BADAN GEOLOGI, KEMENTERIAN ENERGI & SUMBER DAYA MINERAL ISSN: 20566-777
BU L E T IN GE O LO G I TATA L I NG K U NGA N -
BGTL b u l e t i n g e o l o g i t at a l i n g k u n g a n
VO LU M E 27 NO M O R 2 J UL I 2 0 1 7
Tsunami dan Kehidupan Badak Sunda WANGI CENGKEH DI TERNATE Pangeran Afrika Dinas di Hindia Belanda
VOLUME 27 NOMOR 2, JULI 2017
Editorial
Kita bergerak dari masa lalu, ke masa kini, dan barangkali ke masa nanti. Alam yang menjadi tempat hidup kita juga demikian. Prosesnya sama-sama terus berlanjut hingga kini, dan akan selalu terarah ke masa yang akan datang. Itu sebabnya, maka berlaku konsep uniformitarianisme Sir Charles Lyell (1797-1875), “the present is the key to the past”. Konsep yang didedahkan dalam buku Principles of Geology (18301833) ini menggemakan fajar Abad Pencerahan seperti yang mengemuka dalam kata-kata ahli filsafat bangsa Skotlandia, David Hume (1711-1776), “all inferences from experience suppose ... that the future will resemble the past” (“semua kesimpulan dari pengalaman menyatakan bahwa … masa depan pasti mirip masa lalu”). Demikian pula yang ditemukan oleh dokter dan ahli geologi berbangsa Skotlandia, James Hutton (1726-1797). Pada 1788, ia menyatakan bahwa, “from what has actually been, we have data for concluding with regard to that which is to happen thereafter” (“Dari yang sebenarnya terjadi, kita mempunyai data untuk menyimpulkan yang akan terjadi setelahnya”). Dengan demikian, geologi sangat terkait erat dengan soal waktu. Bahkan bisa dikatakan tidak akan terlepas dari soal tersebut. Oleh karena itu, bukti kedahsyatan waktu itu dapat kita buktikan dalam BGTL Vol. 27 No. 2 kali ini. Perjalanan hidup Pangeran Ashanti Aquasie Boachi yang pernah bekerja pada Dinas Pertambangan Hindia Belanda, demikian pula Rudy Suhendar yang pernah menjabat sebagai Kepala Pusat PATGTL dan kini dipercaya menduduki posisi Sekretaris ITJEN KESDM. Sudah barang tentu, tinggalan serta proses geologi yang juga terekam dalam buletin kita kali ini. Jalan hidup Aquasie, Rudy serta proses geologi sungguh bertaut dengan waktu.
Oki Oktariadi
Vol 27 No1
1
Surat Pembaca
Dengan hormat. Sekitar satu bulan yang lalu saya menerima majalah ini, melalui kawah yang bekerja di lingkungan Badan Geologi. Bagi saya sebagai orang awam mengenai ilmu geologi, sangat membantu mengerti tentang proses kejadian pembentukan bumi. Selain menjelaskan melalui artikel, foto-fotonya pun sangat baik dan turut menjelaskan isi artikel tersebut. Sebelumnya saya pernah membaca majalah sejenis terbitan Badan Geologi KESDM, namun disayangkan sekali kini telah tidak hadir lagi. Semoga majalah ini tetap hadir, turut memberikan sumber informasi yang terpecaya bagi masyarakat di negeri ini. Saya menyarangkan agar artikel dijelaskan dengan cara yang lebih sederhana, karena beberapa tulisan menurut saya masih terlalu teknis. Semoga bermanfaat dan tetap jaya. Yunesra, Bandung Dengan hormat. Saya adalah pembaca setia BGTL, sejak pergantian perwajahan baru. Saya sangat menantikan kehadiran majalah ini, walaupun saya harus meminta langsung ke PAG. Majalah ini menjadi rebutan di keluarga saya, selain informasi berkaitan dengan geologi, saya sangat tertarik dengan karya-karya foto yang menghiasi majalah ini. Harapan saya, semoga majalah ini tetap hadir menyapa penggemarnya tidak pernah putus. Namun alangkah baiknya, bila majalah geologi populer ini dipublikasikan secara komersial, sehingga dapat dijual di toko-toko buku, dengan konten yang lebih beragam, tidak hanya geologi, tetapi muatan geografi. Terima kasih, jaya selalu. Diah Suhandi, Bandung
2
Vol 27 No1
Penanggung Jawab Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Rudy Suhendar. Ketua Dewan Redaksi Oki Oktariadi. Anggota Dewan Redaksi Dita Arif Yuwana, Andhy Darmadi Sipayung, T Bachtiar, Deni Sugandi, Ronald Agusta. Ketua Dewan Penerbit Adang Setiawan. Anggota Dewan Penerbit Sri Yuliani Hartati, Tursanti Dewi. Penata Letak Ayi Sacadipura. Ilustrator Dedi Umbara. Editor Bahasa CN. Annisa dan Atep Kurnia. Sekretariat Turinah, Ellia Kurnia MY. Sekretariat Redaksi: Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (Centre of Groundwater and Environmental Geology) Jalan Diponegoro 57 Bandung 40122. Telp. 022-7274676, 022-7274677 Faks. 022-7206167. Email: jlbg_geo@yahoo.com
Redaksi menerima artikel diketik dengan spasi rangkap, maksimal 5.000 karakter, ditandatangani serta disertai identitas. Format dalam bentuk digital dikirim ke alamat redaksi, dengan catatan dewan redaksi berhak menyunting kembali naskah yang diterima.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (BGTL) diterbitkan berkala tiga kali setahun oleh Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Daftar Isi
9
Bertandang ke Nuhu Roa Ayu Wulandari
13 Pangeran Afrika Dinas di
Hindia Belanda Atep Kurnia
20 Wangi Cengkeh
Teranate T Bachtiar
60 Tsunami dan Kehidupan
Badak Sunda
Oki Oktariadi
72 Integrasi Taman Bumi
Bromo Tengger Semeru Atep Kurnia
74 Aerial Aceh Ronald Agusta
29 Tambang Karst
86 Tersungging
Kalapanunggal Bogor Aminul Wahib
di Gua Sungging Deni Sugandi
33 Pengembangan Geowisata
Sumatra Selatan
Tursanti Dewi & Nanda Annisa
37 Rudy Suhendar;
Hidup Mengalir Seperti Air Deni Sugandi
45 Menikmati Danau Kaolin
di Bangka Ronaldo Irzon
49 Jejak Alam dan Budaya
Kalumpang Agustina Djafar
58 Asa di Bumi Aru Ambang Sasongko
Gunung Anak Krakatau, Lampung. Foto: Deni Sugandi
Vol 27 No1
3
Danau Kawah Ranu Kumbolo
Bentukan tapal kuda di daerah topografi tinggi, yang ditempati danau kawah Ranu Pane. Merupakan sisa dari tubuh gunung api umur Kuarter, sebelum terbentuknya Semeru +3676 m. Perkembangan kawah Semeru mengarah ke selatan dan berumur relatif lebih muda. Terdapat sesar cakram yang dicirikan hadirnya Ranu Kumbolo yang diawali oleh jalur sesar yang melingkar. Bentukan khas akibat sesar di daerah vulkanik aktif pada masa lalu. kondisi seperti ini berkaitan dngan litologi dan aktivitas intrusi magma yang terjadi saat proses pembentukan gunungapi. Foto & Teks: Deni Sugandi
4
Vol 27 No2
Vol 27 No2
5
6
Vol 27 No2
Kerucut Gunung Para Dewata
Menjelang petang, dari jendela pesawat dalam perjalanan dari Pulau Sumbawa ke Pulau Bali, Gunung Agung tampak memancarkan warna keemasan. Gunungapi yang meletus terakhir tanggal 27 Januari 1964 ini, ketinggiannya 3.014 m dpl, dapat didaki selama 5-6 jam. Foto & Teks: T Bachtiar
Vol 27 No2
7
Panorama bukit Masbait di Kei Kecil.
8
Vol 27 No2
Bertandang ke Nunu Roa Teks & Foto: Ayu Wulandari
Tabe simer1 , Nona. Tabe ma naa2 Kelanit. Saat ini kamu sedang menginjakkan kaki di titik tertinggi dataran barat Tanat Evav, di tempat turunnya koko ertal lanit (orang-orang dari langit) yang menjadi leluhur kami semua di sini, tempat terbaik untuk menyambut senyum dan berkah dari Duad Ler-vuan setiap pagi.
Pendakian singkat menuju puncak Bukit Masbait yang berada di Ohoi (Bahasa Kei: ohoi = kampung/desa) Kelanit pada permulaan hari itu sukses membuat saya panen keringat di tengah riuh napas tersengal. Meski terbayar kemudian dengan keindahan panorama fajar Nuhu Roa – dikenal juga sebagai Kei Kecil –, sangat nyata tubuh yang lama berkehidupan di sisi barat nusantara bersama hiruk-pikuk perkotaan ini secara alami dipaksa menyesuaikan diri dengan segera. Tidak terlalu sulit dirasa ketika harus membuat telinga menerima bahasa yang berbeda dengan dialek berbeda, atau saat harus membiarkan lidah menikmati citarasa makanan serta minuman yang tak biasa. Jauh lebih sulit adanya mendapati matahari terbit sekitar dua jam lebih cepat dimana waktu tidur seakan menjadi lebih singkat dan bangun pagi secara tak langsung menjadi lebih awal. Belum lagi ternyata saya datang di musim yang kurang tepat, musim angin timur, dimana laut masih bergejolak dan Nuhu Roa begitu
Vol 27 No2
9
Gua batugamping Liang Hawang di Kei Kecil.
dingin di sela peralihan menuju kemarau. Nama Nuhu Roa mulai ramai dibicarakan bersamaan tersingkapnya keindahan Ngurbloat (Bahasa Kei: ngur = pasir, bloat = panjang) melalui media sosial. Putih tepung pasir pantai di Ohoi Ngilngof tersebut dinyatakan tak punya bandingan di dunia. Mudah ditebak ketika dalam waktu singkat berduyun-duyun wisatawan domestik dan mancanegara menyengajakan diri singgah ke salah satu pulau dalam gugus Kepulauan Kei tersebut. Kepulauan yang didominasi batugamping dan terletak di kawasan Laut Banda; berada di selatan Kepala Burung Irian, barat Kepulauan Aru, timurlaut Kepulauan Tanimbar, dan tenggara Pulau Seram; secara administratif merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara. Bandara Karel Sadsuitubun yang berada di Desa Ibra dan Pelabuhan Laut Yos Sudarso yang berada di kota Tual merupakan pintu masuk utama menuju Nuhu Roa. Maskapai seperti Trigana Air Service, Wings Air, dan Garuda Indonesia membuka penerbangan berdurasi
10
Vol 27 No2
kurang-lebih 150 menit menuju Kei Kecil dari Bandara Pattimura Ambon. PT Pelni menyediakan KM Nggapulu yang bertolak dari Pelabuhan Tanjungperak Surabaya (perjalanan selama lima hari dengan rute: Surabaya–Makassar– Baubau–Ambon–Banda Naira–Tual) sementara KM Tidar yang biasa berangkat dari Pelabuhan Tanjungpriok Jakarta menjalani proses docking (perbaikan) tahunan (sumber: situs resmi PT PELNI www.pelni.co.id). Seiring kesadaran mengeksplorasi potensi pariwisata yang ada, beberapa destinasi kemudian diperkenalkan secara terbuka. Pantai-pantai berpasirputih seperti Ngursadan yang berada di Ohoi Lilir, Matwair/ Madwaer yang berada di Kecamatan Kei Kecil Barat, Ngurtavur yang berada di Pulau Warbal dan selalu disinggahi sekawanan Burung Pelikan pada musim migrasi, pantai di sekeliling Pulau Adranan (sebuah pulau kosong yang berada di sebelah utara pulau Kei Kecil), serta tanpa terkecuali pantai yang berada di Ohoi Dertawun (sekitar 30 menit berkendara dari Bukit Masbait) dengan cepat tak sekadar diperbincangkan para pelaku wisata
lantaran diyakini paling tepat untuk mengantisipasi keengganan jenis pengunjung yang enggan membaur dalam keramaian Ngurbloat di setiap datang akhir pekan atau masa libur panjang. Pulau Bair – terletak di Desa Dullah Laut, dapat dicapai dengan berkendara sekitar 30 menit dari pusat Kota Tual, lalu dilanjutkan dengan melakukan perjalanan laut sekitar satu jam menggunakan speed-boat dengan tarif sekitar Rp 50.000,00 per orang – yang kerap disebut-sebut sebagai miniatur Raja Ampat menyusul diperkenalkan berikutnya, diyakini mampu memberikan sensasi petualangan berbeda karena tidak hanya akan menyuguhi keindahan perairan tenang didominasi hijau pirus tepat ketika anak-anak Hiu Blacktip (Carcharhinus limbatus) mulai berenang-renang menampakkan diri di beberapa sudut terumbu karang dangkal. Lengang Wear La’ai (Bahasa Kei: wear = danau; la’ai = besar) yang berada di antara Ngayub dan Ngilngof memungkinkan pengunjung Nusyanat – sebutan lain Nuhu Roa – menikmati
Pemandangan di tepi pantai jelang senja di pelabuhan Tual Kei Kecil.
polah pelikan juga burung-burung air berbulu hitam sembari menghayati kisah di balik terciptanya danau seluas kurang-lebih 40 ha tersebut yang ada kaitannya dengan leluhur di sana. Cerita rakyat tentang sebuah kampung berpenduduk 9.999 jiwa yang ditenggelamkan oleh seorang perempuan tua bernama Te Idar – tersebab para penduduk telah berlaku tidak terpuji demi mengungkapkan ketidaksukaan mereka terhadap si nenek dengan membuang sampah di sekitar rumahnya – itu bahkan kemudian diwajahkan dengan nama lain yang diberikan lalu dipopulerkan masyarakat setempat hingga sekarang: Wear Ablel. Konon, sebelum seluruh penduduk desa yang telah dikutuk oleh Te Idar itu sepenuhnya menjelma penghuni danau (ikan, tumbuhan, termasuk para buaya penjaga), kesemuanya seumpama ikan buntal (ab) yang tengah menggelembungkan diri dengan udara agar dapat terapung di atas air sebatas leher (lel) mereka. Lian Hawang (Bahasa Kei: lian = gua, hawang = kekuatan hitam), sebuah gua kapur di Ohoi Letvuan yang digenangi air biru kehijauan berasa tawar dan
konon bila disusuri akan berujung ke samudra, meski diyakini bertuah oleh masyarakat sekitar – dapat dilihat dari keberadaan sesaji di beberapa sudut serta larangan buang hajat sembarangan dan bertindak asusila – memiliki teras gua amat menggoda bagi siapa saja yang datang hingga akhirnya menghabiskan waktu belasanpuluhan menit untuk berenang-renang atau paling tidak memberi kesempatan pada kulit kepala juga wajah untuk merasakan kesegaran murni yang tersedia. Pun tak ketinggalan pula Nen Mas Il Evu (dalam Bahasa Kei dapat juga berarti: emas yang hilang telah ditemukan kembali di kampung Evu, dimana emas yang dimaksud berwujud mata-air) yang lebih dikenal sebagai Pemandian Alam Evu. Sebuah tempat yang kerap disinggahi baik pengunjung lokal maupun pendatang setiap kali usai bermain di pantai-pantai sekitaran, dianggap paling enak untuk dinikmati kesegaran murni airnya sebab berasal dari mata-air utama yang menghidupi segenap masyarakat di Nuhu Roa. Jika senja kerap ditautkan dengan
romantisme paling kental setiap kali melanglang ke tanah-tanah rantau, maka tepat jelang malam terakhir berada di Kei Kecil, di salah satu saung tepi pantai Ngurbloat, saya memutuskan menikmatinya ditemani sepiring kecil embal dan secangkir kopi pahit panas. Embal tidak pernah sekadar mewakili makanan lokal yang hadir di keseharian Orang-orang Kei dan memperkaya kuliner khas. Panganolahan yang berwujud keras dan terbuat dari umbi tanaman singkong karet beracun tersebut secara tidak langsung dapat memberikan rasa yang melekati kawasan batuan karang sekaligus menceritakan bagaimana sejak dahulu kala Orang-orang Kei telah berupaya kuat-kuat untuk mempertahankan hidupnya tanpa sampai perlu merusak alam yang telah amat berbaikhati pada mereka. Tabe tafrik3 , Tanat Evav. Tabe oba4 , Nuhu Roa. nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan, duad enfangnan wuk . Tet ya en savak ta’syoat6. Penulis adalah pegiat kebumian dan penulis lepas
Vol 27 No2
11
Boachi bersama anaknya Aquasie Boachi Jr dan Quamina. Difoto oleh “atelier� P. Hermann di Bogor, sekitar tahun 1900. Sumber: Gemeentearchief Delft
12
Vol 27 No2
Pangeran Afrika Dinas di Hindia Belanda Atep Kurnia
“Heden overleed in het militair-hospitaal alhier in den ouderdom van ruim 77 jaar onze geliefde vader Z. H. AQUASIE BOACHI, Prins van Ashanté, OudHoofdingenieur titulair van het mijnwezen”. Kalimat tersebut termaktub dalam Bataviaasch Nieuwsblad (14 Juli 1904) dan Soerabaiasch-Handelsblad (15 Juli 1904). Bila diindonesiakan kira-kira begini: “Hari ini telah meninggal di Rumah Sakit Militer, saat berumur 77 tahun, ayah kami yang Yang Mulia AQUASIE BOACHI, Pangeran Kerajaan Ashanti, Pensiunan Kepala Insinyur Tambang Tituler”. Di bawah keterangan itu disertakan nama-nama yang menjadi anak almarhum serta titimangsa penulisan berita tersebut. Namanama anaknya adalah Quamin Boachi, Quamina Aquasina Boachi, Aquasie Boachi Jr, dan bertitimangsa “Buitenzorg, 9 Juli 1904”.
Vol 27 No2
13
Portrait of Aquasi Boachi. Sumber: Wikipedia
Itulah akhir hayat Aquasie Boachi atau Kwasi Boakye (1827-1904), Pangeran Ashanti dari Ghana, insinyur tambang ketiga dari lima insyur pertama yang dipekerjakan di Hindia Belanda. Dialah orang Afrika yang pertama kali mendalami kegeologian Indonesia termasuk menyelidiki kegeologian Banten dan Ciletuh, Jawa Barat. Tulisan ini akan mencoba menggali riwayat hidupnya, kalau mungkin, hingga ke awal keterlibatannya di dunia teknik geologi di Hindia Belanda, sekaligus akan menggali kajian-kajian kegeologian serta kajian yang ditulisnya. Demikian pula, fase akhir dalam riwayat hidupnya, sebisa mungkin akan dibahas. Sumbernya terutama dan pertama-tama dari tulisan biografis yang dimuat dalam Nieuw Nederlandsch biografisch
14
Vol 27 No2
woordenboek (1927) ditambah guntingan koran dan majalah lama berbahasa Belanda serta karya tulis Boachi sendiri.
Sebagai Bagian dari Perjanjian
Boachi lahir di Ibukota Kerajaan Ashanti, Kumasi, pada 24 April 1827, sebagai anak sulung dari Raja Quakoe Dua I atau Kwaku Dua I Panyin (1797-1867). Kerajaan ini bertetangga dengan koloni Belanda di Pantai Guinea (Kini Ghana). Bagaimana ceritanya Boachi bisa bersekolah di Belanda? Hal ini berkaitan dengan perjanjian kerja antara Kerajaan Ashanti dan Kerajaan Belanda. Menurut T. C. McCaskie (State and Society in Pre-Colonial Asante, 2003), pada 18 Maret 1837, Kwaku Dua I, menanda tangani kontrak kerja sama dengan Raja Willem I dari Belanda.
Isi kerja sama tersebut berkisar di sekitar pengadaan tentara bayaran untuk dikirimkan ke Hindia Belanda. Kwaku berjanji akan mengirimkan 1,000 orang Afrika untuk tentara Hindia Belanda setiap tahunnya. Sebaliknya, sebagai imbalannya, dia akan mendapatkan 2,000 pucuk senjata sebagai pembayarannya, dengan janji tambahan 4,000 pucuk lagi. Ditambah, Belanda diizinkan untuk membuka agenda pencarian tentara lainnya di ibukota kerajaan Ashanti, selama beberapa tahun. Agensi ini akan dipimpin oleh seorang peranakan Belanda-Afrika, bernama Jacob Huydecoper. Hal ini memang diperhitungkan oleh Belanda, mengingat mereka melihat kenyataan bahwa Kerajaan Ashanti dan istananya mengendalikan begitu banyak tenaga manusia, yang potensial bila dijadikan tentara bayaran bagi pihak Belanda. Karena pada mulanya yang bersedia menjadi tentara tersebut berupa sukarela dengan imbalan dari pihak Belanda, maka selanjutnya para budak dijadikan pilihan. Dengan perjanjian, bila mereka mau menjadi tentara Hindia Belanda, maka mereka akan dimerdekakan. Nah, sebagai bagian dari kesepakatan antara Belanda dan Ashanti, dua pangeran Kerajaan Ashanti, yaitu Pangeran Aquasie Boachi dan Quamina Poku ditawari untuk dididik di Belanda.
Tambang di Delf dan Freiberg
Kedua anak laki-laki itu dibawa ke Belanda oleh seorang mulato sekaligus penerjemah, Welsink. Mereka mula-mula dibawa ke asrama sekolah Perancis, milik S.J.M. van Moock. Nantinya, mereka akan dibawa ke Delft. Semula Menteri Baud menginginkan keduanya bersekolah dalam misi Nasrani. Namun, keduanya menolak. Mengenai masa sekolahnya di sekolah asrama Perancis itu, kita bisa membacanya antara lain dari koran Algemeen Handelsblad, 14 Juni 1843.
Di situ ada gambaran mengenai Boachi. Katanya, “Aquasie Boachi, anak sulung Raja Ashanti, berseberangan dengan anggapan itu, pada dirinya kita melihat kecemerlangannya dalam hal memperoleh ilmu pengetahuan dalam bidang matematika, demikian juga menulis dan berbicara dalam beberapa bahasa berbeda”. Boachi memang termasuk cerdas, penurut, dan bersikap lembut dibandingkan sepupunya yang merupakan anak bibinya. Di Belanda, keduanya diundang ke istana Raja Willem II dan istana Duke Karel Bernhard van Saxony-WeimarEisenach. Keduanya diperlakukan sebagaimana layaknya para pangeran. Bahkan dengan, anak ketiga SaxonyWeimar, Hermann, Boachi terus berkorespondensi hingga Hermann wafat pada 1901. Di masa itu, Raden Saleh pernah melukis potret anakanak tersebut bersama dengan Jenderal Verveer dan hasilnya dikirimkan ke Pantai Guinea. Namun, tersangkut di Benteng Elmina. Setelah menerima ijazah sekolah pada 9 Juni 1843, Boachi yang semula diarahkan untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Leiden, rencana itu diubah menjadi ke Akademi Kerajaan di Delft (Koninklijke Academie te Delft). Pada tahun 1847, Boachi berhasil menyelesaikan pendidikannya untuk meraih tingkat akhir jurusan teknik sipil. Dia dinyatakan berhak menyandang gelar sebagai seorang insinyur tambang. Maksud direktur akademi tersebut, Dr. Gerrit Simons, Boachi berikut empat lulusan lainnya yakni E. van der Elst, S. Schreuder, F.C.H. Liebect dan O.F.U.J. Huguenin, adalah memperkerjakan mereka pada pertambangan Hindia Belanda di bawah pimpinan Cornelius de Groot, yang meskipun sudah memperoleh ijazah teknik sipil, harus mempelajari lagi ilmu tambang di Inggris di bawah arahan Professor Bleekrode. Namun, karena enggan bekerja
langsung di bawah arahan de Groot, Boachi lebih memilih memperdalam ilmu tambang. Oleh karena itu, antara bulan 1847 hingga bulan Juli 1848, dia belajar di Akademi Tambang Freiberg (Technische Universität Bergakademie Freiberg, atau Akademi Tambang Freiberg) di Saxony. Akademi ini didirikan pada 1765 oleh Pangeran Franz Xaver, bupati Saxony, berdasarkan Friedrich Wilhelm von Oppel dan Friedrich Anton von Heynitz dan merupakan universitas tambang dan metalurgi tertua di dunia. Di akademi ini, antara lain, Boachi belajar kepada Bernhard von Cotta. Pada tahun 1849, setelah berhasil menyelesaikan ujian, ia kembali ke Delft. De Groot bersama ketiga lulusan baru Akademi Delft, kecuali Van der Elst yang tetap tinggal di Belanda, siap bekerja untuk pemerintahan kolonial Hindia Belanda sejak 19 Februari 1850. Saat itu de Groot diangkat sebagai Insinyur Kelas 2, dan yang lainnya sebagai insinyur aspiran. Pada 22 April 1850, barulah Boachi bersedia bekerja untuk pemerintahan kolonial tersebut.
Bekerja di Hindia Belanda
Pada 9 September 1850, Boachi tiba di Batavia. Sejak itu, ia menjadi bulan-bulanan de Groot. Sejak kedatangannya di ibukota Hindia Belanda itu, ia diundang oleh panglima tentara Hindia Belanda, Duke Karel Bernhard of SaxonyWeimar-Eisenach, tetapi kemudian dilarang oleh Groot. Selanjutnya, Boachi banyak ditugaskan ke tempat-tempat yang sangat jauh dan mengalami perlakuan yang rasis. Misalnya, ia pada 1852 didinaskan ke Madura dan pada tahun 1853 ke Banjarmasin. Dengan surat keputusan pada 30 Desember 1853, Boachi diangkat sebagai insinyur kelas 3. Keluhannya mengenai perlakuan De Groot didengar, sehingga selama bulan April hingga Oktober, dia bekerja secara mandiri. Hasilnya, dia dapat menyelidiki keberadaan batubara di Meeuwen Bay, Karesidenan Banten,
pada tahun 1854. Sebagaimana yang terbaca dari koran Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20 Agustus 1854, kita jadi tahu bahwa “De buitengewone ingenieur Aquasie Boachi, had in April nagegaan in hoever de koolformatie, welke men aan de Meeuwenbaai …” (Insinyur yang ‘buitengewone’ Aquasie Boachi pada bulan April 1854 menyelidiki formasi batubara di Meeuwen Baai). Dan di masa-masa senggang itu pula, pada tahun 1855, dia mengadakan penyelidikan yang sama di selatan Regensi Priangan, terutama di Teluk Ciletuh. Mengenai penelitiannya di daerah selatan Sukabumi itu, kita antara lain bisa mendapatkan keterangan tambahannya dari koran Nederlansche Staats-Courant, 3 Oktober 1855. Di situ, antara lain, tertulis: “Insinyur kelas 3 yang ‘buitengewone’ Aquasie Boachi pergi ke Pelabuhan Ratu pada 25 Juni 1855. Di sana, ia dibuatkan pondok tempatnya bekerja, untuk menyelidiki batubara …”. Kemudian, ia mengeluhkan gelar insinyurnya yang diembeli-embeli oleh kata “buitengewoon” (yang berarti bawah, kekecualian atau keganjilan) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist pada awal tahun 1856. Gubernur itu tidak memuaskannya, karena katanya ia tidak bisa mengubahnya dan menyarankan Boachi untuk mempermasalahkan hal tersebut di Eropa. Dengan demikian, pada 28 Maret 1856, Boachi cuti ke Eropa. Saat mengunjungi Direktur Akademi Kerajaan di Delft, Gerrit Simons, Boachi jadi tahu bahwa arsitek di balik embel-embel “buitengewoon” adalah De Groot. De Groot dengan sengaja merencanakan hal tersebut. Mendengar hal, tersebut, Boachi berpikir bahwa selama bekerja dengan De Groot pasti dia akan selalu menjadi bulan-bulanan De Groot. Sehingga akhirnya, dengan berat hati, Boachi memilih pension dari pekerjaannya sebagai insinyur tambang.
Vol 27 No2
15
Dari catatan orang Austria, Karl Scherzer, yang pernah bertemu dengan Boachi antara 5-29 Mei 1858 di Bogor (Narrative or the Circumnavigation of the Globe by the Austrian Frigate Novara, 1862), kita jadi tahu bahwa “Aquasie Boachi bisa berbicara dalam bahasa Jerman, Inggris, Belanda, dan Perancis dengan cukup fasih, serta mempunyai ijazah sebagai insinyur tambang dari Akademi Freiberg di Saxony… Pemerintah Belanda menganggapnya sebagai korban eksperimen filantrofis, dan kini membayar insinyur muda itu sebesar sekitar £400 per tahun., dan biasanya memperkerjakannya pada penyelidikan tambang”.
Administrator Perkebunan
Boachi meminta kepada Menteri Jajahan Mr. Pieter Mijer untuk menyediakan lahan baginya sebagai ganti rugi atas janji-janji pemerintah kolonial Belanda kepada Boachi serta selama itu belum ditepati. Permintaan tersebut ditolak oleh Pieter Mijer, tetapi Boachi tahu bahwa Raja Willem III sudah memerintahkan agar memberinya kompensasi. Setelah bernegosiasi, akhirnya pada tahun 1857 diputuskan bahwa Boachi akan memperoleh uang bulanan sebesar ƒ 500 dan menyewakan perkebunan kopi seluas 710 hektar di Madiun. Kemudian dia tinggal di Soeka Radja, Madiun. Namun, sebagai administrator perkebunan, Boachi tidak cakap mengurus perkebunannya, sehingga mengalami kerugian. Pada 1894, atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. C.H.A. Van der Wijck menaikkan uang bulanan Boachi menjadi ƒ 600 per bulan. Setelah perkebunan di Madiun itu dinyatakan bangkrut, Boachi meminta lagi konsesi lahan. Kali kedua, dia diberi kesempatan untuk mengelola perkebunan di Sokasari, Bogor. Perkebunan ini pun tidak beroleh keuntungan dan dinyatakan bangkrut pada 1898. Selanjutnya, Boachi tinggal di Bantar Peuteuy, di luar kota Bogor.
16
Vol 27 No2
Sebelum itu, pada menginjak ulang tahunnya yang ke-70, Boachi sempat pula membuat ucapan terima kasih yang dimuat dalam Java-Bode, edisi 26 April 1897. Dalam ucapan terima kasih yang ditulis di “Buitenzorg, 24 April 1897”, Boachi menulis demikian: “Aan allen, die bij de viering van mijn 70 verjaardag belangstelling betoonden, mijn rechthartelijken dank” (Kepada semua orang yang menaruh perhatian kepada ulang tahun saya yang ke-70, saya ucapkan terima kasih). Demikian pula, saat memperingati ke-50 tahun masa hidupnya di Hindia Belanda, Boachi lagi-lagi menulis ungkapan terima kasihnya, kali ini dalam koran Bataviaasch Nieuwsblad, 12 September 1900. Dalam ucapan tertulis yang bertitimangsa “Buitenzorg, 9 September 1900”, Boachi menulis begini: “Inneigen dank aan allen, die op zoo treffende wijze mij blijken van belangstelling betoonden, bij de herdenking van den dag, waarop ik voor 50 jaren Indie kwam” (Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang menunjukkan minat kepada peringatan hari ke-50 tahun keberadaan saya di Hindia Belanda). Karena kesehatannya terus menurun, Boachi menghabiskan sisa-sisa akhir hidupnya di Rumah Sakit Militer Bogor hingga wafat pada 9 Juli 1904. Barang-barang milik pribadinya disita oleh pihak berwenang, bahkan sebelum ia dimakamkan. Selanjutnya, sebagaimana yang dapat dibaca dari Bataviaasch Nieuwsblad, 27 Februari 1905, di situ ada kabar begini: “BUITENZORG. Te huur met 1e Maart: Het HUIS op Bantar Pate, laatst bewoond door wijlen Prins AQUASIE BOACHI” (Bogor. Disewakan mulai 1 Maret: Rumah di Bantar Peuteuy, terakhir didiami oleh Almarhum Pangeran AQUASIE BOACHI). Menurut Arhur Japin (The Two Hearts of Kwasi Boachi, 2000), Hasil hubungannya dengan tiga perempuan pribumi (Adi, Lasmi dan Wayeng), Boachi mendapatkan tiga orang putra. Ketiganya adalah Quamin
Boachi, Quamina Aquasina Boachi, Aquasie Boachi Jr. Anak laki-laki sulung Boachi, Quamin bersekolah di Delft selama empat tahun. Persis di sekolah asrama Perancis yang dulu tempat sekolah Boachi. Sepulang dari Belanda, anak sulungnya menjadi pegawai perkebunan di daerah Priangan, sebagai mandor. Adapun anak keduanya yang merupakan perempuan, Quamina hidup sederhana. Si bungsu Aquasie Boachi Jr diketahui lahir pada 13 Februari 1890 di Bogor, dan meninggal di Beilen, Belanda, pada 23 Mei 1975. Kedua kakak-adik ini setelah Indonesia merdeka, memilih hijrah ke Belanda.
Buah Kalam dan Kajian Geologinya
Dari masa hidupnya yang panjang itu, Boachi mewariskan buah kalamnya yang dapat kita baca saat ini. Bidang yang ditulisnya bukan hanya berkisar di bidang pertambangan saja yang memang dipelajari serta digelutinya sejak di bangku kuliah, melainkan tulisan yang berkisar di sekitar pertanian dan kebudayaan pun tidak luput ditulisnya. Tulisan yang berkaitan dengan pertambangan paling tidak ada dua. Pertama, “Onderzoek naar de kolen, gevonden langs het strand der Meeuwenbaai, residentie Bantam” dalam Natuurkundig Tijdschrift van Nederlands-Indië, IX (1855), dan kedua, “Onderzoek naar het aanwezen van steenkolen in het terrein aan de Tjiletoekbaai (Preanger Regentschappen)” dalam Natuurkundig Tijdschrift van Nederlands-Indie, XI (1856). Sementara yang berkenaan dengan kebudayaan adalah “Mededeelingen over de Chinezen op het Eiland Java”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 4, nr 2 (1856) serta “De Goudkust en Siak” atau “Pantai Gading dan Siak” yang ditulisnya di “SOERABAIJA, 12 Juli 1871” serta dimuat dalam koran De Locomotief, edisi 24 Juli 1871.
Portrait of Aquasi Boachi. Sumber: Wikipedia
Adapun yang berkaitan dengan pertanian adalah “Schaduw-Boomen in Koffijtuinen” yang selesai ditulisnya di “Soeka—Radja, Residentie Madioen, 12 Dec. 1868” serta dimuat dalam koran De Locomotief edisi 11 Januari 1869. Selanjutnya, mari kita fokuskan kepada tulisannya yang berkisar di sekitar pertambangan. Untuk tulisan yang pertama ia memfokuskan kajiannya kepada penyelidikan batubara di wilayah Teluk Meeuwen, Banten. Dalam tulisan yang diselesaikannya di “Buitenzorg , den 3n Februarij 1855” itu, antara lain, ia meneliti Gunung Kendang, Tandjong Gedeh, Sungai Djoengkoelon, Tjitemoe, Tjigentong, Tjibajor, Tjinebong, dan Tjitemoe. Hasilnya, antara lain, Boachi
menyimpulkan bahwa “Meskipun lapisan dasar batubara ditemukan di Teluk Meeuwen, tetapi tidak bisa dijadikan bahan bakar berbahan fosil, bukan hanya karena lapisan fosil hewannya rendah gravitasnya serta batubaranya berkualitas rendah, melainkan karena ketambatan dan luasnya tempat ditemukannya batubara tersebut”. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk menindak-lanjuti penelitian pendahuluan tersebut. Sedangkan pada tulisan keduanya, Boachi melanjutkan penyelidikan batubara yang dilakukan oleh FW Junghuhn di Teluk Ciletuh (Zandbaai). Pada tulisan yang selesai disusun di “Buitenzorg, den 26n Oktober 1855” ini, Boachi menyebutkan bahwa penyelidikan tersebut berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertanggal 20 Mei 1855.
Selain itu, katanya, Tjiletoekbaai atau Teluk Ciletuh oleh para pelaut dikenal sebagai “Zandbaai”, yang terletak di bagian selatan Wijnkoopsbaai atau Pelabuhan Ratu. Termasuk ke wilayah Distrik Jampangkulon, Afdeeling Cianjur, Residensi Priangan. Sebagai kesimpulan atas penyelidikan tersebut, Boachi menyatakan bahwa “Batu pasir yang mengandung kuarsa serta berlapis tanah, yang ditemukan di Teluk Ciletuh, tidak disertai fosil-fosil laut yang cukup, serta mengingat saran angkatan laut untuk menambang batubara di sana, saya tidak keberatan. Namun, saya tidak menemukan adanya batubara di sana Penulis, peminat literasi dan sejarah, tinggal di Bandung.
Vol 27 No2
17
Kelurusan Merababu dan Merapi
Kerucut Gunung Merapi +2930 satu kelurusan dengan Gunung Merbabu +3145 m. Gunung Merapi terhitung aktif meletus setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak 1548 gunungapi ini meletus sebanyak 68 kali. Lereng sisi selatan berada dalam wilayah kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sisanya berada di wilayah Kabupaten Magelang di sisi barat.Di sebelah utara dan timur termasuk ke dalam Boyolali, sedangkan lereng sebelah tenggara masuk ke Kabupaten Klaten. Teks: Deni Sugandi Foto: Yunesra
18
Vol 27 No2
Vol 27 No2
19
Wangi Cengkeh Ternate Teks & Foto: T Bachtiar
Pompa angguk di blok Cepu Jawa Timur. 20 Vol 27 No2
Foto: Deni Sugandi
Danau Laguna Ternate
Vol 27 No2
21
Pulau Ternate adalah Gunung Gamalama. Pulau penghasil cengkih ini identik dengan gunung yang menjadi titik pusatnya. Gunung api yang sudah puluhan kali meletus, melelerkan lava dan menyemburkan abu dan pasir, menyusun perlapisan yang saling bertumpuk antara batu pejal dan lahar yang membentuk lereng dan tubuh gunung. Begitu keluar dari Bandar Udara Sultan Babullah, akan langsung dihadapkan pada potongan batu pejal yang yang terpotong. Begitulah adanya, tubuh gunung ini, sekelilingnya dilapisi material letusan gunung api.
22
pada masa keemasan rempah-rempah terkenal dengan nama Gilolo (Jailolo).
Jalan raya dibangun mengelilingi pulau, rata-rata berada pada ketinggian 10 m.dpl., melewati dan memotong material letusan Gunung Gamalama, seperti memotong batuangus, aliran lava dari letusan bulan Maret 1737. Karena warna batunya yang gosong, masyarakat menyebut aliran lava itu batuangus. Aliran lava 279 tahun yang lalu itu, kini sebagian sudah ditata menjadi Taman Batuangus, upaya positif untuk menjadikan material letusan gunung api sebagai tujuan geowisata, menjadi laboratoium alam untuk pembelajaran dan pendidikan.
Dari perairan sekeliling Pulau Ternate, terlihat bentuk pulaunya sangat khas, dasarnya berbentuk lingkaran, sedikit landai di sekitar pantai, dan mengerucut di bagian tengahnya, terlihat seperti topi petani yang mencuat tajam ke arah puncak. Keseluruhan pulau seluas 92,12 km2 ini berupa pulau gunung api, tingginya 1.715 m.dpl. Nama gunung yang menjulang menaungi pemukiman di sekelilingnya adalah Kie Gam Lamo, yang bermakna gunung di negeri yang besar. Gam Lamo, pengucapannya kemudian berubah menjadi Gamalama sampai sekarang, dengan pusat letusannya berada di puncak gunung ini. Secara geomorfologis, ciri topografi Pulau Ternate sebagian besar berupa gunung dan berbukit, dilapisi tanah yang relatif tipis karena dasarnya berupa aliran lava pejal dan lahar yang menyusun lereng gunung. Dengan tingkat kelerengan yang besar, kawasan ini idealnya menjadi kawasan konservasi dan zona penyangganya berupa hutan produksi dengan pohon keras seperti cengkih dan pala.
Bila pulau ini dibagi dua dengan titik pusatnya Gunung Gamalama, maka bagian timur pulau sedikit lebih lebar, dengan bagian yang landainya lebih lebar. Bagian pulau yang memiliki dataran yang landai dan lebih lebar, sekitar 2 km sampai ketinggian 100 m.dpl., kawasan itulah yang paling banyak dihuni oleh masyarakat Ternate, terutama yang berada di bagian Selatan - Tenggara – Timur pulau, termasuk Kota Ternate yang berada di tenggara gunung ini. Selain relatif lebih landai bila dibandingkan dengan sisi pulau bagian barat dan utara, bagian selatan dan timur ini relatif lebih terlindung dari angin yang datang dari barat – barat laut, juga angin yang datang dari timur - tenggara, karena di bagian timur terhalang oleh Pulau Halmahera yang memanjang utara – selatan, yang
Di pulau gunung api inilah Kesultanan Ternate digagas. Semula hanyalah kerajaan kecil yang bernama Kerajaan Gapi, yang mulai ramai pada awal abad ke-13. Kerajaan ini berpusat di Kampung Ternate, yang berkembang semakin besar dan ramai, sehingga penduduk menyebutnya Gam Lamo atau kampung besar. Pada mulanya, di pulau ini terdapat empat kampung yang dikepalai oleh seorang momole, kepala marga. Momole inilah yang pertama kali mengadakan hubungan dengan pedagang dari luar yang mencari rempah-rempah, seperti pedagang Arab, Jawa, Melayu, dan Cina. Kegiatan perdagangan di sini semakin ramai, ditambah sering adanya ancaman dari perompak, maka diadakanlah musyawarah atas gagasan dari para momole, untuk
Vol 27 No2
membentuk dan mengangkat seorang pemimpin sebagai raja. Pada tahun 1257, momole Sampalu terpilih sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (12571272). Ternate berkembang semakin besar, namanya jauh lebih populer dari pada nama Gapi, sehingga secara lisan, nama kerajaan itu menjadi Kerajaan Ternate, yang semula sebuah kerajaan di pulau yang kecil, menjadi kerajaan yang berpengaruh di Hindia Timur, kekuasaannya mencakup Maluku, Sulawesi Utara, Timur, dan Tengah, bahkan mencakup sebagian selatan kepulauan Filipina hingga Kepulauan Marshall di Pasifik. Jalanan berkelok menanjak. Pohon cengkih menjulang, berbaris rapi di lereng gunung. Cengkihlah yang telah membawa Ternate ke puncak kejayaannya. Cengkih (Eugenia aromatica) dan pala (Myristica succadewa BL) tumbuh subur di lereng-lereng Gunung Gamalama. Dua jenis rempah, khususnya cengkih, membuat Pulau Ternate menjadi sangat terkenal dan menjadi rebutan pada abad ke 16. Bahkan, bila menyebut Maluku, seolah identik dengan lima pulau kecil di barat Pulau Gilolo (Halmahera), yaitu: Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Kekayaan alam yang sudah menjadi sejarah bagi Maluku, bagi Ternate, maka dua jenis rempah itu, cengkih dan pala, diangkat menjadi bagian dalam lambang Kota Ternate, serta ikan pari di tengahnya, lambang pulau yang dikelilingi laut sebagai sumber kehidupan warganya. Berjalan mengelilingi Pulau Ternate tidak akan lepas dari bayangan Gunung Gamalama dan laut. Luas wilayah perairannya 41 kali lebih luas dari pada daratannya. Luas lautnya 5.457,55 km2, dan wilayah daratannya hanya 133,74 km2. Di utara, Pulau Ternate berbatasan dengan Samudera Pasifik dan perairan selatan Filipina. Di selatan dan barat berbatasan dengan
Reruntuhan Benteng Kastela Ternate.
Laut Maluku, dan di sebelah timur berbatasan dengan pantai barat Halmahera. Keniscayaan hidup di pulau gunung api, warga yang bermukim di sekeliling Gunung Gamalama, gunung api yang sangat aktif, harus pandai menjaga irama kehidupan, kapan dapat memanfaatkan keberkahan gunung dan laut, serta kapan harus menghindar bila gunung itu sedang membangun dirinya. Dinamika alam, letusan gunung api, guncangan gempabumi, tak mungkin dapat ditolak. Itulah takdir alam, hidup di kawasan dalam belitan cincin api dunia. Manusialah yang harus pandai menimbang, bagaimana hidup dan membangun kehidupan di kawasan yang sangat rawan. Ada 12 sungai di sekeliling Gunung Gamalama yang hulunya berada di sekitar puncak. Sungai-sungai inilah yang akan menghantarkan lahar bila terjadi letusan gunung yang henghebuskan debu dan pasir. Material letusan yang jatuh di lereng
gunung akan segera turun bila hujan menyiram. Pemukim di sepanjang pinggiran aliran sungai, harus waspada bila hujan tiba. Ternate sudah sangat popular sejak lama. Tertulis dalam berbagai catatan dan peta-peta perjalanan. Dalam catatan perjalanan Tome Pires, Suma Oriental, Perjalanan dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, tulisan dan petanya menjadi panduan untuk menuju Hindia Timur. Tome Pires menulis panjang tentang pulau penghasil rempah-rempah ini. “Kepulauan Maluku penghasil cengkih ini terdiri dari lima pulau. Pulau utamanya yakni: Ternate, dilanjutkan oleh Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Kelima pulau ini menghasilkan setidaknya 6.000 bahar cengkih setiap tahun – kadang-kadang bahkan 1.000 bahar lebih banyak, atau kadang juga 1.000 bahar lebih sedikit. Benar, bahwa 500 resi yang bisa membeli barang-barang di Malaka, dapat digunakan untuk membeli 1 bahar cengkih di Maluku.
Di Malaka, pada saat penawaran tinggi, cengkih bisa dihargai 9 atau 10 cruzado setiap bahar-nya. Sedangkan pada saat penawarannya rendah, cengkih dihargai 12 cruzado untuk setiap bahar-nya. Ternate merupakan pulau utama dari kelima pulau lainnya….” Dorongan untuk mendapatkan rempah-rempah di daerah asalnya, karena perbedaan harga yang sangat menggiurkan, walau risiko dalam pelayaran yang memakan waktu berbulan-bulan dan sangat membahayakan. Sebagai contoh, dalam keterangan gambar di sebuah apotek yang menjual rempah-rempah tertulis, “Sepuluh pon pala seharga satu penny di Hindia Timur, di Inggris dijual dengan harga 50 shilling. Para apoteker meraup keuntungan besar dari bola-bola ramuan mereka, terutama selama wabah. “Aku akui pala-pala itu mahal,” tulis salasatunya, “tapi obat-obatan murah semahal kematian.” (Giles Milton, Pulau Run).
Vol 27 No2
23
Kuliner Ternate berupa kasbi, gohu, sagu lempeng, pisang mulu bebe dan ikan bakar.
Perebutan pengaruh untuk mendapatkan rempah-rempah di Hindia Timur ini penuh keserakahan, intrik, insiden, dan kebiadaban. Perang dan pembantaian menjadi hal yang dianggap seharusnya terjadi dalam persaingan untuk mendapatkan pengaruh agar mempunyai hak monopoli atas pembelian rempah-rempah. Bagaimana kebiadaban dilakukan antara Portugis dengan Spanyol, Portugis dengan Belanda, antara Belanda dengan Inggris, serta antara Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris terhadap penduduk di suatu pulau rempah-rempah di Hindia Timur. Sultan yang mempunyai hak monopoli dalam menjual rempahrempah di daerahnya, keadaan sosial-ekonominya sangat kaya-raya, seperti yang digambarkan oleh Drake (1579) dalam laporannya. Drake menguraikan keadaan Sultan sebagai berikut: “Raja dilindungi payung yang berhiaskan emas. Demikian pula tutup kepalanya terbuat dari emas
24
Vol 27 No2
dijalin yang lebarnya kira-kira satu inci. Di lehernya memakai kalung emas murni. Kalung itu sangat besar dan dilipat ganda. Tangan kirinya berhiaskan berlian, zamrud, batu delima, dan turki. Semenara itu, tangan kanannya memakai sebuah cincin yang bermata batu turki besar dan sebuah cincin yang bermata berlian�.
batas Bacan, adalah daerah asal cengkih. Selain cengkih, Ternate juga menghasilkan pala yang bunganya didapat dari Irian dan pulau-pulau sekitarnya. Keuntungan yang didapat dari rempah-rempah sangat besar. Saudagar-saudagar memberi emas, perhiasan, dan barang-barang buatan Eropa dan India sebagai alat pembayaran.
Pulau Ternate sangat terkenal pada saat itu, menarik naturalis Alfred R Wallace untuk datang ke sana. Pada tanggal 8 Januari 1858, Wallace sampai di sana, dan menulis, “Dekat rumah saya ada benteng yang dibangun orang Portugis. Di bawah benteng terdapat dataran terbuka sampai ke pantai, dan di baliknya ada kota yang merentang kira-kira satu mil ke timur laut.�
Setelah orang Belanda datang, dan menanamkan pengaruh di Ternate, mereka berusaha mengambil alih perdagangan rempah-rempah. Untuk mencapai tujuan ini, Belanda menerapkan prinsip memusatkan perkebunan rempah-rempah di daerah-daerah yang langsung berada di bawah kekuasaan mereka. Agar hal itu dapat terlaksana, perkebunan dan perdagangan rempah-rempah di daerah-daerah harus dihapuskan. Tujuan ini dapat dicapai melalui perjanjian-perjanjian dengan rajaraja setempat untuk menghancurkan pohon rempah-rempah di daerah mereka. Sebagai imbalan, raja-raja tersebut mendapatkan perlindungan
Tentang kekayaan Sultan, Alfred R Wallace menulis, bahwa sumber kekayaan Sultan berasal dari: “Hasil perdagangan rempah-rempah yang dimonopolinya. Ternate dan jejeran pulau kecil ke selatan dengan
Kebun cengkeh di lereng Gamalama.
dari serangan Portugis.� (Alfred R Wallace, Menjelajah Nusantara). Berjalan sedikit keluar Kota Ternate dan mendaki punggungan gunung, di sana akan menemukan wangi cengkih dan pala yang masih terjaga dengan baik, dikelola oleh masyarakat dengan penuh suka-cita. Cengkih dan pala inilah yang pernah menjadi rebutan saudagar Eropa pada masa lalu. Sejarah cengkih masih tersimpan di lereng gunung, di sana terdapat cengkih affo 2, walau sebagian pohonya sudah mulai mengering. Wangi dan rasa cengkih yang dikunyah, pernah menjadi gengsi bagi bangsawan Eropa pada abad ke 16-18. Komoditas inilah yang menjadi obat herbal di Eropa saat terjadinya wabah. Kini, cengkih dan biji pala sudah diketahui mempunyai banyak khasiat yang menyehatkan. Kini, daging buah pala yang selama ini dibuang sebagai limbah, sudah dimanfaatkan menjadi sirup pala, dan menjadi produk unggulan dari Kota Ternate yang bernilai ekonomi, sudah
menjadi cinderamata. Siang yang menyengat. Suhu udaranya rata-rata berkisar antara 23o C – 32o C. Beristirahat sambil makan siang di Pantai Sulamadaha, pantai yang sudah dikelola menjadi tempat wisata. Di bawah naungan pohon, mencoba makanan khas Ternate adalah yang paling menyenangkan. Sekeliling Pulau Ternate adalah laut. Berbagai jenis ikan bisa didapat dari perairan lautnya. Pulaunya berupa gunung api dengan lereng yang terjal, kurang air, menyebabkan tidak ada tradisi bersawah di sini. Lahan kering dijadikan kebun cengkih dan pala, sebagian lagi ditanami pisang mulubebe dan kasbi/singkong. Di muara sungai terdapat sagu, yang kanjinya menjadi sumber makanan menjadi pupeda. Jadi, sangat beralasan bila kuliner Ternate banyak memanfaatkan hasil laut, seperti ikan tuna dan cakalang. Paling cepat tersaji, bila ikan laut itu dipanggang, lalu dimakan dengan colo-colo.
Karbohidratnya dari pupeda, pisang mulubebe, kasbi/singkong, atau sagu lempeng, baik sagu lombo (lembek), atau sagu karas (keras). Makan pupeda dengan sumpit, dicelupkan di ikan kuah kuning, lalu menyeruput kuahnya. Pupeda itu kanji yang terbuat dari tepung sagu, tapi sekarang ada juga yang terbuat dari kanji kasbi. Selain ikan kuah kuning, ada masakan berbahan dasar ikan yang terkenal di Ternate, yaitu gohu, sejenis sasimi setengah matang, walau pun tidak semua rumah makan di sana menyajikannya. Gohu enak dimakan dengan rebus kasbi atau rebus pisang mulubebe, ditambah sayur garu dan gudangan. Dari ketinggian, terlihat Kota Ternate terus berkembang, namun pengembangan wilayahnya sangat dibatas faktor alam. Kota ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, terdapat pelabuhan samudera Ahmad
Vol 27 No2
25
Benteng Tolluco Ternate.
Yani dan Bandar Udara Sultan Babullah, menjadi faktor penarik yang menyebabkan perkembangan penduduk Kota Ternate terus meningkat. Penduduk berdatangan dari Sulawesi, Ambon, Papua, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Kepadatan rata-rata penduduk Kota Ternate mencapai 865 jiwa/km2 dengan laju pertumbuhan rata-rata 3%. Dengan perkembangan penduduk yang pesat, maka pusat-pusat rekreasi bagi warga kota menjadi semakin mendesak untuk memberikan suasana nyaman bagi warga kota. Pusat rekreasi pantai, taman kota, menjadi tempat rekreasi yang banyak dikunjungi warga kota dan wisatawan. Tujuan wisata alam yang banyak dikunjungi adalah Pantai Sulamadaha, Taman Batuangus, Danau Tolire Jaha, Tolire Kecil, dan Danau Laguna. Ketiga danau alam itu berupa kawah hasil letusan gunung
26
Vol 27 No2
api tipe maar. Singgah di Danau Tolire Jaha, di sana sudah banyak warung penjual goreng pisang dan kelapa muda. Danau maar Tolire Jaha terbentuk karena terjadinya letusan freatik yang dahsyat pada tanggal 5 September 1775, yang dipicu oleh gempa tektonik yang besar. Gempa itu telah memperbesar rekahan yang menjadi jalan terjadinya kontak antara panas dari intrusi magma dengan air tanah, yang mengakibatkan terjadinya letusan freatik kedua pada tanggal 7 September 1775. Lokasi letusannya persis di dalam bumi Desa Soelatakomi, sekitar 1,5 km sebelah baratdaya dari Desa Takomi sekarang. Peristiwa alam ini memakan korban 141 orang penduduk, yang hilang ditelan bumi. Letusan freatik di kaki Gunung Gamalama itu membentuk kawah bergaris tengah 750 m (bagian atas) dan 350 m bagian dasar, dengan kedalaman antara 40 - 50 m.
Sekeliling Pulau Ternate banyak didirikan benteng pertahanan. Cengkih inilah yang menjadi alasan bagi bangsa Barat untuk membangun benteng pertahanan, saksi, betapa cengkih menjadi komoditas yang sangat berharga yang dipertahankannya dengan segala cara, termasuk cara-cara yang keji. Sebelum bangsa-bangsa Eropa datang, sudah ada saudagar Cina dan Arab di Ternate untuk berniaga rempah-rempah. Portugis adalah bangsa Barat yang pertama datang di Ternate pada tahun 1512. Setelah itu, Spanyol menyusul di Tidore. Dalam catatan kolonial, di Pulau Ternate dibangun 12 benteng, termasuk Benteng Kalafusa, benteng yang dibuat dari kayu. Saat ini tercatat ada delapan benteng di Pulau Ternate, yaitu Benteng Oranje, Tolukko, Kalamata, Kastela, Kota Janji, Bebe, Kota Naka, dan Takome. Letak
Danau Tolire Jaha, Ternate.
Benteng Talang Ame dan Benteng Brogh tidak diketahui letaknya. Namun, hanya empat dari delapan benteng yang kini menjadi tujuan wisata sejarah, yaitu: Benteng Oranye, Benteng Tolukko, Benteng Kalamata, dan Benteng Kastela. Jejak kolonial Portugis di Hindia Timur mulai tahun 1512 sampai tahun 1641, meninggalkan luka sejarah yang dalam, namun juga menumbuhkan jejak budaya yang kuat sampai saat ini, seperti dalam berbahasa. Banyak kata yang diserap dari bahasa Portugis, seperti: bandera (bendera - bandiera), pai (ayah - pai), mai (ibu - mai), patatas (kentang batatas), kasbi (singkong - cassava), marsegu (kelelawar - morcego), capeu (topi - capeo), sapatu (sepatu – capatu - sapato), tuturuga (penyu - tartaruga), tempo (waktu - tempo), martelu (palu/ martil - martelo), pombo (merpati - pombo), feneti (peniti - alfinete), seka (usap - seka), babengka (kue -
bibingka), goropa (kerapu - garoupa), kartas (kertas - cartaz), pasiar (pesiar - passear), laguna (danau - laguna), calana (celana - chalana), bastiong (bagian benteng - bastian), dan masih banyak lagi. Dari seberang lapangan yang luas, terlihat Keraton Sultan Ternate berdiri megah di atas Bukit Limau Santosa. Keraton ini dibangun di lahan seluas 44.560 m2 pada tahun 1810, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali. Bangunan keraton berbentuk limas segi delapan dengan dua tangga di sisi kanan dan kiri. Kondisinya masih utuh dan terawat baik. Di halaman keraton terdapat lapangan yang biasa dijadikan tempat upacara adat kesultanan. Di dalam keraton terdapat singgasana Sultan berwarna kuning keemasan. Di sekeliling ruangan tersimpan bendabenda bersejarah koleksi keluarga Sultan, seperti koleksi pakaian adat kerajaan, senjata perang, koleksi
hadiah dari para penguasa Belanda dan Portugis. Masyarakat Ternate, dari generasi ke generasi telah melewati perjalanan hidup yang sangat panjang, tinggal di pulau gunung api yang subur namun rawan dari ancaman letusan dan guncangan gempa. Hidup dalam keterbatasan alam telah melahirkan kearifan hidup serasi dengan alam, rukun dan damai hidup bermasyarakat. Keserasian hidup itu tercermin dalam semboyan yang tertulis dalam lambang Kota Ternate, Maku Gawene, mengandung makna untuk saling menyayangi, cinta-kasih sesama manusia dan dengan seluruh makhluk Tuhan.* Penulis adalah Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung
Vol 27 No2
27
Lokasi penambangan Kalapanunggal.
28
Vol 27 No2
Tambang Karst Kalapanunggal Bogor Teks & Foto: Aminul Wahib
Kelapanunggal adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Bogor bagian timur laut. Pencapaian lokasinya sangat mudah karena bisa melewati pintu keluar jalan tol Jagorawi di Gunungputri, selanjutnya menuju ke pabrik semen Holcim di jalan raya Narogong. arah cileungsi di jalur yang bersebelahan dengan pabrik semen yang berada di daerah tersebut. Sebaran batugamping yang cukup luas, sekitar 6.750 ha, menempati bagian timur Kabupaten Bogor, di wilayah Kecamatan Kelapanunggal.
Secara geologi, batugamping ini merupakan bagian dari bebatuan dalam Formasi Kelapanunggal yang berumur Miosen Tengah. Formasi yang batuannya berupa batugamping koral bersisipan dengan batugamping pasiran dan napal serta batupasir kuwarsa ini menempati areal perbukitan di sebelah selatannya jalan raya Narogong yang menghubungkan
kawasan Gunung Puteri dengan Cileungsi. Dari lintas jalan raya Narogong ini, kawasan perbukitan batugamping tersebut menampakkan indikasi eksokars berupa banyaknya bukitbukit yang berbentuk sinusoid. Memasuki kawasan perbukitan ini dari samping kantor Polsek Klapanunggal, bentuk bukitbukit tersebut semakin jelas mengindikasikan sebagai ciri kawasan kars. Beberapa mata air muncul di kawasan perbukitan ini, bahkan sungai bawah tanah serta gua dengan stalaktit dan stalakmidnya sebagai unsur endokars juga bisa ditemukan, semakin menguatkan bahwa kawasan ini adalah kawasan kars. Penambangan batugamping yang cukup besar di kawasan ini sudah berlangsung cukup lama, setidaknya semenjak beroperasinya dua pabrik semen di daerah ini yaitu P.T. Indocement dan P.T. Holcim. Hak penambangan dikantongi kedua perusahaan tersebut berupa Ijin Usaha Penambangan (IUP) dengan luasan masing-masing sebesar 2.646 ha dan 817 ha, serta dengan persyaratan yang tentu saja mengacu antara lain pada ketentuan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan usaha pelestarian lingkungan hidup, P.T. Indocement antara lain membatasi ketebalan penambangan batugamping seperti di sekitar munculnya sungai bawah tanah Cikukulu serta mengalokasikan areal seluas sekitar 3 ha di sekitarnya untuk konservasi. Pemunculan sungai bawah tanah Cikukulu di bagian barat daya kawasan batugamping Kelapanunggal ini debitnya lebih dari 75 liter/detik saat musim pancaroba bulan November 2016. Debit ini diklaim oleh fihak perusahaan lebih besar dibanding sebelum dilakukannya penambangan batugamping dahulu. Meski demikian, pengaruh penambangan batugamping terlihat setidaknya
Vol 27 No2
29
Danau yang terbentuk sisa penambangan batugamping.
dengan keruhnya air sungai bawah tanah tersebut ketika malam harinya hujan mengguyur kawasan ini. Aliran sungai bawah tanah yang muncul ke permukaan tersebut merupakan salah satu anak sungai dari sungai Cileungsi. Selain sungai bawah tanah Cikukulu, juga terdapat sungai bawah tanah yang mengalir di dasar gua Ciranji di bagian tenggara kawasan batugamping Kelapanunggal. Aliran sungai ini kemudian muncul ke permukaan melalui mulut sungai bawah tanah Cibuntu. Di bagian tenggara ini juga terdapat gua Inteun sebagai gua berair. Butir-butir air masih terlihat menetes melalui ujung stalagtit ke stalagmid di dasar gua. Kawasan batugamping di bagian tenggara ini berada dalam wilayah IUP P.T. Indocemen meskipun saat ini bukan sebagai daerah yang tertambang. Di bagian barat kawasan
30
Vol 27 No2
batugamping Kelapanunggal yang berada di dalam wilayah IUP P.T. Holcim juga terdapat gua Sicepot yang di bagian dasarnya mengalir sungai bawah tanah. Aliran ini kemudian keluar di mulut sungai bawah tanah Cipintu. Di sekitar gua Sicepot juga terdapat lembah dolina yang memiliki lubang-lubang sebagai masuknya air hujan ke dalam tanah. Seperti halnya P.T. Indocemen, areal perbukitan di sekitar gua Sicepot termasuk lembah dolina dan mulut sungai bawah tanah Cipintu juga merupakan kawasan yang dikonservasi oleh P.T. Holcim. Pengaruh penambangan batugamping di sini juga terlihat dari agak keruhnya air sungai bawah tanah Cipintu kurang dari 24 jam setelah hujan mengguyur kawasan ini. Aliran air Cipintu tersebut menuju ke persawahan di sebelah baratnya. Di luar kedua perusahaan semen tersebut, juga terdapat penambangan rakyat yang mengambil posisi di
bagian timur kawasan batugamping Kelapanunggal. Penambangan ini relatif semarak termasuk juga dengan menggunakan alat-alat berat. Puluhan truk bermuatan batugamping setiap harinya diangkut dari kawasan ini. Penambangan mereka antara lain telah merambah beberapa bukit kars di bagian timur laut daerah sebaran batugamping ini. Diantara perbukitan yang ditambang merupakan tempat munculnya mata air Cigumbala. Selain itu, penambangan rakyat ini juga telah menghilangkan sebagian perbukitan yang didalamnya mengalir sungai bawah tanah sehingga alirannya muncul ke permukaan sebelum masuk kembali di bawah tanah melewati gua Cilalay hingga akhirnya keluar kembali sebagai hulu dari salah satu anak sungai Cikarang. Meski penambangan di kawasan batugamping Kelapanunggal ini cukup ramai, namun sebagian besar wilayah sebaran bnatugamping
Ornamen yang masih tumbuh di gua Kalapanunggal.
tersebut masih belum tertambang. Diantara bagian yang belum tertambang tersebut berada di bagian timur yang menjadi tempat munculnya sungai bawah tanah Bagogog di areal pemukiman desa Bagogog. Sungai bawah tanah ini mengalir keluar ke persawahan untuk selanjutnya menjadi bagian dari salah satu anak sungai Cikarang. Selain itu juga terdapat sungai bawah tanah Sodong yang mengairi lahan persawahan di daerah ini disamping sebagai sumber air bersih bagi PDAM setempat. Di bagian timur batugamping Kelapanunggal yang belum tertambang ini juga muncul mata air Cipancar dengan debit sekitar 3 liter / detik dan telah diturap oleh masyarakat setemapt baik sebgai sumber air bersih melalui perpipaan sederhana maupun sebagai sumber air kolam ikan dan pertanian. Fungsi kawasan kars daerah ini
sebagai areal yang mensuplai air bagi kawasan sekitarnya diperkirakan akan semakin terasa ketika kawasan pemukiman yang berkembang di daerah ini seperti komplek perumahan semakin menjamur. Sementara di sisi lain, permintaan batugamping untuk kelangsungan pabrik semen dan lainnya yang berada di daerah ini juga demikian besar. Dari sisi keunikan bentukan alam berupa gua dengan hiasan stalagtit dan stalagmidnya juga bisa terancam hilang oleh penambangan. Padahal proses alamiah untuk terbentuknya keunikan terbut mnemerlukan waktu yang cukup lama, karena menurut analisa Ruswanto (2009) terhadap stalaktitstalakmid di gua Petruk, Gombong selatan, Jawa Tengah, menyebutkan bahwa dalam waktu setahun hanya terbentuk stalaktit sepanjang 0,33mm. Maka akan terbayangkan betapa lama pembentukannya jika suatu stalaktit dalam beberapa gua
di kawasan kars Kelapanunggal yang panjangnya bisa melebihi 0,5 meter. Belum lagi waktu yang diperlukan dalam pelarutan batugamping sehingga membentuk alur sungai bawah tanah. Sebuah usaha untuk menjaga keseimbangan alam dalam situasi semacam ini tentunya sangat diperlukan. Produk hukum yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelamatkan kawasan kars tersebut saat ini berupa Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral R.I. nomor 17 tahun 2012 tentang penetapan kawasan bentang alam karst. Kawasan dimaksud merupakan kawasan lindung geologi sebagai bagian dari kawasan lindung nasional. Penulis adalah Perekayasa Madya di Pusat Air Tanah Dan Geologi Tata Lingkungan
Vol 27 No2
31
Partisipan dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi. Foto: Istimewa
Penjelasan kepaoa pengunjung di booth PATGTL, BG. Foto: Istimewa
32
Vol 27 No2
Pengembangan Geowisata Sumatra Selatan Tursanti Dewi & Nanda Annisa
Dalam rangka memeriahkan HUT Kota Palembang ke-1334 dan dalam rangka menuju Asian Games 2018 serta Palembang Emas 2018, Pemerintah Kota palembang dan PT. Produta Promosindo menggelar acara “The 7th Palembang Expo 2017” dengan tema “Pameran Produk/Jasa Unggulan Kerajinan dan Wisata Nusantara”. Acara akan berlangsung selama 5 hari (27-31 Juli 2017) di Palembang Sport dan Convention Center (PSCC) jl. POM IX Palembang, Sumatra Selatan. Peserta yang mengikuti pameran berasal dari Dinas & Badan sektor publik Pemkot. Palembang, Pemkab & Pemkot se- Sumatra Selatan, Kementerian, Pemprov/Pemkot/Pemkab se-Indonesia, BUMN/ BUMD & mitra binaan, pelaku usaha perdagangan, industri & pariwisata, asosiasi/ organisasi/ lembaga terkait serta swasta nasional & pelaku SDM. Tujuan diadakannya Palembang Expo yaitu untuk meningkatkan produksi Indonesia khususnya kerajinan, mensosialisasikan pembangunan / potensi daerah kepada masyarakat, memberikan sarana rekreasi dan hiburan kepada masyarakat serta mempromosikan produk-produk dalam negeri dan meningkatkan daya saing masyarakat di pasar global. Partisipasi Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi dalam pameran kali ini adalah menjelaskan pentingnya kegeologian dalam pembangunan wilayah. Salah satunya pengembangan geowisata di kawasan Sumatra Selatan. Menurut pakar Geopark, Oki Oktariadi (Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan – Badan Geologi) potensi geowisata di Sumatra Selatan cukup banyak dan variatif, diantaranya Danau Kaldera Ranau, Bukit Jempol Lahat, Air terjun Lematang, Gunung Dempo, Dataran tinggi Pagaralam, Goa Putri, dan keragaman oxbow di Sungai Musi. Geowisata merupakan inovasi produk wisata yang sudah
teruji meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat. Geowisata merupakan suatu bentuk pariwisata yang secara khusus memfokuskan pada “cerita” geologi dan lanskap yang membentuk karakter suatu wilayah. Masih menurut Oki, bahwa Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan terkuat di pulau Sumatra juga memberi banyak pengaruh pada budaya dan pembangunan wilayah di Sumatra Selatan. Pada masa Sriwijaya, kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama – daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung. Saat ini tata wilayah tersebut masih diadopsi, contohnya Palembang sebagai ibukota Sumatra Selatan dan derah hulu sebagai daerah pendukung. Namun pengembangan geowisata juga tidak dapat bekerja dan terbangun sendiri, dibutuhkan peran stakeholder dan shareholder untuk mendukung terwujudnya geowisata di Sumatra Selatan, khususnya Kota Palembang. Badan Geologi sebagai penyedia layanan informasi geologi sangat terbuka dengan data hasil penelitian dan penyelidikan. Hal ini bertujuan agar masyarakat sadar pentingnya memahami geologi sebelum akhirnya berinvenstasi. Harapan Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan dengan adanya Palembang Expo 2017, masyarakat dapat menggiatkan geowisata di Sumatra Selatan, agar kedepannya dapat memberikan nilai ekonomi pada masyarakat dan sekaligus meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan juga upaya konservasi. Penulis adalah PNS di Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi
Vol 27 No2
33
Senja Tepi Pantai Kuma di Lembata
Pantai Kuma terletak di pesisir timur Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tampak di seberang Ile Lowetolok atau dikenal juga sebagai Ile Ape. Ile dalam bahasa lokal berarti Gunung. Lowetolok adalah nama keluarga leluhur di Lembata. Sedangkan Ape berarti Api. Ya, Gunung Lowetolok adalah Gunung Api yang masih aktif. Laut antara Pantai Kuma dengan Ile Lowetolok adalah jalur lalu lalang paus. Warga disini bilang, bila paus mulai berdatangan dari barat, maka akan datang musim hujan. Bila paus berdatangan dari timur, musim kemarau akan tiba. Foto & Teks: Ronald Agusta
34
Vol 27 No2
Vol 27 No2
35
36
Vol 27 No2
Rudy Suhendar:
Hidup Mengalir Seperti Air Deni Sugandi
Vol 27 No2
37
Tidaklah sesulit yang dibayangkan, pertemuan ini memang dirancang langsung oleh Pemimpin Redaksi BGTL, sebagai rangkaian wawacara untuk melengkapi setiap edisi majalah geologi populer ini. Namun sebelumnya sempat terkecoh dengan alamat kantor lama, yang menunjukan bila kantor tersebut telah pindah alamat. Mesin pencari pintar yang kami andalkan selalu mengarahkan ke tempat itu bila mengetik “Inspektorat Jenderal ESDM”, yang nyatanya telah berpindah ke tempat lain, persis di belakang hotel mewah Jakarta Pusat. Kami menemui Rudy Suhendar, yang kini duduk sebagai Sekretaris Jenderal, Inspektorat Jenderal Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebelumnya menduduki jabaratn Kepala Pusat (Kapus) Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, dari 2013 hingga 2017. Kurang lebih memasuki durasi dua bulan, sejak meninggalkan Badan Geoogi, bergabung dengan Itjen KESDM di Jakarta. Wawancara yang jauh dari kesan normal dibuka dengan perbincangan ringan, mulai membahasa situasi terkini politik negeri, hingga memperbincangkan sesuatu yang tidak terlalu berat, semuanya mengalir seperti moto hidup Rudy “kehidupan seperti air sungai, mengalir dari tempat tinggi dan mencari jalan sendiri ke dataran rendah”. Dari pembuka inilah saya bisa melihat sosok mantan Kepala Pusat yang bersahaja dan sederhana. Kesan inilah yang mengantarkan wawancara jelang sore, untuk melengkapi artikel segmen profile majalan geologi populer BGTL, penerbitan Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, Kementerian ESDM.
38
Vol 27 No2
Bayangannya kembali menerawang 57 tahun yang lalu, lahir dan tumbuh besar di lingkungan pegunungan. Jajaran perbukitan yang mengapit sungai Ci Dadap, berasal dari lereng Gunung Kendeng di sebelah selatan Cililin. Perbukitan, lembah dan sungai menjadi keseharian waktu kecil. Kenangan tersebut kelak menjadikannya seorang ahli tafsir bumi, geologist yang mengupas rahasia alam. Orangtuanya seorang guru sejak tahun 1960-an, kemudian akhir 80-an hijrah ke Bandung beserta keluarga, termasuk Rudy kecil. Ia menghabiskan seluruh pendidikan dasar hingga menengah atas di Bandung. “Mungkin saya tidak pernah ke mana-mana, hanya di Bandung terus, tidak tahu kenapa” ungkapnya, menjelaskan kenapa kota Bandung selalu memikatnya untuk menetap. Hingga menikah dengan Trisna Yuliana di kota ini, walaupun “mantan pacar” dari kota Ciamis, tutup Rudy. Kenangan hidup di lingkungan kampung, memberikannya motivasi untuk mecintai alam, yang ia pegang terus hingga melanjutkan studi-nya ke bidang ilmu kebumian. Rudy kecil dari kampung mengenal betul aktifitas susur sungai, gunung hingga lembah, yang kini nyaris hilang tergantikan oleh gawai dan media sosial online. Rudy menceritakan bahwa alam yang ia jejaki setiap hari di lingkungan kelahiran orang tuanya, menyimpan rahasia yang selalu ia ingin ketahui. Bentukan-bentukan alam dan morofologi bentang perbukitan, selalu menjadi tanda tanya besar, bagaimana bumi membentuk rupa seperti demikian rupa. Ketertarikan tersebut kemudian menjadi modal dasar melanjutkan cita-citanya untuk membuka tabir rahasia alam melalui ilmu kegeologian. Sungai yang menjadi ruang bermain masa kecilnya, kemudian dikupas
melalui pengetahuan teknis yang ia dapatkan kelak diperguruan tinggi, ilmu hidrogeologi. Saat ia duduk sebagai siswa sekolah dasar di Bandung, pengetahuan dasar geografi dikenalkan oleh gurunya. Ia sangat menggemari pelajaran ini terutama saat gurunya memberikan pelajaran peta buta, dan dengan mudah ia mengingat dan membacakan kembali di depan kelas. Daya ingatnya didorong karena ketakjuban kekayaan sumber alam bumi Indonesia, seperti hasil tambang, migas dan panas bumi. Peta buta tersebut mengantarkannya ke arah ilmu geologi kelak. Sejak kelas enam sekolah dasar di Kiaracondong Bandung, minatnya menggebu mengenal lingkungan alam sebagai ruang belajar melalui koleksi buku ayahnya, seorang guru yang kemudian menjadi penilik seokolah di Kantor Wilayah di Bandung. Buku-buku tersebut seperti pelepas dahaga, saat ia membutuhkan informasi kebumian, saat beranjak remaja. Selepas sekolah dasar, ilmu Geografi di sekolah menengah danatas merupakan pelajaran yang sangat ia gemari, bahkan ia mampu membaca peta-peta topografi hingga peta intepretasi hasil tambang. “ketika memasuki materi pelajaran geografi, hasratnya selalu mendorong untuk menggali lebih dalam” tandas Rudy, bahkan gurunya begitu antusias memberikan pelajaran tambahan. Pengetahuan spasial geografis ini mendorongnya dan memperkuat keinginannya untuk mempelajari ilmu kebumian, terutama eksplorasi migas dan mineral di seluruh kepulauan Indonesia. Selepas lulus Sekolah Menengah Atas 1979, pilihannya jatuh ke tempat lain, walaupun keinginannya terjun ke geologi selalu ada. Ia melanjutkan
Ekspresi Rudy Suhendar saat wawancara. Foto: Deni Sugandi
pilihannya ke perguruan tinggi di ATPU, mengambil Teknik Penyehatan Linkungan. Ketertarikannya didisiplin ilmu ini yaitu berkecimpung dalam masalah perumahan, terutama yang menyangkut sirkulasi udara, sistem pemanasan, pendinginan, penerangan, suplai air, drainase serta cara pembuatan ruangan tempat tinggal yang memadai. Selama satu tahun di ATPU, ia mempelajari teknologi yang berkaitan dengan perancangan kota agar tercipta peraturan-peraturan penyekatan suara dan konstruksi peralatan yang memadai untuk tercapainya kesehatan lingkungan. Prinsip-prinsip teknologi dan biologi lingkungan manusia untuk mengubah, dan meningkatkan kualista kesehatan lingkungan, dipelajarinya. Sebagian besar pengenadalian lingkungan untuk melindungi kesehatan manusia, mulai dari peningkatan kualitas air bersih, dan pengelolaan air limbah, baik yang dihasilkan dari
pembuangan rumah tangga, hingga industri besar. Termasuk di dalamnya pencegahan pengotoran atmosfer oleh gas buang kendaraan bermotor dan asap pabrik. Karena hasratnya bukan di situ, satu tahun kemudian, ia mengambil ujian ulang studi Teknik Geologi, di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/MIPA, Universitas Padjadjaran. 1980 ia diterima sebagai mahasiwa baru, membuka lembaran baru mengenai ilmu kebumian. Dilingkungan civitas akademi baru, ia dikenal sebagai aktivis organisasi kampus. Pernah duduk sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa, aktif di keorganisasian mahasiswa, pengurus Senat Mahasiswa hingga penyelenggara kegiatan seminar dan workshop. “Yang paling berkesan bagi saya, saat mengundang J.A. Katili sebagai nara sumber lokakarya di kampus Geologi� kenang Rudy. Melaui ragam aktivitas di dalam
kampus, menggembleng dirinya belajar berorganisasi, memimpin hingga menyelenggarakan organisasi. Bekal inilah kelak mengantarkannya menjadi orang nomor satu di lingkungan Pusat sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, KESDM. Selama kuliah Ia dipercaya sebagai asisten dosen, dengan tujuan di tahun terahir progam akademiknya hendak menjadi dosen tetap. Namun cita-citanya kandas, karena harus bersaing dengan jumlah pendaftar yang cukup banyak, sehingga namanya tidak muncul sebagai calon dosen dilingkungan jurusan Teknik Geologi UNPAD. 1983 mendapatkan gelar Bachelor atau Sarjana Muda, dengan tugas akhir pemetaan dengan skala 1:25.000. Penelitian Waduk Cacaban, di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Indonesia. Luas areal waduk adalah 928,7 hektar dan berisi air sebanyak
Vol 27 No2
39
Saat Umroh bersama keluarga. Foto: Dok. Pribadi
90 juta mÂł. digagas pembangunannya sejak tahun 1914 dan dibuat perencanaan detilnya pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun baru diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1952. Pengalaman pertama di lapangan, dengan luar wilayah penelitian 5 x 5 km. Penelitian ini menggemblengnya menjadi pribadi tangguh, karena dilaksanakan dan dirancang, hingga pelaporan mandiri. Penelitian untuk sarjana muda ini membutuhkan waktu, satu bulan setengah di lapangan, dan beberapa bulan penyusunan laporan. “bahkan saya menumpang tidur di rumah Kepala Desa yang sekaligus merangkap menjadi kantor desaâ€? jelas Rudy. Penyusunan laporan saat itu masih menggunakan gambar manual di atas meja gambar, media kertas kalkir, kemudian diwarnai menggunakan cat air dan laporan di tik menggunakan mesin ketik, terang Rudy mengingat kembali
40
Vol 27 No2
masa-masa dulu. Untuk menuntaskan sarjana penuh, penelitan kedua di Sindangkerta-Gununghalu, Cililin, Jawa Barat. Seperti pemetaan lapangan sebelumnya, menyertakan stratigrafi, struktur dan sejarah pembentukan. Tugas akhir syarat kelulusan sarjana dilaksanakan mandiri. Selain pemetaan, tugas skripsi hidrogeologi yaitu membuat permodelan embung di Cikuda, Jatinangor, Sumedang, tepat berada di sebelah timur kampus UNPAD. 1986 lulus dan mendaptkan gelar Insinyur Teknik Geologi, di Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran. Selepas lulus, antara 1986 hingga 1989 bekerja sebagai konsultan di berbagai pekerjaan baik di Jakarta dan di beberapa tempat. Pekerjaan ini adalah tahap belajar yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan keilmuan, dalam tahuntahun pertama menjadi momen penting untuk memperdalam ilmu
hidrogeologi. Kemudian 1989 melamar ke Direktorat Geologi Tata Lingkungan, di Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, di bawah pemerintahan Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben), di Bandung atau kini di bawah Badan Geologi, Kementerian ESDM. Sejak 1989 hingga 2001 duduk sebagai staf Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertambangan dan Energi. Selain mengembangkan karir sebagai ahli hidrogeologi, kehidupan pribadipun ia raih. Pertemuan dengan Trisna Yuliana dikondisikan oleh kegiatan yang sama. Saat itu Rudi sebagai asisten dosen sering memberikan bahan kuliah di jurusan lain, diantaranya di jurusan Kimia. Trisna duduk sebagai mahasiswi angkatan 1984, dan sebagai kakak senior, Rudy sering membantu dan mengarahkan mata kuliah geologi
Saat kunjungan ke open pit. di Xian Tiongkok Foto: Dok. Pribadi.
kimia. Pertemuan demi pertemuan akhirnya semakin dalam kemudian berlanjut di pelaminan. Mereka menikah bulan Januari 1991, dan hingga kini dikaruniai dua anak dan tinggal di Bandung. Dalam karir pekerjaanya, ia dituntut untuk meningkatkan kompetensinya, dengan mendaftar studi lanjutan. 1995 ia melanjutkan jenjang pendidikan master, S2 Applied Geomorphology and Engineering, di ITC Enschende, Netherlands di negara Belanda. Penelitiannya mencakup delapan unsur geomorfologi, kemudian diterapkan ke dalam metode penelitian Trend Analisyst berdasarkan pemisahan kedelapan unsur asal lahan geomorfologi. Analisis trends merupakan suatu metode analisis statistika yang ditujukan untuk melakukan suatu estimasi atau peramalan pada masa yang akan datang. Untuk melakukan peramalan dengan
baik maka dibutuhkan berbagai macam informasi (data) yang cukup banyak dan diamati dalam periode waktu yang relatif cukup panjang, sehingga hasil analisis tersebut dapat mengetahui sampai berapa besar fluktuasi yang terjadi dan faktorfaktor apa saja yang memengaruhi terhadap perubahan tersebut. Penelitian tersebut diterapkan melalui sistem Ekoregion, adalah geografis ekosistem, artinya pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan geografis. Penetapan ekoregion menghasilkan batas (boundary) sebagai satuan unit analisis dengan mempertimbangkan ekosistem pada sistem yang lebih besar. Studinya ini selesai dengan baik mendapatkan gelar Master of Scienc (M.Sc.), dan kembali ke jabatan struktural di lingkungan Badan Geologi. Penelitian berikutnya berkaitan dengan penyusunan peta
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Jawa Barat. Kemudian ditahun berikutnya menduduki Kepala Seksi Geologi Lingkungan Regional (20012005), dan sebagai Kepala Sub Bidang (Subdit) Program di 2005 hingga 2008. Jalur karirnya selalu mendudukannya sebagai struktural, hingga menduduki jabatan tinggi sebagai Kepala Pusat hingga 2017. Selama menduduki pejabat struktural, ia mengawal lahirnya Kawasan Cagar Alam Geologi dan Kawasan Bentang Alam Karst. Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 1456 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars, kemudian melalui kebijaksanaan pimpinan saat itu, mengimplementasikan Keputusan Menteri tersebut dalam kegiatan survey pemetaan kawasan karst seka terbitnya keputusan tersebut tahun 2002, dengan pendanaan dari APBN.
Vol 27 No2
41
Bersama Sudirman Said. Foto: Dokumen Pribadi
Pemetaan pertama dilakukan di perbukitan karst Gombong Selatan. Kemudian dilanjutkan ke bagian selatan pulau Jawa; kawasan Gunung Kidul, Sukabumi Selatan. Saat itu ia duduk sebagai pimpinan proyek survey bentang alam karst, sedangkan jabatan strukturalnya sebagai kepala seksi. Melalui Permen tersebut ia diminta mengawal bersama Kementrian Lingkungan Hidup, namun karena kendala tertentu, tidak terlaksana. Selain implementasi penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, dalam masa pejabat struktural, rudy mengawal pula penerapan Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG), yang datang jauh sebelum KBAK. Dasar-dasar KCAG berawal dari perubahan paradigma di eksplorasi, dari ekstraktif ke konservasi, termasuk banyaknya permintaan dari pemerintah daerah untuk mengamankan situs geologi in situ.
42
Vol 27 No2
Diantaranya kawasan Grobogan Yogyakarta, yang telah diberi label KCAG. Memutuskan KCAG pun bukan perkara mudah, karena berbenturan dengan status kepemilikan lahan, dan pemberian ijin penambangan. Selain membutuhkan waktu panjang, negosiasi melalui Forum Group Disccusion, dibutuhkan kesamaan visi antara pemilik lahan dengan pemerintah daerah. Prosesnya bisa panjang atau singkat, bergantung dengan status kepemilikah lahan. Bila dimiliki pemerintah daerah akan lebih mudah, dibandingkan bila dikuasai swasta. Seperti dicontohkan yang terjadi di kawasan karst Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. KCAG sulit diterapkan karena berbenturan dengan ijin penambangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat. Dengan demikian kesulitan yang klasik seperti ini, selalu menghambat
pemberian perlindungan geosite. Contoh lainpun terjadi oleh kepentingan bisnis, bahwa lahan yang akan di KCAG-kan harus dibeli, walaupun kepada pemerintah. Dalam posisi seperti ini Kementerian ESDM tidak memiliki daya tawar lebih, misalnya dengan anggaran kementerian kemudia geosite atau obyek tersebut di beli dan dimiliki. Kini beberapa kawasan telah di tetapkan diantaranya Gunung Kidul, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Geosite di kawasan Ciletuh, Sukabumi, Jawa Barat. Bila satu geosite telah ditetapan menjadi KCAG, maka otomatis perlindungan dan penegakan hukum akan menggunakan payung UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007, mengenai UndangUndang Tata Ruang. Penyusunan KBAK dan KCAG kemudian sebagai dasar penyusunan Kawasan Lindung geologi dan Kawasan Budi Daya di UU tersebut. Penetapan demikian
Saat kunjungan ke luar negeri. Foto:Dokumen Pribadi
digunakan sebagai dasar-dasar sanksi bersifat moral. KBAK lebih menekankan kepada substansi yang bersifat rekomendasi, diberikan kepada pemerintah daerah. Substansi tersebut berupa keistimewaan sejarah geologi, kelangkaan dan fenomena geologi yang unik. Penetapan ini menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk mengawal dan dimasukan ke dalam racangan tata ruang daerah. Mengenai kebijakan, Rudy menyampaikan sarannya agar Kepala Pusat baru yang nanti terpilih, bisa menentukan langkah dan bersamasama biro hukum, untuk meninjua kembali kebijakan penentuan KBAK dan KCAG. Diperlukan penyelarasan atau harmonisasi antar government to government, sehingga pengambilan keputusan pemberian ijin bisa dikoordinasikan, apalagi berkaitan dengan kebijakan
yang datang dari level pusat, provinsi atau kabupaten. “saat ini banyak permintaan untuk menggeopark-kan potensi daeranya� tandas Rudy. Permintaan tersebut mencerminkan perubahan paradigma pembangunan pemerintah daerah, apalagi saat ini geowisata menjadi pimadona unggulan wisata daerah. Namun diperlukan pengkajian lebih mendalam, karena harus memiliki syarat-syarat tertentu. Tugasnya adalah mendorong agar daerah teredukasi, melindungi kawasannya sebagai aset wisata minat khusus kebumian, tutupnya. Selain itu karena luas wilayah meliputi seluruh Indonesia, dan termasuk sosialisasi yang masih kurang. Ia menandaskan bahwa aturanpun tidak kalah lebih penting, dengan demikian ia menaruh harapan besar bagi siapa saja kelak yang akan duduk sebagai Kepala Pusat, tetapi diharapkan bisa mengawal kebijakan
nasional mengenai perlindungan kawasan geologi dan bentang alam karst. Tidak terasa wawancara kamipun harus ditutup, mengingat waktu dan kesibukan lainya. Namun ada satu hal yang menarik bila ditarik benang merahnya, bahwa kehidupan seorang Rudy Suhendar tidaklah begitu kuat, melawan arus sungai yang deras. Pengalaman demikian saya duga berasal jauh dari pengalamanya tinggal di kampung. Melalui sungai ia belajar mengendalikan kekuatan, bahwa kelemahan manusia adalah melawan takdir, namun tidak dengan Rudy, seakan-akan kehidupan itu mengalir saja, mengikuti arus untuk dipertemukan dengan suratan yang telah ditentukan di atas.
Penulis adalah dewan redaksi BGTL, editor foto.
Vol 27 No2
43
Danau Kaolin hasil penambangan.
44
Vol 27 No2
Menikmati Danau Kaolin Biru di Pulau Bangka Teks dan Foto: Ronaldo Irzon
Vol 27 No2
45
Danau Kaolin di Air Gegas, Bangka.
Kabupaten Bangka Selatan di Pulau Bangka memiliki satu daya tarik wisata yang sangat menarik yaitu danau kaolin yang berada di Kecamatan Air Gegas Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Suasana lokasi wisata di Desa Air Bara ini membuat pengunjung seolah berada di wilayah bersalju. Air danau yang biru dan warna daratan yang putih bersih akan memanjakan mata untuk dapat belama-lama berada di sana. Ketiadaan bau belerang makin menambah kenyamanan menikmati danau kaolin. Untuk airnya pun tergolong aman, karena air disini tidaklah panas. Terbukti masih banyak aktifitas warga dan anakanak yang sedang menggunakan air danau atau mandi di danau
46
Vol 27 No2
yang juga dikenal dengan sebutan Camoi Aek Biru. Kondisi ini menjadikan wisatawan yang berkunjung tidak hanya dapat menikmati pemandangan saja, namun juga bermain maupun berenang menikmati segarnya air kaolin. Sebagian besar warga mengatakan bahwa dengan air di Danau ini akan menjadikan kulit lebih halus dan lembut.
Kaolin adalah suatu mineral sebagai bahan industri seperti kosmetik, kertas, makanan, pasta gigi. Kaolin banyak dipilih karena sifatnya yang halus, putih, kuat, halus, dengan daya hantar listrik maupun daya hantar panas yang rendah. Lebih jauh, indsutri
keramik, lampu pijar, karet, cat, hingga kertas juga membutuhkan bahan ini. Mineral ini merupakan aluminium silikat terhidrasi dengan rumus kimia Al2Si2O5(OH)4. Alterasi batuan granitik merupakan penyebab terbentuknya kaolin yang utamanya terdiri dari feldspar dan muskofit. Pulau Bangka telah lama dikenal sebagai penghasil timah utama Indonesia dengan granit tipe-S sebagai pembawanya. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengenai kelimpahan kaolin di Pulau Bangka. Fenomena pembentukan danau dengan warna kebiruan akibat penambangan kaolin memang tidak hanya dapat dijumpai di Pulau Bangka. Sisa penambangan
Danau Kaolin di Air Gegas, Bangka.
kaolin di Twiggs County (Amerika Serikat) maupun di Aghiresu (Rumania) juga banyak meninggalkan beberapa danau kecil berwarna kebiruan. Bahkan lokasi geowisata seperti ini juga telah menjadi objek yang membanggakan di Pulau ‘Laskar Pelangi’ (Belitung), tepatnya di Desa Air Raya Tanjungpandan. Danau-danau peninggalan tambang kaolin tersebut tidak memiliki aliran masuk maupun keluar, sehingga kedalaman air hanya bergantung kepada curah hujan dan temperatur lingkungan. Kondisi tersebut membuat air danau sulit teroksigenisasi sehingga merubah kenampakan warnanya. Danau kaolin di Air Gegas ini sangat spesial karena terdapat dua danau dengan
dua warna berbeda, yaitu: biru pekat dan biru kehijauan meski hanya terpisah kurang dari 10 meter. Perbedaan warna ditengari akibat jumlah unsur hara yang banyak sehingga membuat alga lebih mudah berkembang, seperti juga terjadi di Twiggs County. Berdasarkan penelitian pada danau kaolin di Aghiresu, kedalaman air juga sangat mungkin mempengaruhi perbedaan warna kedua danau akibat pembiasan cahaya matahari. Beberapa perbaikan dapat diajukan untuk menambah daya tarik geowisata pada danau biru di Pulau Bangka ini. Air pada cekungan ini dapat diisi dengan ikan agar dapat berkembang biak sehingga beberapa waktu
kemudian dapat menjadi lokasi pemancingan eksotik. Meski dapat dijumpai penduduk setempat berenang di danau ini, sarana pendukung seperti lokasi makan, penjualan pelengkapan renang, dan petugas keamanan akan meyakinkan pengunjung untuk berendam. Bicycle path bahkan telah disediakan di Aghiresu untuk memanjakan para bikers untuk bersepeda sambil menikmati air berwarna biru. Kondisi demikian akan menambah defisa daerah melalui pengembangan lokasi geowisata. Penulis adalah PNS di PSG Badan Geologi.
Vol 27 No2
47
Kenampakan puncak Gunung Sandapang dari pinggir jalan poros Bonehau - Kalumpang
48
Vol 27 No2
Jejak Alam dan Budaya Kalumpang Teks dan Foto: Agustina Djafar
Kalumpang merupakan kecamatan tertua di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, terletak di lembah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, tempat bermukim komunitas adat Tanah Lotong. Kalumpang menyimpan sejuta kisah asal muasal peradaban manusia di Nusantara. Bangsa Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini, yang dibuktikan dengan temuan artefak di sepanjang aliran Sungai Karama (Situs Minanga Sipakko dan Situs Kamassi). Hasil penanggalan radiokarbon dari Situs Minanga Sipakko berumur 2.500 dan 3.000 tahun SM, mendekati catatan waktu penutur Austronesia kuno menyebar di Nusantara, yaitu sekitar 4.000 tahun SM. Pelangi di selatan pantai Ujunggenteng. Foto: T. Bachtiar
Vol 27 No2
49
Sungai Karataun Dusun Batuisi
Kalumpang memiliki keragaman geologi untuk dikembangkan sebagai objek geowisata, berupa Gunung Sandapang, Gunung Paken, Sungai Karama, batugamping Formasi Toraja, triangular facet Desa Lebani, dan tambang rakyat Dusun Batuisi. Pulau Sulawesi dengan bentuk yang unik menyerupai huruf K merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Samudra Hindia – Australia, Lempeng Benua Eurasia, dan Lempeng Samudra Pasifik. Hal ini menyebabkan Pulau Sulawesi memiliki tatanan geologi yang rumit. Berdasarkan asosiasi litologi dan perkembangan tektonik, Sulawesi dan daerah sekitarnya dapat dibagi dalam empat jalur mandala geologi (Sukamto, 1978), yaitu: Lajur Vulkanik Sulawesi Barat, Lajur Malihan Sulawesi Tengah, Lajur Ofiolit Sulawesi Timur, dan Kepingan Benua. Berdasarkan pembagian mandala
50
Vol 27 No2
geologinya, Provinsi Sulawesi Barat termasuk dalam lajur vulkanik Sulawesi Barat, batuan penyusunnya didominasi oleh batuan gunungapi dan intrusi berumur Paleogen – Kuarter, dan selebihnya berupa batuan sedimen dan metamorf berumur Mesozoikum – Tersier. Secara stratigrafi, kelompok batuan tertua pada mandala Sulawesi Barat bagian tengah berupa kompleks batuan metamorf dan endapan plysch Formasi Latimojong (Kls). Secara umum Formasi ini mengalami pemalihan lemah – sedang, terdiri atas serpih, filit, rijang, marmer, dan kuarsit dengan ketebalan tidak kurang dari 1000 m serta diintrusi oleh batuan granitik hingga basaltik baik berbentuk stock ataupun retas. Umur Formasi ini diperkirakan Kapur Akhir dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Salah satu wilayah di Sulawesi Barat yang memiliki keragaman geologi yang
menarik untuk dieksploitasi sebagai objek geowisata adalah Kecamatan Kalumpang. Kecamatan Kalumpang terletak di ujung timur Kabupaten Mamuju, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja di selatan, dan Kabupaten Luwu Utara di sebelah timur. Morfologi daerah Kalumpang umumnya di dominasi oleh pegunungan dan dataran tinggi, dengan ketinggian rata-rata 90 – 1800 m dpl. Karena morfologi daerahnya yang didominasi oleh pegunungan, menjadikan Kalumpang memiliki bentang alam yang indah, sehingga dapat dikembangkan sebagai objek geowisata.
Pemanfaatan untuk Perlindungan Alam
Sejak adanya pergeseran paradigma dalam pemanfaatan sumber daya geologi dari eksrtaktif menuju konservatif, beberapa kelompok ahli
Bukit – bukit yang menyerupai piramida di sepanjang Sungai Karama.
geologi mulai menyusun konsep konservasi geologi (geoconservation) yang dapat disinergikan dengan pembangunan berkelanjutan, dan tidak mengurangi makna perlindungan terhadap keragaman geologi (geodiversity) tersebut. Salah satu konsep pemanfaatan sumber daya geologi berlandaskan perlindungan alam, yaitu geowisata (geotourism). Pemanfaatan keragaman geologi sebagai objek dan daya tarik geowisata akan memperkaya pilihan jenis pariwisata yang bermuatan pendidikan dan pelestarian sumberdaya alam, serta dibangun berdasarkan kekuatan dan keunggulan daya saingnya. Geowisata sebagai objek dan daya tarik wisata jenis baru memiliki pengertian yang beragam, salah satunya adalah geowisata diartikan sebagai suatu bentuk kawasan
alam yang secara khusus berfokus pada bentangalam dan geologi, dipromosikan kepada pengunjung untuk mendatangi geosite dan kawasan konservasi geodiversitas yang ada, dan di tempat-tempat tersebut dibangunkan pemahaman tentang pengetahuan kebumian, sehingga wisatawan dapat belajar secara langsung memberikan apresiasinya, melalui perjalanan wisata yang disertai oleh interpreter, pembelajaran dapat dilakukan di sepanjang geotrail dan titikpandang yang disediakan, atau melalui geoactivity dan pusat-pusat informasi geosite (Newsome & Dowling, 2010 dalam Samodra 2016). Namun pemahaman mengenai Geowisata yang banyak diacu saat ini, adalah sebagaimana didefinisikan oleh National Geographic Society dalam Samodra 2016, yaitu: Geowisata adalah pariwisata berkelanjutan yang menopang atau
meningkatkan karakter geografis suatu daerah seperti lingkungan, budaya, estetika, warisan, dan kesejahteraan masyarakatnya.
Kegiatan Geowisata dengan memanfaatkan informasi keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (culturaldiversity) yang disampaikan kepada wisatawan, sebaiknya dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tanpa meninggalkan aspek ilmiahnya, sehingga dapat dengan mudah dimengerti dan menambah
Vol 27 No2
51
Kenampakan singkapan perselingan antara batupasir, batulempung, dan batubara yang telah mengalami perlipatan di pinggir jalan poros Kecamatan Bonehau - Kalumpang
pengetahuan para wisatawan.
Kabupaten Mamuju, luasnya berkisar 1731,99 km2 yang terdiri dari tiga belas desa.
Dalam implementasinya, geowisata senantiasa menghormati budaya dan tradisi setempat yang menjadi kekayaan hakiki yang dimiliki oleh masyarakat yang bermukim di dalam kawasan yang akan dikembangkan sebagai objek geowisata, dan kegiatan geowisata dikembangkan untuk tujuan perlindungan (konservasi), pendidikan, dan menumbuhkan ekonomi. Selain itu geowisata harus melibatkan masyarakat setempat, dalam wujud pengembangan ekonomi kreatif sehingga dapat menghidupkan perekonomian masyarakat.
Kalumpang merupakan kecamatan tertua di Kabupaten Mamuju, yang terletak di lembah yang dikelilingi oleh gunung dan bukit, tempat bermukim komunitas adat Tanah Lotong yang berarti tanah yang subur.
Keragaman Geologi Kalumpang Kecamatan Kalumpang merupakan kecamatan yang terletak di ujung timur, dan merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar di
52
Vol 27 No2
Nama Kalumpang diberikan oleh seorang Belanda, yang sambil menunjuk, bertanya pada penduduk setempat, “Apa nama tempat yang di sana?�. Warga tersebut mengira yang ditunjuk adalah pohon besar, penduduk pun menjawab, “Kaluppang�. Maka orang Belanda pun menganggap nama kampung yang mereka temukan bernama Kaluppang. Sebab sulit disebut di lidah mereka, Kaluppang menjadi Galumpang. Belakangan, dalam catatan administrasi pemerintahan Belanda, dipakai Kalumpang.
Perjalanan menuju Kalumpang dapat ditempuh selama 4 - 5 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan beroda empat maupun beroda dua. Sepanjang perjalanan, wisatawan akan disuguhi pemandangan berupa nuansa pedesaan di kaki bukit dan hamparan sawah di sisi kiri dan kanan jalan. Namun jalan menuju daerah ini sebagain besar masih berupa jalan pengerasan, bahkan harus menyeberangi belasan sungai tanpa jembatan, sehingga pada saat musim penghujan tiba, akses menuju daerah ini sangat sulit karena banjir pada beberapa sungai. Umumnya masyarakat Kalumpang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, yaitu bersawah dan berkebun. Di Kalumpang terdapat lima dialek bahasa, yaitu dialek: Kalumpang, Karama, Bonehau, Karataun, dan Panasuan. Dialekdialek ini umumnya tidak begitu jauh
berbeda, kecuali dialek Panasuan yang sepintas terdengar seperti bahasa Mandarin. Dialek-dialek Kalumpang tersebut masih serumpun dengan dialek Luwu serta Tana Toraja, ini terbukti dari banyaknya kemiripan dalam kosakatanya. Kalumpang memiliki keragaman geologi, baik berupa keragaman litologi maupun bentang alam dan menarik untuk dikembangkan sebagai objek geowisata.
Gunung Sandapang
Gunung Sandapang merupakan gunung tertinggi di Kecamatan Kalumpang, yang terletak di penghujung timur dan berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Gunung ini memiliki bentuk yang unik karena memiliki tiga puncak yang saling berdekatan, yang salah satu puncaknya memiliki bentuk yang runcing, menyerupai jempol manusia. Keindahan gunung ini dapat dilihat dari jalan ketika akan memasuki ibu kota Kecamatan Kalumpang. Gunung ini merupakan ikon Pemerintah Daerah Mamuju. Batuan penyusun Gunung Sandapan berupa batuan Gunungapi Talaya, yang terdiri dari lava bersusun andesit basal, breksi gunungapi dan tufa (N. Ratman dan S. Atmawinata, 1993).
Selain keindahan Gunung Sandapan yang dapat dinikmati dari pinggir jalan poros Bonehau Kalumpang, di sebelah kanan jalan terdapat singkapan perselingan antara batupasir, batulempung, dan batubara anggota Formasi Toraja, yang telah mengalami perlipatan. Lokasi ini menjadi salah satu spot foto untuk mengabadikan keindahan Gunung
Sandapang dari kejauhan. Gunung Paken
Gunung Paken, merupakan sebuah gunung yang terletak di ibu kota Kecamatan Kalumpang. Gunung tersebut dapat dilihat dengan jelas dari sebuah lapangan yang terletak di tengah ibukota kecamatan. Batuan penyusunnya berupa batuan gunungapi berupa lava, breksi, dan tufa. Gunung Paken terletak di seberang Sungai Karama, dan untuk menuju bukit ini wisatawan dapat menyeberangi jembatan gantung yang terbuat dari kayu, dilanjutkan menyusuri sungai kecil, yang tersusun atas bongkah-bongkah breksi dan perlapisan batuan tufapasiran. Di puncak gunung terdapat sebuah situs Batu Pare, yaitu batu yang ditumbuhi padi. Menurut legenda masyarakat setempat, padi tersebut berasal dari dewa yang tinggal di seberang lautan. Padi tersebut dahulu kala menjadi sumber makanan utama masyarakat Kalumpang, sebelum akhirnya tergantikan oleh padi dari pemerintah yang selang waktu panennya lebih singkat dibandingkan pare manurung yang tumbuh di Batu Pare. Menurut masyarakat Kalumpang, setiap tahun jenis padi yang tumbuh pada situs itu akan berganti dengan sendirinya.
Sungai Karama
Sungai Karama merupakan sungai besar yang mengalir melalui Kecamatan Kalumpang, memiliki panjang sekitar 175 km yang mengalir dari pegunungan bagian Timur menuju ke arah Barat. Hulu Sungai Karama terletak di sekitar Desa Seko, perbatasan antara Kabupaten Mamuju dengan Kabupaten Luwu Utara. Sungai Karama selain menjadi sumber air utama bagi warga Kalumpang, juga menjadi salah satu sarana transportasi antara desa yang terletak di pinggir Sungai Karama. Beberapa desa di Kecamatan Kalumpang
hanya dapat dijangkau dengan menggunakan perahu bermesin atau katinting (sebutan masyarakat setempat untuk jenis transportasi ini), yang dikemudikan oleh seorang nahkoda, dibantu juru batu. Di sepanjang sisi kiri dan kanan Sungai Karama, banyak dijumpai deretan bukit-bukit yang memiliki bentuk yang unik, menyerupai piramida. Ada yang berdiri sendiri dan beberapa bukit membentuk rangkaian bukit segitiga (triangular facet), yang menjadi daya tarik tersendiri dan menambah keindahan Sungai Karama. Bukit-bukit tersebut disusun oleh batuan vulkanik. Selain itu di beberapa tempat, pada dinding sungai dapat dijumpai singkapan batuan metamorf (fillit) yang telah mengalami perlipatan. Bagi masyarakat Kalumpang, Sungai Karama bukan sekedar sungai, namun merupakan sumber penghidupan masyarakat sejak dulu. Sungai Karama merupakan sungai purba yang telah dipergunakan sejak dulu oleh nenek moyang Suku Kalumpang sebagai sumber penghidupan hingga saat ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya dua situs prasejarah oleh para arkeolog, yaitu Minanga Sipakko dan Kamassi di DAS Karama. Pada situs tersebut ditemukan bukti pemukiman neolitik yakni peninggalan berupa artefak. Situs Kamansi pertama kali diperkenalkan di dunia internasional oleh van Stein Callenfels, seorang prehistorian berkembangsaan Belanda yang pada zaman kolonial bekerja di Lembaga purbakala (Oudheidkundige Dienst). Dialah yang memperkenalkan situssitus di Kalumpang dalam lingkup international dengan mengkomunikasikan hasil penelitiannya di Situs Kamansi pada Kongres Prasejarah Asia Timur Jauh di Manila tahun 1951, dan menerbitkannya dalam Journal of East Asiatic Studies, 1952
Vol 27 No2
53
(Simanjuntak, 2007 dalam Budianto Hakim). Hasil penelitian tersebut telah memicu lahirnya banyak penelitian di wilayah itu, hingga pada tahun 2007 oleh Truman Simanjuntak, melahirkan berbagai perdebatan yang menarik tentang kronologis kehadiran penutur austronesia di Kalumpang. Soejono yang melakukan penelitian di gua-gua Maros, membandingkannya dengan temuantemuan di situs-situs tepi sungai Karama, menyimpulkan bahwa penyebaran budaya Austronesia ini meluas ke selatan hingga masuk ke daerah Maros dan Takalar. Walaupun budaya Austronesia menyebar luas, tetapi unsur neolitik di Kalumpang lebih kuat, sedangkan di selatan semakin terdesak oleh masuknya gerabah dari Vietnam dan Cina (Soejono, 1993; 188-193 dalam Budianto Hakim). Sedangkan hasil pentarikhan radiokarbon pada beberapa sampel artefak di Situs Minanga Sipakko, menunjukkan bahwa situs tersebut berumur sekitar 2.500 dan 3.000 tahun SM (David Bulbeck, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Bangsa Austronesia (yang tersebar dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur, sebagai bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah Kalumpang. Situs tersebut terbilang tua, karena mendekati catatan waktu penutur Austronesia kuno menyebar di Nusantara, yaitu sekitar 4.000 tahun SM.
Batugamping Formasi Toraja
Singkapan batugamping Formasi Toraja dapat dijumpai di Desa Lebani, yang terletak di sebelah selatan ibukota Kecamatan Kalumpang. Batugamping tersebut sebagian merupakan batugamping kristalin (metagamping) dan batugamping
54
Vol 27 No2
nummulites yang diperkirakan berumur Eosen (N. Ratman dan S. Atmawinata, 1993).
tersebut lama kelamaan mengikis bagian yang tidak tahan, lalu membentuk kenampakan segitiga.
Di Dusun Kondobulo Desa Lebani, singkapan batugamping tersebut membentuk sebuah morfologi yang berbeda dengan bukit di sekitarnya, dengan puncak bukit yang relatif terjal. Pada tebing bukit tersebut terdapat situs Batu Tabuqung (baca: tabu’ung). Situs Batu Tabuqung merupakan sebuah kompleks makam kuno yang mirip dengan Situs Londa di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Tambang Rakyat Dusun Batuisi
Dalam situs itu terdapat kerangka manusia yang tidak dikubur, melainkan disimpan dalam peti kayu berukir yang diletakkan di tebing batu. Konon, kerangka kuno tersebut jauh lebih besar dari ukuran normal orang Indonesia, dan diperkirakan berumur lebih tua dari Situs Londa. Untuk mengunjungi situs ini, peziarah terlebih dahulu harus mengadakan ritual upacara adat dengan memotong kerbau atau babi sebagai sesaji untuk persembahan pada arwah leluhur. Jika tidak dilaksanakan, menurut kepercayaan masyarakat setempat panen padi akan gagal.
Pegunungan Segitiga
Selain batugamping Formasi Toraja, di sepanjang jalan menuju Desa Lebani terdapat jejeran pegunungan segitiga (triangular facet) yang menjadi daya tarik tersendiri. Rangkaian perbukitan tersebut hampir menyerupai pegunungan Buttu Kabobong (Gunung Nona) di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Morfologi Triangular facet merupakan salah satu penampakan bentang alam yang dicirikan adanya aliran-aliran air permukaan pada suatu bidang miring, yang aliran tersebut membentuk segitiga. Awal mula terbentuknya karena adanya garis gerus akibat sesar pada bidang miring, kemudian menjadi saluran bagi air. Aliran air
Secara administratif, Dusun Batuisi masih termasuk wilayah Desa Lebani, yaitu di sebelah selatan ibukota Kecamatan Kalumpang. Dusun ini terkenal dengan komoditas tambangnya berupa emas placer (emas letakan). Akses dari ibukota kecamatan menuju dusun ini berupa jalan pengerasan dan harus melewati beberapa sungai tanpa jembatan. Untuk mencapai dusun tersebut hanya dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan mobil roda empat jenis khusus, yaitu hardtop dan mobil double garda, serta kendaraan motor roda dua. Kondisi jalanan yang berkelok dan mendaki, membutuhkan keterampilan khusus bagi pengendara motor untuk mencapai lokasi. Pada musim penghujan, kondisi jalanan yang becek menyebakan akses menuju tempat ini susah dijangkau, karena air sungai yang melintasi jalan tersebut bisa mencapai pinggang orang dewasa. Emas letakan di Dusun Batuisi ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat di sepanjang alur Sungai Karataun. Penambangan dilakukan dengan menggali cebakan bijih menurut arah dan sebaran endapan. Penggalian dilakukan secara vertikal, dan horizontal tanpa menggunakan penyanggah. Hasil galian disedot dengan pompa, kemudian disaring dan didulang untuk mencari kandungan emasnya. Penulis adalah PNS di Museum Geologi, Sekretariat Badan Geologi, Badan Geologi-KESDM
Gunung Paken dengan bentuk puncak yang unik
Kenampakan sungai menuju Gunung Paken, yang tersusun atas bongkah – bongkah breksi
Vol 27 No2
55
56
Vol 27 No2
Karang Bolong yang Ditatah Waktu
Garis pantai selatan Jawa merupakan daerah tepian benua aktif, ditandai aktivitas kegempaan yang intensif. Bibir pantai selatan yang berhdapan langsung dengan Samudra Hindia. Dindingdinding tegak ini terentuk karena proses abrasi, dikendalikan ombak laut yang seakan-akan menatah, menata alam pantai melalui mekanisme hidrolik dan tektonik. Bentukan seperti jembatan alami, disebut Karang Bolong dan menjadi tujuan wisata alam terbaik di kawasan taman bumi Klayang, Pacitan, Jawa Timur. Foto : Eddy Hermansyah Teks: Deni Sugandi
Vol 27 No2
57
Asa di Bumi Aru Ambang Sasongko
Rargwamar, dia perempuan bernama Gwamar/Gamar bila diartikan ke bahasa Indonesia dari bahasa asli daerah Aru. Perjalanan kisah wanita satu ini dikaitkan dengan Pulau Wamar tidak terungkap secara jelas, namun penamaan pulau tersebut masih terkait dengan dirinya. Konon dikatakan juga bahwa wanita ini adalah sebagai penunggu atau yang menjaga pulau. Untuk mendapatkan pengakuan pasti antara dua datuk yang berselisih dalam memperebutkan Rargwamar atau pulau yang ditempati oleh seorang perempuan dimulai dengan kisah Ursia dan Urlima. Datuk-datuk ini adalah para leluhur masyarakat Aru yang disanjung dan dijunjung dalam kisah adat anak cucu dari generasi ke generasi melalui sebuah batu yang berbentuk perahu atau bahasa daerah adalah kora.
Manifestasi batukora adalah sebuah batu yang berada di tepi pantai barat Pulau Wamar dengan tinggi 7 - 8 meter, panjang 54,5 meter dan lebar 16,7 meter dikisahkan sebagai salah satu perahu milik datuk tersebut yang kandas saat akan mendarat di Rargwamar. Perebutan pulau ini tidak ada tutur cerita yang sama pasti dan dimenangkan oleh siapa, tapi kesepakatan akhir mengatakan bahwa pulau itu menjadi milik bersama sehingga kitab cerita telah menjadi legenda yang tertanam pada pikiran masyarakat Kepulauan Aru. Kora Ever, lokasi wisata batukora indah selain laut dengan pasir putih dan batu besar yang ber ada ditepi pantai merupakan objek menarik, batukora juga merupakan tempat persinggahan unggas laut saat hari mulai senja. Dengan keberadaannya pada barat pulau, pesona batukora kala sore hari membuat takjub mata setiap orang yang berkunjung kesini. Pantai barat Wamar terbentang dengan panjang 9,198 km dari utara sampai selatan sering diterjang gelombang besar saat musim barat membuat pantai terus berproses meninggalkan bentuk batuan yang kompak dan kokoh. Arus gelombang selanjutnya membawa tekstur hasil rombakan batuan berupa kerakal, kerikil, pasir, liat dan debu seiring beban energi arus mengendapkannya kesuatu tempat.
58
Vol 27 No2
Fosil Penyu. Foto: Ambang Sasongko
Sedimentasi yang terjadi dilaut dangkal dan tenang, memberi banyak cerita akan terbentuknya pulau ini. Foraminifera bentos merupakan organisme yang hidup di dasar perairan (substrat) dan plangton sebagai organisme renik hidup mengikuti pola arus yang tersedimentasi adalah beberapa gambaran fosil di dataran Wamar. Selain jenis fosil tersebut, juga dijumpai fosil testudinata (penyu) pada beberapa lokasi. Pulau Wamar dengan luasnya ¹52,8 km2 terdapat dua desa adat Durjela dan Wangel terletak di endapan aluvial dibatasi oleh rawa-rawa bervegetasi nipa (Nypa fruticans Wurmb) dan sagu (Metroxylon sagu Rettb) berada pada bagian barat pulau, satu dusun bagian utara serta dua kelurahan berada dibagian timur laut dan sedikit ketengah pulau. Dataran bergelombang dengan ketinggian +36 m yang berada ditengah pulau. Geologi setempat adalah napal, batugamping bioklastik, batulumpur, kalkarenit pada Formasi Wasir berumur 0.7 – 3.2 juta tahun yang lalu. Sedangkan daerah
pantai atau pinggiran pulau dominasi oleh aluvium (rawa dan pasiran). Pada bagian utara yang sedikit bertanjung dan bagian timur dari pulau ini banyak dijumpai vegetasi mangrove jenis rhizophora,sp dan merupakan tanaman hidup pada kondisi air laut yang tenang. Amanat UU No 40 Tahun 2003, Kepulauan Aru mendapat berkah untuk dijadikan kabupaten ke 5 (lima) di Provinsi Maluku terlepas dari induknya Kabupaten Maluku Tenggara bersamaan dengan dua kabupaten lain yaitu Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur yang dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah, sedang giat melaksanakan pembangunan menata ketertinggalan untuk dapat berkembang seperti daerah lainnya di Indonesia. Kebutuhan akan material membangun pada pulau ini seperti bahan tambang pasir dan batuan tidak disuplai dari luar pulau membuat lokasi-lokasi keterdapatan fosil testudinata dari peninggalan geologi menjadi terancam. Penetapan tata ruang wilayah masih belum melihat dan menyentuh pada aspek kegeologian yang mempunyai
arti penting terhadap fenomena unik. Melalui singkapan batuan dan fosil yang merupakan media untuk menjelaskan tentang geologi pulau kala pembentukannya harus dimengerti oleh meraka pengambil kebijakkan dalam menentukan regulasi daerah menyangkut area pertambangan yang beracu pada lingkungan, sehingga slogan Kepulauan Aru “Mutiara Indah Cendrawasih Lestari� menjadi slogan bermakna secara utuh dan bukan hanya semboyan saja. Sumber daya alam sebagai modal dasar dalam pembangunan, memang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan kesejahtraan dengan cara yang bijak dalam pengelolaan. Tekanan pada Pulau Wamar sebagai Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun harapan itu selalu ada dari bumi Jargaria/Kepulauan Aru untuk Pulau Wamar melalui jalan panjang nan pasti. Penulis adalah alumni Universitas Patimmura.
Vol 27 No2
59
60
Vol 27 No2
Tsunami dan Badak Sunda Oki Oktariadi
“Keberadaan Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon saat ini, tidak hanya menghadapi permasalahan terbatasnya habitat sebagai tempat hidup dan pertumbuhan tanaman langkap yang mengancam ketersedian pakan. Akan tetapi, ada juga bencana yang mengancam, yaitu tsunami yang bisa datang sewaktu-waktu dan badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) berada di lokasi terisolir, Ujung Kulon, yaitu sebuah area paling ujung Pulau Jawa bagian barat yang berbatasan dengan Selat Sunda.�
Vol 27 No2
61
Badak Afrika Hitam. Sumber: animal-recreation-wildlife-zoo-horn-mammal-59534-pxhere.com
Badak sebagai satwa liar merupakan mamalia herbivora berbadan besar, memiliki ciri-ciri utama yaitu tanduk di bagian kepala di atas hidung. Dalam Bahasa latin disebut Rhinoceroes yang berasal dari Bahasa Yunani yaitu “rhino” yang artinya “hidung” dan “ceros” yang artinya “tanduk” atau “cula”. Jenis badak di dunia terdiri atas lima jenis dan 11 subspesies jenis badak. Beberapa jenis badak memiliki dua tanduk atau cula, sementara beberapa jenis badak lain memiliki satu tanduk, diantaranya adalah Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus). Saat ini jenis badak di dunia terancam punah Karena perburuan cula. Akibat populasi yang terus menurun, karena cula badak sering digunakan untuk pengobatan tradisional China, maka banyak pihak memburu badak secara besar-besaran untuk mereka ambil culanya, lalu di jual. Untuk
62
Vol 27 No2
pengobatan tradisional, cula badak digiling sampai halus hingga menjadi serbuk. Menurut International Rhino Foundation, serbuk cula badak sering ditambahkan ke makanan atau diseduh ke dalam minuman, misalnya the. Penggunaan ini dilator belakangi oleh kenyakinan dan mitos bahwa cula badak mampu menambah stamina (obat kuat), obat mabuk, mengobati demam, rematik, asam urat dan gangguan lainnya. Bahkan, tanduk atau cula badak juga sering diburu untuk sebagai piala atau sededar dekorasi untuk menunjukkan status social masyarakat.
Rhinoceros sondaicus, terhimpit di Ujung Pulau Jawa
Dari sekian banyak hewan mamalia di Dunia, Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) adalah yang paling dilindungi karena menghadapi kepunahan. Badak sunda ini memiliki postur tegap dan kokoh. Umumnya
ketinggiannya hingga bahu manusia normal, sekitar 128-175 cm dengan bobot tubuh antara 1.600-2.280 kg. Sehingga saat ini menjadi binatang terbesar dan terberat di Pulau Jawa. Meskipun penglihatannya tidak awas, akan tetapi pendengaran dan penciumannya super tajam yang mampu menangkap sinyal bahaya yang menghampiri kehidupannya. Satu cula berukuran 27 sentimeter berwarna abu-abu gelap atau hitam merupakan ciri khas utama jenis ini. Deskripsi lebih lengkapnya dapat dilihat pada Info grafis Badak Jawa. Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) adalah jenis badak yang paling kecil dengan tinggi badan 140 cm, dan panjangnya 3 meter. Memiliki satu cula dengan panjang mencapai 30 cm. (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Yayasan Badak Indonesia, WWF Indonesia, Ujungkulon.org), (Gambar 3). Badak ini termasuk salah
Inforgrafis Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Yayasan Badak Indonesia, WWF Indonesia, Ujungkulon.org).
satu mamalia purba yang masih hidup. Nenek moyang Badak Jawa Baluchitherium, telah hidup 50 juta tahun yang lalu, sejak jaman Erasia. Rangka fosil nenek moyang Badak Sunda (Rhinocerus sondaicus Desmarest) yang bentuknya lengkap dan diperkirakan berusia 1 juta tahun lebih ditemukan di Trinil dan Kedungbrubus. Berkerabat dengan Badak Jawa (Rhinoceros kendengindicus) dari Trinil. Juga memiliki tiga varian yaitu annamiticus, guthi, dan sondaicus, yang berasal dari Indochina. Semua koleksi fosil badak tersebut tersimpan di Museum Geologi, Badan Geologi Bandung. Selain itu, Badak Sunda (Rhinoceros kendengindicus) ini masih satu kerabat dengan kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) dan keledai (Equus asinus), yakni hewan yang memiliki kuku ganjil. Sedangkan cula badak adalah evolusi dari rambut badak yang bersatu dan mengeras.
Sejak jaman dahulu manusia memburu badak hanya untuk mendapatkan culanya. Konon cula badak dijadikan ramuan obat-obatan atau jadi barang kerajinan seni berharga. Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) adalah pemakan tunas dan rerumputan. Badak memakan daundaun muda, tunas-tunas dan rantingranting yang tumbuh di permukaan tanah. Jika makanan ini tidak dapat dijangkau karena terlalu tinggi, maka badak akan berusaha mematahkan batangnya dengan cara menabrakkan dirinya pada batang tersebut, atau dengan cara menghancurkan batang dengan giginya. Ada lebih dari 150 jenis tumbuhan yang diidentifikasi sebagai makanan badak, dan kemungkinan besar semua jenis tumbuhan tersebut yang dapat dicapai dan ukurannya sesuai akan dimakan. Badak
memakan makanannya di berbagai tipe vegetasi, meskipun kebanyakan dilakukan di tempat-tempat yang tidak terlindung, misalnya, di antara pepohonan yang roboh atau di padang semak-belukar tanpa pepohonan. Badak Sunda melahirkan setiap 3-5 tahun sekali. Lama mengandung 16 bulan, umumnya melahirkan satu ekor anak saja dan dipelihara induknya hingga umur 2 tahun, setelah dewasa anak tersebut meninggalkan induknya. Usia badak jawa bisa mencapai hingga 50 tahun.
Penyelamatan Badak Dunia
Saat ini di di dunia sedang giatnya program penyelamatan Badak termasuk Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus). Salah satu pemicunya adalah Tragedi Badak Sunda di Vietnam yang punah. Nick Cox, Manager WWF Species Program Greater Mekong, mengatakan,
Vol 27 No2
63
Patung Badak yang dihiasi dan menarik di lihat, ditampilkan di depan Riviera International Conference Centre, Public Building in Torquay, England, selama berlangsungnya “Internasional Conference on UNESCO Global Geoparks 27th – 30 th September 2016”, English Riviera UNESCO.
“Tragedi Badak Sunda Vietnam ini menjadi simbol krisis kepunahan hewan akibat perburuan, seperti pernah terjadi pada Badak Sunda India (Rhinoceros sondaicus inermis) di India lebih dari seabad lalu”. Perlindungan pada Badak Sunda di Indonesia kini menjadi prioritas untuk mencegah hal yang sama seperti yang terjadi di India dan Vietnam. Sementara Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI), mengatakan bahwa ancaman kelangsungan hidup badak di Indonesia tak hanya terjadi pada Badak Sunda, juga terjadi pada Badak Sumatera Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), sehingga membutuhkan kewaspadaan dan perhatian khusus, karena populasinya kini tinggal sekitar 300 individu dan itu pun kini hanya tinggal dua subspesies. Subspesies ketiga diduga telah punah. Saat ini Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
64
Vol 27 No2
tersebar di beberapa taman nasional di Sumatera. Kondisinya tak lebih baik dari Badak Sunda. Walaupun jumlahnya tidak lebih 300 individu tapi terpencar, susah ditemukan. Untuk menyelamatkan Badak Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehidupan (KLHK) bekerja sama dengan Konsorsium Badak Sumatera, YABI, WWF, WCS, Forum Konservasi Leuser (FKL), dan Leuser International Foundation, menggalang dukungan masyarakat melalui Kampanye “Kado Untuk Delilah”. “Kado untuk Delilah” ini sengaja diambil untuk mengingat kelahiran bayi badak betina tahun lalu. Delilah lahir dari pasangan badak Andalas dan Ratu di kawasan konservasi penangkaran badak Suaka Rhino Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Provinsi Lampung. Widodo pun mengatakan bahwa pemerintahan saat ini menargetkan
peningkatan populasi 25 satwa terancam punah termasuk badak sumatera sebesar 10 persen sampai 2019. “Dalam kabinet ini kita harus mampu meningkatkan 10 persen populasi satwa terancam punah, Jika populasi badak sumatera saat ini 100 individu, kita perlu meningkatkan 10 individu sampai 2019. Sampai saat ini, badak sumatera yang lahir 2 individu, perlu upaya lebih serius. Menambah populasi hingga 10 persen, merupakan pekerjaan berat, karena semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat harus ikut bergerak. Keprihatinan pun ditujukan pada populasi badak di Afrika yang sedang menghadapi krisis pemburuan terburuk dalam puluhan tahun ini. Selama tiga tahun belakangan, genggeng pemburu dikatakan membunuh lebih 800 badak untuk mengambil cula mereka, yang bisa berharga Rp300 juta di pasar gelap.
Para pakar khawatir peningkatan perburuan bisa melemahkan upaya konservasi yang dilakukan akhir-akhir ini untuk menstabilkan populasi badak hitam dan putih. Mereka meminta agar dilakukan kerja sama yang lebih besar dan intensif antara kalangan pembela lingkungan dan badan-badan penegak hukum. Meskipun manajemen biologi dan tindakan anti perburuan yang bagus menghasilkan tambahan lumayan bagi populasi kedua spesies badak di Benua Afrika. Namun menurut Dr. Richard Emslie, seorang pejabat ilmiah IUCN dan anggota Kelompok Spesialis Badak Afrika IUCN, ancaman terbesar datang dari keterlibatan yang makin besar dari jaringan perburuan badak yang tertata rapih. “Kalau eskalasi perburuan tidak dihentikan, maka jumlah badak bisa kembali menurun”. Permintaan naik Badak hitam (Diceros bicornis) yang sangat terancam, yang terdiri atas empat subspesies, pada saat ini memiliki populasi 4.840 (naik dari 4.240 pada tahun 2007) yang tersebar di negara-negara Afrika bagian selatan. Kedua subspesies badak putih (Ceratotherium simum), yang memiliki distribusi serupa seperti badak hitam, memiliki populasi sebanyak 20.000 (naik dari 17.500 pada tahun 2007). Meskipun jumlahnya besar, badak putih digolongkan sebagai terancam punah oleh IUCN. Ini merupakan akibat langsung dari pemburuan yang sangat gencar khususnya di Afrika Selatan, Zimbabwe dan Kenya. Diperkirakan 333 badak dibunuh di Afrika Selatan saja tahun lalu, sedangkan 70 lagi ditembak tahun ini. Mendengarnya saja sangat mengkhawatirkan, sepertinya badak Afrika yang menuju kepunahan?. Kalangan konservasi curiga sebagian besar pengambilan cula badak secara ilegal itu dijual ke pasar obat tradisional di Asia Tenggara, dan permintaan yang makin besar dan harga tinggi membuat pemburuan meningkat tajam. Mereka meminta kerja yang lebih besar antara
berbagai pihak yang terlibat dalam menangani hewan besar itu, termasuk para penyelidik dan badan-badan penegak hukum.
Sementara di benua Asia, saat ini badak hanya ditemukan di satu populasi di pulau Jawa, yaitu badak Sunda (Rhinoceros sondaicus), dimana hanya 50-60 hewan yang bertahan. Demikian pula, nasib badak Sumatera yang sekarang tersebar di setengah lusin populasi kecil di seluruh Indonesia dan Malaysia, boleh dibilang tidak ada yang bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa bantuan internasional yang besar. Alasan kematian mereka sepenuhnya karena perburuan ilegal untuk tanduk mereka. Sejumlah prakarsa, seperti pembentukan Satuan Pencegah Kejahatan Satwa Liar National di Afrika Selatan, membuahkan hasil dalam bentuk penangkapan pelaku. Tetapi ketua Komisi Penyelamatan Spesies (SSC) di IUCN, Simon Stuart, mengatakan penting bagi badanbadan satwa liar untuk bekerja sama erat dengan pihak swasta dan masyarakat (pemilik lahan), karena di Afrika Selatan, sejumlah besar badak hidup di lahan pribadi. Manajeman badak, termasuk pengawasan dan keamanan cula badak, perlu diperbaiki dan dikordinasikan di kalangan pemilik badak. Ini sangat penting dalam menangani krisis pemburuan. Upaya pencegahan perburuan dan perlindungan badak di seluruh dunia yang dicanangkan IUCN mendapat respon dari berbagai negara, salah satunya program konservasi Badak
yang dilakukan di Riviera Inggris di musim panas 2016 dengan tema “The Great Big Rhino Project”. Kegiatan ini merupakan acara seni kelas dunia yang memperkenalkan Badak ke khalayak ramai di jalan-jalan, taman, dan ruang terbuka selama 10 minggu (30 Juli sampai Oktober 2016). Acara tersebut di prakarsai oleh Paignton Zoo Environmental Park England dengan mitra utama lembaga kesenian Wild in Art, juga bekerja sama dengan Dewan Kota Exeter dan Dewan Torbay serta Radio Exe sebagai sponsor media mereka. Salah satunya ditampilkan di depan Riviera International Conference Centre, Public Building in Torquay, England, selama berlangsungnya “Internasional Conference on UNESCO Global Geoparks 27th – 30 th September 2016”, English Riviera UNESCO. Pada acara tersebut patung badak seukuran aslinya menghuni jalanan sambil menampilkan kekayaan bakat artistik di daerah tersebut, sekaligus menyoroti ancaman konservasi yang signifikan yang dihadapi badak liar, terutama badak Afrika, badak Sunda, badak Sumatra. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengenal dan memahami permasalahannya. Boleh dibilang tidak ada yang bisa bertahan dalam jangka panjang tanpa bantuan internasional yang besar. Kemudian sebelum di lelang untuk amal di November 2016, pada 14 sampai 16 Oktober 2016 “The Great Big Rhino” berada di Kebun Binatang Paignton sebagai acara puncak amal. Dana hasil pelelangan digunakan oleh Paignton Zoo untuk mendukung konservasi badak di seluruh dunia. Uang yang dikeluarkan oleh Paignton Zoo’s Great Big Rhino Project akan disalurkan melalui Save the Rhino International www.savetherhino.org, sebuah LSM yang berbasis di Inggris, dan digunakan untuk: mendukung patroli anti-perburuan di sekitar cadangan badak, restorasi habitat di Jawa (Ujung Kulon), meningkatkan area yang tersedia untuk badak, dan dukungan untuk populasi penangkar badak Sumatera yang dikelola secara
Vol 27 No2
65
Simulasi Kasus Hipotetik. (Sumber: Hamzah latif, 2011)
intensif di Indonesia yang memiliki keberhasilan pembiakan pertamanya pada tahun 2013, yang dikenal dengan istilah “Kado untuk Delilah� . Tanpa tindakan ini, kedua spesies pasti akan hilang. SRI memiliki track record yang bagus dalam konservasi badak global dan akan memastikan bahwa kontribusi Kebun Binatang digunakan dengan cara yang paling efektif dan tepat waktu.
Ancaman Tsunami di Ujung Kulon, Banten
Keberadaan Badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon saat ini, tidak hanya menghadapi permasalahan terbatasnya habitat sebagai tempat hidup dan pertumbuhan tanaman langkap yang mengancam ketersedian pakan. Akan tetapi, ada juga bencana yang mengancam, yaitu tsunami yang bisa datang sewaktuwaktu dan badak Sunda (Rhinoceros sondaicus) berada di lokasi terisolir,
66
Vol 27 No2
Ujung Kulon, yaitu sebuah area paling ujung Pulau Jawa bagian barat yang berbatasan dengan Selat Sunda. Ancaman bencana tsunami rawan terjadi, kapan saja, mengingat di Selat Sunda di antara Pulau Jawa dan Sumatera terdapat patahan aktif yang di kenal sebagai segmen sesar Ujung Kulon, bagian dari sesar besar Sumatra. Selain itu ancaman tsunami bisa disebabkan pula oleh letusan Gunung Anak Krakatau sebagaimana terjadi pada letusan Gunung Krakatau 1883. Berdasarkan sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang tercatat dalam katalog tsunami yang ditulis oleh Soloviev dan Go (1974). Di dalam katalog dijelaskan bahwa tsunami tersebut dipicu oleh beberapa fenomena geologi, salah satunya oleh erupsi gunung api yang pernah terjadi pada tahun 416?, 1883 dan 1884. Sementara hasil penelitian lebih baru
tsunami Selat Sunda bisa di picu pula oleh letusan Gunung Krakatau 535 dan 1215, 1680 (Sumber: Wohletz, 2000). Namun, dari keseluruhan peristiwa tsunami yang pernah terjadi di masa lalu, letusan 1883 ini, tercatat sejarah sebagai letusan yang sangat menghancurkan dan meninggalkan jejak-jejak nyata yang dapat disaksikan manusia saat ini. Peristiwa yang sama kembali terjadi pada tahun 1928, dan tsunami kecil teramati sekitar Gunung Api Anak Krakatau. Sedangkan tsunami pada generasi baru Gunung Krakatau yakni Gunung Anakkrakatau, pernah terjadi pada letusan tahun 1928 dan tsunami kecilnya teramati di sekitar Gunung Anakkrakatau. Meskipun Anakkrakatau saat ini tidak seukuran Krakatau 1883, diprediksi bisa menghasilkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 7,9-21 meter, karena Gunung Anakkrakatau ini terus tumbuh dan saat ini ketinggiannnya telah
Simulasi kasus hipotetik dan tinggi maksimum dan Lama perjalanan tsunami di Selat Sunda yang dihasilkan, (Sumber: Hamzah latif, 2011)
mencapai 813 mdpl. Dalam katalog tersebut juga dijelaskan bahwa tsunami pernah teramati setelah adanya peristiwa gempa bumi yang berpusat di dasar laut, di antaranya pada tahun 1722, 1757, 1852, dan 1958. Juga merekam adanya kenaikan muka air laut yang diduga sebagai tsunami kecil bersifat lokal, teramati di beberapa kawasan pantai dengan penyebab yang belum diketahui, yaitu pada tahun 1851, 1883 (dua bulan setelah peristiwa erupsi Gunung Api Krakatau) dan 1889. Diduga bahwa peristiwa geologi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda, selain erupsi gunung api dan gempa bumi bawah laut, adalah peristiwa longsoran di kawasan pantai dan di dasar laut. Sementara itu, gambaran prediksi gempa bumi periode panjang lebih dari 100 tahun, para ahli meyakini
bisa terjadi dan menyebabkan tsunami hingga ketinggian 30 meter. Hal ini pernah dimodelkan oleh Hamzah Latief (2011), dengan melakukan simulasi tsunami hipotetik akibat gempabumi 7,5 Mw dan 8,0 Mw dengan kedalaman pusat gempa 20km. beberapa ruas kawasan pesisir daerah ini mengalami sapuan tsunami yang menjangkau hingga 41km ke arah pedalaman dari gelombang berketinggian dari 10-30m sebelum tertahan oleh perbukitan volkanik. Rapatnya pepohonan di pesisir landai di kawasan konservasi Ujung Kulon dan P. Panaitan dapat mengurangi jangkauan sapuan gelombang masuk ke pedalaman, sementara jangkauan jauh ke pedalaman tercapai pada kawasan persawahan dan desa di ruas antara Labuhan dan Tanjung Lesung. Kemudian, ancaman tsunami ini oleh para ahli badak dilakukan penelitian
lebih lanjut dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Society for Conservation Biology edisi April 2017 bertajuk Prevering Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami risk and Future Conservation Direction. Artikel tersebut disusun berdasarkan hasil survei lapangan, studi literatur, dan diskusi para ahli badak. Ada WWFIndonesia, Departemen Konservasi Ikan, Satwa Liar dan Konservasi Biologi Universitas Colorado, Taman Nasional Ujung Kulon, WWF Amerika Serkat, Global Wildlife Conservation, EPASS Project Balai TN. Bogani Nari Wartabone, dan Yayasan Badak Indonesia (YABI). Menurut Sunarto, Spesialis Program Satwa WWF-Indonesia, yang ikut bagian dalam melakukan penelitian badak sunda dan ikut menulis artikel tersebut, mengatakan bahwa habitat badak sunda ini memang berada tak jauh dari garis pantai, sehingga ancaman bahayanya sangat
Vol 27 No2
67
Peta persebaran Badak Sunda dan hewan lainnya di Taman Nasional Ujung Kulon. Berdasarkan pmantauan 178 kamera yang di pasang terditeksi setidaknya ada 29 jenis mamalia dan lebih dari 270 jenis burung yang hidup beserta beragam amfibi dan reptil, (Sumber: Jurnal Society for Conservation Biology).
besar. Data yang dibutuhkan dalam penelitian itu adalah meletakkan atau memasang kamera infra merah sekitar 178 buah atau hampir 90 persen terpasang di area potensial habitat badak sejak Maret-Desember 2013. Selain badak sunda di Taman Nasional Ujung Kulon ini setidaknya ada 29 jenis mamalia dan lebih dari 270 jenis burung yang hidup beserta beragam amfibi dan reptil. Dalam monitoring kamera tersebut, individu badak sunda diidentifikasi dari video klip, yaitu dengan mendiagnosa morfologi seperti ukuran, ketajaman cula, rupa kerutan kulit muka, pori-pori kulit, lipatan leher, pigmentasi, dan jenis kelamin. Sebagai finalisasi pendataan, digunakan model penangkapan spasial dan hipotesa faktor yang mempengaruhi pendeteksian, kepadatan, jarak badak, serta cuaca dan ketinggian. Dari hasil pemasangan kamera
68
Vol 27 No2
tersebut, diperoleh lebih dari 36 ribu video klip yang lima persennya badak sunda. Jumlahnya 54 individu dengan komposisi 22 betina dan 32 jantan. Temuan lain dari kepadatan badak adalah umumnya satwa ini berada pada ketinggian 7meter pada jarak 108meter dari garis pantai (25 persen). Ada juga yang berada pada ketinggian 9meter pada jarak 412 meter dari garis pantai dan ketinggian 15 meter dari 855 meter jarak pantai, dengan kerapatan 50 hingga 70 persen. Ancaman tsunami itu bisa terjadi, di mulai bila terjadi pada ketinggian 5 meter, maka akan mengenai semua area kepadatan badak hingga 20 persen. Kemudian, bila tsunami terjadi pada ketinggian 10meter akan mengenai 80 persen daerah kepadatan badak yang berada di ketinggian 9meter dan bisa menenggelamkan semua area, tempat badak sunda terkonsentrasi, bila
tsunami datang dengan gelombang hingga 30 meter. Sebuah ancaman serius yang perlu dipikirkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama. Populasi badak diperkirakan sudah ada sebelum Krakatau meletus pada 1883. Jarak interval penghitungan badak setelah sekian lama, baru muncul kembali pada 1993, lebih dari 100 tahun. Perkiraan identifikasi populasi individu dan kesimpulan statistik yang kuat pada 1993. Saat itu menggunakan 60 kamera yang lokasinya disebar di tempat yang mirip pada penelitian ditemukan 34 individu badak dewasa. Para ahli juga mendiskusikan keberadaan badak tersebut yang mayoritas berada dekat garis pantai, yang sangat berisiko terekspos gelombang tsunami. Meskipun, perkiraan kemungkinan gempa bumi tahunan yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian tiga meter di
Ancaman tsunami dan dampaknya pada kehidupan Badak Jawa di Ujung Kulon. Bila tsunami terjadi pada ketinggian 5 meter maka akan mengenai semua area kepadatan badak hingga 20 persen. Tsunami ketinggian 10 meter akan mengenai 80 persen daerah kepadatan badak yang berada di ketinggian 9 meter. Sementara tsunami dengan gelombang hingga 30 meter bisa menenggelamkan semua area, tempat badak jawa terkonsentrasi, (Sumber: Jurnal Society for Conservation Biology).
Taman Nasional Ujung Kulon relatif kecil, hanya 10 persen, namun tetap harus diwaspadai dan diantisipasi. Walaupun, saat ini umumnya tsunami yang terjadi akibat gempabumi di Indonesia, ketinggian gelombangnya hingga 10 meter, tetap saja akan mengancam mayoritas area padat badak, yang berpotensi menenggelamkan habitat utamanya. Oleh Karena itu, untuk mengurangi risiko pengurangan badak Sunda, diperlukan intervensi manusia dan intervensi jangka panjang. Termasuk di dalamnya adalah penambahan kapasitas Taman Nasional Ujung Kulon melalui manajemen habitat atau penambahan jenis pakan dan pemantapan populasi independen. Tujuannya, mengurangi paparan tsunami dan ancaman lain yang ada di taman nasional. Informasi individu badak yang dapat diperoleh dari video seperti jenis kelamin, ukuran, dan kondisi
tubuh juga sangat membantu mengidentifikasi individu yang tepat untuk dipindahkan. Melanjutkan monitoring populasi setelah pemindahan akan menjadi hal penting untuk melacak populasi dan mengevaluasi kesuksesan manipulasi habitat demi meningkatkan kualitas habitat badak sunda ini. Kabar baik dalam rangkan penyelamatan Badak Sunda ini, datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang telah menyetujui perluasan Suaka Rhino Sumatera dari 100 hektar menjadi menjadi 250 hektar. Lahan ini nantinya, sekitar 30 persen sebagai fasilitas jalan dan bangunan, sedangkan lainnya untuk zona intensif pengelolaan. Hal ini tertuang dalam “SK Dirjen KSDAE No. SK.307/ KSDAE/SET/KUM.0/9/2016 pada 27 September 2016, menetapkan areal SRS dikembangkan seluas 250 hektar. Perluasan sarana dan infrastruktur
telah berjalan sejak pembukaan area pertama 5 April 2017. Selanjutnya yang diperlukan pembentukan organisasi yang peduli badak dalam menyusun strategi translokasi untuk mempermudah pertemuan badak, sehingga bisa bereproduksi dengan aman dan nyaman. Hal ini dibutuhkan kesiapan banyak pihak untuk menangani pemindahan tersebut. Semoga, upaya penyelamatan badak di dunia dari ancaman manusia bisa ditanggulangi. Demikian pula ancaman tsunami terhadap komunitas badak di Ujung Kulon bisa diantisipasi sejak dini oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan mengusahakan perluasan lahan yang aman dari ancaman tsunami atau upaya-upaya lainnya. Penulis adalah fungsional PATGTL, Badan Geologi.
Vol 27 No2
69
Segara Anak Dewi Anjani
Gunungapi aktif Rinjani +3726 m, dicirikan dengan kerucut yang tumbuh di tepian kaldera bagian timur. Di bagian dalam kaldera lahir danau kawah yang berbentuk bulan sabit, dan kerucut baru disebut Gunung Barujari dalam bahasa Sasak, berarti gunung muda yang baru terbentuk. Danau Segara Anak +2008 m adalah danau kaldera dengan gunungapi aktif tertinggi di dunia. Sejarah letusannya dimulai sejak umur Kuarter, hingga di masa sejarah manusia modern. Letusan yang sangat dahsyat diukuran 7 pada skala VEI (volcanic explosivity index) yang dampaknya setahun kemudian melanda hingga ke Eropa pada abad ke-13 dan baru terungkap di awal abad ke-21. Foto : Iim Ali Imron Teks: Deni Sugandi
70
Vol 27 No2
Vol 27 No2
71
Integrasi Taman Bumi Bromo-Tengger-Semeru Atep Kurnia
Judul Buku : Taman Bumi Bromo Tengger Semeru Penulis : Oki Oktariadi Penerbit : Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Tahun Terbitan : Cetakan ke-1, 2015; cetakan ke-2 dengan revisi, 2017 Tebal : xii+320 halaman Sejak fajar modernitas merekah di ufuk peradaban dunia Barat, rumpun ilmu pengetahuan yang semula cenderung menyatu, jadi terpisah. Cabang-cabang ilmu baru pun tumbuh, bak jamur di musim penghujan. Masing-masing mengembangkan disiplinnya sendirisendiri. Tentu dengan segala rinciannya
72
Vol 27 No2
yang diusahakan berbeda dengan induk yang menjadi awal mula ilmu pengetahuan tersebut. Namun, kita bisa saksikan, perkembangan ilmu tersebut kemudian berubah lagi. Pada abad ke-20 dan ke-21, kita lihat tumbuhnya kesadaran di kalangan para ilmuwan yang menggarisbawahi kenyataan bahwa yang disebut ilmu itu tidak bisa tunggal. Melainkan sebenarnya saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, yang kemudian terjadi adalah upaya untuk mendekatkan disiplin-disiplin ilmu. Atau dengan kata lain, terjadi integrasi ilmu pengetahuan.
Dengan maksud, agar pembacaand dan analisa terhadap fenomena alam dan kemanusiaan menjadi lebih komprehensif. Tidak parsial atau fragmentaris. Ilmu kebumian pun, termasuk geologi, tidak terlepas dari perubahan paradigma ilmu pengetahuan tersebut. Geologi, yang semula terkesan mengurung diri pada hal-hal yang bersifat kealaman yang murni fisis, bergeser ke arah hal-hal yang bersifat sosial, ke arah hal ihwal yang berkaitan dengan hajat hidup manusia. Perubahan paradigma tersebut jelas menekankan peran pentingnya
manusia sebagai pihak yang paling berkepentingan (stake holder) terhadap geologi. Pasti hal ini berangkat dari kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan selalu akan tertuju kepada, bila meminjam istilah dari ranah demokrasi: dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Dengan kerangka demikian, kita bisa membaca nilai penting dari terbitnya buku Taman Bumi Bromo, Tengger, Semeru (2017) karya Oki Oktariadi. Penulis yang lahir di Bandung, 19 Oktober 1961, ini ahli geologi yang sejak 1987 hingga sekarang bekerja untuk Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan. Dari tangannya telah lahir berbagai tulisan yang berkaitan dengan air tanah serta geologi tata lingkungan, yang nyata-nyata terpaut erat dengan hal-hal yang bersifat “engineering” atau teknik demi kepentingan hajat hidup orang banyak. Demikian pula dalam bentuk buku. Penulis yang juga bertindak sebagai Ketua Dewan Redaksi Buletin Geologi Tata Lingkungan (BGTL) dan Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi (JLBG) ini, antara lain, telah menyusun buku Warisan geologi Pulau Belitung (2014), Warisan geologi Sumatra (2014), Warisan geologi ranah Minang (2015), dan Warisan Geologi Bromo Mahameru (2015). Hadirnya buku barunya, Taman Bumi Bromo, Tengger, Semeru, senada dengan buku-buku di atas. Apalagi bila kita membaca keterangan penulisnya dalam “Prakata” dan “Cerita di balik judul”, kita dibuat yakin mengenai arah atau kecenderungan ilmiah Penyelidik Bumi Utama di Badan Geologi ini. Dalam “Prakata”, antara lain, kita membaca pernyataan sebagai berikut: “Sejak bertahun-tahun Gunung Bromo-Tengger termasuk Gunung Semeru telah menjadi tempat favorit bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Terbitnya mentari sungguh dinanti, sementara pemandangan alamnya tidak pernah habis mempesona. Masyarakat setempat pun telah merasakan nilai tambah ekonomi dari keindahan alam di sekitarnya. Hanya satu aspek yang belum tersentuh secara maksimal yaitu memberikan nilai edukasi yang berkaitan dengan keragaman geologi
(geodiversity) terutama yang memiliki makna warisan geologi”. Dari paragraf pertama dalam “Prakata” ini, secara tersirat Oki menegaskan peran penting aspek kegeologian demi tumbuh dan berkembangnya kegiatan pariwisata di lingkungan Bromo, Tengger, dan Semeru (BTS). Kita catat, Oki menekankan aspek “nilai edukasi yang berkaitan dengan keragaman geologi” yang tentu terarah kepada berbagai wisatawan yang berkunjung ke destinasi wisata, yang notabene semuanya berada di Provinsi Jawa Timur itu. Oleh karena itu, tidak heran bila penulisnya memaksudkan penulisan buku ini sebagai berikut. Pertama, “Upaya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para wisatawan yang haus akan ilmu pengetahuan”. Kedua, “Untuk membuka tabir pentingnya pengetahuan seputar keragaman dan warisan geologi yang dimiliki wilayah Pegunungan BromoTengger-Semeru, Jawa Timur. Sekaligus mengenal dan mempopulerkannya kepada masyarakat umum agar dapat menghayati dan memaknainya melalui kegiatan geowisata serta menjadi inspirasi bagi pengelola Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru untuk mengaplikasikannya dan menyiapkan berbagai bentuk informasi keragaman dan warisan geologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan wisatawan yang haus akan ilmu pengetahuan”. Maksud tersebut, dipertegas dalam “Cerita di balik judul”, dengan pembaca ideal yang menjadi sasaran buku baru ini. Pada paragraf pertamanya, termaktub begini: “Buku ini bagian dari Seri Cagar Alam Geologi dengan judul Taman Bumi Bromo-Tengger-Semeru, yang dikenal sebagai salah satu taman nasional di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Buku ini ditujukan untuk para penggiat geowisata dan juga sebagai panduan dasar menuju geopark nasional dan global”. Dalam praktiknya, buku ini terdiri dari tujuh bab. Ketujuhnya adalah “Keragaman Geologi”, “Kehidupan di muka bumi Bromo Tengger Semeru”, “Menjaga Harmoni Alam dan Kehidupan”, “Geowisata”, “Produk Bumi”, “Mitigasi Bencana Geologi”, dan
“Menuju Geopark Global”. Dari ketujuh bab tersebut, kita sebagai pembaca diperkaya dengan pengetahuan dan perspektif baru yang berkisar di sekitar BTS. Dalam lembaran-lembaran tersebut tidak jarang kita temukan berbagai definisi, dan kemudian di akhir buku, rangkaian definisi itu dihimpun dalam “Glosarium”. Mengenai mitologi Gunung Semeru yang dikaitkan dengan kepercayaan agama Hindu. Mengenai pembentukan dan pengembangan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN BTS) yang diresmikan pada 12 November 1992. Demikian pula proses dan hasil pembentukan Pegunungan Bromo Tengger dan kompleks Gunung Semeru, menjadi pijakan bagi upaya konservasi keragaman geologi, sekaligus inti dari upaya pengembangan BTS ke arah perwujudan konsep taman bumi atau geopark. Aspek dunia hayati serta kebudayaan yang ditemukan dan berkembang di sekitar BTS pun ikut dibahas. Antara lain, kita jadi mengetahui bahwa di sekitar TN BTS ada kurang lebih 600 jenis flora, termasuk 157 jenis anggrek. Sementara jenis burung diketahui ada 137 jenis, 22 jenis mamalia, dan 4 reptilia. Kebudayaan yang berada di sekitar TN BTS berpautan erat dengan orang Tengger dengan mitologinya yang terkenal Rara Anteng dan Joko Seger, serta dengan agenda kegiatan upacara adatnya yang sekian banyak. Pada akhirnya, bila kita renungkan secara mendalam, berbagai upaya yang dilakukan di sekitar taman nasional tersebut menunjukkan kepada kita saling kait-mengaitnya disiplin-disiplin ilmu. Di situ nampak bahwa untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai BTS, bila hanya mengedepankan ego masing-masing disiplin ilmu pasti bisa dikatakan mustahil. Dengan demikian, integrasi antara ilmu alam dengan ilmu sosial jelas jadi prasyarat. Apalagi subjudul buku ini dengan jelas menegaskan sebagai “Panduan Menuju Geopark” yang dalam praktiknya harus mengawinkan ilmu geologi, hayati, dan budaya. Penulis, peminat literasi dan sejarah, tinggal di Bandung.
Vol 27 No2
73
74
Vol 27 No2
Aerial Aceh Foto & Teks: Ronald Agusta
Aceh memang menawan. Aceh merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang istimewa, baik secara
administratif maupun secara geografis. Dikatakan
istimewa secara geografis karena letak Aceh tepat
di selat Malaka sehingga memiliki peluang sebagai sebuah jalur perdagangan dan persinggahan dan
berbatasan dengan Malaysia. Secara administratif Aceh adalah provinsi istimewa selain Yogyakarta, Karena sejarahnya.
Aceh memiliki objek wisata yang sungguh
memukau yang dapat disejajarkan dengan wisata kelas internasional.
Ron Agusta, beberapa waktu lalu
mengabadikan beberapa lokasi wisata Aceh dari udara.
Vol 27 No2
75
Monumen Kilometer Nol RI merupakan penanda geografis yang unik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan perannya sebagai simbol perekat nusantara dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua
76
Vol 27 No2
PANTAI IBOIH, juga dikenal sebagai Teupin Layeu, terletak di seberang tepi barat Pulau Weh yang legendaris, di utara Aceh, provinsi paling utara di Sumatera.
PULAU RUBIAH terletak di barat laut pulau Weh. Nama Rubiah diambil dari nama yang tertulis di batu nisan di pulau ini
Vol 27 No2
77
PLTD APUNG. Dahsyatnya Tsunami Aceh tahun 2004 menghanyutkan sebuah kapal PLTD Apung seberat 2.600 ton hingga ke tengah Kota Banda Aceh. Inilah salah satu bukti kedahsyatannya. Kapal yang sangat berat itu terseret gelombang sejauh 8 kilometer dari bibir pantai.
78
Vol 27 No2
PANTAI LAMPUUK adalah pantai terdekat dengan Banda Aceh, sekitar 20 menit berkendara dari pusat kota. Pantai Lampuuk panjangnya sekitar 2 kilometer yang membungkus sebuah teluk besar sehingga air pasirnya tenang dan enak untuk berenang.
MUSEUM TSUNAMI ACEH yang terletak pusat kota Banda Aceh, adalah museum yang dirancang sebagai peringatan simbolis bencana gempa dan tsunami Samudera Hindia tahun 2004, serta pusat pendidikan dan tempat penampungan darurat bila daerah tersebut pernah terkena tsunami lagi.
Vol 27 No2
79
80
Vol 27 No2
GUNUNG GEURUTEE Aceh Jaya memiliki Gunung Geurutee yang dapat dilewati kendaraan bermotor. Jika Anda singgah sejenak dan melihat sekitar, akan tampak indahnya pemandangan pantai dari ketinggian. Anda akan dibuat takjub. Beristirahatlah sejenak di kaki Gunung Geurutee. Di sini tersaji pemandangan indah Pulau Kluang, laut, pantai, dan perbukitan hijau. Nikmat sambil menyeruput kopi Aceh dan pisang goreng
MESJID RAYA BAITURRAHMAN terletak di pusat kota Banda Aceh. Mesjid yang dibuka pada tahun 1881 ini adalah simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme masyarakat Aceh. Tingginya 35 meter, memiliki tujuh kubah, daya tampung 30.000 umat, dirancang khusus oleh Mughal yang mencerminkan kebangkitan Indo-Saracenic.
Vol 27 No2
81
Pertemuan Lingkar Kaldera Purba di Padar
Kepulauan kecil yang tersebar di sebelah timur Labuan Bajo, merupakan untaian tubuh gunung api purba umur Kuarter. Diantaranya Pulau Komodo, Rinca dan Flores bagian barat, mempunyai morfologi yang hampir sama, tetapi dibedakan atas daerah bagian utara dan selatan. Bagian utara berbentuk bukit-bukit diperlihatkan denga puncak yang hampir datar, batuannya disusun oleh endapan gunungapi tua dan sedimen yang berumur Tersier. Sedangkan bagian selatan dibentuk oleh gunungapi aktif muda, dicirikan bentuknya kerucut.
Foto : Arifin Teks: Deni Sugandi
82
Vol 27 No2
Vol 27 No2
83
Air Bersih di Desa Ngleri Lilies Marie & Nanda Annisa
Penyediaan air bersih bagi masyarakat sangat berkaitan dengan kualitas pembangunan manusia, tingkat kesehatan masyarakat, dan secara tidak langsung dampaknya akan terasa pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara yang memiliki kawasan perairan lebih luas dibandingkan daratan ternyata tidak menghindari Indonesia dari permasalahan krisis air bersih. Melimpahnya sumber daya air Indonesia dimana ketersediaan airnya mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8000 meter kubik per tahun. Meskipun begitu, Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air bersih. Sekitar 119 juta rakyat indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih, diabtaranya masyarakat Desa Ngleri. Melalui Badan Geologi Kementerian ESDM, masyarakat desa rawan air
84
Vol 27 No2
bersih di Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Prov. D.I. Yogyakarta kini telah mendapatkan bantuan sarana dan prasarana air bersih melalui sumur bor dalam. Peresmian sumur bor yang dibangun tahun 2016 tersebut secara simbolik diselenggarakan di lokasi sumur bor Desa Ngleri, Rabu 23 Agustus 2017 pukul 10.00 WIB oleh PLT Kepala Badan Geologi, yang diwakili Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL),Ibu Andiani bersamasama dengan Wakil Bupati Gunung Kidul, Bapak Immawan Wahyudi dan Anggota DPR RI Komisi VII D.I. Yogyakarta, Bapak Agus Sulistiyono, S. Peresmian yang dimeriahkan kesenian khas tradisional cokekan tersebut dihadiri segenap jajaran SKPD Kabupaten Gunung Kidul, Dinas PU-ESDM Prov. D.I. Yogyakarta, tokoh masyarakat, perangkat Desa Ngleri, dan masyarakat di sekitar sumur bor.
Peresmian ini menandakan bahwa sumur bor yang telah dibangun pada tahun 2016 tersebut dapat secara penuh digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Selain itu, peresmian ini juga dimaksudkan sebagai bahan sosialisasi kepada masyarakat bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini Badan Geologi Kementerian ESDM, bekerjasama dengan pemerintah daerah dan didukung DPR RI (Komisi VII) memiliki program pro kesejahteraan masyarakat, yaitu pengentasan daerah sulit air bersih melalui pengeboran air tanah dalam. Dimana seiring dengan telah berjalannya musim kemarau pada tahun 2017 banyak pemberitaan di media massa dan elektronik tentang adanya beberapa daerah di Indonesia yang mengalami permasalahan penyediaan air bersih, salah satunya di Kabupaten Gunung Kidul. Sumur bor di Desa Ngleri, Kec. Playen
Sumur Bor dalam diresmikan oleh Kapus PATGTL, Anggota DPR RI dan Wakil Bupati Gunung Kidul. Foto: Humas BG
ini memiliki spesifikasi kedalaman 127 m, dengan konstruksi pipa galvanis diameter 6 inchi, pasokan listrik dari genset dengan kapasitas 10 kVA = 8 kWatt, menggunakan pompa selam (submersible) 3 PK, dan dilengkapi dengan rumah genset, rumah pompa, dan bak penampungan air berkapasitas 5000 liter. Sumur dibangun di daerah dengan komposisi batuan berupa batugamping, dimana air tanahnya mengalir melalui rekahan, saluran pelarutan, atau sungai bawah tanah, sehingga diperlukan kajian dan teknologi pengeboran yang tepat. Sumur bor ini memiliki debit 1,1 L/ dtk, sehingga dalam sehari (operasi selama 12 jam) dapat menghasilkan air bersih sebanyak kurang lebih 47 kubik air bersih, untuk melayani 147 kepala keluarga. Menurut Pak Togiyono, dengan adanya sumur bor dalam ini warga merasa sangat terbantu karena
sebelumnya ketika musim kemarau datang dan air tadah hujan habis warga harus berjalan 1,5 km untuk mencapai mata air di Hutan Wanagama. Harapan warga dengan adanya air bersih warga menjadi lebih sehat dan perekonomian ikut meningkat. Pemda Kabupaten Gunung Kidul pun akan mengajukan SPAMdes ke kementerian PU untuk meningkatkan perekonomian daerah penyangga wisataTaman Hutan Raya Wanagama tersebut. Pada tahun 2016, wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta sendiri dibangun sebanyak 6 unit sumur bor dalam yang tersebar di Kab. Gunung Kidul sebanyak 2 unit, dan di Kab. Sleman, Kab. Bantul, dan Kab. Kulon Progo, masing-masing sebanyak 1 unit. Program yang dimulai sejak awal tahun 2000-an ini, sampai dengan tahun 2016 mampu membangun sebanyak 1.545 unit sumur bor yang melayani kebutuhan air bersih
sebanyak kurang lebih 4,4 juta jiwa, tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Seiring dengan kesadaran akan pentingnya program pembangunan sarana air bersih melalui pengeboran air tanah dalam, Kementerian ESDM dan didukung oleh DPR RI Komisi VII sebagai mitra kerja berupaya terus menambah anggaran untuk dapat menjangkau masyarakat di daerah sulit air yang lebih banyak. Dimana jumlah daerah sulit air bersih di Indonesia, baik karena langkanya sumber air bersih atau karena buruknya kualitas sumber air, masih cukup banyak, yang ditandai dengan masih banyaknya permintaan bantuan sumur bor air tanah dalam dari berbagai wilayah di Indonesia.
Penulis adalah Humas di Sekretariat Badan Geologi, KESDM.
Vol 27 No2
85
Tersungging di Gua Sungging Teks & Foto: Deni Sugandi
Ruang berbentuk dome di bagian tengah gua, bertingkat.
86
Vol 27 No2
Vol 27 No2
87
Lorong gua yang dikikis oleh proses pelarutan sungai bawah tanah. Proses pelarutan yang berlangsung hingga ratusan tahun, menatah membentuk ornamen yang sangat luar biasa indah.
Setiap saat saya melirik waktu untuk kesekian kalinya, rupanya baru beranjak seperempat jam yang lalu, namun ujung yang dituju belum terlihat. Hanya suara gesekan roda ban mobil mencicit membelah dingin malam Sukabumi selatan. Setelah lepas dari Bojonglopang, kendaraan bisa melaju agak cepat, karena jalan sedikit mulus namun tetap saja meliuk-liuk.
88
Vol 27 No2
Rasa kantuk sudah saya titipkan di dasar gelas kopi hitam pekat, namun masih saja mengikuti hingga lewat tengah malam. Tidak terasa enam jam sudah saya lewati, menapaki dari Bandung ke Sukabumi, kemudian mengarah ke selatan, menuju Surade untuk menemui gua unik di desa Gunung Sungging. Gua alami ini menjadi buah bibir di jejaring sosial, mulai dari fenomena aura mistis yang menyertainya, lorong panjang yang diperkirakan 1 km lebih, hingga lokasi baru sensasi para pemburu swafoto. Bentukan alam ini menjadi fenomena ungulan wisata minat khusus, di wilayah taman bumi yang telah dikukuhkan sebagai Geopark Nasional. Luas Geopark Ciletuh-Palabuhanratu itu sendiri menempati luas hingga 126.100 Ha, atau 1.261 km2 yang meliputi 74 desa, di delapan kecamatan, termasuk Surade. Goa yang terletak dilingkar
perkebunan dan pesawahan warga, hanya bisa diakses melalui jalan setapak jalan desa dan berbatu. Dari area parkir kendaraan dilanjutkan berjalan kaki mengikuti paving block yang telah disusun warga, sebagai upaya memudahkan pengunjung. Di ujung gang dilanjutkan menelusuri pematang sawah, yang mengantarkan jalan setapak berakhir ke mulut gua. Dari kenampakan bukit tersebut seperti halnya bentuk alam biasa, bukit yang tertutupi vegetasi dan pohon hutan, dan sebagian terbuka karena digali untuk menjadi bahan tambang batu bata disebut bata cadas. Batupasir tuf tersebut dimanfaatkan menjadi bahan baku konstruksi bangunan, dengan cara dipotong-potong menggunakan gergaji tanpa proses pembakaran. Berbeda dengan bahan dasar tanah liat, disebut bata merah atau dari pasir kwarsa yang harus dicetak dan dikeringkan.
Ornamen gua berupa batutetes membentuk kolom, yang tumbuh di bagian tengah gua, menandakan gua yang masih aktif dan berkembang.
Lebar mulut gua kurang lebih lima meter menghadap ke arah tenggara, dan tinggi dua meter. Sawah di bagian depan gua sebagian tanahnya dimiliki keluarga bapak Usup, sebagai tanah warisan dari kakeknya. Kepemilikan inilah menjadi haknya memanfaatkan muka gua sebagai usaha wisata, sedangkan gua itu sendiri berdiri di atas tanah milik desa. Menurut sesepuh kampung, awalnya gua tersebut hanya dimanfatkan menjadi tempat burung walet besarang, namun seiring waktu burung tersebut hilang tidak kembali, kemungkinan lingkungan sekitarnya telah berubah menjadi lahan pertanian. Kira-kira awal tahun 70-an gua tersebut sering dikunjungi para pesugih, yang mengadu nasibnya menjadi lebih baik. Terlihat dari altar yang dibangun menyerupai meja, di bagian dalam gua untuk menyimpan sesaji. Itu dulu, tetapi sekarang telah berganti menjadi lokasi tujuan wisata umum.
Ki kamal salah seorang sesepuh desa pernah menuturkan, gua ini pernah menjadi tempat pelarian para gerobolan para pengikut partai politik yang dilarang pemerintah tahun 65-an. Bersembunyi di gua ini untuk menghindari kejaran tentara, dikepung hingga dua minggu lebih. Namun para gerombolan tersebut bisa kabur melalui pintu sebelah timur, keluar di daerah Caringin. Kalau sekaran saya tidak tahu, jelas Ki Kamal, kemungkinan sudah tertutup. Bila keterangannya benar, berarti sistem terowongan bisa menembus 1,5 km dari desa Gunung Sungging ke Caringin. Di mulut gua pintu masuk ditata sedemikian rupa, menggunakan pengamanan teralis besi, dengan ukuran lubang masuk seukuran orang dewasa. Menurut Usup pintu tersebut dikunci karena alasan keamanan, untuk menghindari dari pelaku yang suka mengambil sarang
burung walet tanpa ijin pemilik. Usup mempersilahkan saya berjalan di depan, sesekali ia memberi aba-aba untuk membungkuk, untuk menghindari ornamen gua yang runcing. Dari muka pintu di daerah zona remang-remang, tampak lorong yang sebagian telah tererosi, dan kering. Kenampakan endapannya tanah menumpuk ke arah pintu masuk, menandakan arah aliran sungai saat banjir ke arah puntu saya masuk. Udara pengap mulai terasa ketika sudah berjalan kurang lebih 15 menit, meniti lorong-lorong kering, yang hanya disinari cahaya lampu sorot seadanya. Diawal pergerakan harus berhati-hati dan membungkuk beberapa meter, kemudian berjalan bebas diantara dinding lorong dengan lebar 3 m, dan tinggi bervariasi kemungkinan kurang lebih 10 m. lorong-lorong tersebut merupakan dinding tegak, meliuk
Vol 27 No2
89
karena dierosi air. Di tengah perjalan saya mendengar gemericik air yang mengalir diantara celah vertikal kurang lebih 30 meter, ciri sistem sungai tertutup, kemudian timbul di bagian tenggara gua.
Gua ini termasuk unik, karena disusun oleh batupasir gampingan, hasil pengendapan jutaan tahun di lingkungan laut zona neritik, yaitu bagian cekungan lautan dengan kedalaman antara 50 ke 200 meter. Pengendapan tersebut mengalami kompaksasi, karena adanya gaya gravitasi kemudian memadat. Proses sedimen dianggap lengkap setelah memasuki tahap pembatuan atau litifikasi, dan disertai proses sementasi. Di peta geologi lembar Jampang dan Bale Kambang, kelompok penyusun batuan ini adalah Formasi Bentang Bagian Atas (Tmbu) umur antara Miosen Atas-Pliosen atau diantara 23 – 2 juta tahun yang lalu. Batuan gua ini disusun oleh tufa kristal, tufa batu, tufa abu, dan pada umunya ditemui napalan dan berbatu apung (Sukamto, 1975). Gua ini dibedakan pembentukannya dengan lingkungan kawasan kars, meskipun dihiasi ornamen, tetapi tidaklah begitu banyak kemungkinan karena susunan batupasir karbonatan tidak begitu baik meloloskan air (porositas). Berbeda dengan batuan karbonat yang memiliki rongga air, dibentuk dan diterobos oleh proses pelarutan atau karstifikasi. Hiasan gua yang saya saksikan diantaranya batutetes yang membentuk stalaktit-stalagmit, kolom, batualir berupa batutirai (drapery), tetapi tidak menemukan kolam-kolam air atau disebut travertin.
90
Vol 27 No2
Usup melemparkan cahaya ke arah atap gua, dan memperlihatkan figur seperti kepala ular yang sedang menggantung. Endapan kalsit yang menarik adalah bentuk mirip seperti kepala ular, menggelantung di atap gua, terbentuk dalam kurun waktu yang sangat lama. Bentukanbentukan alami tersebut menjadi menarik, bila diartikan dalam rupa imajinatif, bila melihat dari sudut yang tepat. Setelah menapaki lorong tegak sejauh 300 meter dari mulut gua, tiba di ruangan luas membentuk kubah. Saya menduga atapnya runtuh yang dicirikan oleh material yang menumpuk akibat erosi. Di dinding gua terlihat ornamenornamen yang terbentuk melalu batualir, terlihat rupa rahang buaya kerucut, lengkap dengan sudut runcing yang berkesan gigi. Usup menjelaskan bahwa bentuk tersebut merupakan penjelmaan siluman buaya, yang pernah menempati gua ini. Di arah lain, terlihat perlapisan batupasir gampingan, mencirikan diendapkan di lingkungan air, kemungkina laut dangkal dan tenang di umur jutaan tahun, karena tidak ditandai perlapisan simpang siur. Gua ini bertingkat dicirikan dengan keberadaan lorong yang bersusun hingga ke bawah. Tinggi antar lantai diperkirakan antara 7-10 meter, dan kemungkinan tebalnya endapan bisa lebih dari 100 meter.
Lorong bertingkat ini bisa jadi karena proses pengangkatan, kemudian sistem aliran sungai bawah tanah menyesuaikan dengan batas air permukaan pada saat itu. Lorong-lorong tersebut terbentuk karena diterobos oleh aliran sungai bawah tanah, melalui mekanisme air. Hasil dari pengikisan tersebut menghasilkan lorong –lorong terjal, bercabang dan bertingkat. Bisa dibayangkan bila tidak diantar
pemandu, tentunya akan tersesat dan hilang orientasi, seperti berjalan dilabirin yang gelap. Untuk perbandingan, gua ini dibedakan dengan bentukan pseudokars atau berkesan seperti-kars. Misalnya gua dilingkungan permafrost di kutub bumi, atau gua-gua yang terjadi bukan oleh proses pelarutan, seperti gua lava di Purbalingga, yang terbentuk karena aliran lava kemudian bagian atas mendingin, membentuk atap gua. Kita aliran lava pijar bagian dalam habis, kemudian terbentuklah struktur lorong. Kekaguman saya meraba kegelapan, mengantarkan ke waktu menjelang senja. Tidak terasa hampir empat jam menapaki lorong gua kering, seakan waktu di dalam perut bumi berhenti. Di ujung lorong Usup melambaikan tangan, menandakan harus segera kembali keluar. Perlahan sapuan lampu sorot seperti melambaikan perpisahan, menyapu ruang dan lorong gua yang tidak berujung untuk disinggahi kelak. Pintu besi ditutup Usep rapat-rapat, meyakinkan agar keindahan tetap milik kegelapan abadi, menjadi rahasia alam perut bumi Jampang. Penulis adalah anggota dewan redaksi BGTL, fotografer kebumian.
(Atas) Perlapisan batupasir gampingan, yang diendapkan dalam waktu yang sangat lama. (Bawah). Seorang pemandu memperlihatkan kolom yang terbentuk melalui mekanisme pengendapan. diperlukan waktu yang sangat lama mempertemukan stalagmit dan stalaktik menjadi kolom.
Vol 27 No2
91
Lorong gua menuju arah mulut gua sebelah selatan.
Kolom yang terbentuk karena proses pengendapan kalsit.
92
Vol 27 No2
Kamera Digital Thermal Ibarat manusia super yang bisa melihat panas dan dingin, kamera thermal dengan sensifitas <0.050 celcius, mampu membaca benda yang mengandung energi panas. Dilengkapi dengan fitur zoom lensa 4x digital, dengan resolusi 76,800 pixel, dengan ukuran sensor 320 x 240 dot. Model E40, E50 dan E60 bisa terkoneksi dengan kamera pintar, melalui aplikasi yang diseting melalui koneksi Wi-Fi App. Selain kemampuannya merekam video, kamera thermal ini pun dilengkapi file format radiometrik JPEG setara dengan 3.1 Mega Pixel hingga bisa dicetak dan diperbesar hingga ukuran A3. Pengaturan dilakukan menggunakan fitur touch screen-layar sentuh, dengan teknologi E-Series, dengan ukuran screen 3.5 inchi. Ukuran tersebut memungkinkan penggunaan yang lebih mudah dilapangan, tanpa melalu tombol yang biasanya menyulitkan pengaturan. Kamera ini disebut Compact Thermal Imaging, atau kamera ringkas thermal, digunakna untuk berbagai keperluan pengukuran suhu di lapangan. Baik pembacaan temperatur kawah, untuk penelitian vulkanologi, hingga energi panas ini mengalir oleh gelombang elektromagnetik yang mirip dengan cahaya yang kita lihat. Sumber: http://www.flir.com