Zaman Kontemporer | 293
korupsi”, padahal permintaan (demand) juga sama pentingnya. Sisi demand ini menyangkut “moralitas publik dan semangat kepublikan”.235 Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa masuknya visi etis (normatif ) melalui studi ilmu-ilmu sosial ini menandai babak baru dalam perdebatan tentang korupsi. Optimisme awal para ilmuwan sosial Mazhab Modernisasi––bahwa korupsi akan lenyap dengan pembangunan––mulai surut. Lonjakan literatur tentang korupsi yang terjadi selama dasawarsa 1960-an dan awal 1970-an mereda. Para ilmuwan sosial tetap bergulat dengan masalah korupsi, namun dari akhir dekade 1970-an sampai 1980-an dapat dibilang terjadi kemandegan visi maupun agenda. Sebagaimana luas diketahui, dunia di akhir dekade 1980an dan awal 1990-an ditandai keruntuhan Uni Soviet dan rekonstruksi negara-negara di Eropa Timur dan Tengah yang sebelumnya merupakan bagian atau dalam pusaran pengaruh Uni Soviet. Melalui konteks ekonomi-politik berbeda, pada paruh dekade 1990-an perhatian terhadap korupsi kembali melonjak. Dengan itu juga perhatian pada masalah korupsi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kali ini, lonjakan minat bukan hanya terjadi di dunia akademis, tetapi melibatkan badan-badan internasional seperti World Bank dan organisasi independen anti-korupsi baru seperti Transparency International. Inilah periode yang oleh Moisés Naím disebut “ledakan korupsi” (the corruption eruption): “Mengapa pada dasawarsa 1990-an persoalan korupsi tiba-tiba menjadi halilintar politik? Dari India sampai Italia, dari Jepang sampai Brazil”.236 Inilah topik yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
5.5. Membentuk Globalisasi Paham Anti-Korupsi Pertanyaan “mengapa?” di atas merupakan bagian kisah lonjakan perhatian terhadap korupsi sejak awal dekade 1990-an sampai hari ini. Kisah itu terbentuk dari konteks dan aktor tertentu, dengan drama dan ironinya. Beberapa ahli melihat bahwa sejak runtuhnya Uni Soviet, perhatian terhadap masalah korupsi mengalami perubahan dramatis.237
294 | KOR U P S I
Ciri pokok perubahan terletak dalam pergeseran perhatian “dari posisi normatif yang netral ke ortodoksi bahwa korupsi adalah kutukan bagi pembangunan”.238 Apa yang disebut “posisi normatif yang netral” terungkap dalam perdebatan para ilmuwan sosial pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an tentang fungsi korupsi (ciri merugikan/menguntungkan korupsi). Dengan data dari negara-negara bekas wilayah pengaruh Uni Soviet, Diana Schmidt menunjukkan tiga babakan perhatian pada masalah korupsi. Sebelum 1990 adalah periode “perdebatan korupsi di antara para cendekiawan”, dasawarsa 1990-an berisi “perdebatan awal agenda anti-korupsi”, lalu sejak paruh dasawarsa 2000-an terjadi “perdebatan mutakhir agenda pemberantasan korupsi dengan reorien tasi”.239 Melalui analisis atas 405 program anti-korupsi, ilmuwan sosial Bryane Michael dan Donald Bowser juga memperlihatkan bahwa perhatian pada korupsi sejak dasawarsa 1990-an mengalami tiga babak pergeseran.240 Periode pertama terjadi sejak awal hingga akhir dasawarsa 1990-an. Periode ini ditandai visi normatif tentang sifat merusak korupsi yang berlanjut ke agenda global pemberantasan korupsi. Perhatian pada korupsi ditandai “berbagai gerakan pembentukan kesadaran (awareness raising)––melalui pidato, konperensi internasional, bahkan konser musik rock anti-korupsi”. Berbagai kegiatan itu melibatkan usaha gabungan lembaga seperti World Bank (WB), Transparency International (TI), United States Agency for International Development (USAID), para konsultan dan lembaga swadaya masyarakat global (LSM), pejabat resmi lembaga-lembaga internasional dan para ahli kebijakan. Sementara minat umum pada korupsi juga melonjak, perhatian para ilmuwan sosial makin tertuju pada pencarian arah bagi kebijakan pemberantasan korupsi. Periode kedua berlangsung dari akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an. Era ini ditandai “program anti-korupsi yang berfokus pada pendidikan kompetensi (capacity building)” kepada individu dan kelompok. Aneka program pemberantasan korupsi diselenggarakan lembaga seperti WB, UNDP (United Nations Development Programme),
Zaman Kontemporer | 295
OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), USAID, dan banyak lembaga pendana/donor serta badan-badan pembangunan. Dalam periode ini, agenda pemberantasan korupsi semakin menjadi idiom global dan idiom moral kebijakan publik. Munculnya banyak LSM anti-korupsi juga menandai periode ini. Di Indonesia, dalam periode ini pula The Indonesia Corruption Watch (ICW) berdiri pada 21 Juni 1998. Begitu pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada tahun 2002.241 Periode ketiga dapat dikatakan mulai sejak awal dasawarsa 2000an hingga hari ini. Fase ini ditandai “perhatian pada langkah-langkah praktis” dengan “kerja yang dilakukan para pejabat penegak hukum, dan bukan lagi urusan para mahasiswa pascasarjana serta profesor ilmuilmu sosial yang berkaca mata”. Langkah ini melibatkan kerja sama para penegak hukum lintas negara dalam investigasi gabungan dan operasi penuntutan antar-lingkup jurisdiksi. Periode ini juga ditandai masuknya Uni Eropa sebagai pelaku penting gerakan anti-korupsi, dengan mandat resmi untuk memberantas korupsi di kawasan seperti Eropa Timur dan Tengah serta Asia Tengah. Di mata para pengritik, gerakan anti-korupsi itu telah menjadi “industri anti-korupsi” yang “menghasilkan industri konsultansi, organisasi dan teknologi yang disatukan oleh wacana perang dan heboh moral”.242 Dengan melacak program gerakan anti-korupsi itu, Bryane Michael dan Donald Bowser menaksir “industri anti-korupsi” melibatkan lonjakan dana dari sekitar 100 juta dollar AS pada tahun 2003 menjadi sekitar 5 miliar dollar AS pada tahun 2009. Dalam bidang akademis, mereka menemukan bahwa pada tahun 2003 hanya sekitar 9 ahli menulis luas perkara anti-korupsi dalam bahasa Inggris. Jumlah penulis ahli itu melonjak menjadi sekitar 70 di tahun 2009.243 Kritik terhadap agenda pemberantasan korupsi lalu juga menjadi “industri tersendiri”––contoh kritik akan disajikan di akhir bab ini. Juga dengan mengakui banyak kelemahan dalam perhatian pada korupsi, ilmuwan politik Dan Hough menulis: “Tuduhan bahwa industri anti-korupsi hanya mengabdi kepentingan diri (self-serving) hampir pasti dilebihlebihkan”.244
296 | KOR U P S I
Bagaimana perhatian pada korupsi mengalami perubahan dramatis? Siapa dan apa yang terlibat? Apa pengaruhnya bagi pengertian korupsi? Seperti telah dibahas, korupsi menjadi topik perdebatan sengit di kalangan ilmuwan sosial pada dekade 1960-an dan 1970-an, terutama dalam kaitannya dengan agenda pembangunan yang diteropong melalui perspektif modernisasi. Pada dasawarsa 1980-an, perdebatan itu dapat dikatakan menyurut, meskipun beberapa ilmuwan sosial tetap bergulat dengan topik korupsi. Soal korupsi tidaklah lenyap, namun selama dekade 1980-an terserap dalam idiom baru yang muncul di akhir dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an, yaitu “revolusi” ekonomi-politik yang dicanangkan Margaret Thatcher (Perdana Menteri Inggris 1979-1990) dan Ronald Reagan (Presiden AS 1981–1989).245 Bolehlah soalnya diringkas begini. Lesunya pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju dan beban belanja negara bagi sistem jaminan sosial begitu rupa hingga terjadi krisis fiskal. Untuk menerobos krisis itu, diayunkan langkah stimulus bagi sektor bisnis melalui deregulasi dan liberalisasi. Dalam bahasa sederhana, keduanya dimaksud untuk melepaskan daya modal sektor bisnis dari kendala-kendala regulasi sosial. Bersama itu berbagai usaha yang tidak efisien di tangan negara juga diatur ulang melalui privatisasi. Maka, trio deregulasi, liberalisasi dan privatisasi menjadi penanda pokok “revolusi” yang sering disebut Konsensus Washington (Washington Consensus) atau secara populer disebut revolusi neoliberal. Langkah itu dijelmakan dalam “program penyesuaian struktural” (structural adjustment programmes/SAP) yang berisi 4 agenda: devaluasi mata uang, penghapusan subsidi bagi penciptaan mekanisme harga alami, pembebasan perdagangan, dan pengurangan peran negara dalam ekonomi. Seperti deret domino, langkah ini berpengaruh mendalam pada ekonomi-politik dunia dan menandai apa yang disebut globalisasi sejak dekade 1980-an.246 Apa kaitan pokok di atas dengan persoalan korupsi? Program yang disebut SAP juga segera menjadi arah baru kebijakan badan-badan internasional seperti WB––sebagai anggota, AS punya kekuatan suara terbesar (16,28 persen) dalam kebijakan WB; kekuatan suara AS ini
Zaman Kontemporer | 297
berasal dari kontribusi keuangan terbesar pula; Indonesia punya suara 1 persen. Sebagai badan internasional yang menangani pembangunan, perspektif SAP kemudian digunakan WB dalam pemberian bantuan keuangan bagi pembangunan negara-negara sedang berkembang. Seperti disebut di atas, salah satu unsur SAP adalah “pengurangan peran negara dalam ekonomi”. Di lain pihak, dari bahasan kita sebelumnya telah disebut bahwa agenda pembangunan di negara-negara sedang berkembang begitu bergantung pada peran negara/pemerintah. Itulah mengapa pokok perdebatan tentang korupsi pada dekade 1960-an dan 1970-an berpusar pada ciri birokrasi rezim di kawasan sedang berkembang. Maka, tuntutan sentralnya peran negara dalam pembangunan bertabrakan dengan tuntutan SAP bagi pengurangan peran negara. Inilah “paradoks sulit: negara minimalis yang dituntut SAP tidak sanggup melakukan reformasi besar ekonomi” yang persis dituntut.247 Dalam kaitannya dengan korupsi, paradoks ini menunjuk dilema begini: besarnya kekuasaan regulatif di tangan pemerintah yang dipandang sebagai sumber korupsi bertabrakan dengan tuntutan sentralnya kekuatan regulasi pemerintah untuk memimpin pembangunan. Kawasan yang paling terkena ironi adalah negara-negara Sub-Sahara Afrika. Sementara melalui SAP, negara-negara berpenghasilan menengah mengalami pertumbuhan ekonomi 4 persen lebih tinggi (1992), 52 persen negaranegara Sub-Sahara mengalami kemunduran. Pada dekade 1980-an, penghasilan warga di kawasan Sub-Sahara turun 20 persen dibanding dasawarsa 1970-an.248 Ironi ini memaksa badan internasional seperti WB berpikir ulang. Dalam ungkapan James Wolfensohn, presiden WB periode 1995– 2005, “pembangunan yang didominasi negara telah gagal. Namun, gagal pula pembangunan yang mengabaikan negara. Tanpa negara yang efektif, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan adalah kemustahilan”.249 Inilah soal yang melatarbelakangi dokumen penting WB tentang sentralnya peran negara, World Development Report 1997: The State in a Changing World.250 Di paruh dasawarsa 1990-an, doktrin SAP telah menuai kritik tajam. Inilah konteks kemunculan konsep baru, yaitu ‘tata-kelola’ (governance). Pembangunan tidak lagi dipan-
298 | KOR U P S I
dang sebagai soal besar-kecilnya peran negara, tetapi bagaimana negara membadankan tata-kelola yang baik (good governance). Dalam konteks ini pula masalah korupsi kemudian erat dikaitkan dengan urusan tatakelola.251 Apa yang dikatakan Wolfensohn di atas sulit dicerna tanpa memahami transformasi besar yang terjadi secara dramatis di akhir dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an, yaitu runtuhnya Uni Soviet dan gagalnya “pembangunan yang didominasi negara”. Inilah konteks lain yang menentukan perhatian dunia pada korupsi. Drama perubahan di Eropa Timur dan Uni Soviet telah diabadikan dalam museum, buku ilmiah, novel, suvenir, hingga lagu rock kelompok Scorpions (1990), Angin Perubahan (Wind of Change): “Aku menyusuri Moscow, menuju taman Gorky, mendengarkan angin perubahan, [b]awalah aku memasuki mukjizat sejarah, di malam yang agung, tatkala anak-anak masa depan menerawang, dalam angin perubahan…” Tentu saja, “menerawang” adalah satu hal, menghidupi “angin perubahan” adalah urusan lain. Penataan kembali negaranegara bekas anggota dan satelit Uni Soviet menyerap perhatian negara-negara maju dan badan-badan internasional. Terutama penataan kembali ekonomi berdasarkan sistem pasar dan kehidupan politik berdasarkan prinsip demokrasi menjadi perhatian pokok. Pada irisan an tara urgensi reformasi ekonomi dan politik inilah masalah korupsi tampil secara menonjol. Dalam ungkapan ilmuwan politik Bulgaria, Ivan Krastev: “Berbicara mengenai korupsi adalah cara warga pasca-komunis omong tentang politik dan ekonomi, yang sudah berlalu maupun yang akan terjadi”.252 Luasnya korupsi di kawasan Eropa Timur dan Tengah memicu para ahli menengok kembali konsep ‘masyarakat peralihan’ (transitional society) yang pernah menandai perdebatan tentang negara-negara sedang berkembang.253 Dalam ungkapan sosiolog dan ahli hukum James Jacobs, “negara-negara dalam transisi politik ini sekaligus amat rentan terhadap terlalu banyak korupsi dan terlalu banyak ideologi anti-korupsi”.254 Korupsi tampil dalam banyak wajah, dari suap bagi pelayanan kesehatan dan listrik, rente yang diciptakan bagi hak milik, hingga penjarahan kolosal aset negara oleh mafia pebisnis, anggota par-
Zaman Kontemporer | 299
tai dan pejabat.255 Terutama dari praktik penjarahan aset negara dalam proses privatisasi di Eropa Timur, bahkan diciptakan istilah baru yang kini menjadi bagian penting dalam studi korupsi, yaitu state capture. Istilah itu menunjuk pada “berbagai usaha/taktik bisnis untuk menentukan dan memengaruhi aturan main (legislasi, perundangan, peraturan, dekrit) melalui bayaran kepada pejabat negara”.256
Captured State Korupsi di Afrika Selatan
Gedung Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan itu gedung yang punya daya emosional paling kuat sedunia. Ruang pengadilan dibangun dengan batu bata dari penjara Old Fort, tempat Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi pernah ditahan. Bilahan dinding kaca yang mengitari ruang pengadilan dan orang lewat yang dapat melihat ke dalam mengungkapkan transpa rensi. Di atas pintu masuk, nilai konstitusi tergores pada beton tulisan tangan para hakim konstitusi setelah Apartheid – termasuk huruf bocah Albie Sachs yang belajar menulis dengan tangan kiri setelah dinas keamanan Apartheid meledakkan tangan kanannya. Kontras dengan keluhuran itu, percakapan yang baru saja terjadi antara wartawan The Economist dan seorang pejabat yang bekerja di situ terpaksa dilakukan di luar gedung atas permintaan pejabat tersebut. Untuk pengamanan, wartawan itu juga diminta menaruh telepon selulernya di dalam gedung. Itulah potret seberapa jauh Afrika Selatan telah merosot dari cita-citanya ketika negara itu dilahirkan setelah Apartheid. Di bawah Presiden Jacob Zuma, negara itu jadi berantakan. Kontrak-kontrak ditetapkan melalui suap dan koneksi; anggota partai yang berkuasa saling membunuh berebut jabatan pemerintah yang menggiurkan; para bandit malang-melintang dengan kekebalan hukum. [Warga] Afrika Selatan menyaksikan maraknya state capture, di mana pihak swasta menyelewengkan negara untuk merampok uang publik. [I]stilah itu luas dipakai di Afrika Selatan. [I]ntinya, Presiden Zuma dan konco-konconya menaruh banyak badan usaha milik negara dan institusi negara di tangan orang-orang yang mempermudah penjarahan uang publik. Menurut Pravin Gordhan, menteri keuangan Zuma dua kali lalu dipecat bulan Maret lalu [2017], hasilnya adalah “150–200 miliar rand (11–15 miliar dollar AS) telah dijarah”. Beberapa perusahaan global juga terlibat. Sumber: The Economist, 9 December 2017, hlm 13, 21.