The 3rd HPEQ Newsletter

Page 1

HPEQ

NEWSLETTER

DESEMBER - FEBRUARI 2013

HEALTH PROFESSIONAL EDUCATION QUALITY

#3

Newsflash

Melampaui Pengertian Mutu yang Superfisial Editorial

Mengaktualisasi Budaya Mutu

Rubrik Khusus

Hari Gizi Nasional 2013 PDPT Kes: Upaya Menumbuhkan Budaya Mutu

Bidan Sunarti, Pemenang Srikandi Awards 2012:

“Ndak Ada Kata Putus Asa Untuk Masyarakat!”


Salam Redaksi

Salam Redaksi

N

03 05 09 12 14 15 17 19 20 22 24

Redaksi Penanggung Jawab Edy Siswanto (Wakil Manajer Proyek HPEQ) Pemimpin Redaksi Aprilia Ekawati Utami (Pengelola Program Monev dan RnD)

�

Daftar Isi Editorial Kolom Khusus Berita Komponen Newsflash HPEQ Student Sosok HPEQ Conference Pengumuman Apa Kata Mereka RnD Corner Galeri

ewsletter HPEQ edisi ketiga ini adalah edisi perdana di tahun 2013. Semakin banyak tantangan yang akan dihadapi HPEQ pada periode yang merupakan paruh terakhir implementasi proyek HPEQ ini. Dengan nuansa tahun baru, diharapkan semangat baru dapat mewarnai strategi aksi programprogram HPEQ yang sedang mengusung GERAKAN MORAL peningkatan kualitas pendidikan tinggi kesehatan. Gerakan ini diharapkan dapat menggugah hati dan mengajak setiap individu untuk bisa lebih peduli dan turun tangan dalam berkolaborasi untuk mencapai misi utama. Semangat tahun baru diharapkan dapat memperkokoh langkah kita bersama dalam mengaktualisasi budaya mutu. Selain semangat tahun baru, di penghujung tahun 2012 lalu kita juga memperingati Hari Ibu dan pada awal tahun kita juga akan menyambut Hari Gizi Nasional. Hal ini menginspirasi tim redaksi untuk mewarnai content newsletter edisi kali ini dengan artikel-artikel yang mengangkat sisi humaniora, tetapi tetap terbungkus dalam kerangka usaha penguatan budaya mutu. Dalam rangka menyambut Hari Gizi Nasional, akan ada artikel khusus dari ketua AIPGI. Selain itu, edisi kali ini juga akan mengangkat perkembangan pendirian 2 lembaga yang sedang dikembangkan oleh proyek HPEQ, yaitu LAM PTKes dan LPUK. Selain itu, akan diangkat juga perkembangan salah satu produk unggulan HPEQ, yaitu Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kesehatan (PDPT-Kes). Di tahun baru ini juga, tim HPEQ Student akan mengetengahkan regenerasi kepengurusan dan pembaharuan proker yang akan dijalankan pada tahun 2013. Ingin mengetahui hal-hal menarik lainnya yang tertuang dalam Newsletter HPEQ ? Mari temukan jawabannya dengan membaca halaman demi halaman HPEQ newsletter edisi ke-3 ini, sehingga bisa terbentuk opini, saran ataupun kritik yang membangun untuk program HPEQ yang lebih bermanfaat. Tim redaksi juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada seluruh kontributor HPEQ newsletter, baik yang memberikan artikel secara langsung, maupun kepada semua pihak yang telah memberikan inspirasi dan dukungan untuk terbitnya HPEQ Newsletter edisi ke-3. Anda peduli dengan pendidikan tinggi kesehatan ? Mari menjadi bagian dari Gerakan Moral HPEQ ! Gunakan kecanggihan gadget yang kita miliki untuk menggerakkan orang lain menyebarkan hal-hal positif yang tertuang dalam HPEQ newsletter ini

Koodinator Redaksi Indra Prima Putra Redaktur Pelaksana Mushtofa Kamal Redaksi Rufita Ismu Astania Ria Ulina Denda Miftahul Huda Hilda Dwijayanti Dita Pertiwi Ismiyati Addys Rino Hariar Rr. Pasati Lintangela Alvionetta Diass Putranti

02

atas nama tim redaksi, -pemimpin redaksi-

Selalu belajar untuk bekerja lebih cerdas dan ikhlas, bekerja dengan hati namun tetap menjunjung tinggi profesionalisme, serta berusaha memberikan inspirasi positif pada lingkungan sekitar. together we can...

�

Ingin ikut berkontribusi dalam newsletter ini. Silahkan kirim artikel Anda ke email hpeq@dikti.go.id Alamat Kantor Proyek HPEQ: Gedung Victoria Lantai 2. Jln. Sultan Hasanudin Kav 4751 Jakarta 12160, 021-72791384


Editorial

“

Untuk disebut sebagai budaya, mutu harus menjadi kualitas/mentalitas yang dimiliki bersama oleh satu entitas

“

Mengaktualisasikan

Budaya Mutu Irwandi [Staf Ditjen Dikti]

A

da penjaminan mutu dan ada juga budaya mutu. Terminologi yang paling akrab adalah penjaminan mutu, walaupun tema �pengendalian� juga sayup terdengar. Sementara budaya mutu bukanlah diktum yang ada dalam bahasa legislasi pendidikan. Akhirakhir ini tidak hanya penjaminan, tapi budaya mutu juga mencuat ke permukaan. Nampaknya kita tidak hanya ingin mutu dijamin dan dikendalikan, tapi juga

dibudayakan. Harapannya adalah mutu menjadi sesuatu yang hidup di dalam fikiran dan termanifestasi dalam tindakan seluruh entitas. Ia tidak hanya menjadi pekerjaan dan pembicaraan manajemen pengendalian mutu atau pemerintah. Apakah ini sebuah visi atau hanya sekedar ilusi saja? Kita harus berani mengatakan ini adalah sebuah visi. Ikhtiar pengembangan mutu adalah upaya yang tiada bertepi. Usaha yang tidak berhenti setelah standar selesai dirumuskan. Standar adalah batas tapi bukan batasan. Semua orang ingin melakukan yang terbaik (in search of excellence). Kalau misalnya kita baca Bologna Handbook seperti dijelaskan Lee Harvey dan Bjorn Stensaker dalam Quality Cultures : Understanding, Boundaries, and Linkages, ternyata definisi mutu pun berkembang dinamis, artinya orang tidak berhenti memaknai mutu. Ketika Jepang berhasil melakukan lompatan kemajuan peradaban yang luar biasa, orang tidak mengatakan ini sekedar mimikri terhadap barat, tapi sebuah hasil kerja keras yang tumbuh dari etos/mentalitas/budaya yang sering disebut kaizen, peningkatan mutu berkesinambungan. Jepang juga memiliki modal sosial seperti sikap percaya, jaringan, dan norma. Fukuyama dalam Trust menggolongkan Jepang sebagai masyarakat dengan sifat percaya yang tinggi (high trust society). Kendatipun Fukuyama sendiri salah dalam memandang Korea (digolongkan sebagai low trust society), akan tetapi sejak itu, mutu sebagai keberhasilan satu organisasi sering dikaitkan dengan faktor budaya dan fungsi modal sosial. Bahkan Korea Selatan bersama Finlandia dalam The Learning Curve Report-nya Pearson, 2012, dinobatkan sebagai negara adikuasa pendidikan. Disebutkan kendati dua negara ini memiliki sistem manajemen pendidikan yang berbeda, tapi mereka memiliki satu titik temu yaitu kesetiaan yang tinggi pada sistem nilai/budaya. Raison d'etre dari budaya mutu menjadi jelas yaitu agar penjaminan mutu tidak sekedar ilusi dan mekanistik prosedural rutinitas semata. Penjaminan mutu tidak lagi dipandang sekedar pengisian borang atau sekedar mendapatkan sertifikat kompetensi. Ketika dia menjelma menjadi budaya, gerakan mutu memiliki ruh yang memandu

03


Editorial

04

Tugas utama para inovator dan pembaharu adalah tidak hanya mentransmisikan mutu hanya sekedar menjadi pengetahuan (knowing), tapi harus mengetuk kesadaran (feeling) dan mendorong kemauan para implementor untuk mempraktekkan mutu dalam keseharian (acting)

semua entitas untuk memberikan yang terbaik di dalam sistem dimana dia mengabdi. Memberikan pelayanan yang paling prima dan profesional atas landasan panggilan kemanusian yang tulus. Dia terbawa terus dari satu medan pengabdian ke medan pengabdian lainnya. Untuk disebut sebagai budaya, mutu harus menjadi kualitas/mentalitas yang dimiliki bersama oleh satu entitas. Untuk sampai pada taraf itu, layaknya budaya yang dibentuk dari proses belajar, maka mutu harus melalui proses edukasi, iterasi, dan dialektika yang terus menerus. Harganya mahal ketika kita gagal meyakinkan bahwa mutu adalah visi dan isu bersama, tersebab ia bisa menjadi endemik yang akan mendangkalkan makna penjaminan mutu itu sendiri. Seperti disebutkan Ralp Linton, budaya adalah ”the total way of life of any society”. Sisi lain ada konsep total quality management (TQM) yang dikembangkan oleh tokoh seperti W. Edwards Deming, Joseph Juran, Jim Harington dsb. Menjadikan mutu sebagai totalitas cara hidup dan cara pandang yang dimiliki melalui proses pembelajaran, nampaknya adalah cara kita menjadikan mutu sebagai budaya. Oleh karena itu, dia harus dibangun di atas landasan yang kokoh, bersemayam di dalam hati dan kepala seluruh pihak yang terkait. Landasan yang kokoh itu adalah mutu harus menjadi komitmen bukan sekedar ketaatan semu yang dipaksakan dari luar. Harus ada nilai-nilai dasar yang menjadi nilai bersama melewati sekatsekat profesi dan tembok kesombongan sektoral lainnya. Dialog sebagai komunikasi yang penuh empati dan kemampuan untuk mendengar untuk saling belajar telah dan sedang ditunjukkan oleh tokoh asosiasi profesi dan institusi pendidikan kesehatan, termasuk tokoh mahasiswa. Ada upaya detasering. Ada usaha among, salah satu pilar pendidikan Ki Hajar Dewantara, yang dilakukan di Proyek HPEQ-Dikti. Keterlibatan tanpa komitmen pimpinan, termasuk regulator, tidak mungkin melahirkan visi penataan pendidikan tinggi kesehatan seperti telah ditunjukkan. Komunikasi dan kerjasama yang melintasi sekat dan relung asosiasi profesi ini adalah khas Indonesia yang patut kita apresiasi. Ini semua adalah landasan yang kokoh, modal awal tumbuh kembangnya upaya penjaminan mutu di

pendidikan tinggi kesehatan. Dalam literatur penjaminan mutu dapat kita simak bahwa keteladanan pimpinan adalah faktor penting untuk menciptakan budaya mutu dalam satu institusi dan asosiasi. Meminjam bahasa Lickona, bapak pendidikan karakter Amerika, tugas utama para inovator dan pembaharu adalah tidak hanya mentransmisikan mutu hanya sekedar menjadi pengetahuan (knowing), tapi harus mengetuk kesadaran (feeling) dan mendorong kemauan para implementor untuk mempraktekkan mutu dalam keseharian (acting). Proyek HPEQ-Dikti sebetulnya ingin meresonansikan mutu di tiga ranah ini. Dibalik intensitas interaksi dan kekayaan produksi pengetahuan tujuh profesi ada landasan etik baru yang diperkenalkan yang bisa dikerucutkan menjadi dua simpul utama yaitu dialog dan komitmen tokoh dan pimpinan. Selain kekuatan teladan dengan dua kualitas ini, harus diikuti dengan keterlibatan intens seluruh entitas untuk memahami, menerima dan memiliki mutu. Itulah makna sejati budaya mutu. ”Bersama Kita Bisa”, seperti disebutkan John A Wood dalam The Quality Year Book, “everything affects everything else in one way or another, and not always predictably ”. Aktualisasi budaya mutu akan dimulai dari pendidikan tinggi kesehatan dan menjadi inspirasi bagi yang lain. Semoga.


Edisi Hari Gizi Nasional Kolom Khusus

Peran AIPGI dalam menghadapi tantangan

Pendidikan Tinggi Gizi Prof. dr. Hamam Hadi, MS, Sc.D (Ketua Umum AIPGI)

I

ndonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda, disamping prevalensi gizi kurang masih tinggi dan belum teratasi dengan baik, prevalensi kegemukan dan obes meningkat dengan tajam. Hasil RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa sebanyak 17,9 % balita mengalami kekurangan gizi yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan 13,0 % gizi kurang. Lebih memprihatinkan lagi bahwa 35,6% balita Indonesia adalah pendek yang menggambarkan adanya masalah gizi kronis. Sementara itu, jumlah balita yang mengalami kegemukan semakin meningkat. Prevalensi gizi lebih (kegemukan dan obesitas) pada balita mencapai 14 %. Pada orang dewasa prevalensi kegemukan justru lebih besar dibandingkan prevalensi kurus. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya perbaikan gizi untuk mengatasi masalah gizi tersebut. Namun, penanganannya masih terkendala terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga gizi di Indonesia. Menurut Hasil kajian Thaha dan Roger (2010), sebanyak 8737 puskesmas minimal membutuhkan satu ahli gizi, 2000 RS dengan tenaga gizi rata-rata 10, dan 1 ahli gizi per 500.000 penduduk. Tenaga gizi yang tersedia saat ini adalah 3000 ahli gizi yang tersebar di 8.737 Puskesmas (35% dari kebutuhan tenaga gizi Puskesmas) dan 2000 rumah sakit dengan tenaga gizi rata-rata sebanyak 2 orang (20% dari kebutuhan tenaga gizi RS). Sehingga, dapat dilihat bahwa Indonesia masih membutuhkan tenaga gizi yang professional dan berkualitas dalam jumlah yang banyak. Melihat kenyataan ini, AIPGI sebagai payung organisasi institusi pendidikan gizi di Indonesia terus berusaha secara aktif membantu pemerintah untuk menghasilkan tenaga gizi yang professional dan berkualitas dalam jumlah yang cukup. Sejak pendidikan S1 Gizi dibuka pertama kali di tahun 2003, jumlah Perguruan Tinggi yang membuka Program Studi S1 Gizi saat ini mencapai 25 Institusi, dua diantaranya telah dilengkapi dengan pendidikan Profesi Gizi (Dietisien). Sedangkan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang sudah membuka program studi D3 dan D4 Gizi mencapai 47 Institusi. Perkembangan ini menunjukkan semakin positifnya respon masyarakat terhadap Profesi Gizi, sekaligus meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Profesi Gizi di Indonesia. Meningkatnya kesadaran masyarakat melahirkan

di Indonesia tuntutan masyarakat akan tersedianya lapangan pekerjaan bagi alumni pendidikan D3, S1 Gizi, dan Dietisien dan tersedianya tenaga gizi yang berkualitas yang mampu bersaing secara global dengan tenaga gizi asing yang masuk dan bekerja di Indonesia. Tantangan Pendidikan Tinggi Gizi di Indonesia Meskipun semua Program Pendidikan Tinggi Gizi pada level D3, S1, dan profesi menggunakan Kurikulum Nasional yang sama, kualitas input, proses dan output pendidikan sangat bervariasi. Variasi ini bisa dilihat dari perbedaan kualitas mahasiswa dan dosen, rasio dosen dan mahasiswa, hingga fasilitas laboratorium yang dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi. Beragamnya kualitas input, proses, dan output pendidikan gizi ini terlihat dari hanya 9 Perguruan Tinggi (36 %) yang sudah terakreditasi dan hanya 2 diantaranya (8%) yang mendapatkan Akreditasi A. Banyaknya Perguruan Tinggi yang membuka Pendidikan D3 dan S1 Gizi memicu lahirnya tantangan eksternal bagi AIPGI. Dampak langsung yang telah terjadi saat ini adalah bertambahnya jumlah Tenaga Gizi dengan pendidikan D3 dan S1. Apabila peningkatan jumlah output ini tidak dibarengi dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup serta pengembangan karir dan bidang kerja tenaga gizi, maka sangat dikhawatirkan munculnya pengagguran terdidik dari bidang Gizi. Oleh karena itu, sesuai dengan makin besarnya dan makin kompleksnya masalah gizi di Indonesia, pemerintah seharusnya perlu memberdayakan tenaga gizi Indonesia dan membuka lebih luas lapangan kerja untuk tenaga gizi sesuai kebutuhan tenaga saat ini dan dimasa datang. Disamping itu, mungkin pemerintah juga perlu mengendalikan laju pertumbuhan institusi pendidikan tinggi gizi agar ada keseimbangan antara supply dan demand, dan pada saat ini mungkin sudah perlu mempertimbangkan secara matang tentang perlunya moratorium pendidikan tinggi gizi. Resolusi AIPGI dalam menghadapi tantangan tahun 2013 D a l a m ra n g ka m e n g h a d a p i s e m u a tantangan diatas, sejak tahun 2012 AIPGI telah mempersiapkan berbagai resolusi yang diharapkan akan berdampak positif bagi pendidikan tinggi gizi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

05


Kolom Khusus Edisi Hari Gizi Nasional

06

AIPGI telah menyelenggarakan Intensive Training For Instructure (ITFI) ke – 3 sebagai upaya untuk memfasilitasi anggotanya mempersiapkan caloncalon instruktur untuk pendidikan profesi. Kedepan, AIPGI akan menyelenggarakan kembali ITFI tahap berikutnya. Sehingga, jumlah instruktur pendidikan profesi yang tersedia semakin memadai. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat akan tenaga gizi yang professional dan berkualitas akan dapat terpenuhi. Lebih jauh lagi, setelah melewati tahap pendidikan profesi, tenaga gizi yang dihasilkan diharapkan mampu bersaing dengan tenaga gizi asing. 4. Untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Tinggi Gizi dan Tenaga Gizi di Indonesia, AIPGI dan PERSAGI akan melakukan benchmarking dengan berbagai

“

AIPGI sebagai payung organisasi institusi pendidikan gizi di Indonesia terus berusaha secara aktif membantu pemerintah untuk menghasilkan tenaga gizi yang professional dan berkualitas dalam jumlah yang cukup

“

Resolusi tersebut diantaranya: 1. D a l a m ra n g ka m e l a ku ka n p e n g e n d a l i a n pertumbuhan dan perkembangan Program Studi Gizi di Indonesia baik pada level D3 maupun S1, AIPGI telah membantu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan keterlibatan AIPGI secara aktif dalam proses penilaian studi kelayakan yang diajukan oleh institusi-institusi yang akan membuka program studi gizi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang tidak terkontrol dari Program Studi Gizi di Indonesia yang secara langsung berdampak pada menurunnya kualitas output pendidikan tinggi gizi. Di tahun 2013, AIPGI akan berusaha untuk terus menggalakkan dan memperkuat kerjasama ini. 2. Salah satu misi AIPGI adalah terwujudnya Pendidikan Tinggi Gizi yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, AIPGI berusaha melakukan pembinaan dalam rangka membantu institusi untuk terus meningkatkan sistem jaminan mutu internal pendidikan tinggi gizi di Indonesia dengan melakukan visitasi ke institusi-institusi anggota AIPGI. Dalam kegiatan visitasi ini, AIPGI akan mengirimkan tim visitasi untuk melakukan asesmen dan pembinaan proses pendidikan di Institusi anggota AIPGI. Apabila diperlukan, tim visitasi dari AIPGI akan melakukan pendampingan untuk membantu perbaikan proses pendidikan di institusi tersebut. 3. Untuk menyediakan tenaga gizi yang profesional dan berkualitas, AIPGI berkerjasama dengan PERSAGI secara aktif mendorong dan memfasilitasi anggotanya untuk dapat membuka Program Studi Profesi Gizi. Berdasarkan hasil rapat AIPGI, terdapat 5 Institusi Pendidikan Ting gi Gizi yang direkomendasikan untuk membuka Program Studi Gizi, yakni: a) Program Studi S1 Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta b) Program Studi S1 Ilmu Gizi, Jurusan Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Malang c) Program Studi S1 Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor d) Program Studi S1 Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang e) Program Studi S1 Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hassanudin Makasar. Namun, sampai saat ini hanya Program Studi S1 Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Malang yang membuka Program Studi Profesi Gizi. Sebelumnya, Program Studi S1 Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga membuka program Profesi, namun di hentikan sementara sejak tahun 2010. Oleh karena itu, pada bulan Oktober tahun 2012 lalu

Institusi Pendidikan Tinggi Gizi di luar negeri. Dalam benchmarking ini, AIPGI dan PERSAGI akan mempelajari secara intensif standar kompetensi dan standar profesi gizi di berbagai negara. Dengan demikian, AIPGI dan PERSAGI akan mendapatkan input yang lebih jelas dan terarah sebagai dasar untuk mengembangkan pendidikan tinggi gizi dan meningkatkan kualitas tenaga gizi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, telihat dengan jelas bahwa AIPGI memiliki tugas yang tidak ringan ditahun 2013 dan tahun-tahun berikutnya. Resolusiresolusi diatas, diharapkan menjadi bentuk nyata keterlibatan AIPGI dan PERSAGI dalam upaya perbaikan status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia melalui penyediaan tenaga gizi yang berkualitas dan profesional.


KolomKolom Khusus Khusus

PDPT Kes:

Upaya Menumbuhkan

Budaya Mutu Nani Cahyani Sudarsono (Wakil Koordinator Komponen 1 Proyek HPEQ)

K

esadaran atas mutu merupakan hal yang diharapkan tumbuh menjadi budaya bangsa Indonesia. Budaya mutu tersebut disadari hanya dapat timbul apabila berbagai hal yang terkait dengan mutu menjadi bagian dari kinerja sehari-hari. Salah satu cara yang banyak ditempuh untuk mencapai hal tersebut adalah dengan membangun sistem yang secara langsung mencatat data yang kemudian menjadi informasi yang akan memperlihatkan kualitas kerja. Sejalan dengan pemikiran tersebut, sistem pendidikan tinggi di Indonesia sejak lama telah membangun basis data pendidikan tinggi melalui EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) yang kemudian berevolusi menjadi PDPT (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi). Perkembangan teknologi informasi masa kini serta fasilitas koneksi jaringan internet institusi pendidikan tinggi di wilayah Indonesia memungkinkan dibentuknya suatu sistem yang membangun basis data pendidikan tinggi yang disebut PDPT. Basis data ini dirancang dengan fitur integratif sehingga dapat menghasilkan data dan informasi yang akurat dan komprehensif, yang pada akhirnya dapat digunakan menjadi dasar analisis untuk pembuatan kebijakan pendidikan tinggi. Secara konsep, validitas dan kekinian PDPT dijaga dengan penetapan karakteristik standar data, dan diperbaharui secara berkala melalui kewajiban update data sesuai dengan situasi terkini di perguruan tinggi. Sebagai konsekuensi, perguruan tinggi dalam sistem PDPT harus mengembangkan tatakelola teknologi informasi menjadi jejaring informasi intrakampus yang handal, karena PDPT yang terhubung ke Dikti merupakan sumber data yang membentuk profil perguruan tinggi. Belajar dari praktik baik di negara lain, dipahami bahwa basis data seperti PDPT akan

terpelihara apabila dimanfaatkan sebagai bagian dari hal yang penting dan menentukan dalam pendidikan tinggi. Meskipun data dalam PDPT telah ditetapkan agar dapat menggambarkan kualitas penyelenggaraan program pendidikan tinggi, masih diperlukan data yang lebih spesifik agar data PDPT mempunyai relevansi yang kuat terhadap gambaran kualitas penyelenggaraan program pendidikan secara spesifik. Pemikiran tentang jenis data spesifik ini merupakan dasar pemikiran pengembangan PDPT untuk pendidikan bidang tertentu, dalam hal ini bidang kesehatan. Agar dapat mencapai hal ini tentunya dibutuhkan acuan yang menjadi standar yang telah disepakati secara baik. Dalam hal pendidikan bidang kesehatan, khususnya pendidikan profesi dokter, dokter gigi, perawat dan bidan, sejak tahun 2010 telah berlangsung proyek HPEQ yang mengawal tersusunnya standar pendidikan keempat profesi kesehatan sebagaimana digariskan oleh organisasi profesi dan asosiasi penyelenggara pendidikan profesi masing-masing. Pada perkembangan selanjutnya, dari masing-masing standar dilakukan identifikasi data spesifik yang penting yang diyakini menggambarkan kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Melalui aktivitas lain, standar pendidikan dan standar kompetensi profesi yang sama digunakan sebagai acuan dalam pengembangan instrumen akreditasi profesi yang merupakan pengembangan instrumen akreditasi generik yang selama ini digunakan. Sebagai konsekuensi yang wajar, data spesifik profesi dalam PDPT menjadi sejalan dengan data untuk akreditasi program pendidikan profesi. Hal lain yang kemudian ditemukan dalam proses pengembangan basis data adalah sebagian dari karakteristik data spesifik empat profesi kesehatan tersebut memperlihatkan kesamaan. Selanjutnya data antar profesi kesehatan dikembangkan menjadi

07


basis data tersediri yang disebut PDPT Kesehatan, atau disingkat PDPT Kes. Langkah pengembangan konsep PDPT Kes dalam proyek HPEQ dimulai dengan pengembangan karakteristik data spesifik untuk profesi kesehatan dan juga data spesifik profesi kesehatan tertentu yang diyakini relevan dalam menggambarkan kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Disadari bahwa hal ini harus didukung pihak yang memahami berbagai aspek penting seperti pakar pendidikan profesi, pakar bidang pendataan dan administrasi pendidikan, serta pakar bidang sistem teknologi informasi. Dalam perjalanannya, terbukti bahwa keberhasilan PDPT Kes bergantung pada semua faktor tersebut, dan bukan hanya pada ketersediaan dana. Kesungguhan dan komitmen semua pihak, serta pengalaman dan kepakaran atas aspek yang berkontribusi terhadap suatu basis data merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan seluruh proses. Pada saat ini, upaya bersama 4 profesi dan para pakar teknologi informasi telah menghasilkan bagian dari PDPT Kes yang siap untuk diterapkan. Sebagaimana pengembangan semua sistem berbasis teknologi informasi, pasca perencanaan business process dan penyusunan struktur data online maka tahap berikutnya adalah uji coba sistem PDPT Kes. Tahap ini merupakan tahap yang penting dan harus dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan rasa memiliki dari semua pihak. Bagaimanapun, basis data integratif hanya dapat dibangun apabila partisipan yang membangun data tersebut berpartisipasi penuh, dan meyakini kepentingan dan kemanfaatannya. Uraian sebelumnya memperlihatkan kerumitan membangun basis data PDPT maupun PDPT Kes. Sangat wajar jika langkah berikut yang sangat penting adalah memastikan bahwa akan muncul kesadaran tentang pentingnya memanfaatkan hasil dari upaya ini secara maksimal. Proses pembangunan basis data yang secara langsung melibatkan organisasi profesi dan institusi pendidikan di bawah pendampingan pakar teknologi informasi merupakan langkah awal yang baik yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran atas pentingnya PDPT Kes bagi semua pihak. Kegiatan selanjutnya yang harus dijamin pelaksanaannya dalam rangka pengembangan budaya mutu adalah pengkajian teratur dan terstruktur atas kemampuan data spesifik profesi kesehatan menggambarkan kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Hasil kajian tersebut harus diupayakan menjadi bahan umpan balik yang secara berkala disampaikan secara khusus kepada organisasi profesi yang pada saat ini berada di luar sistem jejaring informasi PDPT Kes. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, PDPT diharapkan dapat dianalisis untuk basis penyusunan kebijakan di tingkat pemerintah. Di lain pihak, data yang berkualitas yang ada di perguruan tinggi

08

“

Langkah pengembangan konsep PDPT Kes dalam proyek HPEQ dimulai dengan pengembangan karakteristik data spesifik untuk profesi kesehatan

“

Kolom Khusus

tentunya merupakan data penting program pendidikan yang juga dapat menjadi panduan dalam analisis pendukung kebijakan tertentu di tingkat program. Apabila siklus akreditasi lima tahunan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan rencana strategis, pengelolaan data PDPT sebagai data pendukung keberhasilan pelaksanaan rencana strategis program maupun institusi pendidikan menjadi sangat relevan. Karakteristik data PDPT Kes yang terstandar dan spesifik yang dimanfaatkan dengan baik dapat membantu pengembangan rencana akademik maupun non akademik (pendukung akademik) di setiap institusi pendidikan. Pembangunan PDPT Kes dalam kerangka HPEQ tidak lepas dari upaya membangun budaya mutu melalui sistem akreditasi. Pada saat ini, telah dilakukan berbagai persiapan untuk mendirikan Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PT Kes) yang berupaya membangun budaya mutu melalui dukungan fasilitasi lembaga terhadap satuan program pendidikan. Akreditasi yang dilaksanakan oleh LAM PT Kes terhadap satuan program studi diutamakan berlangsung melalui proses fasilitasi dan umpan balik yang diharapkan menjadi dorongan positif terhadap penyelenggaraan program pendidikan. Pekerjaan besar ini sangat membutuhkan ketersediaan data yang valid dan relevan yang pilihannya adalah melalui basis data modern yang didukung sistem teknologi informasi, dan untuk ini PDPT Kes merupakan jawaban yang tepat. Keterpaduan pengembangan sistem akreditasi dalam lingkup LAM PT Kes serta basis data PDPT Kes dalam HPEQ diharapkan dapat mendorong komunikasi yang intensif antar kedua sistem, yang pada akhirnya membantu mewujudkan budaya mutu di lingkungan pendidikan profesi kesehatan. Budaya mutu diharapkan menjadi kunci kemajuan pembangunan di Indonesia. Perjalanan interaksi antar profesi kesehatan dalam HPEQ membuktikan bahwa pemikiran tentang pentingnya mutu akademik dalam penyelenggaraan pendidikan dan dampaknya terhadap kemajuan pelayanan kesehatan hanya dapat dicapai apabila semua pihak yang terlibat menyadari besarnya tuntutan kontribusi komitmen dari semua anggota profesi yang terlibat. Komitmen, serta sistem yang dibangun secara efisien akan menjadi unsur yang secara efektif mendukung pembangunan budaya mutu akademik di lingkungan pendidikan tinggi, dalam hal ini secara khusus pendidikan tinggi bidang kesehatan.


Berita Komponen 1

P

Perjuangan Menuju Pendirian

Badan Hukum LAM-PTKes

“

Lembaga Akreditasi Mandiri dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri dan memenuhi persyaratan wajib yaitu berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba

roses pendirian Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes) telah dimulai sejak tahun 2010 dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) kesehatan, Dikti, BAN-PT dan Kementerian Kesehatan. Sebagai lembaga yang mandiri bentukan masyarakat, proses pembentukan LAM-PTKes tidak hanya meliputi persiapan dalam hal substansi, diantaranya sumber saya manusia, instrumen akreditasi, sistem manajemen serta proses bisnis LAM-PTKes namun juga aspek legal dalam membentuk LAM-PTKes sebagai lembaga mandiri yang berbadan hukum. Persyaratan LAM-PTKes berbadan hukum terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 88 yang menyatakan bahwa lembaga akreditasi mandiri dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri dan memenuhi persyaratan wajib yaitu berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba dan memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 28 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi pada Pasal 13 juga telah menetapkan bahwa (1) Masyarakat dapat melakukan akreditasi perguruan tinggi dengan membentuk lembaga akreditasi perguruan tinggi yang bersifat mandiri. (2) Lembaga akreditasi mandiri yang bersifat mandiri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1): a. berbadan hukum Indonesia; b. Bersifat nirlaba: c. Memiliki tenaga ahli di bidang evaluasi pendidikan: d. Memperoleh ijin Menteri. Berdasarkan landasan hukum tersebut, proses pendirian badan hukum LAM-PTKes telah dimulai sejak tahun 2011. Tahap tersebut diawali dengan penandatanganan kesepakatan pendirian LAM-PTKes pada tanggal 22 Desember 2011 oleh Ketua Organisasi Profesi (OP) dan Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan (AIP) dari tujuh profesi kesehatan yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, farmasi, kesehatan masyarakat dan gizi. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan penyusunan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga LAM-PTKes oleh kelompok kerja (task force) LAM-PTKes dengan asistensi ahli hukum dan biro hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyusunan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tersebut berlangsung sejak awal hingga pertengahan tahun 2012. Pada bulan Agustus 2012 dan Januari 2013, kelompok kerja LAMPTKes serta tim HPEQ mengadakan pertemuan strategis dengan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Ham untuk mendapatkan arahan mengenai proses pendirian badan hukum LAM-PTKes. Salah satu isu yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah berdasarkan kesepakatan pendirian LAM-PTKes oleh ketua OP dan AIP tujuh profesi kesehatan maka yang menjadi pendiri LAMPTKes adalah tujuh OP dan 7 AIP tersebut. Namun secara hukum, syarat menjadi pendiri adalah semua OP dan AIP tersebut harus telah berbadan hukum dan pada kenyataannya diantara empat belas OP dan AIP tersebut baru 3 OP dan 2 AIP yang telah berbadan hukum. Dirjen AHU memberikan arahan bahwa untuk mengefektifkan proses pembentukan badan hukum LAM-PTKes agar mampu mendapat pengakuan Menteri untuk menjalankan fungsi maka kelima OP dan AIP yang telah berbadan hukum tersebut yang akan menjadi pendiri dengan mencantumkan perihal tersebut di dalam Anggaran Dasar LAM-PTKes. Sebagai tindak lanjut audiensi tersebut, agenda yang direncanakan selanjutnya adalah melakukan penyempurnaan pada anggaran dasar LAM-PTKes agar dapat mengakomodasi perihal pendiri LAM-PTKes sesuai arahan Dirjen AHU. Revisi dan penyempurnaan anggaran tersebut direncanakan melibatkan Majelis Pemangku Kepentingan LAM-PTKes yang mewakili stakeholders tujuh profesi kesehatan, Kelompok Kerja LAM-PTKes, dan Notaris. Diharapkan agar anggaran dasar LAM-PTKes dapat segera difinalisasi agar kemudian badan hukum LAM-PTKes dapat segera terbentuk sehingga fungsi akreditasi dapat dilakukan sebagai bentuk akuntablilitas publik terhadap pendidikan tinggi kesehatan di Indonesia.

“

09


Berita Komponen 2

Implementasi

Uji Kompetensi tahun 2013?

U

ji kompetensi, sebagai suatu bagian dari evaluasi hasil belajar adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi bidang kesehatan sesuai dengan standar kompetensi. Urgensi implementasi uji kompetensi adalah dalam rangka penjaminan mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan. Saat ini, implementasi uji kompetensi berstandar nasional baru dilakukan oleh profesi dokter dan dokter gigi, dan selanjutnya akan diterapkan untuk bidan, perawat dan bidang kesehatan lainnya.

“

Kerjasama antara MTKI dan LPUK terjalin erat untuk mempersiapkan implementasi uji kompetensi sebagai exit exam di tahun 2013

“

Khususnya untuk bidang kesehatan non dokter, dokter gigi dan farmasi, uji kompetensi akan dilakukan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Sesuai Permenkes No.1796 tahun 2011, MTKI adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Di sisi lain, Ditjen Dikti Kemdikbud, melalui fasilitasi proyek HPEQ juga sedang mengembangkan Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK), yaitu lembaga mandiri yang bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi, metodologi serta perangkat uji dalam mengevaluasi kompetensi peserta didik pendidikan tinggi kesehatan perlu segera didirikan. Kerjasama antara MTKI dan LPUK

10

terjalin erat untuk mempersiapkan implementasi uji kompetensi sebagai exit exam di tahun 2013. Dalam tahap persiapan, MTKI telah bekerjasama dengan LPUK dalam hal penyiapan soal yang berkualitas, item bank, lokasi uji, hingga penentuan Nilai Batas Lulus (NBL) yang akuntabel. Target peserta uji kompetensi untuk tahun 2013 adalah 13.000 lulusan pendidikan tinggi kesehatan, yang sebagian besar adalah lulusan pendidikan tinggi keperawatan dan kebidanan. Mengingat besarnya calon peserta uji kompetensi yang akan difasilitasi, maka MTKI dibantu oleh Pustanserdikjut Kemkes sedang berjuang keras untuk mempersiapkan implementasi uji kompetensi, hingga persiapan pendanaan. Dari sisi aspek legal, uji kompetensi untuk lulusan pendidikan tinggi kesehatan (selain dokter, dokter gigi dan farmasi) akan dipayungi oleh Rancangan Peraturan Bersama antara Menkes dan Mendikbud tentang Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan, yang akan disahkan pada awal Februari 2012. Selain itu, payung hukum mengenai uji kompetensi juga akan diperkuat dengan adanya aturan turunan dari UU No.12/2012, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang Sertifikat Kompetensi. Sesuai dengan aturan yang disusun, sertifikat kompetensi akan diterbitkan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi kepada lulusan yang lulus uji kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua aspek untuk implementasi uji kompetensi sudah disiapkan. Tahun 2013 akan menjadi starting point implementasi uji kompetensi sebagai exit exam untuk semua lulusan pendidikan tinggi kesehatan. Untuk itu, dibutuhkan persiapan dari semua lini, terutama institusi pendidikan dan mahasiswa itu sendiri. Apakah mahasiswa pendidikan tinggi kesehatan sudah siap menghadapi uji kompetensi ? Seharusnya semua siap, karena uji kompetensi sudah dipersiapkan semenjak 2 tahun yang lalu.


Berita Komponen 3

Program Afirmasi: Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter

FK Uncen FK Undana

&

D

alam rangka mendukung misi Kemdikbud untuk m e m p e r l u a s kete r j a n g ka u a n , meningkatkan kualitas, mewujudkan ketersediaan dan kesetaraan serta menjamin kepastian dalam memperoleh pendidikan kedokteran, maka Steering Committee proyek HPEQ telah menyetujui program afirmasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan Dokter (PKPD) bagi FK UNCEN dan FK UNDANA. Pemilihan 2 FK yang akan diberikan bantuan hibah tanpa melalui proses kompetisi ini, dilandasi oleh data evaluasi diri serta hasil monitoring dan evaluasi program detasering, dimana FK UNCEN dan FK UNDANA dikategorikan sebagai FK yang masih lemah kapasitasnya, terutama dari sisi SDM dan tata kelola pendidikan kedokteran. Hal ini tercermin pada tahap pengajuan proposal PHK-PKPD tahun 2009, dimana FK UNCEN dan FK UNDANA sudah mengikuti proses kompetisi, akan tetapi proposal programnya dinilai belum cukup layak untuk mendapatkan dana hibah yang diberikan. Selain itu, program afirmasi untuk FK UNCEN dan FK UNDANA ini juga diperkuat dengan justifikasi untuk mencapai misi berikut : Ÿ Percepatan peningkatan kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia bagian timur (menjadi bagian kerangka MP3EI) Ÿ Peningkatan kapasitas FK UNCEN dan FK UNDANA sebagai supplier utama dokter di Jayapura dan NTT Khususnya untuk FK UNCEN, diperkuat juga dengan misi khusus peningkatan kapasitas dalam pengelolaan RS Universitas yang sedang dibangun. Pembinaan terhadap skema khusus ini langsung dilakukan oleh CPCU proyek HPEQ melalui tim pendamping khusus. Keberhasilan pelaksanaan program afirmasi PKPD ini akan diukur dengan menggunakan indikator kinerja utama berikut:

Penandatanganan kontrak program peningkatan kualitas pendidikan dokter untuk FK UNCEN dan FK UNDANA

Ÿ FK UNCEN & FK UNDANA telah melaksanakan

proses akreditasi di tahun 2014 Ÿ Mahasiswa FK UNCEN & FK UNDANA telah

berpartisipasi pada uji kompetensi nasional di tahun 2014 Pada tanggal 11 Desember 2012, telah dilakukan penandatanganan kontrak antara Dirjen Dikti dengan rektor FK UNCEN dan FK UNDANA. Dengan program afirmasi PKPD ini, diharapkan FK UNDANA dan FK UNCEN dapat mempercepat peningkatan kapasitasnya, terutama untuk memenuhi akreditasi dan uji kompetensi.

Dengan program afirmasi ini, diharapkan dapat mempercepat peningkatan kapasitas untuk memenuhi akreditasi dan uji kompetensi

“ 11


Newsflash

SUPERFISIAL Muhamad Heychael (Wakil kordinator divisi sosial marketing HPEQ)

B

anyak nama kita berikan pada pelbagai persoalan pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan dewasa ini (Untuk sekedar menyebutkan: rendahnya kompetensi, minimnya fasilitas, pemerataan tenaga kesehatan,dll). Namun jika harus dirangkum dalam satu kata, tidak ada yang lebih tepat menggambarkannya selain kata “mutu”. Semua orang kiranya akan sepakat bahwa ada masalah dengan mutu pendidikan tinggi kesehatan kita hari ini, seperti tercermin dari rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Persoalan baru akan mengemuka ketika diajukan pertanyaan, “apa yang anda maksud dengan mutu?”. Inilah salah satu tema yang dielaborasi dalam studi khalayak sistem penjaminan mutu, oleh tim social marketing HPEQ. Dalam FGD (Focus Grup Discussion) yang melibatkan dosen, mahasiswa dan tenaga profesional kesehatan dari empat profesi (Dokter, Dokter Gigi, Bidan dan Perawat) sebagian besar responden mengasosiasikan mutu sebagai fasilitas. Isu fasilitas menjadi top of mind dari responden ketika ditanyakan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh institusi kesehatan, baik dalam pendidikan tinggi ataupun pelayanan. Pelbagai masalah seperti minimnya kompetensi tenaga kesehatan (nakes), rendahnya empati dan etika, kurangnya komunikasi yang memadai antara sesama nakes dan antara nakes dengan pasien, dinilai sebagai turunan dari masalah fasilitas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika publik kesehatan mengasosiasikan fasilitas sebagai mutu. Selintas tidak ada yang salah dengan pandangan tersebut. Fasilitas tidak lain adalah unsur penunjang mutu, selain manajemen, sumber daya manusia, dan unsur lainnya. Hanya saja, mengasosiasikan fasilitas sebagai mutu akan menjebak kita pada cara pandang terhadap mutu yang bersifat “permukaan”. Kita tentu tidak menilai mutu sekolah kedokteran dari hanya gedung dan lab

12

yang modern. Begitu juga kita tidak menilai mutu Rumah Sakit dari megah atau tidak gedungnya, karena tugas sekolah adalah mencerdaskan dan tugas Rumah Sakit menyembuhkan. Atas kemampuan menunaikan tugas tersebutlah mutu sekolah dan Rumah Sakit ditentukan. Hal sederhana semacam ini seharusnya sudah diketahui oleh akademisi dan tenaga profesional kesehatan. Namun terkadang ada jarak antara mengetahui dan memahami atau antara memahami dan menghayati. Kesadaran adanya “jarak” inilah yang mungkin luput dari benak kita. Mengurai Mutu dan Budaya Mutu “Mutu adalah gambaran total sifat suatu produk/jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk memberikan kebutuhan dan kepuasan”(American Society for Quality Control). Berangkat dari definisi diatas, setidaknya kita bisa menguraikan dua hal penting mengenai mutu. Pertama, mutu adalah gambaran total, berarti ia bukan satuan partikuler tindakan pelayanan melainkan keseluruhan prosesnya, mulai dari pra pelayanan (mulai dari tahap pendidikan), pelayanan, dan pasca pelayanan. Bila bicara dalam konteks pelayanan medis, mutu meliputi keseluruhan aspek mulai dari seorang pasien diminta menunggu sebelum diperiksa, sampai pulang membawa resep. Proses yang diantaranya meliputi kedisiplinan nakes di klinik, kebersihan ruang tunggu, peralatan yang memadai, sikap ramah dan komunikatif dari nakes dan pekerja klinik lainnya, proses birokrasi yang efisien, dan senyum dari pasien ketika pulang. Kedua, mutu adalah sesuatu yang intangible atau tidak bisa diukur. Satu-satunya tolak ukur adalah kepuasan pelanggan/pasien. Dengan sendirinya, kemampuan mengembangkan mutu bergantung pada kemampuan untuk menjawab kebutuhan


Newsflash

“

termanisfestasi dalam sumpah profesi. Dengan kata lain, jalan meretas budaya mutu adalah juga kewajiban profesi, dengan mengusung semangat interprofessional colaboration. S t a n d a r m u t u h a r u s b e r ke m b a n g disesuaikan dengan dinamika kebutuhan jaman. Itu berarti budaya mutu juga harus dijaga secara berkesinambungan dengan mengadopsi nilai-nilai baru yang dibutuhkan, tetapi tetap selaras dengan semangat luhur profesionalisme dan kode etik. Sayangnya, budaya mutu belum mengakar dalam dunia kesehatan. Hasil studi pemetaan khalayak HPEQ juga merekam kerisauan dari banyak pendidik dan profesional kesehatan atas pudarnya nilai-nilai profesionalisme dan etika dari nakes. Tantangan inilah yang harus dijawab institusi pendidikan tinggi kesehatan sebagai “dapur� dari mutu pelayanan kesehatan, karena pelayanan yang bermutu tidak bisa berdiri sendiri tanpa pendidikan yang bermutu. Tepat disinilah arti penting LAM (Lembaga A k re d i ta s i M a n d i r i ) d a n L P U K ( L e m b a ga Pengembangan Uji Kompetensi) sebagai jawaban akan kebutuhan pendidikan tinggi kesehatan. LAM menyodorkan suatu pendekatan yang menyeluruh atau total dalam mengukur kualitas institusi pendidikan tinggi kesehatan. Bukan hanya dari jumlah fasilitas dan SDM yang dimiliki (kuantitatif saja), melainkan meliputi keseluruhan proses, termasuk pembelajaran maupun manajemen operasional pendidikan tinggi kesehatan. Namun, LAM saja tidak cukup, karena fungsi akreditasi lebih terkait dengan penjaminan mutu institusi. Dimensi mutu individu nakes belum tersentuh. Itulah mengapa dibutuhkan saringan lain untuk menjaga mutu lulusan menuju nakes profesional, yaitu melalui uji kompetensi. Untuk melahirkan model uji kompetensi yang dapat menjaga kualitas mutu nakes dalam pengertian totalitas, dibutuhkan lembaga pengembangan metode dan standar uji kompetensi yang dapat memberikan perangkat untuk mengukur dan mengembangkan metode asesmen yang terstandar, tidak hanya medis melainkan juga etis (empati, kerjasama, komunikasi). Misi inilah yang akan dijalankan oleh LPUK. Jalan panjang nan berliku untuk mengakarkan budaya mutu menanti kita dihadapan, dan langkah pertamalah yang akan menentukan. Generasi mendatang akan jadi saksi setiap langkah yang kita retas. Seperti tulis Soedjatmoko, sejarah tidak akan menilai kita dari kesulitan-kesulitan yang kita hadapi, melainkan dari cara bagaimana kita keluar mengatasinya.

“

pelanggan/pasien. Orientasi pada pelayanan inilah yang menjadi poin penting dari mutu. Maka, dari sudut pandang mereka yang menyediakan pelayanan, menjadi bermutu berarti setia pada upaya memberikan pelayanan maksimal. Pada titik inilah, membudayakan mutu dalam pendidikan tinggi ataupun pelayanan, berarti menumbuhkan pengetahuan, perasaan, dan sikap bersama untuk memberikan yang terbaik. Mutu bukan hanya visi misi Universitas ataupun Rumah sakit yang tertera disalah satu sudut ruangan. Mutu haruslah menjadi budaya dan hidup dalam keseharian, sebab mutu kerap kali tidak ditentukan dari hal besar seperti fasilitas melainkan dari sikap yang telah menjadi kebiasaan. Mutu lulus pendidikan tinggi kesehatan tidak hanya diukur dari apakah dia lulus uji kompetensi, tetapi bagaimana dia memberikan pelayanan prima kepada pasien, sesuai standar dan kode etik. Hal ini menjadi prinsip, semenjak output akhir dari kinerja mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan adalah kesehatan masyarakat yang meningkat. Pada akhirnya, orientasi pada kepuasan pasienlah yang jadi alasan dibalik segala tindakan. Komitmen pada peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan menjadi semakin penting, mengingat profesi kesehatan lebih dari sekedar hubungan industrial (produsen dan konsumen). Profesional ke s e h a t a n t e r i k a t p a d a ko m i t m e n y a n g

Isu fasilitas menjadi top of mind dari responden ketika ditanyakan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh institusi kesehatan, baik dalam pendidikan tinggi ataupun pelayanan

13


HPEQ Student

M

enapaki tahun 2013, HPEQ Student kembali melakukan regenerasi dan perluasan troops. Tahun ini, HPEQ Students akan dikoordinatori oleh Muhammad Jauhar dari Ilmiki (Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia). HPEQ Student kini memiliki 4 divisi yang akan menggarap fokus utama program HPEQ Student di tahun 2013, yaitu Public Relation, Advokasi, Kajian dan BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia). Pada bulan Januari ini, terdapat 3 program yang dilaksanakan oleh HPEQ Student, yaitu kajian uji kompetensi, kajian hasil analisis audiensi bersama dan finalisasi draft naskah publikasi BIMKES. Kajian awal tentang uji kompetensi merupakan salah satu fokus program kerja dari divisi Research HPEQ Student 2013. Kajian ini dilatarbelakangi oleh kebijakan implementasi uji kompetensi untuk seluruh tenaga kesehatan mulai tahun 2013. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan persepsi mahasiswa kesehatan terhadap uji kompetensi pendidikan tinggi kesehatan di Indonesia. Kajian awal uji kompetensi ini akan dilaksanakan dengan beberapa tahap, yaitu literature review tentang apa itu uji kompetensi dan kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, pembuatan proposal kajian dan kuesioner, mengurus ethical clearance, penyebaran dan pengisian kuesioner melalui website, tabulasi dan pengolahan data dalam bentuk data deskriptif, pembuatan report,input dan feedback hasil kajian, dan pemberian rekomendasi kepada pemerintah serta lembaga terkait (terutama LPUK dan MTKI). Adapun responden dari penelitian

ini adalah mahasiswa yang berasal dari 7 profesi kesehatan, yaitu pendidikan dokter, kedokteran gigi, ilmu keperawatan, kebidanan, farmasi, ilmu gizi, dan ilmu kesehatan masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para stakeholder terkait gambaran mengenai bentuk sosialisasi pemahaman urgensi uji kompetensi

14

kepada para mahasiswa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian pendahuluan mengenai uji kompetensi mahasiswa kesehatan di Indonesia. Selain itu, kajian lainnya adalah analisis audiensi bersama yang merupakan program kerja dari divisi Advokasi HPEQ Student 2013. Tim Advokasi HPEQ Student bekerjasama dengan Organisasi Mahasiswa Kesehatan telah menghasilkan Panduan Teknis Advokasi Pendidikan Tinggi Kesehatan dan melakukan audiensi bersama di Konferensi HPEQ 2012 silam. Audiensi bersama ini menghasilkan masukan untuk hasil kajian yang dilakukan HPEQ Student sebelumnya dan berhasil merumuskan upaya-upaya konkrit dalam menyusun program penjaminan mutu pendidikan tiap profesi kesehatan antara organisasi mahasiswa kesehatan dan para pemangku kepentingan (ketua asosiasi institusi pendidikan dan organisasi profesi). Program yang terakhir, berasal dari Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan atau yang biasa disebut BIMKES, yaitu berkala elektronik ilmiah yang dipelopori oleh mahasiswa kesehatan dari tujuh profesi diantaranya kedokteranumum, kedokteran gigi, keperawatan, farmasi, kebidanan, ilmu gizi dan kesehatan masyarakat. BIMKES dibentuk sebagai jawaban mahasiswa kesehatan terhadap Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 tentang wajib publikasi ilmiah bagi S1/S2/S3. BIMKES diinisiasi pada p e r te n ga h a n ta h u n 2 0 1 2 d e n ga n t u j u a n terbentuknya berkala ilmiah mahasiswa dari masingmasing profesi kesehatan yang dapat mewujudkan budaya berpikir, bersikap, berperilaku ilmiah melalui perluasan akses publikasi ilmiah untuk mahasiswa kesehatan Indonesia. Dengan mengusung tema 2013 yaitu "BIMKES GO PROFESSIONAL dan GO PUBLIC", tim BIMKES mengawali tahun dengan finalisasi naskah akademik meliputi kelembagaan dan strategi pengembangan BIMKES dari sisi manajemen hingga peningkatan kualitas produk berkalanya. Finalisasi naskah akademik masih membutuhkan diskusi dan kesepakatan mahasiswa tujuh profesi yang ditargetkan dapat selesai akhir Januari 2013. Saat ini BIMKES telah membuka pemanggilan artikel untuk edisi ke-2. Artikel yang akan dikirimkan dapat diunggah langsung melalui website BIMKES.org. Info lebih lanjut mengenai BIMKES dapat dilihat di official twitter account @bimkes dan edisi kedua dari BIMKES dapat diunduh di website bimkes.org. BIMKES 2013, GO PROFESSIONAL, GOPUBLIC!


Sosok

Bidan Desa, Inovator Pemberdaya Masyarakat

J

uara Pertama Skrikandi Awards 2012, hadiah akhir tahun yang tak terduga oleh Ibu Sunarti, bidan desa yang tinggal di “pedalaman� Yogyakarta. Mungkin agak berlebihan jika menyebut daerah Kokap, Hargotirto, Kulonprogo sebagai pedalaman. Namun, lokasi yang cukup jauh dari pusat kota Yogyakarta, medan perbukitan naik-turun dan kehidupan masyarakat yang sederhana memunculkan kesan tersebut. Ditemui dirumahnya, yang sekaligus tempat praktek beliau, Ibu Sunarti dengan santai menerima kami (tim R&D HPEQ)dan menyuguhi segelas kopi susu panas, yang sangat cocok dengan suasana dingin siang itu. Berikut adalah catatan perbincangan kami dengan Ibu Sunarti. Sudah berapa lama ibu berprofesi sebagai bidan? Saya sudah 21 tahun menjadi bidan. Waktu itu lulus tahun 1991 dari D1 Kebidanan di Poltekkes Jogja. Sebenarnya kalau disini (Kokap), saya baru 17 tahun. Awal-awal dulu, sekitar 4 tahun berkerja di bawah , di pinggiran kota. Baru sekitar tahun 1995 saya pindah kesini. Perjuangan sewaktu memutuskan pindah kesini". Selama 21 tahun menjadi bidan, pasti banyak hal yang telah dialami. Pengalaman apa yang menurut ibu paling berkesan? Setiap hari selalu ada saja pengalaman menarik dan berkesan.Salah satunya yang berkaitan dengan gizi, suatu saat pada saat merawat ibu post-partum (sehabis melahirkan), saya melihat anak-anak berebut makanan yang ada di tampah (wadah dari anyaman b a m b u ) . M e re ka s a m p a i n a n g i s d a n ca ka r cakaran.Ketika saya coba lihat ternyata mereka berebut nasi thiwul (makanan dari ketela, pengganti nasi).Sakit hati saya, kekayaan negara kita seolah tak bermakna

apa-apa.Dari situ saya punya tekad agar ibu-ibu bisa menyediakan makanan yang bergizi bagi anaknya.Makanan bergizi yang ndak harus mahal. Bisa Ibu ceritakan proses dari sebuah keprihatinan menjadi sebuah ide memberdayakan masyarakat untuk bisa menyediakan makanan bergizi yang tidak mahal? Waktu itu, di tahun 1997 (pada saat krisis moneter),saya berpikir kalau anak-anak pola makanannya seperti ini, saya tidak bisa membayangkan kedepannya seperti apa pertumbuhannya. Ibu-ibu juga sudah tidak terlalu memikirkan sampai situ. Apa-apa serba mahal, banyak yang kemudian menjadi TKI. Tambah tidak terurus lagi anaknya. Waktu itu saya jujur tidak tahu bagaimana memulainya. Awalnya saya coba kasih stimulan berupa sedikit uang, ternyata tidak ada pengaruh apa-apa. Saya pikir salah cara ini. Kemudian saya berpikir lagi. Kenyataan bahwa daerah sini yang termasuk kantong kemiskinan DIY, memiliki tanah yang kurang subur karena tanah liat. Yang bisa tumbuh disini adalah singkong, tapi kasian kalau setiap hari makan daun singkong. Akhirnya waktu itu saya melihat buku yang menarik tentang pembudidayaan tanaman keluarga diperkotaan. Bukunya menarik, sehingga saya memutuskan untuk membeli buku itu, cuma 15 ribu rupiah. Kemudian saya coba praktekkan di pekarangan rumah. Harus hati-hati

15 15


Sosok

sih, karena bisa kalah sama ayam yang “ganas-ganas�. Awalnya, saya ngajak masyarakat di sini itu ya tidak gampang. Banyak yang meragukan tanaman bisa tumbuh di tanah yang seperti ini (tanah liat). Namun seiring tanaman dipekarangan saya mulai tumbuh baik, banyak yang ingin dan waktu itu saya bantu dengan memberikan benihnya kepada masyarakat.Kemudian saya mencoba memulai dengan mengambil sampel di dusun yang lebih atas untuk mengajak mereka menanam tanaman pekarangan.Dan hasilnya Alhamdulillah baik. Bagaimana tentang budidaya jamur yang kemudian ibu kembangkan? Nah, waktu pertama hanya jenis sayuran yang kita kembangkan. Namun kemudian saya berpikir, proteinnya bisa dipenuhi darimana ya? Kalau daging dan telur jelas mahal, perlu uang. Waktu itu saya sedang mengantarkan anak saya ke rumah pintar di dekat sini (program SIKIB), dan secara tak sengaja saya membaca tentang jamur dan kandungan nutrisinya yang lengkap.Saya kepikiran untuk mencoba membudidayakannya disini (tahun 2010).Dan Alhamdulillah walaupun belum banyak tapi hasilnya sudah kelihatan dan respon dari masyarakat juga baik. Bagaimana dengan dukungan dari pejabat setempat terkait program ibu? Tentu saya meminta dukungan dari semua pihak tapi memang baru sebatas dukungan moral saja.Untuk finansial selama ini masih swadaya.Saya hanya bidan desa biasa, jadi kalau ada sedikit rejeki ya coba saya cakke (terapkan, jawa.red).Walau tidak banyak yang penting, dimulai dulu, nanti selanjutnya dipikirkan lagi bersama-sama. Pernahkah ibu mengalami fase jenuh dan hampir putus asa menghadapi tantangan-tantangan dari usaha yang dilakukan ?Bagaimana ibu mengatasinya? Pasti pernah lah, setiap orang juga pernah mengalami fase jenuh.Kalau saya ketika sudah mendekati fase itu, saya istirahat sejenak dari program, ditinggal dulu baru nanti kembali lagi kalau sudah fresh.Buat masyarakat kita ndak boleh menyerah, ndak boleh putus asa.Karena siapa lagi kalau bukan kita.Dulu waktu awalawal saya disini juga tantangannya luar biasa.Bayangkan daerah yang aksesnya sulit dan belum ada listrik seperti sekarang, padahal Jogja lho...Tapi saya bahagia disini, melihat orang lain bahagia karena keberadaan kita itu kebahagiaan yang tak terukur dengan uang. Itu yang membuat saya bertahan. Bagaimana ceritanya sampai kemudian Ibu memenangkan Srikandi Awards di akhir tahun 2012 yang lalu? Sebenarnya saya tidak tahu tentang Srikandi Awards, tetapi tiba-tiba saja saya dihubungi bahwa saya masuk nominasi.Saya sempat bilang “Mbok jangan saya, saya

16

takut�. Tapi Pak Alwan bilang, sudah diterima saja, nanti akan ada orang ke tempat ibu. Terserah ibu,orang itu mau diapakan. Waktu itu saya juga tidak menyiapkan apa-apa, ketika ditanya ibu-ibu kaderpun, saya bilang tidak perlu menyiapkan apa-apa, natural saja.Petugas yang datang saya ajak melihat kegiatan-kegiatan kami yang memang sudah rutin dilaksanakan. Pokoknya saya membuat kegiatan dengan masyarakat disini, bukan untuk award atau sejenisnya, intinya untuk srawung (bergaul, jawa.red) dengan masyarakat. Dan masyarakat bisa menikmati dan merasakan manfaatnya.Dan inovasi-inovasi ini muncul dengan melihat realita di masyarakat, kemudian cari inspirasi dengan membaca dan membaca. Bagaimana kemudian perasaan ibu ketika menjadi juara pertama Srikandi Awards 2012 ini? Wah, kalau menurut saya, yang pantas mendapat penghargaan ini adalah ibu-ibu kader disini.Mereka yang berusaha keras, ngangkat timbangan kemanamana, naik gunung dengan membawa barang-barang berat untuk kegiatan dan sebagainya.Saya cuma membantu memulai saja, setelah itu, ibu-ibu kader disini bekerja keras bersama-sama. Apa rencana dan impian Ibu setelah ini? Setelah ini saya pengen mengajak masyarakat di sekitar waduk Sermo (Kulonprogo, Yogyakarta) untuk memanfaatkan tanah disekitar sana untuk tanaman keluarga dan juga taman bunga. Nanti hasilnya bisa dijual kepada wisatawan yang datang ke Waduk Sermo.Selain itu, bisa mempercantik pemandangan di waduk Sermo. Saya ingin nanti diberi nama Taman Krisan. Siang ini saya mau bertemu dengan ibu-ibu disana untuk pertama kali.Semoga lancar dan saya berharap dukungan dari banyak pihak, karena saya hanya bidan desa biasa, tidak bisa kalau bekerja sendirian. Demikianlah secuplik perbincangan kami yang penuh nilai dengan Ibu Sunarti. Beberapa pesan moral yang bisa kita ambil adalah bahwa jika dilandaskan pada niat untuk membantu sesama, yakinlah bahwa pasti akan ada jalan untuk mewujudkannya. Dengan prinsip kepedulian dan kebersamaan, seorang bidan desa mampu menggerakkan masyarakat untuk ikut peduli dan menciptakan inovasi di tengah berbagai keterbatasan yang dihadapi. Berjuang bersama untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Semoga kisah Ibu Sunarti dapat menjadi teladan bagi kita semua, menyebarkan nilai-nilai kebaikan bagi lingkungan sekitar.


HPEQ Conference Keynote Speech oleh Wamendikbud ; didampingi oleh Dirjen Dikti, Direktur Belmawa, Ketua Panitia Konferensi serta Moderator (Tri Hanggono Ahmad)

Kamis, 8 November 2012

P

Diskusi ringan dengan Wamendikbud sebelum dimulainya acara konferensi

Tamu VIP, yang sebagian besar adalah para ketua asosiasi institusi pedidikandan organisasi profesi, eselon 2 lintas kementerian serta NGO tampak berbincang sebelum acara dimulai

“Menyanyikan lagu Indonesia Raya”; semua peserta konferensi, baik yang berada di Dikti maupun di seluruh lokasi vicon, tampak khidmat

ada penghujung tahun 2012, tepatnya pada tanggal 7-8 november, HPEQ menyelenggarakan konferensi yang ketiga dengan mengusung tema “Mengangkat Budaya Akademik melalui Penggunaan TIK dalam rangka Mengintegrasikan Sistem Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan”. Sebelumnya, sejak September hingga Oktober 2012, telah diselenggarakan serangkaian konferensi pendahuluan (prequel conference) oleh tiap profesi. Selain itu, program lain yang dirancang untuk mendukung konferensi HPEQ 2012 adalah kompetisi esai dan film pendek yang terkait dengan program penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan. Kompetisi ini sekaligus untuk mengakarkan gerakan 'mari menulis' dan 'mari rekam' yang sedang disosialisasikan secara meluas oleh tim R&D HPEQ. Berdasarkan peta jalan konferensi HPEQ dan menyesuaikan dengan perkembangan kebijakan yang ada, Konferensi HPEQ 2012 ditujukan untuk : Ÿ Diseminasi informasi keijakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan Ÿ Pembangunan kapasitas pemangku kepentinan bidang kesehatan, terutama AIPT dan OP Ÿ Pengembangan sistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan Di sisi lain, ruang lingkup Konferensi HPEQ 2012 fokus pada penguatan kebijakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan sesuai dengan road map program HPEQ yang menggambarkan capaian kinerja program, yang meliputi : Ÿ Kebijakan penjaminan mutu institusi pendidikan tinggi kesehatan melalui sistem akreditasi yang dikembangkan oleh LAM PTkes Ÿ Kebijjakan penjaminan mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan melalui sistem uji kompetennsi nasional yang di lakukan oleh LPUK Ÿ Penerapan TIK untuk mendukung sistem penjaminan mutu penddikan tinggi kesehatan melalui pangkalan data dan sistem akuntabilitas public yang transparan Konferensi dilakukan dalam tiga metode, yaitu telemedia melalui video conference, live streaming yang dapat diakses di hpeq.dikti.go.id/streaming, dan pertemuan on site (di Auditorium Dikti Lt.2). Peserta dibagi menjadi dua kategori, yaitu peserta aktif, yaitu peserta yang dapat melakukan interaksi langsung melalui

17 17


HPEQ Conference

Konferensi HPEQ 2012 ini dapat diikuti secara live streaming. Tampak Direktur Belmawa yang sekaligus Manajer Proyek HPEQ sedang berbagi informasi tentang kebijakan sistem penjaminan mutu

media vicon, sedangkan peserta pasif dapat mengikuti konferensi live streaming, dan dapat menyampaikan masukan secara langsung melalui twitter @hpeqdikti ataupun logchat yang disediakan oleh tim TIK HPEQ. Untuk memperkuat fasilitas TIK yang digunakan dalam konferensi, Ditjen Dikti telah bekerjasama dengan Kemkominfo, terutama dalam hal penyediaan MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan), sehingga masyarakat pemerhati pendidikan tinggi kesehatan yang berada di wilayah-wilayah pelosok juga dapat menikmati jalannya konferensi melalui live streaming. Usaha ini sekaligus dalam rangka mendukung misi Kemdikbud, yaitu “Menjangkau yang Tak Terjangkau”. Konferensi hari pertama (7 november 2012) merupakan sesi konferensi profesi yang diselenggarakan di 7 local host dan 28 satelite host terpilih, termasuk “HPEQ Student Conference”. Selanjutnya, pada hari kedua (8 November 2012), yaitu acara inti konferensi, suasananya lebih dinamis lagi, karena menghadirkan beberapa keypersons kebijakan pendidikan tinggi kesehatan, yang membahas isu-isu hangat di kalangan institusi, profesi maupun masyarakat secara umum. Para peserta konferensi (baik yang on-site maupun yang berada pada local maupun satellite host) tampak sangat antusias untuk berdiskusi interaktif dengan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti dan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan. Diskusi panel sangat aktif tetapi tetap disiplin di bawah kendali moderator yang merupakan koordinator komponen 2 proyek HPEQ. Pada akhirnya, Konferensi HPEQ 2012 ini diharapkan dapat mempertautkan berbagai pemangku kepentingan melalui optimalisasi TIK untuk saling belajar dan berbagi lesson learned, terutama dalam mengakarkan budaya mutu dalam pendidikan tinggi kesehatan. Seluruh hasilhasil konferensi beserta evaluasi pelaksanaan Konferensi HPEQ 2012 dapat diakses melalui website hpeq.dikti.go.id. Selanjutnya, Konferensi HPEQ 2013 akan memperluas ruang lingkupnya hingga kawasan ASEAN. Sampai Jumpa pada Konferensi HPEQ 2013!

18 18 17

Tampak antusiasme peserta dalam mengikuti sesi diskusi interaktif ; sebagian besar adalah rekan-rekan mahasiswa generasi penerus bangsa

Bahkan selepas acara pun, masih banyak yang antusias berdiskusi dengan para pimpinan Ditjen Dikti

Diselingi oleh pengumuman pemenang kompetisi “Mari Menulis” dan “Mari Merekam” ; Selamat dan Teruslah Berkarya !!

Konferensi HPEQ 2012 ini diharapkan dapat mempertautkan berbagai pemangku kepentingan melalui optimalisasi TIK untuk saling belajar dan berbagi lesson learned, terutama dalam mengakarkan budaya mutu dalam pendidikan tinggi kesehatan


3 TER

BAIK

KOMP ETISI E FILM PENDE SAI DAN K HPE Q 2012

M

enindaklanjuti kompetisi esai dan film pendek dalam rangka Konferensi HPEQ 2012 serta dalam mendukung gerakan “Mari Menulis” dan “Mari Rekam”, maka telah dilakukan proses penjurian terhadap 35 esai (dilengkapi dengan video) dan 15 film pendek yang memenuhi syarat. Setelah dilakukan rekonsiliasi hasil penilaian dan penetapan pemenang kompetisi esai dan film pendek oleh tim juri, maka telah terpilih tiga esai dan tiga film terbaik, sebagai berikut: telah disetujui oleh seluruh anggota tim juri dan keputusan yang telah diambil tidak dapat diganggu gugat.

TIGA PEMENANG KATEGORI FILM PENDEK: Ÿ Integrated Comprehensive Collaboration

Rr Pasati Lintangella, Yulia Devina Suci Kusumastrini, Ahmad Musbikhin, Oerip Mulya Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang Ÿ Kolaborasi interprofesi dalam rangka

peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan Azzam Hizburrahman*, Ihsan Arfiansah**, Munifah Ashlihat*, Sanidya Rulandasih* *Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jogjakarta **Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta Ÿ Partnership

TIGA PEMENANG KATEGORI ESAI: Ÿ Interprofessional Education: Dimana

Mahasiswa Berkomitmen secara Profesional Wuri Kinanti Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta Ÿ The application of interprofessional

education (IPE) for geriatric patients Rr Mega Utami, Bayushi Eka Putra, Elfikri Asril Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Ÿ Tugas kreatif dalam moodle untuk

pendidikan kedokteran yang lebih baik Elisabeth Rukmini Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta

Indah Ika Suryaningsih, Anisa Putri Maulida, Wulan Dewi Farichah, Tara Mandiricha, Wira Sasmita Paripih Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang

19


Apa Kata Mereka

Testimoni

Kesan dan Pesan

Terhadap Proyek HPEQ

K

onferensi HPEQ ke-3 tahun 2012 sudah terlaksana. Ada banyak kesan-kesan dan harapan-harapan yang disampaikan oleh para stakeholders terkait proyek ini. Berikut ini kami sajikan beberapa masukan dan harapan yang berhasil dirangkum oleh tim Exporing and Capturing (EC) Proyek HPEQ.

kalau berjalan sendiri-sendiri, ini proyek besar. Harapan saya, hal-hal yang sudah dihasilkan proyek ini bisa diaplikasikan, di-adopt dalam sistem kita. Selain itu juga bisa terjaga keberlangsungan usaha ini meskipun proyek ini sudah berakhir. Saya mengharapkan tenaga kesehatan kita bisa bersaing baik tingkat regional maupun ditingkat global.”

Musliar Kasim (Wamen Bidang Pendidikan) “Proyek HPEQ ini sangat baik, sangat membantu pengembangan pendidikan kesehatan. Karena tidak hanya saranaprasarana saja yang diperbaiki akan tetapi juga kapasitas SDM-nya, tidak hanya pengajar dan non-pengajar saja tapi juga mahasiswanya. Hal ini sangat positif karena melibatkan mahasiswa juga dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan profesi kesehatan ini. Bisa menjadi pioneer. Harapannya, apa yang sudah dicapai saat ini bisa ditingkatkan, agar semua orang bisa merasakan dan bisa mengakses, karena mungkin selama ini belum semua tersentuh. Dan proyek ini masih 2 tahun lagi, jadi masih ada kesempatan untuk bisa terus memperbaiki.”

Ilsa Nelwan (Tim Komponen 3/FK UNPAD) “HPEQ menurut saya merupakan suatu u s a h a ya n g b a i k d a l a m ra n g ka meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan Indonesia. Namun memang jalan masih panjang. Karena ini sangat menentukan terutama pada bidang pendidikannya, semua harus dipersiapkan sebelum penempatan/terjun ke lapangan. Ya sekali lagi jalan masih panjang, tapi tetep together we can lah…”

Dwiwahju (BAN PT) “Kebetulan saya di BAN-PT, dan ranah kerja kami sejalan dengan komponen 1 HPEQ terkait akreditasi institusi p endidikan kesehatan, yaitu mendorong terbentuknya LAM-PT Kes. Karena LAM ini mungkin termasuk yang pertama dan bisa menjadi contoh bagi profesi lain. Harapannya, meskipun saya bukan orang kesehatan, HPEQ ini bisa membat pendidikan profesi kesehatan di Indonesia menjadi lebih maju.” Arum Atmawikarta (MTKI) “Menurut saya HPEQ ini adalah proyek reformasi, karena yang akan dihasilkan menyangkut hal yang sangat fundamental dalam rangka m e n i n g kat ka n ku a l i ta s te n a ga kesehatan. Kita sudah sama tahu bahwa tenaga kesehatan kita masih kurang, distribusi yang jelek dan juga kualitasnya yang memerlukan banyak perbaikan. HPEQ dengan usaha penguatan sistem akreditasi institusi kesehatan, sertifikasi lulusannya dan penguatan institusi pendidikan akan sangat bagus. Ini memang bukan hal yang mudah, karena berkenaan dengan masalah yang sangat fundamental. Perlu kerjasama dari berbagai pihak, tidak mungkin bisa

20

Hardyanto Soebono (Ketua KK) “Pendapat saya, HPEQ itu dulu-dulunya ketika proyek ini dibuat, merupakan usaha untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang ada pada pendidikan dokter dan juga dokter gigi. Namun dalam perjalanannya banyak hal-hal yang insidentil yang ternyata harus diakomodasi oleh proyek ini. Harapannya dengan sisa waktu yang masih ada sekarang, HPEQ mulai focus pada hal-hal yang bersifat prioritas untuk meningkatkan mutu pendidikan kedokteran dan juga profesi kesehatan lainnya.” Hamam Hadi (Ketua AIPGI) “Menurut saya HPEQ sudah bisa m e n g ge ra k ka n i n st i t u s i - i n st i t u s i pendidikan kesehatan ini untuk bisa memulai dan terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikannya. Kalau di sana-sini masih ada kekurangan itu biasa, tetapi yang pasti hasilnya sudah banyak yang kelihatan, KKNI misalnya, untuk masing-masing bidang pendidikan, sebagian sudah selesai dan sebagian lagi sudah ada gambaran. Nanti tinggal ditindaklanjuti. Terkait masalah pelayanan, tertama akan berkaitan dengan komponen 2, dengan adanya uji kompetensi tenaga kesehatan diharapkan akan berimbas pada meningkatnya kualitas pelayanan. Harapan saya, karena saya dari Gizi Kesehatan, oke bahwa yang empat profesi sudah mulai establish. Jadi untuk gizi yang selama ini belum, Alhamdulillah dengan adanya


Apa Kata Mereka sedikit stimulant dari HPEQ ini sudah sekian langkah ke depan. Kita sudah selesai Naskah Akademiknya, tetapi PR-nya masih banyak sekali dan kita perlu support untuk mengembangkan semuanya. Semoga walaupun kita berangkatnya belakangan tetapi semoga nanti bisa finish bareng-bareng, tidak ketinggalan.” Nurul Falah (TF LAM PTKes) “Saya melihat HPEQ ini bagus sekali. Kita b i s a s a l i n g b e r ko m u n i ka s i d a n berkolaborasi untuk memperbaiki pendidikan dan lulusan tenaga-tenaga kesehatan yang nantinya manfaatnya akan dirasakan oleh masyarakat luas. Harapannya, kerjasama yang sudah berlangsung baik ini bisa terus dipertahankan dan ditingkatkan meskipun proyek ini akan berakhir pada tahun 2014 nanti. Sekali lagi semoga dengan kualitas lulusan yang baik, akan bisa dirasakan manfaatnya sebesar-besarnya oleh masyarakat.” Budi Sampurna (SAM Menkes) “Banyak hal yang sudah dikerjakan oleh p ro ye k H P EQ b e rs a m a d e n ga n organisasi profesi, perguruan tinggi dan kemenkes, khususnya bidang pendidikan kesehatan. Harapannya, saya kira banyak hasil yang sudah dicapai dan perlu ditingkatkan, dalam arti spesifik untuk bidang kesehatan. Salah satunya dalam UU PT ini, masih membuka peluang bagi kita untuk membuat peraturanperaturan yang berhubungan dengan pendidikan kesehatan yang belum diatur dalam UU PT ini.” Oscar Primadi (Ka. Pustanserdikjut) “Pendapat saya tentang HPEQ positif sekali. Karena dengan adanya HPEQ ini kita bisa berkolaborasi bersama untuk membangun dan mengembangkan pendidikan profesi kesehatan dengan harapan kita bisa memperoleh sumber d aya m a n u s i a ke s e h a t a n ya n g berkualitas. Saya juga berharap upaya ini bisa terus sustain, supaya apa-apa yang belum kita capai bisa kita maksimalkan kedepannya.” Puti Marzoeki (World Bank) “Proyek ini menurut saya sangat penting ya, karena dia berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan kesehatan dan kualitas lulusan. Kita sama tahu bahwa Indonesia saat ini masih dalam tahap “mengejar” jumlah, akan tetapi sudah waktunya bagi kita untuk mengupayakan juga kualitasnya. Dan apa yang dikerjakan oleh HPEQ adalah menata sistem supaya ini bisa berjalan. Harapan saya, ini jangan sebatas proyek saja, ada keberlanjutan, bisa diimplementasikan, dan ada komitmen yang tinggi dari para pemangku kepentingan. Sehingga apa yang

kita cita-citakan bisa terwujud dan tidak sebatas slogan-slogan saja. Together we can…” Santoso (BP3TI KemkomInfo) “Saya menyambut baik karena bisa memberikan kontribusi dan mewujudkan intergrasi proyek yang memenuhi salah satu hak dasar manusia yaitu kesehatan. Teknologi informasi memiliki peranan penting karena daya sebarnya sehingga usaha ini bisa maksimal dan meluas. Meskipun saat ini kadang ada masalah-masalah non teknis seperti koordinasi dan publikasi, akan tetapi hal ini bisa segera diperbaiki. Harapannya proyek ini bisa fokus, terutama berkenaan dengan target atau sasaran proyek, mau sampai layer mana. Harus fokus.” Nunut Rubianto (IAI) “Menurut saya proyek ini sangat bagus, karena salah satu tujuannya adalah meningkatkan sinergi seluruh stakeholders terkait dengan kualitas tenaga kesehatan Indonesia. Kita berharap banyak dengan adanya proyek ini. Dengan adanya kolaborasi yang positif, adanya harmonisasi antar pihak sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa tinggi, atau mensubordinatkan pihak lainnya. Tidak ada saling dominasi antar profesi, karena masing-masing punya ranah kerjanya sendiri. Dan saya berharap ini bisa terwujud dengan adanya proyek HPEQ ini.” Lintang (Pemenang Kompetisi Video) “Alhamdulillah saya senang sekali bisa menang dan bisa ikut berkontribusi meskipun dengan cara lain. Tentang HPEQ, kesan saya bagus banget, karena proyek ini juga mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi aktif termasuk dalam kebijakan pendidikan profesi kesehatan. Harapannya, semoga hal ini bisa di-follow up sampai ke perifer. Jadi aspirasi temen-temen yang ada di daerah bisa ikut didengar.” Mega utami (Pemenang Kompetisi Essay) “Hehe, rasanya nggak nyangka bisa menang essay. Kesan terhadap HPEQ, menurut saya bagus banget, karena jarang sekali tema-tema tersebut diangkat (pendidikan kesehatan.red). Harapannya semoga makin luas lagi, kegiatannnya tetep terus sustain dan berkesinambungan, jadi kita bisa sama-sama menikmati perkembangannya.”

21 21


RnD Corner

17 November 2012

Sabtu (17/11/20122), tim Research and Development (RnD) kembali mengadakan misi Exploring and Capturing (EC) untuk yang kedua kalinya setelah sebelumnya berkesempatan untuk mengunjungi pulau Kalimantan. Tujuan EC kali ini adalah wilayah Jawa Barat, tepatnya wilayah daerah Sub Urban Paris van Java, a.k.a daerah kabupaten Bndung. Ketika sebagian besar masyarakat menghabiskan waktu long weekend di Bandung unt"uk wisata kuliner, window shopping ataupun sekedar hang out, misi EC tim RnD kali ini bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi dan harapan tenaga kesehatan dan masyarakat tentang pelayanan dan pendidikan kesehatan di dua wilayah sub urban Bandung. Diiringi dengan suasana pagi kota Bandung yang cerah dan asri, tim RnD bertolak ke Puskesmas di wilayah Majalaya.

l a n g s u n g m e m b a g i t i m u nt u k berbincang dengan tenaga kesehatan dan masyarakat di sekitar Majalaya Baru. Majalaya merupakan daerah dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai pegawai pabrik dan sedikit yang bekerja sebagai petani maupun wiraswasta. Dan puskesmas Majalaya baru menjadi salah satu andalan masyarakat sekitar untuk berobat ketika sakit. Puskesmas ini memiliki total 42 tenaga kesehatan meliputi 4 dokter umum, 2 dokter gigi, 11 perawat, 11 bidan dan 14 tenaga lain. “Meskipun kelihatannya cukup banyak, tapi kami masih kekurangan tenaga untuk upaya promotif-preventif”, jelas Ibu Endang yang mengaku puskesmasnya sampai saat ini masih terfokus pada usaha kuratif saja. “Kalaupun ada program p r o m o s i ke s e h a t a n , b i a s a n y a dilakukan sendiri oleh dokter, perawat dan bidan sini”, tambah beliau. Dua jam perjalanan dari kota Kembang Bandung, akhirnya kami tiba di puskesmas Majalaya. D e n ga n j u m l a h p a s i e n mencapai rata-rata 400 orang di hari biasa, dan sekitar 200-an orang pada agi menjelang siang masih terlihat hari Sabtu, puskesmas Majalaya Baru benar-benar antrian pasien mengantri di depan membutuhkan tambahan tenaga baru. Banyaknya loket pendaftaran puskesmas Majalaya p a s i e n te rs e b u t m e nye b a b ka n P u s ke s m a s Baru. Lokasi puskesmas yang memang strategis mengeluarkan surat kewenangan untuk perawat dan mungkin menjadi salah satu faktor “ramai”nya bidan, supaya bisa membantu pemeriksaan dan puskesmas ini. Setelah beramah tamah dan bertemu pengobatan pasien. dengan kepala puskesmas, drg Endang NF, M.Kes, kami

Puskesmas dengan 400 Pasien Per Hari

P

22

Majalaya Baru:


RnD Corner

salah satunya adalah bidan Tini, juga mengatakan bahwa pengetahuan yang diterima di kampus sebenarnya sudah cukup. Namun perlu jam terbang yang lebih dan juga pelatihan-pelatihan yang kontinu. Beliau mengaku dalam setahun terakhir ini praktis tidak ada pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan, jadi beliau bergantung pada internet untuk update ilmu.

Kita diberi 2 tangan oleh Tuhan untuk membantu orang lain..

“Bayangkan saja, 400 pasien dalam sehari. Ada 3 dokter umum dan 3 dokter gigi, termasuk saya. Namun, saya sendiri sudah cukup banyak urusan administratif yang harus dikerjakan”, terang Ibu Endang sambil menunjukkan tumpukan dokumen yang siap ditandatangani. Pendidikan tinggi tenaga kesehatan Puskesmas Majalaya Baru termasuk puskesmas yang sering digunakan sebagai wahana internship/magang. Hal ini cukup membantu dalam pelayanan karena ada tambahan tenaga kesehatan. Ketika ditanya soal kompetensi tenaga kesehatan, dr. Rina, salah satu dokter puskesmas Majalaya, mengatakan bahwa apa yang didapat di kampus sudah cukup. Namun, bagi lulusan baru harus sebanyak-banyaknya menggali pengalaman klinis, terutama komunikasi efektif yang tidak bisa diajarkan tapi didapat dengan latihan langsung kepada pasien. Hal yang sama juga berlaku pada bidan. Bagi bidan-bidan yang baru lulus, biasanya masih belum siap untuk dilepas sendiri, masih perlu beberapa kali pendampingan. Pengalaman klinis yang cukup akan membantu bidan maupun tenaga kesehatan lain untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. “Saya sangat senang karena perawat dan bidan disini sangat semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan ada yang sekolah lagi dengan biaya sendiri”, kata Bu Endang dengan semangat. Kompetensi dan pengetahuan memang harus selalu ditingkatkan dan di-update. Namun, dr Rina menyayangkan bahwa dari dinas kesehatan sendiri tidak konsisten menyelenggarakan pelatihanpelatihan maupun seminar bagi tenaga kesehatan. Padahal hal tersebut sangat penting. “Jadi ya seringnya kami hanya update ilmu lewat internet. Dan untuk dokter umum sebaiknya juga diberikan pelatihan-pelatihan khusus seperti EKG dan ATLS-ACLS”, terang dr Rina. Senada dengan dokter Rina, para bidan,

Take Home Message : Misi EC ke wilayah sub urban kota Bandung ini menyiratkan pesan utama, bahwa pemerintah pusat harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam menyiapkan dan menyediakan tenaga kesehatan, fasilitas dan sarpras, serta program pelayanan kesehatan untuk semua masyarakat, terutama masyarakat di daerah sub urban, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kemewahan fasilitas di kota besar. Program – program layanan kesehatan untuk masyarakat kurang mampu seharusnya dapat benar-benar membantu, bukannya mempersulit dengan aturan administrasi yang kompleks. Kompetensi dan kewenangan dalam memberikan layanan kesehatan merupakan hal utama yang harus dibenahi dalam usaha memberikan pelayanan kesehatan paripurna kepada masyarakat. Kompetensi tenaga kesehatan harus ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan ataupun sertifikasi. Di sisi lain, kewenangan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan dapat terjaga sesua standar jika jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dapat terpenuhi. Setiap masyarakat berhak mendapatkan layanan kesehatan terbaik, sehingga pendidikan tinggi kesehatan diharapkan mampu menghasilkan tenaga kesehatan yang kompeten dan profesional.

23


Galeri

Selamat

Tahun Baru

2013 24




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.