POLICY BRIEF
“Peran DPR dan Fungsi Pemerintah untuk Memastikan Integrasi HAM dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Terorisme”
Dipublikasikan sebagai bagian dari prograM“NGO– Security Service Engagement to Stem Human Rights Abuses in Indonesia”
sumber foto: google search
Pengantar Sebagaimana telah kita ketahui bahwa terorisme ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary) yang melibatkan jaringan luas lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.1 Bahaya terorisme dapat mengganggu keberlangsungan proses pembangunan, kehidupan sosial masyarakat, kondisi perekonomian, situasi politik, iklim investasi dan citra Indonesia di mata dunia.
yang mengatur penindakan aksi terorisme yang berlangsung sejak peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002.2 Beberapa ketentuannya melampaui kewenangan dan tata aturan penindakan kejahatan sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lahirnya ketentuan yang bersifat extra ordinary tersebut didasarkan pada amanat konstitusi, dimana dalam Pembukaan UndangUndang Dasar (UUD) Tahun 1945 alinea ke-4 dinyatakan bahwa negara memiliki kewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.3 Tanggungjawab besar pemerintah memberantas terorisme untuk menjamin keamanan, keselamatan, 2
Memahami bahaya besar terorisme yang mengancam keamanan, ketertiban dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah mengeluarkan beberapa produk hukum 1
Penjelasan Undang-Undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang.
Beberapa produk hukum tersebut yaitu: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 2. Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 3. Undang-undang (UU) No 15/2003 Tentang Penetapan Perpu No 1/2002 menjadi UU 4. Surat Keputusan (Skep) Kapolri No 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 untuk melaksanakan UU No 15/2003, dan sebagai dasar pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) 5. Peraturan Kapolri (Perkap) No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri 6. Perkap No. 23/2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme 1.
3
Penjelasan Undang-Undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang.
Daftar Isi
Pengantar .............................................................................................................................................................................................................. 1 Pentingnya Kehadiran Negara dalam Menjamin HAM Warga Negara................................................................................................................ 3 Praktek-Praktek Terbaik Peran Efektif Parlemen dan Pemerintah dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme ............................................. 5 Apa Saja Peran-Peran yang Bisa dilakukan DPR ................................................................................................................................................ 8 Bagaimana Fungsi Pemerintah ........................................................................................................................................................................... 10 Kontributor: TIM PENULIS Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) I Editor: Mufti Makaarim I Database: Nurika Kurnia I Penanggungjawab: Search for Common Ground I Konsultan Ahli: Andi K Yuwono & Agung Yudha
dan ketertiban masyarakat tidak lantas dilakukan dengan cara-cara represif yang tidak menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antar golongan.4 Penanganan (counter) terorisme harus dilakukan sebagai bagian dari tanggungjawab negara untuk melindungi HAM. Bahwa hubungan antara perlindungan masyarakat dari tindakan terorisme dengan jaminan atas perlindungan HAM tidak boleh lebih ditekankan pada satu bagian saja. Memerangi dan mengatasi terorisme tidak akan berhasil jika jaminan keamanan masyarakat tidak dijalankan secara konsisten dengan standar HAM.5 Artinya penanganan terorisme harus memperhatikan aspek HAM seluruh warga negara, baik yang menjadi korban terorisme maupun hakhak dasar yang dimiliki oleh pelaku teror, baik itu hak hidup, hak hukum dan hak diperlakukan secara manusiawi sebagaimana dijamin dalam Deklarasi Universal HAM 1948, yang kemudian diratifikasi sebagai hak konstitutional warga negara Indonesia melalui TAP MPR-RI No XVII Tahun 1998 tentang HAM,6 dan dituangkan dalam amandemen kedua UUD 1945 Bab XA tentang HAM. Ukuran keefektifan penanganan terorisme dan perlindungan HAM tidaklah bertolak belakang, tetapi saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain dengan tujuan bersama-sama mengejar tanggungjawab negara untuk melindungi individu di dalam yurisdiksinya. Target dan proporsionalitas dalam strategi penanganan terorisme tidak hanya untuk menjamin keamanan dan ketertiban tetapi
4
Pasal 2 Perpu N0 1 TAHUN 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
5
OSCE Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR), “Countering Terrorism, Protecting Human Rights (A Manual)”, Ujazdowskie 19, Poland, 2007 or open link www.osce.org/odihr
TAP MPR-RI No XVII Tahun 1998 tentang HAM menyebutkan bahwa: 1). Hak asasi merupakan hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Mengingat hak dasar merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka pengertian HAM adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia; 2). Setiap manusia diakui dan dihormati mempunyai hak asasi yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian atau perampasannya, mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga kurang dapat mengembangkan diri dan peranannya secara utuh; dan 3). Bangsa Indonesia menyadari bahwa HAM bersifat historis dan dinamis yang pelaksanaannya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 6
2
juga kewajiban negara untuk memenuhi HAM.7 Sebagaimana kesepakatan dunia internasional terkait pentingnya HAM dan penanganan terorisme yang dirumuskan oleh PBB pada tahun 2006 tentang strategi penanganan terorisme global. Dalam Resolusi 1963 (2010) pada 20 Desember 2010, Dewan Keamanan PBB mengakui bahwa pertumbuhan, perdamaian dan keamanan, dan HAM memiliki hubungan timbal balik yang saling memperkuat satu sama lain.8 Oleh karena itu, pendekatan komprehensif dalam penangan terorisme harus dilakukan melalui dua dimensi yaitu penindakan dan pencegahan. Terkait penindakan, pemerintah menyelenggarakan perundang-undangan sebagai payung hukum pemberantasan terorisme dan pelaksanaan operasi lapangan. Sebagai landasan hukum penindakan terorisme sudah ada UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sedangkan operasi lapangannya dijalankan oleh Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88 AT) Polri yang terbentuk melalui Skep Kapolri No 30/ VI/2003. Kemudian ada Perkap (Peraturan Kapolri) No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri dan Perkap No. 23/2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme.9 Dalam penanganan terorisme, antara lembaga eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) memiliki fungsi yang berbeda. Pemerintah menjalankan fungsi sebagai pelaksana pemerintahan, dalam hal ini penindakan terorisme, sedangkan DPR memiliki fungsi legislasi (pembuat peraturan), budgeting (penyedia anggaran), dan fungsi pengawasan terhadap penindakan tindak pidana terorisme yang dijalankan oleh pemerintah. Selama ini operasi lapangan yang dilakukan oleh Densus 88 AT dipandang kalangan pemerhati HAM tidak mendapatkan pengawasan yang serius dari DPR. Penegakan hukum yang selama ini dilakukan 7
8 9
OSCE Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR), “Preventing and Combating Terrorism: the Human Dimension”, OSCE Annual Security Review Conference Vienna, 29 June - 1 July 2011 Ibid Dalam hal ini, pemerintah telah menjalankan fungsi legislasi dan fungsi penindakan dalam upaya pemberantasan terorisme, namun menjadi persoalan serius ketika fungsi pengawasan tidak dijalankan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan aturan dan praktek lapangan dalam penindakan aksi terorisme, baik proses penegakan hukum maupun proses peradilan yang sangat berpotensi melanggar HAM.
yang dikiritisi pemerhati HAM berhubungan dengan lemahnya penerapan “Presumption of Innocence� atau asas praduga tak bersalah dan “equality before the law� atau persamaan di muka hukum. Selain pelanggaaran HAM yang terjadi dalam penindakan (penangkapan, pengintaian, penahanan), proses peradilan pun gagal menjadi lembaga penegak hukum yang memeriksa tersangka teroris secara fair, terdakwa teroris seringkali tidak dihargai hakhak hukumnya selama proses penuntutan dan persidangan, dan juga dakwaan yang diterima kadang berlebihan. Kemudian hak untuk tidak dihakimi di luar prosedur hukum, atau tidak dijustifikasi bersalah sebagai teroris sebelum ada putusan pengadilan, dan hak untuk dilindungi keluargannya, untuk tidak dikucilkan.
sumber foto: google search
oleh pemerintah melalui Densus 88 AT banyak menyisakan indikasi pelanggaran HAM, dimana banyak penangkapan terduga teroris dalam keadaan mati serta dugaan pengintaian yang dilakukan dengan penyadapan tanpa prosedur hukum, dan pembuatan Berita Acara Pengadilan (BAP) yang terkadang direkayasa. Selain itu proses peradilan yang dilakukan terhadap tersangka teroris pun dilakukan dengan tidak memperhatikan hak hukum yang dimiliki oleh tersangka teroris. Masalah serius
Policy Brief edisi ini mencoba mengajukan pandangan terkait fungsi dan peran pemerintah dan DPR dalam menjamin penegakan hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Pemerintah memiliki fungsi memperbaiki sistem kerja penanganan tindak pidana terorisme dan menyiapkan aktor-aktor penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, khususnya personil Densus 88 AT yang profesional dengan tidak melakukan pelanggaran HAM. Sedangkan DPR berperan mengawasi proses, sistem dan perangkat pemerintah itu berjalan sesuai prosedur hukum yang sesuai dengan standar HAM. Selain itu, terkait bagiamana proses pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh baik pemerintah maupun DPR dalam program deradikalisasi yang efektif.
Pentingnya Kehadiran Negara dalam Menjamin HAM Warga Negara Kehadiran negara dalam menjamin hak-hak dasar, hak-hak sipil, sosial, politik, ekonomi, dan hak hukum warga negaranya merupakan kewajiban fundamental yang harus dipenuhi oleh negara. Bagi warga negara, HAM merupakan hak konstitusional yang harus dihormati dan dilindungi oleh pemerintah, tidak bisa dikurangi dan diganggu-gugat. Segala tujuan pembangunan dan penyelenggaraan negara harus berbasis HAM. Upaya memberikan rasa aman, kedamaian, dan ketertiban dalam masyarakat harus bersamaan dengan upaya menjamin HAM anggota masyarakat. Begitu pula
dengan penegakan hukum, upaya penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan prosedur yang melanggar HAM warga negara. Penanganan tindak pidana terorisme, harus dilakukan dengan tindakan yang terukur, profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM yang dimiliki oleh seluruh warga negara baik korban terorisme maupun pelaku dan keluarga terduga teroris. Artinya kewajiban pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM oleh negara tidak bisa ditawar lagi, tidak membedakan dan tidak memandang siapa pun,
3
sekalipun itu seorang teroris. Dengan melindungi HAM, negara akan mampu menangani berbagai kondisi yang kondusif bagi lahir dan menyebarnya terorisme sekaligus meminimalisir terjadinya aksi teror. Terorisme bisa tercipta pada saat terjadinya pelanggaran HAM oleh negara, ketidakmampuan negara menyelesaikan konflik, dehumanisasi korban terorisme dalam segala bentuk dan manisfestasi, minimnya penegakan hukum dan keadilan, diskriminasi agama dan politik, marginalisasi sosial dan ekonomi, serta tidak terciptanya good governance.10 Pemberantasan terorisme tidak hanya sekedar menangani aksi teror yang terjadi, tetapi juga mencari dan menangani faktor-faktor yang berpotensi melahirkan terorisme, yang berhubungan erat dengan pemenuhan HAM, seperti tertera pada Piagam OSCHE (Office for Democratic Institutions and Human Rights) untuk Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme (OSCE Charter on Preventing and Combating Terrorism) tahun 2002 yaitu pada poin ke-20 menyebutkan bahwa sangatlah penting bagi pemerintahan suatu negara untuk menangani kondisi yang bisa mendorong dan memelihara terorisme yaitu dengan menjalankan sepenuhnya nilai-nilai demokrasi dan peraturan hukum, mengijinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, mencegah diskriminasi, mendorong dialog antar agama dan antar budaya dalam masyarakat, melibatkan masyarakat sipil dalam menyelesaikan konflik secara politik, mempromosikan HAM dan toleransi, serta memberantas kemiskinan.11 Fakta penegakan hukum oleh pemerintah dalam penindakan terorisme selama ini memiliki banyak catatan pelanggaran HAM yang dikritik masyarakat. Seperti dalam laporan tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasa (KONTRAS) yang berjudul “Keadilan UN General Assembly, The United Nations Global CounterTerrorism Strategy, Doc. A/RES/60/288, 8 September 2006, Plan of Action Measures to address the conditions conducive to the spread of terrorism
10
OSCE Charter on Preventing and Combating Terrorism, Porto, 7 December 2002 11
4
Macet, Kekerasan Jalan Terus: Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia 2012, mengungkapkan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus 88 AT, yaitu penggunaan senjata api yang menghilangkan nyawa terduga teroris, terjadi beberapa praktik penyalahgunaan prosedur yang mengakibatkan insiden salah tangkap yang sudah pasti mengalami pemukulan dan penyiksaan, adanya kekerasan serius, dan intimidasi yang dilakukan personel Densus 88 AT.12 Sepanjang tahun 2013 media juga menyoroti kasus-kasus penangkapan yang menewaskan tersangka terduga teroris. Seperti tiga terduga teroris bernama Budi Syarif, Sarane dan Jonet yang tewas ditembak oleh pasukan khusus Polri anti-teror tersebut di Desa Cigondewah Hilir, Kecamatan Marga Asih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Mei 2013.13 Dan juga penembakan Pak Guru terduga teroris pada Oktober 2013 di Kecamatan Amali Kabupaten Bone hingga tewas ketika lari di bawah pohon cokelat.14 Di Tulungagung, Jawa Timur, dua orang terduga teroris tewas ditembak Detasemen Khusus 88 AT di warung kopi.15 Melihat keadaan ini, pemerintah harus hadir menjamin operasi penindakan tindak pidana terorisme oleh kepolisian berjalanan sesuai dengan prosedur HAM. Pemerintah bersama kepolisian, Badan Nasional Penanganan Terorisme (BNPT), dan kementerian terkait harus terus menerus mendorong profesionalitas dan akuntabilitas HAM dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme; dalam bentuk evaluasi dan penataan agenda kontraterorisme yang telah berjalan sehingga konsisten dengan ketentuan hukum HAM internasional, hukum pengungsi dan hukum humaniter.
Kontras, “Keadilan Macet, Kekerasan Jalan Terus: Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia 2012�
12
13 http://regional.kompas.com/ read / 2013/05/09/11564496/Rumah.
Terduga.Teroris.Bikin.Penasaran.Warga
14 http://www.tribunnews.com/ regional/ 2013/10/18/suardi-terduga-
teroris-bone-tumbang-di-bawah-pohon-cokelat
http://news.liputan6.com/ read / 645701 / 2 - terduga - teroris -tulungagung-ditembak-mati-di-warung-kopi
15
Praktek-Praktek Terbaik Peran Efektif Parlemen dan Pemerintah dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme Agenda kontra-terorisme yang dilakukan oleh pemerintah sejak peristiwa bom Bali tahun 2002 sudah berjalan sangat efektif melumpuhkan pergerakan terorisme. Jaringan terorisme internasional yang digerakkan oleh Noordin M. Top dan Dr. Azhari di Indonesia berhasil diputus oleh pemerintah melalui kerja keras Densus 88 AT. Berawal dari terbunuhnya Dr. Azhari, gembong teroris asal Malaysia pada November 2005 dan disusul tewasnya Noordin M. Top akibat baku tembak dengan pasukan anti teror pada September 2009. Selanjutnya serangkaian peristiwa teror dan pemboman yang dilakukan oleh sel-sel teroris seperti pemboman Hotel JW Mariott tahun 2003 dan Ritz Carlton 2009, bom Kuningan (Kedubes Australia) pada september 2004, bom bunuh diri di kantor polisi Cirebon, Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Solo, dan serangkaian teror bom buku di Jakarta yang terjadi pada tahun 2011, berhasil diungkap oleh kepolisian Praktek terbaik dalam penanganan terorisme kurang lebih seperti yang diterapkan oleh negara-negara Eropa yang berpartisipasi dalam OSCE (Office for Democratic Institutions and Human Rights). Mereka melakukan pendekatan komprehensif dalam penangan terorisme melalui penindakan dan pencegahan, dengan berupaya memahami dan mengenal semua potensi yang menyebabkan lahirnya terorisme, kemudian menjauhi semua potensi tersebut, seperti terjadinya pelanggaran HAM oleh negara, diskriminasi, ketidakadilan, dan marginalisasi sosial dan ekonomi. Bersamaan dengan komitmen kuat untuk menjalankan sepenuhnya nilai-nilai demokrasi, penegakan hukum, promosi HAM, menjamin kesejahteraan dan partisipasi politik masyarakat, serta menciptakan good governance.
sumber foto: google search
peserta OSCE secara konsekuen berkomitmen untuk meningkatkan jejaring kerjasama dengan masyarakat sipil lepas dari perbedaan agama dan kebangsaan.16 Sehingga mereka dengan tegas menyatakan bahwa perjuangan melawan terorisme bukanlah perang terhadap agama ataupun orang17 dan gerakan anti-teroris bukan bertujuan untuk melawan suatu agama, bangsa atau warga negara. Tetapi mereka menggarisbawahi pendekatan yang komprehensif untuk mencegah dan menghadapi faktor-faktor yang menyebabkan munculnya terorisme.18 Selain itu, praktek terbaik penanganan tindak pidana terorisme harus menjunjung tinggi nilainilai HAM. Bagi negara-negara OSCE, tidak ada unsur yang bertolak belakang antara upaya menjaga keamanan dan ketertiban dengan menghormati HAM. Program anti terorisme ODIHR (Office for Democratic Institutions and Human Rights) yang berbasis HAM menawarkan susunan aktivitas komprensif untuk menjamin Ministerial Council Decision 10/08 on Further Promoting the OSCE’s Action in Countering Terrorism
16
Mereka juga mengakui peran krusial masyarakat dalam usaha anti terorisme dan mengidentifikasi hubungan kemitraan yang kuat antara masyarakat sipil dan pemerintah sebagai kunci pencegahan dan pemberantasan terorisme. Negara-negara
17
Bucharest Ministerial Declaration (2001)
“OSCE Charter on Preventing and Combating Terrorism�, Porto, 7 December 2002
18
5
pemenuhan HAM ketika melakukan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Susunan itu berbentuk program yang bekerja dalam empat wilayah utama yaitu capacity building (pembangunan kapasitas), Expert advice and analysis (analisis dan nasihat ahli), Provision of legislative assistance (pemberian bantuan legislatif), dan kerjasama dengan aktor-aktor kunci dalam masyarakat untuk penanganan terorisme.19
dasar tersebut sekaligus menjadi standar kerja kepolisian dalam rangka menjamin terpenuhinya HAM, yaitu:22 1) Basic standard 1, Equal (perlindungan yang setara);
Mengatur tata kerja kepolisian dalam memberikan perlindungan hukum yang setara kepada setiap orang, tanpa adanya diskriminasi di beberapa tempat, khususnya mengahadapi kekerasan dan ancaman. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan dan keamanan, tidak ada satu orang pun yang boleh ditundukkan dengan kesewenang-wenangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan. Semua orang yang tercabut kebebasannya tetap memiliki hak untuk tidak disiksa dengan kejam dan diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan, setiap orang tunduk tanpa ada diskriminasi terhadap perlindungan hukum, setiap orang memiliki hak dalam proses pengadilan yang fair, setiap orang memiliki hak untuk bebas melakukan pergerakan, hak untuk berkumpul, serta hak untuk bebas berekspresi.
Program capacity building misalnya dalam rangka mengembangkan modul pelatihan HAM dan anti terorisme untuk membentuk sumberdaya ahli dalam penanganan terorisme dengan jaminan perlindungan HAM, baik oleh masyarakat sipil maupun aparat penegakan hukum. Pelatihan tersebut rutin dilakukan oleh pemerintah Tajikistan dengan tema “Human Rights, Counter Terrorism and Border Security”20 Kemudian program Expert advice and analysis menyediakan nasihat dan analisis dalam isuisu HAM yang muncul dalam perang melawan terorisme, dengan mengorganisir berbagai aktivitas (pertemuan ahli, workshop, dan rountable discussion) untuk memfasilitasi pengetahuan dan pengalaman antara aparatur pemerintah, praktisi, para ahli, dan masyarakat dari isu-isu yang berkembang seperti peran masyarakat dalam mencegah terorisme, perlindungan korban terorisme, operasi internasional bersama dalam penanganan terorisme, serta radikalisasi dan ekstremisme yang mengarah pada terorisme.21 Bagi pelaksanaan operasi penindakan terorisme, ada standar normatif internasional yang secara ketat ‘membatasi’ upaya-upaya yang berpotensi menghilangkan atau melanggar HAM, yang diadopsi dalam strategi global kontra terorisme. Sesuai dengan amanat Amnesti Internasional, bahwa ada 10 hak dasar yang harus terjamin dalam standar kepolisian internasional. 10 hak OSCE Office for Democratic Institutions and Human Rights (ODIHR), “Preventing and Combating Terrorism: the Human Dimension”, OSCE Annual Security Review Conference Vienna, 29 June - 1 July 2011
protection
2) Basic standard 2, Respectful treatment (perlakuan yang terhormat); Polisi harus memperlakukan semua korban kejahatan dengan belas kasih sayang dan penghormatan, juga perlindungan khusus terhadap keselamatan dan privasi mereka. 3) Basic standard 3, Use of force (penggunaan kekuatan); Standard ini melarang polisi menggunakan kekuatan paksaan kecuali sangat terdesak dan memperhatikan batas minimum yang diperlukan dalam keadaan sekitar, sehingga dalam menjalankan tugasnya, polisi harus memastikan penggunaan alat-alat yang tidak berbahaya terlebih dahulu sebelum beralih pada penggunaan kekuatan
19
6
20
Ibid
21
Ibid
Amnesty International, “International Police Standards 10 Basic Human Rights Standards for Law Enforcement Officials”, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF)
22
sumber foto: google search
4) Basic standard 4, Policing nonviolent assemblies (perkumpulan tanpa kekerasan polisi); Polisi harus menghindari penggunaan kekuatan ketika menghadapi kerumunan yang melanggar hukum tetapi tidak ada kekerasan di dalamnya, ketika membubarkan kerumunan kekerasan, harus menggunakan kekuatan seminimal mungkin. 5) Basic standard 5, Use of lethal force (penggunaan kekuatan yang mematikan); Polisi dilarang keras menggunakan kekuatan mematikan kecuali dalam kondisi sangat terdesak yang tidak dapat dihindarkan, dengan tujuan melindungi nyawa polisi sendiri dan nyawa orang lain. Penggunaan senjata api harus sangat terukur dengan aturan yang ketat, karena akan menyebatkan resiko kematian atau luka yang sangat serius. 6) Basic standard 6, Arresting (penangkapan seseorang);
persons
Polisi dilarang menangkap/ menahan seseorang tanpa ada dasar hukum, dan penangkapan/ penahanan itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur penangkapan/ penahanan yang telah diatur secara hukum. 7) Basic standard 7, Detainees rights (hak tahanan); Polisi harus memastikan semua orang yang ditangkap/ ditahan sesegera mungkin memiliki akses terhadap keluarga dan
pendampingan hukum serta bantuan medis yang dibutuhkan. 8) Basic standard 8, treatment of detainees (perlakuan terhadap tahanan); Semua orang yang ditangkap/ ditahan harus diperlakukan dengan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Polisi tidak boleh menimbulkan, membujuk, atau mentolerir tindakan penyiksaan atau perlakuan kasar yang terjadi di sekitarnya, dan bahkan harus menolak mematuhi perintah melakukan tindakan demikian. 9) Basic standard 9, Refusal to obey unjust orders (menolak patuh pada perintah yang bertentangan dengan hukum); Polisi dilarang melaksanakan, memerintah atau meng-cover up eksekusi hukuman, dan menolak untuk mematuhi perintah atas tindakan kesewenang-wenangan atau diskriminasi menghilangkan nyawa orang. 10) Basic standard 10, Report (melaporkan tindak kekerasan).
violations
Terakhir, polisi diharuskan untuk melaporkan semua pelanggaran atas basic standar tersebut kepada senior kantornya dan kepada jaksa pengadilan. Lakukan semua hal dengan kekuatan yang dimilki untuk memastikan langkah-langkah itu diambil untuk menginvestigasikan semua pelanggaran tersebut.
7
Apa Saja Peran-Peran yang Bisa Dilakukan DPR Parlemen memainkan peran penting dalam reformasi sektor keamanan. Sebagai wakil kepentingan warga negara, anggota parlemen memainkan peran legislatif, budgeting, dan pengawasan yang sangat penting, dengan meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif. Parlemen menyetujui anggaran, mengkaji dan melaksanakan perundangundangan yang berkaitan dengan sektor keamanan, dan menjalankan fungsi perantara penting antara pemerintah dan warga negara dalam menentukan arah kebijakan nasional mengenai keamanan. Karena parlemen adalah satusatunya lembaga yang dipilih secara nasional yang dapat berbicara atas nama semua warga negara dan membela kepentingan keamanan mereka.23 Lembaga legislatif menjalankan fungsi parlemen dengan menyetujui undang-undang yang merumuskan dan mengatur lembaga-lembaga keamanan, melakukan pengawasan atas berkerjanya sistem dan praktek pelaksaaan wewenang lembaga-lembaga tersebut yang diberikan oleh undang-undang, serta mengatur alokasi anggaran untuk bekerjanya sistem yang baik. Sehingga dengan kekuasaan atas anggaran yang dimiliki, parlemen bisa mengontrol mekanisme kerja lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan keinginan masyarakat yang diwakilinya. Kontrol ini dapat juga mencakup pembentukan ombudsman parlemen atau komisi yang dapat melakukan penyelidikan mengenai pengaduan masyarakat.24 Ilja Luciak, “Pengawasan Parlementer atas Sektor Keamanan dan Gender.” Toolkit Gender dan Reformasi Sektor Keamanan. Penyunting Megan Bastick dan Kristin Valasek. Jenewa: DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW, 2008. Dicetak oleh SRO-Kundig
23
Dirumuskan dan direkomendasikan oleh Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (Pusat Kendali Demokratis
24
8
sumber foto: google search
Ombudsman parlemen sudah sangat umum di Eropa sebagai mekanisme untuk memperkuat fungsi pengawasan parlementer. Di Eropa Barat, kecuali Jerman, Yunani, Italia, Luxemburg, dan Swiss, semua negara memiliki ombudsman di tingkat nasional. Italia dan Swiss memiliki ombudsman di tingkat daerah atau kota, sedangkan Jerman memiliki Komite Petisi yang ‘berperan sebagai padanan fungsional sebagaimana ombudsman militer untuk pengaduan angkatan bersenjata’.25 Dalam pengawasan parlemen atas sektor keamanan terkait prinsip, mekanisme, dan praktik tata pemerintahan, parlemen sangat berperan penting menjamin perlindungan dan atas Angkatan Bersenjata) (DCAF) dan Inter-Parliamentary Union (Persatuan Antar-Parlemen) (IPU); Parliamentary Oversight of the Security Sector: Principles, Mechanisms and Practices (Pengawasan Parlemen atas Sektor Keamanan: Prinsip, Mekanisme, dan Praktik), (DCAF dan IPU: Jenewa), 2003, h. 22 Ilja Luciak, “Pengawasan Parlementer atas Sektor Keamanan dan Gender.” Toolkit Gender dan Reformasi Sektor Keamanan. Penyunting Megan Bastick dan Kristin Valasek. Jenewa: DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW, 2008. Dicetak oleh SRO-Kundig
25
penghormatan atas HAM. Parlemen merupakan benteng pertahanan warga negara atas praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penegakan hukum yang tidak sesuai dengan prosedur HAM. Sehingga parlemen bisa menciptakan parameter hukum untuk isu-isu keamanan. Ada beberapa tindakan yang dapat diambil parlemen untuk mengawasi sektor keamanan, seperti yang direkomendasikan oleh DCAF (Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces) dan IPU (Inter-Parliamentary Union), dalam “Parliamentary Oversight of the Security Sector: Principles, Mechanisms and Practice”, Jenewa, 2003, yaitu:26 1) Menyetujui, menolak atau mengusulkan perubahan atas kebijakan keamanan dan undang-undang pertahanan, yaitu dengan mengadakan debat parlemen, mengajukan pertanyaan parlemen dan melakukan interpelasi (meminta pejabat pemerintah menjelaskan suatu tindakan atau kebijakan), meminta konsultasi nasional mengenai isu keamanan, serta meminta penelitian. 2) Menggunakan dan mengawasi ketentuan anggaran yang berkaitan dengan keamanan 3) Mengesahkan atau mengakhiri keadaan darurat atau perang. 4) Menyetujui atau menolak proposal pemerintah mengenai perjanjian, aliansi internasional, dan pengiriman pasukan ke luar negeri, pengangkatan personel keamanan tingkat tinggi, dan pembelian senjata berat. 5) Memantau dan mengevaluasi kebijakan dan program keamanan, yaitu melakukan penyelidikan atau dengar pendapat parlemen, meminta evaluasi mengenai pelaksanaan kebijakan/ program dari pemerintah atau mengangkat konsultan DCAF dan IPU, ‘Parliamentary Oversight of the Security Sector: Principles, Mechanisms and Practices”, Jenewa, 2003 dalam Ilja Luciak, “Pengawasan Parlementer atas Sektor Keamanan dan Gender.” Toolkit Gender dan Reformasi Sektor Keamanan. Penyunting Megan Bastick dan Kristin Valasek. Jenewa: DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW, 2008. Dicetak oleh SRO-Kundig
26
untuk melakukan audit kinerja khusus, melakukan atau mengkaji fungsi mekanisme audit, misalnya ombudsman pertahanan Ada permasalahan umum yang menyebabkan kurang maksimalnya peran parlemen. Khususnya di Indonesia, parlemen kurang melibatkan aktor nonpemerintah dalam mewakili berbagai kepentingan masyarakat untuk mengawasi kinerja sektor keamanan.27 Oleh karena itu, perlu didorong peran aktif parlemen untuk mewakili berbagai kepentingan masyarakat dan menggunakan kemampuannya untuk membangun hubungan di dalam parlemen dan di dalam masyarakat yang lebih luas.28 Sehingga parlemen bisa memastikan kinerja sektor keamanan menjamin pemenuhan dan penghormatan atas HAM bagi masyarakat yang diwakilinya. Dalam menjalankan fungsi anggaran, parlemen memiliki kekuasaan mengatur annual budget cycle (Perputaran anggaran tahunan) melalui 4 (empat) fase selama kebijakan yang dibuat terkait anggaran negara. Sehingga cukup efektif menjabarkan dan mengontrol pengeluran lembaga pertahanan dan keamanan negara yang dikembangkan dengan empat fase perputaran ini, dan juga bisa menggambarkan siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam setiap fase dan juga peran yang mereka miliki. Empat fase annual budget cycle itu, adalah:29 1. The preparation phase (Tahap persiapan). Selama fase ini anggaran negara diperdebatkan dan disusun oleh otoritas eksekutif, termasuk di dalamnya komponen anggaran lembaga pertahanan dan keamanan melalui agency pusat penyedia keamanan UNDP/IPU, “Global Study Group Meeting: Strengthening the Role of Parliaments in Conflict and Post-Conflict Situations”, Final Draft Report, IPU: Jenewa, 20-22 Juli 2005, h.14
27
O’Brien, M., “Parliaments as Peacebuilders: The Role of Parliaments in Conflict-Affected Countries”; World Bank Institute and Commonwealth Parliamentary Association, “Working Papers, Series on Contemporary Issues in Parliamentary Development”, World Bank: Washington DC, 2005, h.1;
28
Nicolas Masson, Lena Andersson & Mohammed Salah Aldin, Guidebook: “Strengthening Financial Oversight in the Security Sector”, Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces (DCAF)
29
9
dan keadilan, serta oleh badan pengawasan dan managemennya (core security and justice providers and their executive management and oversight bodies). Bisa dipastikan efektifitas penyerapan anggaran lembaga pertahanan keamanan tersebut dengan mereview pengeluaran anggaran fiskal tahunan sebelumnya, mengatur kebijakan pengeluaran yang seobyektif mungkin untuk tahun berikutnya, serta merencanakan periode anggaran jangka menengah dan jangka panjang. Sehingga melalui pengawasan penggunaan anggaran oleh lembaga diatasnya dan lembaga pengawas, sekaligus bisa mengontrol kinerja lembaga tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan masyarakat atau tidak. 2. The approval phase (Tahap Persetujuan). Selama fase ini draft anggaran pemerintah diserahkan kepada parlemen untuk disetujui. Sebagaimana prakteknya, fase ini berjalan selama 3 bulan sebelum mulai tahun fiskal. Jangka waktu itu cukup bagi parlemen dan komite keuangan khusus untuk meneliti dengan cermat dokumen anggarannya, atau mengamandemennya sebelumnya
ditetapkan. Sehingga parlemen bisa mengawasi penggunaan anggaran dengan kinerja yang dilakukan oleh lembaga tersebut. 3. The execution phase (Tahap Pelaksanaan). Selama fase ini, otoritas eksekutif dan dan agensinya menggunakan anggaran untuk alokasi operasionalnya. Dan agensi tersebut bertugas mengimplementasikan hukum anggaran, mengelola sumberdaya, dan memproduksi output dan pelayanan, sehingga mampu mengefektifkan penggunaan anggaran. 4. The evaluation phase (Tahap Evaluasi). Tahap ini merupakan tahap evaluasi yang akan dilakukan oleh Institusi audit, oleh kementerian keuangan, oleh parlemen itu sendiri dan juga oleh organisasi masyarakat, yang bertugas menyediakan ahli pemeriksaan untuk mengecek apakah penggunaan anggaran sesuai aturan hukum, keuangan, dan prinsip-prinsip pelaksanaannya, audit institusi sektor keamanan dan program-programnya, dan melaporkan ke parlemen, eksekutif, maupun kepada rakyat.
Bagaimana Fungsi Pemerintah Fungsi pemerintah yang paling utama dalam penanganan terorisme yaitu menjamin pemberantasan terorisme bagi keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana terorisme ditetapkan undang-undang sebagai kejahatan extra ordinary, maka diperlukan cara-cara extra ordinary terbaik pula dalam memberantas terorisme. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang bekerja dibawah koordinasi pemerintah30 harus memaksimalkan fungsinya dalam rangka pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. Tugas BNPT yaitu31 menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme, mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme, melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan tugas-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masingmasing.
30 BNPT dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden
31
Nomor 46 Tahun 2010
10
Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
Pemerintah melalui BNPT bersama Densus 88 AT harus selalu mengidentifikasi dan secara kritis menguji semua asumsi terkait informasi yang diterima tentang keberadaan terorisme. Asumsi-asumsi itu bertujuan untuk memastikan terputusnya gerakan terorisme. Asumsi tersebut disebut oleh Graeme R. Newman & Ronald V. Clarke sebagai “questions assumption” (asumsi pertanyaan-pertanyaan) berdasarkan mitosmitos yang diyakini bahwa;32 anyone might be a terrorist (seseorang mungkin adalah teroris), every immigrant is suspect (setiap imigran patut dicurigai), terrorists are crazed fanatics (teroris adalah kegilaan fanatik), terrorists are eager to die (teroris senang untuk mati), terrorists are evil geniuses (teroris adalah kejahatan yang jenius), terrorists might strike anywhere (teroris kemungkinan menyerang suatu tempat), terrorists are unstoppable (teroris tidak dapat dihentikan), we can win the war on terrorism (tapi kita bisa memenangkan perang melawan terorisme), if it can happen in israel (london, madrid, delhi) it can happen here (jika terorisme bisa terjadi di Israil, London, dsb, maka berpotensi terjadi di sini juga), we must prepare for nuclear attack (kita harus mempersiapkan serangan yang luar biasa), fighting terrorism is a job for the feds (melawan terorisme adalah pekerjaan intelijen), sharing intelligence is the key to defeating terrorism (berbagi informasi intelijen adalah kunci mengalahkan terorisme).
International, juga menjamin terpenuhinya prinsip perlindungan HAM dan perlindungan masyarakat dari ancaman terorisme, yaitu:33 1. Negara berkewajiban melindungi setiap orang dari tindakan terorisme; 2. Larangan melakukan wenangan;
3. Adanya aturan hukum yang terukur dalam operasi anti terorisme; 4. Larangan absolut atas penyiksaan; 5. Pengumpulan dan pemrosesan data harus dilakukan oleh otoritas yang kompeten dalam lembaga keamanan negara; 6. Langkah-langkah yang mengganggu privasi harus diatur secara hukum; 7. Penangkapan dan penahanan terduga teroris harus dengan alasan hukum dan diinformasikan kepada yang bersangkutan; 8. Tersangka teroris berhak mendapatkan laporan pengawasan reguler sebelum ada putusan pengadilan; 9. Tersangka teroris harus mendapatkan manfaat dari prinsip praduga tak bersalah; 10. Denda yang diberikan tidak berlebihan dan harus sesuai dengan konteks kejadian peristiwa;
Namun selain menjalankan tugas pemberantasan terorisme melalui perangkat operasi yang ada, pemerintah memiliki kewajiban lain, yaitu menjamin perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM warga negaranya. Sehingga perang melawan terorisme boleh dilakukan dengan extra ordinary, tetapi tidak boleh melanggar HAM. Pemerintah harus memastikan integrasi HAM dalam penegakan hukum dan pelaksanaan operasi penindakan terorisme, selain sesuai dengan standar normatif internasional sebagaimana tertuang dalam 10 hak dasar dalam standar kerja kepolisian yang dituliskan Amnesty Graeme R. Newman & Ronald V. Clarke, “Policing Terrorism: An Executive’s Guide”. the Office of Community Oriented Policing Services, U.S. Department of Justice. the Office of Community Oriented Policing Services (the COPS Office).
32
kesewenang-
11. Penahanan tersangka teroris dilakukan dengan penghormatan atas martabat kemanusiaan; 12. Mengatur kemungkinan ekstradisi; 13. Menjamin hak atas kepemilikan properti; 14. Menghormati dan mentaati normanorma hukum internasional dan hukum humaniter; 15. Serta memberikan kompensasi kepada para korban tindakan terorisme. Directorate General of Human Rights (2002), Guidelines on human rights and the fight against terrorism, diadobsi oleh the Committee of Ministers on 11 July 2002 at the 804th meeting of the Ministers’ Deputies
33
11
Selain itu, fungsi pemerintah harus menjamin profesionalitas kerja aparat penegak hukum, khususnya penggunaan senjata dalam operasi penindakan tindak pidana terorisme untuk tidak melanggar HAM. Penggunaan senjata dalam pemberantasan terorisme telah diatur PBB dengan prinsip-prinsip dasar yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dimana aparat penegak hukum memiliki peran yang sangat vital dalam perlindungan terhadap hak hidup, kebebasan dan keamanan warga negara. Namun jika penggunaan kekuatan dan senjata api tidak dapat dihindarkan menurut hukum, maka aparat penegak hukum harus:34 a) Terlatih untuk mengendalikan diri dalam menggunakan kekuatan atau senjata, dan bagaimana bertindak dalam kondisi kejahatan yang serius; b) Meminimalisir kerusakan dan luka, serta menghormati dan menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia; c) Memastikan adanya pertolongan dan bantuan medis yang diberikan pada orang yang terluka; d) Memastikan bahwa keluarga atau teman dekat terduga teroris diinformasikan secepat mungkin;
Basic Principles on the use of Force and Firearms by law Enforcement Officials, adopted by the Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Havana, Cuba, 27 August to 7 September 1990
34
Selain itu, diharuskan bagi aparat penegak hukum untuk memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum menggunakan senjata api dengan alasan meningkatnya resiko kematian dan luka parah bagi aparat maupun bagi orang lain, atau aparat dan orang-orang itu sedang berada pada daerah serangan militer dan tidak ada cara lain untuk mencegah bahaya kecuali dengan penggunaan senjata. Aparat harus mengatakan “berhenti atau saya tembak� atau dengan ucapan lain sebagai tanda peringatan. Oleh karena itu, pemerintah suatu negara harus memastikan bahwa kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuatan dan senjata api oleh aparat penegak hukum dihukum sebagaimana tindak kejahatan sesuai aturan hukum negara tersebut, karena tujuan penggunaan senjata api hanya dibenarkan ketika keadaan darurat yang tidak bisa dihindarkan untuk melindungi kehidupan.35 Ketika aturan dan prinsip-prinsip international dan ketentuan hukum nasional seperti UU HAM, Perkap HAM dan Perkap Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan dengan baik melalui profesionalitas aparat penegak hukum, khususnya Densus 88 AT, maka diharapkan tidak akan ada lagi korban jiwa yang berjatuhan dalam penindakan terorisme di Indonesia, karena negara telah menjamin dan menghormati hak-hak dasar yang dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia, termasuk para petugas kepolisian di lapangan dan terduga teroris serta masyarakat setempat. 35
Ibid
Search for Common Ground di Indonesia Search for Common Ground telah bekerja di Indonesia sejak tahun 2002. Kami bekerjasama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, pemangku-pemangku kebijakan, lembaga-lembaga media, komunitas-komunitas adat dan korban-korban konflik di berbagai penjuru Indonesia, termasuk daerah-daerah konflik seperti Aceh, Poso, Madura dan Papua. Bersama dengan para mitra, kami mendukung segala usaha perdamaian dengan transformasi konflik melalui berbagai aktivitas seperti pelatihan dan penguatan peran media. Search for Common Ground Indonesia Jl. Cipaku II No. 7, Petogogan, Jakarta, 12170 Tel: (62-21) 7200964 I Fax: (62-21) 7201034 www.sfcg.org
www.facebook.com/CommonGroundIndonesia 12
www.twitter.com/CommonGroundID