LAPORAN PENELITIAN STUDI KASUS PADA SEKOLAH DASAR PROGRAM MBS MATA PELAJARAN MATEMATIKA Oleh: Tim PGSD FIP UNJ (Kerjasama UNESCO dengan FIP UNJ)
Tujuan dilaksanakan observasi tentang proses pembelajaran ini agar dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada pembelajaran Matematika, khususnya di Kelas I sekolah dasar. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan guru dapat melaksanakan refleksi terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakannya. Temuantemuan permasalahan ini juga dapat dijadikan bahan diskusi dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi bagi guru/calon guru sekolah dasar. Pembahasan kasuskasus ini diharapkan menambah wawasan para mahasiswa calon guru sebagai bekal menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Observasi dilaksanakan di dua SDN di daerah kabupaten Sukabumi. Pelaksanaan observasi dari tanggal 14 November sampai dengan 30 November 2006. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Subjek penelitian ini adalah tiga guru sekolah dasar pada SDN tersebut yang mengajar di Kelas I pada semester ganjil tahun ajaran 2006/2007. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data ujaran dan catatan hasil pengamatan lapangan, juga melalui pengambilan gambar dengan kamera dan alat perekam audio-visual. Data ini dianalisis untuk kemudian direfleksi dan dilanjutkan dengan konfirmasi data kepada subjek penelitian untuk keabsahannya. Temuan-temuan permasalahan dalam bidang matematika antara lain: (1) Mengubah Soal Cerita dalam Kalimat Matematika, (2) Mengapa Sulit Memahami Soal Cerita Matematika? (3) Asyiknya Menjumlah dengan Bersusun Pendek, (4) Pentingnya Menjumlah Bersusun Panjang, (5) Sajian Soal Pada Buku Paket Tidak Selalu Mudah Dipahami Siswa, (6) Mengapa Penyelesaian Operasi Cara Pendek Lebih Disukai Siswa?
Metode penelitian yang digunakan untuk studi ini adalah studi kasus (case study), dimana penelitian masuk dalam jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan studi kasus atau penelitian kasus merupakan penelitian tentang subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data ujaran dan catatan hasil pengamatan lapangan. Oleh karena itu, pendekatan studi kasus memadukan metode pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Data ini dianalisis untuk kemudian direfleksi dan dilanjutkan dengan konfirmasi data kepada subjek penelitian untuk keabsahannya. Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti. Subjek penelitian studi kasus ini adalah tiga guru sekolah dasar negeri dari dua sekolah. Adapun kedua sekolah yang dijadikan tempat penelitian adalah sekolahsekolah yang selama ini telah dibina oleh UNESCO dan UNICEF dalam pengembangan MBS dan pembelajaran berdasarkan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efisien, dan Menyenangkan). Untuk memasuki pekerjaan di lapangan, peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu. Selain perlu mempersiapkan diri baik dari segi penampilan, sikap, tingkah laku sehingga orang-orang yang menjadi subjek penelitian akan memberi respon positif dan peneliti dapat mengenal lebih akrab kepada subjek penelitian serta beradaptasi dengan lingkungan. Pada penelitian ini, peneliti adalah satu tim terdiri atas tujuh orang yang mengamati secara bersama tiga guru
yang menjadi subjek penelitian. Mata pelajaran yang diamati adalah Matematika dan Bahasa Indonesia. Pengamatan dilakukan selama tiga belas hari kerja dengan mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan subjek penelitian dan setiap aktivitas dicatat dalam catatan lapangan. Peneliti bertindak sebagai observer murni. Dengan kata lain, tidak terjadi campur tangan atau pemberian tindakan pada kelas maupun subjek penelitian selama pengamatan berlangsung. Peneliti hanya memotret pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas selama pelajaran berlangsung, menggunakan catatan lapangan, mengambil gambar (foto) dan merekam secara audio-visual semua kejadian. Dalam pengumpulan data kualitatif di lapangan, peneliti harus cukup dekat dengan orang-orang dan situasi yang diteliti, sehingga memungkinkan pemahaman mendalam dan rinci tentang apa yang sedang berlangsung. Peneliti juga harus berupaya menangkap apa yang secara aktual terjadi. Oleh karena itu, metode pengumpulan data dilakukan dengan membuat catatan lapangan yakni mencatat halhal yang terjadi selama proses pembelajaran baik yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Di samping membuat catatan lapangan, data juga dikumpulkan melalui pengambilan gambar dengan kamera dan alat perekam audiovisual. Pengambilan gambar-gambar ini selain diperlukan sebagai alat konfirmasi, juga digunakan untuk pengamatan ulang dan
pengkajian kembali hasil pengamatan yang telah dilakukan. Di samping mengamati kegiatan pembelajaran di dalam kelas, juga dilakukan wawancara dengan guru dalam rangka konfirmasi mengenai apa yang telah terjadi di dalam kelas. Data juga dikumpulkan melalui dokumentasi pekerjaan murid yang berisi hasil kerja selama proses belajar. Berdasarkan hal ini, data terdiri dari kutipan langsung dari berbagai orang, yakni apa yang mereka katakan dan tuliskan. Data dianalisis secara deskriptif untuk mendapat kesimpulan akhir dari tujuan penelitian. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. Data yang terkumpul dari hasil pengamatan lapangan berupa pelaksanaan KBM, selanjutnya dianalisis, direduksi, dan dicerna ulang dengan melihat hasil rekaman video. Selanjutnya data dianalisis dan dilakukan refleksi untuk menduga secara mendalam apa yang terjadi di dalam kelas dan apa yang ada dalam pikiran guru selama melakukan proses KBM. Dari hasil ini diperoleh beberapa temuan menarik yang selanjutnya akan dikonfirmasi kepada guru. Kesimpulan dilakukan selama penelitian berlangsung dengan cara memikir ulang selama penyusunan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran sejawat. Berdasarkan hasil analisis dan refleksi selanjutnya disusun beberapa pertanyaan dimaksudkan untuk dikonfirmasikan kembali kepada guru agar diperoleh kepastian dari data
temuan yang diperoleh. Setelah konfirmasi dilakukan barulah temuan-temuan itu disusun, dihaluskan dan kemudian ditulis agar nantinya temuan ini dapat dijadikan bahan diskusi dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi bagi calon guru sekolah dasar yang akan memasuki dunia kerja. Beberapa kasus yang menarik berkenaan dengan proses belajar-mengajar materi pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia berhasil ditemukan. Temuan berupa kasus-kasus berikut menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa calon guru sekolah dasar dengan cara mendiskusikan dan selanjutnya menemukan solusi terbaiknya. Kasus-kasus yang diangkat ini adalah kasuskasus yang sangat mungkin banyak terjadi di kelas-kelas awal sekolah dasar dan dilakukan oleh guru-guru ketika mereka mengajar. Pembahasan kasus-kasus ini diharapkan menambah wawasan para mahasiswa calon guru sebagai bekal menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya selepas menyelesaikan perkuliahan di perguruan tinggi. Berikut adalah kasus-kasus tersebut.
Saya sebagai guru kelas harus menguasai semua bidang studi apalagi kelas I SD kurikulumnya tematik. Saya berusaha bagaimana dengan satu tema bisa mencakup berbagai mata pelajaran. Di samping itu siswa kelas I secara umum mempunyai latar berbeda pengalamannya. Beberapa anak sudah mempunyai kemampuan awal membaca atau menulis huruf dan menulis lambang bilangan, tetapi secara mayoritas mereka belum bisa sama sekali. Sekalipun telah mempunyai kemampuan awal, belum menjamin mudah ditangani. Hal ini malah sering menyulitkan terutama motorik halusnya sudah terlatih secara salah, seperti dalam penulisan huruf atau menulis lambang bilangan. Secara proses mereka salah, sekalipun produknya benar/sama. Sulit sekali mengubah kebiasaan tersebut. Secara psikologis juga mereka terpengaruh, karena materi SD pada awalnya berhitung dan membaca/menulis permulaan. Karena merasa sudah bisa, mereka menganggap mudah sehingga malah sering mengganggu temannya, mungkin mereka merasa bosan. Kalau disuruh memilih saya lebih suka anak yang belum tahu apa-apa karena lebih mudah mengarahkannya. Namun bagaimanapun juga menjadi guru kelas I SD mempunyai kebanggaan dan kepuasaan tersendiri bagi saya yang sulit digambarkan, karena dari anak yang tidak bisa apa-apa menjadi mampu terutama dalam hal dasar-dasar membaca, menulis dan berhitung. Masalah yang belum terpecahkan sampai kini, di kelas saya ada lima anak yang berkebutuhan khusus, sehingga memerlukan waktu yang khusus setiap kali proses pembelajaran berlangsung.
Hari ini saya mengajar di kelas I dengan tema transportasi. Saya ingin memadukan mata pelajaran IPS, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Saya memulai mengajar dari materi IPS untuk mengenal jenis–jenis alat transportasi. Kemudian masuk ke Bahasa Indonesia untuk menambah kosa kata, menulis dan membaca tentang ala-alat transportasi. Selanjutnya ke materi Matematika, saya memberikan materi penjumlahan. Pendekatan yang saya lakukan adalah dengan bercerita tentang permasalahan matematika yang berhubungan dengan alat-alat transportasi supaya anak lebih mudah memahaminya. Saya mulai bercerita masalah ini: di sebuah terminal ada 5 buah bemo, kemudian datang lagi 10 bis. Berapakah jumlah bis dan bemo? Sambil menggambarkannya di papan tulis.
Anak-anak saya suruh menulis kalimat matematikanya di buku, kemudian menjumlahnya. Saya berkeliling untuk melihat pekerjaan anak secara individual dan menolong anak yang belum mampu menuliskan lambang bilangan dan jumlahnya, supaya semua anak bisa mengerjakannya. Setelah selesai soal pertama, mulai memberikan soal cerita kedua dengan bercerita lagi: di sebuah bis ada sederetan kursi 8 buah di sebelah kiri dan 8 buah sebelah kanan, ada berapa jumlah semua kursi? Saya menggambarkan kursi di papan tulis dan anak saya suruh mencatat kalimat matematika dan menjumlahkannya. Kemudian saya berkeliling membantu anak yang belum bisa. Setelah selesai, kemudian memberikan soal cerita ketiga. Di dalam sebuah bis ada yang berjualan buah-buahan, seorang ibu membeli 7 jeruk dan 7 duku, ada berapa jumlahnya? Sambil saya menggambarkannya di papan tulis, demikian pula anak disuruh menuliskan kalimat matematika dan menjumlahkannya di buku catatan. Demikian sampai saya memberikan soal cerita sebanyak 7 buah soal. Saya berusaha membuat soal cerita yang mudah dipahami oleh anak dan diharapkan anak bisa menyelesaikannya dalam kalimat matematika.
Setelah menyelesaikan sebanyak 7 buah soal, kemudian saya menilai secara individual dengan cara mendatangi setiap anak. Setelah itu anak boleh istirahat, setengah jam kemudian anak masuk kelas lagi dan saya memberikan PR. Pada suatu kesempatan refleksi, saya mengungkapkan apa yang menjadi pemikiran saya, apakah anak bisa mengerjakannya dan paham dengan contoh-contoh yang saya berikan? Karena setiap diberikan soal cerita anak sulit menyelesaikannya. Sebenarnya bukan karena materi matematika yang tidak bisa mengerjakannya, tetapi anak tidak dapat memahami bahasanya. Mereka tidak dapat mengubah soal cerita ke dalam kalimat matematika dengan benar. Namun apabila diberikan dalam bentuk kalimat matematika dengan menuliskan lambang bilangannya langsung, umumnya mereka bisa menyelesaikannya. Saya sering dalam membuat soal cerita mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, tetapi masih saja anak kesulitan untuk memahaminya. (Pengalaman Ibu Sumiati, guru SD di Sukabumi).
Kesulitan yang dialami oleh guru tersebut juga dirasakan oleh guru yang lain yaitu bagaimana supaya anak mudah memahami soal cerita. Barangkali dengan memberikan soal cerita dengan objek-objek yang konkret akan lebih menolong anak untuk mudah memahaminya, karena umumnya anak kelas I SD masih berpikir konkret. Juga bisa dengan mencampurkan dengan bahasa daerah setempat. Demikian pula objek yang menjadi contoh dalam soal cerita harus sejenis. (Sri, Guru kelas I SD di daerah). Menanggapi masalah di atas secara materi yang disajikan sudah cukup bagus dengan pembelajaran model webbing (terintegrasi antar mata pelajaran) dalam satu tema. Akan tetapi mungkin lebih baik apabila materi tersebut berangkat dari sesuatu hal yang sudah dekat dengan kehidupan mereka. Di kelas rendah terutama kelas I SD, supaya pembelajaran lebih efektif maka soal ceritera disajikan dalam bentuk-bentuk gambar yang menarik, diberikan warna, ditempel di karton, kemudian digantung di papan tulis. Dengan model pengajaran guru menggambar langsung di papan tulis, menurut saya kurang tepat karena dapat menyita waktu, dan membuat keributan dalam kelas. Sebaiknya guru tersebut harus menggunakan multi metode dan menggunakan media agar pembelajaran menjadi efektif. (Anwar, Mahasiswa PGSD). Ada beberapa hal harus diperhatikan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut dengan melihat latar siswanya. Pertama dalam pembelajaran soal ceritera bagaimana kalau
murid bukan hanya menulis hasilnya saja di buku catatan, tapi harus dibimbing menulis soalnya, supaya ada bahan untuk dipelajari selanjutnya di rumah. Kedua, supaya anak tidak kesulitan dalam proses menjumlah alangkah baiknya objek yang dijadikan contoh dalam penjumlahan harus berkarakteristik sama. Seperti menjumlahkan jeruk dengan duku, seharusnya dipayungi oleh buah-buahan. Karena anak di samping menuliskannya, juga harus mengkomunikasikan dalam bahasa lisan. Ketiga, sekalipun merupakan materi lanjutan, bagaimana kalau penggunaan media tetap menggunakan model konkret, karena mayoritas murid SD kelas rendah masih berpikir konkret supaya anak lebih memahami konsep, dan sebaiknya masalah kontekstual soal ceritera sesuai dengan pengalaman anak atau memanfaatkan budaya setempat. Keempat, menghadapi anak yang berkebutuhan khusus, bagaimana jika menyediakan waktu di luar jam pelajaran supaya tidak mengorbankan/ mengganggu anak yang lain. (Dudung Amir Soleh, Dosen Pendidikan Matematika di PGSD UNJ).
Saya berencana mengajarkan aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari. Materi atau bahan ini saya hubungkan dengan penjumlahan hasil sampai dengan 20 di kelas I-A. Bahan ajar matematika yang akan saya sajikan pertama adalah memberikan contoh soal cerita matematika yang diambil dari buku sumber. Tema pembelajaran hari ini adalah ‘binatang’. Saya menuliskan soal cerita yang berhubungan dengan binatang di papan tulis dan menyuruh murid menyalin di buku masingmasing. Contoh soal cerita tersebut:
ayah mempunyai 10 ekor kelinci ayah membeli lagi 4 ekor kelinci berapa ekor kelinci ayah sekarang? Setelah selesai menulis soal, saya menyuruh murid memperhatikan ke depan, kemudian membaca soal bersama-sama. Saya menekankan cara memenggal kata dalam membaca soal, misalnya: Berapa ekor / kelinci ayah sekarang? Akan berbeda jika dibaca dengan pemenggalan: Berapa / ekor kelinci ayah sekarang? Kemudian saya menyusun jawaban bersamasama dengan murid, caranya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui, selanjutnya mencari hasil dari soal cerita tersebut, seperti berikut ini.
kelinci ayah mula-mula ada 10 ekor ayah membeli lagi 4 ekor kelinci ayah sekarang = 10 + 4 = 14 ekor
Murid menyalin jawaban dari soal cerita di atas. Sambil berkeliling, saya memeriksa pekerjaan dan tulisan murid satu persatu. Ada beberapa murid yang masih lamban menulisnya. Saya kemudian memberikan soal latihan yang harus dikerjakan murid, soal diambilkan dari buku sumber. Soal latihan seperti berikut ini.
ayam kakek bertelur 12 butir ayam nenek bertelur 7 butir berapa jumlah telur ayam kakek dan nenek?
Saya menugaskan murid menyalin lagi soal latihan dari papan tulis, kemudian murid menentukan jawabannya di buku masing-masing. Saya selalu menekankan kepada murid untuk menuliskan apa yang diketahui terlebih dahulu, baru dihitung jumlahnya. Murid yang telah selesai mengerjakan soal latihan kemudian saya nilai. Hasilnya, dari 36 siswa, baru 20 orang yang menjawab benar. Beberapa murid belum berhasil menjawab soal tersebut dengan benar. Saya kemudian mencoba menerangkan kembali soal cerita matematika dengan bahasa yang dipahami anak. Selanjutnya saya menuliskan satu soal sebagai PR. Hal yang menggembirakan, murid-murid kelas I setiap hari meminta sendiri dikte dan PR. Soal cerita untuk PR saya tanyakan pada murid, “Binatang apa yang belum digunakan contoh?” Seorang siswa menjawab “Burung Bu.” Saya menuliskan soal cerita mengenai burung seperti berikut ini.
burung Panji 13 ekor ayah membelikan lagi 7 ekor berapa burung Panji sekarang? Semua murid menyalin soal tersebut di buku masingmasing. Hal yang tidak dapat dihindari pada pembelajaran kelas rendah, ada beberapa murid agak gaduh, dan ada murid yang telah selesai menyalin soal kemudian mengganggu temannya. Saya menegur mereka untuk tidak mengganggu teman. Mereka gaduh karena bersiap-siap untuk pulang. Pada suatu kesempatan refleksi, saya mengungkapkan pemikiran saya tentang ketidakberhasilan sebagian murid
tersebut, apakah karena masih belum lancar menulis? Namun demikian, beberapa murid yang biasanya sudah lancar menulispun ternyata belum dapat menjawab soal latihan tersebut dengan benar. (Pengalaman Ibu Sumiati, guru SD di Sukabumi).
Cara yang sudah diterapkan cukup baik, yakni pelajaran Matematika diintegrasikan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, hanya saja jam pelajaran lebih banyak untuk latihan menulis. Akibatnya waktu belajar matematika akan sedikit berkurang. (Wahyuni, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Soal cerita yang disampaikan pada murid kelas I sebaiknya dengan kalimat yang jelas. Juga masih perlu digunakan alat peraga konkret atau media gambar, dimaksudkan murid memahami suatu soal cerita matematika dihubungkan dengan operasi penjumlahan. (Kurniasari, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Menurut saya, agar siswa mengetahui manfaatnya belajar matematika, maka ketika pembelajaran soal cerita guru memulai dari hal konkret, bercerita yang barang/bendanya ada di kelas. Selanjutnya, guru memperbanyak cerita matematika tentang permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan yang dekat dengan siswa sesuai tema pembelajaran hari itu. Juga soal-soal cerita yang diberikan harus bervariasi, jangan hanya ‘membeli’ dan ‘bertelur’, misalnya dihubungkan dengan: beranak lagi, diberi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini memperkaya wawasan siswa tentang soal cerita dengan operasi penjumlahan, sehingga siswa dapat dengan mudah menuliskan dalam bahasa matematikanya. Guru dapat memberikan tugas soal cerita dengan cara murid bercerita atau murid menuliskan soal cerita dari pengalamannya sehari-hari. Ini cocok diberikan
pada murid dengan kecepatan belajar tinggi, sehingga mereka tidak mengganggu teman yang belum menyelesaikan tugas. Hal lain yang menyebabkan pembelajaran soal cerita menjadi kurang efektif karena pembelajaran terfokus pada kegiatan menulis. Bagi murid yang lambat menulis tampak ketinggalan dari temantemannya. Memang pada kelas awal sekolah dasar, fokus pembelajaran ditekankan pada membaca, menulis, dan berhitung. Namun demikian, guru perlu memikirkan cara lain agar jumlah soal latihan tentang cerita matematika yang dapat diselesaikan siswa lebih banyak lagi. (Nafiah, Dosen PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Ketika pembelajaran soal cerita matematika, saya mencoba tanpa menggunakan benda-benda konkret lagi, karena memang saat itu saya akan mengajak murid untuk berpikir secara abstrak. Sebelumnya, ketika saya mengenalkan hitung penjumlahan sampai sepuluh, saya selalu menggunakan alat peraga, misalnya sedotan, pensil, lidi, dan lain-lain. Saya juga berusaha menerangkan soal cerita matematika dengan bahasa yang dipahami anak, yakni dengan menerjemahkan soal cerita dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa ibu (bahasa setempat), sehingga murid mengerti maksud soal cerita tersebut.
Saya mengajarkan topik menjumlahkan dua bilangan dua angka dengan satu angka melalui berbagai teknik di kelas I-A. Teknik pertama yang saya gunakan adalah mencongak. Murid langsung menjawab hasilnya, baik secara klasikal, kelompok tempat duduk, maupun individu. Agar murid berkonsentrasi dalam menghitung hasil penjumlahan, saya mengajak murid untuk menyimpan bilangan pertama di kepala (pikiran) sambil menepuk kepala agar diingat. Misalnya penjumlahan 13 + 7, simpan 13 di kepala kemudian bilangan 7 diragakan menggunakan jari tangan. Semua murid menirukan cara menghitung dengan menepuk kepala. Soal-soal mencongak yang lain:
Saya bilang Dulu kalau menghitung, kita pakai bantuan sedotan, biji-bijian, lidi ya. Sekarang bagaimana kalau menghitung dengan jumlah lebih dari sepuluh? Misalkan 7 + 4, simpan tujuh di kepala, tambahkan empat menggunakan jari tangan. Selanjutnya saya memberi contoh cara menghitung PR yang kemarin, 13 + 7. Mencongak dilanjutkan lagi. Saya menemukan ada beberapa murid yang belum terampil menghitung penjumlahan 8 + 5, saya memberi perhatian pada murid yang masih lemah dalam menghitung. Perhatian juga saya berikan pada semua murid agar bersemangat mengikuti pelajaran.
Setelah mencongak selesai, teknik kedua yang saya ajarkan adalah penjumlahan bersusun pendek yang menjadi fokus pembelajaran matematika hari ini. Saya menjelaskan bahwa dalam pengerjaan hitung sampai dengan 20, selain diperlukan penggunaan alat peraga seperti sedotan, bijibijian dan sebagainya; dapat juga diselesaikan dengan teknik penjumlahan bersusun pendek. PR kita tentang soal cerita dapat ditulis 13 + 7 = ..., kemarin kita belajar ini dengan menjumlah cara mendatar. Waktu kemarin kita tulis seperti ini , sambil menunjuk menjumlah cara mendatar di atas. Dapat juga sekarang Ibu menuliskannya ke bawah. Saya kemudian memberi contoh langkah-langkah menuliskan soal, satuan ditulis lurus ke bawah di kolom satuan.
Perhatikan cara Ibu menulis, angka 7 ditulisnya dimana? Di bawah angka 3, beri garis di bawahnya, jangan lupa beri tanda penjumlahan lurus dengan garisnya.
Saya sadar telah melakukan kesalahan memilih soal seperti pada contoh di atas, yakni sudah melibatkan penjumlahan dengan teknik menyimpan, maka saya ubah soalnya menjadi: Berapa 3 + 6? Sembilan Bu Guru , angka 9 ditulis lurus dengan angka 3 dan 6, dijumlahkan yang belakang dulu. Kemudian saya memberi soal latihan yang lain.
Selanjutnya saya menjelaskan prosedur menghitung hasil penjumlahan bersusun pendek, yaitu satuan ditambah satuan, puluhan ditarik ke bawah di kolom puluhan. Saya juga memberi semangat pada murid untuk berani mengerjakan soal di papan tulis. Beberapa siswa maju mengerjakan soal penjumlahan bersusun pendek di papan tulis. Siapa berani sekarang? Perempuan dulu yang menghitung . Seorang anak perempuan maju ke depan untuk mengerjakan soal yang diberikan guru. Murid tersebut berhasil menghitung dengan benar. Siapa lagi yang berani maju? Tuliskan soalnya dulu ya? Seorang siswa menuliskan soal sendiri. Saya bertanya ke seluruh kelas, Betul tidak jawabannya? Seorang murid maju ke
depan dan membuat soal yang melibatkan teknik menyimpan, saya menyuruh murid tersebut untuk mengganti soalnya. Untuk memunculkan kreativitas murid, saya menyuruh murid membuat soal sendiri kemudian mencari hasilnya, ternyata murid yang saya tunjuk dapat melaksanakan tugas dengan baik. Ketika berkeliling melihat pekerjaan murid, saya menemukan seorang murid yang menulis lambang bilangan 8 dengan cara yang salah, oleh karena itu secara bersamasama saya mengajak semua murid menulis lambang bilangan 8 di udara secara berulangulang, kemudian saya menuliskannya di papan tulis. Begitu juga dengan cara murid membuat bilangan 9, masih ada yang dari bawah. Pembelajaran dilanjutkan, saya menuliskan soalsoal penjumlahan bersusun pendek sebagai latihan bagi murid. Saya sengaja memberikan soal, di mana dari delapan soal, lima soal terakhir secara berturut-turut hasil penjumlahannya sama yaitu 19. Hal ini saya maksudkan agar memudahkan mengoreksinya. Saya berkeliling memberi bimbingan. Siswa yang telah selesai mengerjakan, kemudian dinilai. Saya menanyakan kepada murid, Siapa yang betul semua? Dari 37 murid yang hadir, 34 murid menjawab semua soal dengan benar. Saya senang dengan hasil yang dicapai siswa, tetapi sekaligus juga harus mawas diri. Apakah hanya dengan melihat hasil siswa dapat dikatakan pembelajaran di kelas telah berhasil? (Pengalaman Ibu Kiki, guru SD di Sukabumi).
Guru tersebut sudah menekankan tentang penulisan soal penjumlahan bersusun pendek. Hal ini sangat penting agar murid tidak salah dalam menjumlahkan. Guru juga sudah melakukan perbaikan ketika menemukan murid yang belum benar cara membuat bilangan 8. (Nining, Guru SDN di suatu daerah).
sedotan, manik-manik. Secara bersama-sama mengelompokkan 10 lidi/sedotan/manik-manik sebagai puluhan dan lebihnya sebagai satuan. Cara seperti ini secara tidak langsung mengajarkan penulisan bilangan belasan, mana yang lebih dahulu ditulis, dan mana yang terakhir ditulis. (Herlina, Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Guru salah pilih soal, yaitu memberikan soal bersusun pendek melibatkan teknik menyimpan. Kalau sudah terlanjur, lebih baik dijelaskan alasannya, bahwa 3 + 7 hasilnya 10, dan kemukakan kepada seluruh murid bahwa jika dijumlahkan satuannya hasilnya lebih dari 9, soal-soal seperti ini akan kita pelajari nanti, tidak harus mengganti soalnya. Ketika ada seorang murid yang membuat soal sendiri melibatkan teknik menyimpan, guru tidak perlu menyuruh muridnya mengganti soal, hal ini akan mematahkan semangat murid. Jika murid memang sudah mampu sebaiknya pelan-pelan guru memberi tahu cara menghitung penjumlahan dengan teknik menyimpan. Murid yang telah menyelesaikan soal sebaiknya diberitahu agar membantu ibu guru menolong murid lainnya. Guru juga dapat memberi latihan-latihan tambahan kepada anak yang cepat menyelesaikan tugasnya. (Sri Endah, Mahasiswa lembaga pendidikan guru).
Penekanan cara menuliskan penjumlahan bersusun pendek di mana satuan diletakkan di bawah kolom satuan sudah dilakukan guru agar murid memahami nilai tempat. Hal ini sangat baik karena pemahaman seperti ini akan memudahkan guru ketika mengajarkan pokok bahasan berikutnya, yakni menjumlahkan dua bilangan dengan teknik menyimpan. Guru beralasan memberikan beberapa soal dengan hasil yang sama untuk membantu mempermudah penilaian. Akan lebih baik lagi apabila guru menekankan bahwa kegiatan itu dapat membantu murid dalam memperluas wawasan, yakni terdapat pasanganpasangan bilangan yang jumlahnya sama. Kreativitas siswa sudah baik, ditumbuhkan melalui murid disuruh membuat soal sendiri. Namun demikian, ketika ada murid yang menuliskan soal menjumlah dengan teknik menyimpan, biarlah dia mencoba dulu. Tidak harus sama materi antara murid yang satu dengan lainnya, karena siapa tahu dia akan berhasil menghitung soal tersebut. (Nafiah, Dosen PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Untuk murid SD kelas I (usia 6 - 7 tahun) pembelajaran yang digunakan adalah bermain sambil belajar yang disertai contoh nyata dari guru. Dalam melaksanakan pembelajaran dapat menggunakan media yang tersedia, seperti lidi,
Pada pembelajaran penjumlahan bersusun pendek kali ini, saya sudah tidak menggunakan alat bantu konkret, karena tahap ini sudah terlewati pada pembelajaran-pembelajaran sebelumnya. Pada pembelajaran saat ini saya mulai melatih murid untuk menghitung penjumlahan dengan menggunakan aturan (algoritma).
Ketika saya memberikan contoh soal penjumlahan cara pendek, saya memberikan contoh penjumlahan dua bilangan yang harus menggunakan teknik menyimpan. Soal ini memang langsung saya ganti, karena pada saat ini pembelajaran penjumlahan bersusun pendek belum sampai pada teknik menyimpan.
Saya mengajarkan topik menjumlahkan dua bilangan dua angka dengan satu angka melalui teknik bersusun panjang di kelas I-A. Pada awal pembelajaran, saya perlu mengingatkan pada murid bahwa mencongak atau menghitung di luar kepala tidak harus menepuk kepala untuk menyimpan bilangan pertama. Saya kemudian memberikan soal mencongak mengenai penjumlahan dua bilangan satu angka dengan satu angka. Saya menyatakan bahwa 8 + 4 dan 4 + 8 mempunyai hasil yang sama, tetapi prosesnya berbeda. Ketika berkeliling kelas sambil memberikan soal mencongak, saya temukan murid yang kesulitan menjumlah 8 + 6. Saya kemudian memberikan prosedur penjumlahan bersusun panjang disandingkan dengan penjumlahan bersusun pendek yang telah dipelajari sehari sebelumnya seperti berikut ini.
Saya menekankan kepada murid bahwa satuan harus ditulis di bawah kolom satuan, bilangan 9 ditulis di bawah bilangan 2 dan 7. Sambil mengerjakan contoh, saya melontarkan pertanyaan: Bilangan 7, puluhannya ada apa tidak? Murid menjawab dengan serentak tidak ada. Saya bertanya kepada murid, Ada yang belum jelas? Murid meminta diterangkan lagi cara mengubah bilangan 12 menjadi satu puluhan dan dua satuan. Saya memberikan latihan soal berikut:
Ketika itu, saya mengajarkan penjumlahan bersusun pendek sehari sebelumnya, baru hari berikutnya murid diberi pengulangan penjumlahan bersusun panjang. Pada kegiatan pembelajaran penjumlahan bersusun panjang ternyata masih banyak murid yang mengalami kesulitan. Saya berkeliling memberi bimbingan baik secara individual maupun kelompok, terutama bagaimana cara menuliskan penjumlahan bersusun panjang tersebut, dan bagaimana menguraikannya menjadi puluhan dan satuan. Hasil pekerjaan murid kurang menggembirakan, dari 36 murid yang hadir, baru beberapa murid menjawab kedua soal di atas dengan benar. Timbul pertanyaan di sini, mengapa ketika diberikan materi penjumlahan bersusun pendek hasil sampai dengan 20, murid pada umumnya tidak mengalami kesulitan, sedangkan ketika menggunakan teknik penjumlahan bentuk panjang mereka mengalami kesulitan? Inilah masalah yang saya hadapi dalam mengajarkan penjumlahan bersusun panjang. (Pengalaman Ibu Kiki, guru SD di Sukabumi).
Pada penjumlahan bersusun panjang banyak murid mengalami kesulitan mungkin karena belum dimilikinya konsep nilai tempat dengan baik, sehingga murid kesulitan menguraikan bilangan yang mengandung puluhan menjadi satu puluhan yang nilainya 10 diikuti satuannya. Murid harus lebih banyak diberikan latihan soal-soal penjumlahan bersusun panjang. (Suningsih, Guru SDN di daerah). Penjumlahan bersusun panjang ini memang mempunyai tingkatan yang lebih sulit, karena ada tahapan-tahapan dalam penyelesaiannya, apalagi sebelumnya sudah dikenalkan penjumlahan bersusun pendek, murid jadi bosan. (Anasari, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Sebenarnya maksud dari penjumlahan bersusun panjang ini adalah untuk mengenalkan dan memisahkan antara bilangan puluhan dan satuannya. Sebaiknya guru dalam mengenalkan konsep bilangan melalui media, misalkan dengan mengambil 14 lidi lalu diterangkan bahwa 10 satuan merupakan 1 puluhan dan 4 adalah satuan, jika dijumlahkan menjadi 14. Bila penguatan pada tahap ini sering dilakukan, maka murid akan mudah paham dan dapat diperkenalkan ke tahapan penjumlahan bersusun panjang. (Nurhayati, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Cara menghitung penjumlahan bentuk panjang harus diberikan kepada murid terlebih dahulu, karena untuk mengenal letak puluhan berada di depan dan satuan berada di belakang. Setelah murid mengerti dan dapat menghitung puluhan dan satuan baru diajarkan berhitung secara bersusun pendek. (Sulinah, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Guru sudah mengenalkan mana angka satuan dan angka puluhan, namun tidak dengan media konkret. Sebelum
guru memberikan penjumlahan cara panjang, sebaiknya guru mencontohkan penjumlahan, misalnya 8 + 6 dengan mengambil 8 lidi digabung dengan 6 lidi, hasilnya 14 lidi. Guru lalu mengenalkan bahwa bilangan 14 terdiri dari angka 1 sebagai puluhan, dan angka 4 adalah satuan. (Sandra, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Dalam pembelajaran penjumlahan bersusun panjang, guru menyandingkan dengan penjumlahan bersusun pendek. Seharusnya guru mengenalkan cara penjumlahan bersusun panjang terlebih dahulu. Mengapa? Karena dengan cara bersusun panjang, murid akan mampu membedakan mana puluhan dan mana satuan. (Maymunah, Mahasiswa lembaga pendidikan guru). Ketika guru menyatakan bahwa 8 + 4 dan 4 + 8 mempunyai hasil yang sama, seharusnya ditunjukkan prosesnya menggunakan alat peraga, sehingga murid mempunyai wawasan sifat pertukaran (komutatif). Secara urutan materi, seharusnya teknik penjumlahan bersusun panjang diberikan terlebih dahulu, setelah murid dikenalkan dengan nilai tempat satuan dan puluhan. Apabila materi ini pengulangan, maka guru sebaiknya mengulang penjumlahan cara panjang terlebih dahulu. Selanjutnya baru penjumlahan bersusun pendek diberikan sesudah cara panjang dikuasai murid. Kesulitan murid dalam menjumlahkan bilangan bersusun panjang dapat terjadi karena nilai tempat belum dikuasai murid. Perlu juga
ditanamkan konsep sepuluh satuan dapat ditukar menjadi satu puluhan. Konsep ini penting dimiliki murid agar kelak tidak mengalami kesulitan dalam menjumlah dengan teknik menyimpan. Pembelajaran matematika yang diberikan cenderung pada tataran prosedural, kurang kontekstual. Hal ini ditunjukkan dengan tanpa digunakannya alat peraga lagi. Akibatnya pembelajaran yang terjadi dapat dikatakan belum berhasil, siswa masih menemukan kesulitan. Apabila diberikan penjumlahan bersusun pendek dulu itu kurang tepat, mestinya cara bersusun panjang lebih dimatangkan dulu. Karena menjumlah cara bersusun panjang untuk memperoleh proses menuju cara bersusun pendek. Cara bersusun pendek adalah teknik menghitung, jelas di sini mudah diterima siswa, tetapi belajar perlu penalaran, matematika sekarang yang dipentingkan penalaran, perlu proses secara realistik. Memang penjumlahan cara bersusun panjang mengajarkannya pada murid lebih susah, karena menanamkan konsep. Juga cara bersusun panjang dari sisi murid melelahkan karena mereka perlu menulis lebih banyak, sedangkan murid kelas I semester pertama belum terbiasa untuk menulis. Saran untuk guru kelas awal SD, membelajarkan matematika jangan terlalu cepat, alat peraga harus dimulai lagi, matangkan dulu dengan mengoptimalkan benda konkret. Pelajaran yang dapat dipetik dari kasus ini adalah guru jangan terburu-buru ke simbolik dan penjumlahan bersusun pendek, karena guru perlu memberi
penalaran yang bagus pada muridnya. (Nafiah, Dosen PGSD di Jakarta).
Pembelajaran penjumlahan bersusun panjang ini sebenarnya sudah saya berikan pada pertemuan beberapa waktu yang lalu. Karena saya menyadari bahwa penjumlahan bersusun panjang ini sangat penting untuk dipahami anak, yaitu pada penanaman konsep tentang nilai tempat. Jadi bukan berarti saya memberikan penjumlahan bersusun pendek lebih dahulu. Saat itu saya menemukan bahwa anak lebih cepat (mudah) menyelesaikan penjumlahan dengan cara bersusun pendek. Itulah sebabnya pada pertemuan kali ini saya menuliskan lebih dahulu cara bersusun pendek, baru di sebelah kanannya cara bersusun panjang. Maksudnya agar membangkitkan dulu rasa suka anak karena mereka dapat menyelesaikan penjumlahan ini dengan mudah.
Saya adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar yang telah belasan tahun mengajar. Selama beberapa tahun terakhir saya dipercaya mengajar di kelas I SD, Kepala Sekolah pun menyatakan karakteristik saya cocok untuk mengajar di kelas I. Saya memang senang mengajar dan sangat senang memperhatikan semua murid saya, sehingga jika ada di kelas lain (paralel) murid yang sangat sulit ditangani, maka murid tersebut akan dipindahkan ke kelas saya untuk saya tangani. Saya selalu berusaha mengenal karakteristik murid yang saya ajar, dan telah mengenal betul murid-murid seperti apa yang masuk ke sekolah saya, karena mereka selalu berasal dari lingkungan yang dekat dengan sekolah. Beberapa murid bahkan orang tuanya dahulu saya yang mengajarnya. Hal yang berkaitan dengan murid, saya memang memahami dengan baik, akan tetapi jika berkenaan dengan materi terutama matematika saya masih merasa perlu harus terus banyak belajar. Beberapa pelatihan memang pernah saya ikuti, akan tetapi yang khusus bagaimana menyajikan materi matematika secara rinci sangat jarang saya peroleh. Usaha saya untuk memahaminya adalah bertanya pada teman sejawat, dan banyak mempelajari buku paket siswa. Ketika suatu saat memasuki pengajaran matematika materi pengurangan, saya memulai mengajar dengan menggunakan variasi bahan atau peraga yang ada di lingkungan, seperti kelereng, sedotan, pinsil warna dan sebagainya
untuk dimanfaatkan menjelaskan materi pengurangan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana menuangkan uraian demonstrasi itu menjadi sebuah tulisan/simbol matematika agar mudah dimengerti murid. Sebagai contoh awalnya saya mengajarkan dengan tahapan sebagai berikut.
Ikan yang tidak dilingkari dihitung
(Gbr. 1)
(Gbr. 2)
4 balon terbang dan dihapus dari papan tulis
(Gbr. 4)
(Gbr. 5)
(Gbr. 3)
Balon yang tidak dhapus dihitung
(Gbr. 6)
Tahapan itu adalah yang saya jelaskan dan kerjakan ketika mengajarkan proses pengurangan. Tulisan awalnya adalah seperti yang terlihat pada gambar awal (Gb.1 dan 4), sedangkan proses pengurangan adalah dengan membuat coretan-coretan itu pada gambar awal, sehingga hasilnya seperti terlihat pada gambar akhir (Gb. 3 dan 6) yang tampak di papan tulis. Adapun langkah pengurangannya (Gb. 2 dan 5) tidak. Pada hari berikutnya untuk lebih menguatkan konsep pengurangan tersebut, saya memberikan cara lain untuk menyajikan penulisan proses pengurangan tersebut. Dasar dan contoh yang digunakannya untuk menuliskan cara lain operasi pengurangan yang terdapat dalam lembar kerja siswa (LKS) yang disampaikan kepada murid, adalah berdasarkan sebuah buku paket murid sebagai berikut.
Hasil pemahaman operasi pengurangan murid dengan menyelesaikan soal pada lembar kerja siswa (LKS) yang diberikan ternyata menjadi masalah. Beberapa murid ternyata melakukan kesalahan, bahkan dua orang murid yang saya anggap mampu menyelesaikan ternyata melakukan kesalahan perhitungan dengan cara ini. Mereka ternyata bukan mengurangkannya, akan tetapi malah menjumlahkannya (hasil pada bagian akhir menjadi 17 dan bukan 7). Ketika seorang murid saya minta untuk mempresentasikan hasil pekerjaan lainnya berdasar LKS di depan kelas yaitu 13 - 5, murid tersebut menuliskannya seperti di bawah ini.
Hasil tersebut cukup mengagetkan saya. Ternyata cara awal yang saya ajarkan berdasarkan pengalaman pribadi saya selama ini lebih dipahami siswa dibandingkan cara kedua, yang seperti diketahui bersumber pada buku paket murid. Saya menjadi merasa melakukan kesalahan dengan memberikan cara kedua, karena beberapa murid justru ada yang melakukan kesalahan dan pemahaman konsepnya menjadi tidak seperti yang saya harapkan. Pada suatu kesempatan wawancara saya mengungkapkan pemikiran saya, ternyata sajian soal yang ada di buku itu tidak selamanya mudah dipahami murid. Karekteristik dan cara pemahaman murid terhadap sebuah konsep terkadang unik, tetapi saya menyadari juga bahwa tanpa buku pegangan, saya juga merasa kesulitan untuk mengembangkan dan melakukan variasi contoh soal dalam mengajar. Suatu dilema yang saya pikir mungkin dialami juga oleh guru lainnya. Kita memerlukan sebuah solusi untuk ini. (Pengalaman Ibu Sumiati, guru SD di Sukabumi).
Kita mungkin mempunyai kesamaan pandangan, bahwa pengalaman mengajar yang telah dilakukan oleh seorang guru bukanlah satu-satunya jaminan terhadap keberhasilan guru tersebut dalam membelajarkan murid. Kemampuan guru mengenal karakteristik murid yang diajarnya memang adalah sebuah keharusan, akan tetapi guru juga harus selalu meningkatkan keterampilan mengajarnya, antara lain membaca beragam referensi berkaitan dengan berbagai metode mengajar yang dianggap baik. Menurut saya, seharusnya guru di atas melakukan bedah buku terlebih dahulu dengan cara mengkaji dan menelaah apakah langkah dan tahapan yang disajikan buku tersebut dalam menyajikan materi atau contoh soal sudah baik dan sesuai dengan karakteristik berpikir anak. Jika hasil kesimpulan kurang bagus, maka seharusnya buku tersebut dapat dipertimbangkan kembali penggunaannya. Cara mengajarkan matematika di kelas I, sesuai dengan yang guru telah lakukan, memang harus dimulai menggunakan benda konkret terlebih dahulu. Apalagi operasi pengurangan bilangan belasan dengan satuan menggunakan tehnik meminjam seperti 12 – 5. Bagi murid yang pandai atau memiliki daya tangkap materi yang cepat mungkin tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi murid kelas I yang berasal dari tingkatan rata-rata hal ini tentulah bukan perkara yang mudah. Jadi saran saya kepada guru di atas, teruslah belajar dan bertanya untuk memperoleh pengetahuan dan menambah
wawasan tanpa mengenal lelah agar diperoleh informasi yang berharga. (Sri Mujiati, guru kelas I SD di DKI Jakarta, juga mahasiswa S1 PGSD UT). Tanggapan saya terhadap kasus yang dialami guru di atas adalah benar bahwa murid kelas I SD adalah murid yang daya pikirnya masih pada taraf berpikir konkret. Peran guru kelas I bila akan mengajarkan operasi pengurangan hendaknya menggunakan benda-benda konkret, sehingga pemahaman murid terhadap konsep pengurangan akan lebih meresap dan melekat. Mengenai materi yang disajikan dalam buku cetak, hendaknya guru tersebut memahami dahulu buku tersebut sebelum menerapkannya. Apakah ini akan mudah dipahami murid atau tidak? Jadi, janganlah langsung menerapkannya pada anak didik agar tidak terjadi kesalahan konsep seperti yang dialami guru tersebut. Mungkin juga guru telah menerapkan cara tersebut pada tahun-tahun sebelumnya dan berhasil, tetapi mengapa tahun ini tidak berhasil? Saya kira kita perlu juga menyadari bahwa murid itu unik, sehingga cara tertentu berhasil untuk satu murid, tetapi tidak berhasil dengan murid lain. (Ramaita, seorang mahasiswa S1 PGSD yang juga seorang guru SD di DKI Jakarta). Saya kira para guru kelas I SD sepakat dengan saya bahwa ketika sebuah konsep disajikan dengan menggunakan benda konkret, murid mudah memahaminya. Masalah baru muncul ketika guru harus mengubah peragaan menjadi model atau bahasa matematiknya. Apa yang harus dituliskan murid dalam bukunya mengenai, katakanlah operasi pengurangan, agar dia dapat mempelajarinya kembali di rumah? Proses peragaan tentu saja belum dapat diubah murid ke dalam bentuk tulisan, karena keterbatasan berbahasa, kosa kata, dan bahkan menulis itu sendiri. Pilihan guru untuk menjadikan/mengubah proses peragaan
ke dalam gambar adalah salah satu alternatif yang mungkin. Berikutnya bagaimana agar gambar atau urutan gambar itu sesuai dengan peragaan dan sekaligus dapat dipahami murid. Dalam hal ini, guru dapat mencoba beberapa kemungkinan tehnik gambar, menirunya dari buku cetak ada juga baiknya. Selanjutnya pelajari dan amatilah dengan seksama tanggapan murid dari beragam penjelasan/sajian yang guru lakukan. Tanyakan pada murid sajian manakah yang paling mereka pahami dan sesuai dengan pola pikir mereka? Bila mungkin mintalah pendapat mereka untuk membuat urutan gambar yang bisa menjelaskan dan memudahkan pemahaman mereka terhadap konsep itu. Jika kita bersungguh-sungguh mendengarkan murid secara mendalam, maka mungkin kita akan terkejut dengan jawaban murid. Bagaimana pun mereka punya cara yang unik dalam memahami sesuatu. Berkaitan dengan kesalahan murid yang muncul ketika guru mencoba menawarkan bentuk soal yang berasal dari buku cetak murid, kiranya hal ini dapat diatasi dengan selalu memberikan apersepsi konsep yang cukup sebelum sebuah konsep utama akan disajikan. Guru mungkin menduga bahwa tanpa apersepsi pun sajian soal yang ada dalam buku cetak akan dapat mudah dipahami murid, dengan pertimbangan konsep yang berkaitan dengan bentuk soal itu pernah diberikan oleh guru. Kenyataannya ternyata tidaklah seperti itu. Murid bisa saja lupa penerapan konsep yang telah lalu, atau konsepnya terkontaminasi penjelasan konsep yang baru saja disajikan, sehingga murid bingung menentukan solusi dari sajian soal yang diberikan guru. Inilah yang kiranya dapat dijadikan dasar oleh guru untuk membuat keputusan bagaimana menerapkan tahapan penjelasan konsep matematika di kelas I SD melalui sajian
gambar, dan bagaimana guru memanfaatkan sajian soal-soal yang ada dalam buku cetak untuk diberikan kepada murid sebagai soal latihan. Pengalaman memang guru yang paling baik, akan tetapi perlu disadari bahwa setiap murid mempunyai karakteristik yang unik. Mengetahui cara bagaimana mereka (murid) berpikir adalah cara yang paling baik untuk mengenal mereka. (A. Noornia, Dosen Jurusan Matematika sebuah LPTK dan pengajar PGSD).
Saya adalah guru yang beruntung ditempatkan di sebuah sekolah yang walaupun terletak di kaki gunung di sebuah kabupaten, akan tetapi kebetulan terpilih oleh sebuah lembaga internasional untuk dijadikan sebuah sekolah percontohan dalam mengembangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Oleh karena keadaan itulah, beberapa kali saya berkesempatan memperoleh pelatihan yang berkenaan dengan pengembangan proses pembelajaran di dalam kelas baik tingkat kabupaten ataupun tingkat propinsi. Sekolah saya juga sering sekali menerima kunjungan dari berbagai sekolah lain karena prestasi yang telah dibuat selama ini. Saya telah 2 tahun ini mengajar di kelas awal SD (Kelas I) setelah beberapa tahun sebelumnya mengajar di kelas tinggi (Kelas V). Sekolah saya memang menerapkan rolling penempatan mengajar setiap kurun waktu tertentu. Selama setahun pertama saya berusaha beradaptasi dengan materi dan karakteristik murid di Kelas I dan itu tidaklah mudah. Akan tetapi, di tahun kedua saya berusaha untuk mengetahui bagaimana sebaiknya mengajar murid Kelas I. Berdasarkan adaptasi tahun pertama itu saya mulai dapat memilih metode mengajar yang tepat, dan mulai mengetahui bagaimana urutan suatu materi sebaiknya diajarkan kepada murid. Sesuai dengan kurikulum, materi penjumlahan atau pengurangan Bilangan Cacah di Kelas I awal tidak memuat tehnik menyimpan untuk operasi penjumlahan, dan tehnik meminjam untuk operasi pengurangan. Sesuai pula dengan
kurikulum, menjumlahkan atau mengurangkan susun ke bawah di Kelas I memiliki dua cara yaitu cara panjang dan cara pendek. Jika mengikuti urutan materi pada buku cetak murid yang dipakai di sekolah, maka baik materi penjumlahan atau pengurangan cara panjang selalu lebih dahulu diajarkan sebelum cara pendek diberikan. Saya mengikuti saja urutan pembelajaran seperti yang dituliskan pada buku. Saya yakin bahwa begitulah sebenarnya urutan pelajaran diberikan, karena tentu akan sulit bagi murid memahami penjumlahan untuk angka-angka yang lebih besar kelak andaikan pemahaman nilai tempat yang terkandung dalam penyelesaian cara panjang tidak dikuasai. Seperti keharusan ketika awal menjelaskan sebuah konsep kepada siswa Kelas I Sekolah Dasar, penggunaan alat peraga harus dilakukan. Saya juga telah melakukan hal itu ketika saya menjelaskan penjumlahan pada awal konsep itu diberikan. Beragam sajian menggunakan benda konkret seperti, kelereng, sedotan, atau krayon untuk menjelaskan penjumlahan telah saya sajikan. Kemudian ketika saya merasa murid telah menguasai konsepnya, saya mulai mengganti strategi mengajar dengan lebih formal menggunakan bahasa matematika (angka-angka). Tanggapan yang diperoleh dari murid ketika saya mengajarkan penjumlahan cara panjang dan kemudian diikuti dengan penjumlahan cara pendek adalah mereka mengatakan cara pendek ini ternyata lebih mudah. Murid berpendapat dengan menyelesaikan cara pendek mereka menyatakan penyelesaian menjadi lebih “gampang”. Saya juga memperhatikan hal tersebut, dan juga menyadari sebagian murid saya memang belum terlalu lancar dan benar menulis. Saya juga mengamati hasil mereka ketika menjumlahkan cara pendek tidak terlalu banyak kesalahan yang dilakukan. Akhirnya saya membuat keputusan, untuk materi pengurangan susun ke bawah saya mendahulukan
penulisan cara pendek dan dilanjutkan di sebelahnya bentuk panjangnya. Hasilnya seperti yang saya duga, murid dapat mengikutinya dengan baik. Saya mengamati, sekarang murid menganggap operasi pengurangan itu tidak sulit. Cara pendek mereka lakukan, akan tetapi cara panjang pun tetap dilakukan. Tahun kedua ini saya memutuskan, ketika masuk materi pengurangan susun ke bawah untuk bilangan lebih dari 10, saya akan mendahulukan penyelesaian cara pendek dan kemudian diikuti cara panjang di sebelahnya. Pendapat saya ini didukung oleh banyak orang tua yang bertanya dan beberapa guru yang berpendapat, apakah cara panjang ini masih perlu diajarkan? Di satu sisi saya juga merasa heran, mengapa murid lebih senang menyelesaikan soal operasi penjumlahan/ pengurangan dengan cara pendek. Terkadang saya juga mempertanyakan, tetapi bukan bermaksud mengecilkan pentingnya cara penyelesaian cara panjang. Bukankah yang paling penting dalam kenyataan sehari-harinya adalah murid menguasai pengurangan atau penjumlahan, tidak peduli itu dilakukan dengan cara panjang atau pendek! Berapa besar waktu yang dapat saya hemat untuk kemudian saya manfaatkan ketika mengajarkan materi lain yang lebih dianggap sulit oleh murid, dibandingkan menghabiskan waktu untuk belajar cara panjang sementara murid telah menguasai cara pendeknya! Mungkin ini hanya sebuah pemikiran sebagai guru SD yang lebih melihat kenyataan di lapangan untuk lebih banyak menghemat dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Saya dan kebanyakan guru lain menyadari begitu padat materi yang harus disampaikan di Kelas I SD, dan dirasakan sangat berat untuk mencapainya. Kalau bisa memanfaatkan peluang mengutak-atik waktu untuk sebuah materi,
sehingga waktu yang ada dapat digunakan untuk materi lain yang dirasakan lebih memerlukan waktu banyak, kenapa tidak? (Pengalaman Ibu Kiki, guru SD di Sukabumi).
Masalah di dalam kelas yang dialami tiap guru memang sangat beragam, misalnya masalah yang dihadapi murid ketika menyelesaikan hitungan matematika. Kasus yang dialami guru di atas dimana dia akan menerapkan pengurangan cara pendek baru kemudian diikuti cara panjang di sebelahnya di Kelas I SD, menurut saya pilihan yang paling baik sangat tergantung kepada kemampuan daya serap murid terhadap materi yang diberikan. Saya berpendapat mendahulukan penyelesaian cara panjang masih tetap diperlukan untuk diajarkan dengan beberapa alasan berikut: (1) murid perlu memahami letak nilai tempat antara satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan, (2) murid memang akan lebih mudah menuliskan dan menyelesaikan operasi pengurangan dengan cara pendek, tetapi biasanya mereka akan lebih cepat lupa, (3) dengan bentuk penyelesaian operasi pengurangan cara panjang memang sedikit lebih lama dalam menuliskannya, akan tetapi mereka lebih lama mengingat. Akan tetapi walau bagaimana pun saya tetap memiliki prinsip bahwa semua hal tergantung pada daya serap murid, dan guru harus mengenal itu pada murid-muridnya. (Riris Pasaribu seorang guru SD dan mahasiswa S1 PGSD UT). Berdasarkan pengalaman saya mengajar selama ini, penyelesaian operasi pengurangan cara panjang masih sangat diperlukan. Karena dengan cara panjang murid dapat memisahkan bilangan yang dinyatakan dengan dua angka antara mana angka yang berarti puluhan dan
mana angka yang berarti satuan. Hal ini penting mengingat nantinya murid akan memasuki materi pengurangan dengan tehnik meminjam. Apabila murid sudah mampu memahami dan pandai menguraikan (memisahkan) mana puluhan dan mana satuan, jika ia mempelajari soal pengurangan dengan tehnik meminjam, maka murid akan memahami dari bagian mana peminjaman itu dilakukan. Hal yang perlu diingat oleh guru adalah bahwa penyelesaian dengan cara panjang ini tidak saja hanya akan dipelajari di kelas rendah saja, tapi juga akan diperoleh nanti di kelas tinggi pada bilangan-bilangan yang sudah mengandung puluh ribuan atau ratus ribuan. Berdasarkan hal ini, nampak bahwa pemahaman pentingnya mengajarkan cara panjang terlebih dahulu sangat diperlukan. (Kamsiati, Guru SD dan juga mahasiswa S1 PGSD UT, telah mengajar di SD selama + 25 tahun). Jika kita menelaah kurikulum, maka akan terlihat bahwa tehnik penyelesaian operasi penjumlahan/pengurangan cara panjang dan pendek memang menjadi salah satu materi yang diajarkan kepada murid SD. Bahkan secara spiral cara itu diulang di tiap tingkat sesuai dengan semakin besarnya bilangan yang dioperasikan. Guru perlu menyadari bahwa perlunya materi itu disajikan karena di dalamnya mengajarkan suatu pemahaman akan sebuah makna dan sebuah konsep matematika. Ketika sebuah materi matematika disajikan, katakanlah dalam hal ini materi penjumlahan/pengurangan cara panjang di Kelas I SD, maka konsep yang ingin dikenalkan adalah mengenai nilai tempat. Nilai tempat adalah sebuah konsep yang sangat penting dimana bilangan yang digunakan selanjutnya adalah berbasis 10. Materi ini sangat penting, karena ketika penjumlahan/pengurangan kemudian berkembang dengan tehnik menyimpan atau
meminjam, maka pemahaman konsep nilai tempat menjadi penting. Pembelajaran penyelesaian operasi cara panjang mengandung makna di dalamnya yaitu latihan mengembangkan penalaran. Kemampuan menalar adalah salah satu kecakapan yang sangat penting yang harus dikuasai oleh seseorang setelah dia belajar matematika di sekolah. Adapun di sisi lain, penyelesaian cara pendek sebenarnya adalah akibat yang harus ditemukan oleh murid sendiri sebagai hasil belajar cara panjang sebelumnya. Cara pendek sebetulnya adalah sebuah tehnik yang mempercepat pengerjaan. Akan tetapi apabila itu diajarkan dengan tanpa pemahaman yang baik secara konsep, akan menjadikan murid justru kurang bernalar dan tidak kreatif. Lain halnya ketika murid telah memahami penjumlahan dan pengurangan sampai ratusan, guru kiranya dapat tidak mengajarkan kembali secara khusus materi cara panjang ini kepada murid. Analogi dapat dikembangkan guru untuk menyelesaikan soal operasi penjumlahan/pengurangan pada ribuan, puluh ribuan, atau ratus ribuan, atau dengan memberikan apersepsi secukupnya. Jadi dengan kata lain, guru harus dapat memahami kurikulum untuk dapat melakukan pengurangan dan penambahan waktu pada materi-materi tertentu, agar tidak demi mengurangi waktu maka kita mengorbankan pemahaman konsep mendasar yang seharus dikuasai murid. Akan halnya murid lebih menyukai cara pendek dalam menyelesaikan masalah, padahal sebetulnya mereka belum sebenarnya menguasai konsep operasi cara panjang, mungkin guru perlu melihat kembali proses pembelajarannya. Saya kira jika guru dalam menyajikan cara panjang banyak menggunakan beragam penyajian dan alat peraga, serta tidak langsung menggunakan tulisan
formal berupa kalimat matematika (angkaangka), maka saya menduga murid akan menyenangi juga penyelesaian cara panjang. Pesan saya hendaklah guru berlama-lama mengajar sebuah konsep, dan tidak terburuburu berpindah penyajian hingga yakin siswa menguasai konsep tersebut. (Anton N., Dosen PGSD sebuah LPTK Negeri di Jakarta).
Kasus-kasus dalam Pembelajaran Matematika di Kelas Awal SD (Hasil Studi Kasus di SD Program Manajemen Berbasis Sekolah) Tim Penulis Studi Kasus: Dra Maratun Nafiah, MPd Drs Dudung Amir Sholeh, MPd Dra Anton Noornia, MPd Ketua Tim Kerjasama UNESCO - FIP UNJ: Drs Karnadi, MPd Anggota: Drs Tono Bintoro, MPd, Drs Sri Koeswanto Wongsonadi, MSi Tim Editor UNESCO: Ketua: Anwar Alsaid Anggota: Faesol Muslim, Laurens Kaluge, Rusyda Djamhur Designer & Layout : Lorem Design Diterbitkan oleh UNESCO Office, Jakarta Jl. Galuh II No. 5 Kebayoran Baru PO Box 1273 / JKT 10002 Jakarta 12110, INDONESIA Tel. :+62 (21) 739 98 18 Fax :+62 (21) 7279 64 89 E-mail:jakarta@unesco.org ŠUNESCO Cetakan pertama Desember 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang Dicetak oleh Lorem Design ISBN 978-979-96020-5-3