kajian ipe

Page 1


LAPORAN PENELITIAN “PERSEPSI MAHASISWA DAN DOSEN PENDIDIK TERHADAP MODEL PEMBELAJARAN INTERPROFESSIONAL EDUCATION (IPE)”

Marioyono Sedyowinarso Fitri Arkham Fauziah Nurita Aryakhiyati Mawar Putri Julica Lafi Munira Endah Sulistyowati Fatia Nur Masriati Samuel Josafat Olam Candrika Dini Maryam Afifah Redho Meisudi Saskia Piscesa

CIMSA | ISMKI | PSMKGI | ILMIKI | IMABI ISMAFARSI | ISMKMI | ILMAGI

Didukung oleh: Health Professional Education Quality (HPEQ) Project Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI ii


PERSEPSI MAHASISWA DAN DOSEN PENDIDIK TERHADAP MODEL PEMBELAJARAN INTERPROFESSIONAL EDUCATIO (IPE) RANGKUMAN Latar Belakang: Pelayanan kesehatan yang bermutu menjadi tuntutan bagi pemberi pelayanan kesehatan di era global. Pelayanan kesehatan yang bermutu dapat dicapai dengan praktek kolaborasi. Namun pada penerapannya, profesional kesehatan yang paling pandai sekalipun akan kesulitan menerapkan kolaborasi tanpa pelatihan. Bekal tentang kolaborasi dapat diterapkan sejak tahap pendidikan melalui interprofessional education (IPE). Mahasiswa ilmu kesehatan sebagai profesional bidang kesehatan masa mendatang di Indonesia perlu mendapatkan pelatihan kolaborasi melalui IPE. Pengembangan model pembelajaran IPE di tingkat institusi perlu melibatkan peran serta mahasiswa agar kebutuhan dan keinginan belajar mahasiswa sehingga sangat penting untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap model pembelajaran yang sesuai untuk IPE. Pembelajaran IPE yang berjalan baik diharapkan dapat menghasilkan profesional di bidang kesehatan yang mampu berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain, sehingga dapat berperan serta dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Tujuan Penelitian: mengetahui persepsi mahasiswa dan dosen ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan Focused Group Discussin (FGD) pada mahasiswa pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia dari pendidikan dokter, pendidikan dokter gigi, ilmu keperawatan, kebidanan, farmasi, ilmu gizi, dan kesehatan masyarakat dari institusi pendidikan tinggi ilmu kesehatan yang sekurang-kurangnya memiliki 2 bidang keilmuan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran persepsi mahasiswa dan dosen pendidikan tinggi ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE Kesimpulan: (1) Kompetensi dalam pembelajaran IPE, meliputi kompetensi pengetahuan, ketrampilan, sikap , dan kemampuan kerja tim. (2) Alternatif metode pembelajaran yang mungkin untuk penerapan IPE, adalah metode pembelajaran yang bisa didesign secara komprehensif dan kolaboratif meliputi kuliah, diskusi tutorial, skills laboratorium, field study, KKN, kepaniteraan, praktik klinik. Selain hal tersebut penumbuhan proses belajar bersama bisa dilakukan pada saat orientasi mahasiswa baru dan dalam kegiatan organisasi mahasiswa . (3) Topik yang menarik untuk penerapan IPE, meliputi topik-topik yang memungkinkan untuk mengembangkan kerja tim seperti konsep kolaborasi, masalah kesehatan global, masalah bencana, iii


upaya promotif dan preventif , pelayanan klinis dan komunitas. (4) Penerapan IPE diharapkan suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai sejak mahasiswa baru, saat pendidikan tahap akademik dan tahap profesi. (5) Karakteristik dosen ideal dalam memfasilitasi pembelajaran IPE adalah memahami konsep IPE, memahami kompetensi tiap profesi kesehatan, memiliki pengalaman kolaborasi, inovatif, jiwa pemimpin, dan komunikatif. (6) Indikatorkeberhasilan program IPE yaitu adanya bagian khusus coordinator program IPE, standar pencapaian hasil belajar, adanya standar evaluasi, yang dituangkan dalam standaar iput, proses dan output. (7)Persiapan untuk pelakasanaan IPE komitmen antar institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul pembelajaran dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya kekuatan regulasi dan kekuatan hukum. (8) Hambatan dalam pelaksanaan IPEadalah dari ego masing masing profesi, beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas, paradigma terhadap profesi kesehatan , kekaburan identitas dan peran masing – masing profesi, belum adanya kejelasan paying hokum tiap profesi kesehatan, serta budaya .

iv


HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Persepsi Mahasiswa dan Dosen Pendidik Terhadap Model Pembelajaran Interprofessional Educatio (IPE) 2. Bidang Ilmu : Pendidikan Profesi Kesehatan 3. Ketua Pelaksana Kegiatan a. Nama Lengkap : Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si b. NIP : 19650811 198803 1 001 c. Alamat / No HP : Sukunan, Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta / 08122969342 d. Alamat email : mariyonosw@yahoo.com 4. Anggota Pelaksana : 11 orang 1) Fitri Arkham Fauziah, S.Kep. 2) Nurita Aryakhiyati, S.Kep. 3) Mawar Putri Julica, S.Kg. 4) Lafi Munira 5) Endah Sulistyowati 6) Fatia Nur Masriati 7) dr. Samuel Josafat Olam 8) Candrika Dini 9) Maryam Afifah 10) Redho Meisudi 11) Saskia Piscesa 5. waktu pelaksanaan : 5 bulan Jakarta, 1 Desember 2011 Mengetahui, Sekretaris Eksekutif Proyek HPEQ-DIKTI

Ketua Pelaksana

Dr. dr. Arsitawati P. Rahardjo, MA-HM

Mariyono Sedyowinarso, S.Kp., M.Si

Menyetujui, Ketua Proyek HPEQ-DIKTI

Dr. Ir. Ilah Sailah M.S. v


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pendidikan adalah kunci untuk mengembangkan dan mengubah metode serta kualitas pelayanan kesehatan (Majumdar et al., 1998 cit Steinert, 2005). Interprofessional education (IPE) adalah salah satu konsep pendidikan yang dicetuskan oleh WHO sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk peningkatan kemampuan kolaborasi. Centre for the Advancement of Interprofessional Education (CAIPE) (2002) menyebutkan, IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masingmasing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan. Menurut Universitas Toronto (2009) IPE bertujuan untuk menghasilkan mahasiswa profesi kesehatan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan praktek kolaborasi interprofesional. Penelitian yang diakukan oleh Larson (1995) dan diperkuat penelitian lebih lanjut oleh American Association of Colleges of Nursing, pada tahun 1995 ditemukan bahwa 15% dari institusi pendidikan keperawatan dan kedokteran di Amerika Serikat berhasil melakukan program interdisiplin yang terdiri dari disiplin ilmu yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Stewart et al. (2010) menujukkan bahwa setelah dilakukan workshop pendekatan interprofesional pengobatan pediatrik terhadap 48 mahasiswa kedokteran dan 20 mahasiswa keperawatan terdapat peningkatan pengetahuan dan 1


kesadaran tentang keamanan pengobatan dan penyebab-penyebab kesalahan medikasi pada pediatrik. Mahasiswa melaporkan bahwa belajar membuat resep dan administrasi obat pada pediatrik akan lebih efektif jika dilakukan bersama profesi kesehatan dari disiplin ilmu lain dibandingkan dengan hanya dengan satu disiplin ilmu. Uraian di atas menjabarkan betapa pentingnya penerapan IPE untuk peningkatan kemampuan kolaborasi profesional di bidang kesehatan. Untuk itu organisasi mahasiswa ilmu kesehatan yang terdiri dari Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA), Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI), Persatuan Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI), Ikatan Mahasiswa Kebidanan (IMABI), Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI), Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI), dan Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Gizi Indonesia (ILMAGI) bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melalui Health Professional Education Quality (HPEQ) Project memandang perlu untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih jauh tentang IPE pada mahasiswa dan dosen pengajar ilmu kesehatan di Indonesia. Kajian yang akan dilakukan berupa pengukuran persepsi dan kesiapan mahasiswa dan dosen pengajar ilmu kesehatan Indonesia dari tujuh profesi kesehatan terhadap IPE, menggali harapan mahasiswa dan dosen pengajar ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE 2


yang memungkinkan untuk diterapkan, serta menilai efektifitas pembelajaran IPE melalui simulasi. Kajian IPE pada mahasiswa merupakan bentuk kajian awal yang paling penting dan paling sering dilakukan di beberapa negara yang telah menerapkan dan mulai mengembangkan IPE karena mahasiswa merupakan pemangku kepentingan utama dalam upaya pengembangan dan penerapan IPE mulai dari tingkat institusi. Persepsi mereka terhadap metode pembelejaran IPE dapat menjadi modal utama untuk pengembangan IPE. Penelitian IPE pada mahasiswa dan dosen pengajar di Indonesia sudah mulai dilakukan di institusi pendidikan tinggi formal yang menyelenggarakan program pendidikan lebih dari satu program. Penelitian yang dilakukan oleh A’la (2010), Fauziah (2010), dan Aryakhiyati (2011) tentang persepsi dan kesiapan terhadap IPE pada mahasiswa dan dosen pengajar Fakultas Kedokteran UGM menunjukkan hasil yang positif. Mayoritas mahasiswa tahap akademik menunjukkan kesiapan yang baik terhadap IPE (sebanyak 92,8%) dan sebanyak 86,8% mahasiswa memiliki persepsi yang baik terhadap IPE (A’la, 2010). Mahasiswa tahap profesi menunjukkan tingkat kesiapan yang baik terhadap IPE (sebanyak 87,97 %) dan sebanyak 83,46% menunjukkan mereka berada pada tingkat persepsi yang baik terhadap IPE. Mayoritas dosen pengajar FK UGM menunjukkan nilai kesiapan terhadap IPE pada kategori baik (79.45%). Hasil penelitian yang baik di atas semakin disempurnakan dengan penelitian A’la, et al (2010) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan 3


pada sikap mahasiswa terhadap IPE setelah mereka mengikuti simulasi kegiatan perkuliahan interprofesi. Untuk melanjutkan usaha pengembangan IPE di Indonesia tersebut, diperlukan suatu penelitian untuk menjaring persepsi mahasiswa mengenai metode pembelajaran IPE yang dianggap baik untuk dikembangkan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyusun kurikulum pendidikan ilmu kesehatan baik di tingkat nasional maupun institusi untuk mengembangkan IPE dalam sistem pendidikan ilmu kesehatan di Indonesia sehingga kemampuan kolaborasi profesional di bidang kesehatan dapat meningkat dan dapat berperan dalam memajukan kesehatan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap metode pembelajaran IPE di Indonesia.

C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. untuk mengetahui persepsi mahasiswa ilmu kesehatan Indonesia terhadap metode pembelajaran IPE yang memungkinkan diterapkan pada tahap pendidkan akademik

4


2. untuk mengembangkan model simulasi pembelajaran IPE yang sesuai dengan harapan mahasiswa serta pengajar ilmu kesehatan Indonesia

D. Manfaat Penelitian 1.

Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang

pendidikan ilmu kesehatan dengan mengembangkan IPE di dalam pendidikan ilmu kesehatan. 2.

Manfaat praktis

a.

Bagi institusi pendidikan Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi pengelola untuk mengembangkan

kurikulum IPE dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia dengan menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu berkolaborasi dengan baik. b.

Bagi mahasiswa Meningkatkan peran mahasiswa dalam pengembangan pendidikan ilmu

kesehatan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian 1.

Penelitian serupa dilakukan oleh Fauziah (2010) yang berjudul Analisis Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Profesi Fakultas Kedokteran UGM 5


terhadap Interprofessional Education di tatanan klinik. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengambilan data kuamtitatif dengan menggunakan kuisioner IEPS (Interdiciplinary Education Perception Scale) dan RIPLS (Readiness Interprofessional Learning Scale). Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam. Studi kuantitatif dilakukan terhadap 133 mahasiswa pendidikan dokter dan ilmu keperawatan tahap pendidikan profesi. Hasilnya 117 (87,97%) mahasiswa memiliki persepsi baik terhadap IPE dan 111 (83,46%) mahasiswa menunjukkan kesiapan yang baik terhadap IPE. Penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama meneliti variabel persepsi dan kesiapan. Namun, pada penelitian kali ini pendekatan yang dilakukan hanya kualitatif melalui Focused Group Discussion. Sampel penelitian juga memiliki perbedaan, yaitu penelitian ini akan dilakukan pada tujuh profesi ilmu kesehatan, yaitu kedokteran, kedokteran gigi, ilmu keperawatan, kebidanan, farmasi, ilmu gizi dan kesehatan masyarakat. Penelitian Fauziah dilakukan hanya di Fakultas Kedokteran UGM, sedangkan penelitian ini dikerjakan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan 2.

Penelitian serupa dilakukan oleh A’la (2010) yang berjudul Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Tahap Akademik terhadap Interprofessional Education di Fakultas Kedokteran UGM. Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. 6


Pengambilan data kuantitatif dengan menggunakan kuisioner IEPS dan RIPLS. Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan focus group discussion (FGD). Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa tahap akademik dari pendidikan dokter, ilmu keperawatan, dan gizi kesehatan. Hasilnya, persepsi terhadap IPE mayoritas baik yaitu 86,8% dan kesiapan terhadap IPE mayoritas baik sebanyak 92,8%. Penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan sama-sama dilakukan di FK UGM, meneliti variabel kesiapan yang sama dan dengan kuisioner yang sama. Perbedaan terletak pada variable sikap dosen terhadap kerja tim kesehatan dan sikap dosen terhadap penerapan pembelajaran interprofessional di lingkungan pendidikan. Sampel yang akan dilakukan oleh peneliti adalah juga berbeda, sampel penelitian A’la (2010) adalah mahasiswa pendidikan dokter, ilmu keperawatan dan gizi kesehatan tahap akademik. 3.

Penelitian dengan tujuan yang sama dilakukan juga oleh Lindqvist & Reeves (2007) yang berjudul Facilitator’s perceptions of delivering interprofessional education: a qualitative study. Penelitian kualitatif ini dilakukan terhadap 13 orang staff pendidik. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara kelompok (n=5; n=8). Hasilnya, persepsi staff pendidik dinilai baik. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada pendekatan penelitian yang akan dilakukan, tempat, variable dan kuisioner. Penelitian kali ini akan dilakukan dengan pendekatan kuantitatif

7


4.

Curran, et al (2007) telah melakukan penelitian serupa berjudul Attitudes of health sciences faculty members towards interprofessional teamwork and education. Penelitian dilakukan terhadap 194 orang staf fakultas kesehatan. Sebanyak 38% responden berusia 50 – 59 tahun, 53% dilaporkan telah menjalani profesi kesehatan selama 21 atau lebih, dan 79,7% menyatakan memiliki pengalaman praktek kolaborasi interprofessional. Hasil penelitian menunjukkan 63,0%

staf

memiliki

sikap

baik

terhadap

pendidikan

dan

praktek

interprofessional. Pengambilan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner Attitude toward health care team scale, RIPLS modifikasi, dan kuesioner pengukuran sikap terhadap pembelajaran interprofesi di lingkungan pendidikan. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada tempat dan responden penelitian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner RIPLS modifikasi dan kuesioner pengukuran sikap terhadap pembelajaran interprofesi di lingkungan pendidikan.

8


BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interprofessional Education (IPE) IPE terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, belajar dari profesi kesehatan lain, dan mempelajari peran masing-masing profesi kesehatan untuk meningkatkan kemampuan kolaborasi dan kualitas pelayanan kesehatan (CAIPE, 2002). a. Karakteristik Utama Model IPE yang Ideal Pengembangan model IPE yang ideal harus dimulai dengan persamaan paradigma bahwa IPE hanyalah langkah awal dari tujuan utama dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien. Pendekatan interprofessional akan memfasilitasi dengan lebih baik mahasiswa dari satu disiplin ilmu untuk belajar dari disiplin ilmu lainnya. Pembelajaran bersama antardisiplin ilmu dapat meningkatkan keterampilan baru mahasiswa yang akan memperkaya keterampilan khusus yang dimiliki masing-masing disiplin dan mampu bekerja sama lebih baik dalam lingkungan tim yang terintegrasi. Selama ini penerapan IPE masih tidak konsisten, untuk itu harus dibuat sebuah komitmen sehingga pembelajaran interprofesional dapat diterapkan di institusi pendidikan dan diterapkan dalam kurikulum pendidikan di semua program pelayanan kesehatan untuk memastikan keberadaan jangka panjang IPE yang berkelanjutan (ACCP, 2009)

9


b. Kompetensi IPE Tujuan akhir IPE mengharapkan mahasiswa mampu mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. Barr (1998) menjabarkan kompetensi kolaborasi, yaitu: 1) memahami peran, tanggungjawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas, 2) bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan dan pengobatan pasien, 3) bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau perawatan pasien, 4) menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain, 5) memfasilitasi pertemuan interprofessional, dan 6) memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain. ACCP (2009) membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan tim (Tabel 1). No 1.

2.

3.

Tabel 1. Kompetensi untuk IPE (ACCP, 2009) Kompetensi utama IPE Komponen kompetensi IPE Kompetensi pengetahuan Stratgi koordinasi Model berbagi tugas/pengkajian situasi Kebiasaan karakter bekerja dalam tim Pengetahuan terhadap tujuan tim Tanggungjawab tugas spesifik Kompetensi keterampilan Pemantauan kinerja secara bersama-sama Fleksibilitas/penyesuaian Dukungan/perilaku saling mendukung Kepemimpinan tim Pemecahan konflik Umpan balik Komunikasi /pertukaran informasi Kompetensi sikap Orientasi tim (moral) Kemajuan bersama 10


Berbagi pandangan/ tujuan 4.

Kompetensi kemampuan tim

Kepaduan tim Saling percaya Orientasi bersama Kepentingan bekerja tim

Bagi dosen, kompetensi IPE untuk mengajarkan dan memfasilitasi kelompok pembelajaran interprofessional mutlak diperlukan. Freeth (2005) mengungkapkan bahwa staff pendidik harus mengenali dan menyadari potensi pembelajaran dalam dinamika kelompok interprofessional. Hal ini sangat sesuai dengan dengan tanggung jawab staff pendidik untuk memberikan kesempatan yang sama demi pembelajaran individu yang efektif bagi masing-masing anggota kelompok.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Tabel 2. Kompetensi pengajaran IPE (Freeth, 2005) Sebuah komitmen terhadap pembelajaran dan praktek interprofessional Kepercayaan dalam hubungan pada focus tertentu dari pembelajaran interprofessional di mana staff pendidik berkontribusi Model peran yang positif Pemahaman yang dalam terhadap metode pembelajaran interaktif dan percaya diri dalam menerapkannya Kepercayaan dan fleksibilitas untuk menggunakan perbedaan profesi secara kreatif dalam kelompok Menghargai perbedaan dan kontribusi unik dari masing-masing anggota kelompok Menyesuaikan kebutuhan individu dengan kebutuhan kelompok Meyakinkan dan memiliki selera humor dalam menghadapi kesulitan

c. Sifat belajar mengajar dalam IPE Freeth (2005) melakukan analisis sifat belajar mengajar dalam IPE yang sebelumnya telah dijabarkan oleh Brookfiel (1986). Pembelajar dewasa adalah pelajar yang mempunyai kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Hasil pembelajaran 11


mungkin akan lebih positif jika pelajar memilih sendiri tujuan, konten, dan metode pembelajaran. Hal ini akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi staff pengajar IPE. Peserta didik juga perlu mengidentifikasi apakah kebutuhan belajar mereka sejalan dengan hasil belajar yang diharapkan dan apakah pendekatan belajar yang mereka sukai sudah tepat. Ketidak cocokan dapat menimbulkan negosiasi dan memberikan kesempatan untuk pembelajaran kolaborasi. Pendidik dan fasilitator perlu menghormati kebutuhan, kepribadian dan pilihan belajar pelajar dewasa. Dalam IPE, peserta didik dan pendidik dari profesi yang berbeda harus menerima dan menghargai perbedaan masing-masing dan belajar dari hal ini. Pengalaman awal peserta didik adalah hal yang terpenting. Pengalaman hidup adalah tingkat kedua untuk belajar dan mendefinisikan kebutuhan khusus tiap individu. Pengalaman hidup profesional, pengaruh mereka pada sikap profesional dan perilaku menyediakan dasar untuk pertukaran interprofesional. Peserta dapat saling membandingkan pengalaman dan perspektif masing-masing yang terkadang saling menantang. Pembelajaran aktif adalah jantung pembelajaran dewasa. Hal ini berlaku bagi pembelajaran profesional terutama pembelajaran interprofesional. Pembelajan aktif berarti perubahan yang hanya terjadi jika sebelumnya sikap dan kepercayaan terbuka untuk tantangan di tempat yang aman, yaitu lingkungan belajar yang mendukungan dan saling bekerjasama. 12


Belajar harus saling terkait. IPE mungkin sengaja diciptakan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan tim, organisasi, profesi atau seluruh sistem pemberi pelayanan. Tekanan belajar harus dikurangi sebelum peserta termotivasi untuk belajar. IPE walaupun dirancang untuk kelompok, pada akhirnya bertujuan untuk pengembangan masing-masing individu. d. Pendekatan belajar mengajar dalam IPE Pendekatan belajar mengajar yang sudah ada disesuaikan dan dikembangkan sebagai metode balajar baru sebagai penarik perhatian belajar peserta didik dan inovasi baru dari pengajar. Tidak satu pun metode yang menjadi pilihan utama, metode pengalaman mengajar dari pengajar dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada kebutuhan belajar peserta didik dan bagaimana cara pengajar untuk menjaga perhatian peserta didik terhadap pelajaran. Metode-metode balajar yang ada dapat saling memperkuat, tidak berdiri sendiri. Pendekatan belajar mengajar yang dapat diterapkan dalam IPE yaitu exchange-based learning, action-based learning, practice-based learning, simulation-based learning, observation-based learning, dan e-based learning. Exchange-based learning merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memungkinkan para peserta mengungkapkan perasaan, membandingkan pandangan pertukaran pengalaman. Debat tentang masalah etika dapat mengekspos nilai yang mendasari perbedaan antara profesi. Permainan yang memainkan hubungan kerja antara profesi dan antara organisasi dapat meringankan belajar tetapi tetap berisi 13


konten serius. Studi kasus dapat meningkatkan peran aktif peserta dari profesi yang berbeda untuk memperkenalkan pemahaman yang berbeda dan menyarankan intervensi berbeda sebagai kelompok kerja terhadap respon kolaboratif. Action-based learning, atau problem-based learning (PBL), atau enquirybased learning (EBL), sejak tahun 1970 telah menjadi rekomendasi WHO sebagai metode pembelajaran untuk interprofessional. Sistem pembelajaran ini tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah saat ini. Bukti menunjukkan bahwa PBL mendorong kebebasan, kerja tim, ilmu pengetahuan yang lebih terintegrasi, dan pembelajaran mendalam (Bligh, 1995). Hughes dan Lucas (1997) menemukan bahwa PBL efektif dalam mencapai tujuan IPE seperti belajar tentang peran dan meningkatkan keterampilan komunikasi interprofessional. Interprofessional practice-based learning mengambil beberapa bentuk penugasan luar dalam lingkungan kerja profesi lain, pembelajaran terkait untuk peserta didik secara bersamaan pada penempatan di tempat kerja yang berdekatan, penempatan bersama di pengaturan yang sama dan tujuan yang dirancang untuk lingkungan belajar seperti pelatihan bangsal (Reeves dan Freeth, 2002; Ponzer et al., 2004). Simulation-based learning dapat menggunakan permainan peran yang diadaptasi untuk memaparkan hubungan kerja antara profesi, peserta berperan sebagai klien, pemberi pelayanan atau praktisi dari diri mereka sendiri atau perspektif profesi lain. Keterampilan laboratoroim dikenalkan dalam pendidikan professional, 14


misalnya pada kedokteran dan keperawatan, dalam kondisi ini bisa dikembangkan penyertaan dua profesi atau lebih dan perspektif interprofessional dalam diagnosis dan pengobatan. Kehidupan kerja bisa disimulasikan di dalam lingkungan belajar di mana hubungan tiap-tiap orang, tiap-tiap kelompok, dan tiap-tiap organisasi bisa ditunjukkan keluar. Observation-based learning, pelajar secara sederhana diminta untuk mengamati pertemuan tim multidisiplin dengan menggunakan metode studi observasional yang lebih canggih. E-based learning timbul karena adanya peningkatan pengenalan dunia elektronik, ditambah dengan pembelajaran kesehatan dan profesi kesehatan sehingga dapat memperbesar peluang penerapan IPE. Penerapan teknologi ini dalam IPE digunakan untuk melengkapi dan memperkuat pembelajaran tatap muka atau sebagai penggantinya (Freeth, 2005) e. Manfaat IPE Barr, et al (2005) memformulasikan bentuk rantai yang dimodifikasi untuk mendemonstrasikan seperti apakah pendidikan, yang mengarahkan pada praktek interprofessional tidak hanya sebagai tempat potensial untuk meredakan stress tapi juga meningkatkan pelayanan pasien.

15


Gambar 1. Rantai reaksi (Barr, et al, 2005)

16


f. Hambatan IPE Walaupun IPE telah diterapkan selama beberapa dekade, banyak hambatan yang telah diidentifikasi. Hambatan ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan terdapat pada pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap. Sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktek kolaborasi hingga perubahan system pelayanan kesehatan. Hambatan-hambatan yang mungkin mucul adalah penanggalan akademik, peraturan akademik, truktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian professional, evaluasi, pengembangan pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistic, kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan, beasiswa, system penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009).

17


BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif studi kasus. Pendekatan yang digunakan adalah

kombinasi

pendekatan

kualitatif.

Penelitian

mengeksplorasi persepsi mahasiswa profesi kesehatan

ini

bertujuan

untuk

mengenai IPE di tatanan

pendidikan Sarjana. Pengambilan data digunakan Diskusi Kelompok Terarah (DKT). B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad

Dahlan,

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat

Universitas

Ahmad

Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia Timur, Makasar pada bulan Juli - Desember 2011. C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah mahasiswa ilmu kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah 18


Mada, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia Timur, Makasar tahap sarjana. Wilayah dipilih berdasarkan pertimbangan kelengkapan jumlah program studi pada suatu universitas. Pengambilan data kualitatif dilakukan dengan cara DKT. Responden DKT adalah mahasiswa informan yang memiliki persepsi dan kesiapan baik berasal dari wilayah Yogyakarta, Surakarta dan Makasar. Menurut Moleong(2006) dan Sarwono (2006) peserta DKT yang ideal adalah 6-10 orang. Pada penelitian kali DKT akan dilakukan pada dua kelompok, terdiri dari tujuh program studi yaitu pendidikan dokter, pendidikan dokter gigi, ilmu keperawatan, ilmu gizi, kesehatan masyarakatan, kebidanan dan Farmasi. Setiap DKT akan dihadiri oleh tujuh mahasiswa perwakilan setiap program studi pada kota Yogyakarta dan Makasar. Total informan DKT pada penelitian ini adalah 28 orang yang terdiri 14 informan dari setiap kota. Kriteria inklusi partisipan mahasiswa adalah: 1. mahasiswa tahun akhir tahap akademik 2. memiliki pengalaman organisasi kemahasiswaan minimal 1 tahun 3. menjadi responden pada studi kuantitatif 19


4. menunjukkan nilai sikap dan kesiapan yang baik pada penelitian tahap I. Kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah mahasiswa yang pada saat penelitian berlangsung sedang cuti atau tidak berada dalam lingkungan institusi pendidikannya.

D. Definisi Operasional Definisi operasional variabel pada penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. IPE adalah suatu pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda dan mengenai berbagai profesi untuk meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan. 2. Persepsi adalah proses yang dilalui oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar dan menimbulkan pandangan pribadi mahasiswa kesehatan terhadap IPE. Persepsi pada penelitian kali ini adalah persepsi mengenai model pembelajarang yang mungkin untuk penerapan IPE. 3. Mahasiswa tahap sarjana adalah mahasiswa tahun akhir pendidikan sarjana (S1). Terdapat tujuh program studi yaitu pendidikan dokter, pendidikan dokter gigi, ilmu keperawatan, ilmu gizi, kesehatan masyarakatan, kebidanan dan Farmasi. 20


E. Instrumen Penelitian Instrumen untuk pendekatan kualitiatif adalah peneliti sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik DKT. Instrumen untuk pengambilan data pada pendekatan ini adalah panduan DKT. Penelitian ini dilakukan di lingkungan mahasiswa ilmu kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan,Yogyakarta, Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin, Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, Program Studi Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia Timur, Makasar. Secara umum penelitian ini dibagi menjai 3 tahapan pokok yaitu persiapan, pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut: 1.

Tahap Persiapan Tahap persiapan ini dilaksanakan antara bulan Juli 2011 sampai dengan

Desember 2011. Pada tahap ini peneliti menetapkan tema dan judul penelitian pada bulan Juni 2011. Pembuatan proposal penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2011 yang diiringi dengan pembuatan panduan DKT. Identifikasi sample penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 Agusutus 2011.

Pertanyaan

DKT disusun pada

tanggal 21 Agustus 2011. Identifikasi informan DKT dan pembahasan teknis 21


penelitian dilakukan pada tanggal 8 Oktiber 2011. Penelitian ini dilaksanakan setelah lolos uji etik dari pihak Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Indonesia pada tanggal 24 Oktober 2011.

2.

Tahap Pelaksanaan Sebelum melakukan DKT peneliti melakukan training fasilitator dan penyamaan

persepsi terhadap panduan DKT supaya data yang didapatkan sesuai dengan tujuan dan tidak terdapat keragaman tema. Training fasilitatror DKT dosen dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2011. Tahap pelaksanaan DKT dosen dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2011 yang dihadiri oleh 46 dosen di laksanakan di Hotel J.W Marriot Surabaya. Peserta dibagi ke dalam 4 kelompok DKT. Transkrip DKT dosen dilakukan minggu I bulan November 2011.Persamaan persepsi DKT mahasiswa dilaksanakan pada 12 November 2011. Informan didapatkan melalui penyeleksian informan penelitian. Saat menyeleksi informan penelitian, peneliti mendapatkan data nama-nama mahasiswa tahap sarjana dari bagian akademik masing-masing institusi. Sejalan dengan penyeleksian informan peneliti juga melakukan uji validitas dan realiabilitas terhadap instrumen penelitian. Setelah mendapatkan data informan DKT pada minggu pertama bulan November 2011 peneliti mengidentifikasi tempat pelaksanaan DKT di kota Yogyakarta dan Makassar. Setelah mendapatkan tingkat validitas dan realiabilitas yang meyakinkan 22


peneliti melakukan pengambilan data. Pengumpulan data selama bulan November 2011 pada tanggal 13 November di Hotel Shantika Yogyakarta yang dihadiri oleh 98 informan dan 20 November di Hotel Horisson Makassar ynag dihadiri oleh 111 informan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan DKT. Sebelum melakukan DKT peneliti mengirimkan beberapa pertanyaan serta panduan DKT pada ahli di bidang IPE. Hasil pada tahap ini berupa panduan serta pertanyaan untuk tahap DKT. Teknik sampling yang digunakan adalah purpose sampling. Peneliti melakukan kontrak waktu dengan responden. Setelah itu, di mulai pelaksanaan DKT kepada 98 mahasiswa kesehatan, pengumpulan data digunakan dengan metode DKT dilakukan dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok DKT akan diikuti oleh 7 bidang ilmu kesehatan. Pelaksanaan dilakukan dengan cara responden dikumpulkan pada waktu dan tempat yang telah di sepakati. DKT ini diharapkan menghasilkan outcome beberapa usulan metode pembelajaran dari partisipan. Kemudian peneliti memilih salah satu metode yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Setelah mendapatkan data dari DKT maka dilakukan analisis data kualitatif pada tanggal 1-30 November 2011.

Anaisis diawali dengan melakukan transkripsi

rekaman DKT yaitu pada tnggal 1- 5 November untuk dosen oleh notulen masingmasing kelompok DKT dan tanggal 14 – 24 untuk DKT mahasiswa. Setelah trasnkripsi dilakukan coding oleh dua orang yaitu notulen dan fasilitator untuk validasi hsil coding. Konsultasi dan bimbingan kepada ahli penelitian kualitatif Yayi 23


Suryo Prabandari, MPH, PhD dan kepada ahli pendidikan profesi kesehatan dr. Gandhes Retno Rahayu, M.Med., PhD pada tanggal 4-5 November. Pada pertemuan ini dihasilkan output berupa axial coding dari masing-masing tema 3.

Tahap penyusunan laporan Setelah data terkumpul, dianalisis, dibahas, dan ditarik kesimpulan, akhirnya

pada tanggal 26 – 31 Desember 2011 semua hasil yang diperoleh disusun menjadi sebuah laporan penelitian. F. Analisis Data Analisis data dilakukan pada tanggal 1 – 30 November 2011. Analisis data penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang dilakukan (Marshall dan Rossman dalam Kabalmay, 2002), diantaranya : 1. Mengorganisasikan Data Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui DKT, dimana data tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil DKT dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan. Anaisis diawali dengan melakukan transkripsi rekaman DKT yaitu pada tnggal 1- 5 November untuk dosen oleh notulen masing-masing kelompok DKT dan tanggal 14 – 23 untuk DKT mahasiswa. 2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban 24


Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman DKT, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip DKT dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat. Pada penelitian ini, analisis dilakukan terhadap sebuah kasus yang diteliti. Peneliti menganalisis hasil DKT berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal diungkapkan oleh responden. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap penagalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. Pengelompokan data berdasarkan tema dilkukan pada tanggal 6-7 untuk DKT dosen dan 15 – 26 November untuk DKT mahasiswa. Tahap coding dilakukan oleh dua orang tiap kelompok DKT yaitu notulen dan fasilitator kelompok DKT tersebut. Hasil coding menghsilkan 8 tema . 3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data

25


Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai. Selain itu keabsahan asumsi kami lakukan dengan menggunakan dua orang dalam tahap coding tiap kelompok FGD jadi bisa dilakukan double check terhadap asumsi tersebut. Setelah itu dilkukan konsultasi dan bimbingan kepada ahli penelitian kualitatif Yayi Suryo Prabandari, MPH, PhD dan kepada ahli pendidikan profesi kesehatan dr. Gandhes Retno Rahayu, M.Med., PhD pada tanggal 4-5 November. Pada pertemuan ini dihasilkan output berupa axial coding untuk masing-masing tema. 4. Menyajikan Hasil Penelitian Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penyajian yang yang dipakaiadalah presentase untuk data karakteristik responden. Kemudian untuk data hasil axial coding disajikan dalam bentuk grafik yang dikategorikan dalam 8 tema dan digambarkan menurut kelompok informan yaitu dosen dan mahasiswa. Selanjutnya dilakukan interprestasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan kesimpulan dari hasil penelitian

26


G. Waktu Penelitian NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

KEGIATAN Menyusun proposal penelitian Konsultasi penelitian Identifikasi sampel penelitian Menyusun pertanyaan FGD Etik dan ijin penelitian Konsultasi pertanyaan FGD ahli Identifikasi informan FGD Membuat TOR fasilitator Menentukan fasilitator dan scriber Pertemuan teknis penelitian Training fasilitator FGD ahli Pelaksanaan FGD ahli Pelatihan fasilitaor FGD mahasiswa Transkrip data FGD ahli

14

Pelaksanaan FGD mahasiswa Yogyakarta

15

Pelaksanaan FGD mahasiswa Makassar Transkrip data FGD mahasiswa Analisis data FGD Penyusunan laporan Laporan hasil penelitian konferensi

16 17 18 19

I

JULI II III IV

AGUSTUS I II III IV

SEPTEMBER I II III IV

I

OKTOBER II III IV

NOVEMBER I II III IV

13 21 24 8 8 8 8 8 29 30 12

13 19

27

DESEMBER I II III IV


H. Hambatan Penelitian Selama proses penelitian beberapa hambatan yang dihadapi yaitu sebagai berikut: 1.

Peneliti mengalami kesulitan untuk menjaring informan DKT dari tiap institusi

yang menjadi sample penelitian dikarenakan birokrasi perizinan dan persetujuan dari pimpinan institusi. Di sisi lain, kesadaran mahasiswa untuk berpartisipasi dalam penelitian dirasakan kurang karena kesibukan jadwal kuliah dan ujian. Antisipasi yang telah dilakukan oleh tim peneliti dalam mengatasi kendala tersebut adalah dengan

melakukan pendekatan kepada pimpinan institusi, dengan dukungan

rekomendasi dari HPEQ Project-Ditjen Dikti, Kemendikbud. Selain itu, peneliti memberikan penjelasan ulang terkait tujuan penelitian kepada responden yang memiliki kesadaran yang kurang baik. Akan tetapi, jika mereka tetap tidak berkenan, tim peneliti mengganti responden dengan cadangan lain yang masuk kriteria inklusi. Di sisi lain, tim peneliti juga telah melakukan sinkronisasi jadwal perkuliahan atau jadwal ujian dengan waktu pelaksanaan DKT agar responden dapat mengikuti DKT tanpa meninggalkan kewajibannya sebaggai mahasiswa, sehingga pelaksanaannya dilakukan pada akhir pekan yaitu hari Sabtu dan Minggu. 2.

Peneliti kesulitan dalam menyediakan perlengkapan untuk dokumentasi DKT,

terutama perekam video dan suara. Peneliti mengatasi hal ini dengan merekam suara saja menggunakan telepon genggam notulen dan fasilitator masing-masing kelompok DKT, sehingga dokumentasi yang didapatkan untuk mendukung proses analisa data 28


hanya dalam bentuk suara dan notulensi pada 3 kelompok DKT yang tidak tersedia rekman video. 3.

Proses pengurusan ethical clearance penelitian memerlukan waktu lebih lama

dari yang diperkirakan. Peneliti mengatasi hal ini dengan melakukan pengecekan rutin ke Bagian Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan yang dilakukan oleh anggota peneliti yang berdomisili di Jakarta. Selain itu peneliti berkoordinasi dengan sekretariat HPEQ Project-Kemendikbud dan Bank Dunia Indonesia untuk

mempermudah koordinasi

dengan Bagian Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan. 4.

Pada pelaksanaan DKT dosen ada 2 institusi yang tidak dapat hadir yaitu

Fakultas Farmasi UGM dan Program Studi Pendidikan Dokter UGM, sehingga berimplikasi pada berkurangnya jumlah informan FGD. Tim peneliti mengatasi hal ini dengan menyusun kembali pembagian kelompok FGD sehingga semua kelompok terdiri dari 7 profesi. 5.

Persiapan pelaksanaan DKT mahasiswa di Makassar kurang matang sehingga

teknis pelaksanaan dan pembagian kelompok informan DKT kurang terkoordinir. Tim peneliti mengatasi hal ini dengan mengoptimalkan peran panitia lokal yang ada untuk berkoordinasi dengan tim peneliti. 6.

Tidak semua peneliti memiliki pengalaman dalam melakukan penelitian

kualitatif terkait pendidikan profesi kesehatan, sehingga terjadi disparitas partisipasi dan kinerja selama proses penelitian. HPEQ Project telah memfasilitasi pelatihan 29


penelitian kualitatif dan forum konsultasi kepada pakar penelitian kualitatif dan pakar pendidikan profesi kesehatan untuk meningkatak kapasitas dan kemampuan tim peneliti 7.

Penyusunan laporan membutuhkan waktu yang lama dan mudur dari waktu yang

ditentukan karena ada anggota peneliti yang tidak dapat berpartisipasi optimal dalam menyelesaikan pembahasan sesuai target yang telah direncanakan. Tim peneliti mengatasi hal ini dengan mengoptimalkan pendampingan dari peneliti lainuntuk menyelesaikan pemabahasan kajian. I. Keterbatasan Penelitian Selama pelaksanakan penelitian ini peneliti memiliki keterbatasan di luar perencanaan awal, yaitu sebagai berikut: 1.

Adanya fasilitator DKT dosen yang tidak mengikuti training fasilitator dan

penyamaan persepsi panduan DKT sehingga pengambilan data kualitatif kurang tergali dengan maksimal pada salah satu kelompok DKT . 2.

Terdapat penelitian sejenis

di salah satu institusi informan penelitian yang

diketahui peneliti ketika sudah mengambil data sehingga menyebabkan 4 responden penelitian sudah terpapar dan mempengaruhi jalannya DKT dan data yang didapatkan.

30


BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini berjumlah 196 mahasiswa dan 46 dosen profesi kesehatan tahap sarjana di kota Makasar dan Yogyakarta yang terdiri dari program studi pendidikan dokter, ilmu keperawatan , kedokteran gigi, farmasi, kebidanan, ilmu gizi, dan kesehatan masyarakat. Karakteristik responden dapat dilihat di tabel 3 dan 4 berikut ini:

No 1

3

4

Tabel 3. Karakteristik Responden mahasiswa Karakteristik Jumlah (f) Persentase (%) Program studi Kedokteran 28 14.29 Kedokteran gigi 28 14.29 Ilmu keperawatan 28 14.29 Kebidanan 28 14.29 Farmasi 28 14.28 Ilmu Gizi 28 14.28 Kesehatan Masyarakat 28 14.28 196 100 Total Jenjang Pendidikan D4 28 14.28 S1 168 85.72 196 100 Total Umur 19 3 1.53 20 63 32.143 21 117 56.7 22 13 6.73 196 100 Total 31


5

6

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Tahun masuk (angkatan) 2008 2009 Total

26 170 196

13.27 86.73 100

140 56 196

71.43 28.57 100

Tabel 3. Karakteristik Responden dosen No Karakteristik Jumlah (f) Persentase (%) 1 Program studi Kedokteran 7 15.2 Kedokteran gigi 6 13.1 Ilmu keperawatan 5 10.9 Kebidanan 7 15.2 Farmasi 7 15.2 Ilmu Gizi 7 15.2 Kesehatan Masyarakat 7 15.2 46 100 Total 2 Jenjang Pendidikan D4 4 8.7 S1 5 10.9 S2 26 56.5 S3 11 23.9 46 100 Total 3 Jenis kelamin Laki-laki 22 47.8 Perempuan 24 52.2 46 100 Total

Berdasarkan tabel karakteristik responden di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan program studi jumlah responden merata dengan jumlah yang sama . Jika melihat berdasarkan angkatan sebagian besar responden 32

mahasiswa (71,43%%)


berasal dari angkatan 2008 dan jenjang pendidikan dosen sebagian besar (56,5%) adalah S2. Menurut Thoha (2004) perbedaan karakteristik responden menyebabkan perbedaan dalam mempresepsikan sesuatu, termasupk persepsi terhadap IPE. Menurut Hawk (2002) perbedaan latar belakang profesi dapat mempengaruhi persepsi terhadap IPE. Hal ini terlihat dari peneitiannya yang mengatakan terdapat perbedaan persepsi yang signifikan berdasarkan kategorisasi jenis profesinya (p=0,001). Selain itu menurut Turner (1999) latar belakang profesi akan mempengaruhi kesiapan terhadap IPE.

33


B. Kompetensi dalam Pembelajaran IPE Menurut D’Amour & Oandasan (2005) kompetensi yang diharapkan dalam pembelajaran IPE adalah meliputi pengetaguan, keterampilan, dan sikap. Namun ACCP ( 2009) menambahkan elemen kemampuan dalam tim. Hal tersebut sesuai dengan hasil FGD yang tertera pada gambar 2. Menurut hasil FGD terlihat elemen yang berbeda adalah pada mahasiswa mereka menambahkan elemn sikap. Hal ini sesuai yang dsampaikan oleh Elemen pengetahuan adalah mahasiswa diharapkan mengetahui peran dan tanggung jawab mereka sesuai dengan kompetensi masing-masing. Keterampilan terdiri dari kemampuan adaptasi, monitoring tim, kepemimpinan, pemecahan konflik, pemberian umpan balik dan cara berkomunikasi.

Elemen sikap terdiri dari

Orientasi dalam tim (moral), kemajuan bersama, cara berbagi pandangan dan pendapat. Terakhir adalah elemen kerja tim terdiri dari kepaduan tim, saling percaya, orientasi bersama dan rasa saling memiliki. Semua elemen kompetensi ini harus terintegrasi secara bersamaan dalam pembelajaran

untuk

mencapai

output

yang

maksimal

(Girot,

2003).

Interprofessional education dapat efektif We argue that interprofessional jika semua profesi kesehatan yang teribat berangkat dari suatu pemahaman kemudian berproses dan melakukan kegitan secara bersama dalam situasi yang nyata seperti simulasi.

Aktivitas tersebut mengembangkan kompetensi peserta didik dan

mengembaangkan pola fikir dari berbagai sudut pandang (Defloor et al. 2006). 34


Elemen-elemen

kompetensi

di

atas

kemudian

Baker

et.al.(2008)

mengkategorikan menjadi 3 jenis kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dalam IPE yaitu shared competencies, complementary competencies

dan

profession-specific competencies. Shared competencies merupakan kompetensi yang sama atau sangat identik yang terdapat dalam semua profesi kesehatan dan perlu diperoleh oleh semua profesi kesedaran. Kontras dengan Shared competencies profession-specific competencies hanya dimiliki oleh satu profesi tertentu saja. Complementary competencies merupakan kompetensi yang berbeda dari tiap profesi namun saling berhubungan dengan profesi lain.

35


Kompetensi dalam Pembelajaran IPE

Dosen

Mahasiswa

Kompetensi pengetahuan · Berfikir kritis · Analisis situasi · Pengetahuan terhadap tugas tim · Tanggungjawab tugas masing-masing Kompetensi Keterampilan · Kemampuan adaptasi · Kemampuan monitoring tim · Kepemimpinan · Pemecahan konflik · Umpan balik · cara berkomunikasi Kemampuan tim · Kepaduan tim · Saling percaya · Orientasi bersama Kompetensi pengetahuan · strategi pengabungan pengetahuan · Analisis situasi · Pengetahuan terhadap tugas tim · Tanggungjawab tugas masing-masing Kompetensi Keterampilan · Pembagian kinerja secara bersama-sama · Pemecahan konflik · Umpan balik · cara berkomunikasi · saling mendukung · Kepemimpinan Kompetensi Sikap · Orientasi tim (moral) · Kemajuan bersama · Berbagi pandangan Kemampuan tim · Kepaduan tim · Saling percaya · Orientasi bersama · Rasa memiliki

Gambar 2. Kompetensi dalam Pembelajaran IPE 36


C. Alternatif Metode Pembelajaran yang Mungkin untuk Penerapan IPE CAIPE (1997) menawarkan bentuk pembelajaran IPE dengan diskusi interaktif menggunakan small working group untuk menanamkan pemahaman kolaborasi antar profesi sebagai salah satu bentuk metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam IPE. Dari hasil DKT yang telah dilakukan di Makasar dan di Yogyakarta baik dosen maupun mahasiswa mengungkapkan bahwa metode yang mungkin untuk IPE salah satunya merupakan studi kasus. Dosen menyebutkan PBL juga merupakan salah satu metode yang mungkin. Barr (2002) sit Oandasan dan reeves (2005), menambahkan salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk IPE dengan bentuk grup diskusi dengan metode seperti case-based learning (Woodhouse & Pengally, 1992); observation-based learning (Likierman, 1997) dan problem-based learning (Barrows & Tamblin, 1980). Hasil dari DKT baik dosen maupun mahasiswa

menyebutkan salah satu

bentuk metode pembelajaran yang mungkin adalah kuliah bersama. CAIPE (1997) menyebutkan bahwa dalam beberapa kegiatan seperti kuliah bersama antar beberapa profesi dengan pasif tanpa adanya interaksi

merupakan bentuk pembelajaran

“multiprofessional education�, dengan melakukan kuliah bersama seperti ini dapat menurunkan pembiayaan. Menurut Parsell dkk (1998), metode kuliah bersama tanpa adanya interaksi, kurang efektif karena siswa dapat mengabaikan profesi satu sama lain, tidak merasa nyaman membagikan bidang pendidikan mereka dengan profesi

37


lain, merasa pembelajaran tersebut terdilusi oleh profesi lain sehingga tujuan untuk mencapai kompetensi kolaborasi dalam IPE sulit tercapai. Simulasi merupakan salah satu metode lain yang juga dianggap mungkin untuk diterapkan oleh mahasiswa maupun dosen. Hal ini juga dikemukakan Baker, dkk (2008), metode simulasi yang digunakan pada pembelajaran dengan basis IPE dapat menjadi salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk persiapan model kolaborasi tenaga kesehatan masa depan. Baker dkk (2008) juga menjelaskan pelaksanaan IPE dalam bentuk simulasi dapat memberikan kesempatan untuk para dosen antar profesi untuk berinteraksi terutama dalam pembuatan modul kurikulum simulasi IPE. Mahasiswa juga menambahkan bahwa tutorial juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk mencapai kolaborasi. Temuan ini sesuai dengan metode pembelajaran lain menurut Liaskos, dkk (2008) diantaranya melalui aktivitas pembelajaran melalui tutorial yang terfokus pada teori maupun praktek kesehatan, saling bertukar pengalaman (dalam bentuk tindakan, diskusi kasus nyata,hingga menempatkan mahasiswa dalam tim profesional yang asli dalam lingkungan klinis). Sebagian besar mahasiswa dan dosen mengatakan KKN (kuliah kerja nyata) merupakan metode pembelajaran yang mungkin untuk pelaksanaan dalam bentuk IPE. Menurut Harsono dan Yohannes (2005) KKN merupakan salah satu bentuk model pembelajaran dengan pendekatan intra disiplin. Dengan model pendekatan ini maka diharapkan para mahasiswa mempelajari dan memahami hubungan antara berbagai subdisiplin yang berbeda dan keterkaitannya dengan kenyataan yang ada di 38


dunia ini. Model pendekatan ini memadukan ketrampilan, pengetahuan, atau bahkan sikap dan perilaku, sehingga dengan KKN diharapkan mahasiswa dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan berkolaborasi bersama sesuai dengan kompetensi masing- masing profesi. Mahasiswa juga menyebutkan IPE diharapkan bisa masuk didalam organisasi mahasiswa , hal ini sesuai dengan Kroboth dkk, (2005) yang mengatakan untuk mendukung sustainaibility dari pelaksanaan IPE pada sebuah fakultas diperlukan juga pembelajaran IPE dalam kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa.

39


Dosen Alternatif Metode Pembelajaran

Mahasiswa

· · · · · · · · · ·

KKN Studi kasus PBL skills lab Kuliah bersama Simulasi Kepaniteraan umum bersama Role Play Penelitian bersama zp

· · · · · · · · · · · ·

KKN Diskusi kasus e-learning Skills lab terintegrasi Kuliah umum Simulasi Role Play Koas bersama field trip ospek tutorial Organisasi kemahasiswaan

Gambar 3. Alternatif Metode Pembelajaran 40


D. Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE Memilih topik pembelajaran merupakan salah satu hal yang krusial dalam Interprofessional Education (Buring, 2009). Hasil DKT dosen maupun mahasiswa tergali beberapa usulan mengenai topik pembelajaran manakah yang paling sesuai untuk pembelajaran interprofessional education,

yakni etika kesehatan, masalah

global kesehatan seperti HIV/AIDS dan TBC, manajemen bencana, dan kasus gawat darurat. Hal ini sejalan dengan Campbell et al. (2001) yang berpendapat bahwa kasus gawat darurat efektif untuk dipelajari dengan pendekatan IPE. Selain itu, Smith (2007) berpendapat bahwa manajemen bencana terintegrasi dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa profesi kesehatan dalam menangani pasien. Menurut Reeves dan Pryce (2002) topik pembelajaran pada IPE yang direkomendasikan yakni mengenai peran, tanggung jawab dan professionalisme. Kemudian topik lain yang perlu dipelajari dalam IPE yakni transferable skills seperti komunikasi (Bloom, 1956; Buring, 2009), Hal ini bersesuaian dengan hasil DKT pada

dosen

yang

mengemukakan

bahwa

sebaiknya

dipelajari

mengenai

profesionalitas dan komunikasi. Topik lain yang di dapatkan dari hasil DKT yakni penjaminan kualitas dan keselamatan pasien, etika kesehatan, dan riset yang dikategorisasikan menurut pertanyaan tingkatan pasien dan komunitas.

Hal ini

sejalan denagan pendapat Krasne & Wilkerson, 2010 yang mengemukakan bahwa topik pembelajaran dikategorisasikan dalam lingkup permasalah pasien (patient-level 41


question) dan lingkup permasalahan populasi atau komunitas (population-level question). Untuk pertanyaan tingkat pasien yang tergali dari DKT dosen maupun mahasiswa yakni kasus-kasus dalam pediatric, geriatric, kegawatdaruratan, serta penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit jantung koroner. Sedangkan untuk pertanyaan tingkat populasi atau komunitas yang tergali dalam DKT yakni topik mengenai kesehatan populasi (epidemiologi penyakit atau sindroma, promosi, dan prevensi), kesehatan global, sistem kesehatan, serta kebijakan atau etika. Manajemen dan evaluasi kasus geriatrik terbukti memiliki efektitas dalam menanamkan kolaborasi diantara peserta didik (Saltvedt et al., 2002; Boult et al., 2001), Setiap professional dalam bidang kesehatan mempelajari peran masing-masing melalui proses pendidikan dari keprofesian dan disiplin. Peran tersebut merupakan hal yang sangat mendasar dalam mrmbrntuk pola pikir dan kognisi peserta didik (Petrie, 1976). Mariano mengungkapkan bahwa melatih kerja tim sangat penting karena dapat memfasilitasi peserta didik untuk memahami peran masing-masing. Pembelajaran IPE diharapkan memfasilitasi mahasiswa dalam menjelaskan persepsi dan ekspektasi peran, mengidentifikasi kompetensi profesi dan kompetensi dari anggota tim lain, menggali lebih dalam mengenai tanggungjawab masing-masing sehingga dapat mengetahui jika terjadi tumpang tindih peran dan dapat menempatkan peran dan tanggung jawab dengan sesuai. Sebagai calon professional dalam

bidang kesehatan yang menghadapi masalah

pasien yang multidimensional, mereka berpotensi menghadapi situasi yang sulit dan 42


memacu stress sehingga dapat menyebabkan ketegangan antar anggota tim (Benierakis, 1995). Solusi untuk mengatasi situasi tersebut menurut Miller et. al.(2009) adalah dengan menanamkan keterbukaan, kejujuran, dan kejelasan dalam berkomunikasi antar anggota tim. Oleh karena itu topik pembelajaran mengenai komunikasi sangat penting dalam Interprofessional Education.

43


Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE

Dosen

Mahasiswa

· · · · · · · · · · · · · · · · · · · · · ·

Komunikasi Kerja tim Biomedik dasar Etika kesehatan Profesionalisme bidang kesehatan Manajemen bencana Masalah kesehatan global (HIV/AIDS, TBC, MDGs) Pengenalan kolaborasi Biomedik dasar Etika kesehatan Komunitas Manajemen bencana Masalah kesehatan global (HIV/AIDS, TBC< MDGS) Emergency Geriatric Kesehatan ibu dan anak Promotif dan preventif Epidemiologi Pengenalan kompetensi tiap profesi Pediatrik Penyakit jantung koroner

Gambar 4. Topik yang Menarik untuk Penerapan IPE 44


E. Waktu yang Tepat untuk Penerapan IPE Dalam

DKT

muncul

variasi

pendapat

mengenai

kapan

pembelajaran

Interprofessional Education akan dilakukan. Ada kesamaan dalam DKT dosen dan mahasiswa yaitu pada tahun awal saja, pada tahun awal dan tahun akhir, saat masa orientasi mahasiswa baru, pada pertengahan tahun, atau pada tahun akhir akademik saja. Namun pada hasil DKT mahasiswa lebih bervariasi dengan menambahkan waktu yang tepat untuk penerapan yaitu saat penerimaan mahasiswa baru saja, tahap profesi (klinik) dan sejak semester 4. Laporan dari Cooper et al (2001) menunjukkan adanya efektivitas dari intervensi di tahap pendidikan (pre-klinik tanpa melihat tahun). Sedangkan empat laporan lain menunjukkan efektivitas dari intervensi di tahap klinik (Borrill et al., 2001; West & Slater, 1996; Zwarenstein & Bryant, 2000; Schmitt 2001). Kemudian tiga laporan lain menunjukkan efektivitas dari intervensi keduanya baik tahap pre klinik maupun tahap klinik (Reeves, 2001; Zwarenstein et al., 2001; Freeth et al., 2002). Hasil DKT mahasiswa tergali bahwa hendaknya IPE diterapkan tidak terlalu dini dan sebaiknya dari semester 4. Pentingnya pemahaman atas peran, tanggung jawab, dan kompetensi profesi masing-masing sama baiknya dengan pemahaman atas peran, tanggung jawab, dan kompetensi profesi lain.

Barr (2002) merekomendasikan

adanya interaksi lebih dini untuk mempermudah mempelajari IPE. Kemudian menurut Mariano (1999) waktu pelaksanaan sebaiknya di tahun awal, kemudian sebaiknya diberikan pemahaman mendasar mengenai hal-hal yang terkait mengenai 45


profesi masing-masing. Namun sebaiknya lebih tertata dan berhati - hati dalam menyampaikan mengenai peran masing-masing profesi di tahap pre klinik karena menurut Wilson (1992) hal tersebut dapat menyebabkan masing-masing profesi berfokus pada profesinya saja, padahal kolaborasi tenaga kesehatan diperlukan dalam menghadapi pasien dengan permasalahan yang kompleks. Sehingga perlu diimbangi dengan mengenal peran, tanggungjawab, dan kompetensi profesi lain. Hasil DKT menunjukkan pendapat mengenai perlunya kontinuitas pelaksanaan IPE yaitu dimualai saat penerimaan mahasiswa baru yang kemudian dianjuntak di perkuliahan di tahun awal, pertengahan dan akhir. Namun pendapat lain menyatakan bahwa penerapan IPE sebaiknya hanya dilakukan di suatu periode saja baik itu di saat orientasi mahasiswa baru, tahun awal maupun saat rotasi klinik saja

46


Dosen Waktu yang tepat untuk penerapan IPE

Mahasiswa

· Tahun Awal · Tahun awal dan tahun akhir · Penerimahan mahasiswa baru, pertengahan dan tahun akhir

· · · · · ·

Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun awal Tahap Profesi (klinik) Tahun awal dan tahun akhir Penerimaan Mahasiswa baru, pertengahan tahun dan tahun akhir Semester 4

Gambar 5. Waktu yang tepat untuk penerapan IPE

47


48


F. Gambaran Dosen Ideal dalam Memfasilitasi Pembelajaran IPE Dalam penerapan IPE baiknya dosen ahli baiknya memposisikan diri tidak sebagai pengajar namun bekerja bersama mahasiswa sebagai fasilitator untuk mencapai kolaborasi (Fox, 1994 sit oandasan dan reeves, 2005). Salah satu gambaran dosen yang ideal dalam pelaksanaan IPE yang paling banyak dikemukakan baik dosen maupun mahasiswa adalah dosen yang memahami IPE. Selain itu mahasiswa juga menyebutkan bahwa kriteria dosen yang ideal diantaranya memahami kompetensi profesi kesehatan lain, mampu membuat modul operasional ipe, berpengalaman di klinik, pengalaman kolaborasi dan berwawasan luas. Hal ini sesuai dengan pemaparan Holland dkk (2002,p.221) sit, Glen dan Reeves (2004) kriteria fasilitator untuk IPE: memiliki pengetahuan yang cukup mengenai profesinya, memiliki pengetahuan

yang cukup

mengenai fokus-fokus dalam program

pembelajaran IPE diantaranya evidence based practice, dan memiliki kemampuan dan pengalaman untuk berkolaborasi. Hammick, (1998) menyebutkan dosen dalam penyelenggaran IPE harus dapat menyelesaikan friksi yang muncul pada saat pembahasan mencapai area sensitif pada saat diskusi, untuk itu diperlukan juga pemahaman mengenai batasan kompetensi masing-masing profesi. Hal ini mendukung temuan pada saat DKT , dosen ideal diharapkan

bisa

memiliki

kemampuan

sebagai pemimpin

sehingga

dapat

mengarahkan apabila muncul perbedaan pendapat saat pembelajaran berlangsung. Seorang dosen yang ideal untuk IPE juga harus dapat memposisikan sebagai 49


fasilitator untuk pembelajar yang telah dewasa, memahami kemampuan dan kebutuhan kompetensi yang ingin dicapai para pembelajar dengan memahami perbedaan yang ada dari masing-masing profesi (Barr dkk,2005 p.123). Liaskos, dkk (2008) menjelaskan bahwa dalam menjalankan IPE , baik mahasiswa maupun dosen antar profesi harus memiliki kemampuan untuk berkolaborasi sehingga dapat timbul rasa saling menghargai antar profesi. Salah satu temuan lain adalah mahasiswa mengharapkan dosen memiliki kepercayaan diri dalam penyelenggaran IPE, hal ini didukung oleh Jaques (1998)

yang menyatakan

pengalaman dan kepercayaan diri pengajar dalam menyelenggarakan pembelajaran antar profesi juga dibutuhkan dalam pelaksanaan aktifitas pembelajaran IPE. Barr (1994) menambahkan seorang fasilitator dalam IPE diharuskan telah terbiasa dengan dinamika pembelajaran interprofesi, memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan kesempatan belajar, menghargai perbedaan dan keahlian dari profesi yang berparisipasi dalam grup pembelajaran IPE. Hal ini memiliki kesesuaian yang diungkapkan oleh mahasiswa dan dosen dalam DKT bahwa dosen yang ideal dalam penyelenggaraan IPE selain dapat berkomunikasi dengan baik, sebagai inovator , dosen tersebut juga harus dapat menghargai profesi lain. Temuan ini juga didukung Barr dkk (2005), menyebutkan seorang dosen juga harus dapat bertindak sebagai inovator dalam penyelenggaraan pembelajaran IPE.

50


Gambaran dosen Ideal

· · · · · · ·

Dosen

Mahasiswa

· · · · · · · · · · · · · \

Memahami konsep IPE Komunikasi baik Menjadi role model Memahami kompetensi profesi kesehatan lain Inovator/kreatif Kemampuan memimpin Berwawasan luas

Memahami konsep ipe Komunikasi baik Memahami kompetensi profesi kesehatan lain Inovator/kreatif Kemampuan memimpin Pengalaman kolaborasi Menghargai antar profesi S2 dan S3 Berpengalaman di klinik Berwawasan luas Motivator Percaya diri Mampu membuat modul operasional ipe

Gambar 6. Gambaran dosen Ideal 51


G. Indikator Keberhasilan program IPE Program IPE dikatakan sukses jika memenuhi beberpa syarat yaitu : 1). Pendekatan tim dilakukan dalam penyelesaian masalah; 2). Efek dari IPE dapat diukur secara jelas seperti ketika keterampilan berfikir kritis meningkat; 3). Sumber pendukung IPE yang diakui dan terpercaya; 4). Dukungan dari fakultas dan mahasiswa; 5). Keterampilan yang diajarkan sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dari tiap profesi; 6). Pengetahuan dan keterampilan dapat diajarkan secara eksplisit dan jelas sehingga peserta didik tetap menguasai walaupun dipraktekan pada kasus lain yang berbeda (Freeth et.al., 2005). Hal ini sesuai dengan hasil FGD yang menyebutkan bahwa indikator keberhasilan IPE menurut ahasiswa maupun dosen adalah tercapainya kompetensi mahasiswa baik itu kompetensi mandiri profesi maupun kompetensi kolaboratif, terdapat standar pelaksanaan program dan evaluasi program, evaluasi yang jelas dan terukur, terciptanya pembelajaran terintegrasi, dan keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi program. Hal lain yang muncul adalah mengenai kegiatan ekstrakurikuler dari FGD dosen adalah mengenai pengadaan penelitian terintegrasi dalam framework IPE kemudian mahasiswa menambahkan indikator lain yaitu terciptanya organisasi mahasiswa interdisiplin dan terciptanya kepuasan mahasiswa terhadap proses pembelajaran.

52


· · · · · · ·

Indikator keberhasilan program IPE

Dosen

· · · · · · ·

Tercapai kemampuan mahasiswa (soft skill dan hard skill) Tercapainya Kemamppuan mahasiswa (mandiri dan kolaborasi) Terbentuk bagian khusus IPE Nilai lebih baik dari konvensional Terbentuk Standar pencapaian pembelajaran Ujian integrasi antar profesi dan ujian interen masing-masing profesi Terbentuk Standar evaluasi program dan efektivitas pembelajaran Keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi program Hasil pre test dan post test Terdapat Standar baku penilaian kemampuan mahasiswa yang disepakati semua pihak fakultas Harus SMART (Specific, Measurable, Acceptable, Reasionale, Timing) Program berkesinambungan Adanya modul pembelajaran Berkembangnya penelitian IPE · · · ·

Mahasiswa · · · · · ·

Kemampuan mahasiswa (soft skill dan hard skill) Terbentuk bagian khusus IPE Terbentuk Standar pencapaian pembelajaran Ujian integrasi antar profesi dan ujian interen masing-masing profesi Terbentuk standar evaluasi program dan efektivitas pembelajaran Keterlibatan mahasiswa dalam evaluasi program Aktivitas organisasi mahasiswa antar profesi Kepuasan mahasiswa dalam pembelajaran Terbentuk standar baku penilaian kemampuan mahasiswa yang disepakati semua pihak fakultas Kemamppuan mahasiswa (mandiri dan kolaborasi)

Gambar 7. Indikator keberhasilan program IPE

53


H. Persiapan pelaksanaan IPE Menurut Freet et.al. (2005) pelaksanaan suatu program pembelajaran harus mempersiapkah beberapa hal yaitu: 1). Tujuan pembelajaran yang diharapkan dari program dan hal ini merupakan langkah awal yang sangat substansial; 2).. Rasionalisasi dari penyelenggaraan program pembelajran termasuk analisis kebutuhan dari segi kebijakan, praktik,

pelayanan dan organisasi atau

institusional; 3). Silabus atau konten merupakan daftar topic yang akan disampaikan dalam pembelajaran; 4). Strategi pembelajaran yaitu rencana metode pembelajaran yang menggambarkan dengan jelas manganai filosofi pendidikan, rencana proses pembelajaran, siklus peningkatan kualitas, dan menyeimbangkan ke dalam tatanan praktik; 5). Strategi penilaian termasuk watu, frekuensi, dan jenis baik itu formative maupun summative. Selain itu perlunya ada penialaian secara individu untuk mengetahui perspektif dari peserta didik sebagai bahan pertimbangan peningkatan kualitas; 6). Sumber daya baik itu sumber daya manusia, finansial maupun fasilitas. Menurut hasil FGD dosen dan mahasiswa berpendapat yang harus disiapkan adalah dimulai dengan penyamaan pemahamman mengenai IPE sehingga terbentuknya kesepakatan antar fakults profesi kesehatan dan sinkronisasi birokrasi serta bagian administrasi khusus untuk mengkoordinir kegiatan pembelajaran IPE. Selain itu diiringi dengen tersedianya fasilitas, pengajar, standar kurikulum dan penyelenggaraan IPE. Kemudian perlu adanya dukungan 54


secara eksternal yaitu kebijakan dan regulasi dari universitas maupun pemerintah bagian terkait. Kerja sama dengan mitra lahan praktik pun perlu direncanakan secara detail. Pelaksanaan IPE yang sukses harus memperhatikan dua elemen yaitu faktor langsung meliputi dan tidak langsung. Menurut Oandasan & Reeves (2005) faktor yang mempengaruhi secara langsung yaitu pendekatan teori yang digunakan dalam menentukan strategi pembelajaran, metode pembelajaran yang digunakan, sasaran peserta didik, setting pembelajaran, kompetensi pembelajaran, peran fakultas, dan waktu penerapan pembelajaran IPE. Selain itu, faktor tidak langsung yang perlu diperhatikan meliputi mikro (level individual), meso (level institutional/organisasi) and makro (level socio-kultural and politik). Menurut Bagg (1994) level mikro meliputi proses sosialisasi IPE kepada tiap individu baik mahasiswa maupun pendidik sehingga membentuk kesiapan dan sikap yang mendudkung penerapan IPE. Pirrie et al. (1998) mengungkapkan level meso yaitu mengenai administrasi dan logistic serta komitmen dan kerja sama antar fakultas. Level makro meliputi managemen dan kebijakan dari pemerintah. Parsell & Bligh (1998) dan Freeth (2001) berpendapat bahwa dukungan politis dari pemerintah terhadap IPE dapat membantu dalam memotivasi intitusi untuk menerapkan IPE.

55


Persiapan pelaksanaan IPE

Dosen

Mahasiswa

· · · · · · · · · ·

· · · · · · · · · ·

Fasilitator komitmen mitra institusi Bagian administrasi koordinator IPE Lahan praktik fasilitas fisik standar kurikulum SOP penyelenggaraan IPE dari DIKTI Kebijakan hukum dan regulasi komitmen antar institusi Sinkronisasi Birokrasi

Fasilitator Bagian administrasi koordinator IPE fasilitas fisik standar kurikulum SOP penyelenggaraan IPE dari DIKTI Kebijakan hukum dan regulasi komitmen antar institusi Sinkronisasi Birokrasi Modul pembelajaran Kajian IPE

Gambar 8. Persiapan pelaksanaan IPE 56


I. Hambatan dalam pelaksanaan IPE Sebagian besar mahasiswa dan dosen menyatakan bahwa Ego masing masing profesi pada mahasiswa dapat menjadi penghambat dalam pelaksanaan IPE. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya persepsi tentang batasan dan keuntungan pembelajaran dengan basis IPE, menurut Gilbert (2005) sit Liaskos, dkk (2008) Persepsi dan kebutuhan mahasiswa dan komponen akademik lain terhadap IPE juga harus diperhatikan. Menurut Pryce and Reeves (1997) persepsi yang rendah terhadap keuntungan dari pembelajaran IPE dapat menyebabkan mahasiswa kurang menghargai pembelajaran dalam bentuk IPE, sehingga dapat menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan IPE. Menurut dosen dan mahasiswa peraturan dan birokrasi yang berbeda antar fakultas juga merupakan hambatan dalam pelaksanaan IPE. Hal ini juga dikemukakan oleh Gilbert (2005) sit Liaskos, dkk (2008) mengenai hambatan dalam pelaksanaan IPE menurut diantaranya terdapat perbedaan syarat dan ketentuan sebelum masuk kedalam tingkat profesi, lama dari program profesi, tingkat dan sifat pemanfaatan sumber daya untuk komunitas dan rumah sakit praktek ( bidang klinis ) pendidikan, kebebasan mahasiswa, ketidaktersediaannya tingkat profesi, akademik dan perbedaan yang timbul antar profesi,

perbedaan jadwal

padatnya jadwal mengajar

dosen, hasil penelitian dari fakultas yang berkepentingan, metode administrasi yang berbeda-beda, dan tingkat kewenangan dekan di masing-masing fakultas dalam mengatur kurikulum. 57


Kroboth dkk, (2005), menyebutkan dalam penyelenggaraan IPE diperlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari semua staheholder baik dari tingkat dekanat dari masing-masing profesi, pemerintah yang bertangung jawab terhadap seluruh pendidikan kesehatan dan juga administratif utama di tingkatan universitas. Para stake holder juga harus dapat mengetahui kebutuhan fakultas dalam penyelenggaran IPE diantaranya; mengenalkan IPE dalam tingkatan intrakurikuler (termasuk tingkat klinik) maupun program ekstrakurikuler, aturan yang mengatur mengenai fasilitasi IPE dan alokasi sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun dan menjaga keberlangsungan program. Apabila hal-hal tersebut tidak tersedia maka bisa menjadi penghambat terselenggaranya IPE, seperti yang dikemukakan mahasiswa belum tersedianya fasilitator yang paham IPE, pendanaan serta perbedaan birokrasi dapat menjadi salah satu penghambat terlaksananya IPE.

58


Dosen

Hambatan dalam pelaksanaan IPE

· · · · · · · · ·

Ego masing-masing fakultas Peraturan dan birokrasi yang berbeda antar fakultas Nama fakultas kedokteran Kekaburan peran masing-masing profesi Belum ada payung hukum semua profesi kesehatan Masalah internal sejawat Pendanaan Perbedaan kurikulum Keberagaman jenjang pendidikan

· Ego masing masing profesi pada mahasiswa · Ego masing-masing fakultas · Peraturan dan birokrasi yang berbeda antar fakultas · Kurangnya kesadaran tiap fakultaas kesehatan terhadap IPE · Belum tersedianya fasilitator yang paham IPE · Pandangan masyarakat terhadapp profesi kesehatan · Nama Fakultas Kedokteran · Masalah internal sejawat Mahasiswa · Komunikasi antar profesi yang masih belum optimal · Kekaburan peran masing-masing profesi · Kurang Kepercayaan diri · Kurangnya forum diskusi antar profesi kesehatan · Kesibukan kegiatan pembelajaran masing-masing akademik · Pendanaan · perbedaan kurikulum · keberagaman jenjang pendidikan · Fasilitas integrasi belum mununjang · Belum ada payung hukum semua profesi kesehatan · IPE belum tersosialisasikan · Kultur (budaya) yang beragam Gambar 9. Hambatan dalam pelaksanaan IPE 59


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.

Kompetensi dalam pembelajaran IPE, meliputi kompetensi pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang terkait dengan kemampuan dalam kerja tim yang akan dijalaninya dalam melakukan praktik bersama

2.

Alternatif metode pembelajaran yang mungkin untuk penerapan IPE, adalah metode pembelajaran yang bisa didesign secara komprehensif untuk proses belajar antar profesi secara bersama-sama. Adapun metode pembelajaran tersebut meliputi kuliah, diskusi tutorial, skills laboratorium, field study, KKN, kepaniteraan, praktik klinik. Selain hal tersebut penumbuhan proses belajar bersama bisa dilakukan pada saat orientasi mahasiswa baru dan dalam kegiatan organisasi mahasiswa

3.

Topik yang menarik untuk penerapan IPE, meliputi topik-topik yang menarik dan dan menantang, yang memungkinkan untuk mengembangkan semangat kerja tim. Topik yang mungkin dikembangakan diantaranya, komunikasi, kerja tim, profesionalisme bidang kesehatan. Selain topik-topik tersebut, masalah kesehatan global, masalah bencana, serta upaya promotif dan preventif pada tatanan pelayanan klinis dan komunitas juga menjadi topik yang menarik untuk dibahas

4.

Penerapan IPE diharapkan suatu proses yang berkesinambungan yang dimulai sejak mahasiswa baru, saat pendidikan tahap akademik dan tahap profesi. 60


5.

Gambarandosen

ideal

memahamikonsep

IPE,

menghargaiprofesi

lain,

mampumenjadipemimpin,

dalammemfasilitasipembelajaran

IPE,

memahamikompetensiprofesikesehatan

lain,

memilikipengalamankolaborasi, danmampumenjadi

role

inovatif,

model.

Hal

tersebutterwujuddalamkemampuandosendalammenginisiasidanmengembang kan model pembelajaran IPE 6.

Indikatorkeberhasilan program IPE, adanyastandarpencapaianhasilbelajar, adanyastandarevaluasi, yang dituangkan dalam standar input, proses, dan out put yang melibatkan semua komponen yang dijalankansecara SMART (Specific, Measurable, Aceptable, Reasonable dan Timing)

7.

Persiapan untuk pelakasanaan IPE adalah diawali dengan komitmen antar institusi pendidikan profesi kesehatan. Selain itu tersedianya sumber daya fasilitator yang kompeten dan paham IPE, fasilitas fisik, bagian khusus untuk mengkoordinir program IPE, standar pelaksanaan program IPE, modul pembelajaran dan standar evaluasi program. Hal ini diperkuat dengan adanya kekuatan regulasi dan kekuatan hukum.

8.

Hambatan dalam pelaksanaan IPEadalah dari ego masing masing profesi, beragamnya birokrasi dan kurikulum di tiap institusi pendidikan profesi kesehatan, fasilitas fisik dan konsep pembelajaran yang belum jelas, paradigma terhadap profesi kesehatan ,

61

kekaburan identitas dan peran


masing – masing profesi, belum adanya kejelasan paying hokum tiap profesi kesehatan, serta budaya .

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, serta kesimpulan, dapat disarankan hal-hal berikut : 1.

Bagi institusi pendidikan kesehatan perlunya sosialisasi tentang IPE secara lebih luas dan komprehensif bagi institusi, setaf pendidik, mahasiswa, dan staf kependidikan

2.

Bagi institusi pendidikan kesehatan, untuk memulai pengembangan metode pembelajaran yang mendukung adanya konsep kolaborasi

3.

Bagi pemegang kebijakan pendidikan tinggi kesehatanagar mengitegrasikan IPE dalam kurikulum baku

4.

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu mengembangkan kajian aplikatif mengenai metode pembelajaran IPE ini dalam bentuk simulasi dan evaluasi yang lebih komprehensif

62


63


DAFTAR PUSTAKA A’la, M.Z. (2010) Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Tahap Akademik terhadap Interprofessional Education di Fakultas Kedokteran UGM. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. American College of Clinical Pharmacy (ACCP). (2009) Interprofessional Education: Principles and Application, A Framework for Clinical Pharmacy. Pharmacotherapy, 29 (3), 145-164. Anderson, M. (2004) Literature Review for Guidelines Development. Discussion Paper prepared for Multidisiplinary Collaborative Primary Maternity Care Project. Ottawa. Azwar, A.. (1994). Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan IDI. Azwar, S.. (2010) Pengukuran Skala Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta. Baggs, J. G. (1994). Development of An Instrument To Measure Collaboration and Satisfaction About Care Decisions. Journal of Advanced Nursing, 20(1), 176 – 182. Baker, C., Pulling, C., McGraw, R., Dagnone, JD., Hopkins-Rosseel, D., Medves, J. (2008). Simulation in Interprofessional Education for Patient-Centred Collaborative Care. Journal of Advanced Nursing 64(4), 372–379 Barr, H. , 1996, Ends and Means in Interprofessional Education: Towards A Typology. Education for Health, 9, 341 – 352. Barr H, Freeth D, Hammick M, Koppel I, Reeves S. (2006). The Evidence base and recommendations for interprofessional education in health and social care. Journal of Interprofessional Care, 20:75–78. Barr, H., Koppel, I., Reeves, S., Hammick, M. & Freeth, D. (2005) Effective Interprofessional Education: Argument, Assumption and Evidence. 1st ed. Blackwell Publishing. Oxford. Barr, H. (1998) Competent to Collaborate: Towards a Competency-based Model for Interprofessional Education. Journal of Interprofessional Care, 12:181-187. 64


Borrill, C., Carletta, J., Carter, A., Dawson, J., Garrod, S., Rees, A., Richards, A., Shapiro, D., & West, M. (2001). The effectiveness of health care teams in the National Health Service. Birmingham: University of Aston. Buring, S.M., Bhushan, A., Broeseker, A., Conway, S., Duncan-Hewitt, W., Hansen, L. & Westberg, S. (2009) Interprofessional Education Supplement: Interprofessional Education: Edinitions, Student Competencies, and Guidelines for Impementation. American Journal of Pharmaceutical Education, 73 (4) Article 59. Canadian Interprofessional Health Collaborative Practice.

Collaborative

(CIHC)

(2009)

What

is

Carpenter, J. (1995) Doctors and Nurses: Stereotypes and Stereotype Change in Interprofessional Education. Journal of Interprofessional Care, 9 (2). Cleghorn, G.D. & Baker, G.R. (2000) What Faculty Need to Learn About Improvement and How to Teach it to Others. Journal of Interprofessional Care, 14 (2). Cooper, H., Carlisle, C., Gibbs, T., & Watkins, C. (2001). Developing an evidence base for interdisciplinary learning: a systematic review. Journal of Advanced Nursing, 35, 228 – 237. Curran, V.R., Sharpe, D. & Forristall, J. (2007) Attitudes of Health Sciences Faculty Members Towards Interprofessional teamwork and education. Blackwell Publishing, Medical Education; 41:892-896. Dahlan, S. (2009) Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi 4. Jakarta: Salemba Medika. Defloor T., Van Hecke A., Gobert M., Darras E. & Grypdonck M. (2006) The clinical nursing competencies and their complexity in Belgian general hospitals. Journal of Advanced Nursing 56, 669– 678. Fauziah, F.A. (2010) Analisis Gambaran Persepsi dan Kesiapan Mahasiswa Profesi FK UGM terhadap Interprofessional Education di Tatanan Pendidikan Klinik. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

65


Freeth,

D. (2001). Sustaining Interprofessional Collaboration. Interprofessional Care, 15, 37 – 46.

Journal

of

Freeth, D., Hammick, M., Reeves, S., Koppel, I. & Barr, H. (2005) Effective Interprofessional Education: Development,, Delivery and Evaluation. 1st ed. Blackwell Publishing. Oxford. Gardner, S.F., Chamberlin, G.D., Heestand, D.E. & Stowe, C.D. (2002) Interdiciplinary Didactic Instruction at Academic Health Centers in United States: Attitude and Barriers. Kluwer Academic Publishers, Advanced in Health Sciences Education 7; 179-790. Gilbert, J.H.V. (2005) Interprofessional Education for Collaborative, PatientCentered Practice. Nursing Leadership,18: (02). Girot E. (2003) Assessment of Competence in Clinical Practice – a Review of The Literature. Nurse Education Today 13, 83–89. Glen, S. dan Reeves, S., 2004, Developing Interprofessional Education In The PreRegistration Curricula: Mission Impossible?, Nurse Education In Practice 4, 45–52 Hesketh, E.A., Bagnall, G., Buckley, E.G., Friedman, M., Goodall, E., Harden, R.M, et al. (2001). A Framework for Developing Excellence as a Clinical Educator. Medical Education, 35: 555-564. Harsono Dan Yohannes, H.C., 2005, Kurikulum Terpadu, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.6 Institute for Healthcare Improvement (IHI) (2003) IHI’s Collaboration Model for Achieving Breakthrough Improvement. Kroboth dkk, 2005, Getting to Solutions in Interprofessional Education: Report of the 2006-2007 Professional Affairs Committee, American Journal of Pharmaceutical Education 2007; 71 (6) Article S19. Lee,

R. (2009) Interprofessional Education: Pharmacotherapt, 29 (3): 145e-164e.

66

Prociples

and

Application.


Liaskos,J dkk., 2008 Promoting interprofessional education in health sector within the European Interprofessional Education Network, Int. J. Med. Inform, doi:10.1016/j.ijmedinf.2008.08.001 Lindqvist, S.M. & Reeves, S. (2007) Facilitators’ Perceptions of Delivering Interprofessional Education: a Qualitative Study. Medical Teacher, 29: 403405. Mariano C. (1999). The case for interdisciplinary collaboration. Nurse Outlook, 37 (6):285-258. Martin-Ridriguez, S.L., D’Amour, D, & Leduc, N. (2008) Outcomes of Interprofessional Collaboration for Hospitalized Cancer Patients. Cancer Nursing [Cancer Nurs]; 31 (2), 18-27. diakses dari http://web.ebscohost.com/ehost/detail?vid=1&hid=109&sid=5fa29feb-91df41b3-a1f44bc8f0a8ca75%40sessionmgr113&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3 d%3d#db=mnh&AN=18490877 pada 7 Agustus 2010. McFayden, A.K., Webster, V., Strachan, K., Figgins, E., Brown, H. & MCkechnie, J. (2005) The Readiness for Interprofessional Learning Scale: A Possible more Stable sub-scale Model for the Original Version of RIPLS. Journal of Interprofessional Care; 19 (6): 595-603. diakses dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=2&hid=110&sid= 386b358b-4507-4053-8bd4-e783504b55f7%40sessionmgr104 pada 16 Agustus 2010. Moleong (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Morison, S., Boohan, M., Moutray, M & Jenkins, J. (2004) Developing prequalification Interprofessional Education for Nursing and Medical Studenrs: Sampling Student Attitudes to Guide Development. Nurse Education in Practice (4), 20-29. O’Daniel, M. & Rosenstein, A.H. (2007) Patient-Safety and Quality: An EvidenceBased Handbook for Nurse. Oandasan I, Reeves S (a). (2005). Key elements for interprofessional education. Part 1: the learner, the educator and the learning context. Journal of Interprofessional Care, 19(Suppl 1):21-38. 67


Oandasan I, Reeves S (b). (2005). Key elements of interprofessional education. Part 2: factors, processes and outcomes. Journal of Interprofessional Care, 19(Suppl 1):39-48. Parsell, G., & Bligh, J. (1998) Interprofessional learning. Postgraduate Medical Journal, 74(868), 89 – 95. Parsell, G. & Bligh. (1999) The Development of a Questionnaire to assess the Readiness of Health Care Students for Interprofessional Learning (RIPLS). Medical Education; 33: 95-100. Parsell G., Spalding R., Bligh, J., 1998, Shared Goals, Shared Learning: Evaluation Of A Multiprofessional Course For Undergraduate Students. Medical Education 32, 304–311 Sit Glen, S. dan Reeves, S., 2004, Developing Interprofessional Education In The Pre-Registration Curricula: Mission Impossible?, Nurse Education In Practice 4, 45–52 Prahastuti, B.S. (2009) Efektivitas Konseling dan Pendidikan Sebaya Untuk Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Remaja Putri Usia 15-19 Tahun dalam Pencegahan terhadap Anemia di Kabupaten Subang. Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Reeves, S. (2001). A Systematic Review of The Effects of Education on Staff Involved in The Care of Adults with Mental Health Problems. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 8, 533 – 542. Schmitt, M. (2001). Collaboration Improves the Quality of Care: Methodological Challenges and Evidence from US Health Care Research. Journal of Interprofessional Care, 15, 47 – 66. Sarwono, J. (2006). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Siegler, E.L., Whitney, F.W. (1994). Kolaborasi Perawat-Dokter: Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Steinert, Y. (2005) Learning Together to Teach Together: Interprofessional Education and Faculty Development. Journal of Interprofessional Care, Supplement I: 60-75. Steinert, Y. (2009) Mapping the Teacher’s Role: The Value of Defining Core Competencies for Teaching. Medical Teacher; 31: 371-372. 68


Stewart, M., Purdy, J., Kennedy, N. & Burns, A. (2010) An Interprofessional Approach to Improve Pediatric Medication Safety. BMC Medical Education, 10:19. Sugiyono (2007) Statistika untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung. West, M., & Slater, J. (1996). Teamworking in primary health care: A review of its effectiveness. London: Health Education Authority. Zwarenstein, M., Reeves, S., Barr, H., Hammick, M., Koppel, I., & Atkins, J. (2001). Education: Effects on Professional Practice and Health Care Outcomes. Cochrane Database Systematic Reviews, 1 Zwarenstein, M., & Bryant, W. (2000). Interventions to Promote Collaboration between Nurses and Doctors. Cochrane Database Systematic Reviews, 2.

69


LAMPIRAN

70


Lampiran 1 ANTISIPASI PERMASALAHAN Permasalahan yang akan muncul dalam pelaksanaan penelitian ini diperkirakan bersifat teknis pada saat pengambilan data, penjelasannya pada tabel berikut: Tabel 1 Permasalahan dan penyelesaian Permasalahan

Penyelesaian

Responden yang tidak dinamis dan kondusif saat FGD berlangsung

Membuat kriteria inklusi responden yakni: mahasiswa tahun akhir tahap akademik, memiliki pengalaman organisasi minimal satu tahun, menjadi responden pada studi kuantitatif, menunjukkan nilai sikap dan kesiapan yag baik pada penelitian tahap I

MANAJEMEN PENELITIAN Pelaksanaan penelitian ini dilakukan oleh sebuah tim peneliti yang beranggotakan 12 orang dengan pembagian tugas sebagai berikut: Tabel 2 Peran dan pembagian tugas tim peneliti No

1

Nama

Peran Peneliti utama

Mariyono Sedyowinarso, S.Kp.,

Deskripsi Tugas Menjalankan fungsi sebagai

M.Si

ketua pelaksana

71


No

Nama

Peran

Deskripsi Tugas dalam penelitian

2

Fitri Arkham Fauziah

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

3

Nurita Aryakhiyati

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

4

Mawar Putri Julica

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

5

Lafi Munira

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

6

Endah Sulistyowati

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

7

Fatia Nur Masriati

72

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari


No

Nama

Peran

Deskripsi Tugas awal sampai akhir secara keseluruhan

8

Samuel Josafat Olam

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

9

Redho Meisudi

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

10

Saskia Piscesa

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

11

Maryam Afifah

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

12

Candrika Dini

Anggota

Menjalankan

peneliti

penelitian dari awal sampai akhir secara keseluruhan

73


ETIKA Penelitian ini akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan etik dari KEPK-BPPK Indonesia. Sebelum pengambilan data dilaksanakan, peneliti atau akan memberikan penjelasan yang memadai secara tertulis dengan bahasa atau cara yang mudah dimengerti kepada semua subjek, untuk meminta persetujuan dari setiap subjek yang akan diikutsertakan sebagai subjek penelitian. Data pribadi subjek akan dirahasiakan.

KEUANGAN DAN ASURANSI Keuangan atau pendanaan penelitian ini diberikan oleh World Bank melalui Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.

74


Lampiran 2 PANDUAN FGD Pre FGD Tujuan: mendapatkan gambaran masukan mengenai panduan pelaksanaan FGD. Metode: Kegiatan ini dimulai dengan menyusun draft inti permasalahan yang berkaitan dengan IPE yang mungkin dapat ditanyakan pada pakar di bidang IPE. Pakar tersebut terdiri atas 4 orang, yaitu 2 orang dari Indonesia dan 2 orang ahli dari luar negri. Inti permasalahan tersebut akan dijabarkan oleh pakar menjadi daftar pertanyaan yang mungkin akan dimasukkan dalam panduan FGD pada kajian tahap II. Inti permasalahan yang mungkin dapat didiskusikan dengan pakar adalah: a. Kompetensi yang diharapakan akan dicapai mahasiswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran IPE b. Metode pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan untuk mencapai kompetensi IPE c. Topik pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan dalam IPE d. Waktu yang sesuai untuk penerapan IPE di tingkat institusi e. Evaluasi proses dan hasil pembelajaran IPE f. Sarana dan prasarana yang mungkin diperlukan dalam penerapan pembelajaran IPE g. Karakteristik mahasiswa yang harus dipenuhi sebelum mahasiswa tersebut terlibat dalam proses pembelajaran h. Kompetensi dosen pengajar atau fasilitator yang tepat untuk memfasilitasi pembelajaran IPE. 75


FGD Tujuan Mengetahui pendapat mahasiswa tentang metode pembelajaran IPE yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Peserta: -

Jumlah: 42 mahasiswa untuk 6 kelompok FGD, masing-masing kelompok terdiri atas 7 peserta

-

Peserta terdiri dari 1 perwakilan masing-masing organisasi mahasiswa profesi kesehatan

Waktu : FGD akan dilaksanakan pada minggu I bulan Oktober 2011 Tempat FGD akan dilaksanakan di 2 kota yaitu Yogyakarta dan Makassar Tugas Fasilitator FGD -

Menerangkan tujuan FGD

-

Menjelaskan secara singkat mengenai IPE

-

Memfasilitasi jalannya diskusi secara sistematis/terarah untuk mendapatkan informasi, sebagai berikut: a. Kompetensi yang diharapakan akan dicapai mahasiswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran IPE b. Metode pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan untuk mencapai kompetensi IPE c. Topik pembelajaran yang mungkin dapat diterapkan dalam IPE d. Waktu yang sesuai untuk penerapan IPE di tingkat institusi e. Evaluasi proses dan hasil pembelajaran IPE f. Sarana dan prasarana yang mungkin diperlukan dalam penerapan pembelajaran IPE 76


g. Karakteristik mahasiswa yang harus dipenuhi sebelum mahasiswa tersebut terlibat dalam proses pembelajaran h. Kompetensi dosen pengajar atau fasilitator yang tepat untuk memfasilitasi pembelajaran IPE. -

Menyimpulkan hasil diskusi dengan cara meringkas poin-poin penting yang dihasilkan dari diskusi

Bahan yang dibutuhkan Flipchart, pena/marker berwarna, block note, pena, recorder, video, ruang diskusi Sumber daya manusia: Satu asisten pelaksanaan teknis dan 1 orang untuk transkrip dan analisis data FGD

77


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.