MINGGU, 15 JUNI 2008 • HALAMAN 19
Arkeologi Hunian Arsitektur Ruang Semesta Oleh Restoe Prawironegoro Ibrahim Cerpenis, penyair, dan pemerhati budaya, Jakarta
A ’’Arsitektur modern menjadi semakin molek, namun kehilangan harmoni lingkungan. Ia mengucilkan penghuninya dalam batas-batas yang ketat dan lebih berorientasi pada kepentingan pribadi-pribadi. ’’
nutan nilai dan budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat kiranya dapat ditelusuri dari pola permukiman yang mereka bangun. Karena itu, mudah dipahami jika suatu pendekatan antropologi budaya, misalnya, bisa dikembangkan dari temuan-temuan arkeologi pada suatu masyarakat tertentu yang barangkali hidup beratus-ratus tahun sebelum sisa-sisa peradaban fisik tersebut ditemukan. Permukiman—atau yang lebih luas lagi, arsitektur— secara sadar direncanakan untuk menopang penghidupan dan kehidupan manusia sehingga yang akan tecermin di dalamnya adalah suatu interaksi antara manusia dan lingkungan yang menjadi penopang kehidupan dan penghidupannya. Jika kebudayaan kemudian bisa diartikan sebagai design for living (Bierstedt, 1970) atau rancangan guna menata kehidupan, arsitektur sebagai hasil interaksi antara manusia dan lingkungan kiranya dapat dipahami sebagai buah kebudayaan itu sendiri. Dari pengantar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bermukim atau berarsitektur merupakan kegiatan khas manusia yang berkaitan erat dengan orientasi nilai dan budaya. Oleh karena itu, tidak sulit untuk dipahami jika dalam masyarakat yang sangat menghargai ada keserasian hidup bersama. Misalnya dalam masyarakat tradisional Jawa, pola-pola permukiman yang dianut akan sedemikian terbuka dan mengundang. Karena itu, dalam rumah kaum bangsawan pun—yang konon
cenderung teralianasi dari lingkungannya—masih bisa ditemukan adanya ruang-ruang terbuka berupa pendopopendopo dan pringgitan yang mengundang dan menunjang komunikasi dengan lingkungan semestanya. Pola-pola demikian, meskipun terasa ideal bagi sebuah permukiman idaman, cenderung kurang disukai untuk diterapkan dalam masyarakat modern, terutama karena dianggap kurang menjanjikan privasi bagi penghuninya. Karena itu, ketika Walter Gropius—arsitek dan tokoh pendidikan arsitektur modern—mengusulkan gagasan tentang ruang semesta, dengan ruang-ruang hunian diharapkan demikian terbuka, transparan, tanpa terdapat dinding, dalam lapangan praktik gagas itu kurang mendapat sambutan yang memadai. Alasannya, konsep ruang semesta Gropius dianggap tidak memerhatikan perilaku manusia yang cenderung memilih tempatnya sendiri di dalam bangunan yang akan memberikan perisai dan menjanjikan suasana yang berbeda dengan tempat yang lain. Itu berarti menghendaki dinding pembatas. Karena, dindinglah yang dipersepsikan manusia untuk menyatakan kehadiran dirinya dalam suatu tempat yang tetap. Anutan-anutan demikian yang sungguh sangat berbeda dengan yang ada dalam masyarakat tradisional agaknya memperlihatkan bergesernya orientasi nilai dan budaya dalam masyarakat. Itu menarik untuk disimak. Substansial masyarakat modern Jika dalam masyarakat
tradisional keberadaan individu dalam kelompoknya baru akan diakui bila individu tersebut mampu menyesuaikan dirinya terhadap kesepakatankesepakatan kelompok, proses yang terjadi dalam masyarakat modern justru sebaliknya. Dalam masyarakat modern, sebuah individu baru akan diakui keberadaannya jika individu tersebut mampu memberikan peranan yang nyata bagi kelompoknya. Proses demikian akan mengakibatkan anggota masyarakat terbagi-bagi dalam berbagai peranan dan fungsi tertentu sehingga menghasilkan berubahnya sistem nilai yang lebih berorientasi pada pribadipribadi. Berkembangnya dominasi peranan pribadi-pribadi secara terus-menerus akan membentuk landasan sendiri dan menganggap tidak perlu bersandar pada sesuatu di luar dirinya. Gejala demikian akan melahirkan budaya substansialisme yang cenderung mengadakan isolasi dan pemisahan. Manusia, dunia materi, dan nilai-nilai dipandang sebagai substansisubstansi yang bisa lepas satu sama lain (CA van Peursen). Manusia berpendirian seolah dengan akal budinya ia dapat merangkum dan mengerti segala-galanya sehingga segala sesuatu dapat dimasukkan ke kotak-kotak tertentu dan manusia mengambil jarak terhadapnya. Jika anutan nilai demikian hendak digali dari cara-cara kelompok masyarakat modern bermukim, itu jelas terlihat dari masih dominannya tuntutan persyaratan privasi mewarnai pola pemukimannya sehingga tanpa sadar menggeser kebutuhan komunikasi optimal
■ GUGUN
dengan lingkungannya. Akibatnya, bentuk-bentuk arsitektur yang dianut cenderung hanya memberikan kesenangan pada pribadi— selera penghuni—, namun kehilangan konteks dalam lingkungannya yang lebih luas. Meskipun kemajuan teknik perancangan telah mampu memanfaatkan sumber daya dan potensi lingkungan dalam arsitektur secara optimal, yang terjadi akhirnya justru sedikit sekali sumbangan yang diberikan karya arsitektur modern bagi kelayakan tata ruang semesta dan lingkungan. Arsitektur modern menjadi semakin molek, namun kehilangan harmoni lingkungan. Ia mengucilkan penghuninya dalam batas-batas yang ketat dan lebih berorientasi pada kepentingan pribadi-pribadi. Kekuatan Atas adanya gejala di atas, agaknya diperlukan suatu
Mamanda Seni Tradisional yang Tergadai Oleh Ainur Rasyid Pemerhati Sosial-Budaya pada Institute of Social and Humanity Studies Fishum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
M
AMANDA merupakan kesenian tradisional yang lahir dari khazanah tradisi Banjar, Kalimantan Selatan. Seni ini berbentuk teater rakyat dengan lakon bersumber dari syair lama dan hikayat yang diambil dari kisah 1.001 Malam dan Sahibul Hikayah yang bersumber dari Timur Tengah.
■ GUGUN
Kedua kisah itu kemudian diadaptasi dan dijadikan alat untuk merefleksikan ulang masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat setempat. Salah satu tujuan seni ini adalah merekatkan kisah dengan hati masyarakat. Dialog dalam pementasannya menggunakan bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Indonesia dan biasanya diiringi dengan musik yang terdiri dari
HAL-19-KHAZANAH-15 JUNI
1
biola, gendang, gong, gambus atau akordeon, dan rebana. Dalam pertunjukannya, teater Mamanda biasanya menggunakan bentuk panggung prosenium dengan dekorasi panggung secara realistis, misalnya dekorasi kerajaan, hutan, dan pantai, tergantung konflik yang terjadi di masyarakat. Kalau misalnya yang perlu dikritik adalah masalah pemerintahan setempat, dekorasi menggunakan latar belakang kerajaan atau pemerintahan, begitu pun seterusnya. Apa pun yang akan dikritik, dalam tokohnya ada tokoh utama wajib dan ada tokoh utama sunah. Tokoh utama wajib yaitu pasti ada raja, mangkubumi, wazir, perdana menteri, panglima perang, harapan I dan harapan II, khadam/badut, serta sandut/ putri. Di sisi lain, tokoh utama sunah adalah tokoh pendukung biasanya menggunakan improvisasi dengan penonton atau dengan properti-properti yang ada. Setiap tokoh memiliki peran sentral tersendiri dalam setiap lakonnya dalam penyampaian pesan kepada masyarakat. Konon, Mamanda lahir dari kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka pada 1897 yang dulunya bernama Komedi Indra Bangsawan di Kalimantan Selatan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk dan saat ini lebih dikenal dengan sebutan
Mamanda. Seni tradisional itu dibawa perantau Banjar ke Indragiri Hilir, Riau, semenjak terjadi eksodus akibat peperangan melawan Belanda yang menyengsarakan kehidupan masyarakat Banjar. Semangat kesatuan Seperti halnya yang pernah diadakan Yayasan Pusaka Saijaan dalam pergelaran Mamanda yang bertempat di Taman Siring Laut dengan judul Penembahan Datu Aling. Dalam kisahnya, Panembahan Datu Aling tidak dapat tidur nyenyak ketika rakyat di Pengaron dan sekitarnya menderita karena penjajahan Belanda. Ketika sidang di Kerajaan Muning digelar Datu Aling dan putrinya Ratu Adil berencana menyerang tambang batu bara Oranye Nassau untuk melumpuhkan perekonomian Belanda. Untuk itu, rakyat Kerajaan Muning bersatu padu di bawah kepemimpinan Panembahan Datu Aling dan Ratu Adil menyerang pertambangan batu bara Oranye Nassau untuk dilumpuhkan aktivitasnya. Itu menunjukkan semangat persatuan dan kesatuan itu sangat penting dalam menciptakan masyarakat sejahtera dan adil tanpa adanya tendensi apa-apa. Untuk mengimbangi arus hegemonik globalisasi dan modernisasi yang ekspansif, diperlukan penyatuan erat antara emosi penguasa dan rakyat dalam satu wadah yang sekiranya semua lapisan masyarakat paham bahwa itu adalah wadah penyatuan. Masyarakat Banjar menemukan hal itu dalam teater rakyat Mamanda. Karena
teater rakyat Mamanda sering dijadikan peluapan ekspresi kekecewaan yang belum tersampaikan, baik kepada pemerintah itu sendiri maupun kepada masyarakat yang kurang sadar akan arti persatuan dan kesatuan. Hanya dengan semangat persatuan dan kesatuan itulah, keharmonisan sosial akan tercipta dalam menata kehidupan yang lebih baik dan tidak akan terlalu dipusingkan adanya perbedaan, baik karakter maupun lainnya. Kalau kita menyaksikan dengan teliti teater rakyat ini, kita akan langsung teringat kepada kesenian lenong atau ketoprak karena memiliki ciri yang sama yakni adanya hubungan emosional antara pemain dan penonton. Dalam pementasan lenong maupun Mamanda, penonton dapat langsung memberi tanggapan terhadap jalannya cerita sehingga semakin menghidupkan aura pergelaran yang tengah berlangsung. Tak mengherankan, imbal balik dari penonton itulah yang menentukan sukses tidaknya pementasan teater rakyat ini. Pementasan teater tradisional Mamanda sangat ditentukan kemampuan pemain dalam mengatur aksi dan dialognya. Tiap pelakon bebas mengembangkan permainan sendiri asal tidak menyimpang dari skenario sehingga pergelaran Mamanda terlihat sebagai sebuah lakon spontan. Ketoprak, lenong, maupun Mamanda memiliki urutan pementasan yang sama yaitu diawali dengan iringan musik atau bunyi-bunyian dan perkenalan dengan nyanyian
6/13/08, 7:50 PM
pendekatan yang lebih berwawasan lingkungan. Pendekatan demikian lebih memberikan arti bagi arsitektur sebagai lingkungan binaan yang merupakan bagian dari lingkungan semesta yang luas. Pendekatan baru itu hendak melihat interaksi arsitektur dan lingkungan tidak hanya sebagai usaha pemanfaatan sumber daya lingkungan bagi arsitektur belaka, namun lebih memerhatikan bagaimana karya arsitektur secara luas dapat memberikan sumbangan bagi terbentuknya tata ruang makro yang layak. Dalam praktik perancangan, kesulitan yang terjadi adalah apa batas-batas pengendalian yang hendak dipakai agar pendekatan di atas terjamin kelangsungannya, mengingat keputusan akhir praktik perancangan dan sosial yang berlaku. Jika dalam masyarakat tradisional batas-batas pengendalian demikian berada
di tangan kesepakatan masyarakat itu sendiri, dalam masyarakat modern fungsi demikian tentu tidak bergeser dalam kewenangan lembaga tertentu. Itu berarti menjamah masalah-masalah hukum dan kesadaran hukum dalam masyarakat sendiri. Pada akhirnya, masalahmasalah arsitektur menjadi melebar sedemikian luasnya dan menuntut kemampuan untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi. Perhatian terbesar adalah justru masalahmasalah sosial kemasyarakatan yang memerlukan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu. Agaknya hal itu akan mengundang pembicaraan yang lebih luas. Hal demikian membuktikan arsitektur bukan karya dari pribadi-pribadi, melainkan lebih mencerminkan anutan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Orang bijak telah berkata, “Dari tahu rumahnya, kita kenal adatnya!”
ataupun tarian.
syair lama dan hikayat. Ironisnya, Mamanda sekarang hanya bisa dirasakan kelucuannya dan carobo. Para penonton hanya mengingat kekonyolan-kekonyolan yang seolah inti dari pementasan Mamanda. Seolah-olah pertunjukan tersebut sengaja dibuat untuk menciptakan tawa, bukan pengetahuan mengenai moral atau budaya kita. Mungkin hal tersebut tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat kita yang suka bergurau dan ketidakmampuan penonton terhadap hikmah apa yang mereka tonton. Meski dimodifikasi sedemikian rupa, teater rakyat ini tidak mampu mengembalikan kepada habitatnya semula. Para pemain Mamanda sekarang ini lebih didominasi anak muda. Di satu sisi ini, sangat menggembirakan karena minat mereka terhadap teater tradisi sangat tinggi, bahkan ada yang mengkhususkan berteater dalam bidang Mamanda dengan segala kreativitasnya. Namun, terkadang kreativitas mereka terlampau ‘liar’ bahkan terkadang mangaradau. Naskah dibuat dengan instan untuk memenuhi tema yang diinginkan dan terkadang dengan latihan yang seadanya. Yang tua (senior) melihat fenomena itu sepertinya tidak mampu berbuat apa-apa selain menikmati saja dari jarak jauh. Untuk memenuhi perhatian penonton yang sudah terhipnosis oleh adanya tayangan persinetronan, ceritanya sudah tidak mencerminkan jembatan keadilan dan hanya mempertimbangkan kesenangan semata. Asal penonton dan para pemain larut dalam kekonyolan yang dibuatnya, jadilah sebuah pementasan yang jauh dari kesan pementasan Mamanda. Akibatnya secara terstruktur, mereka melakukan kekeliruan yang sama dari generasi ke generasi.
Kian tergadai Namun sangat disayangkan sekali di tengah hiruk-pikuknya bangsa ini, seni-seni tradisional atau kreativitas rakyat kecil semakin lama semakin tergadaikan oleh keberadaan sinetron Indonesia yang sarat dengan kisah drama percintaan, tragedi, maupun kisah-kisah yang banyak menghadirkan nuansa emosi penuh kebencian dan balas dendam. Bahkan, persinetronan di Indonesia didominasi kisah perebutan harta. Sangat naif sekali, justru kisah-kisah itulah yang banyak diminati pemirsa daripada bentuk ekspresi kesenian rakyat yang terkesan menjemukan. Padahal, teater rakyat justru mengusung masalah kehidupan yang dapat diambil hikmahnya, seperti sejarah, adat istiadat, kritik atas ketimpangan di masyarakat, dan terutama ialah keteladanan karena kisah dalam teater rakyat hampir selalu menghadirkan kebenaran dan contoh yang baik bagi masyarakat. Referensi masyarakat terhadap konsumsi seni lebih disebabkan keberadaan media elektronik yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern. Lebih jauh lagi, pergeseran gaya hidup yang pragmatis dan hedonis semakin menguatkan eksistensi sinetron Indonesia yang menyuguhkan hiburan singkat, ekonomis, modern, dan prestisius. Kisahkisahnya yang tidak membumi justru mengena di hati masyarakat Indonesia yang senang bermimpi. Kontras dengan bentuk kesenian modern tersebut, Mamanda yang merupakan teater rakyat yang mencoba mencari jalan tengah antara masyarakat dan penguasa semakin hari semakin terpinggirkan oleh komponen pendukungnya sendiri, teknologinya yang tertinggal, kurangnya kreativitas, dan kisahkisahnya yang menjemukan karena selalu bersumber dari