Korupsi (B. Herry Priyono) - Arthasastra: Kitab Nasihat dari India

Page 1

Sebelum Modernitas  |  91

3.1.4. Arthashastra: Kitab Nasihat dari India Lonjakan literatur persoalan korupsi dalam beberapa dasawarsa ini memberi kesan rancu bahwa ‘korupsi’ adalah idiom khas paham per­ adaban Barat dengan akar alam pikir Yunani dan Romawi. Kesan se­ perti itu tidak berdasar. Korupsi dengan idiom-idiom turunannya bu­ kan khas paham dunia Barat, melainkan melekat pada paham tatanan masyarakat dan pemerintahan yang baik dalam peradaban dan kebu­ dayaan mana pun––pokok ini akan dibahas di Bab 7. Salah satu con­ toh sangat jelas adalah apa yang terkandung dalam Kitab Arthashastra, salah satu karya klasik India kuno yang diperkirakan ditulis pada abad ke-4 SM. Kapan persisnya Arthashastra ditulis masih menjadi pokok perde­ batan di antara para ahli. L. N. Rangarajan, seorang ahli yang mener­ jemahkan dan menyunting kitab itu, menyimpulkan bahwa Arthashastra cukup pasti ditulis sebelum tahun 150.121 Thomas R. Trautmann, otoritas lain dalam studi kitab itu, menandai zaman antara 321 SM dan 150 M sebagai periode ditulisnya Arthashastra.122 Artha adalah kata Sanskerta untuk harta, kekayaan. Shastra menunjuk pada seni, ketram­ pilan, pengetahuan. Harta di sini menunjuk pada “kekayaan dalam arti keberhasilan yang luas dan mencakup kekuasaan politik”. Karena itu “arthashastra adalah pengetahuan tentang pemerintahan, tata cara mengelola negara, terutama kerajaan”.123 Isinya amat lugas menggaris­ kan cara-cara menjalankan pemerintahan. Beberapa ahli menggambar­ kan Arthashastra sebagai kitab nasihat mirip dengan Il Principe (Sang Pangeran), karya Machiavelli di zaman Renaissance (1513).124 Da­ lam tradisi literatur India kuno, banyak pujangga juga menulis kitab nasihat berisi arthashastra bahkan sejak sekitar 650 SM dan dikenal sekurangnya empat mazhab arthashastra: mazhab Manu, Brihaspati, Ushanasa, dan Parashara.125 Namun, Arthashastra yang ditulis oleh so­ sok bernama Kautilya telah membenamkan kitab-kitab arthashastra lain. Di zaman itu, dokumen penting bertahan karena disalin satu per satu. Sebuah “buku lenyap seluruhnya jika tidak disalin terus-mene­ rus”, dan “buku yang dipandang istimewa di bidang tertentu menggu­


92  |  KORU P S I

sur buku-buku sejenis dari era sebelumnya”. Buku “Arthashastra karya Kautilya adalah penggusur buku-buku seperti itu”.126 Kautilya sen­ diri menulis: “Artha­shastra ini merangkum hampir semua arthashastra yang ditulis para guru kuno bagi penyelenggaraan dan pemeliharaan dunia”.127 Siapakah Kautilya? Para ahli berdebat. Dari isinya kuat disimpul­ kan bahwa “kitab itu ditulis oleh seorang brahmin yang aktif bekerja bagi kerajaan yang secara historis memang ada, bukan sebagai imam ke­rajaan (purohita) tapi sebagai menteri (amatya) atau penasihat (mantri) tentang urusan praktis dan sekular menyangkut administrasi, diplo­masi dan perang”.128 Dongeng dan legenda dari sumber-sumber Hindu, Budhis dan Jain menyebutkan Kautilya lahir dengan gigi su­ dah lengkap, dan ini diartikan sebagai tanda bahwa ia akan menjadi raja. Orang tuanya tidak menginginkan itu terjadi, maka “mencabuti semua gigi anak itu untuk menggagalkan ramalan”. Disebut sendiri oleh Kautilya sebagai penulisnya bahwa ia marah besar ketika diusir raja Nanda dari suatu pesta, lalu bersumpah untuk menghancurkan dinasti raja itu: “Kitab ini ditulis oleh dia yang karena amarah segera menyusun siasat dan senjata untuk menaklukkan dunia yang dikua­ sai raja Nanda”.129 Disebutkan nama asli Kautilya adalah Chanakya, dan ia membantu Chandragupta menggulingkan raja Nanda di tahun 321 SM, lalu menjadi perdana menteri raja Chandragupta Maurya di kerajaan Magadha, dengan ibukota Pataliputra di wilayah timur-laut India.130 Raja Chandragupta inilah kakek dari sosok yang dikenal seba­ gai Ashoka (268–232 SM).131 Thomas Trautmann menyimpulkan bah­ wa “bahkan jika fakta hidup Chanakya telah menjadi dongeng rakyat, tidak diragukan lagi Chanakya memang sosok nyata sejarah yang me­ nonjol”.132 Apakah Chanakya orang yang sama dengan Kautilya, dan apakah Kautilya penulis tunggal Arthashastra, semua itu juga menjadi bahan perdebatan yang tidak perlu mengganggu kita.133 Apa yang relevan bagi kita adalah paralel menarik tentang paham tatanan masyarakat dan pemerintahan baik di dunia kuno. Pengertian korupsi terkait erat dengan pokok ini. Dalam alam berpikir Yunani


Sebelum Modernitas  |  93

kuno, poros tatanan dan paham kebaikan berpusar pada polis––dalam pemikiran Aristoteles, cirinya analog dengan dalil organisme biolo­ gis. Dalam paham China kuno, poros itu terletak pada pemerintahan yang meniru keteraturan alam semesta.134 Dalam alam berpikir India kuno, poros tatanan baik itu ada pada keteraturan melalui pelaksanaan dharma. Apa itu dharma? Tanpa memasuki kompleksitas arti, apa yang dimaksud dharma dalam Arthashastra menunjuk paham keter­aturan tatanan hidup dan masyarakat yang digariskan dalam kitab Veda. Sa­ lah satu unsurnya adalah harmoni tatanan berdasarkan perbedaan kas­ ta (varna) dan arti kebaikan sebagai pelaksanaan kewajiban masingmasing kasta (Brahma, Kshatriya, Vaisya, Sudra).135 Inilah ciri hierarkis tatanan, dengan kasta tertinggi (Brahma) memegang monopoli realitas, kebenaran, dan moral. Medha Bisht melihat “paham tatanan dan kea­ dilan ini mirip paham tatanan dan keadilan dalam pemikiran Plato”.136 Namun, doktrin itu dilihat secara berbeda-beda. Mazhab konser­ vatif menekankan ortodoksi ajaran dan sikap pengorbanan, sedang­ kan mazhab anti-Veda (dengan para guru seperti Gautama Buddha, Mahavira dan Gosala) melihat ini sebagai despotisme. Mereka mem­ berontak dan coba membarui doktrin itu. Mazhab arthashastra me­ nempuh kompromi secara berbeda-beda, namun para pemikirnya menekankan otonomi ranah pemerintahan dunia. Arthashastra karya Kautilya termasuk bagian mazhab ketiga ini, dengan “kepercaya­ an pada daya efektif ajaran Vedas [dan] mendukung sistem kasta (varna)”.137 Maka, dharma menjadi poros paham tatanan dan kebaikan masyarakat: “Setiap orang dan kelompok melakukan kewajiban menu­ rut kekhasan kasta masing-masing; itu yang membentuk tatanan”.138 Penyelewengan tatanan merupakan kemerosotan dan korupsi. “Raja”, tulis Kautilya, “menegakkan pelaksanaan kewajiban masing-masing dari empat kasta [d]an menjaganya dari pelanggaran Dharmas. Ia yang tidak melindungi rakyatnya atau merusak tatanan sosial adalah raja yang memegang tongkat kerajaan dengan sia-sia”.139 Tentu, tidak ada peradaban dengan kosmologi sosial persis sama. Namun, itu bukan berarti tidak ada kemiripan pola. Seperti dalam


94  |  KORU P S I

masyarakat Yunani dan Romawi kuno, alam pikir India kuno juga mengenal pengertian korupsi sebagai kemerosotan tatanan moral dan masyarakat. Dan ciri degeneratif korupsi ini menyangkut kerusakan tatanan hierarkis ketika orang/kelompok tidak bertindak menurut ke­ khasan kasta masing-masing. Ciri degeneratif tatanan dalam paham Yunani dan Romawi kuno diungkapkan melalui paham siklus bentuk pemerintahan––Plato, Aristoteles, Polybius, Cicero, dan Machiavelli punya paham ini. Sejarawan Polybius, misalnya, punya siklus monarkitirani-aristokrasi-oligarki-demokrasi-anarki-kembali ke monarki, dan seterusnya. Kitab Arthashastra juga punya paham degenerasi dan rege­ nerasi itu, yaitu “dari kondisi kemerosotan ke kondisi kemandegan lalu ke kondisi kemajuan”, kemudian berayun ke kemerosotan lagi, dan sete­ rusnya.140 Roger Boesche menyebut paham sejarah dalam Arthashastra ini sebagai teori pendulum.141 Seperti juga dalam paham Yunani dan Romawi kuno, pokok ini tidak sekadar menyangkut teori sejarah yang abstrak. Masing-masing kondisi terungkap bukan hanya dalam sua­ sana umum kehidupan masyarakat, tetapi juga dalam kinerja institusiinstitusi dan sikap serta perbuatan penduduk dan para pejabat, pega­ wai dan petugas kerajaan. Maka, bahkan dalam tata masyarakat kasta ini pun terdapat paham tentang ‘publik’ dan ‘kepentingan publik’, te­ tapi bukan dalam arti modern tentang ‘publik’ sebagai apa yang bukan ‘privat’. Publik menyangkut segala urusan yang menyangga terjadinya keteraturan tatanan sesuai dharma. Itulah mengapa di zaman kuno penggelapan uang negara dan penyelewengan/penyalahgunaan jabatan juga dipandang korupsi. Bukan dalam arti bahwa uang atau jabatan itu adalah publik melalui mandat rakyat, melainkan publik dalam arti menyangkut milik raja/ratu dan negara sebagai penjaga tatanan; juga apabila tatanan itu tersusun dalam pola hierarkis kasta-kasta. Apa yang jauh lebih eksplisit dalam Arthashastra adalah pengertian korupsi terkait dengan penyelewengan/penyalahgunaan jabatan, bah­ kan secara amat rinci menyebut jenis-jenis tindakan korup, penetapan hukuman, dan patokan denda bagi tindakan korup. Perhatian lebih tertuju pada “perbuatan korup para pejabat tinggi daripada pejabat


Sebelum Modernitas  |  95

rendah”, dengan kesadaran kuat bahwa “pejabat tinggi punya kewe­ nangan lebih besar”.142 Dalam kitab Arthashastra, perhatian besar juga diarahkan pada perkara kas negara: “Seorang raja dengan kas negara yang tipis/kosong akan menggerus gairah kehidupan warga dan rakyat. [S]emua urusan bergantung pada kondisi keuangan, karena itu perha­ tian khusus mesti diberikan pada kas negara”.143 Itulah mengapa kuali­ tas kejujuran dan keandalan kepala rumah tangga kerajaan, bendahara, pejabat dan semua pegawai yang terkait dengan pengumpulan pen­ dapatan negara begitu sentral.144 Dalam urusan kas negara disebutkan secara rinci 40 jenis korupsi berupa penggelapan. Misalnya, “penunda­ an laporan pembayaran [pajak]”, “pelaporan lebih awal mengenai apa yang menurut aturan harus dilaporkan kemudian”, “apa yang belum terkumpul dilaporkan sudah terkumpul”, “apa yang terkumpul hanya sebagian dilaporkan sebagai sudah terkumpul seluruhnya” dan sebalik­ nya “apa yang terkumpul semua dilaporkan hanya sebagian”, “pengum­ pulan sebuah barang dilaporkan sebagai barang lain”, “apa yang telah terkumpul dihapus dari daftar pembukuan dan apa yang belum ter­ kumpul ditulis di pembukuan”, “menaikkan/menurunkan harga ko­ moditas”, “memalsu standar kemurnian emas dan perak”, “memalsu ukur­an/timbangan”, dan lain sebagainya.145 Betapa rinci daftar itu, yang berasal bukan dari zaman kita melain­ kan dari zaman lebih dari 2000 tahun lalu. Demikian pula daftar hu­ kuman dan denda bagi pelanggaran. Misalnya, “para akuntan yang ti­ dak memberi laporan tepat waktu, atau tidak menyerahkan pembuku­ an bersama penghasilan bersih, didenda 10 kali lipat dari nilai yang wa­ jib dilaporkan”; “jika akuntan tidak memberi laporan harian, ia dapat diberi waktu satu bulan lagi untuk melakukan, dan sesudah satu bulan ia didenda 200 panas per bulan sepanjang ia tetap menunda laporan”; “juru tulis yang melanggar atau menyimpang dari format pembukuan yang sudah ditetapkan, memasukkan apa yang tidak ia ketahui, atau membuat pembukuan ganda atau tiga (punaruktam), ia didenda 12 panas”; “siapa pun yang kedapatan memalsu akan didenda 10 kali lipat”; “siapa pun yang tidak menyerahkan ke kas negara apa yang de facto


96  |  KORU P S I

dikumpulkan, atau tidak membelanjakan apa yang ditetapkan, atau salah melaporkan pendapatan bersih, telah melakukan penyelewengan keuangan pemerintah, dan ia dikenai denda 12 kali lipat nilai yang di­ selewengkan”; dan masih banyak rincian lain.146 Sulit diketahui sejauh mana semua itu memang terjadi. Bukti untuk itu menuntut penggalian sejarah sosial tentang praktik sehari-hari zaman yang begitu silam. Na­ mun, apa yang diajukan di sini juga bukan soal apakah semua itu me­ mang terjadi, melainkan bagaimana dari apa yang tertulis dalam kitab Arthashastra kita dapat mengenali paham dan pengertian korupsi di za­ man India kuno. Jika apa yang tertulis itu dilepas sejenak dari konteks ruang-waktu, semua itu bahkan terdengar seperti aturan transparensi serta akuntabilitas di zaman super-modern. Seperti telah disebut, rupa­ nya konsep korupsi melekat bukan secara etnosentris pada masyarakat tertentu (entah Barat, India, atau Timur Tengah), tetapi pada semua masyarakat (purba, kuno, modern) sejauh masyarakat itu punya paham tentang tatanan masyarakat dan pemerintahan yang baik. Kita juga tidak tahu bagaimana hukum secara nyata dilaksanakan untuk menjamin semua aturan itu. Namun, di kitab Arthashastra ter­ tulis rinci bagaimana aturan-aturan itu dijaga melalui beberapa lapis siasat, salah satunya melalui monitoring dan pemeriksaan: “Siapa pun yang punya kompetensi dan kualifikasi kepemimpinan administratif, sesuai dengan kapasitas masing-masing, harus diangkat sebagai kepala departemen pemerintah, dan selama bekerja, mereka menjalani peme­ riksaan setiap hari”.147 Apa yang lebih mengejutkan adalah uraian rinci bagaimana aturan transparensi dan akuntabilitas coba ditegakkan dan dibuktikan melalui mata-mata. Apakah para pegawai menyeleweng dan menggelapkan atau tidak, tulis Kautilya, “hanya dapat dipastikan melalui mata-mata”.148 Mata-mata disebar ke segala penjuru. Mereka “menyamar sebagai orang-orang yang punya daya paranormal, orang yang sedang menjalani laku pertobatan, orang yang dikenal bermati raga, pengembara (chakra-chara), pendongeng atau penyair, pelawak, mistikus, astrolog, peramal, dukun, tabib, orang gila, orang pandir, orang tuli, idiot, pedagang, pelukis, orang buta, tukang kayu, musisi,


Sebelum Modernitas  |  97

penari, pedagang anggur dan pembuat roti, tukang daging, dan pema­ sak nasi”.149 Contohnya, “setelah berteman dengan orang yang dicuri­ gai, entah ia seorang hakim atau komisioner, si mata-mata minta dia agar seorang temannya yang sedang kena perkara dilindungi dengan imbalan sejumlah uang. Jika hakim itu menerima, ia harus dinyatakan sebagai penerima suap dan dibuang. Hal yang sama berlaku bagi si komisioner”.150 Selain penggunaan mata-mata, dalam Arthashastra juga disebutkan bagaimana fakta dan pembuktian perbuatan korup dikumpulkan dari para informan, termasuk peniup peluit (whistle blower) dalam penger­ tian sekarang: “Informan siapa pun yang memberi informasi tentang kasus penggelapan, apabila ia berhasil membuktikan, menerima im­ balan seperenam dari jumlah yang digelapkan”. Namun, “informan yang gagal membuktikan keterangannya harus dikenai hukuman den­ da uang atau fisik, dan tidak boleh dibebaskan”.151 Semua informasi rinci tentang bagaimana tugas publik itu dilaksanakan “harus selalu dipastikan”, lanjut Kautilya, “sebab manusia punya kodrat plin-plan dan, seperti kuda yang sedang berlari, menunjukkan perangai berubahubah”.152 Dengan perumpamaan indah Kautilya menulis: Sebagaimana mustahil untuk tidak menjilat madu atau racun yang ada di ujung lidah, begitu pula tidak mungkin bagi pegawai pemerintah untuk tidak “makan” sekurangnya sedikit dari kas sang raja. Sebagai­ mana ikan di air tidak mungkin diketahui apakah ia minum atau tidak minum, demikian juga sulit dikenali ketika para pegawai yang bekerja di pemerintahan menggelapkan uang negara bagi keuntungan mereka sendiri. Bahkan masih mungkin kita tahu rute terbang burung-burung di langit, tetapi begitu sulitlah kita memastikan gerak-gerik para pega­ wai yang bekerja dengan maksud tersembunyi.153

Sekali lagi perlu diingat, kita tidak tahu apakah semua itu terlaksana. Pokok-pokok yang disajikan di atas juga bukan untuk membuktikan apa yang terjadi. Yang diajukan adalah pokok ini. Melalui kitab Artha­ shastra kita mengenali bahwa pengertian korupsi sebagai penyeleweng­ an jabatan telah berkembang di India kuno lebih dari 2000 tahun lalu. Namun, arti penyelewengan jabatan dalam Arthashastra bukan untuk


98  |  KORU P S I

dipahami sebagai penyalahgunaan kekuasaan sebagai mandat rakyat (melalui proses demokrasi) dan penyelewengan prinsip legal-rasional birokrasi dalam pengertian Weberian––pokok ini akan dibahas dalam Bab 5. Yang lebih mungkin adalah bahwa penyelewengan jabatan itu merupakan salah satu penyimpangan dari apa yang dianggap tatanan baik (good order). Dalam suatu kumpulan historiografi korupsi dan anti-korupsi sejak masa kuno sampai modern, ditemukan bahwa “sejak zaman kuno korupsi telah dikaitkan dengan perkara kekuasaan publik dan kepentingan publik”. Namun, yang dimaksud kepentingan pub­ lik sebagai penyangga kebaikan tatanan hanya bisa dipahami “dengan bantuan definisi internal yang menyediakan petunjuk tentang apa arti korupsi––kadang berarti kemerosotan masyarakat secara keseluruhan, kadang berarti penyelewengan tertentu”.154 Bahkan sejak zaman kuno, “melawan korupsi telah dipandang sebagai bagian penting memelihara tatanan sosial dan politik”.155 Dari zaman kuno kita akan melanjutkan perjalanan dengan me­ ngenali paham korupsi dalam tradisi sejarah pemikiran Eropa Abad Pertengahan.

3.2. Abad Pertengahan: Teologisasi Kemerosotan Arti luas korupsi sebagai kemerosotan (degenerasi) ini akan tetap men­ jadi idiom dominan selama berabad-abad kemudian. Di abad ke-4 dan ke-5, makna degeneratif yang melekat pada konsep korupsi berlanjut dan mengalami suntikan teologi dari pemikir yang berpengaruh pada pemikiran abad-abad selanjutnya. Ia bernama Agustinus (354–430).

3.2.1. Agustinus: Korupsi sebagai Dosa Asali Kunci untuk memahami pemikiran Agustinus adalah tiga faktor beri­ kut. Pertama, pudar dan runtuhnya Kekaisaran Romawi yang berlang­ sung lebih intensif di sekitar abad ke-5. Keruntuhan ini memunculkan kekosongan otoritas pemerintahan atas wilayah yang sedemikian luas.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.