Shihatud Diniyah An Nabilah, Muhammad Rangga Noor Sabila.
Ainurrifda Sakinatullatifah, Khansa Nabila
Kontributor:
Adrian Vito, Aura Najma Ramadhani, Dwi Rahayu Lestari, Faizal Bintang Bittondo, Fajar Fahrozi Kurniawan, Muhammad
Adi Nugroho, Muhammad Fatih Atijani, Muhammad Muhajirin, Muhammad Nauval Fitri, Muhammad Ryan Yulianto, Sifana Ardiyanti, Syafina Najwa, Zidni Rosyidah
8- Sutardji Calzoum Bachri ; Penyair Pembebas Kata
11- Belajar Membaca Sastra
ULASAN SASTRA
16- Pembawa Nafas Baru Puisi di Indonesia
CERPEN
20- Always In My Heart
28- Indahnya Memiliki Sahabat
30- Janji Dua Menara
42- Jejak di Angin
RESENSI
46- Revolusi Berpikir ala Tan Malaka
50- Politikus dalam Cermin dan Sisi Lain Demokrasi
54- Antara Moral dan Kekuasaan: Menyingkap Sisi Gelap Oligarki
PUISI
58- Aksara Merangkai Makna
60- Rindu
61- Roda Kehidupan
62- Untaian Kata Berjuta Makna
Sapa Kita
Sekapur Sirih
Sastra merupakan cermin kehidupan yang mampu merefleksikan segala pengalaman manusia. Dalam sastra kita dapat merasakan apa yang dirasakan penulis. Dalam sastra kita juga dapat menyalurkan ide-ide atau bahkan suasana hati yang mungkin terlalu sulit untuk diucapkan oleh bibir, entah itu sedih, marah, maupun bahagia. Dalam tulisan ini, kami mengajak pembaca untuk menyelami pesona keindahan dunia sastra melalui rangkaikan kata dan perjalanan penuh emosional penulis.
Alhamdulillah, masih dengan bahasa dan keindahannya, penuh rahmat dan syukur Beranda Sastra Edukasi (BSE) Suburkan Taman Jiwa Edisi XXII telah terbit. Teriring atas izin-Nya dan dengan segala tetes semangat penuh senyum, serta kebersamaan para redaktur untuk melahirkan BSE kali ini dengan tema “Belajar Sastra dari Sang Presiden Puisi Abadi”.
Kami, segenap tim redaksi ingin mengulik seorang penyair terkemuka Indonesia yang dikenal sebagai pelopor sastra angkatan 1970-an, yaitu Sutardji Calzoum Bachri. Dalam karya-karya Sutardji seperti puisi, cerpen, dan esai yang ditulis dengan ciri khas penulisannya dan filosofisnya.
Sutardji yang masih terus berkontribusi dalam dunia sastra hingga saat ini, membuatnya mendapat julukan “Datuk Seri Pujangga Utama” oleh Lembaga Adat Melayu Riau pada tahun 2018 lalu. Dalam dunia sastra tidak ada batasan, tidak ada ikatan yang mampu menghalangi, tidak ada kata berhenti selain hanya untuk merasa.
Di edisi kali ini, BSE menyuguhkan ulasan sastra dengan beberapa essai, cerpen, resensi, puisi, dan ulasan sastra terkait tokoh Sutardji Calzoum Bachri. Semoga beberapa tulisan tersebut dapat menjembatani pada pembahasan tema kali ini.
Semoga dengan terbitnya BSE edisi kali ini, memberikan warna yang baru bagi pembaca untuk bisa menambah wawasan mengenai indahnya dunia sastra. Semoga karya-karya yang tersaji mampu menghibur pembaca di tengah-tengah dunia yang serba penuh dan cepat ini.
Selamat membaca, tetap majukan kesusastraan Indonesia!
Sumber: www.rmolaceh.id
Sutardji Calzoum Bachri; Penyair Pembebas Kata
Adrian Vito
Sutardji Calzoum Bachri, lebih akrab dikenal dengan Sutardji CB, adalah salah satu tokoh sastra paling berpengaruh dalam dunia puisi di Indonesia. Ia dikenal sebagai penyair pembebas kata, seorang revolusioner yang mendobrak konvensi puisi dengan gagasan-gagasan segarnya mengenai bahasa dan penyairan. Karyanya bukan hanya sekadar penyampaian makna, tetapi lebih pada permainan bunyi, bentuk, dan kebebasan berbahasa.
Salah satu kontribusi terbesar Sutardji dalam dunia puisi Indonesia adalah konsep “pembebasan kata”. Dalam manifesto yang dipublikasikan pada 1973, Sutardji menyatakan bahwa kata tidak lagi harus tunduk pada makna seperti yang telah ditentukan oleh konvensi bahasa. Ia menolak pengertian bahwa kata-kata dalam puisi harus memiliki makna tertentu atau harus diarahkan untuk menyampaikan pesan logis. Bagi Sutardji, kata-kata adalah entitas bebas yang harus dilepaskan dari keterikatannya pada makna harfiah. Kata
Sutardji Calzoum Bachri; Penyair Pembebas Kata
kata bisa memiliki kehidupan sendiri dan menjadi simbol yang bebas. Sementara eksistensinya tidak bergantung pada makna tertentu yang diberlakukan oleh penulis atau pembaca.
Dengan gagasan tersebut, Sutardji menempatkan kata-kata sebagai pusat dari puisi. Bukan sebagai medium untuk mengungkapkan ide, melainkan sebagai objek yang memiliki nilai estetikanya sendiri. Ia melepaskan kata dari belenggu logika dan membuka ruang bagi permainan bunyi, irama, dan asosiasi bebas. Dalam karyanya, puisi menjadi semacam ritual yang lebih dekat dengan mantra, dimana kekuatan bunyi dan pengulangan lebih diutamakan daripada pesan yang jelas.
Salah satu ciri khas karya Sutardji adalah penggunaan kata-kata yang dipecah, dipotong, diulang, atau dipermainkan sedemikian rupa sehingga menciptakan efek bunyi yang ritmis. Puisi-puisinya seringkali tidak mudah dipahami secara makna karena ia memang tidak berusaha menyampaikan makna eksplisit. Sebagai contoh, dalam puisi “O”, Sutardji bermain-main dengan bunyi dan pengulangan, menciptakan suasana yang hampir mirip dengan nyanyian atau doa.
Keunikan lain dari karya Sutardji adalah kecenderungannya untuk menggunakan kata-kata sederhana, tetapi diolah dengan cara yang tidak biasa. Ia sering kali menciptakan puisi yang hanya terdiri dari beberapa kata, tetapi pengulangan dan permainan bunyi membuatnya terasa hidup dan dinamis. Pendekatan ini membawa puisi ke level yang lebih mendekati bentuk ekspresi artistik daripada sekadar medium komunikasi.
Sutardji memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan puisi modern Indonesia. Gagasannya tentang pembebasan kata membuka jalan bagi para penyair lain untuk bereksperimen dengan bentuk dan bahasa. Ia menginspirasi generasi berikutnya untuk tidak terikat pada aturan-aturan baku dalam penulisan puisi dan untuk mengeksplorasi kebebasan kreatif dalam menciptakan karya-karya yang orisinal.
Edisi XXII/Th.25/2025
Meskipun gagasan Sutardji dihargai oleh banyak kalangan, ia juga menghadapi kritik. Beberapa kritikus menganggap bahwa pendekatannya terhadap puisi cenderung mengaburkan makna dan membuat karya-karyanya sulit diakses oleh pembaca secara umum. Bagi mereka, puisi yang kehilangan makna menjadi sulit untuk dipahami. Namun, bagi Sutardji, hal ini tidak menjadi masalah. Ia justru melihat kebebasan kata sebagai bentuk seni murni, dimana kekuatan puisi terletak pada pengalaman estetikanya, bukan pada pesan yang dikandungnya.
Sutardji Calzoum Bachri adalah sosok revolusioner dalam sastra Indonesia yang berhasil mendobrak batasan-batasan konvensional dalam puisi. Melalui gagasan pembebasan kata, ia menciptakan puisi yang hidup dan dinamis, dimana kata-kata menjadi objek seni itu sendiri. Karya-karyanya membawa pengaruh besar bagi perkembangan puisi modern Indonesia dan menginspirasi para penyair untuk lebih berani dalam bereksperimen dengan bahasa. Meskipun pendekatannya menghadapi kritik, Sutardji tetap menjadi figur penting yang membuka ruang baru bagi perkembangan sastra Indonesia. Esai
Belajar Membaca Sastra
Belajar Membaca Sastra
Faizal Bintang Bittondo
Sumber: pixabay.com
Sutardji Calzoum Bachri adalah sosok revolusioner dalam sastra Indonesia yang berhasil mendobrak batasanbatasan konvensional dalam puisi. Melalui gagasan pembebasan kata, ia menciptakan puisi yang hidup dan dinamis, dimana kata-kata menjadi objek seni itu sendiri. Karya-karyanya membawa pengaruh besar bagi perkembangan puisi modern Indonesia dan menginspirasi para penyair untuk lebih berani dalam bereksperimen dengan bahasa. Meskipun
pendekatannya menghadapi kritik, Sutardji tetap menjadi figur penting yang membuka ruang baru bagi perkembangan sastra Indonesia. Namun, untuk benar-benar menikmati dan memahami sastra, seseorang perlu lebih dari sekadar membaca kata-kata, diperlukan keterampilan khusus dan pendekatan yang mendalam untuk menggali makna dan nuansa yang tersembunyi di dalamnya. Ada banyak cara-cara efektif untuk belajar membaca sastra, manfaat yang bisa diperoleh, serta tantangan yang mungkin dihadapi oleh seorang pembaca. Penting untuk menyadari bahwa sastra merupakan bentuk seni yang unik. Berbeda dari tulisan informatif atau berita, sastra sering menggunakan bahasa figuratif, simbolisme, dan berbagai teknik sastra lainnya untuk menyampaikan makna yang lebih dalam. Oleh karena itu, belajar membaca
Edisi XXII/Th.25/2025
sastra bukan hanya tentang memahami kata-kata secara harfiah, tetapi juga tentang menginterpretasikan makna yang tersembunyi di balik kata-kata tersebut. Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali dan menganalisis tema, motif, simbol, serta penggambaran karakter yang sering kali memiliki makna lebih dalam dari apa yang terlihat. Sastra menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan ide, emosi, dan imajinasi. Oleh karena itu, membaca karya sastra memerlukan kemampuan menganalisis berbagai unsur teks seperti gaya bahasa, struktur narasi, tokoh, simbolisme. Dengan memahami unsur-unsur tersebut, pembaca dapat menangkap makna teks lebih dalam dan mengapresiasi keindahan bahasa yang digunakan penulis (Tillyard, 1958).
Langkah awal yang efektif dalam belajar membaca sastra adalah dengan membaca secara aktif dan reflektif. Ini berarti pembaca harus benar-benar terlibat dengan teks, memperhatikan detail-detail kecil seperti pilihan kata, gaya bahasa, dan struktur cerita. Pembaca juga perlu meluangkan waktu untuk merenungkan apa yang mereka baca, mempertanyakan maksud penulis dan bagaimana elemen-elemen cerita mendukung pesan keseluruhan. Membuat catatan atau menulis jurnal tentang pemikiran dan perasaan selama membaca juga bisa membantu pembaca untuk lebih mendalami teks. Memahami konteks sejarah dan budaya penulis, pembaca dapat lebih memahami makna dan relevansi teks tersebut. Selain membaca dengan aktif, penting juga untuk mengenali dan memahami tema utama serta motif dalam karya sastra. Tema adalah gagasan atau pesan utama yang ingin disampaikan penulis, sedangkan motif adalah elemen yang sering muncul dan membantu mengembangkan tema tersebut. Misalnya, dalam novel “To Kill a Mockingbird” karya Harper Lee, tema keadilan dan prasangka rasial diangkat melalui berbagai motif seperti proses pengadilan dan hubungan antar karakter. Dengan mengenali tema dan motif, pembaca bisa lebih memahami makna mendalam dari teks dan cara penulis menyampaikan pesan. Menganalisis karakter juga merupakan bagian penting dalam belajar
Belajar Membaca Sastra
membaca sastra. Karakter dalam sastra sering kali kompleks dan berkembang seiring berjalannya cerita. Dengan memperhatikan bagaimana karakter berubah dan berkembang, serta bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, pembaca dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang tema dan pesan dari karya sastra.
Selain manfaat intelektual, belajar membaca sastra juga memberikan manfaat emosional dan psikologis. Sastra memungkinkan pembaca untuk merasakan berbagai emosi dan perspektif yang mungkin belum pernah mereka alami. Ini dapat meningkatkan kemampuan berempati, yang penting dalam membangun hubungan yang sehat dan bermakna. Membaca tentang pengalaman orang lain dapat membantu seseorang memahami perasaan mereka, bahkan jika mereka berbeda dari dirinya. Dengan demikian, sastra dapat menjadi alat yang efektif untuk mengembangkan empati dan pemahaman antar manusia. Membaca pengalaman orang lain dapat membantu seseorang untuk memahami perasaan mereka. Oleh karena itu, sastra dapat menjadi alat yang efektif untuk mengembangkan empati dan pemahaman antar manusia (Nussbaum, 1995).Namun, belajar membaca sastra tidak selalu mudah. Ada beberapa tantangan yang mungkin dihadapi oleh pembaca, terutama mereka yang baru memulai. Bahasa yang sulit dan kuno, struktur cerita yang rumit, serta kurangnya pengetahuan tentang konteks budaya dan sejarah bisa menjadi hambatan.
Sumber: jateng.tribunnews.com
Untuk mengatasi tantangan ini, pembaca bisa memanfaatkan berbagai sumber bantuan seperti kamus, glosarium, catatan kaki, dan esai kritis. Membaca edisi modern atau edisi yang dilengkapi penjelasan juga bisa sangat membantu (Eagleton, 1983). Untuk benar-benar menghargai sastra, penting juga untuk membaca secara luas dan eksploratif. Jangan hanya fokus pada satu jenis sastra atau karya dari satu budaya. Menjelajahi karya-karya dari berbagai genre, periode, dan latar belakang budaya dapat memperkaya pemahaman kita tentang sastra dan kehidupan secara umum. Membaca karya sastra dari berbagai belahan dunia dapat membuka wawasan kita terhadap berbagai perspektif dan pengalaman yang berbeda, yang pada akhirnya akan memperluas pemahaman kita tentang kemanusiaan.
Membaca karya sastra dari berbagai belahan dunia dapat membuka pemikiran seseorang terhadap berbagai perspektif dan pengalaman yang berbeda, yang pada akhirnya akan memperluas pemahaman seseorang tentang kemanusiaan (Damrosch, 2003). Pada akhirnya, belajar membaca sastra adalah sebuah perjalanan yang berkelanjutan. Tidak ada akhir yang pasti, karena setiap karya sastra menawarkan sesuatu yang baru untuk ditemukan dan dipahami. Dengan pendekatan yang tepat dan kemauan untuk belajar, membaca sastra bisa menjadi pengalaman yang sangat memuaskan dan memperkaya. Sastra bukan hanya tentang menikmati cerita, tetapi juga tentang memahami kehidupan dalam segala kompleksitas dan keindahannya, dengan membaca sastra, seseorang belajar lebih banyak tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Singkatnya, belajar membaca sastra adalah sebuah perjalanan yang memerlukan keterampilan dan pemahaman yang mendalam. Dengan memahami unsur-unsur penting karya sastra, seperti tema, motif, simbol, dan tokoh, serta konteks budaya dan sejarah, pembaca dapat menemukan makna dan nilai yang
Belajar Membaca Sastra
terkandung dalam karya sastra. Selain itu, membaca karya sastra juga membawa manfaat intelektual, emosional, dan psikologis yang berharga. Dengan pendekatan yang tepat dan kemauan belajar, membaca karya sastra bisa menjadi pengalaman yang sangat memuaskan dan memperkaya.
Edisi XXII/Th.25/2025
Ulasan Sastra
Ulasan Sastra
Pembawa Nafas Baru
Puisi di Indonesia
Fajar Fahrozi Kurniawan
Sastra dalam setiap zamannya mempunyai ciri khas tersendiri. Ia hadir memberi sebuah warna dalam kehidupan, tumbuh di dalam keseharian, hingga menyelinap di antara realitas dan imajiner. Sastra bukan hanya bentuk karangan belaka, bukan pula sekadar alam khayali sang penulis saja. Namun, sastra memiliki fungsi dan tempatnya tersendiri dalam setiap perannya di kehidupan ini.
Menelisik perjalanan sastra dari masa lampau hingga saat ini, khususnya di dalam dunia perpuisian Indonesia. Dalam sejarahnya, karya puisi sarat akan penggambaran ekspresi tertentu dari masa ke masa. Puisi pra kemerdekaan mengedepankan semangat kebangsaan dan nasionalisme, pasca kemerdekaan memperjuangkan identitas nasional dan membangun kesadaran patriotik, hingga masa kontemporer dengan eksplorasi macam tema yang sudah merambah ke mana-mana.
Keadaan yang dirasakan para sastrawan dari masa ke masa, turut melahirkan karya-karya yang fenomenal. Salah satunya, karya dari Sutardji Calzoum Bachri hingga mendapat julukan presiden penyair Indonesia, ia merupakan salah satu pelopor penyair angkatan 1970-an. Jika kebanyakan dari sastrawan cenderung mengedepankan estetika kata dan kedalaman makna, Sutardji berusaha mendobrak dunia perpuisian dengan menyajikan gubahan kata bagaikan mantra, serta berusaha memadukannya dengan tipografi yang apik.
Sumber: pixabay.com
Sumber: pinterest
Nafas Baru Puisi di Indonesia
Munculnya Karya Fenomenal
Karya Sutardji berjudul O merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra Horison pada tahun 1973.
Karya ini menjadi titik awal ia dikenal sebagai presiden penyair Indonesia, hingga menjadi perhatian dunia sastra di Indonesia.
Puisi O ini menceritakan tentang kegelisahan yang dirasakan oleh penyair. Perasaan yang diserupakan dengan kata bolong dan kosong seperti huruf O, bisa berarti kehampaan dan kekosongan yang dirasakan oleh penyair. Selain itu, setiap kata di dalamnya menyerupai mantra yang menyiratkan bahwa puisi itu adalah doa. Keresahan dan kesedihan yang digambarkan dalam puisi ini, semuanya hanya bisa dikembalikan pada Tuhan.
Karya kumpulan puisinya yang lain terbit di majalah yang sama, karyanya berjudul Amuk kembali dimuat pada tahun 1976. Pada tahun 1979, terbit kumpulan puisinya yang ketiga berjudul Kapak. Kemudian, pada tahun 1981 ketiga kumpulan puisinya dibukukan dan diterbitkan oleh Sinar Harapan dengan judul O Amuk Kapak.
Edisi XXII/Th.25/2025
Karakteristik Presiden Penyair Indonesia
Sutardji dipandang oleh para pakar sebagai pembawa nafas baru perpuisian Indonesia. Penyebutan ini bukan semata-mata diucapkan sekenanya saja, tetapi penyebutan ini berakar pada setiap karyanya yang tumbuh dengan karakteristik berbeda, bahkan belum pernah dikenal oleh penyair di eranya.
Ia juga dikenal melalui tulisannya Kredo Puisi yang terdiri
dari sepuluh alinea, ditulis di Bandung pada 30 Maret 1973. Alinea pembuka diawali dengan pandangannya mengenai pengertian dari kata itu sendiri, “Kata-kata bukanlah alat pengantar pengertian.
Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia Bebas.” Serupa dengan paragraf pertengahan yang berbunyi, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.”
Kredonya kemudian ditutup dengan paragraf berikut, “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah ‘Kata’. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”
Dalam tulisannya, ia memberikan pandangan mengenai makna kata secara umum, dan maksud dalam karyanya secara khusus. Kredo Puisi dapat dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban Sutardji terhadap perlakuan kata dalam karyanya, dan bagaimana puisinya dapat dipahami pembaca melalui karakteristik tulisannya.
Cerita Pendek
Cerita Pendek
Always In My Heart
Aura Najma Ramadhani
Sumber: pexels.com
Halo teman-teman!
Kenalin, aku Bintang. Aku punya satu adik kecil
bernama Xavier. Kami beda usia
3 tahun. Sekarang aku kelas 9 SMP, sedangkan Xavier kelas
6 SD. Aku dan adikku bersekolah di yayasan yang sama, yaitu Yayasan Cita Sweni. Di sana, ada jenjang pendidikan lengkap mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai perguruan tinggi.
Kami lahir dari keluarga yang harmonis dan sederhana. Ayahku bekerja sebagai dokter spesialis jantung, sementara Bundaku adalah seorang dok-
ter bedah. Karena kesibukan mereka, aku dan adikku sering dititipkan ke nenek ketika mereka bekerja. Awalnya, kami sempat berpikir kalau orang tuaku sudah tidak sayang lagi pada kami. Namun, seiring waktu, aku mulai memahami alasan mereka bekerja begitu keras. Semua itu dilakukan agar kami, anak-anaknya, tidak kekurangan apapun. Meskipun begitu, aku tetap merasa sedikit kurang kasih sayang. Tapi untungnya, setiap hari Minggu selalu ada waktu untuk family time.
Di sekolah, aku dikenal sebagai anak yang cukup nakal. Mulai dari sering bolos, mengerjai guru, membully teman, hingga jarang mendapatkan nilai bagus di kelas. Tapi, meskipun begitu, Ayah dan Bunda tetap sabar menghadapi semua kenakalanku. Terutama Ayah, kesabarannya benar-benar seluas samudra.
Lagi-lagi orang tuaku dipanggil ke hadapan kepala sekolah. Rasanya mungkin sudah seribu kali mereka harus datang karena ulahku. Tapi kali ini terasa berbeda. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, aku melihat wajah Ayah yang penuh amarah. Tanpa berkata apaapa, Ayah langsung pergi tanpa menyapaku yang berdiri tepat di hadapannya. Bunda kemudian mengajakku pulang, meskipun kelas belum selesai. Aku merasa bingung melihat sikap Ayah dan Bunda yang tampak seperti sedang kesetanan. Jujur saja, aku sampai merasa ketakutan melihat raut wajah mereka. Di dalam mobil, suasana begitu hening. Tidak ada satu pun dari kami yang bersuara.
In My Heart
Aku ingin sekali menanyakan soal surat yang tadi mereka terima, tapi rasanya tidak enak untuk membuka pembicaraan. Sesampainya di rumah, Ayah memintaku untuk duduk di ruang keluarga, sementara Ayah dan Bunda masuk ke kamar. Entah apa yang sedang mereka bicarakan di dalam sana. Tak lama kemudian, Bunda keluar sambil membawa sebuah kertas—surat yang tadi pagi diberikan oleh kepala sekolah. Wajahnya penuh dengan kekecewaan. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku, diikuti oleh Ayah yang terlihat lebih kecewa daripada Bunda.
“Nak, sudah tahu ‘kan ini surat apa?” tanya Bunda.
Aku menggelengkan kepala, karena aku memang tidak tahu isi surat itu.
“Kaka… Kaka sudah diDO, sudah di-drop out dari sekolah karena kenakalan sendiri.
Kaka juga sudah di-blacklist,” kata Bunda dengan suara lembut tapi penuh luka.
“Berhubung Kaka sudah besar dan mulai mandiri, Bunda
Cerita Pendek
mau pesantrenin Kaka ya, boleh?”
“Ka… Kaka di-DO? Pesantren, Bun?” tanyaku kaget.
“Iya, Kak, pesantren. Gak apa-apa kan, Nak?” tanya Bunda lagi, kali ini dengan wajah penuh harap.
“Iya, gak apa-apa kok, Bun. Kakak ikhlas, kalau memang itu yang terbaik buat Kakak,” jawabku dengan suara bergetar.
“Masya Allah, anak Ayah,” celetuk Ayah kagum.
“Iya, Yah, aku ikhlas. Tidak apa-apa,” ucapku pasrah, hampir menangis.
“Kalau begitu, lusa kita mulai berangkat ke pesantren ya, Nak. Bunda sudah daftarkan Kaka di sana,” kata Bunda.
“Iya, Bun, siap,” jawabku dengan lemah.
“Kalau begitu, Kakak mulai packing ya!” ucap Bunda, kali ini dengan nada tegas.
Aku kembali ke kamar dan menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa aku harus pergi ke pesantren. Aku tidak tahu seperti apa tem-
pat itu—apakah pesantren benar-benar seburuk bayanganku, seperti penjara? Aku takut akan kesepian di sana. Padahal masa-masa SMP-ku hampir selesai, tapi kenapa aku harus di-DO?
Aku tahu aku banyak salah, tapi apakah kesalahanku begitu fatal? Kenapa hanya aku yang diDO? Rasanya ini tidak adil.
“Tuhan, tolong bantu aku.
Aku takut kesepian, takut tidak punya teman. Kalau memang pesantren tempatku belajar menjadi lebih baik, tunjukkanlah karunia-Mu,” doaku lirih sambil memasukkan pakaian ke dalam tas.
Bunda sudah mempersiapkan banyak baju gamis dan kerudung untukku. Aku melihatnya dengan sedikit bingung. “Bun, ini banyak banget. Aku nanti harus pakai baju ini terus ya? Apa nggak panas, Bun?” tanyaku.
“Enggak, Nak. Buktinya Bunda juga nggak merasa panas pakai baju ini,” jawab Bunda sambil tersenyum.
“Iya deh, Bun. Makasih ya, udah beliin Kaka banyak baju.”
“Sama-sama, Kaka cantik.”
“Yaa, Bunda malah ngegombal,” balasku sambil tersenyum tipis.
“Kaka, nanti di sana jaga kesehatan ya. Bunda udah masukin obat-obatan yang mungkin Kaka perlukan,” pesan Bunda.
“Iya, Bun. Siap.”
“Kalau gitu, sekarang Kaka tidur ya. Besok kita berangkat,” ucap Bunda dengan lembut.
Waktu berjalan cepat, dan akhirnya hari keberangkatan ke pesantren pun tiba.
“Loh, Ka Bintang mau ke mana?” tanya Xavier sambil memandangku dengan mata polosnya.
“Ka Bintang mau nginap sebentar, Dek, biar dapat ilmu banyak. Ka Bintang pamit dulu ya. Xavier baik-baik di rumah, ya?” kataku mencoba menghibur.
“Yah, nanti aku main sama siapa, Ka?” balas Xavier dengan nada sedih.
“Main sama Bunda sama Ayah, kan mereka ada.”
Always In My Heart
“Kan beda,” katanya dengan wajah mulai memelas.
“Udah, jangan nangis ya. Kaka cuma pergi sebentar kok, nggak lama-lama.” aku tersenyum dan mengusap pipinya yang gembul.
“Iya, Ka. Kaka hati-hati ya di sana,” ucap Xavier dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, adikku yang manis,” jawabku sambil mencubit pipinya pelan. Dalam hati, aku berpikir, mungkin ketika aku pulang nanti, adikku sudah berubah dan nggak selucu ini lagi.
“Bintang siap?” tanya Ayah dengan nada gembira.
Mungkin ia senang karena anaknya akan mulai belajar hidup lebih baik di pesantren.
“Siap, dong, Ayah!” jawabku dengan senyum yang penuh kepasrahan.
Sumber: pixabay.com
Cerita Pendek
Di antara Ayah dan Bunda, aku memang paling dekat dengan Ayah. Dari kecil, banyak yang bilang aku sangat mirip Ayah—baik dari sifat, cara berbicara, cara bersosialisasi, hingga selera humorku. Aku memang sayang banget sama Ayah. Ayah nggak pernah banyak ngomel seperti Bunda, tapi tentu saja aku juga sayang Bunda.
“Yuk, berangkat!” ajak Bunda sambil membuka pintu mobil.
“Iya, Kapten! Dadah Ayah, dadah Adik!” aku melambaikan tangan sambil masuk ke mobil.
Jalan demi jalan kulalui, hingga akhirnya kami tiba di pesantren. Perasaanku bercampur aduk—cemas, khawatir, dan takut. Aku tak pernah membayangkan akan bersekolah di Pesantren Darul Amanah di Banten. Namun, saat melihat bangunan dan halaman yang begitu indah dengan suasana adem yang menenangkan, perlahan pikiran-pikiran negatifku mulai hilang.
“Eh, Assalamualaikum, Bu Liza. Ini anak saya yang saya bicarakan kemarin. Yang ingin masuk pesantren di sini,” sapa Bunda kepada seorang wanita paruh baya.
“Iya, Ka. Assalamualaikum,” pamit Bunda kepada kami.
“Waalaikumussalam,” jawabku bersama Bu Liza.
Setelah mobil Bunda tak lagi terlihat, Bu Liza mengantarku ke kamarku. Kami mulai mengobrol, ia orang yang ramah, membuatku mulai merasa nyaman dan percaya diri untuk bertahan di pondok ini.
In My Heart
“Nak Bintang, nanti kamarmu di Maskan Al-Azhar, Kamar 1 ya. Maskan ini khusus untuk anak baru, jadi tidak bercampur dengan anak lama. Teman-teman di sini juga sekelas denganmu. Kalau ada pelajaran yang sulit, bisa bertanya ke teman yang paham, atau kalau perlu, datang saja ke kamar Ibu di Maskan Indonesia 1. Sing betah ya, Ndok. Ibu ke kamar dulu.”
“Iya, Bu. Terima kasih banyak,” jawabku dengan sopan.
“Sama-sama, Ndok. Assalamualaikum,” pamit Bu Liza.
“Waalaikumussalam, Bu,” jawabku menahan rasa haru.
Aku segera bergegas ke kamar untuk merapikan baju-bajuku. Rasanya lelah sekali setelah perjalanan panjang menuju pedalaman Banten. Meski aku mulai menyukai tempat ini yang asri dan menenangkan, rasa rindu rumah tak bisa kuhindari.
Di kamar, aku berkenalan dengan Ria, teman sekamarku
Cerita Pendek
yang ternyata juga sekelas denganku. Ia menjadi teman pertama yang kumiliki di pondok. Ria sangat pintar, dan aku merasa beruntung bisa berteman dengannya.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai merasa nyaman di sini. Permasalahan yang awalnya terasa berat kini bisa kuselesaikan satu per satu. Namun, aku sempat merasakan homesick, terutama saat menelpon rumah dan tidak bisa berbicara dengan Ayah. Aku rindu Ayah. Ayah bukan hanya orang tuaku, tapi juga cinta pertamaku.
Rasanya sedih ketika Ayah lebih memilih pekerjaannya daripada mengantarku ke pesantren. Namun, aku tahu Ayah melakukan semua itu demi aku.
Waktu berjalan cepat, dan ulangan akhir semester tiba. Aku kembali menelpon rumah untuk meminta doa dan mengabarkan bahwa aku akan segera pulang setelah berbulan-bulan menuntut ilmu. Namun, lagi-lagi Ayah tidak bisa berbicara denganku. Aku mulai bertanya-tanya, kena-
pa Ayah selalu menghindar? Ada apa dengan Ayah?
Setelah ujian selesai, tibalah pembagian rapor. Bunda menjemputku, tapi kali ini ada yang berbeda. Bunda mengenakan pakaian serba hitam.
“Bun, Ayah mana? Adik mana? Katanya mau ikut?” tanyaku heran.
“Adik ada di rumah, Nak. Ayah juga. Yuk, kita pulang,” jawab Bunda singkat.
“Kenapa Bunda pakai baju hitam? Kayak orang mau melayat aja.”
“Enggak, Ka. Kebetulan aja lagi pakai baju hitam,” ucap Bunda mencoba tersenyum.
Sepanjang perjalanan, hatiku tak tenang. Ada firasat buruk yang terus menghantui pikiranku. Bunda juga terlihat lebih diam daripada biasanya, tidak seceria saat mengantarku ke pondok dulu.
Setibanya di rumah, hatiku langsung mencelos. Rumah kami dikelilingi banyak orang berpakaian hitam, dan bendera kuning berkibar di depan.
Aku terpaku. Rasanya dunia runtuh seketika.
Always In My Heart
lam hidupku harus pergi duluan? Aku masih ingin bersama
“Bun, Ayah mana? Ini siapa? Siapa yang di balut kain jarik itu?” tanyaku panik dengan air mata mulai mengalir.
“Nak, Ayah sakit...” ucap Bunda dengan suara bergetar, menahan tangis.
“Bunda takut, Nak. Kalau kamu tahu Ayah sakit, kamu pasti enggak mau lanjut sekolah di pondok. Ayah juga ingin kamu tetap fokus belajar di sana.”
Aku terdiam. Rasa marah dan sedih bercampur menjadi satu. Aku berlari ke kamarku, mencoba mencerna semua ini.
“Kenapa harus Ayah, Tuhan? Kenapa sosok terbaik da-
Ayah lebih lama...,” ucapku sambil menangis terisak.
Pelan-pelan aku mencoba
mengikhlaskan kepergian Ayah. Bersama Bunda dan Adik, kami saling menguatkan, saling mengusap air mata. Kini aku tahu, kami harus melanjutkan hidup tanpa Ayah. Meski berat, aku akan selalu mengenang Ayah sebagai cinta pertama dan pahlawan terbaikku.
“I love you, Yah. Kakak sudah ikhlas. You are always in my heart.”
Sumber:pixabay.com
Cerita Pendek
Aku punya seorang sahabat bernama Habib. Dia berasal dari keluarga yang kaya raya. Suatu pagi, hujan turun dengan deras saat aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku bingung, bagaimana caranya bisa berangkat. Saat sedang menonton TV, tiba-tiba HP-ku berdering, dan aku segera mengangkatnya.
Ternyata, yang menelepon adalah Habib, sahabatku. Dalam teleponnya, Habib menanyakan kenapa aku belum berangkat sekolah. Dia tahu kalau aku sedang kebingungan karena hujan deras, jadi dia menawarkan untuk menyuruh sopir pribadinya menjemputku.
“Halo, Dwi, kenapa kamu belum berangkat sekolah?” tanya Habib.
“Halo, Habib. Iya nih, aku bingung, hujannya belum reda,” jawabku.
Indahnya Memiliki Sahabat
Dwi Rahayu Lestari
“Ya sudah, akus suruh supirku jemput ke rumahmu. Biar kamu diantar pakai mobil,” kata Habib.
“Nggak usah repot-repot, Habib,” sahutku, meskipun dalam hati merasa senang.
“Santai aja. Kita kan sahabat. Susah senang kita hadapi bersama,” jawab Habib dengan penuh kepastian.
“Baiklah, terima kasih ya,
Sumber: pexels.com
Beberapa menit kemudian, sopir pribadi Habib tiba di depan rumahku dengan mobil.
Aku pun pamit kepada ibu untuk berangkat ke sekolah. Ibu mengucapkan terima kasih kepada sopir Habib karena sudah merepotkan untuk menjemputku.
Setelah sampai di sekolah, aku masuk kelas. Beruntung, pelajaran pertama kosong karena
Indahnya Memiliki Sahabat
para guru sedang rapat, dan beberapa guru terlambat akibat hujan. Ketika bel istirahat berbunyi, aku dan Habib pergi ke kantin untuk menghilangkan rasa lapar sambil bergurau. Namun, saat hendak membayar makanan, aku baru sadar bahwa aku lupa membawa uang.
“Eh, aku lupa bawa uang, Habib. Gimana nih?” tanyaku panik.
“Tenang aja, Dwi. Aku bawa uang lebih kok,” ujar Habib sambil tersenyum.
“Terima kasih ya, Habib. Kamu memang sahabat terbaikku,” ucapku dengan lega.
“Iya, sama-sama. Kita sahabat selamanya,” jawab Habib dengan senyum lebar.
Akhirnya, Habib pun membayar semua makanan kami, dan kami kembali ke kelas dengan hati yang senang.
Jejak di Angin
Muhammad Ryan Yulianto
Alya tidak pernah menyangka pertemuannya den-
gan Danu akan menjadi awal dari perjalanan yang begitu indah sekaligus penuh luka. Hari itu, angin bertiup lembut di sekitar kampus ketika Alya baru saja keluar dari gedung fakultas, usai kelas sore yang membosankan. Ia berjalan cepat, berharap tiba di halte bus sebelum hujan turun. Namun, takdir, seperti biasa, punya rencana lain.
Saat tergesa-gesa menuju halte, Alya tak sengaja menabrak seseorang. Tubuhnya terhuyung
ke belakang, dan buku-bukunya jatuh berserakan di trotoar yang mulai basah. “Maaf!” serunya cepat, sambil berjongkok memungut buku-bukunya.
“Hei, tidak apa-apa. Itu juga salahku,” jawab seorang pria.
Suaranya lembut tapi terdengar jelas di antara deru angin yang makin kencang. Alya mendongak, menatap pria yang berjongkok di sampingnya, membantunya mengumpulkan bukubuku yang berserakan. Mata mereka bertemu, dan sesaat, waktu terasa berhenti. Ada sesuatu di tatapan pria itu—ketenangan yang aneh, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
“Aku Danu,” ujarnya sambil menyodorkan buku terakhir dengan senyum hangat yang membuat Alya sedikit kurang
canggung. “Dan kamu seharusnya tidak terburu-buru kalau cuacanya sudah begini.”
Alya tertawa kecil, meski masih merasa malu. “Aku Alya,” balasnya sambil menerima buku itu. “Aku hanya tak ingin kehujanan.”
“Dari langitnya, sepertinya sudah terlambat,” ujar Danu sambil melirik ke atas, ke awan gelap yang berkumpul. “Bagaimana kalau aku traktir kopi sambil menunggu hujan reda?”
Ajakannya yang tiba-tiba
membuat Alya terkejut, namun cara Danu berbicara membuatnya merasa aman. Itu adalah awal dari semuanya—pertemuan singkat yang berubah menjadi percakapan panjang di sebuah kafe kecil di sudut kota. Mereka berbicara tentang banyak hal: buku, film, mimpi-mimpi. Alya tak pernah merasa secepat itu terhubung dengan seseorang. Rasanya, Danu sudah lama menjadi bagian dari hidupnya, padahal mereka baru saja bertemu. Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu. Danu selalu punya cara untuk
Jejak di Angin
membuat hari-hari Alya lebih cerah, meski di tengah kesibukan dan kelelahan kuliah. Setiap kali mereka bersama, dunia seolah-olah melambat. Mereka sering bertemu di kafe favorit mereka, tempat di mana mereka bisa berbicara berjam-jam tanpa merasa waktu berlalu. Alya bahkan mulai menyukai bunyi deru angin yang dulu ia benci, karena setiap kali angin bertiup, itu mengingatkannya pada hari pertama mereka bertemu.
Suatu malam, setelah hujan turun deras sepanjang hari, mereka memutuskan pergi ke bukit kecil di pinggiran kota. Tempat itu sering menjadi pelarian bagi Danu, sebuah tempat yang sunyi di mana ia bisa menenangkan pikirannya.
“Ini tempat favoritku,” Danu berkata ketika mereka duduk di atas rumput basah, memandang lampu-lampu kota yang berkilauan di kejauhan. “Setiap kali aku merasa dunia terlalu bising, aku datang ke sini. Rasanya seperti semua masalah hilang saat angin bertiup.”
Alya menatap Danu saat angin dingin menerpa wajahnya.
Cerita Pendek
Di momen itu, ia menyadari bahwa Danu tidak hanya menjadi teman dekat baginya.
Ada perasaan lebih dalam yang tumbuh di hatinya, perasaan yang membuat dadanya terasa hangat setiap kali mereka bersama. Namun, ia tidak pernah mengungkapkan perasaan itu, tidak ingin merusak apa yang sudah mereka miliki. Lagipula, kebahagiaan kecil ini sudah cukup.
Hubungan mereka berkembang dalam kesederhanaan. Tidak ada drama besar, tidak ada pernyataan cinta yang berlebihan, hanya momenmomen kecil yang membuat Alya merasa hidupnya lebih berarti.
Seperti malam ketika mereka berdua duduk di tepi danau, hanya mendengarkan suara air dan angin. Danu mengambil tangan Alya dan menggenggamnya erat,
lah bahasa diam mereka, dan dalam keheningan itu, Alya tahu bahwa perasaan mereka satu sama lain lebih dari sekadar persahabatan. Namun, seperti angin yang selalu bergerak tanpa henti, hidup pun terus berputar tanpa bisa diprediksi. Alya selalu merasa bahwa kebahagiaan ini tidak akan bertahan selamanya, tetapi ia tidak siap menghadapi apa yang datang selanjutnya.
Satu tahun setelah malam di bukit itu, semuanya berubah. Alya ingat pagi itu dengan sangat jelas—setiap detail terukir dalam pikirannya, seolah menjadi bagian dari hidupnya yang tak bisa ia singkirkan. Hari itu cerah, tak ada tanda-tanda buruk akan datang. Danu menelponnya pagi-pagi sekali, mengajaknya sarapan di kafe kecil yang biasa mere-
Sumber: pixabay.com
“Aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan,” katanya. Suaranya terdengar berbeda, ada sedikit getaran yang membuat Alya penasaran.
Pertemuan itu tak pernah terjadi. Di tengah perjalanan, Danu mengalami kecelakaan. Mobilnya tergelincir di tikungan tajam saat jalanan licin karena hujan gerimis yang tiba-tiba turun. Alya menerima kabar itu dari seorang teman, namun ia sulit menerima kenyataan tersebut. Dunia seakan berhenti, dan semua kebahagiaan yang ia rasakan selama setahun terakhir sirna begitu saja. Ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang terus menghantui hari-harinya.
Selama berminggu-minggu, Alya terjebak dalam rasa kehilangan yang mendalam. Setiap hari terasa seperti pengulangan mimpi buruk yang sama. Dia berusaha menghindari tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama, namun kenangan Danu selalu datang, menyusup ke dalam pikirannya tanpa diundang.
Jejak di Angin
Suara angin di malam hari sering mengingatkannya pada momenmomen mereka berdua di bukit, ketika angin menjadi saksi kebersamaan mereka.
Sekitar sebulan setelah kecelakaan itu, Alya menerima paket yang tak terduga. Tidak ada nama pengirim, hanya sebuah amplop cokelat dengan alamat rumahnya tertulis di atasnya. Saat membukanya, dia menemukan sepucuk surat, ditulis dengan tangan yang sangat dikenalnya— tulisan Danu. Jantungnya berdegup kencang. Surat itu bertanggal sehari sebelum kecelakaan terjadi.
“Alya,” tulis Danu dalam surat itu, “aku tahu kamu mungkin tidak mengharapkan ini, tapi ada sesuatu yang harus kuberitahukan. Aku telah memikirkan ini selama berminggu-minggu dan merasa ini saat yang tepat untuk jujur denganmu. Aku harap kamu bisa memahami...”
Namun, sebelum Alya sempat membaca lebih jauh, tangannya gemetar dan surat itu jatuh ke lantai. Apa yang sebenarnya ingin Danu katakan padanya?
Cerita Pendek
Rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu. Alya menahan napas saat ia memungut surat itu dan membacanya perlahan. Isi surat itu mengejutkan—Danu mengakui bahwa dia sudah lama berjuang dengan penyakit yang tidak pernah dia ceritakan kepada siapa pun, bahkan kepada Alya.
Danu menulis tentang kondisi kesehatannya yang semakin memburuk dan bagaimana ia takut kehilangan Alya jika dia mengungkapkan segalanya. “Aku ingin melindungimu dari rasa sakit,” tulisnya. “Tapi sekarang aku tahu bahwa tidak jujur adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan.”
Alya merasa dunianya terbalik. Jadi, selama ini, Danu telah menyembunyikan rasa sakitnya, berusaha terlihat kuat di hadapannya. Kecelakaan itu, meskipun tragis, hanyalah bagian dari rahasia yang lebih besar yang Danu sembunyikan dari dirinya. Dan sekarang, setelah dia pergi, Alya harus menghadapi kenyataan bahwa dia tidak pernah benar-benar mengenal Danu
sepenuhnya.
Mencoba mengatasi rasa sakit itu, Alya memutuskan untuk kembali ke bukit yang selalu menjadi tempat pelarian mereka berdua. Tempat itu selalu membawa ketenangan baginya, dan dia berharap bisa menemukan sedikit kedamaian di sana. Saat sampai di puncak bukit, Alya melihat sesuatu yang tidak pernah dia duga. Ada sebuah kotak kecil yang terkubur setengah di bawah tanah, tepat di tempat mereka biasa duduk. Alya menggali dengan tangan gemetar dan mengeluarkan kotak kayu itu.
Di dalamnya, ada kumpulan surat lain, semuanya ditulis oleh Danu. Surat-surat itu ditulis selama berbulan-bulan, masing-masing mencatat pemikiran dan perasaannya tentang Alya. Ada surat yang ditulis ketika mereka pertama kali bertemu, surat ketika mereka pertama kali pergi ke bukit, dan yang paling mengejutkan, sebuah surat yang bertanggal sehari setelah kecelakaan itu. Bagaimana bisa ada surat dengan tanggal setelah kematian Danu?
“Jika kamu membaca ini,”
tulis Danu, “itu berarti aku sudah pergi. Tapi jangan takut, Alya.
Aku telah menyiapkan ini agar kamu tahu bahwa meskipun aku tidak ada di sampingmu lagi, aku akan selalu bersama kamu, dalam angin yang berhembus, di setiap langkah yang kamu ambil.”
Surat itu bukan hanya pesan perpisahan, tetapi juga petunjuk. Danu telah merencanakan semuanya. Alya mulai menyadari bahwa Danu tahu tentang kepergiannya jauh sebelum kecelakaan itu terjadi. Apakah itu sebuah kebetulan, ataukah Danu sudah tahu bahwa hidupnya akan berakhir? Pertanyaan itu terus menghantui Alya.
Setelah menemukan surat-surat itu, Alya merasa bahwa Danu telah merencanakan kepergiannya dengan cara yang aneh dan misterius. Setiap kali dia membaca satu surat, dia merasakan Danu ada di sisinya, seolah-olah angin yang menerpa wajahnya adalah pesan dari dunia lain. Namun, rasa penasaran mulai berubah menjadi kecurigaan.
Jejak di Angin
Bagaimana bisa Danu tahu begitu banyak tentang masa depan? Apa yang sebenarnya terjadi sebelum kecelakaan itu?
Dengan pikiran yang masih kacau, Alya memutuskan untuk kembali ke rumah tua keluarga Danu di pinggiran kota. Tempat itu pernah menjadi rumah penuh kenangan bagi Danu, tetapi sejak kematian orang tuanya, rumah itu telah kosong dan terbengkalai. Alya yakin bahwa di sana, dia mungkin akan menemukan jawaban atas semua misteri ini.
Di rumah tua yang sunyi itu, Alya menemukan lemari tua yang tersembunyi di ruang bawah tanah. Kunci kecil yang ia temukan di bukit pas cocok di lubangnya, dan dengan sedikit usaha, pintu lemari terbuka perlahan.
Di dalamnya, Alya menemukan sesuatu yang tak terduga—buku harian Danu.
Dengan tangan gemetar, Alya membuka halaman-halaman pertama. Buku harian itu penuh dengan tulisan Danu, mencatat hari-harinya selama berbulan-bulan sebelum kecelakaan itu terjadi. Tapi yang membuat Alya terguncang adalah
Cerita Pendek
isi dari halaman-halaman terakhir. Di sana, Danu menulis tentang kecelakaan yang seolah-olah sudah dia ketahui akan terjadi. Dia mencatat mimpinya tentang kecelakaan itu, bagaimana dia melihat dirinya sendiri di dalam mobil, dan bagaimana dia tak bisa menghentikan kejadian itu.
“Sepertinya takdir sudah tertulis untukku,” tulis Danu dalam satu entri. “Aku tak bisa melarikan diri dari itu, tapi yang paling kutakutkan adalah meninggalkan Alya tanpa memberinya penjelasan. Dia harus tahu bahwa ini bukan kecelakaan semata. Ada sesuatu yang lebih besar dari ini, sesuatu yang tak bisa kujelaskan sepenuhnya.”
Alya menutup buku itu dengan cepat, jantungnya berdegup kencang. Apakah Danu tahu dia akan mati? Bagaimana mungkin dia bisa begitu yakin? Rasa takut dan kebingungan melanda Alya. Seolah-olah semua yang dia tahu tentang hidup mereka bersama adalah kebohongan besar.
Setelah menemukan buku harian Danu di rumah tua kelu-
arganya, Alya merasa ada lebih banyak yang tersembunyi di tempat itu. Buku harian itu memberikan beberapa petunjuk, tetapi Alya merasa bahwa Danu sengaja meninggalkan sesuatu untuknya. Jadi, dia memutuskan untuk memeriksa rumah lebih lanjut, terutama ruang bawah tanah yang tampak belum pernah dibuka selama bertahun-tahun.
Di sana, tersembunyi di balik dinding berlapis debu, Alya menemukan sebuah kotak besi kecil yang terkunci rapat. Dengan kunci yang sama yang ia temukan di bukit, ia membuka kotak tersebut dan di dalamnya ia menemukan foto-foto lama Danu dan keluarganya—tetapi ada satu foto yang membuat Alya tercengang. Foto itu memperlihatkan
Danu di sebuah rumah sakit, berdiri di samping seorang pria tua yang tampak sangat lemah.
Pria itu adalah ayah Danu, dan dari catatan yang ada di balik foto, Alya mengetahui bahwa
Danu merawat ayahnya di harihari terakhir hidupnya. Namun, yang mengejutkan adalah catatan singkat di bawah foto tersebut: “Ayah berbicara tentang mimpi-
mimpi aneh. Sepertinya kami terikat oleh lebih dari sekadar darah.”
Alya merasakan bulu kuduknya meremang. Apakah mungkin ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bersifat takdir, yang menghubungkan keluarga Danu dengan kecelakaan tragis yang akhirnya merenggut nyawanya? Apakah mimpi-mimpi yang diceritakan oleh ayahnya adalah pertanda, sama seperti mimpi yang Danu alami sebelum kematiannya? Alya mulai menyadari bahwa kecelakaan Danu mungkin bukan hanya sekadar kebetulan; ada takdir atau karma yang terjalin dalam perjalanan hidup mereka.
Temuan ini membuat Alya semakin percaya bahwa Danu tahu lebih banyak tentang nasibnya daripada yang ia akui. Kenangan tentang perbincangan mereka tentang “Samsara” dan “Moksha” kini tampak lebih dalam dan bermakna, seolah-olah Danu sedang mempersiapkan
Alya untuk menerima kenyataan bahwa beberapa hal di dunia ini tidak bisa dihindari—bahwa mer-
eka semua terikat oleh kekuatan yang lebih besar.
Dengan emosi yang berkecamuk, Alya merasa dia harus kembali ke bukit, tempat di mana semuanya terasa bermula dan berakhir. Ada sesuatu tentang bukit itu—sesuatu yang membuatnya merasa bahwa di sanalah dia akan menemukan jawaban yang dia cari.
Saat malam semakin larut, Alya memutuskan untuk naik ke bukit lagi, meski tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kacau. Angin berhembus lebih kuat kali ini, seperti mengiringi langkahnya menuju puncak. Sesampainya di sana, dia terkejut melihat sosok yang tak dikenalnya berdiri di tempat di mana dia dan Danu biasa duduk.
Sosok itu mengenakan mantel hitam panjang dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Alya merasa melihat Danu di sana—tapi itu tidak mungkin. Sosok itu tidak bergerak, hanya memandang ke lembah di bawah, diam seperti patung.
“Siapa kamu?” Alya bertanya dengan suara yang sedikit
Cerita Pendek
bergetar. Namun, sosok itu tidak menjawab. Alya mulai melangkah maju, rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu. Ketika dia mendekati sosok itu, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, sosok misterius itu menghilang, seolah tersapu oleh angin.
Alya terjatuh di tanah, kebingungan. Apa yang baru saja terjadi? Apakah ini semua hanya permainan pikirannya? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang melampaui pemahamannya tentang dunia ini?
Angin terus berhembus kencang ketika Alya berusaha mengendalikan napasnya yang terengah-engah. Sosok misterius itu menghilang begitu cepat, seolah-olah tersapu oleh alam. Di tengah kekacauan pikirannya, satu hal menjadi semakin jelas: ada sesuatu yang menghubungkan Danu, kematiannya, dan bukit ini—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dia pahami. Setelah beberapa menit berdiri sendirian di puncak bukit, Alya memutuskan untuk kembali
ke rumah. Angin yang biasanya menenangkan kini membuatnya merasa tidak nyaman, seperti membawa pesan yang tidak bisa ia tangkap. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terpecah-pecah antara kenangan tentang Danu, buku hariannya, dan sosok misterius yang baru saja ia lihat. Tapi, di balik semua pertanyaan itu, ada perasaan yang semakin menguat di dalam dirinya—sebuah desakan untuk melepaskan dan menerima kenyataan, tak peduli seberapa sulitnya.
Kembali di rumah, Alya duduk di depan jendela kamarnya, membiarkan suara hujan yang lembut memenuhi ruangan. Surat-surat dari Danu ada di depannya, bersama dengan buku harian yang ia temukan di rumah tua. Alya membuka buku itu lagi, membolak-balik halamannya tanpa membaca. Ia hanya mencoba merasakan kehadiran Danu, meskipun dia tahu bahwa kehadiran itu kini hanyalah kenangan yang tertinggal.
Beberapa hari kemudian, Alya menerima panggilan telepon yang tidak dia duga. Suara di
ujung telepon adalah seseorang dari rumah sakit tempat Danu dirawat sebelum kecelakaan terjadi. Petugas medis itu meminta Alya untuk datang karena ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
Dengan hati yang dipenuhi kecemasan, Alya pergi ke rumah sakit tersebut. Di sana, seorang dokter senior menyambutnya di ruangan kantor yang sunyi. “Saya tahu ini mengejutkan,” kata dokter itu, “tapi Danu pernah datang ke sini beberapa minggu sebelum kecelakaan. Dia mengungkapkan sesuatu yang menurut kami penting, dan dia meninggalkan ini untuk Anda.”
Dokter itu menyerahkan amplop kecil kepada Alya. Di dalamnya, ada selembar kertas yang tampaknya ditulis dengan tergesa-gesa. Itu adalah pesan singkat dari Danu.
“Alya, jika kamu membaca ini, artinya aku mungkin tidak lagi di sana untuk menjelaskan semuanya. Aku tidak pernah ingin kamu merasa tersakiti karena apa yang telah terjadi. Aku tahu
Jejak di Angin
bahwa waktu kita bersama begitu singkat, tapi aku percaya bahwa pertemuan kita bukan kebetulan. Ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa kita pahami, hal-hal yang tak dapat kita ubah. Tapi cintaku untukmu adalah satu-satunya hal yang selalu nyata. Jika pada akhirnya kamu merasa kesepian, ingatlah satu hal: aku tidak pernah benar-benar pergi. Aku akan selalu ada, di setiap hembusan angin, di setiap langkah yang kamu ambil.”
Surat itu membuat air mata Alya kembali mengalir. Pesan itu terasa sangat personal, namun juga penuh misteri. Apakah Danu tahu lebih banyak tentang apa yang akan terjadi pada dirinya? Atau apakah ini hanya caranya mengucapkan selamat tinggal dengan cara yang indah? Alya tak punya jawaban pasti.
Sumber: pexels.com
Cerita Pendek
Namun, kali ini, Alya merasa perbedaan besar dalam dirinya. Bukan karena dia menemukan semua jawaban, melainkan karena dia mulai menerima bahwa tidak semua pertanyaan harus terjawab. Beberapa hal, seperti cinta yang dimiliki Danu untuknya, adalah hal yang cukup untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh ketidaktahuan.
Di hari-hari berikutnya, Alya mencoba untuk menjalani hidupnya dengan lebih tenang. Namun, misteri sosok yang ia
temui di bukit terus menghantui pikirannya. Alya kembali ke bukit beberapa kali, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut, tapi sosok itu tak pernah muncul lagi.
Angin tetap berhembus kencang di sana, seperti pesan yang tak terucapkan dari alam.
Suatu malam, saat duduk di kafe kecil yang biasa ia kunjungi bersama Danu, Alya bertemu dengan seorang pria yang tak ia duga. Pria itu mengenakan jaket hitam panjang, dan meskipun dia tak persis sama dengan sosok yang ia lihat di bukit, ada sesuatu
yang familiar dalam tatapannya.
“Maaf, apakah kamu Alya?” tanya pria itu dengan suara lembut. “Aku teman Danu, kami pernah bekerja bersama di beberapa proyek sebelum... semuanya terjadi.”
Alya menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Aku tidak ingat pernah bertemu denganmu sebelumnya,” katanya dengan hati-hati.
“Aku jarang muncul di kehidupannya sehari-hari,” kata pria itu, “Tapi Danu banyak berbicara tentangmu. Dia benar-benar mencintaimu, Alya. Dan aku yakin dia akan senang melihatmu bisa kuat setelah semua yang terjadi.”
Alya terdiam, menelan kata-kata yang pria itu ucapkan. “Kamu... ada di bukit itu, kan?” tanyanya akhirnya. “Aku melihat seseorang di sana beberapa minggu lalu.”
Pria itu tersenyum tipis, tapi tidak menjawab secara langsung. “Mungkin angin membawa kita ke tempat-tempat yang tak terduga,” katanya samar. “Tapi pada akhirnya, semua yang
tersisa hanyalah kenangan, dan bagaimana kita memilih untuk menjalani sisa hidup kita dengan kenangan itu.”
Pria itu bangkit dari kursinya, menatap Alya sekali lagi sebelum pergi meninggalkan kafe. Alya duduk di sana, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tapi, seperti yang ia pelajari dari perjalanan emosional ini, tidak semua misteri bisa dijelaskan.
Alya kembali ke puncak bukit untuk terakhir kalinya. Angin bertiup lembut, tidak sekeras sebelumnya, seolah memberikan
salam perpisahan yang tenang. Dia menatap lembah di bawah, yang kini terlihat lebih damai dibanding sebelumnya. Di sana, dia bisa merasakan kehadiran
Danu—bukan sebagai sosok fisik, tetapi sebagai bagian dari dirinya yang tak akan pernah hilang.
Dengan satu tarikan napas dalam, Alya memejamkan matanya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. “Terima kasih, Danu,” bisiknya pelan,
Jejak di Angin
tersenyum. “Kamu selalu bersamaku, seperti yang kau katakan.”
Tanpa perlu jawaban atau petunjuk lebih lanjut, Alya mulai menuruni bukit, meninggalkan misteri dan kenangan di belakangnya. Dia tahu bahwa hidupnya akan terus berjalan, dan di setiap langkahnya, Danu akan selalu ada di sisinya—di dalam angin, di dalam setiap kenangan yang mereka buat bersama.
Dan kini, Alya siap untuk melangkah maju, dengan atau tanpa jawaban.
Janji Dua Menara
Muhammad Adi Nugroho
Andi, seorang pemuda berasal dari sebuah desa dekat kota Solo. Ia berumur 15 tahun atau sudah lulus SMP.
Ayahnya seorang pedagang dan ibunya seorang guru SD di desanya. Suatu hari, saat Andi sedang menonton TV, ia dipanggil orang tuanya. Kemudian, Andi menghampiri kedua orang tuanya.
“Nak ada sesuatu yang ingin bapak ibu sampaikan,” ucap orang tua Andi. “Ada apa pak, bu?”
Tanyanya sambil duduk bersama kedua orang tuanya.
“Kan kamu sudah lulus, bapak sama ibu pengin kamu belajar di pesantren, belajar agama.” Kemudian, “Tapi pak, bu, kenapa harus ke pesantren gak SMA atau MA aja?” Jawabnya.
“Karena kami pengin kamu belajar agama nak,” jawab orang tua Andi. “Hm... Iya baiklah pak, bu.” Jawab Andi, meskipun masih ada keraguan di dalam hatinya, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk belajar di pesantren.
Minggu, 14 Februari 2012, Andi mulai mempersiapkan apa saja yang harus dibawa ke pesantren. Lalu, ia berangkat ke halte bus bersama kedua orang tuanya. Sesampainya disana, “Nak, hati-hati ya, belajar yang rajin, dan jangan nakal,” kata kedua
orang tuanya. “Ya pak, bu, Andi akan belajar agama di sana dengan rajin agar cita-citaku bisa terwujud,” jawabnya. Akhirnya Andi berangkat dan berpamitan dengan kedua orang tuanya.
Sore harinya Andi tiba di halte dan menuju ke pesantren. Andi masuk salah satu pesantren di Jawa Timur. Setelah sampai pondok, Andi diarahkan menuju ke asramanya dan di sanalah ia bertemu dengan banyak teman dari berbagai macam, salah satunya Indra yang langsung akrab dengan Andi. “Kamu baru di sini ya?” Tanya Indra. “Iya aku baru, aku Andi dari Solo,” jawabnya.
“Aku Indra dari Sulawesi Selatan,” Andi terkejut karena bisa bertemu dengan orang luar Jawa. “Kenapa kaget?” Tanya Indra. “Ya aku kaget asal daerahmu jauh sekali,” jawabnya. “Oh itu wajar saja kalau di pesantren, soalnya banyak juga yang dari luar daerah sepertiku”. Jelasnya.
Setelah selesai salat maghrib, Andi dan Indra mengaji bersama. Kemudian mereka melihat dua menara masjid yang
Janji Dua Menara
indah pada malam hari. Mereka duduk bersama di taman dekat masjid itu.
“Wah bagus juga ya pesantren sini, ada dua menara masjid yang bagus,” takjubnya. “Iya benar Di, aku jadi ingin suatu saat foto yang ada menaranya,” jawabnya. “Ah bagus itu, setelah lulus mudah-mudahan kita bisa foto di menara yang kita inginkan,” lanjutnya. “Ya benar semoga saja,” Andi mengiyakan tanda setuju.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin akrab. Andi telah belajar kekeluargaan dan banyak yang ia dapatkan di pesantren. Mereka selalu punya cara untuk membuat hari-hari yang menyenangkan selama di pesantren. Salah satunya dengan olahraga, ataupun duduk santai di taman.
Satu bulan kemudian, “Di kamu pengin kuliah gak setelah ini?” Tanya Indra. “Iyalah pengin, aku pengin kuliah di luar negeri, beasiswa gitu hehehe....” Jawab
Cerita Pendek
“Eleh bisa, tapi ya semoga aja bisa,” ujar Indra.
“Lah kalau kamu Dra?”
Kata andi. “Ya sama sih kalau bisa di luar negeri juga hehehe.... “ Jawabnya.
“Amin semoga saja,” lanjut Andi.
Beberapa hari kemudian, Andi menerima panggilan telepon dari kedua orang tuanya.
“Halo nak, bagaimana kabarnya? Enak gak mondoknya?”
Tanya ayahnya. “Alhamdlilah enak pak. Di sini banyak banget temannya, ada yang dari luar
daerah juga dan semua guru di sini baik semua,” jawabnya. “Alhamdulillah kalau gitu, bapak ikut senang dengarnya,” ujar ayahnya. “Ya sudah, semangat mondoknya dan doain bapak ibu di sini,” lanjutnya. “Ya pak, pasti,” jawab Andi.
Setelah belajar agama di pesantren selama 4 tahun, tibalah waktu kelulusan. Mereka duduk santai di kamar. “Wah aku ngga nyangka ya, sebentar lagi lulus, gak kerasa banget,” ujar Indra.
“Ya Dra, aku aja baru kemarin ke sini, eh... dah mau lulus aja,” ujar
Andi. “Eh... jangan lupain ane tar kalau dah lulus hahaha,” kata indra. “Ya gak lah, masa lupa?” ujar Andi. “Ya, bisa aja ya kan?” Ujar Indra. “Ya nggak lah, emangnya ane teman apaaan, kan kita dah janji harus bisa kuliah di luar negeri, masa lupa ya kan?” Ucap Andi. “Eh..iya ya,” ujar Indra.
Keesokan harinya tibalah waktu kelulusan, andi dan indra lulus dengan nilai baik. Sebelum pulang, “Selamat ya Di, nilaimu apa?” Tanya indra. “Alhamdulillah baik dong, kamu?” Tanyanya balik. “Sama, baik alhamdulillah,” jawab Indra. “Sampai jumpa
Sumber: pixabay.com
lagi Dra, semoga apa yang kita inginkan tercapai setelah lulus dari sini,” ucap andi. “Amin, semoga saja,” ujar indra.
Akhirnya mereka kembali ke rumah masing masing. Beberapa bulan kemudian setetelah lulus, mereka menjalani kehidupan masing masing dan masih mengirim pesan.
Satu tahun kemudian mereka sudah kuliah di perguruan tinggi masing masing. Di harihari berikutnya, setelah mereka selesai kuliah, mereka saling kirim pesan melalui whatsapp.
“Di, gimana kabarnya?”
Tanya indra. “Alhamdulillah Dra baik, kamu gimana?” Jawabnya. “Baik juga sekarang, kamu kuliah di mana?” Tanya indra lagi.
Dua Menara
“Alhamdulillah di Mesir dapat beasiswa, kalau kamu kuliah di mana?” Jawab andi.
“Wah hebat kamu Di, Aku di Turki hehehe, beasiswa juga,” jawab indra. “Wah hebat, janji kita di menara masjid di pesantren kita akhirnya bisa terwujud” Jawab Andi.
“Iya Alhamdulillah gak sia-sia kita janji di situ,” ujarnya. Setelah selesai berbalas pesan, keesokan paginya, mereka berfoto di masing-masing menara di mana mereka berkuliah.
Dan pada akhirnya, janji yang mereka impikan akhirnya terwujud karena usaha dan kerja keras mereka dalam mencari ilmu, dan selalu sabar dalam segala hal. Dan kini mereka telah siap menghadapi masa depan yang cerah.
REVOLUSI BERPIKIR ALA TAN MALAKA
Muhammad Muhajirin
Tan Malaka, seorang tokoh revolusioner yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal melalui perjuangan politiknya, tetapi juga pemikirannya yang mendalam. Salah satu karya besarnya adalah Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika.
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1943, ketika Tan Malaka berada dalam pelarian. Melalui Madilog, Tan Malaka berupaya membangun cara berpikir rasional yang dapat membebaskan bangsa Indonesia dari dominasi pemikiran dogmatis, mitos, dan takhayul. Madilog merupakan refleksi dari kegelisahan Tan Malaka terhadap keterbelakangan pola pikir masyarakat Indonesia. Ia menyadari bahwa pemikiran irasional menjadi salah satu hambatan terbesar dalam perjuangan mencapai kemerdekaan dan kemajuan. Buku ini menawarkan pendekatan berpikir berbasis ilmu pengetahuan melalui metode materialisme dialektika, yang ia yakini mampu membuka jalan menuju pembebasan intelektual dan sosial.
Tan Malaka yang memiliki nama asli Sultan Ibrahim dengan gelar Datuk Sutan Malaka ini lahir pada 2 Juni 1897 dan meninggal dunia pada 21 Februari 1949. Ia lahir di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota yang saat itu berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Dalam perjalanan hidupnya,
Revolusi Berpikir Ala Tan Malaka
Tan Malaka banyak belajar dari berbagai pemikiran dunia, seperti Marxisme, namun mengadaptasinya ke dalam konteks Indonesia. Sebagai seorang visioner, Tan Malaka seringkali berbenturan dengan tokoh-tokoh lainnya, namun pemikirannya tetap menjadi rujukan penting dalam sejarah pergerakan bangsa.
Materialisme dialektika adalah inti dari Madilog. Metode ini menekankan bahwa dunia nyata ditentukan oleh hukum-hukum material yang senantiasa berubah melalui proses dialektis. Logika, menurut Tan Malaka, harus digunakan untuk memahami perubahan ini secara ilmiah dan rasional. Dengan penguasaan metode ini, ia berharap masyarakat dapat memahami dunia dengan lebih jelas, melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, serta membangun kehidupan yang lebih adil dan merdeka.
Madilog hadir sebagai sebuah manifestasi dari kegelisahan Tan Malaka terhadap kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat mistis dan irasional. Ia melihat bahwa pemikiran seperti ini menjadi salah satu faktor yang menghambat kemajuan bangsa dan membuat bangsa Indonesia mudah dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Sebagai solusinya, Tan Malaka menawarkan sebuah pendekatan yang lebih rasional dan ilmiah, yaitu materialisme dialektika.
Materialisme dialektika, sebagaimana yang dipahami Tan Malaka, adalah sebuah metode berpikir yang didasarkan pada kenyataan material dan perubahan yang terjadi di dunia secara dialektis. Dengan kata lain, segala sesuatu di dunia ini selalu berubah dan saling berhubungan satu sama lain.
Melalui penerapan metode ini, Tan Malaka berharap dapat membangun sebuah
Sumber: gramedia.com
Resensi
masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, di mana manusia dapat hidup bebas dari penindasan dan eksploitasi.
Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Tan Malaka dalam Madilog adalah pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan. Ia meyakini bahwa dengan menguasai ilmu pengetahuan, manusia akan mampu memahami dunia secara lebih baik dan menemukan solusi atas berbagai masalah yang dihadapi. Ilmu pengetahuan, menurut
Tan Malaka, adalah kunci untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Madilog bukan sekadar sebuah buku filsafat yang kering dan membosankan. Sebaliknya, buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami, sehingga dapat dinikmati oleh berbagai kalangan pembaca. Meskipun demikian, isi buku ini cukup kompleks dan menuntut pembaca untuk berpikir kritis.
Kontroversi dan Warisan Madilog
Sejak pertama kali diterbitkan, Madilog telah memicu berbagai perdebatan dan kontroversi. Ada yang mengagumi pemikiran
Tan Malaka yang dianggap revolusioner dan radikal, namun ada juga yang mengkritiknya karena dianggap terlalu kaku dan dogmatis. Namun, terlepas dari segala kontroversi yang ada, Madilog tetap menjadi salah satu karya intelektual paling penting dalam sejarah Indonesia.
Madilog telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran bangsa Indonesia. Buku ini telah menginspirasi banyak generasi untuk berpikir kritis dan rasional. Meskipun banyak ide yang terkandung dalam Madilog sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, namun semangat untuk terus belajar dan mengembangkan diri yang terkandung di dalamnya tetap relevan hingga saat ini.
Dalam konteks Indonesia saat ini, pemikiran Tan Malaka dalam Madilog masih sangat relevan. Di tengah maraknya hoaks dan ujaran
Revolusi Berpikir Ala Tan Malaka
kebencian di media sosial, pemikiran kritis dan rasional yang diajarkan oleh Tan Malaka sangat dibutuhkan. Selain itu, dalam menghadapi tantangan globalisasi, kita juga perlu memiliki pemikiran yang terbuka dan adaptif, seperti yang diajarkan oleh Tan Malaka.
Kelebihan
Madilog ditulis dengan bahasa yang relatif lugas, menjadikannya mudah dipahami oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Buku ini berhasil menggambarkan pentingnya berpikir ilmiah dan kritis, yang saat itu masih asing bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya sebagai teks filsafat, Madilog juga menjadi panduan praktis untuk memahami realitas dan menghadapi tantangan.
Kelemahan
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Madilog memiliki kelemahan. Beberapa gagasan yang ditawarkan terkesan kaku dan kurang relevan dalam konteks modern. Selain itu, cara penyampaian ide-idenya terkadang terasa berat bagi pembaca awam yang tidak terbiasa dengan konsep-konsep filsafat dan ...?
Kesimpulan
Madilog adalah sebuah karya monumental yang ditulis oleh seorang pemikir besar bangsa Indonesia. Buku ini tidak hanya penting bagi sejarah pemikiran Indonesia, namun juga relevan bagi masa kini dan masa depan. Melalui Madilog, Tan Malaka telah memberikan warisan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, yaitu semangat untuk terus belajar, berpikir kritis, dan berjuang untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Sumber: pixabay.com
POLITIKUS DALAM CERMIN DAN SISI LAIN DEMOKRASI
Muhammad Nauval
Buku dengan judul “Makan Tuh Pemilu,” bukan merupakan buku triloginya “Makan Tuh Cinta,” meskipun dalam judulnya hampir sama, namun tidak ada keterkaitan dengan buku tersebut. meskipun sama-sama terbitan dari Gradien. Buku ini dikategorikan sebagai buku diari, berbeda dengan diari pada umumnya yang berisi curhatan mengenai cinta, melainkan berisi tentang pengalaman seorang politisi muda amatiran yang mengembara di dunia politik.
Pembaca diajak melihat sudut pandang sang politisi yang seringkali tidak masuk akal, namun mencerminkan berbagai realitas absurd dari dinamika pemilu dan politik Indonesia. Dunia politik yang direpresentasikan dengan pendekatan yang penuh humor dan satire, menghadirkan Jabogar, seorang politisi “sableng” yang terjun ke arena pemilu dengan segala kehebohan dan kekonyolan khas politikus yag kita lihat di setiap ajang pemilu. Dengan judul provokatif, penulis tampaknya ingin menyindir berbagai kebobrokan dan konspirasi dalam proses demokrasi, serta mengajak pembaca untuk melihat sisi lain dari politik yang kadang terasa membingungkan. Di sepanjang narasi, kita disuguhi dengan lelucon dan refleksi yang menggambarkan bagaimana politisi kerap kali terseret dalam arus pencitraan, janji-janji kosong, dan ambisi pribadi.
Politikus
Dalam Cermin dan Sisi Lain Demokrasi
Sebagai karya satire, cerita dalam buku ini dipenuhi dengan kritik yang disampaikan secara tidak langsung melalui humor dan kelucuan si Jabogar, tokoh utamanya. Dialog-dialog yang disajikan dalam buku ini, terasa menggilitik dan segar, memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan sehari-hari seorang politisi yang mencoba bertahan dalam dunia politik yang serba keras dan penuh dengan permainan kotor.
Buku ini juga memuat refleksi tentang etika politik, manipulasi media, dan peran uang dalam kampanye, yang semuanya dibalut dalam gaya bahasa yang penuh kelucuan. Penulis terlihat menguasai teknik storytelling yang mampu menyentuh berbagai isu politik yang serius tapi tetap ringan dan seru, membuat pembaca tetap asyik mengikuti tanpa rasa bosan.
Selain itu, kemampuan penulis dalam mengemas isu-isu politik yang berat menjadi bahan bacaan yang ringan dan menghibur menjadi salah satu keunggulan buku ini. Humor yang dihadirkan tidak hanya untuk bahan tawaan tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang sebenarnya yang luput dalam kesadaran kita.
Melalui gambaran karikatural sang politisi sableng, menjadi gambaran nyata dari banyak politisi dalam berita sehari-hari. Buku ini memberikan wawasan yang segar dan kritis tentang dunia politik, yang mungkin jarang dibicarakan secara jujur; seperti korupsi, pragmatisme politik, dan janji-janji palsu.
Di sisi lain, bagi yang tidak terlalu mengikuti dunia politik dan tidak familiar dengan gaya satire, mungkin beberapa referensi atau sindiran yang dipakai dalam buku ini terasa sulit dipahami karena keterbatasan konteks yang memadai. Sehingga bagi para pembaca yang ingin mencari bacaan politik yang serius, buku ini mungkin terasa kurang mendalam.
Sebagai karya satire, cerita dalam buku ini dipenuhi dengan kritik yang disampaikan secara tidak langsung melalui humor dan kelucuan si Jabogar, tokoh utamanya. Dialog-dialog yang disajikan dalam buku ini, terasa menggilitik dan segar, memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan sehari-hari seorang politisi yang mencoba bertahan dalam dunia politik yang serba keras dan penuh dengan permainan kotor.
Buku ini juga memuat refleksi tentang etika politik, manipulasi media, dan peran uang dalam kampanye, yang semuanya dibalut dalam gaya bahasa yang penuh kelucuan. Penulis terlihat menguasai teknik storytelling yang mampu menyentuh berbagai isu politik yang serius tapi tetap ringan dan seru, membuat pembaca tetap asyik mengikuti tanpa rasa bosan.
Selain itu, kemampuan penulis dalam mengemas isu-isu politik yang berat menjadi bahan bacaan yang ringan dan menghibur menjadi salah satu keunggulan buku ini. Humor yang dihadirkan tidak hanya untuk bahan tawaan tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang sebenarnya yang luput dalam kesadaran kita.
Melalui gambaran karikatural sang politisi sableng, menjadi gambaran nyata dari banyak politisi dalam berita sehari-hari. Buku ini memberikan wawasan yang segar dan kritis tentang dunia politik, yang mungkin jarang dibicarakan secara jujur; seperti korupsi, pragmatisme politik, dan janji-janji palsu.
Di sisi lain, bagi yang tidak terlalu mengikuti dunia politik dan tidak familiar dengan gaya satire, mungkin beberapa referensi atau sindiran yang dipakai dalam buku ini terasa sulit dipahami karena keterbatasan konteks yang memadai. Sehingga bagi para pembaca yang ingin mencari bacaan politik yang serius, buku ini mungkin terasa kurang mendalam.
Sumber: gradienmediatama.com
Politikus Dalam Cermin dan Sisi Lain Demokrasi
Secara keseluruhan buku
“Makan Tuh Pemilu; diari politik sang politisi sableng” adalah karya yang menghibur sekaligus mencerahkan. Jabogar berhasil menangkap esensi absurditas dunia politik dan menyajikannya dalam bentuk yang jenaka, tanpa kehilangan kritik tajam terhadap realitas yang ada. Buku ini cocok bagi pembaca yang ingin menikmati satire politik dengan tawa, sambil tetap memikirkan kondisi demokrasi dan politik di Indonesia.
Resensi
ANTARA MORAL DAN KEKUASAAN: MENYINGKAP SISI GELAP OLIGARKI
Syafina Najwa
Tere Liye kembali menghadirkan karya menarik berjudul Teruslah Bodoh, Jangan Pintar. Buku ini menjadi salah satu karya terbaru yang mengangkat isu sosial dan politik dengan pendekatan yang tajam dan provokatif. Meskipun memiliki judul yang terkesan provokatif, kisah fiksi ini sarat dengan realitas kehidupan, menggambarkan perjuangan sekelompok aktivis muda yang berusaha menggaalkan proyek tambang besar dan menyelamatkan masyarakat kecil dari ketamakan elit berkuasa.
Cerita dimulai di sebuah ruangan 3x6 meter, tempat sejumlah tokoh berupaya menegakkan keadilan dalam sidang tertutup, melawan tekanan pihak berkuasa yang mendukung proyek tambang besar. Pembaca dibawa menyelami kesaksian saksi yang terlibat langsung dalam proyek tersebut, menggambarkan penderitaan yang mereka alami. Situasi yang digambarkan mencerminkan ketegangan yang kerap dialami oleh mereka yang berusaha menegakkan keadilan di tengah kekuasaan yang korup. Pendekatan alur maju-mundur ini tidak hanya memperkaya narasi, tetapi juga memungkinkan pembaca memahami latar belakang konflik dan karakter dengan lebih mendalam.`
Sumber: pixabay.com
Antara Moral dan Kekuasaan: Menyingkap Sisi Gelap Oligarki
Tere Liye mendeskripsikan setiap karakter dengan rekam jejak yang beragam, mulai dari para aktivis hingga saksi-saksi korban dampak buruk tambang. Akhir cerita yang ditawarkan penulis menghadirkan nuansa ironis, mencerminkan realitas pahit bahwa keadilan kadang berpaling dan tidak selalu berpihak pada yang benar. Meskipun ceritanya menarik dan relevan dengan isu-isu sosial kontemporer, buku ini tetap memiliki beberapa kekurangan. Salah satu kelemahan yang disoroti oleh beberapa kritikus dan pembaca adalah kurangnya kedalaman karakter. Walaupun latar belakang para saksi digambarkan dengan baik, beberapa pembaca merasa sulit terkoneksi secara emosional dengan karakter utama, terutama para aktivis yang seharusnya menjadi pusat cerita. Selain itu, setelah memberikan kesaksian, para saksi tidak lagi memiliki peran signifikan, sehingga sebagian pembaca merasa ceritanya kurang lengkap.
Akhir cerita yang getir ini meninggalkan rasa hampa dan frustrasi, karena pembaca sering mencari pelarian dari kenyataan dalam dunia fiksi, bukan konfirmasi dari keburukan yang ada. Walaupun demikian, kekurangan ini tidak mengurangi nilai kritis dari buku ini yang tetap berhasil membuka mata pembaca terhadap realitas ketidakadilan yang sering terjadi di masyarakat.
Tere Liye berhasil mempertahankan ciri khasnya dalam menyajikan cerita yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi tajam tentang kondisi masyarakat. Tema-tema besar seperti korupsi, ketamakan, dan penyalahgunaan kekuasaan disampaikan dengan gamblang, sehingga cerita terasa relevan dengan kondisi sosial-politik yang sering terjadi di berbagai negara. Tere Liye juga berhasil menunjukkan bagaimana konflik antara moralitas dan kekuasaan dapat mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat secara luas, menjadikan buku ini relevan bagi siapa saja yang peduli pada keadilan sosial.
Buku ini mengajak pembaca merenungkan dampak ambisi dan keserakahan yang tidak terkendali, serta pentingnya berjuang demi
Resensi
keadilan, meskipun hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Buku ini juga menunjukkan bahwa masih banyak orang yang peduli terhadap isu-isu lingkungan dan sosial di sekitar kita. Banyak pembaca merasa tertegun dan tidak nyaman setelah membaca buku ini, karena ceritanya begitu dekat dengan realitas.
Dengan demikian, Teruslah
Bodoh Jangan Pintar karya Tere Liye bukan sekadar bacaan, melainkan refleksi yang mengajak kita untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moral dan nurani sebagai manusia. Secara keseluruhan, buku Teruslah Bodoh Jangan Pintar adalah karya yang layak dibaca bagi siapa pun yang mencari bacaan yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang kondisi sosial yang kompleks.
Sumber: gramedia.com
Sumber: pinterest
Aksara Merangkai Makna
Zidni Rosyidah
Tampak pelita
Ketika rasa adalah karya
Tampak pesona
Ketika kata adalah rangka
Tampak permata
Ketika aksara adalah segalanya
Tampak sempurna
Berbait syair penuh makna
Setiap larik tercipta
Agar saling taut
Begitu lirik jua
Agar saling larut
Seandainya tak luput
Lenyap dalam keriput
Seandainya pula tak kusut
Melalang buana tanpa takut
Bagaikan putri salju
Bagaikan balutan keju
Bagaikan lebah mengurai madu
Bagaikan arus sungai membiru
Goresan tiap tinta nya
Ialah rangkaian cerita
Bingkai kisah kasih nya
Ialah deretan cakrawala
Menawan hangat atas asa
Bertaburan sepanjang masa
Diksi-diksi penuh cinta
Terlukis segenap jiwa
Sastra dalam sanubari
Menggenggam harapan
Bahwa aku tak sendiri
Segenggam impian
Turut menemani
Bukan sekadar lamunan
Kala goresan pena abadi
Merangkai kata tanpa henti
Semarang, 17 Mei 2024
Sumber: pixabay.com
Rindu
Muhammad Fatih Atijani
Dibawah sandikala langit senja
Secangkir kopi tuai syahdu
Dalam peluk nan berujung rindu
Tanpa tau kabar dirimu
Ku hanya bisa termenung
Menatap rembulan nan gantikan petang
Cahayanya terang benderang
Menerangi malam nan temaram
Angin bisikan kata
Bahwa kau baik-baik saja
Diksiku lantas mengudara
Tuk temukan bait-bait merdu
Ku hanya ingin dirimu tertawa
Lukiskan senyum sama seperti saat dulu
Saat ini sungguh aku rindu
Tak dapat jauh meninggalkan dirimu
Sumber: pixabay.com
Roda Kehidupan
Sifana Andriyanti
Roda berputar seiring berjalannya waktu
Hidup tak selalu sejalan dengan apa yang kamu mau
Tiada lagi yang perlu disalahkan
Selain menerima takdir dari tuhan
Setiap putaran yang membawa perubahan
Mengajarkan arti ketabahan
Setiap putaran yang membawa rintangan
Mengajarkan arti kesabaran
Lantas
Mengapa kamu menyerah?
Mengapa kamu pasrah?
Mengapa selama ini kamu bertahan?
Jika hanya berakhir tanpa tujuan
Jangan biarkan kegagalanmu, menghentikan impianmu
Teruslah melangkah meskipun jalanmu berliku
Bangkitlah dengan semangat baru
Yakinlah bahwa dirimu mampu
Semarang, 12 Mei 2024
Sumber: pixabay.com
Untaian Kata Berjuta Makna
Sifana Andriyanti
Goresan pena yang bermakna
Menjadi kata yang sempurna
Bait-bait keindahan
Menyimpan kenangan yang tak terlupakan
Ketika kata menyimpan rahasia
Ketika kata tak bersuara
Ketika kata dapat berbicara
Ketika kata dapat bercerita
Menuliskan takdir yang berarti
Mengalirkan harapan tanpa henti
Melewati rintangan yang selalu menghampiri
Menyusuri waktu yang tidak bisa dipungkiri
Indahnya kata yang ingin kurangkai
Bagaikan bunga yang tersusun rapi
Menjadi kenangan yang selalu ingin kubingkai
Dalam hati yang terukir abadi
Untaian kata yang sederhana, Menyimpan sejuta makna yang tak terbaca