BGTL VOL27N1 MARET 2017

Page 1

BADAN GEOLOGI, KEMENTERIAN ENERGI & SUMBER DAYA MINERAL ISSN: 20566-777

Senja Kala di Danau Batur

Foto dan teks: Oki Oktariadi

BULETIN GEOLOGI TATA LINGKUNGAN -

Danau Batur merupakan bagian dari Kaldera Batur. Sisa gunung api yang pernah meletus dahsyat ini melontarkan sebagian besar tubuhnya, kemudian membentuk kawah yang sangat besar dengan diameter lebih dari 2 Km. Gunung Sukawana dan Gunung Abang adalah sisa lereng Gunung Batur Purba, yang terbentuk jauh sebelum pembentukan kaldera Batur. Gunung api purba ini diperkirakan jauh lebih tinggi dari kerucut Gunung Agung kini.

BGTL b u l e t i n g e o l o g i t at a l i n g k u n g a n

VOLUME 27 NOMOR 1 MARET 2017

Rawa Danau Kaldera Purba WISATA BERBASIS MASYARAKAT DI PANGANDARAN Kawasan Cagar Alam Geologi

VOLUME 27 NOMOR 1, MARET 2017



EDITORIAL

Apa jadinya dunia tanpa kamera? Tentu saja, terlepas dari kemampuan manusia untuk menggambar, rekaman-rekaman visual dalam kehidupan sehari-hari hanya dapat dipaterikan dalam ingatan. Bentang alam berupa perbukitan, pegunungan, laut dan sebagainya hanya dapat ditangkap dalam kilasan tradisi lisan, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh karena itu, penemuan kamera berikut perkembangannya sangat patut kita syukuri. Dan pada gilirannya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan hajat hidup kita. Tidak terkecuali dalam hal mengabadikan bentang alam yang kian hari kian banyak yang terancam eksploitasi berlebihan, sehingga kesempatan kita untuk dapat menikmatinya bisa semakin sedikit. Bukti mengenai kedahsyatan mata kamera, antara lain, dapat kita buktikan dalam BGTL Vol. 27 Nomor 1, Maret 2017.

Dengan kata lain, mengubah cara mengalami alam ini. Pada gilirannya, penelitian yang berbasiskan kepada kegeologian air tanah, teknik, dan lingkungan, tentu saja membutuhkan perangkat semacam kamera. Hal ini mengingat fungsi alat ini sebagai perekam yang akurat untuk mengawetkan berbagai detail yang barangkali tidak akan tertangkap oleh mata belaka dalam waktu di lapangan, yang tentu saja saatnya akan sangat terbatas. Dengan demikian, kegiatan inventarisasi warisan geologi serta perihal kawasan cagar alam geologi, air bawah tanah, berikut pengelolaan air tanah di Jabodetabekpunjur pun menjadi demikian akurat karena disertai bukti-bukti visualnya.

Oki Oktariadi

Perut bumi, kawasan Dataran Tinggi Dieng, batuan vulkanik Pulau Lembeh, morfologi Pulau Jawa, Missol, bisa kita lihat visualnya dalam bentuk foto-foto tercetak atau dalam bentuk digital. Ini pula barangkali yang ditekankan, misalnya, dalam buku Deni Sugandi yang resensinya dimuatkan dalam BGTL edisi kali ini. Betapa secara kognitif maupun intuitif dapat menuntun orang pada pada perubahan sikap terhadap alam ini.

Vol 27 No1

1


SURAT PEMBACA

Salam sejahtera. Saat mendapatkan majalah ini, saya sangat bersyukur karena informasi mengenai kebumian sangat langka. Walaupun saya bukanlah berlatar belakang ilmu geologi, tetapi sangat menyukai dengan sajian foto yang memberikan informasi. Melalui foto tersebut saya semakin mudah mengerti, proses dan fenomena alam yang sedang terjadi dilingkungan saya tinggal. Semoga majalah ini tetap hadir, dan memberikan sumbangannya bagi perkembangan ilmu kebumian, yang bersifat populer. Kalau diperkenankan memberikan usul, ada baiknya beberapa artikel disusun kembali dalam bentuk buku kompilasi, dikaitkan dengan tema tertentu. Tentunya akan lebih menarik dan bermanfaat lebih. Semoga usulan saya sebagai kayu bakar penyemangat dewan redaksi. Selamat dan semoga tetap hadir menyapa para peminat ilmu kebumian populer. Adriansyah Ardi, Bandung Dengan hormat. Sebelumnya saya mengucapkan selamat atas terbit kembali BGTL, hadir dalam format berbeda. Saya sangat menyukai bentuk dan format buletin seperti saat ini, karena lebih banyak dihiasi oleh foto-foto. Selain memudahkan untuk memberikan gambar proses alam, gambar tersebut lebih mudah dimengerti, tinimbang laporan jurnal yang lebih berat dimengerti bagi saya, maklum latar belakang saya bukan geologi. Selamat kepada BGTL, semoga buletin ini tetap hadir menyapa masyarakat umum, memberikan informasi populer tentang kebumian Indonesia. Rini Murdani, Jakarta

2

Vol 27 No1

Penanggung Jawab Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Rudy Suhendar. Ketua Dewan Redaksi Oki Oktariadi. Anggota Dewan Redaksi Dita Arif Yuwana, Andhy Darmadi Sipayung, T Bachtiar, Deni Sugandi, Ronald Agusta. Ketua Dewan Penerbit Adang Setiawan. Anggota Dewan Penerbit Sri Yuliani Hartati, Tursanti Dewi. Penata Letak Ayi Sacadipura. Ilustrator Dedi Umbara. Editor Bahasa CN. Annisa dan Atep Kurnia. Sekretariat Turinah, Ellia Kurnia MY. Sekretariat Redaksi: Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (Centre of Groundwater and Environmental Geology) Jalan Diponegoro 57 Bandung 40122. Telp. 0227274676, 022-7274677 Faks. 022-7206167. Email: jlbg_geo@yahoo.com

Redaksi menerima artikel diketik dengan spasi rangkap, maksimal 5.000 karakter, ditandatangani serta disertai identitas. Format dalam bentuk digital dikirim ke alamat redaksi, dengan catatan dewan redaksi berhak menyunting kembali naskah yang diterima. Buletin Geologi Tata Lingkungan (BGTL) diterbitkan berkala tiga kali setahun oleh Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.


DAFTAR ISI

6

HUGUIENIN, MEMETAKAN CILETUH

66

10

MEMBACA PERUT BUMI

14

WISATA BERBASIS MASYARAKAT DI PANGANDARAN

Atep Kurnia

Acep Ruchimat

T Bachtiar

MENGUPAS TATA KELOLA AIR WILAYAH JABODETABEKPUNJUR

Tantan Hidayat, Nandang dan Oki Oktariadi

78

82

24

PENATAAN WISATA DIENG Ayu Wulandari

30

MENGENALKAN GEOHERITAGE

92

36

44

54

56

62

Melia Susana

HARYADI: HIDUP UNTUK MENATA AIR TANAH

LANGLANG BUMI DALAM POTRET Atep Kurnia

SEKEPING SURGA DI MISSOL Ronald Agusta

BATUAN VULKANIK PULAU LEMBEH

Kevin Muster, Undang Mardiana, Aton Patonah, & Delyuzar Ilahude

Deni Sugandi

KERUCUT JAWA DI ATAS 35 RIBU KAKI Deni Sugandi

KOORDINASI GEOPARK DI AWAL TAHUN 2017 Tursanti Dewi

KAWASAN CAGAR ALAM GEOLOGI Dita Arif Yuwana & Andiani

RAWA DANAU KALDERA PURBA DI UJUNG BARAT PULAU JAWA Oki Oktariadi

Sumber air panas di sungai Malanage, Jerebu’u, NTT. Foto: Deni Sugandi

Vol 27 No1

3


4

Vol 27 No1


Relaksasi di Cunca Rami Flores

Cunca adalah bahasa Manggarai, artinya air terjun. Sedangkan rami berarti hutan. Air terjun berketinggian sekitar 60 meter ini mengalir di lereng batuan vulkanik tua yang berada di Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pencapaiannya dari Kampung Rangat, kampung terdekat, cukup menantang, karena cunca ini belum dikelola sebagai destinasi wisata. Perjalanan berjalan kaki menurun 60 derajat melewati hutan basah yang licin, pematang sawah yang sempit dan sungai tanpa jembatan. Tetapi, bila telah sampai di air terjun ini, kita dapat merasakan sensasinya, betah berlama-lama karena tubuh dan juga pikiran benar-benar rileks. Foto & Teks: Ronald Agusta

Vol 27 No1

5


Huguenin, Memetakan Teluk Ciletuh Atep Kurnia

Muara Cikepuh, Ciletuh. Foto: Deni Sugandi

6

Vol 27 No1


Pada abad ke-19, saat keahlian keilmuan masih belum terkhususkan, belum ketat terbagi-bagi pada spesifikasi masing-masing, tertutup pada bidang-bidang khusus, kita bisa menemukan berbagai sosok yang menguasai begitu banyak lapangan keilmuan sekaligus. Sosok-sosok demikian dikenal dengan nama generik sebagai naturalis. Kecenderungan tersebut merupakan warisan dari perkembangan keilmuan di masa lalu, sebagaimana yang dapat kita ikuti sejarahnya dalam perikehidupan orang Yunani kuno dan Romawi kuno. Demikian pula di Abad Pertengahan dan sebagainya. Khusus sosok-sosok yang demikian menguasai begitu banyak lapangan ilmu di Indonesia pada abad ke19, kita antara lain dapat menemukannya pada diri Thomas Horsfield, Jonathan Rigg, Peter Bleeker, Franz Junghuhn, Zollinger, dan lainlain. Nah, untuk urusan yang berkaitan dengan pemetaan Teluk Ciletuh di selatan Jawa Barat pun dilakukan oleh orang yang bukan hanya mengurusi satu saja bidang ilmu, khususnya geologi. Melainkan dilakukan oleh orang yang memiliki minat yang luas terhadap bidang ilmu lainnya. Di sinilah kita bisa berkenalan dengan sosok Otto Frederik Ulrich Jacobus (O.F.U.J) Huguenin (1827-1871), insinyur pertambangan yang meminati juga hal ihwal sekitar ilmu binatang. Penelusuran biografinya saya lakukan dengan jalan menelisik kliping koran-koran lama, ditambah dari jurnal dan buku-buku. Koran dan jurnal tersebut berasal dari masa ketika Huguenin di Belanda

dan mulai aktif berdinas di dunia pertambangan di Hindia Belanda hingga kematiannya. Informasi mengenai kehadirannya yang tertua berasal dari tahun 1842. Dari Leydsche Courant, 13 Juli 1842, kita tahu bahwa O.F.U.J Huguenin dan W.F.U. Huguenin, yang barangkali keluarganya, bisa memperpendek masa pengajarannya di sekolah. Lima tahun kemudian, Leydsche Courant, 6 September 1847, Huguenin bersama-sama dengan E. van der Eist, S. Schreuder, dan F. C. H. Libert yang lulus dari Akademi Kerajaan (Koninklijke Akademie) diarahkan untuk bekerja di dinas pertambangan Hindia Belanda di bawah arahan Aspiran Insinyur Hindia Belanda, C. de Groot. Tujuh tahun kemudian, sebagaimana yang terbaca dalam Samarangsch Advertentie-Blad, 13 Januari 1854, S. Schreuder, F. E. H. Liebert en O.F.U.J. Huguenin diangkat menjadi aspiran insinyur kelas tiga. Sementara Pangeran Ashanti dari Afrika yang bekerja di pertambangan Hindia Belanda, Aquasie Boachie, diangkat menjadi buitengewone aspirant ingenieur. Namun, pada 1863, sebagaimana yang terbaca dalam Rotterdamsche Courant edisi 28 April 1863, atas kemauan sendiri, Huguenin mengundurkan diri dari dinas pertambangan Hindia Belanda (“Ontslagen: eervol op hun verzoek, uit ‘s Lands dienst, de ingenieur der 3de kl. voor de mijnen in Ned.-Indie O. F. U. J. Huguenin”). Kemudian, pada 1863 (Het Amsterdamsche Handels-en Effecten Blad, edisi 28 November 1863) ia disahkan untuk membuka

praktek sebagai surveyor (“De uitoefening van het beroep van landmeter aan O. F. U. J. Huguenin, eervol ontslagen ingenieur der derde klasse voor do myuen in NederlandschIndie”). Pada 1867, ada berita Huguenin diangkat menjadi pegawai dinas pertambangan Hindia Belanda secara temporer dan ada kemungkinan diangkat menjadi insinyur kepala sekaligus menjadi kepala dinas pertambangan (“laatstelijk die betrekking bekleed hebbende, met bepaling, dat hij voorloopig wordt gesteld ter beschikking vau den hoofd-ingenieur, chef der afdeeling mijnwezen” dalam Java-Bode edisi 3 Juli 1867). Selanjutnya, pada 1871, Jules Huguenin mengabarkan mengenai kematian O.F.U.J. Huguenin dalam Bataviaasch Handelsblad edisi 14 Oktober 1871. Katanya, pada 6 Agustus 1871 O.F.U.J. Huguenin meninggal di Sikinjang di dekat Solok, Sumatra Barat. Itu riwayat hidupnya. Sedangkan mengenai publikasi karya ilmiahnya kita dapat membacanya antara lain mengenai Chemisch onderzoek van zwart zand en een zwart mineraal van de Zuidoostkust van Bomeo en Poeloe-Lawut (1852); Onderzoek naar mangaanert, voorkomende te Tjikangkareng, regentschap Soekapoera, res. PreangerRegentschappen (1860); dan Mijnbouwkundig onderzoek der koperert-sen in de residentie Padangsche Bovenlanden (1863). Sementara tulisan mengenai satwanya antara lain Reptiliën en visschen van Banjoewangi en Buitenzorg serta Visehsoorten en reptiliën van Banjoewangi en Buitenzorg (1857); Hemiramphus Buffonis Val. en Mugil vaigiensis QG. van Batjan verzameld (1859) dan

Vol 27 No1

7


Bepaling door P. Bleeker van reptiliën te Buitenzorg (1867). Atas penemuan mengenai fauna ikan, nama Huguenin diabadikan menjadi nama ilmiah ikan Repomucenus huguenini, Callionymus huguenini Blkr (1858), Poropuntius huguenini, Heilipodus huguenini, dan Hypsibarbus huguenini (Bleeker). Nah, peta geologi daerah Teluk Ciletuh berikut uraiannya dapat kita simak dalam tulisannya Onderzoek naar het aanwezen van steenkolen in het terrein aan de Tjiletoekbaai, res. Preanger-Begentschappen (1856). Pada awal tulisan yang bertitimangsa Buitenzorg (Bogor), Mei 1856, ini Huguenin menerangkan ihwal awal mula penyelidikan geologi di kawasan Ciletuh, yang menjadi titik berangkat penyusunan peta geologi Ciletuh yang disusunnya. Katanya, orang yang mula-mula ditugaskan untuk melakukan penyelidikan mengenai geologi Ciletuh adalah Aquasie Boachie. Dia melakukan penyelidikan dan menggambar daerahnya untuk menentukan titik-titik penyelidikannya. Kemudian, atas penyelidikan tersebut direncakan untuk melakukan pengeboran lebih lanjut dalam kerangka mencari batubara. Untuk melakukan penyelidikan lanjutan itu, Huguenin mengaku harus bekerja keras. Katanya, “Untuk memenuhi tugas ini kami pergi pada minggu kedua November (1855) dari Bogor, dan setelah perjalanan yang melelahkan mencapai Teluk Ciletuh pada 25 November. Hujan lebat mengguyur saat sore hari, ditambah kondisi jalanan yang sangat menyedihkan, sehingga laju perjalanan kami jadi tersendat-

8

Vol 27 No1

sendat serta menghalangi kami untuk melakukan penyelidikan daerah itu. Yang memungkinkan adalah posisi di antara Pal 42 dan Pal 43 pada jalan Cikembar Pelaboean. Di sini, pada celah-celah jalanan, kami mengumpulkan fosil gastropoda dan lamellibranchien. Jumlahnya banyak sekali, warnanya coklat keabu-abuan, yang keras ... Fosil-fosil tersebut terawetkan dengan baik dan termasuk pada Zaman Tersier. Perkiraan kami, fosil-fosil tersebut terawetkan pada ketinggian 1000 m. Dpl.” Selanjutnya, saat tiba di tujuan, rombongan penyelidik tinggal di rumah atau gubuk bambu yang didirikan di dekat Cibanting dan menjadi tempat tinggal Boachie pada penyelidikan pertama. Saat itu, tim hanya mengandalkan “Peta, yang menjadi dasar penyelidikan adalah peta yang dibuat Angkatan Laut yang diambil di atas kapal Castor en Krokodil, dan ternyata peta tersebut tidak terpakai, karena gambarannya mengenai daerah tersebut tidak betul” (“De eenige kaart, welke tot grondslag zouden hebben kunnen dienen, was die, welke van wege het departement van marine uitgegeven was, ingevolge opnamen door Z. M. oorlogschepen Castor en Krokodil, doch ook deze bleek, wat den vorm van het land betrof, onjuist te zijn”). Huguenin kemudian memerinci apa saja yang ditemukannya di lapangan, baik keadaan alamnya maupun tumbuhan yang ada di sekitar Ciletuh. Antara lain, Huguenin sangat terkesan dengan djamplong (Callophyllura sp.), yang dikenal sebagai kayu

yang keras, tinggi dan cantik. Pada gilirannya, ia membagi batuan yang ada di sekitar Ciletuh menjadi empat formasi. Berturut-turut adalah tanah aluvial (Alluviale gronden), batuan pasir (Zandsteenformatie), breksi (De brekcien), batuan hijau atau afaniet (Groensteenen, De aphaniet), dan trakit (Trachiet). Inilah yang menjadi inti dari peta geologi Ciletuh yang disertakannya dalam tulisan yang dimuat majalah ilmiah Natuurkundig Tijdschrift voor NederlandschIndië, terbitan Koninklijke Natuurkundige Vereeniging in Nederlandsch Indie: lembaga ilmiah tempat Huguenin bergiat. Mengenai formasi tanah aluvial, Huguenin menyebutkan bahwa tanah aluvial menutupi seluruh lembah Sungai Ciletuh, agak jauh dari Pegunungan Lingkoeng di tenggara ke arah laut. Di Kampung Cibanting, Cipancor dan di muara Sungai Tjibatoenoengoel terepresentasikan keliman sempit, di seberangnya tertutupi formasi lain serta di pinggir laut (“Alluviale gronden vormen de geheele vallei der Tjiletoek-rivier, van af het Lingkoeng-gebergte in het zuidoosten tot aan zee. Bij kampong Tjibanting, bij Tjipantjor en aan de monden der Tjibatoenoengoel vormen zij slechts een smallen zoom, ter eener zijde begrensd door andere formatiên en ter andere door de zee”). Kemudian batuan pasir diterangkannya sebagai berikut: Batuan pasir dan konglomerat adalah formasi kedua dan terbesar di sekitar Teluk Ciletuh. Agar ringkas, saya menyebut formasi ini sebagai formasi batuan pasir, meskipun mengandung pula lapisan konglomerat yang


Peta Geologi Ciletuh susunan Huguenin 1856. Sumber: Istimewa

banyak. (“Zandsteenen en konglomeraten vormen de tweede en meest uitgestrekte formatie rondom de Tjiletoekbaai. Kortheidshalve zal ik deze vorming, de zandsteenformatie noemen, alhoewel in haar magtige konglomeraatlagen voorkomen”). Mengenai breksi, katanya batuan ini melampar dari Pulau Kunti hingga muara Sungai Cibanting. Semua batuan basal yang kehijauan terhubung dengan batuan pasir hijau gelap atau semen tuff sehingga menyatu sangat padat dan keras. (“De brekcien komen zeer ontwikkeld voor, van af Poeloe Koenti tot aan den mond der Tjibanting.

Het zijn allerlei stukken van basalten groensteenachtige gesteenten , welke , door een donker vuil groen-zandsteen of tufachtig cement, tot eene zeer kompakte en harde massa zijn verbonden”). Lalu afaniet terutama pada Gunung Haur, G. Lameh dan G. Cipetirman, sebagian G. Cibiuk. Batuan ini berisi barikbarik batuan. Di dekat Pulau Kunti ada barik-barik mineral berwarna hijau-biru pucat serta hijau bumi (“Groensteenen, De aphaniet, welke hoofdzakelijk G. Haur, G. Lameh en G. Tjipetirman, benevens een deel van G. Tjibioek zamenstelt, vertoont niets bijzonders. Hij is

eene digte groene steenmassa, welke hier en daar kalkaderen bevat. Nabij P. Koenti bevat hij aderen van een bleek, blaauwgroen mineraal, groenaarde”). Terakhir batuan trakit yang ditemukan di timur laut Gunung Pasirmalang; tetapi apakah ada di atasnya atau terjadi sebagai pengisi yang belum diselidiki lebih lanjut (“Trachiet vindt men aan de noord-oostzijde van G. Pasirmalang; of hij hier aanstaat, dan wel als rolblokken voorkomt, is niet nader onderzocht”). Penulis, peminat literasi dan sejarah, tinggal di Bandung.

Vol 27 No1

9


Membaca Perut Bumi Acep Ruchimat

GPR MALÃ…. Sumber: httpgprsolutions.co.nz

10

Vol 27 No1


Metode geofisika bukan hanya sebuah “tool” untuk melihat bawah permukaan, tetapi ilmu yang menjembatani parameter fisika dengan material geologi bawah permukaan. Sehingga metode geofisika ini sangat unik banyak ragamnya sesuai dengan informasi anomali target yang ingin dicari. Ground Penetrating Radar (GPR) atau kadang orang menyebutnya dengan Georadar atau GRO radar merupakan salah satu metode geofisika yang paling banyak digunakan pada saat ini, terutama untuk kepentingan geoteknik dan lingkungan pada daerah perkotaan. Penggunaannya pada saat ini adalah dalam rangka menyediakan informasi yang menunjang infrastruktur seperti informasi utilitas bawah permukaan (Pipa PDAM, Pipa Gas, Kabel PLN, dll), informasi rekahan pada bangunan bendungan, jembatan, terowongan dan bangunan sipil lainnya. Kelebihan GPR dibandingkan metode geofisika lainnya adalah metode ini memiliki resolusi yang tinggi, kemampuan akuisisi data yang cepat, tidak merusak lingkungan dan dari segi operasional tidak memerlukan biaya tinggi. Disamping

memiliki kelebihan, metode ini juga memiliki kekurangan yaitu penetrasinya yang relatif dangkal (< 50 meter). Konsep metode GPR adalah mirip dengan seismik refleksi gelombang geser, hanya sumber gelombangnya merupakan gelombang elektromagnetik dengan frekuensi tinggi (1 – 2000 MHz). Gelombang elektromagnetik dipancarkan oleh transmiter ke bawah permukaan bumi, jika terjadi perubahan konstanta dielektrik batuan, permeabilitas dan konduktifitas batuan maka gelombang tersebut akan direfleksikan, refraksi dan diteruskan kembali, dimana kemudian sinyal yang keatas akan diterima oleh receiver. Penggunaan antena GPR disesuaikan dengan target yang dicari, misal untuk antena berfrekuensi sangat tinggi (900 MHz – 2 GHz) umumnya digunakan untuk informasi target dengan ukuran kecil (< 25 cm) seperti penyelidikan untuk investigasi tulangan pada beton bertulang, rambut/ retakan pada beton, ketebalan aspal dan lain – lain, antena berfrekuensi sedang - tinggi ( 100 – 700 MHz) umumnya digunakan untuk informasi target dengan ukuran kecil sampai sedang ( 25 cm – 1 meter) seperti jaringan utilitas (pipa PDAM, pipa Gas, kabel PLN, dan lain lain), penyelidikan arkeologi sedangkan antena berfrekuensi rendah ( < 100 MHz) umumnya digunakan untuk informasi dengan ukuran target sedang – besar ( > 1 meter) seperti penyelidikan stratigrafi dan struktur geologi. Peralatan GPR, Beberapa merk/ pabrikan alat GPR yang penulis ketahui ada beberapa merk yang dipakai oleh para geophysicist di Indonesia

seperti; GSSI, IDS, RAMAC, Pulse EKKO, Zond, dan lain – lain. Namun secara umum peralatan GPR terdiri dari : antena transmiter, antena receiver, konsole (control Unit) dan Komputer. Berikut adalah contoh gambar peralatan GPR : Seperti halnya metode geofisika lainnya urutan kegiatan pada metode GPR terdiri dari akusisi data, pengolahan data dan interpretasi serta pemodelan untuk membantu interpretasi data. Akuisisi data, Metode akuisisi data pada GPR ada 3 jenis yaitu Radar Reflection Profiling (RRP), Common Mid Point (CMP)/ Wide Angle Reflection and refraction (WARR) dan tomography. Metode RRP bertujuan untuk mendapatkan informasi profil dari bawah permukaan, sedangkan CMP atau WARR bertujuan untuk mendapatkan informasi kecepatan lapisan bawah permukaan, Sedangkan Tomography mendapatkan informasi perlambatan (1/V) dari kecepatan gelombang elektromagnet yang menjalar melalui target dari berbagai posisi, sehingga model bawah permukaan akan lebih akurat dan mendekati kondisi sebenarnya. Secara umum metode akuisisi RRP lebih banyak digunakan dibandingkan metode lainnya karena lebih cepat untuk profil bawah permukaan. Pengolahan Data, Bertujuan untuk mendapatkan informasi sinyal yang kita butuhkan dan menghilangkan informasi noise yang tidak diperlukan. Hasil pengolahan data yang baik adalah penampang bawah permukaan data GPR (radargram) yang dapat diinterpretasi, memiliki signal to noise ratio yang tinggi dan

Vol 27 No1

11


Pantulan frekwensi yang dibaca kembali oleh unit GPR. Sumber: http://www.radartutorial.eu

Cara penggunaan GPR. Sumber: KiewitTucson

12

Vol 27 No1


Contoh gambar radargram data mentah (atas) dan radargram yang sudah diolah (bawah).

menggambarkan kondisi bawah permukaan yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Fitur pengolahan data pada GPR hampir sama dengan seismik refleksi tetapi umumnya lebih sedikit dibandingkan seismik refleksi. Fitur - fitur tersebut diantaranya adalah 1D Filter, 2D filter, time depth conversion, dan lain – lain. Berikut adalah beberapa software untuk GPR yang penulis ketahui: ReflexW, RADAN, PRISM, GRADIX dan Win EKKO. Interpretasi data, bertujuan untuk memberikan informasi hasil dari dari pengolahan data kepada pengguna. Agar informasi data GPR akurat maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam interpretasi data, yaitu : memperhatikan kondisi sekitar pada saat akuisisi data dilakukan, kalibrasikan data GPR dengan data bor

atau data singkapan, kadang diperlukan pemodelan untuk memperlihatkan pola refleksi yang muncul dari target yang akan dicari. Pemodelan, bertujuan untuk memodelkan bawah permukaan, pemodelan pada GPR umumnya berupa pemodelan kedepan (Forward Modelling), pemodelan kedepan adalah proses pemodelan bawah permukaan yang dibuat jika data pengukuran tidak diketahui sedangkan parameter model diketahui. Berikut adalah beberapa software untuk pemodelan GPR yang penulis ketahui, GPRmax 2D/3D dan MATGPR. Metode geofisika bukan hanya sebuah “tool� untuk diterapkan dalam melihat bawah permukaan tetapi adalah ilmu yang menjembatani antara parameter fisika dengan

material geologi bawah permukaan, sehingga agar kegiatan survey GPR sebagai salah satu metode geofisika ini berhasil dalam suatu kegiatan survey penelitian, maka kita harus tahu apakah target yang dicari akan memiliki kontras dengan lingkungannya sehingga mampu menjawab cocok atau tidaknya metode GPR diterapkan atau metode geofisika yang lain yang harus diterapkan, baru kemudian pemahaman yang baik dalam menentukan parameter – parameter akuisisi data, pengolahan data dan interpretasi (pemahaman dari pengamatan lapangan, data singkapan, data bor) serta pemodelan untuk membantu interpretasi data kita. Penulis adalah fungsional di PATGTL, Badan Geologi KESDM

Vol 27 No1

13


Wisata Berbasis Masyarakat di Pangandaran Teks dan Foto: T Bachtiar

Pompa angguk di blok Cepu Jawa Timur.

14

Vol 27 No1

Foto: Deni Sugandi


Pengunjung melintasi jembatan mangrove Batukaras. Foto: Deni Sugandi

Vol 27 No1

15


Atraksi utama Pangandaran yang sudah lama ada adalah pantai. Namun, wisatawan yang datang ke Pangandaran dengan kegaiatan berwisata di pantai, seperti berenang dan berperahu, nampaknya sudah nyaris jenuh, karena kurangnya pilihan atraksi wisata baru yang dikembangkan. Untungnya, dalam situasi jenuh tersebut, warga setempat berinisiatif, tampil membuat pilihan-pilihan berwisata di alam selain pantai, dan ternyata mendapatkan sambutan yang luarbiasa, seperti berwisata di hutan mangrove dan berwisata di aliran sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini, misalnya wisata hutan mangrove di Batukaras yang dikembangkan menjadi tujuan wisata sekaligus upaya meletarikan hutan mangrovenya. Di dalam hutan mangrove itu dibuat jembatan bagi pengujung untuk mengenal mangrove lebih dekat, sangat bermanfaat bagi keberlanjutan alam dan kesejahteraan manusianya. Pengelola hutan mangrove membuat pembibitan, sehingga pengunjung

16

Vol 27 No1

dapat menjadi bagian dari konservasi dengan cara menanam bibit mangrove jenis pidada, apiapi, dan tancang. Contoh lain yang menjadi kecenderungan wisata di Pangandaran adalah berwisata di aliran sungai, yang terus digali dan dikembangkan oleh warga setempat, seperti aliran sungai, yang sudah dikembangkan menjadi atraksi wisata yang menarik, dikelola oleh masyarakat di tiga tempat. Pertama atraksi wisata sungai di Citumang, yang berada paling hilir dari aliran sungai itu, kedua yang berada di tengah aliran, yaitu di bukit dan lembah Jojogan, dan yang ketiga di Santirah. Bukit dan lembah Jojogan sebagai tujuan wisata berbasis masyarakat ini sudah dikelola dengan baik. Walau kecil, jalan menuju pusat kegiatan sudah baik, begitu pun tangga-tangga menuju dasar lembah, tempat kegiatan wisata air itu berada. Pengunjung ke sini ada yang hanya menikmati pemandangan dari atas bukit dengan beragam jenis bunga serta dinaungi pepohonan yang rindang, namun daya tarik utamanya adalah berenang di aliran sungai yang jernih, serta masuk ke sungai bawah tanah dengan bentukan-bentukan stalaktit di langit-langit goa, travertin, serta tebing goa yang tegak dan megah. Para

pengunjug yang menelusuri sungai bawah tanah, diajak menelusuri ke dalam sungai bawah tanah yang gelap, dan difasilitasi untuk ikut meloncat dari berbagai ketinggian, mulai dari tebing yang tingginya 7 m, 5m, dan 2 m. Wisata berbasis masyarakat di Kabupaten Pangandaran terus bangkit berbenah, sehingga perlu mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk dari Pemerintah. Dukungan menyeluruh ini sangat penting, karena dampak ekonomi dari wisata berbasis masyarakat itu dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Para pemuda yang semula bekerja di kota, kini mudik untuk menjadi pemandu wisata sungai di Jojogan. Bila mundur ke 17-10 juta tahun yang lalu, kawasan tempat kegiatan wisata sungai ini terangkat dari dalam laut dangkal secara evolutif, kemudian muncul ke permukaan. Bukit dan lembah Jojogan ini batuannya terdiri dari kalkarenit dan batugamping klastika yang berselingan dengan napal. Sejak terangkat itulah kawasan ini menerima pangaruh iklim, menerima pengaruh panas matahari dan air hujan. Proses pengangkatan dan proses pelarutan batukapur terus berlangsung, berjalan berbarengan, kemudian menoreh tajam bagian yang lemah membentuk lembah yang dalam, melarutkan


Wisata mangrove Batukaras, Pangandaran. Foto: T. Bachtiar

batukapur membentuk celah, rongga, yang terus membesar membentuk goa-goa kapur yang vertikal di kedalaman. Berselang waktu jutaan tahun, di kedalaman tertentu, aliran air di dalam goa kapur itu berubah menjadi mendatar dengah kemiringan ke arah selatan, membentuk goagoa mendatar, menjadi sungai bawah tanah bila jumlah airnya melimpah. Bila atap goa atau sungai bawah tanahnya tak kuat menyangga bebannya sendiri, maka atap goa itu akan ambruk, membentuk ronabumi berupa lembah atau sungai dengan lereng yang curam. Ronabumi itulah yang kini dikelola

menjadi daerah tujuan wisata sungai oleh masyarakat. Jauh sebelum Jojogan dikembangkan, sudah terlebih dahulu dikelola aliran Ci Julang. Wisatawan dapat menyusuri sungai sampai jembatan alami atau Cukangtaneuh, yang kemudian kawasan ini dipopulerkan dengan sebutan Green Canyon, karena lingkungan dan air sungainya biru kehijauan. Kawasan Cukangtaneuh jutaan tahun yang lalu, merupakan sungai bagian hilir yang menerobos batugamping, membentuk goa dan sungai bawah tanah

sepanjang 9 km. Langitlangit goanya makin lama tidak kuat lagi menahan bebannya sendiri, lalu ambruk menjadi aliran sungai yang terbuka di aliran Ci Julang. Ada atap goa yang tersisa, tidak ambruk, atap goa kapur yang sempit, tebalnya 4 – 5 meter. Pada masa lalu, bagian inilah yang oleh warga dijadikan jembatan penghubung antar kampung sehingga dinamai Cukangtaneuh. Berkembangnya wisata alam yang berbasis masyarakat atau komunitas (CBT Community Based Tourisme) yang ada di Pangandaran, harus terus didorong oleh masyarakat dan pemerintah,

Vol 27 No1

17


TWA Cagar Alam Pangandaran. Foto: T. Bachtiar

agar masyarakat mampu mengelola wisata alam secara mandiri dengan baik. Tujuan wisata alam berbasis masyarakat adalah untuk membangkitkan ekonomi desa, sehingga manfaat ekonominya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Namun sayang, belum semua wisata alternatif seperti wisata pedesaan belum digarap dengan sungguhsungguh, padahal sangat memungkinkan untuk dijual sebagai atraksi wisata yang menarik. Wisata berbasis masyarakat di Kabupaten Pangandaran terus bangkit berbenah, sehingga perlu mendapat

18

Vol 27 No1

dukungan, termasuk dari Pemerintah. Dukungan menyeluruh sangat penting, karena dampak ekonomi dari wisata berbasis masyarakat itu dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Rentetan ekonomi dari wisata alam berbasis masyarakat akan terus bergulir, harus terus ditumbuhkan, bukan malah dimatikan. Sebagai pusat kegiatan wisata masih berada di antara pantai barat dan pantai timur Pangandaran. Hotel yang baik telah dibangun, sehingga dari sinilah wisataswan itu didistribusikan ke berbagai daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya untuk

dikunjungi. Atraksi utama wisata Pangandaran masih tetap, pantai dengan deburan ombak dan pasir putih yang halus. Di pantai ini ada bagian yang aman karena terlindung oleh kawasan konservasi Pananjung seluas 532 hektar, yang terletak di antara dua teluk, Teluk Pangandaran di sebalah timur, dan Teluk Parigi di sebelah barat, tempat berenang bagi wisata. Wisatawan dapat berenang di Teluk Parigi, di pantai barat yang dinyatakan aman, menjadi magnet yang kuat dari Pangandaran. Pantai barat menjadi pusat


Wisata Jojogan, Pangandaran. Foto: T. Bachtiar

kegiatan wisatawan sejak pagibuta sampai petang menjelang malam. Oleh karena itu memerlukan ketegasan manajemen pariwisata di Kabupaten Pangandaran untuk mengadakan zonasi kegiatan. Misalnya, tidaklah aman bagi pengunjung, bila motor-motor kecil yang disewa dapat dengan leluasa mondar-mandir di sekitar tempat pengunjung berenang, bermain bola, bermain pasir, dan dudukduduk menunggui anaknya yang sedang berenang. Bila diatur dengan baik, ada zonasi, maka arah motormotor kecil itu ke wilayah pantai yang tidak menjadi tempat berenang karena

ombaknya besar. Demikian juga perahu-perahu yang beroperasi di pantai barat kurang memberikan rasa aman bagi anak-anak yang keasyikan berenang. Secara umum, memang kegiatan wisata berperahu lebih dipusatkan di pantai timur di Teluk Pangandaran, namun ketika pengunjung padat, justru banyak ditawarkan untuk berperahu di Teluk Parigi. Fasilitas kepariwisataan di Pangandaran sudah lebih dari cukup. Penginapan, rumahsinggah, hotel, warung, dan rumahmakan dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Dan, yang paling berpengaruh terhadap

jumlah wisatawan adalah jalan masuk ke pusat kegiatan wisata yang sudah baik.

Kawasan wisata

Pangandaran, menurut TO Simandjuntak dan Surono (1992) antara 34 – 23 juta tahun yang lalu, kawasan Pangandaran ini ditutupi oleh material gunungapi purba yang tersebar luas, lebarnya antara 15 – 20 km. Karena dinamika bumi yang terus berlangsung, secara evolutif terjadi pengangkatan kawasan Pangandaran secara regional. Dalam perjalanan waktu, terjadi penurunan selebar kurang-lebih 6 km., termasuk sepertiga

Vol 27 No1

19


Pantai timur Pangandaran. Foto: T Bachtiar

Pulau Pananjung bagian utara, sehingga antara yang terangkat dan yang turun secara evolutif itu membentuk cekungan dengan beda ketinggian sekitar 300 m. Ke dalam cekungan itu air laut, menyatu dengan laut di sekitarnya, sehingga bagian yang terangkat di selatan menjadi pulau tersendiri, kemudian dinamai Pulau Pananjung, yang terpisah dari pulau induknya yang sekarang dinami Pulau Jawa. Kira-kira 4-5 km mulai dari ujung utara Pulau Pananjung 4-5 km ke utara, rona buminya sangat datar. Wisatawan akan merasakan

20

Vol 27 No1

keadaan ini, misalnya di jalan yang mengarah utara – selatan mulai gerbang karcis masuk sampai ke arah pantai. Di kiri kanan jalan sudah dibangun permukiman, dan makin ke selatan semakin banyak didirikan penginapan, hotel, dan rumahmakan.

Kawasan yang sudah padat inilah yang pernah tergenang laut dangkal yang jernih antara 34 – 17 juta tahun yang lalu. Ketika tergenang laut dangkal yang tenang dan jernih itulah di sisi utara “Pulau Pananjung�

tumbuh binatang koral. Setelah terumbu itu tumbuh jutaan tahun sambil terangkat ke permukaan secara evolutif, kemudian mendapatkan pengaruh dari panas matahari dan air hujan yang melarutkan batukapur. Jejak peninggalannya berupa batugamping terumbu di Pulau Pananjung bagian utara, yang umurnya sekitar 17 juta tahun yang lalu. Koral terangkat ke permukaan kemudian mati, menjadi batugamping terumbu setebal kurang-


lebih 80 m, lalu berbagai tumbuhan hidup di atasnya. Akar-akar pohon membawa air hujan meresap jauh ke dalam, melarutkan batukapur secara perlahan. Selama jutaan tahun, batu kapur yang melarut itu membentuk celah, rongga, kemudian melarut lebih besar menjadi goa-goa kapur, seperti. Di dalam goa terdapat bentukanbentukan hasil pelarutan, seperti bentukan yang menggantung runcing di langit-langit goa disebut stalaktit, dan yang tumbuh dari dasar goa disebut stalagmit. Sementara di bagian selatan Pulau Pananjung itu tidak terdapat goa kapur, karena batuan penyusunnya berupa material letusan gunungapi purba. Deburan ombak dari arah Samudra Hindia yang kuat, telah merontokkan bagian-bagian yang lemah. Pada mulanya membentuk ceruk, yang terus berproses menghasilkan lorong yang semakin panjang membentuk goa pantai. Ketika goa terus membesar, sementara atap goanya tak kuat lagi menahan beban, maka atap goa akan ambruk, meninggalkan bentukan yang terpisah. Proses alam terus berlanjut, bagian yang terpisah terus dihantam gelombang, digerus arus, dipanasi matahari, disirami air hujan. Bagian yang lemah akan hancur, sementara bagian yang paling kuat akan bertahan, membentuk apa yang disebut stack.

Karena bentuk stack-nya menyerupai layar perahu yang sedang melaut di sudut timurlaut Pulau Pananjung, maka batu tegak itu dinamai Batulayar. Setelah gelombang dari Samudra Hindia itu menghantam sisi selatan Pulau Pananjung, energi ombaknya melemah di sisi barat dan timur pulau, dan semakin melemah di bagian belakang pulau. Proses inilah yang secara evolutif dan terus berjalan tiada henti mengendapkan material lumpur, pasir, dan kerikil di balik pulau, menyambungkan kembali Pulau Pananjung dengan Pulau Jawa yang pernah terpisah inilah yang disebut tombolo. Di permukaan tombolo inilah jalan, hotel, rumahmakan, dan fasilitas wisata lainnya dibangun. Setelah tombolo terbentuk, maka laut antara Pulau Pananjung – Pulau Jawa jadi terpisah, ada pantai timur dan pantai barat, serta membentuk pantai yang melengkung, di sebelah timur dinamai Teluk Pangandaran dan di sebelah barat dinamai Teluk Parigi. Sepajang pantai di Kabupaten Pangandaran berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, tempat lempeng Samudra Indo-Australia menunjam lempeng benua Erasia. Karenanya, kawasan wisata pantai yang indah ini tidak lepas dari pengaruh peristiwa alam seperti

gempabumi tektonik yang dapat memicu tsunami. Kenyataan ini pernah terjadi ketika gempabumi tanggal 17 Juli 2006 dengan kekuatan 6,8 pada skala Richter, yang memicu tsunami yang meluluhlantakkan bangunan dengan penghuninya. Di pantai-pantai yang tidak memiliki sabuk hijau, terbukti menderita kerusakan yang paling parah. Belajar dari kejadian tsunami tahun 2006, maka arsitektur bangunan harus dirancang dapat melindungi pengunjung, dan sangat mendesak untuk membuat sabuk hijau, menjadikan hutan pantai yang rindah dengan naungan. Pohon pantai yang berbatang kuat adalah nyamplung. Fungsinya, selain menjadi sabuk hijau yang dapat melemahkan hantaman tsunami dan melunakkan udara pantai yang menyengat, juga dapat dijadikan jalur bagi penggemar sepeda. Oleh karena itu agar wisata alam ini berkelanjutan, menjadi kehormatan bagi semua kalangan untuk menjaga lingkungan tetap terjaga dengan menanam dan menjaga pepohonan yang rindang.* Penulis adalah Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

Vol 27 No1

21


Gunungapi Raung dari Dataran Tinggi Ijen

Muka bumi yang terdenudasi kemudian membentuk perbukitan, lembah dan dataran di kawasan dataran tinggi Jampit. Terlihat kerucut gunungapi Raung 3.344 m. dpl, di sebelah barat daya dari kawah Ijen. Gunungapi aktif di Jawa Timur ini berada di tiga kabupaten, Besuki, Banyuwangin, Bondowoso dan Jember. Tercatat awal aktivitas 1586, kemudian terakhir Juli 2015. Dihitung dari titik tertinggi, Gunung Raung merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Timur setelah Gunung Semeru, serta menjadi yang tertinggi keempat di Pulau Jawa. Kaldera Gunung Raung juga merupakan kaldera kering yang terbesar di Pulau Jawa dan terbesar kedua di Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat Foto : Cak Goeng Teks : Deni Sugandi

22

Vol 27 No1


Vol 27 No1

23


Penataan Wisata Dieng Teks dan Foto: Ayu Wulandari

24

Vol 27 No1


Jembatan gantung di Batu Pandang, Dieng. Foto: Ayu Wulandari

Vol 27 No1

25


Dataran tinggi Dieng pertengahan Februari tahun ini. Wajah pagi musim penghujan masih amat mudah ditemui. Sebentar saja matahari memberi hangat rona kuning di pipi langit, berikutnya kabut penuh sukacita mengambil alih. Bahkan angin yang menurut penduduk sekitar sedang kencang-kencangnya itu tampak sigap menghantarkan hujan deras berlapis dingin. Meski begitu tak lantas sunyi kenyataannya di sekitar Batu Ratapan Angin. Tampak serombongan muda-mudi penuh semangat bergantian saling mengabadikan diri berlatar Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang agak muram dari lazim. Bila melayangkan ingatan pada kisaran dua-tiga tahun silam, kondisi destinasi wisata yang kini paling banyak diminati sebab dinilai fotogenik dan instagramable ini amatlah berbeda. Berbagai fasilitas umum bagi pengunjung telah dihadirkan mulai dari area parkir, kamar mandi, hingga tempat beribadah. Beberapa warung menyediakan makananminuman cepatsaji tanpa meniadakan menu Tempe Kemul dan Mi Ongklok (yang telah mewakili citra Dieng sejak lama sebelum maraknya Kentang Bulat Berbumbu lima ribuan) sepaket dengan beraneka buahtangan. Di sudut mudah tertangkap mata, seorang wanita belum paruhbaya menjadi satusatunya penjaja Wedang Ronde yang hangatnya pas guna menghadapi dingin berkepanjangan. Sementara untuk memuaskan kesukaan berfoto, selain keberadaan bongkah-bongkahan batuan vulkanik yang kerap dinaiki,

26

Vol 27 No1

telah disediakan wahana berbayar (di luar harga tiket masuk) berupa panggung pandang yang diberi nama Jembatan Ratapan Cinta (Rp 5.000,00 per orang sekali masuk) serta jembatan gantung yang direntang memanjang arah timur-barat dan diberi nama Jembatan Merah Putih (Rp 10.000,00 per orang sekali masuk). Walau ya tetap saja – selain tak tanggung-tanggung mencoba berdiri dan berjalan di atas jembatan yang terayun-ayun angin arah utara-selatan bergantian – bersusah-susah menaiki batu sembari menahan debar akibat setapak sempit dan angin kencang tampak masih lebih menang menjadi pilihan ketimbang mengerahkan segala macam gaya berlatar sederet huruf kayu berwarna merah mencolok berukuran besar yang membentuk nama “Batu Pandang”.

Tak terbayang seumpama di hari lain dengan jumlah pengunjung jauh lebih ramai dan tingkat kesabaran menunggu beragam, kesemuanya ingin berfoto di titik terbaik yang sama; bukan tak mungkin hal tersebut berbuah celaka menilik situasi kawasan sekitar Ratapan Angin. Hal lain yang tak terlewat dicermati adalah satunya jalan masuk dan jalan keluar yang diberlakukan. Kondisinya relatif mirip dengan yang ditemui ketika naik-turun Bukit Sikunir untuk menikmati detik-detik terbitnya matahari. Dalam keadaan normal – dimana arus

pergerakan pengunjung yang datang dan meninggalkan lokasi wisata seimbang dalam nilai ambang wajar untuk setiap tujuan – bisa dipastikan kecil sekali kendala (di luar licinnya jalan setapak batu/tanah saat masuk musim penghujan) bermunculan. Namun di bulanbulan tertentu, ketika setiap kepala keluarga di beberapa kota besar pulau-pulau terbesar Nusantara berniat membahagiakan orang-orang yang dikasihinya dengan mengajak bertamasya ke Dieng untuk beroleh kesegaran, akan jadi lain cerita. Meski di Ratapan Angin sendiri kini telah disediakan wahana flying-fox berbayar (Rp 25.000,00 per orang sekali lintas) sepanjang kurang dari 200 meter untuk mempersingkat waktu bagi sesiapa yang tidak ingin lagi melintasi jalan yang sama saat memasuki kawasan, entah apakah di masa-masa darurat hal tersebut dapat menjadi alternatif solusi yang tepat. Di tengah gelora semangat pemerintah daerah (Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Batang, Kabupaten Banjarnegara) yang menaungi, gencarnya pengejawantahan wacana Tamanbumi (Geopark) Nasional di provinsi Jawa Tengah, investor yang cerdik membaca peluang, dan masyarakat setempat yang terus berupaya agar perekonomian mereka membaik; hal terbijak sebelum mempertimbangkan beberapa modifikasi opsi pola Tatakelola Destinasi Wisata, terus mengeksplorasi Dataran Tinggi Dieng dan melakukan pelbagai pembangunan sehubungan kepentingan menghidupkan Pariwisata, adalah dengan benar-benar mengenalpahami serta tidak sama sekali


Pengunjung mencoba atraksi flying fox Foto: Ayu Wulandari

melupakan sejarah macam apa yang melekati sekawasan gunungapi aktif tersebut. Gambaran keuntungan materiil dan non-materiil yang akan diraih bisa jadi melenakan, namun keselamatan tetaplah harus diutamakan. Ada hal-hal tak terduga (bencana alam) yang bisa muncul kapan saja baik dalam bentuk dapat dilihat atau tidak (gas beracun). Bukanlah berita baik apabila di masa mendatang tersiar kabar sejumlah besar orang (pengunjung dan warga lokal) terjebak di kawaasan yang digadanggadang keindahan kemilau terbit mentarinya karena terjadi longsor besar yang menyebabkan akses utama searah terputus dan peliknya upaya penyelamatan. Guna satu kepentingan ini saja, proses

edukasi tidak dapat dilakukan hanya searah pada masyarakat penghuni melainkan juga kepada para pendatang dengan lama berkunjung variatif, agar setidaknya setiap mereka dapat menjaga dirinya sendiri.

memperhatikan kesetimbangan keberadaan hutan dan sebaran pepohonan rindang sebab berbandinglurus dengan ketersediaan dan kualitas air serta penjagaan terhadap gerak tanah.

Selain itu, perlu diingat, mengedepankan kenyamanan wisatawan tidak sama artinya dengan mengorbankan kenyamanan warga yang sehari-hari berkehidupan di sana dan menghilangkan identitas mereka dengan budaya-budaya bawaan para pendatang, atau sampai mengusir para dewa yang telah merelakan istana dan suci luas halamannya disinggahi kaki-kaki manusia. Tatkala menyitir harmoni semesta, pencapaiannya adalah dengan tetap membiarkan Dieng sebagai Dieng dan tetap

Bukanlah hal baik bila paras Dieng didandani fasilitas-fasilitas permanen yang bertumbuh dengan alasan mendukung geliat pariwisata, dan dindingdinding pertahanannya justru disemarakkan keberadaan kebun-kebun sayur atau tanaman musiman lainnya, meski hal-hal tersebut dari sisi ekonomi relatif cepat menguntungkan. Penulis adalah pegiat kebumian, dan penulis lepas. .

Vol 27 No1

27


Ciliwung Melintasi Ibu Kota Sepenggal bingkai senja hari di jembatan yang melintasi Ci Liwung, daerah Menteng, Jakarta. Kota yang lahir di abad ke-16 menurut World Bank berpenduduk 9.6 juta (2010), yang terus berkembang hingga saat ini. Tentunya pertumbuhan penduduk tersebut membutuhkan sumber daya air yang begitu besar, sehingga sumber air tanah tidak lagi sebagai sebagai cadangan, namun telah menjadi kebutuhan penunjang utama. Sayangnya pemanfaatan tidak sesuai dengan keseimbangan air tanah, yang berdampak pula terjadinya laju penurunan muka tanah. Kini tercatat penurunan tanah antara 10-11 cm per tahun. Kedepan dibutuhkan pengelolaan dan konservasi air tanah untuk pemanfaatan air tanah berkelanjutan. Teks dan Foto: Nandang

28

Vol 27 No1


Vol 27 No1

29


Gunung purba Nglangeran. Foto: Deni Sugandi

30

Vol 27 No1


Mengenalkan Geoheritage Teks dan Foto: Melia Susana

Vol 27 No1

31


The 2nd Regional Geoheritage Conference 2016 dengan tema “Exotic Past For Our Future” dilaksanakan di Hyatt Regency Hotel Yogyakarta pada tanggal 24-25 November 2016. Acara ini diikuti oleh 75 peserta yang berasal dari tiga Negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand dengan agenda konferensi di hari pertama dan ekskursi di kawasan global geopark network UNESCO Gunung Sewu pada hari kedua. Dengan menjadi tuan rumah pada acara ini, Indonesia berkesempatan untuk mengenalkan geoheritage yang ada di Indonesia terutama yang berada di kawasan global geopark network (GGN) UNESCO Gunung Sewu secara langsung pada saat pelaksanaan ekskursi. Dengan pembicara utama Prof. Emeritus Dato’ Dr. Ibrahim komoo sebagai wakil presiden Global Geopark Network (GGN) dan Dr. Ir. Yunus Kusumahbrata M. Sc sebagai Staf Ahli Menteri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, acara ini dibuka oleh Rektor UPN “Veteran” Yogyakarta Prof. Dr. Sari Bahagiarti K. Selain dua pembicara utama tersebut, pada konferensi ini juga

32

Vol 27 No1

menghadirkan pembicara dari Thailand dan dari Indonesia (GGN Gunung Sewu dan GGN Batur). Selain itu diikuti juga oleh 30 paper dari tiga Negara yang akan dipresentasikan pada konferensi ini yang terdiri dari 12 presentasi paper dan 23 presentasi poster dengan tema yang sama. Pada hari pertama konferensi, selain dilaksanakan paparan dari pembicara utama dan presenter paper dan poster, peserta juga dapat menambah wawasan tentang geoheritage dan geopark yang ada di Indonesia dengan berkeliling di area pameran yang telah disediakan oleh Pusat Survey Geologi, Badan Geologi. Di area pameran ini juga disediakan bukubuku untuk peserta tentang geoheritage. Pada hari kedua, kegiatan ekskursi dimulai dengan mengunjungi area geoheritage lava bantal yang ada di Berbah, tidak langsung menuju kawasan GGN Gunung Sewu. Hal ini dengan harapan sebelum memasuki kawasan GGN Gunung Sewu peserta ekskursi dapat memahami sejarah dibalik terbentuknya kawasan GGN Gunung Sewu dan pulau jawa tentunya. Tujuan berikutnya yaitu kawasan geoarea gunung api purba Nglanggeran. Dikawasan ini peserta disajikan pemandangan dinding batuan vulkanik

disisi sebelah kiri dan hamparan dataran kota Yogyakarta disisi sebelah barat. Dibagian atas juga dibuat embung buatan yang difungsikan sebagai penampungan air untuk mengairi kebun-kebun yang ada di bawahnya yang turut mempercantik pemandangan yang tersaji di kawasan ini. Setelah beristirahat sejenak, kegiatan dilanjutkan dengan mengunjungi geoarea bioturbasi yang ada pada Formasi Sambipitu. Di lokasi ini peserta dapat melihat hasil dari endapan rombakan batuan gamping terumbu atau yang lainnya yang terjadi 16,2 hingga 5,2 juta tahun silam, dan masih masuk ke dalam system laut terbuka. Kegiatan ekskursi ini ditutup dengan lokasi terkahir yaitu Museum Kars Indonesia yang berada di daerah Pracimantoro, Wonogiri. Di museum ini peserta dapat menyaksikan berbagai kebudayaan Indonesia seperti bebatuan dan replika dari gua, gambaran manusia purba dan Pusat Penelitian Ahli sejarah dan geologi. Di museum ini kita dapat belajar tentang prosesproses pembentukan kars dan keunikan-keunikan kawasan kars yang ada di seluruh Indonesia dan di dunia serta kehidupan flora dan fauna yang ada didalamnya. Penulis adalah PNS di lingkungan PATGTL, BG.


Singkapan Lava Bantal di Berbah. Foto: Melia Susana

Museum Karst Indonesia di Pracimantoro, Wonogiri. Foto: Melia Susana

Vol 27 No1

33


34

Vol 27 No1


AIR TERJUN OI MARA

Air terjun yang mengalir di endapan breksi ini, terbentuk hasil letusan Tambora 1815. Terletak di sebelah utara Gunung Tambora, jalur pendakian desa Kawinda To’i, Bima. Kawasan ini disebut SP4 atau lokasi penempatan transmigrasi. Foto: Arifin Teks: Deni Sugandi

Vol 27 No1

35


Haryadi,

Hidup Untuk Menata Air Tanah Deni Sugandi

Haryadi Tirtomihardjo. Foto: Deni Sugandi

36

Vol 27 No1


Vol 27 No1

37


Pertemuan yang dirangkai dari pesan singkat, kemudian berlanjut dengan mengatur waktu pertemuan. Disela-sela kesibukan beliau, ternyata masih ada kesempatan untuk menggali lebih dalam seorang ahli air tanah, melalui wawancara singkat. Walaupun saya pernah membaca laporan dan penelitian lapangan, bisa dikatakan pertemuan wawancara kali ini adalah perjumpaan untuk pertama kalinya secara langsung. Kesempatan inilah kemudian diuraikan dalam bincangbincang singkat, yang bukan hanya mengupas keahliannya dibidang air tanah, tetapi ada informasi tersembunyi, mengenai siapa Haryadi Tirtomihardjo. Lahir dari dua pasangan suami istri, H. Tirtomohardjo dan Hj. Talmiyatun, di dataran tinggi Wonosobo. Profesi petani sederhana yang menginginkan anak-anaknya sekolah tinggi. Demi mewujdukan maksud tersebut, biasanya semua orang tua akan melakukan yang terbaik untuk putra-putrinya, termasuk yang dilakukan pasutri ini. Terbukti dengan keberhasilan kakak perempuan Haryadi sebagai sarjana pertama se-Wonosobo. Keinginan tersebut menjadi doa bagi Haryadi remaja, kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan di sekolah menengah pertama.

38

Vol 27 No1

Kepindahannya demi mengejar impiannya menjadi sarjana, untuk membahagiakan orang tuanya. Ketertarikan Haryadi dengan ilmu geologi mulai mekar, karena pada saat menjelang lulus di SMU, menghadiri kegiatan sosialisasi akademisi Teknik Geologi UGM, yang saat itu sedang merayakan hari jadinya. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut dikenalkan ilmu kebumian, mengungkap misteri alam melalui metode keilmuan. Presentasi inilah yang memikat Haryadi muda untuk terjun dan memilih ilmu geologi dikemudian hari. Alasan lainya adalah pada saat itu kondisi minyak dan gas sedang berada di titik tertinggi, sehingga menjanjikan masa depan yang lebih baik. Kemudian 1973 diterima sebagai mahasiswa baru, dengan pembiayaan beasiswa dari program Kabinet Pembangunan I Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat oleh Manshuri Saleh. Program beasiswa ini diberikan kepada siswa yang berprestasi, dalam upaya mendorong penyebaran akses ke bangku pendidikan. Haryadi muda diantaranya yang mendapatkan beasiswa, sejak di tahun pertama kuliah. Menjelang lulus dari bangku perkuliahan, ia pernah di panggil Hankam menempati

di Komponen cadangan atau yang dikenal pasukan cadangan militer. Sebuah organisasi militerterdiri dari warga negara yang menggabungkan peran militer dengan karier sipil. Komponen cadangan untuk melawan ketika suatu negara untuk memobilisasi perang total atau untuk mempertahankan diri dari invasi. Umumnya tidak dianggap sebagai bagian dari suatu badan yang berdiri permanen. Namun Haryadi telah mendafkar dirinya ke Sub Direktorat Hidrogeologi di bawah Direktorat Geologi Tata Lingkungan atau biasa disingkat GTL, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, yang kini menjadi Badan Geologi. Setelah lulus jenjang sarjana di UGM, Haryadi lansung diterima di GTL sebagai honorer 1981. Karena bergabung di tengah tahun, Haryadi belum dilibatkan dalam kegiatan penyelidikan lapangan. Kondisi demikian dimanfaatkan Haryadi untuk belajar lebih dalam tentang Hidrogeologi, melalui bahanbahan diperpustakaan dan membaca hasil-hasil laporan penelitian terdahulu. Kebiasaan sejak kuliahlah yang mengantarkannya untuk tekun belajar, apalagi dilingkungan kerja yang baru. Di akhir tahun 1981 Haryadi dilibatkan dalam penelitian lapangan pertama, yaitu pemetaan Isokhlorida di daerah pantai Jawa Timur.


Survei Konservasi Air Tanah, Jakarta, 2013. Foto: Dok. Pribadi

Penelitian ini adalah bentuk kerjsama antara GTL dan BGR Hannover berkaitan penyelidikan air tanah. Prestasi Haryadi mulai menarik perhatian pihak BGR karena mampu menyelesaikan peta-peta Isokhlorida dan muka air tanah sesuai batas waktu. Kemudian kepala team BGR mengusulkan agar Haryadi mengambil gelar master, namun berbenturan dengan masalah kepegawaian, karena saat itu statusnya masih honorer. Tahun 1983 diangkat menjadi Calon Pegawai, dan demikian berkesempatan pergi ke Belanda untuk mengikuti Post-graduate Diploma, mengambil subyek

Hydrology Engineering, di Institute for Hydraulics and Environmental Engeneering (IHE) kota Delft. Lulus sebagai spesialis 1 atau setara dengan Strata-2, dengan gelar Dipl. H. Penelitiannya adalah penyelidikan hidrogeologi, Judul thesisnya adalah Geohydrological Investigation in the Region of the Gelderse Valley, Central of the Netherlands. Dituntaskan antara 1983 hingga 1984. Pergi ke Belanda merupakan kesempatan peningkatan karirnya di lingkungan kerja, walaupun harus ditebus dengan harus meninggalkan istri dan anaknya, yang baru

menginjak usia tiga bulan. Kesedihan Haryadi terobati, karena pasangan hidup yang ia nikahi mempersilahkan untuk meraih cita-cita karir. “Saya dijijinkan istri saya, walaupun sangat berat harus meninggalkan anak saya yang masih bayi.� Ungkap Haryadi. Ia menjelaskan bahwa sebelum menikahpun, calon istrinya telah mengetahu benar, pekerjaan seorang geologist adalah dilapangan. Sehingga tidak aneh ketika masa pacaran, Haryadi harus meninggalkan kekasihnya beberapa minggu untuk penelitian lapangan, penyusunan tugas akhir. Sikap demikianlah yang memantapkannya

Vol 27 No1

39


Field Trip WaterWork, Amsterdam, 2011. Foto: Dok. Pribadi

tetap tidak beranjak dari jalur sebagai peneliti air tanah. Istri yang bernama Windiyarti merupakan adik istri pamannya, tinggal di Wonosobo dan kuliah di Akademi Bank Indoensia di Yogyakarta, sama halnya dengan Haryadi pada saat itu. Namun intesitas pertemuan yang dianggap sering, maka dari situ akhirnya mulai terjalin keinginan untuk mengikat bersama dalam tali pernikahan 1982. Ketika diterima menjadi honorer, Haryadi memboyong istrinya tinggal di Bandung, mengontrak rumah yang tidak jauh dari tempat kerja, denga kondisi

40

Vol 27 No1

kontrakan alakadarnya, mengingat situasi ekonomi saat itu belumlah mapan. 1985 kemudian diangkat resmi menjadi PNS, duduk sebagai staf seksi pemetaan Hidrogeologi Indonesia bagian barat. Kemudian 1997 masuk menjadi struktural di Direktorat Geologi Tata lingkungan, atau sekarang menjadi Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan. Menempati lingkungan kerja yang baru menuntutnya untuk bisa mengikuti alur kerja, termasuk mendalami keilmuan hidrogeologi, lebih menguatkan litologi batuannya tinimbang mekanisme hidroliknya. Survei selanjutnya adalah

penelitian Air Tanah Cekungan Airtanah Malang, CAT Semarang, CAT Magelang-Temanggung, CAT Tanggerang, CAT Serang-Cilegon, CAT Surakarta, CAT Bandung, CAT Cirebon, CAT Cirebon, CAT Semarang, CAT Ungaran, CAT Mojokerto, CAT Pekalongan, CAT Labuan, CAT Probolinggo, CAT Madiun, CAT Bojonegoro. Penelitianpenelitan tersebut dalam rangkaian pemutahiran data-data Cekungan Airtanah di Kabupaten/ Kota di Indonesia. Ia duduk sebagai Koordinator Tim dan Penyunting yang ia kerjakan sejak awal 1997 hingga 2002, dalam tiga


Keluarga besar Haryadi, 2015. Foto: Dok. Pribadi.

tahapan yang menakan waktu masing-masing per dua tahun. Penelitian panjang tersebut termasuk proses data lapangan, yang biasanya memakan waktu yang lebih lama, dan dikerjakan di kantor. Awal karirnya dimulai dengan penelitian survei pengembangan sumber daya air tanah. Survey pertamanya ke Sumatera Selatan, Survey Sumber Daya Ai untuk penyediaan air bersih pabrik gula Baturaja, 1982. Saat itu ia duduk sebagai kepala tim, mengelola ahli-ahli pemetaan. Di tahun yang sama, sebagai kepala tim melakukan kegiatan survei

pengembangan air tanah untuk penyediaan air pedekasan di darah Malang Selatan, Jawa Timur. Namun pengalaman menariknya adalah 1983, saat melakukan kegiatan survey hidrogeologi untuk penyediaan air bagi pabrik gula di Los Palos, TimorTimur. Dalam kondisi politik yang mencekam, penelitian lapangan tersebut harus dibatalakan, menginat situasi saat itu kurang kondusif. Di bulan Agustus sampai September 1998 terjadi tragedi Karas. Pertempuran antara pasukan FALINTIL dan anggota-anggota Ratih di bawah komando Virgilio

do Anjos menyerang desa Karas yang saat itu diduki batallion zeni tempur. Serangan itu menewaskan 16 anggota militer indonesia. Kondisi demikian diangap tidak aman, sehingga survei dihentikan, dan memanggil semua tim kembali ke Bandung. Kepulangannya ke Bandung, Haryadi mendapati anaknya pertamanya telah lahir, dan diberi nama Widha Falusa. Kemudian 1989 lahir anak kedua, bernama Asri Gitaranani yang kini telah lulus menempuh sarjana Arsitektur. Pengalaman demikian merupakan lika-liku menekuni bidang airtanah di Indonesia, sehingga

Vol 27 No1

41


ia pernah duduk sebagai Dewan Air Tanah di Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan. Kegiatankegiatan yang pernah ia lakukan diantaranya Pemetaan Hidrogeologi (Air Tanah), Survei Potensi Air Tanah, Survei Pengembangan Air Tanah, Survei Konservasi Air Tanah, kemudian membuat Groundwater Modelling untuk studi Air Tanah Jakarta, termasuk penyiapan data masukan untuk Model Simulasi Aliran Air Tanah, duduk sebagai pendamping ahli Model Air Tanah dari BGR – Hannover Jerman, 1985 – 1996. Selain itu pernah melakukan penelitian Penentuan titik Lokasi Pengeboran Air Tanah di daerah sulit air. Diantaranya di Kabupaten Subang dan Purwakarta, Kab.Lampung Barat, Kab. Kebumen, Kab. Banjarnegara, Kab. Wonosobo, Kab. Temanggung, Kab. Tasikmalaya, kota Ciamis, Kab. Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Kab. Muaro Jambi, Kab. Tanjung Jambung Timur, kabupaten Sleman, Kab. Muna, Kab. Minahasa Utara, Kab. Bojonegoro, Kab. Rembang, Kab. Grobogan, Kab. Semarang, Kabupaten Pangandaran, dan Kabupaten Cilacap. Duduk sebagai ahli hidrogeologi, dan kepala tim yang dikerjakan dari 2010 hingga 2016. Dalam karir penentuan

42

Vol 27 No1

kebijakan dan regulasi, mengantarkannya terlibat dalam penyusunan dan regulasi NSPK di Bidang Sumber Daya Air dan Air Tanah. Diantaranya koordinasi penyusunan rancangan Permen ESDM Pedoman Teknis Evaluasi Potensi Air Tanah. Kemudian awal 2003 terlibat sebagai penyusun RSNI Evaluasi Potensi Air Tanah Skala 1:100.000 atau lebih besar. Membangun sistem informasi air tanah, melalui kegiatan Pembangunan Sistem Pengelolaan Data dan Informasi Air Tanah, di Direktorat Geologi Tata lingkungan tahun 2000. Saat itu duduk sebagai kepala tim. Selain di dalam negeri, ada beberapa proyek yang pernah ia lakoni di luar negeri, seperti di Belada. Yaitu penelitian komparasi manajemen airtanah di area pantai, di Asia Tenggara, untuk UNESCO-IHE, di Delft. Sesuai dengan kompetensi sebagai ahli air tanah, ia pernah diminta sebagai nara sumber di seminar, workshop hingga pembinaan teknis dan pelatihan pengelolaan air tanah bagi aparat pemerintah kabupaten/ kota se-Provinsi Jambi. Pernah sebagai pembicara seminar di beberapa perguruan tinggi, seperti di Universitas Trisakti jakarta, menyampaikan makalah “Model Simulasi Aliran Air Tanah di Daerah Denpasar”. Dilingkungan internasional,

ia pernah pula diminta sebagai pembicara, seperti dipertemuan CCOP-AIST/ GSJ di Bangkok, Thailand, mengetengahkan seminar Groundwater Assesment fo Detail in Southeast and East Asia. 2013 pernah mengikuti Asia Pasific Water Forum (APWF) Regional Water Knowledge Hub for Groundwater Management Launch Meeting, di Bangkok, Thailand. Terakhir 2014 penyaji “Groundwater Status of Bandung, Indonesia” Workshop in Enhanching the Groundwater Management Capacity in asian Cities through the Development and Application if GSII in the Context of Global Change, di Bangkok, Thailand. Kini tergabung dengan International Association of Hydrogeologists (IAH), sejak 1992. Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia, dan anggota Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PAAI), sejak reaktivasi 2014. Tim Penilai Jabatan Fungsional Perekayasa Instansi (KESDM), sejak 2013. Jabatan terakhirnya sebagai Perekayasa Utama (IV/e), di unit kerja Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, bidang Air Tanah dan subbidang Inventarisasi dan Konservasi Air tanah. Penulis adalah Anggota Dewan Redaksi majalah BGTL


Final Project Seminar, Cebu-2014. Foto: Dok. Pribadi.

Synthesis Workshop, Tianjin, 2013. Foto: Dok. Pribadi.

Vol 27 No1

43


kerucut Jawa di Atas 35 Ribu Kaki Teks dan Foto: Deni Sugandi

44

Vol 27 No1


Pelangi di selatan pantai Ujunggenteng. Foto: T. Bachtiar Kerucut Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, Jawa Tengah.

Vol 27 No1

45


Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, Jawa Tengah.

Cara terbaik menyaksikan bentang alam pulau Jawa, adalah duduk disamping jendela kabin pesawat komersial. Hamparan bentang alam perbukitan, pegunungan, kerucut gunung api dan dataran aluvial menjadi hiasan selama perjalanan, yang bisa disaksikan langsung selama perjalanan mengangkasa. Bila penerbangan dimulai dari barat menuju timur, mintalah duduk di samping jendela sebelah kanan. Dengan demikian akan menyaksikan jelas raut bumi pulau Jawa pada saat langit cerah. Rona bumi tersebut merupakan hasil proses pembentukan aktivitas tektonik, dan proses pelapukan. Bentukan relief bumi pulau Jawa yang bergelombang, lembah dan punggungan perbukitan yang

46

Vol 27 No1

dipotong oleh sungai-sungai yang mengular, kemudian bermuara di selatan dan utara. Seperti yang dituliskan dalam Wikipedia, di pulau Jawa terdapat 147 gunung dan gunung api, serta 13 kelompok pegunungan, diantaranya pegunungan Sewu, Kendeng, Kapur utara, Serayu utara, Serayu selatan, Menoreh, Kawas kars Gombong Selatan, Iyang, Ijen, Tengger, Selatan Jawa Barat, Bayah dan pegunungan Bogor. Kerucutkerucut tersebut seperti paku yang memagari pulau Jawa, akan tampak berjajar bila dilihat dari ketinggian lebih dari 10 Km. di atas permukaan bumi. Ketinggian tersebut merupakan daya jelajah pesawat komersial.

Bisa dibayangkan saat melintasi pulau ini akan menjadi pengalaman sejarah pembentukan bumi. Untuk mengetahui posisi gunung-gunung tersebut, bisa menggunakan alat navigasi aplikasi telefon selular pintar, dengan memanfaatkan fitur GPS selama perjalanan. Terbang dari barat ke timur, akan mendapati jajaran gunung-gunung api di sebelah selatan, yang dikenali dengan bentuk kerucut, dan masih aktif. Dicirikan dengan kenampakan kepulan asap solfatara. Beberapa kerucut tidak menampakan demikian, menandakan sedang masuk dalam masa istirahat panjang, seperti kerucut Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Untuk mengerti pembagian


wilayah pembentukan rona bumi Jawa, dalam pengamatan Bemmelen (1970), pulau Jawa dibagi menjadi empat zona menurut pola tektonik, diantaranya Zona Selatan. Berupa Plateau atau dataran tinggi, berlereng ke arah selatan. Kadangkadang zona ini terkikis dan tererosi sehingga kehilang bentuk plato-nya. Kedua adalah Zona Tengah, seperti jalur depresi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ditempat tersebut muncul kelompok gunung berapi yang besar. Di Jawa Tengah misalnya sebagian daerahnya ditempati oleh rangkaian pegunungan Serayu selatan dan berbatasan langsung dengan depresi yang lebih kecil. Kemudian di daerah Banten paling barat, ditempati oleh perbukitan dan pegunungan. Zona Utara terdiri dari rangkaian gunung lipatan, dicirikan berupa bukitbukit rendah diselingi oleh beberapa gunungapi, yang biasanya berbatasan dengan dataran alluvial. Secara umum fisiografi pulau Jawa dikendalikan aktivitas tektonik. Merupakan geosinklinal muda dan jalur orogenesa dengan banyaknya aktivitas vulkanisme yang kuat, sehingga pulau Jawa mempunya bentuk yang sempit dan memanjang (timur-barat). Menurut Longley (1997) pulau Jawa berada di tepi tenggara daratan Sunda (Sundaland), terdapat dua sistem gerak lempeng. Diantaranya Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia) di utara yang bergerak ke arah tenggara

sejak Oligosen dan Lempeng Samudera Hindia di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum. Pergerakan ini menunjam karena gaya berat, ke bawah sistem busur kepulauan Sumatera dan Jawa. Relief pulau Jawa kini adalah akibat dinamika pergerakan dua lempeng yang saling bergerak mendekat dan mengalami tumbukan, kemudian proses tersebut relatif bergerak menyerong, antara lempeng Samudera Hindia di sebalah barat daya dan lempeng Benua Asia di bagian tenggara. Tumbukan ini menghasilkan perlipatan pegunungan pulau Jawa bagian selatan dan pengangkatan. Pada zona tumbukan tersebut menghasilkan palung Jawa, dengan pergerakan relatif 7 cm per tahun. Dinamika tektonik pembentuk pulau Jawa bisa dilihat dari jalur subduksi umur KapurPaleosen yang memotong Jawa Barat, Jawa Tengah dan menerus ke arah timurlaut menuju Kalimantan tenggara. Dari balik jendela bisa mereka ulang pembentukan pulau Jawa, dari tumbukan lempeng Australia dan Asia yang masih berlangsung hingga kini. Tumbukan ini menyebabkan munculnya gunung-gunung api di sebelah selatan bergerak ke arah utara, sesuai dengan arah penujaman. Dibuktikan dengan satuan gunung api purba, disebut old andesit formation yang telah mati, kemudian bergeser ke arat utara. Dijajaran pegunungan selatan

pulau Jawa, dimulai dari regional Jawa Barat, dikenali dari relief bentuk barisan gunung-gunung api aktif di bagian selatan tersebut, memilki ketinggian rata-rata 3000 m di atas permukaan air laut. Bila berangkat dari arah barat ke timur pulau Jawa, pertama kali akan terlihat cekungan Bandung, yang dipagari gunung api purba umur Kuarter di sebelah selatan, dan di batas utaranya adalah kaldera gunung api Sunda, yang kini ditandai dengan munculnya gunung api Tangkuban Parahu +2.084 m. Di Jawa Barat terdapat tujuh gunun api aktif, yang dikenali dengan bentuk kerucutnya; Gunung Salak +2.211 m, Gunung GedePangrango +2.958 m dalam satu kelompok, kemudian kelompok Garut yaitu Gunung Papandayan, Gunung Guntur +2.249 m. Bergerak ke arah timur akan terlihat gunung api tertinggi di Jawa Barat, yaitu Gunung Cereme +3.078 m. biasanya pesawat komersial dari arah timur ke barat, akan menyusuri utara Jawa, Di regional Jawa Tengah salah satunya Gunung Merapi +2.911 m yang masih aktif. Bila dalam kondisi cuaca terang, bisa menyaksikan tiga rangkai gunung dalam satu kelurusan; Gunung Ungaran, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu. Dibagian Jawa Timur bentukanya sangat jelas dan mudah dipisahkan, dikelompokan dalam dua zona yaitu bagian selatan dan utara. Zona Plato Selatan berupa permukaan plato yang sebagaian peneplain

Vol 27 No1

47


48

Vol 27 No1


Gunung Cereme, kerucut tertinggi di Jawa Barat.

Vol 27 No1

49


Gunung Guntur dan Gunung Papandayan, Jawa Barat.

yang terangkat, kemudian mengalami pembengkokan (warped) ke dalam depresi dan kulminasi yang luas. Zona ini meliputi perbukan kars Gunung Sewu, cekungan Wonosari dan Baturetno, zona plato di sebelah timur Popoh, semenanjung Blambangan, zona tengah vulkanik, kelompok pegunungan Arjuno, kelompok pegunungan Tengger, kelompok Gunung Wilis, dan Lawu. Di Zona Utara keberadaanya paling lebar di Jawa Timur, kurang lebih 78 km. Zona ini dibagi menjadi dua sub zona, Igir pegunungan Kendeng yang dicirikan dengan lipatan yang curam, kuat dan upturned, serta kedua adalah zona perbukitan Rembang yang

50

Vol 27 No1

terdiri dari bukit-bukit lipatan, tetapi perbedaan dengan pegunungan Kendeng. Bila dilihat dari sisi tektonik lipatan di perbukitan Rembang, lebih landai dan simetris bila dibandingkan dengan zona Kendeng. Kesaksian di atas ketinggian, bisa menyimpulkan bahwa pegunungan selatan Jawa Timur merupakan suatu rangkaian yang menerus, yang diselingi oleh datarandataran rendah seperti dataran Lumajang. Suguhan pemandangan di balik jendela kabin pesawat tersebut, merupakan cara mudah untuk mengerti sejarah pembentukan pulau Jawa, melalui orogenesa akibat dinamika tektonik dan magmatisme, yang masih

berlangsung hingga kini. Kerucut tersebut sebagian sedang tidur panjang, tetapi bukan berarti tidak akan aktif kembali. dikategorikan Tipe C sejarah erupsinya tidak diketahui dalam catatan manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah. Selain mengandung keindahan dan ancaman letusan gunung api, juga memberikan makna syukur akan kebesaran yang Maha pengatur, mengendalikan alam ini sedemikian rupa, untuk dimengerti dan diambil manfaatnya. Penulis adalah Anggota Dewan Redaksi majalah BGTL


Kawah Gunung Raung, Jawa Timur

Kawah Talagabodas, Jawa Barat.

Vol 27 No1

51


52

Vol 27 No1


NGALAU INDAH PAYAKUMBUH

Ngalau atau disebtu gua ini dihiasi oleh ornamen gua, di antaranya bentukan stalaktit, stalagmit dan kolom hasil pengendapan. Ngalau ini mulai terbentuk pada akhir masa Perm awal, ketika terjadi aktivitas tektonik berupa pengangkatan dan pelipatan. Pada zaman Trias (248-206 juta tahun lalu) awal, terjadi proses susut laut yang membentuk morfologi batu gamping, Akibat proses gaya-gaya geologi yang berpengaruh, terbentuk struktur rekahan yang disebut diaklas, yakni jalur resapan air permukaan dan membentuk morfologi karst. Teks : Oki Oktariadi Foto: Hendi Syarifudin

Vol 27 No1

53


Kegiatan rapat RAKOR. Foto: CN. Nanda

Koordinasi Geopark di Awal 2017 Tursanti Dewi

Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Pengembangan Geopark Indonesia tahun 2017 Konsep geopark sebagai paradigma baru dalam pengembangan sumber daya geologi berkelanjutan perlahan mulai berkembang di Indonesia, Badan Geologi, KESDM, Komisi Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian

54

Vol 27 No1

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenko Kemaritiman, Kemenko Perekonomian, Bapenas, serta pemerintah daerah sejak tahun 2008 telah bekerjasama menerapkan konsep tersebut. Dalam rangka meningkatkan akselerasi capaian nilai manfaat dari pemanfaatan sumber daya geologi yang berkelanjutan serta sinkronisasi program dan kegiatan antar stakeholder melalui

penyusunan rencana kerja tahun 2017 yang terintegrasi, Badan Geologi - KESDM mengadakan Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Pengembangan Geopark Indonesia tahun 2017 yang dilaksanakan di Hotel Santika, Yogyakarta dan pada tanggal 20-21 Januari 2017. Sasaran dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah memaksimalkan nilai manfaat


dari keberadaan sumber daya alam di Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, regional, dan nasional. Indonesia memiliki empat kawasan Geopark Nasional (Kaldera Toba, Merangin Jambi, Ciletuh –Pelabuan Ratu, dan Rinjani) dan kawasan Geopark Global UNESCO (Gunung Batur, Bali dan Gunung Sewu), serta setidaknya terdapat ¹ 20 kawasan yang menjadi kandidat geopark nasional. Selain itu, data yang dihimpun oleh Tim Task Force RMGG, Kementerian ESDM, menunjukan bahwa kunjungan pada seluruh kawasan geopark di Indonesia sebesar 5.624.493 orang kunjungan domestik dan 624.000 orang kunjungan mancanegara, dengan peredaran uang di kawasan geopark tersebut sebesar ¹ 3,5 T.

Angka tersebut merupakan nilai yang cukup besar dalam upaya pemanfaatan sumber daya geologi yang berkelanjutan, sehingga kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu motor penggerak ekonomi secara nasional. Kepala Badan Geologi, Ego Syarial dalam sambutannya menjelaskan bahwa Badan Geologi sebagai salah satu

unit eselon 1 di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah berkomitmen kuat sejak awal dalam upaya pengembangan konsep geopark di Indonesia serta turut mendukung beberapa program prioritas nasional Indonesia (Perpres no. 45 tahun 2016 tentang RKP tahun 2017), dengan total anggaran sebesar 7,3 M yang terbagi menjadi 3 program, yaitu :

atau Fasilitator Pemerintah Daerah dalam menyampaikan usulan rencana kerja terkait Geopark ke Pemerintah Pusat.

1. Program geodiversity dan geoheritage pada 7 kawasan dari 10 kawasan prioritas nasional destinasi wisata.

5. Dibutuhkan konsep yang jelas mengenai Penataan Geosite dan Aminitas di setiap Kawasan Geopark serta sarana promosi terpadu.

2. Program Koordinasi dan Pengembangan Geopark di Indonesia. 3. Program Pengembangan Geopark Nasional Kaldera Toba. Hasil Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Pengembangan Geopark Indonesia : 1. Akan segera dibentuk Tim Ad Hoc Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI) yang direncanakan finalisasi pada akhir Maret 2017. 2. Percepatan penyelesaian PERPRES Pengembangan Geopark Indonesia.

4. Pola penganggaran Kawasan dapat ditempuh melalui MUSRENBANGPROV dan MUSRENBANGNAS, diharapkan Tim Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI) dapat melakukan pendampingan.

6. Penegasan Komitmen dan dukungan yang konkrit dari Pemda Kabupaten yang terkait Geopark Kaldera Toba. 7. Dibutuhkan keterlibatan Kemendagri dalam Pengembangan Geopark di Indonesia, oleh karena itu perlu penambahan materi dalam PERPRES. 8. Target Geopark Nasional Tahun 2017 antara lain Geopark Belitong, Geopark Maros Pangkep, Geopark Tambora, Geopark Bromo Tengger, dan Geopark Dieng.

Penulis adalah PNS di PATGTL, Badan Geologi.

3. Penambahan Tugas dan Fungsi Tim Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI) yaitu sebagai Pendamping

Vol 27 No1

55


Taman Batu Leang-leang, Maros. Foto: Deni Sugandi

56

Vol 27 No1


Kawasan Cagar Alam Geologi Dita Arif Yuwana dan Andiani

Vol 27 No1

57


Bagi sebagian orang berjalan-jalan menikmati keindahan alam merupakan pengalaman yang menyenangkan. Hamparan bentang alam yang khas, keindahan batuan serta rasa penasaran tentang pembentukan wajah bumi tersebut menambah rasa sayang kita terhadap keragaman dan keunikan objek-objek geologi tersebut. Keragaman tersebut karena kondisi Geologi Indonesia di pertemuan 3 lempeng tektonik besar ( lempeng Indoaustralia, Eurasia dan lempeng Pasific ) sehingga terbentuk obyek secara alami yang memiliki nilai pengetahuan sangat tinggi dan luar biasa karena merepresentasikan rangkaian rekaman proses geologi yang saling berhubungan.

Kerusakan vs Manfaat

Keragaman Geologi Di dalam arus pembangunan yang semakin insentif keberadaan objek-objek keragaman mendapat ancaman nyata akan kerusakan dan kepunahan. Alih fungsi lahan atas nama pembangunan ekonomi rakyat tidak bisa dengan mudah dicegah, apalagi tanpa perangkat peraturan yang memadai. Keragaman geologi tersebut memerlukan perlindungan berkelanjutan karena mempunyai daya tarik wisata alam dan edukasi ilmu pengetahuan kebumian, karena keberadaanya tidak terbentuk pada semua tempat, serta berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

58

Vol 27 No1

Keragaman geologi yang terbentuk secara alami dan karena keunikanya memerlukan upaya perlindungan disebut Cagar Alam Geologi.

Lahirnya Permen ESDM no 32 tahun 2016 Melihat permasalahan tersebut lahirlah Permen no 32 ESDM tahun 2016, tentang Pedoman Penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi, yang dapat menjadi rujukan dalam penyamaan persepsi penyelidikan/penelitian keragaman geologi yang perlu dilindungi, serta proses administrasi penetapan. Kawasan Cagar Alam Geologi adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi Cagar Alam Geologi. Walaupun Cagar Alam Geologi, Jenis dan kriteria umum sudah disinggung di PP 26 tahun 2006 tentang Rencana Penataan Ruang Nasional namun belum dijelaskan secara mendalam tentang Pengertian, Kriteria Rinci, serta Acuan Penetapanya. Selain itu manfaat dari lahirnya Permen Kawasan Cagar Alam Geologi adalah sebagai acuan perlindungan, pengembangan geowisata termasuk penganggaran di daerah.

Penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi

Dokumen yang diperlukan berupa laporan penyelidikan/ penelitian yang memuat hasil inventarisasi lapangan, pemetaan obyek-obyek cagar alam geologi dan disertai Peta Rancangan Kawasan Cagar Alam Geologi skala 1:50.000. Laporan tersebut sudah dipertimbangkan melalui Focus Group Discussion dengan pemangku kepentingan di daerah sehingga kemudian dapat diusulkan Kepala Badan Geologi kepada Menteri ESDM untuk dilakukan penetapan. Pengelolaan pasca Penetapan Permen no 32 ESDM tahun 2016 merupakan tahap awal upaya melindungi keragaman dan keunikan geologi yang terancam kerusakan dan kepunahan. Tahap selanjutnya pasca penetapan Kawasan Cagar Alam Geologi di ssuatu daerah adalah memuatnya di dalam kawasan lindung pada Perda Rencana Tata Ruang, propinsi dan kabupaten/kota sehingga pengelolaan perlindungannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sesuai PP 26 tahun 2008, bahwa di dalam Perda Tata Ruang terdapat peraturan arahan zonasi pemanfaatanya, serta sanksi pelanggaran terhadap penggunaan ruang diluar rencana Penulis adalah PNS di PATGTL, Badan Geologi: Dita Arif Yuawana sebagai Kasub Bidang Konservasi Geologi dan Andiani sebagai Kepala Bidang Geologi Lingkungan.


Jenis Kawasan Cagar Alam Geologi. Ilustrasi: Dita Arif Yuwana & Andiani

Ilustrasi Kawasan Cagar Alam Geologi. Ilustrasi: Dita Arif Yuwana & Andiani

Vol 27 No1

59


SABANA BALURAN YANG NYARIS HILANG

Terlihat jelas Gunung Baluran menjadi latar sabana yang membentang luas. Gunung ini merupakan tempat tertinggi di tengah-tengah Taman Nasional. Karena alasan rona buminya, gunung ini dinamai Baluran. Ba-lur-an, yang artinya “tempat yang tinggi�. Taman Nasional Baluran luas keseluruhannya 25.000 hektar, dengan kekhasannya sabana alami yang luasnya sekitar 10.000 Ha. Unggulan utama Taman Nasional Baluran adalah sabana dan banteng Jawa (Bos javanicus). Namun, ketika akasia berduri ditanam sebagai batas bakar, sesungguhnya itulah awal dari masalah yang kini semakin berat. Kini akasia berduri sudah mengambilalih sabana sekitar 50%, bahkan di Sabana Kramat, Kajang, dan Balanan, telah membentuk kanopi yang tertutup. Kecerobohan ini harus menjadi cermin, bahwa memasukan tanaman asing ke dalam kawasan konservasi telah mengganggu rantai ekologi yang berdampak fatal. Teks dan foto: T Bachtiar.

60

Vol 27 No1


Vol 27 No1

61


Bentangalam Rawa Danau dilihat dari Kampung Panenjoan, desa Luwuk Gunung Sari, Kabupaten Serang. Foto: Oki Oktariadi

Rawa Danau Kaledera Purba di Ujung Barat Pulau Jawa Teks dan Foto: Oki Oktariadi

62

Vol 27 No1


Keindahan Rawa Danau yang terletak di Provinsi Banten dapat dilihat dengan jelas dari kaki bukit. Apalagi bila matahari menyinari Rawa Danau, akan terlihat air danau yang tampak hijau karena di sekitarnya rimbunnya tumbuhan berwarna hijau mengitarinya. Demikian pula ketika sinar mentari meredup tampak kabut putih terlihat bagaikan kapas menyelimuti danau. Terbentuknya keindahan Rawa Danau ini dimulai kala Pleistosen ketika itu masih berupa gunungapi yang menjulang tinggi dan kemudian meletus dasyat membentuk sebuah kaldera. Saat ini sisa letusan gunungapi itu hanya meninggalkan muntahan bebatuan berupa breksi vulkanik dan tufa. Namun seiring berjalannya waktu, kaldera ini berubah menjadi bentangalam puncak-puncak gunung, perbukitan, dan lembah-lembah purba yang indah berisikan air, rawa-rawa, dan rimbunnya tumbuhan yang sekarang dikenal dengan sebutan Rawa Danau. Fenomena geologi di ujung pulau Jawa ini telah diungkap oleh Zaennudin dkk, yang menerangkan bahwa evolusi gunungapi di wilayah Banten diawali dengan terbentuknya gunungapi purba yang disebut Pra Danau. Namun gunungapi tersebut hanya menyisakan sebagian

tubuhnya yang telah tererosi sangat kuat dan bahkan tersesarkan dengan arah tenggara-baratlaut membentuk pegunungan, diantaranya adalah Gunung Batukarut dan Gunung Pinang yang berada di sebelah timurlaut, serta Gunung Meramang, serta Gunung Mokol terdapat di sebelah utara Ciomas. Setelah aktivitas gununggunungapi Pra Danau terhenti dalam kurun waktu yang cukup lama dan kemudian tersesarkan, disusul oleh aktivitas vulkanik dengan terbentuknya Gunung Danau yang cukup besar di sebelah baratdaya-selatan dari komplek gunungapi Pra Danau. (Kunrat S, 2010). Pada kala Pleistosen Tengah, gunungapi masih terus bererupsi mengeluarkan lava dan batuan piroklastik (pyroclastic) yang serupa. Hasil erosi dan transportasi permukaan (run off) membuat banyak endapan pasir, breksi, dan konglomerat. Sementara itu selama kala Pleistosen, dan bahkan sampai dengan sekitar 6000 tahun lalu, muka laut berubahubah elevasinya, dengan tenggang kisaran sampai sekitar 140 m. Sewaktu muka air 140 m di bawah elevasi laut sekarang, maka Laut Jawa dan sebagian besar Selat Sunda merupakan daratan, di mana sungai-sungai dari kabupaten Serang menuju

sungai-sungai yang ada di kedua dasar laut tersebut dalam bentuk aliran sungai di dasar laut sekarang yang berukuran lebih besar dan lebih panjang dari yang ada di permukaan daratan Kabupaten Serang yang sekarang. Sisa-sisa petunjuk muka laut purba yang lebih tinggi dari elevasi sekarang tersebar terputusputus dalam bentuk terumbu karang terangkat pada berbagai pantai di Kabupaten Serang. Aktivitas Gunung Danau ini diakhiri dengan pembentukan kaldera Rawa Danau yang menghasilkan endapan ignimbrit (aliran piroklastik) yang tersebar sangat luas. Tufa Banten sebagai salah satu hasil erupsi yang maha dahsyat ketika pembentukan Kaldera Rawa Danau terbentuk pada Pliosen-Awal Plistosen, berada tidak selaras di atas batuan Tersier yang telah mengalami pelipatan dan pensesaran. Sesar-sesar tersebut umumnya berarah tenggara-baratlaut yang sangat jelas terlihat pada batuan vulkanik tua Pra Gunung Danau. Berdasarkan data pemboran yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Banten di sekitar wilayah Serang (2003) mengidentifikasi bahwa ketebalan dari satuan ignimbrite (Tufa Banten) ini berkisar antara 40 m sampai 60 m, semakin jauh dari kaldera Rawa Danau maka

Vol 27 No1

63


Peta Geologi Wilayah Serang dan sekitarnya.

64

Vol 27 No1


semakin tipis ketebalannya. Adapun sebaran endapan jatuhan piroklastika paska terbentuknya kaldera terdapat di sekitar pusat erupsinya dan pada punggungan bukit. Di wilayah Kabupaten Serang, khususnya di sebelah timur dan tenggara Kota Serang hanya terdapat pada punggungan-punggungan bukit. Sehingga lapisan ignimbrit di punggungan bukit terdapat lebih dalam bila dibandingkan dengan keterdapatannya di bagian lembah. Sementara lembah-lembah yang terbentuk sejak kala Pliestosen, saat ini terisi endapan aluvial terutama sekitara aliran sungai besar, rawa dan sekitar pantai. Endapan aluvial tersebut berupa rombakan material gunung api yang ada di sekitarnya. Batuan dasar dari endapan vulkanik dan aluvial di wilayah Rawa Danau adalah batuan sedimen laut dari Formasi Cisubuh yang berumur Pliosen dan Formasi Parigi yang terbentuk pada Akhir Miosen. Dari peta geologi daerah Serang dapat diketahui bahwa wilayah Propinsi Banten bagian utara, tengah, dan barat sebagian besar tertutupi oleh batuan vulkanik dari komplek Gunung Danau dan gunungapi muda paska kaldera Rawa Danau. Sebaran batuan di wilayah

Banten secara lateral dari batuan yang berumur paling tua ke muda adalah satuan batuan Gunung Gede, satuan Tufa Banten, satuan batuan Gunungapi Danau Muda, satuan batuan Gunung Pinang, satuan batuan Gunung Karang, dan Aluvium. Saat ini di atas kaldera purba telah berkembang tipe ekositem rawa air tawar pegunungan dengan jenis tumbuhan berkayu yang mendominasi yaitu jajaway (Ficus retusa), gagabusan (Alstonia spatulata), mareme (Glochidion lucididum), rengas (Gluta rengas) dan kisireum (Eugenia spicata), sedangkan tumbuhan bawah yang mendominasi adalah jenis rumputrumputan (Gramineae sp.) dan sebagian besar telah berumah menjadi lahan pesawahan. Kawasan persawahan umumnya sudah tidak memiliki vegetasi khas Rawa Danau, daerah ini sepenuhnya sudah dikelola penduduk sehingga vegetasi dominan adalah padi yang ditanami. Selain itu vegetasi dominan pada daerah rawa dan daerah pasang surut adalah rumput berupa Rumput Liar, Kaso (Saccharum spontaneum), dan Gempol (Glochidion glomerulatum). Sedangkan sebanyak 250 jenis burung, dan fauna lainnya seperti bangau tong tong (Leptoptilos javanicus), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), raja udang

biru (Halcyon chloris), kuntul putih (Ardeola sp.), elang ular (Spilornis cheela), ular sanca (Phyton reticulatus), kera (Macaca fascicularis), lutung (Trachypitechus auratus), bajing tanah (Lariscus insignis), kalong (Pteropus vampirus), biawak (Varanus salvator) dan kura-kura (Tryonix certilangineus). Kesemuanya bermukim di area seluas 2.500 ha. Keanekaragaman flora-fauna yang masih terpelihara ini, menyebabkan kawasan ini telah dilindungi sebagai kawasan cagar alam. Bila keunikan geologi yang berkembang di Rawa Danau disebandingkan dengan wilayah lainnya yang memiliki kemiripan, salah satunya dengan kawasan kaldera tua Ijen yang sudah di kenal dunia, maka secara umum keunikan Geologi Rawa Danau dapat dimaknai sebagai Warisan Geologi Nasional (National Geoheritage). Dengan demikian makna warisan geologi ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki Provinsi Banten, selain warisan geologi lainnya seperti Ujung Kulon dan Dome Bayah. Sehingga di masa akan datang warisan geologi ini dapat dikembangkan sebagai laboratorium geologi bahkan sebagai obyek geowisata mauppun sebagai Geopark Nasional. A Penulis adalah fungsional PATGTL, Badan Geologi.

Vol 27 No1

65


MENGUPAS TATA KELOLA AIR TANAH JABODETABEKPUNJUR Tantan Hidayat, Nandang dan Oki Oktariadi

66

Vol 27 No1


Aerial pantai dan Jakarta bagian utara. Foto: Deni Sugandi

Vol 27 No1

67


Permasalahan sumber daya air (SDA) pada dasarnya muncul berkaitan dengan karakteristik sosial dan kelembagaan pada suatu kawasan. Karakteristik sosial yang paling menonjol dari sumber daya air di wilayah Jabodetabekpunjur adalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa laju perkembangan penduduk Jabotabekpunjur mulai tahun 1961 s/d tahun 2015 mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabekpunjur baru mencapai 5,65 juta jiwa, Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa, tahun 1990 bertambah menjadi 16,83 juta jiwa, akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23,31 juta jiwa. Selain Kota Tangerang sebagai bagian hilir DAS Cisadane yang mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian hulu dan tengah DAS Cisadane juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Laju pertambahan penduduk yang cepat ini adalah konsekuensi logis dari terpusatnya kegiatan ekonomi dan pembangunan selama ini di wilayah Jabodetabekpunjur sehingga menyebabkan terjadi migrasi dan pertumbuhan penduduk yang cepat, seperti yang terlihat di wilayah Krukut dan Grogol dengan jumlah penduduk 109/ha merupakan wilayah yang terpadat penduduknya, disusul sunter 98 jiwa/ha, Cakung dengan 88 jiwa/ha dan Ciliwung 51 jiwa/ ha. Dampak pertumbuhan penduduk di suatu DAS atau CAT yang begitu tinggi menyebabkan munculnya

68

Vol 27 No1

permasalahan lingkungan seperti tutupan lahan, sampah, sanitasi lingkungan, banjir dan lain sebagainya. Namun sebenarnya permasalahan lingkungan itu bisa cepat diatasi bila sejak awal telah tersedia kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan SDA. Isu-isu permasalahan kelembagaan SDA telah cukup lama teridentifikasi melalui berbagai lokakarya, diantaranya adalah:

Permasalahan kelembagaan SDA

• Kurang mantapnya Kelembagaan pengelolaan SDA, hal ini dicirikan oleh masih lemahnya tingkat koordinasi antar pihak yang terkait dalam pengelolaan sumber daya air, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan pengawasan yang lemah. Koordinasi tampaknya menjadi titik sentral kelemahan dalam pengelolaan sumber daya air yang berakibat pada perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi yang lemah ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena masih kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi tentang pengelolaan sumber daya air yang tidak sama. Pada tingkatan operasional, para pelaksana program rehabilitasi lahan dan penghijauan tidak cukup punya komitmen dan masih berorientasi keproyekan. • Tata Ruang Yang Tidak Mantap, menyebabkan penggunaan lahan seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada. Sebagai implikasinya dari persoalan tersebut

menyebabkan sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata ruang yang tidak mantap juga menyebabkan perencanaan dalam program pemulihan kerusakan sumber daya air yang dihasilkan tidak mantap pula. • Kurangnya Penegakan Hukum, sehingga kepastian hukum atas segala aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama tidak berjalan sebagaimana mestinya. Penegakan hukum yang masih rendah ini dibuktikan masih besarnya penurunan muka air tanah, besarnya limpasan air permukaan dan bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan lainnya. Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam masyarakat tidak/kurang mempunyai dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan memperbaiki lingkungan sumber daya air yang rusak. • Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya, cukup dirasakan oleh masyarakat dalam perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan. Pendekatan program rehabilitasi lahan dan penghijauan bersifat top-down, di mana aspirasi dari bawah kurang diperhatikan. Kurangnya masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan menyebabkan “sense of belonging” masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan rendah. • Kurangnya Sosialisasi Program, sangat dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya pada level tengah dan level bawah (masyarakat). Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan tidak adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi program di antara para pihak yang terkait, perencanaan


Pola sebaran penduduk Daerah Jabodetabek sampati tahun 2015

yang tidak padu/selaras dan kurangnya bahkan tidak adanya pemahaman manfaat pada tingkat masyarakat tentang kegiatan pemulihan kerusakan sumber daya air. • Kualitas Sumberdaya Manusia yang belum memadai, menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul ketika melakukan perencanaan, koordinasi, dan pengawasan serta rendahnya kesadaran akan memanfaatkan teknologi. Padahal kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat memegang peranan yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan. • Kurangnya Pertimbangan

Ekonomi dalam setiap perencanaan dan pengelolaan SDA, lebih focus pada masalah-masalah teknis dan lingkungan. Pertimbangan social-ekonomi dalam kegiatan pemulihan neraca air ini sangat menentukan dan menjadi pendorong/motivator bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan pemulihan SDA dengan baik. Beberapa pertimbangan social-ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan teknologi yang sesuai dan disukai masyarakat.

Strategi Pengeloaan SDA Mengelola SDA termasuk pengendalian banjir dan pemulihan neraca air sesungguhnya suatu bentuk pertanggungjawaban umat

manusia (human accountability) kepada alam semesta. Karena itu manusia yang memutuskan metoda-metoda dan cara-cara menggunakan, mengelola, mengendalikan banjir dan memulihkan neraca air serta secara aktif menentukan seberapa jauh pengendaliaan dan pemulihan harus dikerjakan. Oleh karena itu ada dua hal mendasar yang harus diketahui terlebih dulu yaitu (1) memahami bagaimana sebuah ekosistem berfungsi, dan (2) memahami penerapan prosedur-prosedur ilmiah yang mampu Mengelola SDA dan memulihkan neraca air. Agar program tersebut dapat berhasil maka setidak-tidaknya strategi yang diterapkan sebagai berikut:

Vol 27 No1

69


Anak sungai dan padatnya pemukiman Jakarta. Foto: Deni Sugandi

• Pradiagnosis, pada tahap ini harus berhasil dijawab beberapa pertanyaan mendasar seperti sejarah sistem penggunaan lahan sebelum terjadinya degradasi dan bagaimana lahan dan sistem pendukungnya bekerja sehingga bersifat produktif, termasuk siapa saja penggunanya baik perusahaan atau orang perseorangan. Jawaban atas pertanyaanpertanyaan demikian akan menentukan faktor kunci yang harus diperhitungkan misalnya kombinasi dari sumberdaya, teknologi, dan tujuan penggunaan lahan yang selama ini diberlakukan, tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan sebuah lahan serta strategi pengaturan anasir-anasir yang terlibat.

70

Vol 27 No1

• Diagnosis, merupakan tahapan penyelesaian pada tahap pradiagnosis yang akan menghasilkan kemampuan mendiagnosis permasalahan dan faktor pembatas yang bekerja pada sebuah DAS/CAT dalam pengelolaan SDA dan pemulihan neraca air. Faktor kunci yang harus dipehitungkan diantaranya adalah (1) faktor pembatas fisik, kimia, dan hayati apa saja yang terdapat pada sebuah bentang lahan yang akan dimanfaatkan untuk memulihkan neraca air, (2) seberapa banyak teknologi yang tersedia, seberapa mudah adopsi teknologi tersebut, dan seberapa murah teknologi dan bahan yang diperlukan untuk memulihkan neraca air, dan (3) faktor pendukung dan pembatas dalam pemberdayaan masyarakat. Termasuk dalam

faktor pendukung diantaranya adalah peraturan perundangundangan nasional, regional dan internasional yang mendukung kelestarian sumberdaya air. Termasuk dalam faktor pembatas adalah peraturan perundang-undangan yang lebih mengedepankan masalah eksploitasi sumberdaya air daripada pelestariannya. • Rancangan teknologi dan evaluasi, berkaitan dengan pemahaman mengenai informasi-informasi yang memungkinkan dirancangnya teknologi yang tepat dan spesifik berdasarkan kondisi geologi lingkungan tempat dimana pengendalian dan pemulihan neraca air dilakukan, sehingga dapat dimunculkan model pemantauan dan evaluasinya. Dalam model pemantauan harus dapat


dijelaskan indikator-indikator yang harus dipantau, bagaimana dan kapan serta seberapa sering pemantauan harus dilakukan. Dalam model evaluasinya harus secara jelas ditunjukkan ukuran keberhasilan dan kegagalan program pemulihan neraca air serta skenario-skenario alternatifnya, sehingga intervensi dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja teknologi pemulihan neraca air dan penanggulangan banjir. • Implikasi bagi PEMDA, adalah melakukan pengelolaan SDA, penanggulangan banjir, dan pemulihan neraca air, yang merupakan salah satu alternatif strategi spasial. Kenyataaanya sebagian besar wilayah yang akan dipulihkan berada dibagian tengah dan selatan Jabodetabekpunjur. Hal ini menyulitkan pengendalian bagi pemerintah daerah terdampak banjir sebagai konsekuensi di setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Oleh karena itu kerjasama antara Pemda, Jakarta dan sekitarnya, perlu berkoordinasi dan berlandaskan hukum yang kondusif. Pemberlakuan UU No. 32 tahun 2003 bukan merupakan bumerang bagi pembangunan built environment di kawasan resapan air, tetapi justru sebagai fraksis dan strategi pembangunan berkelanjutan di wilayah penyangga DKI Jakarta. Sebagai contoh, Badan Koordinasi Kerjasama dapat memfasilitasi sistem kompensasi berkriteria atas dasar optimalitas guna pemulihan lingkungan, khususnya dalam meminimalkan dampak banjir di wilayah hilir. Upaya penanggulangan banjir dan pemulihan neraca air tersebut bersifat multi dimensi yaitu

upaya melibatkan berbagai sektor, memerlukan biaya besar, perlu partisipasi masyarakat, dan yang paling penting perlu kearifan kita semua.

Kelembagaan dan Peran serta Masyarakat Berkaitan dengan pengendalian banjir dan memulihkan neraca air terdapat dua kegiatan pokok. Pertama, kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi volume air yang melewati sungai. Kedua, kegiatan yang ditujukan untuk memperbesar daya tampung (kapasitas air sungai) dan memperbesar infiltrasi.

Secara umum, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan pengendalian banjir dan memulihkan neraca air selama ini gagal. Pertama tidak terintergrasinya pendekatan geobiofisik dan pendekatan institusi dalam berbagai program penanganan banjir. Kedua, meski masyarakat dianggap penting, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat, secara tidak disadari, kerap masih dianggap sebagai non-faktor. Karena itu, solusi penanganan banjir ke depan harus mengintergrasikan aspek biofisik dan aspek institusi, dan menmpatkan masyarakat sebagai faktor utama dalam proses pengendalian banjir. Pengertian institusi di sini mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh North (1990) dan Rodgers (1994) dalam Nugroho (2006), dimana institusi diartikan sebagai aturan main, norma-norma, larangan-larangan dalam mengatur dan mengendalikan perilaku dalam masyarakat atau organisasi.

• Dua pendekatan terhadap perilaku Dari pembahasan di atas, maka pengendalian banjir dan pemulihan neraca air terutama berkaitan dengan perilaku masyarakat. Yaitu, bagaimana agar setiap warga berkehendak membangun sistem genangan dan atau sistem resapan (dengan teknologi konservasi tanah dan air atau teknologi pemanenan air hujan) di persil lahannya masing-masing. Setidaknya terdapat dua pendekatan untuk memahami aspek perilaku ini, yaitu pendekatan normatif (normative approach) dan pendekatan pilihan rasional (rational choice approach). Menurut pendekatan normatif, seorang individu atau sebuah kelompok bisa berperilaku tertentu karena didorong oleh suatu hal yang disebut sebagai logika kepatutan (logic of approriateness). Logika ini sendiri merupakan hasil dari pemahaman kognitif dan proses internalisasi yang memakan waktu yang relatif lama. Sedangkan menurut pendekatan pilihan rasional, perilaku individu atau kelompok merupakan respon terhadap aturan main (rules) atau insentif (incentives) yang ada. Aturan main ini dapat berupa aturan formal (formal rules) seperti peraturan perundang-undangan maupun aturan non formal (non-formal rules), misalnya kesepakatan-kesepakatan warga. Di masyarakat sendiri, ada aturan yang tertulis (written rules) dan ada yang tidak tertulis (unwritten rules). Disamping itu ada aturanaturan yang ditaati / diikuti (working rules) dan terdapat pula aturan-aturan yang tidak ditaati (non-working rules). Dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan sumber

Vol 27 No1

71


daya alam, sering kali terdapat aturan yang bersifat formal dan tertulis tapi tidak ditaati atau tidak dapat ditegakan. Tidak tegaknya aturan itu antara lain berkaitan dengan kekurangan biaya untuk menegakannya (enforcement cost) atau berkaitan dengan kapasitas si penegak aturan. Berbagai pelanggaran tata ruang, yang kerap ditengarai sebagai penyebab banjir, atau okupasi lahan sempadan sungai, dapat diterangkan dengan pendekatan ini. Sedangkan pada masyarakat adat yang memiliki berbagai bentuk kearifan lokal, aturan (rules) yang ada bersifat tidak formal (bukan produk negara), dan bahkan tidak tertulis tetapi justru ditaati. Sedangkan insentif yang mempengaruhi perilaku dapat beragam mulai dari yang kasat mata, bersifat langsung, dan bernilai ekonomi maupun yang tidak kasat mata, tidak langsung, dan bersifat non ekonomi. Dari perspektif kedua pendekatan ini, maka membangun perilaku masyarakat dapat dilakukan dengan berupaya membangun perilaku yang berbasis logika kepatutan, serta membangun aturan dan insentif yang sesuai. Upaya untuk membangun tindakan berbasis logika kepatutan dapat dilakukan melalui berbagai jenjang pendidikan, serta pendidikan non formal dan informal di masyarakat, serta berbagai bentuk kampanye publik. Sedangkan yang berkaitan dengan aturan, maka yang justru perlu dibangun adalah bagaimana masyarakat lokal membuat aturan-aturan yang merupakan kesepakatan mereka sendiri di tingkat lokal (non-formal rules), dimana mereka sendiri yang

72

Vol 27 No1

menegakkan aturan-aturan itu. Peran pihak luar adalah sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk membangun kesepakatan-kesepakatan itu serta menfasilitasi perealisasiannya. Lalu, yang berkaitan dengan insentif, mekanisme imbal jasa hulu hilir serta insentif dalam bentuk tidak kasat mata, seperti aktivitas kerelawanan dan pahala yang dijanjikan setiap agama, dapat digunakan untuk membangun perilaku yang diinginkan dari setiap warga masyarakat.

Pertanyaannya adalah, pada level mana aksi kolektif dilakukan? Dalam berbagai referensi, aksi kolektif sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa lalu. Itu artinya, pengendalian banjir dapat terjadi jika terdapat aksi kolektif di tingkat lokal di seluruh wilayah sumber daya air (SDA) meliputi daerah aliran sungai (DAS) dan cekungan air tanah (CAT).

• Aksi Kolektif Lokal (collective action), merupakan aspek penting lain yang kerap kali dilupakan berkaitan dengan pengendalian banjir. Meski tiap individu perlu melakukan �sesuatu� di persilnya masingmasing, namun aksi individu, bagaimana pun optimalnya, tidak akan pernah efektif untuk menangani sumber daya alam yang memiliki karakteristik public good, seperti air hujan dan air limpasan permukaan. Selain itu, meski terdapat beragam aturan (formal rules) yang mengharuskan individu untuk melakukan �sesuatu� di persilnya masing-masing, seperti aturan tentang sumur resapan, aturan tentang KDB (koefisien dasar bangunan), dan aturan sempadan sungai, serta aturan tentang keharusan untuk melestarikan lahan pertaniannya, namun aturanaturan itu dalam kenyataannya tidak bisa ditegakan. Beberapa riset aksi menemukan bahwa ketika aturan formal sulit ditegakkan karena berbagai sebab, maka yang perlu diintrodusir adalah pengembangan kesepakatankesepakatan di tingkat lokal dalam bentuk aksi kolektif. Hal ini identik dengan membangun modal sosial warga.

Disain kelembagaan Pengelolaan dan Pemulihan SDA

Dari paparan di atas, maka dapat diajukan sebuah kerangka disain kelembagaan untuk pengendalian banjir, yaitu: 1. Sosialisasi penambahan atribut kewargaan sebuah SDA. Karena setiap warga pasti tinggal di satu SDA, maka setiap warga harus mengetahui berada pada bagian dari suatu DAS. Hal ini penting, karena sesuatu yang dilakukan di persil lahannya secara kolektif bisa mempengaruhi perilaku hidrologi SDA dan yang bersangkutan. 2. Fasilitasi aksi kolektif warga masyarakat SDA. Pelaksanaan aktivitas ini disarankan pada level desa / kelurahan. Itu artinya, di tiap desa / kelurahan perlu difasilitasi terbentuknya semacam organisasi stakeholders lokal, misalnya Komite pemulihan SDA DAS Ciliwung Kelurahan X, yang mampu mengkoordinir aksi kolektif warga di tingkat lokal. 3. Fasilitasi pelatihan dan penyusunan rencana bagi Komite pengelolaan dan


Kali Ciliwung yang melintasi perumahan modern Jakarta utara. Foto: Deni Sugandi

pemulihan SDA di tiap desa atau kelurahan agar mereka mampu membuat rencana untuk menurunkan koefisien limpasan. Aktivitas fasilitasi ini juga untuk memastikan agar rencana dari masing-masing Komite pemulihan SDA di tiap kelurahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Prinsip dalam penyusunan dokumen rencana ini adalah memulai dari sesuatu yang dipahami (teknologi yang dikuasai) oleh masyarakat. 4. Fasilitasi implementasi rencana Komite pengelolaan dan pemulihan SDA. Prinsip untuk implementasi ini adalah membangun keberhasilankeberhasilan kecil, mulai dari penerapan teknologi yang sederhana dan murah, seperti penerapan teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB)

atau pembibitan tanaman penghijauan, menuju ke teknologi yang lebih rumit dan membutuhkan biaya lebih besar. Untuk aktivitas ini, maka kerjasama berbagai pihak: pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan swasta, menjadi penting. 5. Memperkenalkan konsep relawan pengelolaan dan pemulihan SDA. Peran lain Komite pengelolaan dabn pemulihan SDA di tiap desa / kelurahan adalah mengajak setiap warga SDA di desa / kelurahan yang bersangkutan yang peduli, mulai dari anak sekolah sampai orang dewasa, untuk menjadi relawan pengelolaan dan pemulihan SDA. Tugas mereka adalah mengimplementasikan rencana yang telah dibuat. Penggunaan atribut-atribut

relawan bekerjasama dengan pihak sponsor swasta dapat dipertimbangkan. 6. Memfasilitasi terbangunnya jaringan antar sesama Komite pengelolaan dan pemulihan SDA Desa / Kelurahan, serta jaringan antara Komite-Komite pengelolaan dan pemulihan SDA dengan institusi-institusi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, dan dunia usaha. Untuk mengantispasi perkembangan pembangunan di wilayah Jabodetabekpunjur, Badan Geologi telah memberikan sumbang saran terhadap peta pola ruang rencana tata ruang kawasan Jabodetabekpunjur, yang tertuang di dalam Perpres Nomor 54 tahun 2008 Penulis adalah para fungsional PATGTL, Badan Geologi.

Vol 27 No1

73


Peta Arahan Geologi Tata Lingkungan untuk Pemulihan Neraca Air berdasarkan Pola Ruang Wilayah Jabodetabekpunjur

74

Vol 27 No1


Vol 27 No1

75


76

Vol 27 No1


Lipatan Rebah Open Pit Belitung Timur Ternyata Pulau Belitung pernah mengalami peristiwa tektonik yang sangat kuat. Hal ini tergambarkan pada singkapan struktur lipatan rebah, di bekas penambangan timah pada lokasi open pit Kelapa Kampit, Belitung Timur. Singkapan struktur batuan sedimen tersebut disusun oleh batupasir merah, quartzitic, metamorphosed berumur Permo-Karbon, atau sekitar 350 juta tahun yang lalu. Teks & Foto: Deni Sugandi

Vol 27 No1

77


Buku Nusa Nipa. Foto: Deni Sugandi

Langlang Bumi Dalam Lembaran Potret Atep Kurnia

Deni Sugandi membuat kejutan. Tahun lalu lelaki yang lahir di Bandung, 23 Oktober 1972 dan sudah menggeluti dunia fotografi sejak tahun 1993 itu meluncurkan buku semi album foto. Itu yang saya maksudkan sebagai kejutan. Buku itu bertajuk Nusa Nipa: Langlang Mata Sunda Kecil. Penerbitnya ya berkaitan sekali dengan dunia yang digeluti Deni, yakni Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI). Tahun ini, buku setebal 172 halaman ini mengalami revisi dan memasuki cetakan kedua.

78

Vol 27 No1

Hal ini tentu saja, menurut saya, jadi isyarat bahwa buku ini banyak peminatnya dan tentu saja menerakan kehendak penyusunnya untuk menyempurnakan hasil karya tulis beserta hasil jepretan lensa kameranya. Sebagaimana yang termaktub dalam judul, buku ini memang berkaitan dengan perjalanan penulisnya menelusuri Nusa Nipa atau dalam subjudulnya disebut sebagai Sunda Kecil. Menurut Deni dalam “Prawacana”, “saya melakukan perjalan singkat, menapaki

kepulaun Sunda Kecil dalam beberapa kali kunjungan sejak 2013.” Ini artinya buku ini disusun dari sejumlah pengalaman kunjungan ke gugusan pulau yang ada di bagian tengah Indonesia, dan meliputi Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Citra visual apa saja yang ditampilkan dalam buku ini? Bagaimana Sunda Kecil digambarkan dalam tuturan tulisannya? Deni mendedahkannya dalam lima bab. Kelima bab tersebut adalah “Mitos Gunung Api”, “Roman


Nusa Nipa”, “Kerucut Busur Sunda”, “Warisan Megalitik”, dan “Bhinneka di Timur”. Dalam bab pertama, Deni menggarisbawahi dialektika antara fenomena kegunungapian beserta pola budaya masyarakat Sunda kecil yang dihasilkan dari pergelutan dan pergulatannya dengan gunung api. Itulah yang disebut dengan mitos gunung api. Itu dapat kita baca dari tuturan Deni, “Peristiwa letusan gunung api menjadi bagian penting dari proses pembentukan kearifan budaya, terutama bagi masyarakat yang mendiami lereng-lereng gunung api aktif. Dampak letusan ini menjadi pengingat makna bahaya dan acaman, kemudian diterjemahkan dalam mitosmitos. Cerita lisan tersebut menjadi penjaga kesadaran akan bahaya, bukan sekedar takjub tetapi penghargaan gunung sebagai lingkup transendental-hubungan manusia dan penciptanya”. Daftar mengenai mitos yang ditemukannya di Sunda Kecil, kemudian ia uraikan. Antara lain disebutkannya kepercayaan Ebu Gogo, asal usul raja Larantuka Sri Demon diturunkan burung garuda dari Gunung Ilemandiri, mitos pembentukan gunung api di suku Ngada, Legenda Ende Lio, dan naskah Tantu Panggelaran yang mengisahkan dewa memindahkan setengah gunung Mahameru ke Jawadwipa. Untuk mengiringi teks mitos ini Deni menampilkan foto-foto Gunung Iya dan gugusan pulau di NTT. Pada bab dua, Deni menekankan pada ihwal bentang alam yang berhasil diabadikannya dalam lembaranlembaran potret. Bentang alam

yang ditampilkannya antara lain Danau Satonda, Teluk Bima, pantai Macang Manggar, Pantai Koka, Tanjung Embuak, Pulau Komodo, Pulau Karawo, Watu Zape, Pantai Lakey, Teluk Waworada, Tanjung Rea, Gunung Ile Mandiri, Pantai Lewo Awang, Sembalun Bungbung, Gunung Ile Boleng, Gunung Ile Uji Lewung, Teluk Sape, Selat Alas, dan lainlain. Tidak jarang, proses kegeologian dari bentang alam tersebut turut pula dituliskan dalam “caption” fotonya. Memasuki bab tiga, yang diutamakan adalah fotofoto yang berkaitan dengan kegunungapian di kepulauan Sunda Kecil, atau dalam bab ini menggunakan nama lain, yakni “Pulau Bunga”. Oleh karena itu, mata kita akan bergantiganti melihat gunung api beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. Di sini kita bisa melihat Sumbat lava Gunung Lewotobi, Kerucut Gunung Inerie, Gunung Lewotobi Lakilaki dan Perempuan, Endapan piroklastik setebal 50 m hasil letusan dahsyat Gunung Rinjani Tua di Sambi Bangkol, Gunung Inielika, Kerucut Gunung Rinjani, Gunung Anak Ranakah, mata air panas di Desa Wae Sano, Danau Sano Enggoang, Gunung Tambora, Gunung Ebulobo, Danau Buyan, Gunung Sangeang, danau vulkanik Gunung Kelimutu, dan Gunung Agung. Selanjutnya bab keempat dikhususkan menampilkan foto-foto yang berkaitan dengan warisan megalitik di Nusa Tenggara. Adapun yang dipotretnya antara lain desa megalitik Gurusina, Adonara, masyarakat adat Sasak, kampung purba Ola Bula. Namun, pada gilirannya foto-foto yang berkaitan

dengan kebudayaan, produk budaya, dan fosil-fosil yang tepatnya masuk dalam kajian geologi, ikut pula tampil dalam bab ini. Jadi, jangkauannya lebih luas dari megalitik yang mengesankan budaya yang dihasilkan pada zaman Megalitik. Bab terakhir, memang sedikit. Namun, dalam sedikitnya jumlah potret yang ditampilkan, bab ini membuktikan peran penting kepulauan Sunda Kecil dalam kerangka pembentukan negara yang kita cintai ini – Indonesia. Di dalam bab ini Deni menampilkan foto Situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. Di sinilah Soekarno, kata Deni, “merumuskan keragaman suku bangsa dan agama menjadi lima perkara.” Meski dengan catatan, “refleksi tersebut ia dapatkan dari rangkain perjalanan yang panjang, jauh sebelum pengasingan selama 4 tahun di Ende”. Nah, sebagai akhir kata, saya hendak mengulang lagi pernyataan bahwa melakukan perjalanan ke berbagai fenomena kebumian yang dilakukan Deni Sugandi telah diawetkan dalam lembaranlembaran potret yang tersaji dalam buku ini. Adapun narasinya memandu kita untuk turut serta mengikuti perjalanan yang dilakukan Deni Sugandi, seraya jadi lebih mengetahui dan memahami kekayaan bumi yang ada di permukaan dan di dalam kepulauan Sunda Kecil itu sendiri. Penulis adalah peminat kebumian, tinggal di Bandung.

Vol 27 No1

79


Lava Dome Tuktuk Danau Toba

Tidak disadari bahwa kehidupan di Tuktuk yang dikenal sebagai salah satu tourist area resort yang berkembang sejak zaman penjajahan Belanda, berada di atas Lava Dome dan bongkahbongkah bahan rombakan akibat proses geologi di masa lalu. Sementara yang melatarbelakangi Lava Dome Tuktuk adalah sebuah kelurusan tebing-tebing dan bukit segitiga (triangularpaset) hasil proses eksogen berupa pengangkatan dan pensesaran muka bumi, yang memunculkan pulau samosir kepermukaan seperti saat ini. Fenomena geologi di Pulau Samosir Danau Toba ini berada di bagian timur, memanjang utara-selatan antara Desa Parmonangan di utara sampai di Desa Huta Hotang. Foto & Teks : Oki Oktariadi

80

Vol 27 No1


Vol 27 No1

81


82

Vol 27 No1


“Bila ada orang bertanya dimana ini --bilang saja, ini tempat surga kecil jatuh ke bumi, ‘dorang sudah tahu itu”. Tulisan pada t-shirt pemandu wisata yang menjemput di Bandara Domine Eduard Osok di Kota Sorong ini, bikin penasaran peserta geowisata untuk segera menuju Misool. Peserta kemudian berkendara ke Pelabuhan Rakyat, untuk kemudian menggunakan perahu cepat menuju Kepulauan Rajaampat bagian selatan di Papua Barat ini. Pemandu itu, Tumpak namanya, mengatakan perjalanan akan ditempuh selama tiga setengah jam. “Silakan menikmati”, lanjutnya.

Sekeping Surga di Missol Teks dan Foto: Ronald Agusta

Vol 27 No1

83


Di tengah perjalanan kami singgah di Pulau Banos untuk makan siang. Saya agak terlambat makan di pulau ini, karena mendahulukan menerbangkan drone. Takjub juga melihat dari ketinggian, sebab pulau ini mirip ikon lidah Mick Jagger, personil The Rolling Stone, band ternama asal Inggris.

Setelah selesai bersantap siang, peserta melanjutkan perjalanan ke Pulau Ya, tepatnya ke Kampung Harapan Jaya, lokasi Yalapale Homestay berada, tempat kami menginap. Setelah beristirahat sejenak, kami menikmati pesona mentari tenggelam sekitar Pulau Ya, sambil berkenalan dan bermain bersama warga di tepi pantai.

84

Vol 27 No1


Hari kedua, setelah sarapan, kami menuju Balbulol, tempat bukit-bukit kerucut kars yang sekilas seperti kerucut es krim terbalik, yang menjadi daya tarik wisata baru di sekitar Teluk Tomolol. Bukit-bukit kerucut kars mencuat dari permukaan perairan yang jernih ini, merupakan hasil proses pelarutan pada Satuan Batugamping Zaag berumur Eosen yang terdiri dari kalakarenit dan batugamping oolit. Wahana drone pun melayang tinggi menangkap bentang alam luar biasa ini, saat teman-teman lain asyik bersnorkeling dan bermain kano.

Selanjutnya menuju Gamfi yang merupakan lokasi yang indah untuk diving dan merupakan salah satu diving spot terbaik di wilayah Raja Ampat bagian selatan. Karakter lokasi ini berupa palung. Namun, seluruh peserta kali ini hanya melakukan snorkeling untuk menyaksikan terumbu karang dan ratusan ikan yang berenang.

Vol 27 No1

85


Perjalanan dilanjutkan menuju danau ubur-ubur, yaitu sebuah danau di dalam perbukitan karst yang penuh dengan ubur-ubur cantik. Uniknya ubur-ubur disini tidak menyengat, pesis seperti yang terdapat di Danau Kakaban, Kepulauan Derawan di Kalimantan Timur. Danau ini tersembunyi. Bila kita berperahu di laut disekitarnya, tidak akan terlihat. Jadi harus mendaki bukit besar, lalu menuruninya. Peserta diperbolehkan berenang di danau ini sambil sesekali menyelam menyaksikan dan mengusap lembut ubur-ubur.

86

Vol 27 No1


Hari ketiga, kami ke Dalfalen. Disini terdapat deretan karst berupa lorong-lorong. Ada pula bentukan karst yang unik. Airnya jernih berwarna toska, tanpa gelombang, sehingga bikin betah berlama-lama berkano mengikuti lorong. Disini harus berhati-hati bersnorkeling maupun berkano, karena saking banyaknya lorong, bisa tersesat dan sulit menemukan jalur kembali ke tempat perahu tambat. Aktifitas lain yang dilakukan adalah berfoto dengan latar bukit-bukit karst yang menawan, yang salah satunya bolong berbentuk hati, orang lokal menyebutnya Lenkalogos.

Vol 27 No1

87


88

Vol 27 No1


Menjelang siang kami beranjak ke Yapap. Yapap adalah tempat dinding tegak, tinggi dan tebal berdiri kokoh. Permukaan dindingnya nyaris rata seperti buatan manusia. Mirip tembok Cina atau tembok Berlin, tetapi ini lebih tinggi. Disini pun tempat favorit untuk menyelam atau sekedar snorkeling, karena banyak sekali ikan berwarna-warni. Mungkin karena adanya dinding tegak itulah yang bisa dipakai berteduh kala panas yang membuat ikan betah berkumpul.

Vol 27 No1

89


Setelah berpuas diri berenang, kami beranjak untuk menuju Gua Laut Keramat. Di tengah perjalanan, tiba-tiba perahu berhenti, merapat ke dinding sebuah tebing karst. Disini terdapat banyak telapak tangan manusia purba. Mirip dengan yang berada di dalam gua di Leang-leang di Sulawesi Selatan. Gambar telapak tangan di Misool ini berwarna merah kecoklatan dan tersebar di berbagai sisi dinding tebing karst. Selain telapak tangan, ada juga gambar perahu dan hewan laut berupa ikan, serta bentuk-bentuk lain yang begitu unik. Tak begitu lama kami disini, kami harus segera ke gua.

Sesampai di mulut Gua Laut Keramat, yakni sebuah lokasi yang dahulu menjadi pusat kerajaan Misool, tampak di bagian atas lafaz “Allah�, mungkin ini karena proses karstifikasi pada gamping yang membentuknya. Di pelataran gua terdapat dua makam nenek moyang yang dipercaya sebagai wali oleh masyarakat Misool. Menurut cerita, dua wali yang dimakamkan disini adalah suami istri yang datang dari Banda. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Misool berziarah ke Makam Gua Keramat sebelum berhaji. Disini, hampir seluruh peserta menyusuri gua dengan body rafting merenangi gelap dan terus menuju sebuah danau kecil di ujung gua.

90

Vol 27 No1


Selanjutnya, situs terakhir dari rangkaian geowisata ini adalah ke Puncak Harfat. Sebuah spot ideal di puncak sebuah bukit yang baru ditemukan tahun 2012 oleh Harun Sapua, warga Kampung Harapan Jaya. Sebelum 2012, berkali-kali ia berkeliling Misool bersama istrinya sambil terus mencari bukit yang dapat didaki untuk melihat pemandangan dari atas. “Setiap melewati bukit itu saya selalu merasa inilah tempatnya, tapi baru akhir 2012 saya pastikan jalur pendakiannya,� cerita Harun. Titik untuk melihat Misool dari atas bukit pulau karang ini, kini dinamakan Puncak Harfat, gabungan dari nama Harun dan istrinya yang bernama Fatima. Trek menuju Puncak Harfat sudah diberi jalur bertangga dan pegangan kayu sehingga aman didaki. Perlu sekitar 30 menit untuk sampai ke puncak. Ada tiga lokasi di Puncak Harfat untuk melihat sekeliling dengan pemandangan yang berbeda.

Dari tiga puncak di Bukit Harfat, jika berputar 180°, kemudian berimajinasi menggabungkannya dengan seluruh pemandangan yang telah dilihat selama bergeowisata di Missol; saya teringat tulisan pada t-shirt Tumpak sang pemandu kami. Ini benar-benar bagaikan sekeping surga yang jatuh ke bumi. Saya merasa alasan keberadaaan di sini, sebagai makhluk yang ingin lebih mencintai dan memelihara bumi ini semakin terpateri. Juga memotivasi untuk menambah pengetahuan tentang kebumian sehingga lebih mengagumi kebesaran sang pencipta.

Vol 27 No1

91


Batuan Vulkanik Pulau Lembeh Kevin Muster, Undang Mardiana, Aton Patonah dan Delyuzar Ilahude

Gawir vertikal di pantai Kenreko Foto: S. Lubis

92

Vol 27 No1


Vol 27 No1

93


Kontak batupasir dan tufa lapili tersingkap di Tanjung Rarndam. Foto: S. Lubis

Pulau Lembeh adalah salah satu pulau yang terletak di Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara. Pulau ini memang memiliki keindahan alam yang mempesona, tak kalah juga dengan pemandangan bawah laut yang memesona layaknya Bunaken. Belum lagi batuan volkanik di Pulau Lembeh ini ini sangat berbeda sekali karakteristiknya dibandingkan dengan batuan vokanik yang tersingkap di dinding pantai daratan Bitung (Sulawesi Utara) yang didominasi batuan berumur Kuarter (1,6 juta – 10 ribu tahun yang lalu). Perbedaan umur yang cukup mencolok inilah yang menyebabkan kondisi geologi Lembeh yang unik dan menarik dan eksotis. Pengamatan geologi di Pulau Lembeh dilakukan dengan cara menelusuri kawasan pantai yang berdinding

94

Vol 27 No1

terjal, sehingga diperoleh jejak-jejak proses geologi yang membentuknya. Pantaipantai bertebing curam inilah yang memberikan indikasi dan dugaan proses kejadian geologinya, khususnya pada batuan volkanoklastik purba yang berumur Tersier (Miosen Awal sampai Miosen Akhir atau sekitar 23,7 – 5,3 juta tahun yang lalu). Keunikan geologi di kawasan Pulau Lembeh adalah adanya perbedaan umur batuan yang sangat mencolok. Batuan yang ditemukan di Pulau Lembeh umumnya terdiri dari batuan volkanik berumur Tersier, sedangkan batuan di wilayah Bitung (daratan Pulau Sulawesi) merupakan batuan volkanik muda Kuarter (Kusumadinata, 1979). Secara umum wilayah Bitung dan sekitarnya disusun oleh batuan volkanik yang berumur

Kuarter yang terdiri atas lava, bom, lapili dan abu yang sebagian kecil ditutupi oleh endapan. Endapan Qs ini terdiri atas pasir lanau, konglomerat dan lempung napalan (Effendi dan Bawono, 1997). Berdasarkan hasil pengamatan geologi permukaan yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi Kelautan, Kementerian ESDM bulan April 2016, daerah Bitung secara umum disusun oleh batuan volkanik dan volkaniklastik, sebagian batuan ini ditutupi oleh endapan permukaan yang terdiri dari satuan tufa, tufa-breksi, satuan lava, satuan tefra, serta satuan aluvium sungai dan pantai.

Satuan Batuan di Pulau Lembeh Satuan batuan gunung api purba Tersier terdiri dari breksi, lava dan tufa. Aliran lava pada umumnya


Satuan batuan batuan gunungapi purba Tanjung Galise, Moto, Lembeh Utara. Foto: S. Lubis

berkomposisi andesit sampai basal singkapannya banyak ditemukan di tebing-tebing tanjung yang terabrasi. Endapan lava dasite juga dapat dibedakan dari lava andesit berdasarkan ukuran fragmen yang lebih kasar. Koperberg (1928) dalam Effendi (1974) menyebutkan sebagai breksi berbutir sangat kasar, berkomposisi andesit, sebagian bersifat konglomerat, mengandung sisipan tufa, batupasir, dan batulempung. Fosil foraminifera kecil yang ditemukan dalam sisipan lempung berlapis yaitu: Globorotalia periphereacuta, Globorotalia mayeri dan Globorotalia praemenardii menunjukkan umur pengendapan pada Miosen Tengah atau sekitar 18 juta tahun yang lalu.

Batuan sedimen tua Tersier yang berkarakter marin terdiri atas batupasir kasar dan greywacke, sedangkan Batugamping napalan dan batugamping hanya ditemukan di daratan pulau Sulawesi, tetapi tidak ditemukan di Pulau Lembeh. Batupasirnya tersusun oleh butiran andesit dan setempat bersifat gampingan. Koperberg (1928) melaporkan adanya foraminifera yaitu Milliolina dan Textularia di dalam satuan ini sebagai fosil penciri Miosen Awal sampai Miosen Akhir (23,7 -5,3 juta tahun yang lalu).

Beberapa singkapan batuan Tersier yang ditemukan di daratan Pulau Lembeh serta Beberapa keunikan fitur geologi yang ditemukan di sepanjang pantai Pulau Lembeh bagian barat, terlampir di ilustrasi foto-foto artikel.

Di Papusungan, Lembeh Selatan batuan lempung ini telah termineralisasikan dan mengandung mineral pirit. Secara umum, di Pulau Lembeh banyak tersingkap satuan batuan yang tersusun dari aliran lava dan breksi yang berkomposisi andesit.

Aton Patonah., ST.,MT (Dosen Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran)

Penulis: Kevin Muster Regulus Victor (Mahasiswa Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran) Ir. Undang Mardiana., M.Si (Dosen Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran)

Ir. Delyuzar Ilahude., MT (Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) Bandung)

Vol 27 No1

95


Satuan endapan tefra yang tersusun dari endapan lahar dengan fraksi kasar namun belum terkonsolidasi ditemukan di Tanjung Pintukota. Foto: S. Lubis

Batuan lava andesitik yang memperlihatkan pola struktur berlapis. Foto: S. Lubis

96

Vol 27 No1


GROUND PENETRATING RADAR Unit pembaca perut bumi produk RD1000 + GPR, utilitas yang mampu membaca di kedalaman tertentu, non-kondusif dengan menggunakan filter pemrosesan citraan yang sangat canggih. Selain itu dibantu oleh teknologi radar dengan gelombang yang sangat lebar. Teknologi deteksi radio unit ini mampu melihat benda padat, mulai dari pipa plastik, material keramik, batuan padat hingga kedalaman lebih dari 8 meter. Sumber: https://en.wikipedia.org/ wiki/Ground-penetrating_radar


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.