk menghindari adanya kemungkinan pelanggaran HAM di lapangan. Akuntabilitas HAM dalam penanganan tindak pidana terorisme akan meningkatkan dukungan masyarakat terhadap Polri, sehingga peran serta masyarakat dalam penanganan ancaman terorisme akan semakin meningkat.
•
Kepada Petugas/Anggota Densus 88 AT Polri 5. Meminta kepada pimpinan dan anggota Densus 88 untuk secara konsisten dan menyeluruh mengintegrasikan Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri dalam tugastugas penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. 6. Meminta kepada pimpinan dan anggota Densus 88 AT untuk tidak bersikap reaktif terhadap pelbagai kritik dari kalangan masyarakat, namun justru menjadikannya sebagai input dalam membangun organisasi dan kinerja yang semakin profesional dan berperspektif HAM.
•
Kepada Masyarakat Sipil 7. Meminta kepada kalangan masyarakat untuk melakukan pemantauan yang efektif terhadap kebijakan pemerintah dan upaya penegakan hukum oleh Polri terhadap tindak pidana terorisme, memberikan kritik dan saran bagi perubahan dan perbaikan kebijakan pemerintah dan kinerja aparat penegak hukum, serta terlibat secara aktif dalam pelbagai upaya pembangunan profesionalitas dan akuntabilitas Agenda Perang melawan ancaman terorisme yang masih terjadi di Indonesia hingga saat ini.
Bacaan Lanjutan 1. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2. Code of Conduct for Law Enforcement Officials, diadopsi oleh Sidang Umum PBB melalui Resolusi 34/169 pada 17 Desember 1979 3. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, diadposi oeh Kongres ke 8 PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelanggar Hukum, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990 4. Laporan Special Rapporteur PBB untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia serta Hak-hak Fundamental dalam menghadapi Terorisme, Martin Scheinin, 10 Area Praktek terbaik (best practices) dalam menghadapi Terorisme, 22 Desember 2010 5. Understanding Policing, a Resource for Human Rights Activist, Anneke Osse, Amnesty International Nederland, 2006 11
Tentang Search for Common Ground Didirikanpadatahun 1982, Search for Common Ground berupaya untuk mentransformasi cara dunia menghadapi konflik: daripendekatan yang bermusuhan menuju penyelesaian masalah yang kooperatif. Kami menggunakan pendekatan multidimensi, menggunakan media dan bekerjasama dengan mitra-mitra lokal dipemerintahan dan masyarakat sipil. Dengani tu kami mencari cara-cara yang sesuai dengan budaya lokal untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam menghadapi konfliksecara konstruktif: dengan memahami perbedaan dan mencari solusi bersama.
Misi Kami Misi kami adalah mentransformasi cara dunia menghadapi konflik: daripendekatan yang bermusuhan menuju penyelesaian masalah yang kooperatif. Kemampuan kita untuk menghadapi konflik memengaruhi cara kita menangani setiap masalah yang dihadapi manusia. Baik masalah global seperti kemiskinan, kelaparan atau lingkungan, maupun masalah yang lebih dekat dengan keseharian seperti hubungan keluarga atau komunitas, setiap hari kita menghadapi tantangan terhadap kemampuan kita menangani konflik secara konstruktif. Kami tetap optimis bahwa, secara keseluruhan, sejarah bergerak menuju arah yang positif. “Tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan.Konflik dengan kekerasan diciptakan dan dipertahankan oleh manusia, dan bisa diakhiri oleh manusia.” - Senator George Mitchell “Peluang untuk kerjasama selalu ada, dalam perselisihan-perselisihan yang paling parah sekalipun, seandainya saja kita mau berusaha mencarinya.” - William Raspberry, Washington Post Columnist Dengan mentransformasi cara orang menghadapi konflik, kita bisa mengambil langkah-langkah signifikan dalam mengatasi masalah-masalah utama yang dihadapi dunia.
Visi Kami Visi kami adalah sebuah dunia di mana: • Individu, organisasi, pemerintah dan masyarakat merespon perbedaan dengan cara-cara non-permusuhan, di mana perbedaan-perbedaan tersebut menstimulasi perkembangan sosial, bukannya menyebabkan kekerasan. • Pendekatan yang dominan dalam menghadapi konflik adalah merangkul untuk bekerjasama dengan orang-orang yang bertentangan dengan kita, di mana rekonsiliasi dianggap sebagai norma yang berlaku. • Rasa hormat kita terhadap satu sama lain serta kepentingan dan permasalahan kita bersama tidak dikalahkan oleh perbedaan sudut pandang. • Tujuan kita adalah menjadikan tindakan mencari titik temu sebagai kebiasaan.
Search for Common Ground di Indonesia Search for Common Ground telah bekerja di Indonesia sejak tahun 2002. Kami bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, pemangku-pemangku kebijakan, lembaga-lembaga media, komunitas-komunitas adat dan korbankorban konflik di berbagai penjuru Indonesia, termasuk daerah-daerah konflik seperti Aceh, Poso, Madura dan Papua. Bersama dengan para mitra, kami mendukung segala usaha perdamaian dengan transformasi konflik melalui berbagai aktivitas seperti pelatihan dan penguatan peran media. Search for Common Ground Indonesia Jl. Cipaku II No. 7, Petogogan, Jakarta, 12170 Tel: (62-21) 7200964 Fax: (62-21) 7201034 www.sfcg.org www.facebook.com/CommonGroundIndonesia
www.twitter.com/CommonGroundID