Rancangan RIPPEA

Page 1

Rancangan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh ( RIPPPEA )


Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Aceh Rancangan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh | RIPPEA Š Copyright Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Aceh Diproduksi : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Editor : Bidang Perencanaan Pembangunan EKonomi dan Ketenagakerjaan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Desainer

: aSOKA communications

Cetakan Pertama 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang



i

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

Kata Pengantar Sembilan tahun yang lalu, 26 Desember 2004, Aceh mengalami sebuah musibah luar biasa. Gempa Bumi yang dahsyat dan tsunami meluluh-lantakkan provinsi paling barat dan utara Indonesia ini. Kerugian yang bernilai hampir seluruh nilai ekonomi Aceh setahun ini seakan ingin melenyapkan Aceh bersamaan dengan konflik bersenjata yang berkepanjangan. Namun, sebagaimana janji Allah dalam Surat Al Insyirah bahwa “setelah kesusahan akan datang kemudahan”, simpati dunia mengalir ke Aceh, jutaan bahkan milyaran dolar uang menuju ke Aceh guna membangun kembali Aceh pasca musibah. Bahkan perdamaian pun menjadi wujud kemudahan yang dijanjikan Allah sehingga fondasi pembangunan Aceh tertata kembali untuk dapat kembali bangkit menuju sebuah cita-cita besar “Aceh bak mata donya” sebagai kawasan yang maju, sejahtera, kuat dan berperadaban tinggi. Sungguh benar janji Allah SWT terhadap hambanya. Setelah Aceh lepas dari satu episode musibah dan berhasil berdiri tegak kembali. Sudah saatnya kita kembali melakukan apa yang Allah perintahkan dalam lanjutan ayat “setelah selesai satu pekerjaan, beralihlah pada pekerjaan selanjutnya”. Aceh telah damai, kerusakan telah

diperbaiki, peraturan perundangundangan telah tersedia, dan kapasitas fiskal juga memadai. Kini Aceh harus berlari lebih kencang untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dibandingkan potensi yang dimilikinya. Aceh memiliki dasar budaya islami yang kuat, disediakan sumber daya alam yang melimpah, ditempatkan pada posisi geostrategis yang cantik. Seakan tiada alasan bagi Aceh untuk tidak maju dan unggul. Untuk dapat melakukan percepatan pembangunan ekonomi Aceh, kita tidak dapat melakukan dengan cara yang lama. Harus ada cara baru (business not as usual) yang penuh dengan inovasi yang menjunjung efesiensi dan ekuiti dalam pembangunan ekonomi Aceh. Setidaknya ada dua prasyarat utama apabila kita ingin berhasil dalam mempercepat dan memperluas pembangunan Aceh. Yang pertama adalah institusi atau birokrasi pemerintahan yang inklusif dan bersifat melayani dan yang kedua adalah diwujudkannya mindset atau pola pikir mandiri dan merdeka seluruh masyarakat Aceh sehingga


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

terus mencari inovasi baru demi kesejahteraan yang lebih baik. Selaras dengan penciptaan prasyarat tersebut, diperlukan langkahlangkah fokus dan terukur serta pola pengelolaan yang jelas dalam pelaksanaan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh. Permerintah Aceh menyusun Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh (RIPPEA) dengan tujuan mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, dan berkeadilan serta berkelanjutan. RIPPEA memberikan pedoman praktis bagi pelaku pembangunan di Aceh untuk mampu mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan yang ada, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan Iptek. Percepatan pembangunan ini diharapkan akan memperkuat fondasi dan menjamin pertumbuhan ekonomi Aceh kedepannya serta memeratakan hasil pembangunan. Adanya RIPPEA ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan

RPJM Aceh ataupun proses perencanaan pembangunan daerah yang selama ini berjalan. Bahkan, dokumen RIPPEA ini berfungsi sebagai dokumen kerja yang komplementer terhadap dokumendokumen perencanaan pembangunan yang ada tersebut. Upaya-upaya percepatan dan pemerataan pembangunan di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa ada dukungan dari semua pihak, baik Pemerintah Aceh maupun Kabupaten/ Kota. Kedepannya, diharapkan pemerintah kabupaten/kota berperan aktif untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka percepatan dan peluasan pembangunan ekonomi termasuk melalui perbaikan iklim investasi di daerah. Semoga upaya yang kita selenggarakan ini mendapat ridha dan petunjuk dari Allah SWT. Kesejahteraan dan kebesaran masyarakat Aceh di masa depan terletak di tangan kita semua. Marilah kita bersama-sama bekerja keras demi kemuliaan dan kesejahteraan seluruh generasi depan masyarakat Aceh.

ii



Daftar Isi BAB I ACEH ISLAMI, MAJU, DAMAI DAN SEJAHTERA

1.1. Pendahuluan / 3 1.2 Posisi Aceh dalam Dinamika Nasional, Regional dan Global / 5 1.3. Potensi dan Tantangan Aceh / 6 1.4. Percepatan, Perluasan dan Transformasi Pembangunan Ekonomi Aceh / 12 1.5. RIPPEA dalam Kerangka Perencanaan Pembangunan Nasional dan Aceh / 13 1.6. Kerangka Desain RIPPEA / 14

BAB II PRINSIP DASAR PRASYARAT KEBERHASILAN DAN STRATEGI

2.1. Prinsip Dasar dan Prasyarat Keberhasilan Pembangunan / 17 2.2 Peningkatan Potensi Ekonomi Wilayah Melalui Koridor Ekonomi (Regulasi) / 23 2.3. Penguatan Konektivitas / 28 2.4.Penguatan Kemampuan SDM dan IPTEK Aceh / 35

BAB III KORIDOR EKONOMI ACEH

3.1. Postur Koridor Ekonomi Aceh / 43 3.2. Koridor Ekonomi Pusat / 45 3.3. Koridor Ekonomi Utara / 58 3.4. Koridor Ekonomi Timur / 67 3.5. Koridor Ekonomi Barat / 75 3.6. Koridor Ekonomi Selatan / 94

BAB IV PELAKSANAAN DAN TATA KELOLA RIPPEA

4.1. Tahap Pelaksanaan / 103 4.2. Perbaikan Regulasi dan Perizinan / 105 4.3. Pemantauan dan Evaluasi / 106



1 Aceh Islami, Maju, Damai dan Sejahtera


3

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

Bab I Aceh Islami, Maju, Damai dan Sejahtera

1.1. Pendahuluan Sepanjang sejarahnya, Aceh telah mengalami pasat surut kejayaan. Berawal dari sebuah kerajaan dominan di Asia Tenggara, Aceh kemudian melewati masa perlawanan terhadap kolonialisme BangsaBangsa Eropa hingga perlawanan terhadap ketidakadilan sistem pemerintahan orde lama dan orde baru serta orde reformasi. Lamanya Aceh berada dalam perlawanan menyebabkan kemunduran dalam berbagai aspek. Aceh pada zaman kerajaan yang dikenal sebagai kawasan perdagangan dan penghasil intelektual yang produktif lambat laun menjadi sepi dan naskah-naskah intelektual pun mulai menghilang dari para intelektual. Konflik memaksa sumber daya Aceh dikonsentrasikan pada pada perlawanan sehingga aspek pembangunan lain terabaikan. Bencana Gempa Bumi dan Tsunami pada tahun 2004 seakan menjadi titik jenuh konflik yang berlangsung di Aceh yang disusul dengan titik balik melalui perdamaian dan rehabilitasi serta rekonstruksi Aceh pasca bencana. Proses perdamaian menghasilkan sebuah landasan hukum bagi Aceh untuk mengurus dirinya sendiri (self government). Kinerja pembangunan Aceh terus membaik sejak itu. Dalam jangka waktu 2005 sampai 2012, tingkat kemiskinan Aceh turun dari angka 28,69 persen menjadi 18,58 persen. Begitu juga dengan indeks pembangunan manusia yang meningkat dari 69,41 di tahun 2006 ke 72,51 di tahun 2012. Di sisi lain, tantangan pembangunan Aceh juga memulai mengemuka.


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

Pertumbuhan ekonomi masih berada dibawah kinerja ekonomi nasional. Sejurus dengan itu pertumbuhan ekonomi mulai mengalami perlambatan. Begitu juga pada pengurangan angka kemiskinan dan pengurangan angka pengangguran. Hal ini menyiratkan bahwa Aceh tidak dapat bertahan dengan pendekatan pembangunan yang “business as usual”. Aceh membutuhkan pembangunan yang mempunyai elastisitas tinggi terhadap kesejahteraan rakyat. karena itu pendekatan baru atau pendekatan “not business as usual” sangat diperlukan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh menetapkan bahwa visi Aceh pada tahun 2025 adalah “Aceh Islami, Maju, Damai dan Sejahtera”. Dokumen perencanaan ini membagi 4 tahapan pembangunan guna mencapai visi yang telah ditetapka tersebut. Bahwa tahapan ke-empat yang bertemakan kesiapan masyarakat Aceh dalam berpartisipasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based ekonomi) menyatakan bahwa Aceh membutuhkan transformasi ekonomi dalam perjalanan kedepan, dari ekonomi yang bertumpu pada kekayaan sumber daya alam menjadi ekonomi yang menggunakan kreatifitas dan ilmu pengetahuan sebagai tulang belakangnya.

4

Mesium Tsunami, Banda Aceh


5

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

Atas dasar inilah, perlu disusun sebuah rencana induk yang dapat memberi arah dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi Aceh hingga tahun 2025. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan melahirkan pertumbuhan pendapatan masyarakat yang tinggi sekaligus pemerataan kualitas hidup rakyat Aceh. Selaras dengan arah perekonomian Aceh yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) , pencapaian visi Aceh 2025 akan diwujukan melalui (3) tiga misi utama, yaitu:

1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antarkawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian Aceh.

3. Mendorong penguatan sistem inovasi daerah di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.

1.2. Posisi Aceh dalam Dinamika Nasional, Regional dan Global Pembangunan Aceh tidak dapat terlepas dari pembangunan Indonesia, regional dan global. Jika dilihat dari kacamata geografis Indonesia, Aceh berada di salah satu ujung dari bentangan nusantara yang massif. Jarak jauh dari titik gravitasi ekonomi Indonesia yang bertumpu di Pulau Jawa melahirkan tantangan integrasi dengan perekonomian nasional. Dalam skala Pulau Sumatera, posisi Aceh dalam kinerja perekonomian masih belum menggembirakan. Di sisi lain, letak geografis Aceh menjadi strategis dalam kacamata regional dan global. Posisi di lintasan perdagangan laut (Sea Lane of Communication) Selat Malaka membuat Aceh mempunyai keunggulan komparatif geografis. Selain itu beralihnya titik gravitasi dunia ke kawasan Asia Timur yang didominasi oleh pertumbuhan ekonomi, China dan India, akan meningkatkan permintaan komoditas global


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

6

yang diproduksi di provinsi ini. Komoditas global ini yang menjadi jalur transmisi keterkaitan antara perekonomian Aceh dan global. Kerjasama regional Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan rencana pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015 turut menempatkan Aceh dalam dinamika ekonomi regional. Dengan mempertimbangkan kondisi dan keterkaitan ekonomi Aceh dalam konteks nasional, regional dan global dan potensi serta keunggulan yang dimiliki, Aceh harus meningkatkan daya saing dan memposisikan sebagai basis produksi dan penciptaan nilai tambah komoditas barang maupun jasa yang menjadi keunggulan Aceh.

1.3. Potensi dan Tantangan Aceh 1.3.1. Demografi

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Aceh mencapai 4,5 juta jiwa dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang. Populasi ini tumbuh 2,35 persen jika

20.502

75+

31.232

21.381

70-74

29.200

31.645 43.374 65.745 90.675 111.812 134.990 164.744 181.093 206.555 214.391 223.321 241.280 243.660 253.712

65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29

37.031 49.589 62.404 88.268 113.412 134.606 162.205 183.800 211.271

20-24

224.005

15-19

219.159

10-14

229.002

5-0

230.550

0-4

239.171

Usia

Sumber: Aceh Dalam Angka 2011

Gambar 1.1. Piramida Penduduk Aceh


7

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

dibandingkan dari tahun 2005. Pertumbuhan penduduk dapat terjadi akibat migrasi dan kelahiran. Merujuk pada piramida penduduk Aceh tahun 2010, kelompok umur penduduk Aceh yang paling besar adalah pada kelompok umur terendah, yaitu 0-4 tahun dan diikuti oleh kelompok umur 5-9 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertambahan penduduk Aceh lebih disebabkan karena faktor kelahiran. Komposisi penduduk menunjukan bahwa Aceh mempunyai struktur muda dimana penduduk yang berusia dibawah 15 tahun mencapai 40 persen dari total populasi. Dengan proporsi penduduk usia diatas 65 tahun adalah 4 persen, maka tingkat ketergantungan (dependence ratio) Aceh rendah atau setiap dua penduduk produktif Aceh menanggung seorang penduduk tidak produktif. Proyeksi penduduk Aceh berdasarkan data sensus 2000 (?) menunjukkan laju pertumbuhan yang terus menurun diikuti oleh penurunan rasio ketergantungan (dependency ratio). Jumlah usia produktif terus meningkat, disertai penurunan usia non-produktif dari tahun ke-tahun, mengikuti pola yang serupa di tingkat nasional. Hal ini menunjukkan

Gambar 1.2. Keadaan Demografi Umur Penduduk Aceh

Usia Produktif

Depedency Ratio

Usia Anak (0-14 thn)

80 --

Lansia (65+ thn)

--

% dari total penduduk

60 --40 --20 --0 --

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

2018

2020

2022

2024 2025


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

struktur penduduk yang makin stabil dan indikasi “bonus demografi�. Proyeksi penduduk berdasarkan data kependudukan terbaru seperti Sensus Penduduk Aceh dan Nias (SPAN) 2005 dan Sensus Penduduk 2010 perlu dilakukan untuk memperhitungkan dampak “tsunami baby boom� yang terindikasi pada perubahan struktur penduduk pasca-tsunami 2004.1 Sebaran kelompok umur seperti diatas merupakan potensi sekaligus tantangan dalam pembangunan Aceh. Populasi usia produktif yang dominan berarti ketersediaan salah satu faktor produksi dan meningkatkan output ekonomi. Begitu juga dengan komposisi populasi dengan usia dibawah 15 tahun yang signifikan memberikan waktu bagi Aceh untuk menyiapkan sumber daya manusia secara lebih siap. Kondisi ini mempunyai implikasi pada pentingnya penyediaan kesempatan kerja dan investasi modal manusia (human capital) untuk mewujukan percepatan dan perluasan pembangunan Aceh.

1.3.2. Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi menunjukkan penduduk usia 19-23 tahun yang terdaftar sebagai mahasiswa. Pada tahun 2011 saja, APK PT di Aceh telah mencapai 31,21%, yakni telah melampaui angka target nasional pada tahun 2014, yaitu 30 persen (Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Angka ini menyiratkan secara relatif angkatan kerja di Aceh mempunyai tingkat pendidikan tinggi sehingga menjadi modal manusia yang baik untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh.

1.3.3. Sumber Daya Alam Aceh mempunyai sumber daya alam yang kaya. Terdapat 73 sungai besar di Aceh yang menyimpan berbagai potensi diantaranya sebagai sumber energi, sumber air untuk air bersih dan irigasi hingga transportasi. Dengan tutupan lahan kawasan lindung yang signifikan, Aceh harus mempertimbangkan prinsip berkelanjutan dalam pembangunan dengan memaksimal jasa lingkungan serta meningkatkan produktifitas dari penggunaan lahan lainnya. Hasil bumi yang dimiliki Aceh merupakan komoditas yang mempunyai nilai tinggi dan termasuk komoditas global. Sebut saja, kopi, kakao , pala dan nilam merupakan komoditas premium dunia yang potensial 1. Pemodelan dan proyeksi baru sedang dilakukan oleh BKKBN Aceh dan SPARG, Program Studi Statistika FMIPA Unsyiah.

8


9

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

dimanfaatkan untuk mendongkak kesejahteraan rakyat Aceh. Selain itu, potensi perikanan masih belum banyak tergarap terutama perairan barat dan selatan (Samudera India). Ketersediaan barang tambang dan mineral juga merupakan menambah neraca kekayaan Aceh. Ekstraksi sumber daya ini harus menggunakan prinsip berkelanjutan dan penciptaan nilai tambah demi kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

1.3.4. Letak Geografis Letak Aceh yang dilintasi oleh SLoC Selat Malaka menempatkan Aceh bagaikan sebuah etalase di sebuah jalan utama yang ramai. Selat Malaka merupakan jalur tersibuk yang dilewati oleh kapal container. Letak strategis ini mempunyai implikasi bahwa keuntungan komparatif ini harus diikuti oleh peningkatan daya saing Aceh untuk mengkapitalisasi Selat Malaka sebagai jalur perdagangan utama dunia.

Teluk Benggala

Salah satu ekosistem perairan yang kaya dan produktif (Large Marine Ecosystem).

Selat Malaka

Jalur tersibuk yang diewati oleh kapal kontainer.


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

Aceh terletak berdekatan dengan salah satu ekosistem perairan yang kaya dan produktif (Large Marine Ecosystem), yaitu Teluk Benggala. Ekosistem perairan ini merupakan kawasan dengan produktifitas kelas satu. Kedekatan dengan LME Teluk Benggala memungkinkan nelayan Aceh untuk menjadikan LME tersebut sebagai kawasan penangkapan dan kemudian menjadi basis pengembangan indutri perikanan tangkap.

1.3.5. Kapasitas Fiskal Aceh merupakan salah satu provinsi dengan belanja publik per kapita terbesar di Indonesia. Dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi meningkatkan kemampuan Pemerintah Aceh untuk membiayai pembangunan. Dana otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh sebesar 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional hingga tahun 2022 dan selanjutnya 1 persen hingga tahun 2027. Dengan menipisnya cadangan hidrokarbon dan adanya batas waktu transfer dana otonomi khusus pada tahun 2027 memberikan implikasi bahwa penggunaan dana publik di Aceh harus mampu menjadi stimulus dalam membawa Aceh berhasil menggapai visi 2025.

1.3.6. Tantangan Meskipun Aceh mempunyai banyak potensi dan modal yang dapat digunakan untuk mempercepat dan memeratakan pertumbuhan ekonomi, masih terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan jika percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh ingin dicapai. Ekonomi Aceh masih bertumpu pada sektor pertanian. Kontribusi sektor ini terhadap pembentukan PDRB Aceh sebesar 27,03 persen pada tahun 2012 dan menyerap 57 persen tenaga kerja. Angka ini menunjukkan masih rendahnya produktifitas tenaga kerja pertanian. Kondisi ini konsisten dengan pencapaian nilai tukar petani (NTP) yang rendah. Begitu juga dengan sektor lainnya, permasalahan rendahnya produktifitas tenaga kerja menjadi salah satu permasalahan dasar perekonomian Aceh. Aceh masih menghadapi permasalahan tingginya angka kemiskinan. Meskipun terus turun, namun terjadi perlambatan. Di tingkat Pulau Sumatera, angka kemiskinan Aceh menempati urutan tertinggi. Jika dilihat berbasis tipologi geografis, kemiskinan di Aceh didominasi oleh kemiskinan perdesaan. Kondisi ini juga mempunyai korelasi positif

10


11

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

dengan masih rendahnya produktifitas pertanian sehingga pertanian dan perdesaan masih menjadi kantong kemiskinan relatif terhadap lapangan usaha dan lokasi geografis lainnya. Kondisi infrastruktur masih menjadi kendala dalam percepatan dan pemerataan pembangunan di Aceh. Masih terdapat beberapa ruas jalan yang belum terhubung dan keterpaduan antar moda transportasi dan jaringan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pun belum optimal. Akibatnya, konektivitas dan sistem logistik yang efisien perlu menjadi prioritas pembangunan. Selain itu, defisit pasokan listrik yang terjadi di Aceh dapat menjadi faktor penurun daya saing. Aksesibilitas terhadap air bersih dan sanitasi juga belum menggembirakan, bahkan target MDGs di sektor ini diperkirakan tidak tercapai pada akhir tahun 2015. Dari sisi sumber daya manusia, akses pendidikan masyarakat Aceh tergolong tinggi. Indikator akses pendidikan Aceh menunjukkan pencapaian diatas rata-rata nasional. Namun demikian, siswa dan mahasiswa lebih memilih sekolah akademis umum dibanding sekolah vokasi/kejuruan. Pendidikan vokasi adalah suatu program pada jenjang pendidikan tinggi yang mempunyai tugas untuk mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program pendidikan akademik, profesi dan/atau vokasi. Secara keseluruhan, persentase mahasiswa yang terdaftar pada pendidikan tinggi vokasi jauh lebih sedikit (13,5%) dibandingkan dengan mereka yang terdaftar pada pendidikan tinggi non-vokasi sebesar 86,5%. Jumlah ini padu tahun 2011 sedikit menurun dibandingkan tahun 2010.Ketimpangan proporsi jumlah siswa/mahasiswa akademik dan vokasional dapat menyebabkan Aceh kekurangan tenaga terampil dengan keahlian terapan. Secara keseluruhan, persentase mahasiswa yang terdaftar pada pendidikan tinggi vokasi jauh lebih sedikit (13,5%) dibandingkan dengan mereka yang terdaftar pada pendidikan tinggi non-vokasi sebesar 86,5%. Jumlah ini pada tahun 2011 sedikit menurun dibandingkan tahun 2010. Aceh berada di kawasan pertemuan lempeng Asia dan Australia serta berada di patahan besar (sesar) Sumatera. Berdasarkan hal tersebut, Aceh dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana. Selain gempa dan tsunami, kontur Aceh yang didominasi oleh berbukit dan bergunung menjadi sebab Aceh juga rawan bencana hidrologis seperti banjir dan longsor. Berada di kawasan rawan bencana memberikan


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

implikasi bahwa kesiapan dan ketahanan bencana perlu menjadi arus utama dalam pembangunan. Bencana berpotensi membuat proses kelanjutan pembangunan terhambat.

1.4. Percepatan, Perluasan dan Transformasi Pembangunan Ekonomi Aceh Berdasarkan potensi dan tantangan yang dimiliki dan dalam rangka melaksanakan transformasi ekonomi sebagaimana dijelaskan dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) Aceh, Aceh memerlukan cara kerja dan karakter baru yang mempunyai semangat “not business as usual�. Cara biasa tidak diteruskan karena data dan indikator pembangunan Aceh menunjukkan sinyal perlambatan dari pencapaian kinerja pemerintah, seperti pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah perubahan mindset pembangunan bahwa pemerintah hanya fasilitator dan sektor swasta yang menggerakan sektor ekonomi. Peran pemerintah adalah mendukung penuh sektor swasta dalam investasi dan penciptaan lapangan kerja melalui dukungan sumberdaya dan kebijakan. Sejalan dengan hal tersebut diatas, regulasi harus didesain untuk mendorong sektor swasta secara maksimal untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk untuk pembiayaan infrastruktur seperti melalui public private partnership (PPP). Selain itu, regulasi yang bersifat insentif lainnya perlu dilaksanakan seperti kemudahan perizinan, kemudahan fiskal, kepastian lahan, aturan ketenagakerjaan yang berbasis kesepakatan dan lain sebagaikanya. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh membutuhkan fokus sektor dan program pembangunan. Alokasi program pembangunan harus dialokasikan pada sektor yang mempunyai forward dan backward linkage yang paling kuat sehingga penguatan di sektor tersebut dapat menggerakkan sektor ekonomi lainnya.

12


13

RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

1.5. RIPPEA dalam kerangka Pembangunan Nasional dan Aceh

Perencanaan

Dinamika Perubahan: • Lingkungan Nasional dan Global • Komitmen Nasional dan Global • Perkembangan Sosial Ekonomi Domestik

Tuntutan untuk Transformasi Ekonomi Aceh RPJP Aceh, RTRWA

RPJM Aceh

Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

RKP Aceh/ APBA

RPJPN, RTRWN, MP3EI

RTRWA, RPJMN, Grand Strategi Syariat Islam, RAD GRK

Investasi Swasta dan PPP Rencana Aksi/ Proyek

Gambar 1.3. Keterkaitan RIPPEA dan Dokumen Perencanaan Formal

Sebagai dokumen perencanaan, RIPPEA berisikan arahan pengembangan kegiatan ekonomi utama yang lebih spesifik yang dilengkapi dengan kebutuhan infrastruktur dan senarai regulasi yang diperlukan atau direvisi untuk mempercepat dan memperluas investasi. RIPPEA merupakan bagian integral dari sistem perencanaan pembangunan nasional. RIPPEA tidak dimaksudkan untuk menggantikan dokumen perencanaan yang telah ada seperti RPJP


RIPPPEA Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh

14

Aceh maupun RPJM Aceh, namun dokumen ini bersifat komplementer untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh. Selanjutnya RIPPEA ini juga memerhatikan prinsip-prinsip syariat Islam dan isu-isu lingkungan sehingga pembangunan ekonomi dilaksanakan sesuai dengan martabat dan kondisi sosial budaya masyarakat Aceh.

1.6. Kerangka Desain RIPPEA Berdasarkan berbagai faktor di atas, maka kerangka desain dari RIPPEA dirumuskan sebagaimana pada Gambar 1.3 berikut ini. Secara lebih detail, setiap bagian dari strategi utama RIPPEA akan diuraikan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

ISLAMI Sejahtera

Maju

PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI MELALUI KORIDOR EKONOMI

Kualitas hidup rakyat Aceh

PENGUATAN KONEKTIVITAS ACEH

Damai

PENGUATAN KEMAMPUAN SDM DAN IPTEK ACEH

PRINSIP DASAR DAN PRASYARAT KEBERHASILAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI

Gambar 1.3. Kerangka Desain Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh (RIPPEA)



2 Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA


17

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

Bab II Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

2.1. Prinsip Dasar dan Prasyarat Keberhasilan Pembangunan 2.1.1. Prinsip Dasar Keberhasilan Pembangunan

Sebagai suatu dokumen dengan terobosan baru, keberhasilan RIPPEA sangat ditentukan oleh prinsip-prinsip dasar serta prasyarat keberhasilan pembangunan. Adapun prinsip-prinsip dasar percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi menuju daerah maju membutuhkan perubahan dalam cara pandang dan perilaku seluruh komponen masyarakat Aceh, sebagai berikut: o Perubahan harus terjadi untuk seluruh komponen masyarakat; o Perubahan pola pikir (mindset) dimulai dari Pemerintah dengan birokrasinya; o Perubahan pola pikir (mindset) yang utama bahwa Dinul Islam memberikan nilai-nilai dan merupakan acuan dasar dalam melakukan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. o Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun kerjasama dalam kompetisi yang sehat; o Produktivitas, inovasi, dan kreatifitas didorong oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menjadi salah satu pilar perubahan;


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

o Peningkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan; o Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi; o Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan; o Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan secara luas oleh seluruh komponen bangsa.

2.1.1. Prasyarat Kerberhasilan Pembangunan a. Peran Pemerintah dan Dunia Usaha Dunia Usaha mempunyai peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi, terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sementara Pemerintah bertanggung jawab menciptakan kondisi ekonomi makro yang kondusif untuk percepatan dan perluasan investasi. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus didukung oleh komitmen

18

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, Nagan Raya


19

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

dunia usaha maupun Pemerintah, berupa: o Dunia usaha meningkatkan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja; o Dunia usaha melakukan inovasi untuk mengembangkan teknologi dan metode produksi dalam rangka memenangkan persaingan global; o Pemerintah memberikan kesempatan yang sama dan adil untuk seluruh dunia usaha; o Pemerintah didukung oleh birokrasi yang melayani kebutuhan dunia usaha; o Pemerintah menciptakan kondisi ekonomi makro, politik, hukum dan sosial yang kondusif untuk berusaha; o Pemerintah menyediakan perlindungan dan pelayanan dasar sosial. b. Reformasi Kebijakan Keuangan Aceh Kebijakan anggaran harus dimulai dengan menciptakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) yang credible dan berkelanjutan, serta diprioritaskan untuk akselerasi pertumbuhan demi menciptakan pembangunan yang merata dan berkelanjutan. o APBA diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur, perbaikan pelayanan dasar publik, dan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat miskin; o Pinjaman pemerintah digunakan untuk pembiayaan investasi dan bukan digunakan untuk belanja rutin. Tingkat pengembalian investasi pemerintah harus lebih tinggi dari biaya hutang; o Infrastuktur dibangun dengan peningkatan belanja Pemerintah dan/atau dunia usaha; o Subsidi dikembalikan sebagai instrumen perlindungan sosial dengan mengubah subsidi barang menjadi subsidi langsung ke orang miskin. Oleh sebab itu Nomor Indentitas Tunggal secara nasional harus segera diwujudkan; o Hasil pengelolaan SDA yang tidak terbarukan dibelanjakan


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

untuk kepentingan lintas generasi, dan bukan sekedar sumber pendapatan yang habis dibelanjakan tahunan; o Hasil pengelolaan SDA yang terbarukan diinvestasikan untuk peningkatan mutu modal manusia dan teknologi; o Perluasan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar; o Peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat dan dunia usaha. c. Reformasi Birokrasi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia memerlukan dukungan birokrasi Pemerintah berupa reformasi yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: o Menciptakan birokrasi yang efektif, dapat mengatur kehidupan masyarakat dan mendukung kebutuhan sektor usaha; o Birokrasi didukung oleh kelembagaan yang kuat dan efektif, menciptakan birokrasi dan administrasi yang rapi, lembaga legislatif yang bertanggung jawab, lembaga yudisial yang independen; o Menciptakan komitmen kepada penerapan good governance; o Birokrasi dan struktur kelembagaan yang kuat dan efektif harus mampu menjadi saluran umpan balik bagi perencanaan ke depan. d. Penciptaan Konektivitas Antar Wilayah di Aceh Pemerintah menjadi motor penciptaan konektivitas antar wilayah yang diwujudkan dalam bentuk: o Merealisasikan sistem yang terintegrasi antara logistik nasional, sistem transportasi nasional, pengembangan wilayah, dan sistem komunikasi dan informasi; o Identifikasi simpul-simpul transportasi (transportation hubs) dan distribution centers untuk memfasilitasi kebutuhan logistik bagi komoditi utama dan penunjang; o Penguatan

konektivitas

intra

dan

antar

koridor

dan

20


21

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

konektivitas internasional (global connectivity); o Peningkatan jaringan komunikasi dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh aktifitas ekonomi, aktivitas pemerintahan, dan sektor pendidikan nasional. e. Kebijakan Ketahanan Pangan, Air, dan Energi Ketahanan pangan merupakan prasyarat penting mendukung keberhasilan pembangunan Aceh berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: o Ketahanan pangan memperhatikan dimensi konsumsi dan produksi; o Pangan tersedia secara mencukupi dan merata bagi seluruh rakyat Aceh untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan produktif; o Upaya diversifikasi konsumsi pangan terjadi jika pendapatan masyarakat meningkat dan produk pangan dihargai sesuai dengan nilai ekonominya; o Diversifikasi produksi pangan terutama tepung-tepungan, disesuaikan dengan potensi produksi pangan daerah; o Pembangunan sentra produksi pangan baru berskala ekonomi luas; o Peningkatan produktivitas melalui peningkatan kegiatan penelitan dan pengembangan khususnya untuk bibit maupun teknologi pasca panen. Kebijakan terkait penyediaan air bersih tidak terfokus pada pembangunan infrastruktur, namun juga harus memperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut: o Pemerintah memastikan ketersediaan dan akses terhadap air bagi seluruh penduduk; o Penyediaan air bersih memperhatikan kelestarian lingkungan sumber air untuk menjaga keberlanjutannya; o Pengembangan hutan tanaman harus dilanjutkan guna memastikan peningkatan luas hutan untuk keberlanjutan ketersediaan air;


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

o Kabupaten/Kota memiliki luasan hutan sebagai persentase tertentu dari luas wilayahnya. Ketahanan energi didasarkan kepada manajemen resiko dari kebutuhan dan ketersediaan energi di Aceh, yang meliputi: o Manajemen resiko tersebut melalui pengaturan komposisi energi (energy mix) yang mendukung pembangunan ekonomi Aceh secara berkelanjutan; o Revisi peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung iklim usaha, serta perbaikan konsistensi antar peraturan; o Pembatasan ekspor komoditas energi untuk pengolahan lebih lanjut di dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah ekspor; o Tata kelola penambangan untuk meminimalkan kerusakan lingkungan. f. Jaminan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Negara bertanggung jawab melaksanakan sistem perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat terhadap resiko pembangunan ekonomi, sehingga perlu menyediakan: o Jaminan sosial berbentuk bantuan sosial untuk kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu, dan juga berbentuk asuransi sosial yang bersifat menyeluruh (universal) bagi seluruh masyarakat; o Bantuan sosial dapat dilaksanakan dalam bentuk subsidi maupun transfer tunai yang terarah kepada kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu; o Asuransi sosial yang sifatnya universal diselenggarakan dengan mengkombinasikan sumber daya di dunia usaha dan juga masyarakat. Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara berkelanjutan dengan berlandaskan penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya. Sejalan dengan itu perlu adanya upaya: o Perbaikan produktivitas nasional melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan yang sesuai kebutuhan pertumbuhan ekonomi;

22


23

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

o Penciptaan lapangan kerja formal yang melindungi pekerja Indonesia serta dilaksanakan berbasiskan hubungan industrial yang setara antara pekerja dan pengusaha; o Perlindungan pekerja Indonesia, sebagai bagian dari perlindungan sosial, diberikan tidak hanya bagi pekerja formal namun juga pekerja informal; o Perbaikan regulasi ketenagakerjaan untuk mendukung dunia usaha.

2.2. Peningkatan Potensi Ekonomi Wilayah Melalui Koridor Ekonomi (Regulasi) Koridor Ekonomi adalah kumpulan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang terpadu dihubungkan oleh jaringan infrastruktur yang terintegrasi. Pembangunan koridor ekonomi mempunyai makna pengembangan kegiatan ekonomi utama di pusat-pusat pertumbuhan disertai dengan penguatan konektivitas antar pusatpusat pertumbuhan dan lokasi kegiatan ekonomi utama serta fasilitas pendukungnya. Arah pembangunan ekonomi Aceh sebagaimana digaris dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentanga Pemerintahan Aceh (Pasal 155) adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya. Perencanaan wilayah yang terintegrasi adalah dalam rangka upaya percepatan menuju terciptanya nilai tambah yang tinggi tersebut. Ini dilakukan dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi ekonomi wilayah yang ada. Potensi masing-masing wilayah dihubungkan sehingga tercipta integrasi keruangan (spatial) sehingga dengan demikian terjadi peningkatan intensitas interaksi antar bagian wilayah dalam suatu ruang. Tidak saja hubungan input-ouput antar-wilayah (interegional), melainkan juga hubungan fungsional intrawilayah dapat meningkat melalui hubungan produksi dan distribusi hingga ekspor. Manfaat efisiensi ekonomi juga dapat diperoleh melalui aglomerasi kegiatankegiatan ekonomi. Potensi ekonomi wilayah dikembangkan melalui peningkatan produktivitas dan daya saing menurut wilayah. Keterkaitan


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

kegiatan ekonomi selanjutnya menciptakan mata rantai yang saling berhubungan dan menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Oleh karena itu, komoditas-komoditas yang dikembangkan disesuaikan dengan potensi masing-masing wilayah. Keterkaitan kegiatan ekonomi diintensifkan melalui infrastruktur dan pelayanan, termasuk layanan pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi wilayah dapat dipacu lebih cepat dengan dampak penyebaran (spread effect) yang lebih luas di sekitar pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pengembangan dilakukan secara terfokus. Aceh yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Malaka merupakan jalur pelayaran internasional yang padat dan berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga. Aceh juga mempunyai kedekatan geografis dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional di Asia Tenggara dan Asia Selatan, seperti Penang, Kuala Lumpur, Bangkok, Singapura, dan Chennai, India. Perkembangan teknologi transportasi yang pesat dan keterbukaan ekonomi yang semakin luas menjelang ASEAN Economic Community akan menempatkan Aceh pada posisi penting dan strategis. Belum optimalnya pemanfaatan keunggulan geografis dan interaksi antarwilayah, pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah dalam provinsi

24


25

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

Aceh dan Aceh secara keseluruhan belum cukup tinggi. Selain itu, ketidakcukupan sarana dan prasarana juga menjadi hambatan terhadap pengembangan wilayah kabupaten/kota dan pusat-pusat kegiatan ekonomi. Integrasi intrawilayah dan antarwilayah utara, barat-selatan, tengah-tenggara, dan timur masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan sarana dan prasarana ekonomi. Demikian pula keterkaitan ekonomi Aceh dengan pusat-pusat ekonomi di Asia Tenggara dalam rangka Asean Economic Community akan mendorong pertumbuhan lebih tinggi.

2.2.1. Amanah Regulasi Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh tahun 2012-2032, salah satu sasaran pokok pembangunan Aceh untuk periode 2012-20132 adalah terwujudnya pembangunan yang berkualitas, maju, adil dan merata, ditandai oleh antara lain : o berkurangnya kesenjangan antar wilayah, meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, investasi di daerah, nilai ekspor produk serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor; o terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di setiap wilayah. Sektor pertanian dan industri menjadi basis aktivitas ekonomi yang dikelola secara efisien sehingga menghasilkan komoditas unggulan yang mempunyai nilai tambah dan berkualitas; industri manufaktur yang mendukung sektor pertanian berdaya saing global merupakan motor penggerak perekonomian. Sektor jasa dengan kualitas pelayanan lebih bermutu dapat meningkatkan daya saing sehingga dapat menjadi daya tarik investasi dan menciptakan lapangan kerja; o meningkatnya optimasi pemanfaatan ruang untuk aktivitas ekonomi didukung dengan meningkatnya pelayanan infrastruktur transportasi yang handal dan terintegrasi, infrastruktur pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan, infrastruktur telekomunikasi yang efisien dan modern, pasokan energi yang handal dan efisien, serta sarana dan prasarana dasar permukiman yang berkualitas; o terwujudnya pengembangan kawasan tertinggal dan terpencil sehingga dapat tumbuh, berkembang dan mengejar ketertinggalan pembangunan dengan daerah lain. Terciptanya sinergisitas


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

kegiatan ekonomi antara kawasan terpencil dan tertinggal dengan kawasan cepat tumbuh dan strategis dalam satu sistem wilayah pengembangan ekonomi; o meningkatnya sinergisitas kegiatan ekonomi dari tahap awal produksi sampai tahap konsumsi serta meningkatnya aksesibilitas dan mobilitas orang, barang dan jasa antar wilayah Aceh dengan dukungan regulasi yang efektif. Arah pembangunan ekonomi jangka panjang sebagaimana diuraikan dalam RPJPA yang utama adalah memperkecil ketimpangan pembangunan antara kawasan timur, barat-selatan, tengah dan kepulauan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui peningkatan investasi dan perdagangan regional, nasional dan internasional. Pembangunan ekonomi juga ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja dengan menggerakan sektor riil yang difokuskan untuk mengurangi kemiskinan melalui kebijakan revitalisasi pertanian dan perdesaan. Pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada peningkatan akses informasi dan pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja dan teknologi; pengembangan modal sosial (social capital) dan modal manusia (human capital) yang belum tergali potensi khususnya di kawasan perdesaan, sehingga tidak semata-mata mengandalkan sumberdaya alamnya saja; dan intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak ke produk pertanian. Pembangunan ekonomi diarahkan untuk penguatan struktur perekonomian dengan menempatkan sektor industri sebagai penggerak utama untuk menciptakan nilai tambah sektor pertanian dengan pengembangan sektor komoditas unggulan tanaman pangan dan hortikultura, peningkatan produktifitas subsektor perkebunan, menghidupkan usaha perternakan dari hulu ke hilir, memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan serta pengelolaan hutan secara lestari dengan mengoptimalkan manfaat hutan sesuai fungsinya, dengan berorientasi kepada penguatan ekonomi lokal melalui peningkatan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) yang berbasis IPTEK. Secara singkat, Pembangunan Aceh harus mengalami transformasi dari berbasis pertanian menjadi berbasis pengetahuan.

2.2.2. Pusat-pusat Kegiatan Ekonomi dan Koridor-koridor Ekonomi Pembangunan koridor ekonomi ini juga dapat diartikan sebagai pengembangan wilayah untuk menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif serta berkelanjutan. Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh melalui pembangunan

26


27

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

Koridor Ekonomi memberikan penekanan baru bagi pembangunan ekonomi wilayah sebagai berikut: 1. Koridor Ekonomi diarahkan pada pembangunan yang menekankan

pada peningkatan produktivitas dan nilai tambah pengelolaan sumber daya alam melalui perluasan dan penciptaan rantai kegiatan dari hulu sampai hilir secara berkelanjutan. 2. Koridor Ekonomi diarahkan pada pembangunan

ekonomi yang beragam dan inklusif, dan dihubungkan dengan wilayah-wilayah lain di luar koridor ekonomi, agar semua wilayah di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensi dan keunggulan masingmasing wilayah.

3. Koridor Ekonomi

menekankan pada sinergi pembangunan sektoral dan wilayah untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara nasional, regional maupun global.

4. Koridor Ekonomi menekankan pembangunan konektivitas yang

terintegrasi antara sistem transportasi, logistik, serta komunikasi dan informasi untuk membuka akses daerah. 5. Koridor Ekonomi akan didukung dengan pemberian insentif fiskal

dan non-fiskal, kemudahan peraturan, perijinan dan pelayanan publik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah.

Gambar.2.1. Konseptualisasi Konektivitas Antar Koridor Ekonomi


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

2.3. Penguatan Konektivitas Pembangunan konektivitas dilakukan melalui pengembangan infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung pengembangan ekonomi Aceh secara keseluruhan dengan menghubungkan kawasan-kawasan kegiatan ekonomi utama seperti produksi pertanian dan industri dengan pusat-pusat pertumbuhan seperti kawasan koleksi dan distribusi serta meningkatkan aksebilitas informasi, aktifitas perdagangan barang maupun jasa secara lokal, regional dan internasional. Suksesnya pelaksanaan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh tersebut sangat tergantung pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas ekonomi nasional dan internasional dengan pasar dunia. Dengan pertimbangan tersebut RIPPEA menetapkan penguatan konektivitas Aceh sebagai salah satu dari tiga strategi utama (pilar utama). Konektivitas Aceh merupakan pengintegrasian 4 (empat) elemen kebijakan yang terdiri dari Sistem Logistik Daerah (Sislogda), Sistem Transportasi Daerah (Sistrada), Pengembangan wilayah (RPJMA/RTRWA), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Upaya ini perlu dilakukan agar dapat diwujudkan konektivitas Aceh yang efektif, efisien, dan terpadu. Sebagaimana diketahui, konektivitas Aceh merupakan bagian dari konektivitas nasional dan global. Oleh karena itu, perwujudan penguatan konektivitas Aceh perlu mempertimbangkan keterhubungan Aceh dengan dengan pusat-pusat perekonomian nasional, regional dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing Aceh. Hal ini sangat penting dilakukan guna memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan nasional, regional dan global/internasional.

2.3.1. Unsur Pengelolaan Mobilitas dalam Konektivitas Konektivitas menyangkut kapasitas dan kapabilitas suatu bangsa dalam mengelola mobilitas yang mencakup 5 (lima) unsur sebagai berikut: 1. Personel/penumpang, yang menyangkut pengelolaan lalu lintas manusia di, dari dan ke wilayah. 2. Material/barang abiotik (physical and chemical materials) yang menyangkut mobilitas komoditi industri dan hasil industri. 3. Material/unsur biotik/species, yang mencakup lalu lintas unsur mahluk hidup di luar manusia seperti ternak, Bio Toxins, Veral, Serum, Verum, Seeds, Bio-Plasma, BioGen, Bioweapon

28


29

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

4. Jasa dan Keuangan, yang menyangkut mobilitas teknologi, sumber daya manusia dan modal pembangunan bagi wilayah. 5. Informasi, yang menyangkut mobilitas informasi untuk kepentingan pembangunan wilayah yang saat ini sangat terkait dengan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Peningkatan pengelolaan mobilitas terhadap lima unsur tersebut diatas akan meningkatkan kemampuan Aceh dalam mempercepat dan memperluas pembangunan dan mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas sesuai amanat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh.

2.3.2. Aceh Sebagai Pintu Gerbang Melekat dengan Aceh terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan Sea Lane of Communication). Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya. RIPPEA mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC tersebut di atas. Aceh bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas transportasi laut ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Aceh, membangun daya saing maritim, serta kedaulatan ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis ini, upaya Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh perlu memanfaatkan keberadaan SLoC sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.

2.3.3. Garis Depan Konektivitas Global Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara optimal keberadaan SLoC tersebut di atas sebagai modalitas utama percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Aceh. Konsepsi tersebut akan menjadi tulang-punggung yang membentuk postur konektivitas Aceh dan sekaligus diharapkan berfungsi menjadi instrumen pendorong dan penarik keseimbangan ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih merata ke seluruh Aceh, tetapi dapat juga menciptakan membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

30

2.3.4. Kerangka Strategis dan Kebijakan Penguatan Konektivitas Maksud dan tujuan Penguatan Konektivitas Aceh adalah sebagai berikut: 1. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui inter-modal supply chains systems. 2. Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland). 3. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diintegrasikan beberapa komponen konektivitas yang saling berhubungan kedalam satu perencanaan terpadu. Beberapa komponen dimaksud merupakan pembentuk postur konektivitas secara nasional, yang meliputi: (a) Sistem Logistik Daerah (SISLOGDA); (b) Tata Transportasi Wilayah (Tatrawil); (c) Pengembangan Wilayah (RPJMA dan RTRWA); (d) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Rencana dari masingmasing komponen tersebut telah selesai disusun,namun dilakukan secara terpisah. Oleh karena itu, Penguatan Konektivitas Nasional berupaya untuk mengintegrasikan keempat komponen tersebut.

Gambar 2.2. Komponen Pembentuk Postur Konektivitas Aceh

Komponen Pembentuk Postur Konektivitas Aceh Sistem Logistik 1. Penentuan komoditas utama 2. Penguatan jasa logistik 3. Jaringan infrstruktur 4. Peningkatan kapasitas SDM 5. Peningkatan ICT 6. Harmonisasi regulasi 7. Dewan Logistik Daerah

Tata Transportasi Wilayah Aceh 1. Keselamatan transportasi 2. Pengusahaan Transportasi 3. Jaringan transportasi 4. Peningkatan SDM dan Iptek 5. Pemeliharaan kualitas lingkungan hidup 6. Penyediaan dana pembangunan 7. Peningkatan Administrasi Negara

Pengambangan Wilayah

Teknologi Informasi

1. Peningkatan ekonomi lokal 2. Peningkatan kapasitas SDM 3. Pengembangan infrastruktur 4. Peningkatan kapasitas kelembagaan 5. Peningkatan akses modal kerja 6. Peningkatan fasilitas sosial dasar

1. Migrasi menuju konvergensi 2. Pemerataan akses dan layanan 3. Pengembangan jaringan broadband 4. Peningkatan keamanan jaringan dan sistem informasi 5. Integrasi insfrastruktur, aplikasi & data 6. Peningkatan e-literasi, kemandirian industri TIK domestik dan SDMTIK siap pakai 7. Peningkatan kemandirian industri TIK

(RPJA dan RTRWA)

dan Komunikasi

Penguatan Konektifitas Aceh dilakukan dengan mengintegrasikan dan mensinergikan rencana sistem logistik Aceh, tata Transportasi Wilayah Aceh, Pengembangan Wilayah dan Teknologi Inormasi dan Komunikasi


31

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

Bandar Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar

Hasil dari pengintegrasian keempat komponen konektivitas Aceh tersebut kemudian dirumuskan visi konektivitas yaitu ‘TERINTEGRASI SECARA LOKAL, TERHUBUNG SECARA GLOBAL (LOCALLY INTEGRATED, NATIONALLY AND GLOBALLY CONNECTED)’. Yang dimaksud Locally Integrated adalah pengintegrasian sistem konektivitas untuk mendukung perpindahan komoditas, yaitu barang, jasa, dan informasi secara efektif dan efisien dalam wilayah Aceh. Oleh karena itu, diperlukan integrasi simpul dan jaringan transportasi, pelayanan inter-moda tansportasi, komunikasi dan informasi serta logistik. Simpul-simpul transportasi (pelabuhan, terminal, stasiun, depo, pusat distribusi dan kawasan pergudangan serta bandara) perlu diintegrasikan dengan jaringan transportasi dan pelayanan sarana inter-moda transportasi yang terhubung secara efisien dan efektif. Jaringan komunikasi dan informasi juga perlu diintegrasikan untuk mendukung kelancaran arus informasi terutama untuk kegiatan perdagangan, keuangan dan kegiatan perekonomian lainnya berbasis elektronik. Selain itu, sistem tata kelola arus barang, arus informasi dan arus keuangan harus dapat dilakukan secara efektif dan efisien, tepat waktu, serta dapat dipantau melalui jaringan informasi dan komunikasi (virtual) mulai dari proses pengadaan, penyimpanan/


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

32

pergudangan, transportasi, distribusi, dan penghantaran barang sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki produsen dan konsumen, mulai dari titik asal (origin) sampai dengan titik tujuan (destination). Visi ini mencerminkan bahwa penguatan konektivitas Aceh dapat menyatukan seluruh wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkeadilan serta dapat mendorong pemerataan antar daerah. Sedangkan yang dimaksud nationally and globally connected adalah sistem konektivitas yang efektif dan efisien yang terhubung dan memiliki peran kompetitif dengan sistem konektivitas global melalui jaringan pintu internasional pada pelabuhan dan bandara (international gateway/exchange) termasuk fasilitas custom dan trade/industry facilitation. Efektivitas dan efisiensi sistem konektivitas Aceh, nasional dan keterhubungannya dengan konektivitas global akan menjadi tujuan utama untuk mencapai visi tersebut. Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan penguatan konektivitas secara terintegrasi antara pusat-pusat pertumbuhan dalam koridor ekonomi dan juga antar koridor ekonomi, serta keterhubungan secara internasional terutama untuk memperlancar perdagangan internasional maupun sebagai pintu masuk bagi para wisatawan mancanegara.

Gambar 2.3. Kerangka Kerja Konektivitas (MP3EI,2011)


33

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

Dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan beberapa prinsip utama sebagai berikut: (1) meningkatkan kelancaran arus barang, jasa dan informasi, (2) menurunkan biaya logistik, (3) mengurangi ekonomi biaya tinggi, (4) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah, dan (5) mewujudkan sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Fokus Penguatan Konektivitas Aceh untuk mendukung percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi indonesia adalah sebagai berikut: Pada tataran regional dan global terdapat perkembangan kerjasama lintas batas yang perlu diperhatikan terutama adalah komitmen kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN (seperti IMT-GT) dan APEC. Indonesia perlu mempersiapkan diri mencapai target integrasi bidang logistik ASEAN pada tahun 2013 dan integrasi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, sedangkan dalam konteks global WTO perlu mempersiapkan diri menghadapi integrasi pasar bebas global tahun 2020. Mencermati ketertinggalan Indonesia saat ini, perkuatan konektivitas nasional akan memastikan terintegrasinya Sistem Logistik Nasional secara domestik, terhubungnya dengan pusat-pusat perekonomian regional, ASEAN dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing Aceh. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan regional dan global (regionally and globally connected). Salah satu dari upaya tersebut, perkuatan konektivitas Aceh perlu diintegrasikan dengan perkembangan kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN yang memiliki tujuan: o Memfasilitasi terbentuknya aglomerasi ekonomi dan integrasi jaringan produksi; o Penguatan perdagangan regional antar negara ASEAN; o Penguatan daya tarik investasi dan pengurangan kesenjangan pembangunan antar anggota ASEAN dan antar ASEAN dengan negara-negara di dunia. Upaya di atas dilakukan melalui penguatan jaringan infrastruktur, komunikasi, dan pergerakan komoditas (barang, jasa, dan informasi) secara efektif dan efisien. Hal ini merupakan bagian dari konektivitas internasional. Elemen-elemen utama penguatan konektivitas ASEAN terdiri dari:


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

34

Konektivitas Fisik (Physical Connectivity) a. Transportasi b. Teknologi, Informasi dan Komunikasi c. Energi 1. Konektivitas Kelembagaan (Institutional Connectivity) a. Fasilitasi dan liberalisasi perdagangan b. Fasilitasi dan liberalisasi perdagangan investasi dan jasa c. Kerjasama yang saling menguntungkan d. Kerjasama transportasi regional e. Prosedur lintas perbatasan f. Program pemberdayaan kapasitas 2. Konektivitas Sosial Budaya (People-to-People Connectivity) a. Pendidikan dan budaya b. Pariwisata

Konektivitas Fisik (Physical Connectivity)

Konektivitas Sosial Budaya (Peopleto-People Connectivity)

Konektivitas Kelembagaan (Institutional Connectivity)

Gambar 2.4 Elemen Utama Penguatan Konektivitas ASEAN


35

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

2.4. Penguatan Kemampuan SDM dan IPTEK ACEH Peningkatan kemampuan SDM dan IPTEK Aceh menjadi salah satu dari 3 (tiga) strategi utama pelaksanaan RIPPEA. Hal ini dikarenakan pada era ekonomi berbasis pengetahuan, mesin pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kapitalisasi hasil penemuan menjadi produk inovasi. Dalam konteks ini, peran sumber daya manusia yang berpendidikan menjadi kunci utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Oleh karena itu, tujuan utama di dalam sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendukung hal tersebut diatas haruslah bisa menciptakan sumber daya manusia yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan sains dan teknologi.

2.4.1. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang produktif merupakan penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif, maka diperlukan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan. Dalam ekonomi yang semakin bergeser ke arah ekonomi berbasis pengetahuan, peran pendidikan tinggi sangat penting, antara lain untuk menghasilkan tenaga kerja yang unggul dan produktif, yang semakin mampu menerapkan ilmu


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan, untuk meningkatkan nilai tambah kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Pendidikan tinggi di sini terdiri dari program pendidikan akademik, program pendidikan vokasi, serta program pendidikan profesi. Pengembangan program pendidikan akademik diarahkan pada penyelarasan bidang dan program studi dengan potensi pengembangan ekonomi di setiap koridor ekonomi. Program akademik harus menjadi jejaring yang mengisi dan mengembangkan rantai nilai tambah dari setiap komoditas atau sektor yang dikembangkan di setiap koridor ekonomi. Universitas pusat riset dikembangkan secara nasional sebagai bagian penting dari pusat inovasi Aceh. Pengembangan universitas pusat riset didasarkan pada prinsip integrasi, resource sharing, dan memanfaatkan teknologi informasi secara optimal. Program pendidikan vokasi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Oleh karena itu, pengembangan program pendidikan vokasi harus disesuaikan dengan potensi di masing-masing koridor ekonomi. Di setiap kabupaten/kota minimal harus dikembangkan pendidikan tinggi setingkat akademi (community college) atau politeknik dengan bidang-bidang yang sesuai dengan potensi di kabupaten tersebut. Pengembangan community college, yang menyelenggarakan program diploma 1, diploma 2 dan diploma 3, diharapkan akan menghasilkan lulusan yang langsung dapat diserap oleh kegiatan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap koridor ekonomi. Oleh karena itu pengembangan community college dilakukan dengan secara bersama-sama antara pemerintah, dunia usaha, dan universitas sebagai pengelola community college. Mutu community college dibina oleh politeknik yang dikembangkan di ibukota provinsi. Politeknik tersebut dikembangkan sesuai dengan potensi dan keunggulan setiap koridor ekonomi. Selain pengembangan pendidikan tinggi, pengembangan sumber daya manusia juga dilakukan dengan pengembangan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pengembangan pelatihan kerja, dan pengembangan lembaga sertifikasi.

2.4.2. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Kemampuan suatu bangsa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan sangat bergantung pada kemampuan bangsa tersebut dalam meningkatkan inovasi. Inovasi yang berbasis pada kapitalisasi produk riset teknologi akan memberi dampak langsung pada peningkatan produktivitas yang berkelanjutan yang pada

36


37

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

akhirnya dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi modal dasar untuk dapat menghasilkan sebuah inovasi yang sangat bermanfaat untuk pengembangan ekonomi agar dapat bersaing secara global. Peningkatan produktivitas menuju keunggulan kompetitif akan dicapai seiring dengan upaya memperkuat kemampuan sumber daya manusia berbasis inovasi. Warisan ekonomi berbasis sumber daya alam yang bertumpu pada labor intensive perlu ditingkatkan secara bertahap menuju skilled labor intensive dan kemudian menjadi human capital intensive. Peningkatan kemampuan modal manusia yang menguasai Iptek sangat diperlukan ketika Aceh memasuki tahap innovation-driven economies. Untuk mewujudkan peningkatan produktivitas, maka direkomendasikan usulan Inisiatif Inovasi sebagai pendorong utama terjadinya proses transformasi sistem ekonomi berbasis inovasi melalui penguatan sistem pendidikan (human capital) dan kesiapan teknologi (technological readiness). Proses transformasi tersebut memerlukan peningkatan input pendanaan Penelitian dan Pengembangan (R & D). Porsi pendanaan penelitan dan pengembangan tersebut diatas, berasal dari Pemerintah maupun dunia usaha. Pelaksanaannya dilakukan melalui perbaikan ekosistem inovasi, sedangkan prosesnya dilakukan dengan menggunakan wahana percepatan pertumbuhan ekonomi sebagai model penguatan aktor-aktor inovasi yang dikawal dengan ketat. Dengan demikian diharapkan visi inovasi 2025 di bidang SDM dan IPTEK akan dapat tercapai sehingga menjamin percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Seiring dengan kemajuan ekonomi dari factor driven economy menuju ke innovation driven economy, diharapkan peran pemerintah di dalam pendanaan R & D akan semakin berkurang dan sebaliknya peran swasta semakin meningkat.

2.4.3. Inisiatif Pelaksanaan Inovasi dalam RIPPEA Berikut ini adalah beberapa inisiatif pelaksanaan inovasi yang dapat mendukung keberhasilan implementasi RIPPEA: o Pengembangan Klaster Inovasi untuk Mendukung 5 (lima) Koridor Ekonomi Pengembangan 6 (enam) koridor ekonomi harus diiringi dengan penguatan klaster inovasi sebagai centre of excellence dalam


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

rangka mendukung peningkatan kemampuan berinovasi untuk meningkatkan daya saing. Pengembangan centre of excellence tersebut diharapkan terintegrasi dengan klaster-klaster industri. o Pengembangan Science & Technology Park Science & Technology Park bertujuan untuk melahirkan IKM/ UKM berbasis inovasi dalam berbagai bidang strategis yang mampu mengoptimalkan interaksi dan pemanfaatan sumber daya universitas, lembaga litbang, dan dunia usaha sehingga dapat menghasilkan produk inovatif. Untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan Science & Technology Park tersebut perlu dilakukan: 1. Menjadikan Science & Technology Park sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dengan manajemen profesional sehingga tercipta link antara bisnis dan riset; 2. Menjadikan Science & Technology Park sebagai pusat unggulan riset berteknologi tinggi. o Penguatan Aktor Inovasi Salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan RIPPEA tergantung pada upaya cerdas dan efektif para aktor inovasi dari unsur akademisi/peneliti, dunia usaha/industri, masyarakat, legislator, dan pemerintah. Beberapa pemikiran berikut harus diupayakan dalam perencanaan dan pemanfaatan secara cerdas potensi anak bangsa dalam rangka membangun Aceh islami, maju, damai dan sejahtera, antara lain: 1. Menciptakan SDM yang memiliki kompetensi, berkepribadian islami, berharkat dan bermartabat melalui pendidikan sains teknologi, pranata sosial dan humaniora yang berkualitas; 2. Optimalisasi sumber daya manusia berpendidikan S2 dan S3 yang telah ada, dan menambah jumlah S2 dan S3 di bidang sains dan teknologi secara bertahap dan terencana; 3. Pengadaan laboratorium berstandar international baik di bidang ilmu-ilmu dasar maupun terapan di perguruan tinggi, lembaga litbang serta pusat riset swasta, untuk kepentingan kemakmuran masyarakat; 4. Kerjasama nasional dan internasional yang mendorong pemahaman dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi

38


39

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

serta pemanfaatan berbagai best practices yang sudah dikembangkan di berbagai negara.

2.4.4. Memperkuat Operasionalisasi Sistem Inovasi Aceh Pengembangan inovasi produk suatu invensi melibatkan 3 pelaku utama dalam sistem inovasi nasional yaitu: o pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator; o pelaku usaha/industri sebagai pengguna hasil invensi; dan o lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai penghasil produk invensi. Kolaborasi ketiga pelaku utama tersebut sangat penting dan diperlukan untuk berkembangnya produk-produk inovasi sesuai dengan kebutuhan. Dalam rangka pengembangan inovasi, Pemerintah akan memberikan: o Insentif fiskal kepada Dunia Usaha yang melakukan inovasi, dan perusahan asing yang menggunakan teknologi dalam negeri atau mentransfer teknologi dari luar negeri; o Dana penelitian kepada pelaku inovasi dengan syarat bahwa (a) produk inovasi sesuai dengan kebutuhan atau minat pihak industri, (b) produk inovasi tersebut sudah terbukti dapat meningkatkan produktivitas pihak industry yang bersangkutan (return of investment yang jelas). Persyaratan ini menjadi penting bagi pengembangan inovasi secara nasional. Pihak industri diminta untuk menjadi penggerak utama inovasi dengan memberikan informasi state of the art kebutuhan invensi teknologi yang memiliki nilai pasar yang baik.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Prinsip Dasar, Prasyarat Keberhasilan dan Strategi Utama RIPPEA

40

Gambar 2.5. Penguatan Sistem Inovasi Nasional



3 Koridor Ekonomi Aceh


43

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Bab III Koridor Ekonomi Aceh

3.1. Postur Koridor Ekonomi Aceh Pembangunan koridor ekonomi di Aceh dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Aceh. Sebagai negara yang terdiri atas ribuan pulau dan terletak diantara dua benua dan dua samudera, wilayah kepulauan Aceh memiliki sebuah konstelasi yang unik, dan tiap kepulauan besarnya memiliki peran strategis masing-masing yang ke depannya akan menjadi pilar utama untuk mencapai visi Aceh tahun 2025. Tema pembangunan masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut: 1. Koridor Ekonomi Pusat (Banda Aceh, Sabang, Aceh Besar dan Pidie) memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Pertanian, Jasa, Energi, Industri dan Perdagangan”; 2. Koridor Ekonomi Utara memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan dan Perikanan, Lumbung Energi Mikro-hidro dan Gerbang Perdagangan Luar Negeri”; 3. Koridor Ekonomi Timur memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Pertanian, Perkebunan dan Perikanan, Jasa dan Perdagangan”; 4. Koridor Ekonomi Barat memiliki tema pembangunan sebagai


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

“Pusat Produksi dan Pengelohan Peternakan dan Lumbung Energi”;

Perikanan,

Perkebunan,

5. Koridor Ekonomi Selatan memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Perkebunan, Produksi dan Pengolahan Perikanan Laut, dan Wisata Alam”;

44

Pasar Tradisional Peunayong, Banda Aceh


45

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

KORIDOR EKONOMI PUSAT Tema Pembangunan: Sentra Produksi Pertanian, Jasa, energi, Industri, dan Perdagangan

Terdiri dari : 4 Pusat Ekonomi • Banda Aceh • Sabang • L a d o n g - K r u e n g Raya (KIA)/Jantho • Sigli/Beureunuen Kegiatan Ekonomi Utama: • Padi • Perikanan • Pariwisata • Jasa • Perdagangan • Kawasan Industri Aceh (KIA)

3.2. Koridor Ekonomi Pusat 3.2.1. Pendahuluan

Koridor ekonomi pusat berada pada ujung utara Aceh. Koridor ini meliputi 4 kabupaten/kota yaitu Kota Banda Aceh, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Koridor ekonomi ini mempunyai nilai strategis dalam kacamata pembangunan nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional menempatkan Kota Banda Aceh sebagai pusat kegiatan nasional (PKN) dan Kota Sabang sebagai Pusat Kawasan Strategis Nasional. Koridor ini juga mempunyai infrastruktur transportasi yang memadai dengan adanya dua pelabuhan laut yaitu Pelabuhan Bebas Sabang dan Pelabuhan Malahayati. Selain itu, Koridor ekonomi ini juga mempunyai Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Kabupaten Aceh Besar. Keberadaan pelabuhan laut dan udara ini menjadikan koridor ini mempunyai keunggulan komparatif terkait dengan konektivitas. Selain konektivitas, koridor ekonomi pusat mempunyai kegiatan industri besar. PT. Semen Andalas – La Farge berada pada Kabupaten Aceh Besar. Selain itu, juga terdapat dua kawasan investasi dan industri yaitu Kawasan Industri Aceh (KIA) di Ladong Kabupaten Aceh Besar dan Kawasan Industri Perikanan di Lampulo, Kota Banda Aceh. Dari sisi sektor unggulan, Penelitian dari Bank Indonesia dan Universitas Malikusshalih Lhokseumawe menyebutkan bahwa sektor unggulan untuk koridor ekonomi pusat adalah pertanian, perikanan, pariwisata, jasa, perdagangan dan industri. Berikut adalah komoditas ekonomi unggulan dalam koridor ekonomi pusat.

3.2.2. Pengembangan Komoditas Padi Aceh diharapkan menjadi salah satu lumbung produksi padi nasional. Produksi padi Aceh Tahun 2012 adalah 1.760.657 ton dengan


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

46

produktifitas 4,68 ton/ha. Wilayah produksi padi di koridor pusat tersebar di tiga kabupaten/kota, seperti terlihat pada Tabel 1. Lebih jauh disebutkan bahwa selama beberapa tahun terakhir Kabupaten Aceh Besar mengalami surplus, dengan rata-rata produksi padi mencapai 248.000 ton per tahun, sedangkan kebutuhannya hanya 170.000 ton per tahun atau surplus 78 ton per tahun. No.

Kabupaten

1.

Banda Aceh

2. 3.

Luas Tanam (ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

141

358

2,67

Aceh Besar

39.660

206.056

5,28

Pidie

41.137

238.280

5,54

Sumber : Aceh Dalam Angka 2012.

Produktivitas padi di kawasan ini relatif rendah dibandingkan dengan produksi potensial yang mencapai sekitar 8 ton per hektar. Beberapa permasalahan dan kendala yang menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas tersebut antara lain adalah; (1) masih kurangnya supply air dan sarana irigasi (kuantitas dan kualitas), (2) penyediaan bibit unggul dan modal kerja yang terbatas, (3) teknik budidaya, dan (4) manajemen usaha dan kapasitas petani yang masih rendah. Langkah strategis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi ke depan adalah melalui peningkatan teknologi dan inovasi pertanian secara terpadu, dengan kegiatan antara lain (1) membangun dan memperbaiki jaringan irigasi yang telah rusak, (2) membangun dan memperbaiki waduk penampungan air (water treatment plan) di beberapa wilayah potensial, misalnya : Indra Puri, Kuta Malaka, Luthu Sibreh, Pekan Biluy, dan Mata Ie, (3) menyediakan bibit unggul tepat waktu dan jumlah serta bantuan modal kerja, (4) peningkatan kapasitas petani dan manajemen usahatani melalui penyuluhan, pelatihan dan pembinaan, dan (5) menjamin harga produksi tetap baik dan stabil.

3.2.2. Pengembangan Komoditas Perikanan Aceh mempunyai sumberdaya laut dan pesisir (termasuk perikanan) yang melimpah, namun kelimpahan sumberdaya tersebut belum mampu mengangkat harkat masyarakat Aceh, khususnya nelayan. Tahun 2011 persentase orang miskin di Aceh masih pada angka

Tabel 3.1. Luas Tanam, Produksi, dan Produktivitas Padi di Koridor Pusat Tahun 2011.


47

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

19,57 persen, sungguhpun telah mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 5 tahun sebelumnya, yaitu tahun 2007 yang mencapai 26,65 persen (RPJMA, 2012). Namun angka kemiskinan tersebut masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka kemiskinan nasional. Lebih ironis lagi dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat miskin di Aceh bertempat tinggal di desa dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Koridor ekonomi pusat sangat potensial untuk pengembangan sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Produksi perikanan koridor ini pada Tahun 2011 adalah 26.530 ton atau 14,50 persen dari total produksi ikan di Provinsi Aceh, yaitu 183.195 ton (Aceh Dalam Angka 2012). Berdasarkan data statistik bahwa rata-rata produksi ikan di PPS Lampulo Banda Aceh mencapai 22 ton per hari, Sabang 8 ton per hari, Aceh Besar 17 ton per hari, dan Pidie 26 ton per hari. Jumlah nelayan di koridor ekonomi pusat pada Tahun 2011 cukup banyak, yaitu 7.147 orang atau 11 persen dari total nelayan di Provinsi Aceh yang mencapai 64.466 orang. Jumlah nelayan terbanyak terdapat di Kabupaten Pidie, yaitu 3.018 orang, selanjutnya berturut-turut diikuti oleh Kabupaten Aceh Besar 1.500 orang, Banda Aceh 1.493 orang dan Sabang 1.136 orang. Jika ditinjau dari segi produktifitas nelayan, maka rata-rata setiap nelayan menangkap ikan sebanyak


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

3,71 ton/tahun atau 0,31 ton/bulan atau 10,31 kg/hari. Produktivitas tertinggi terjadi pada nelayan Kota Banda Aceh, selanjutnya diikuti oleh nelayan Aceh Besar, Sabang, dan Pidie. Selanjutnya bila dilihat dari sisi pendapatan, maka perkiraan rata-rata pendapatan kotor per nelayan di wilayah koridor ekonomi pusat adalah Rp 124.000 per hari (belum dikurangi biaya produksi), dengan asumsi rata-rata harga jual ikan di tingkat nelayan adalah Rp 12.000/kg. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka tingkat produksi dan produktivitas serta pendapatan nelayan di koridor ekonomi pusat relatif sangat rendah. Ada beberapa masalah dan kendala sehingga hal ini terjadi, antara lain adalah (1) sebagian besar wilayah penangkapan ikan di perairan pesisir Aceh, di bawah 12 mil, telah mengalami overfishing, (2) Sebagian besar ukuran kapal (GT) di koridor ekonomi pusat ini berukuran kecil, (3) teknologi penangkapan ikan relatif rendah, (4) modal yang dimiliki sebagian besar nelayan sangat terbatas karena kemiskinan, dan (5) kapasitas nelayan yang relatif rendah. Untuk mengatasi persoalan di atas, maka beberapa peluang investasi di sektor perikanan di koridor ekonomi pusat adalah sebagai berikut : 1. Investasi Kapal Besar berukuran > 30 GT. Investasi kapal motor nelayan berukuran besar sangat dimungkinkan karena Aceh memiliki garis pantai yang cukup panjang 1.677 km yang mengelilingi pulau Sumatera, ditambah 1.022 km garis pantai pulau-pulau kecil. Luas perairan laut seluas 295.370 km2 terdiri dari perairan teritorial dan perairan kepulauan seluas 56.563 km2 dan zona ekonomi ekslusif disekitar perairan Aceh seluas Âą 238.807 km2. Wilayah ini terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil sebanyak + 180 pulau. Kondisi ini menggambarkan besarnya potensi kelautan baik berupa mineral maupun luasan zona penangkapan ikan yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, tujuan dari investasi kapal > 30 GT adalah agar para nelayan dapat menangkap ikan di atas kawasan perairan kabupaten dan provinsi (12 mil). Hal ini dilakukan karena menurut penelitian Indra (2007) bahwa sumberdaya ikan pada wilayah perairan Aceh saat ini sudah terjadi overfishing, paling tidak economic overfishing. Selanjutnya, statistik juga menunjukkan bahwa jumlah kapal besar ukuran 30 GT ke atas, di Provinsi Aceh, masih sangat terbatas. Hal lain yang mendukung investasi kapal nelayan berukuran besar

48


49

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

adalah karena potensi sumberdaya ikan yang cukup melimpah, terutama di wilayah Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan zone laut lepas di Samudera Hindia. Selama ini, potensi sumberdaya ikan di kedua zone tersebut hanya sebagian kecil dimanfaatkan oleh nelayan Aceh, sementara sebagian besar lainnya dinikmati oleh nelayan-nelayan lain dari luar negeri, seperti nelayan Thailand. Kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan Thailand di wilayah Indonesia (ZEE) sudah sering terdengar dan di ekspose di media cetak dan elektronik. Walaupun sudah tertangkap tangan beberapa kali, namun kasus pencurian ikan terus akan terjadi tanpa ada solusi yang cukup berarti. Disamping potensi sumberdaya ikan yang melimpah, sumberdaya manusia nelayan Aceh juga cukup tersedia. Hanya saja untuk meningkatkan kapasitas dan ketrampilan dalam penguasaan teknologi penangkapan masih perlu dilakukan pelatihan dan pembinaan. Hal ini tidak sulit dilakukan karena di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya sudah banyak tenaga-tenaga terlatih yang menguasai teknologi penangkapan ikan, apalagi didukung oleh sebagian besar nelayan Aceh sudah mulai open minded, dalam artian sudah menerima inovasi-inovasi baru menyangkut teknologi penangkapan ikan. Pembangunan kapal-kapal besar di Aceh diharapkan mampu bersaing dengan kapal-kapal dari luar negeri dan sekaligus memberikan peluang kepada nelayan Aceh untuk bisa dan mampu menangkap ikan di zone ZEE dan laut lepas. Menurut DKP (2012) penangkapan ikan di wilayah ZEE baru hanya 37,2% dan masih punya peluang 62,8% atau 137.000 ton/tahun. Dengan demikian diharapkan akan dapat meningkatkan Catch Per Unit Effort (CPUE) kapal nelayan Aceh, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Faktor yang mendukung lainnya adalah telah tersedianya beberapa prasarana pendukung yang cukup representatif, misal home base Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo yang terus berbenah, adanya kawasan pengembangan industri perikanan Lampulo, dan Bandara Internasional SIM sebagai penunjang ekspor. Keterkaitan ketiga prasarana ini akan menjamin akses pasar jika terjadi over produksi perikanan tangkap. 2. Cold-Storage. Sarana Cold Storage sangat penting dalam menjaga jumlah supply, kualitas, dan harga ikan karena seperti diketahui bahwa ikan termasuk salah satu komoditi pertanian


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

yang cepat rusak, sehingga bargaining position-nya sangat lemah, harga ditentukan oleh pedagang, dan lain-lain. Hal inilah yang menyebabkan income nelayan tetap rendah, sebab dimusim hasil tangkapan banyak maka harga akan turun dan sebaliknya. Tidak hanya itu, cold storage ini sangat diperlukan ketika ingin ditingkatkan status pelabuhan atau jika diinginkan pelabuhan tersebut menjadi pelabuhan ekspor. Menurut DKP Aceh (2012), jumlah cold storage di Aceh 2 unit (Aceh Timur dan Bireun), yang beroperasional 1 unit di Aceh Timur dengan kapasitas 30 ton). Investasi Cold storage adalah yang sangat urgen di beberapa PPI dan TPI di koridor ekonomi pusat. Pembangunan sarana ini ditujukan untuk menjaga kualitas dan harga pasar produk perikanan yang salah satu cirinya adalah cepat busuk/rusak, sehingga posisi tawar produk ini sangat lemah. Cold storage juga diperlukan untuk menunjang kegiatan UPI/Industri perikanan lainnya dalam menjaga kualitas input dan output. Berikut disampaikan beberapa kegunaan atau manfaat Cold storage: a. Sentral penampungan produksi perikanan terutama udang yang akan dipasarkan di tingkat regional, nasional dan internasional. b. Sarana pengawetan produksi perikanan khususnya dalam proses pembekuan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi (economic added value) yang mampu dinikmati oleh pelaku usaha perikanan di daerah. c. Stabilisator harga komoditas perikanan khususnya regional kabupaten setempat dan sekitarnya. d. Kontributor dalam pengurangan angka pengangguran melalui serapan tenaga kerja, keberadaan dan operasionalisasi cold storage diyakini mampu menciptakan berbagai peluang kerja seperti pedagang, buruh dan karyawan. e. Sarana pelatihan, magang dan pengembangan Iptek dibidang pengolahan hasil perikanan dalam upaya peningkatan economic added value. Sarana ini dapat dimanfaatkan oleh pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat yang memiliki motivasi tinggi dibidang usaha perikanan. f. Kontributor bagi peningkatan perekonomian daerah melalui efek sentrifugal yang mampu memicu produktivitas sektor lain, sehingga secara simultan menciptakan income multiplier effect bagi PDRB.

50


51

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Di kawasan koridor ekonomi pusat belum ada pembuangan cold storage, kecuali di PPS Lampulo, terdapat 1 cold storage milik swasta dengan kapasitas 40 ton. Jumlah dan kapasitas cold storage ini sangat tidak mencukupi dibandingkan dengan produksi ikan dalam kawasan koridor ini. 3. Pabrik Es. Jumlah pabrik es yang ada di Aceh pada Tahun 2011 adalah 20 unit, namun sebagian besar pabrik es tersebut tidak berfungsi dan rusak. Masalah utama dari tidak berfungsinya pabrik es dan cold storage ini di beberapa pelabuhan perikanan adalah konsumsi daya listrik yang sangat besar dan tidak tersedianya beberapa peralatan mesin yang rusak. Sama seperti cold storage, sebagian besar pabrik es tersebut dibangun oleh BRR dan NGOs ketika masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias Tahun 2004. Jumlah pabrik es yang ada di lokasi pelabuhan Perikanan Ikan (PPI) adalah 8 unit (operasional 5 unit) dengan kapasitas 10 – 80 ton/hari/unit, sedangkan sisanya berada diluar lokasi PPI. Ke depan, sebaiknya pembangunan pabrik es perlu difokuskan dalam kawasan PPI sebab akan lebih murah karena dapat menghemat angkut. Percepatan pembangunan pabrik es di koridor ekonomi pusat ini perlu mendapat perhatian baik pemerintah maupun swasta. Selain pembangunan sarana fisik seperti tersebut di atas, pembangunan non fisik, soft skill, baik para nelayan maupun seluruh pemangku kepentingan lainnya agar kapasitas mereka dalam mengelola sumberdaya perikanan dapat meningkat. Peningkatan soft skill ini dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, dan pembinaan yang sistematis dan terencana.

3.2.3. Pengembangan Komoditas Pariwisata Aceh menjadi salah satu tujuan wisata nasional, terutama wisata tsunami, budaya, dan agama. Hal ini sesuai dengan program pemerintah Aceh melalui Visit Aceh Year, Aceh Sebagai Tujuan Wisata Spiritual. Pembangunan kepariwisataan di koridor ekonomi pusat difokuskan pada 5 tujuan wisata, yaitu: (1) Situs Tsunami (Museum Tsunami, Kapal Apung PLTD, Kapal di atas rumah), (2) Wisata Agama dan Budaya (Mesjid Baiturrahman, Taman Ratu Sri Safiatuddin, Kerkhof), (3) Pantai Bahari (Pantai Lampuuk/Lhoknga, Taman Bawah Laut Pulau Rubiah), (4) Wisata Kuliner (Ayam Tangkap, Kupi Ulee Kareng,


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

52

dan Ikan Bakar). Jumlah tamu mancanegara yang datang ke Aceh pada Tahun 2011 adalah 28.054 orang dan terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada Tabel 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa koridor ekonomi pusat menjadi pilihan utama para wisatawan manca negara, terbukti dari jumlah wisatawan yang datang ke wilayah ini (Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh, dan Sabang) sangat tinggi dibandingkan dengan daerah tujuan wisata lainnya. Pola yang sama terjadi pada wisatawan lokal, jika pada Tahun 2007 berjumlah 595.546 orang maka Tahun 2011 meningkat menjadi 959.545 orang. Sungguhpun meningkat, namun jumlah kunjungan wisata ke Aceh relatif kecil dibandingkan dengan beberapa tempat kunjungan wisata lainnya di Indonesia, misalnya di Bali dan Lombok.

Tabel 3.2. Jumlah Tamu Manca Negara yang datang ke Aceh

Sumber : Aceh Dalam Angka 2012

Tahun 2007 - 2011


53

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Pantai Iboih, Sabang

Beberapa strategi umum untuk dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan selama berkunjung ke Aceh, antara lain: 1. Meningkatkan keamanan di Aceh 2. Melakukan pemasaran dan promosi yang lebih fokus dengan target pasar yang lebih jelas. Strategi pemasaran untuk setiap negara asal wisatawan dan daerah perlu disesuaikan dengan menerapkan tema �Wonderful Aceh, Wonderful Nature, Wonderful Culture, Wonderful People, Wonderful Kuliner, dan Wonderful Price�. Kegiatan pemasaran dan promosi ini diharapkan dapat membuat Aceh menjadi etalase pariwisata dan meningkatkan citra Aceh sebagai tujuan utama pariwisata dunia; 3. Meningkatkan pengembangan destinasi pariwisata di wilayah Aceh dalam rangka meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan dan lama tinggal wisatawan; 4. Kunci sukses sektor wisata adalah pengadaan akses seperti peningkatan rute penerbangan, transportasi laut, dan darat yang disertai pemasaran yang kuat dan terarah; 5. Meningkatkan kualitas pelayanan hotel 6. Meningkatkan kualitas dan kenyamanan tinggal para wisatawan dengan meningkatkan sarana dan prasarana seperti ketersediaan


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

air bersih, listrik dan transportasi serta komunikasi; 7. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal terutama SDM pariwisata di Aceh, serta 8. Mengembangkan gerakan sadar wisata.

3.2.4. Pengembangan Komoditas Jasa Jasa (service) yang dimaksud dalam dokumen ini berhubungan dengan profesi seseorang (misalnya dokter, guru, dan lain-lain) dan kegiatan lainnya seperti rumah sewa, bengkel mobil/motor, warnet, lembaga keuangan lainnya. Sebagian besar life cycle dari pelayanan jasa tersebut di koridor ekonomi pusat sudah berada pada tahap kematangan. Pelabuhan Lampulo Banda Aceh sedang persiapan menuju Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS). PPS dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan type A, atau kelas I. Pelabuhan perikanan ini dirancang terutama untuk melayani kapal perikanan berukuran > 60 GT. Pelabuhan ini dapat menampung 100 buah kapal atau 6000 GT sekaligus, dapat pula melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan lepas pantai, ZEE dan perairan internasional. Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40.000 ton / tahun dan juga memberikan pelayanan untuk ekspor. Selain itu tersedia juga tanah untuk industri perikanan. Perum Prasarana Perikanan Samudera adalah badan yang bertanggungjawab terhadap pelabuhan perikanan ini. Perusahaan ini bertujuan untuk :

1. Meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan melalui penyediaan dan perbaikan sarana dan / atau prasarana pelabuhan perikanan.

2. Mengembangkan wiraswasta perikanan serta untuk memasang dan / atau mendorong usaha industri perikanan dan pemasaran hasil perikanan.

3. Memperkenalkan dan mengembangkan teknologi hasil perikanan dan sistem rantai dingin dalam perdagangan dan industri di bidang perikanan

54


55

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

3.2.5. Pengembangan Kawasan Industri 3.2.5.1 Industri Perikanan (Agroindustri) Saat ini, kebutuhan investasi industri perikanan (agroindustri) merupakan hal yang sangat mendesak dan perlu mendapat perhatian serius semua pihak, terutama pemerintah dan pihak swasta, karena menurut beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 60 – 70 persen nilai tambah dari suatu produk (termasuk produk perikanan) terdapat pada tahap pasca panen (agro industri). Dengan agroindustri diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk perikanan dan sekaligus meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan nelayan dan stakeholder terkait lainnya. Jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) skala rumah tangga yang ada di Aceh pada Tahun 2012 adalah 216 unit, namun berdasarkan hasil survai lapangan bahwa kebanyakan dari UPI tersebut sudah tidak aktif akibat berbagai kendala, terutama persoalan terbatasnya modal usaha. Investasi industri perikanan yang perlu dikembangkan ke depan adalah industri perikanan modern skala ekonomis yang dapat menghasilkan beberapa produk jadi atau setengah jadi. Misalnya, industri tepung ikan, industri pellet (ikan/unggas), ikan asin dan abon ikan modern, packaging tuna untuk ekspor, dan lain-lain. Industri-industri ini dapat didirikan di lokasi pelabuhan perikanan yang produktif, tersedia bahan baku ikan yang cukup, seperti di kawasan industri PPS Lampulo . Industri perikanan atau disebut juga dengan industri penangkapan ikan adalah industri atau aktivitas menangkap, membudidayakan, memproses, mengawetkan, menyimpan, mendistribusikan, dan memasarkan produk ikan. Namun, yang dimaksud dengan industri perikanan dalam penelitian adalah berupa agro-industri yaitu industri pengolahan yang menggunakan bahan baku ikan. Pada prinsipnya tujuan dari pengolahan adalah agar ikan tidak mudah rusak dan dapat disimpan lama dengan mempertahankan kualitas dan kandungan nutrisinya, untuk itu dibutuhkan penanganan dan pengawetan. Beberapa bentuk penanganan dan pengawetan tersebut adalah pengemasan vakum (pengalengan); Pengendalian temperatur menggunakan es, pendinginan, atau pembekuan; pengendalian aktivitas air di dalam produk dengan pengeringan, penggaraman, dan pengasapan; kendali fisik aktivitas mikroba dengan pemanasan dan iradiasi ionisasi; kendali kimia aktivitas mikroba dengan penambahan asam; dan industri yang sifatnya berubah wujud/bentuk seperti


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

industri tepung ikan, kerupuk ikan, abon ikan, dan lain-lain. 3.2.5.2 Industri Pengalengan Industri pengalengan ikan di Aceh, secara kualitatif dinyatakan layak dilaksanakan baik ditinjau dari aspek teknis, finansial, dan pasar. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh seorang pengusaha di Kawasan Industri Medan (KIM) pada beberapa waktu lalu pada kunjungan kerja Bappeda Aceh dan SKPA terkait ke lokasi KIM tersebut. Diakuinya bahwa sebagian besar bahan baku industri perikanan di Medan tersebut dipasok dari Provinsi Aceh, terutama PPP Idi. Sehingga, direncanakan mulai awal 2014 akan dibangun industri pengalengan ikan oleh pengusaha asal Medan tersebut di kawasan industri Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh. Jenis ikan yang dapat dikalengkan serupa dengan jenis ikan kaleng yang diproduksi di KIM, yaitu antara lain: ikan tuna, tongkol, dencis, daging kepiting, sotong, cumi, dan lain-lain. 3.2.5.3 Industri Pengendalian Temperatur Metode yang digunakan pada industri ini adalah menggunakan es, pendinginan, atau pembekuan. Industri ini dinyatakan layak dilaksanakan seperti telah dibahas pada investasi cold storage di atas. 3.2.5.4 Industri Pengendalian Aktivitas Air Industri dengan pengendalian air di dalam produk dapat berupa pengeringan, penggaraman, dan pengasapan. Industri sejenis ini telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat nelayan Aceh Jsecara turun temurun dengan menggunakan teknologi sangat sederhana, yaitu hanya dengan memanfaatkan sinar matahari, air laut, dan bahan bakar kayu. Ada berbagai macam jenis usaha industri tradisional tersebut, yaitu: industri Keumamah, teri, dan ikan asin/kering. Berdasarkan beberapa penelitian mahasiswa tingkat sarjana Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Unsyiah, bahwa semua jenis industri di atas layak dilaksanakan ditinjau dari aspek finansial, hanya saja skala usahanya skala rumah tangga. Salah satu kendala dominan yang dihadapi pengusaha industri-industri ini adalah masalah ketidakstabilan ketersediaan energi sinar matahari, apalagi pada beberapa tahun belakangan kondisi cuaca semakin sulit diprediksi yang merupakan dampak dari isu-isu pemanasan global. Akibatnya, para pengusaha yang mengandalkan energi cahaya matahari dalam proses produksinya sering sekali mengalami kerugian karena produk mereka mengalami kegagalan, seperti berjamur, bau

56


57

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

busuk, dan lain-lain. Berdasarkan hasil survai lapangan bahwa kendala cuaca tersebut sangat dirasakan dampaknya oleh pengusaha Unit Pengolahan Ikan (UPI) teri dan ikan kering/asin. Selama ini, sebagian produksi teri Aceh di ekspor ke Medan dan sebagian masyarakat menyebutnya “teri medan�. Padahal faktanya, teri-teri tersebut di produksi di sebagian pesisir timur Aceh, seperti di pesisir Krung Raya Aceh Besar dan pesisir Pante Raja, Pidie Jaya. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, industri dengan teknologi tenaga surya sangat diperlukan untuk menunjang pengembangan industri teri di Aceh. Hasil wawancara dengan beberapa pengusaha dan informan di lapangan menunjukkan bahwa ada keinginan yang kuat dari para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas industri dari tradisional menjadi modern atau semi modern. Dengan memasukkan berbagai inovasi diharapkan usaha industri perikanan ini menjadi lebih efisiensi, kualitas produk yang dihasilkan lebih baik, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan pengusaha khususnya dan nelayan pada umumnya. 3.2.5.5 Industri Pengolahan (Kerupuk Ikan) Beberapa industri pengolahan yang umum dijumpai di sektor perikanan adalah agro-industri tepung ikan, kerupuk ikan, pembuatan pellet, dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Wijayana (2010) bahwa investasi industri pengolahan mempunyai nilai IRR sebesar 40 % dan nilai NPV sebesar Rp 1.167.721.526,00. Waktu pengembalian modal investasi dicapai pada 3 tahun 0,5 bulan, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut nilai investasi perusahaan sebesar Rp 2.314.629.717,00 telah kembali. Lama pengembalian modal lebih pendek dari pada umur proyek yang direncanakan yaitu selama 5 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa proyek ini layak untuk dilaksanakan.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

58

KORIDOR EKONOMI UTARA

3.3. Koridor Ekonomi Utara 3.3.1. Pendahuluan

Koridor Ekonomi Utara mempunyai tema Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan dan Perikanan, serta Gerbang Perdagangan Luar Negeri. Wilayah ini diharapkan dapat menjadi Gerbang Ekonomi Aceh ke pasar nasional dan internasional melalui Pelabuhan Krueng Geukeuh yang terletak di Kabupaten Aceh Utara. Koridor Utara menghadapi beberapa persoalan utama, yaitu: o Dalam kurun waktu 2010-2012, rata-rata pertumbuhan ekonomi non migas seluruh kabupaten/kota dalam Koridor Utara masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi non migas Aceh. Ratarata pertumbuhan ekonomi non migas Lhokseumawe dalam kurun waktu ini, yang merupakan yang tertinggi dibandingkan anggota koridor lainnya, sebesar 5,45%, masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi non migas Aceh yang mencapai 5,82%. Dalam periode ini, Aceh utara mengalami rata-rata pertumbuhan terendah, yaitu 3,97%. o Di tahun 2012, Pidie Jaya dan Aceh Utara memiliki PDRB non migas Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) per kapita di bawah ratarata Aceh. PDRB non migas ADHB per kapita Pidie Jaya Rp 5,18 juta dan Aceh Utara Rp 13,26 juta, sementara Aceh Rp 17,27 juta. Dibandingkan seluruh kabupaten/kota dalam koridor, Lhokseumawe memiliki PDRB non migas ADHB per kapita terbesar di tahun ini, yaitu Rp 33,36 juta.

Tema Pembangunan: Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan dan Perikanan, serta Gerbang Perdagangan Luar Negeri Terdiri dari : 5 Pusat Ekonomi • Lhokseumawe • Krueng Geukuh • Lhoksukon • Bireun • Meureudu Kegiatan Ekonomi Utama: • Perkebunan • Pertanian • Kawasan Industri Lhokseumawe (KIL)


59

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Rata-rata pertumbuhan PDRB rill 2010-2012 (%)

PDRB non migas ADHB perkapita 2012 (juta Rp)

7

40 35

6

30

5

25

4

20

3

15

2

10

1

5 0 Gambar 3.1. Nilai dan Pertumbuhan PDRB non migas Koridor Utara

Bireun

Aceh Utara Pidie Jaya Lhokseumawe Aceh

PDRB non migas DHB perkapita 2012

0

Pertumbuhan PDRB rill 2010-2012

Sumber: BPS Aceh, 2013 (diolah)

o Kontribusi minyak dan gas (migas) Aceh Utara dan Lhokseumawe yang merupakan wilayah penyumbang migas terbesar di Aceh kian menurun dari waktu ke waktu. Kontribusi migas pada PDBR Aceh Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) yang di tahun 2008 mencapai 26,3% mengalami penurunan signifikan menjadi 16,2% di tahun 2011.

Non Migas

Persen

Migas

Gambar 3.2 Kontribusi Migas dan Non Migas pada PDRB Aceh ADHB 2008-2011 (%)

73,3

81,8

83,5

26,3

18,2

16,5

16,2

2008

2009

2010

2011

Sumber: BPS Aceh, 2012 (diolah)

83,8


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

60

o Pada tahun 2012, Pidie Jaya dan Aceh Utara memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan Aceh, yaitu masing-masing 24,35% dan 21,89%. Tingkat kemiskinan Aceh pada tahun yang sama mencapai 18,58%, melampaui tingkat kemiskinan nasional yang mencapai 11,66%. Bireun dan Lhokseumawe memiliki tingkat kemiskinan yang lebih baik, di bawah rata-rata Aceh, masing-masing 18,21% dan 13,06%. Meskipun demikian, jika dilihat dalam konteks nasional, tingkat kemiskinan seluruh kabupaten anggota koridor masih di atas rata-rata nasional yang berada pada angka 11,66%. 24,35 21,89 18,21

Aceh : 18,58

Persen

13,06

Nasional : 11,66

Pidie Jaya

Aceh Utara

Bireuen

Lhokseumawe

Sumber: BPS Aceh, 2012 (diolah)

o Infrastruktur yang kurang memadai untuk kegiatan ekonomi, seperti masih terbatasnya tenaga listrik dan air. Sementara itu, pelabuhan Krueng Geukeuh yang diharapkan menjadi gerbang arus barang Aceh ke pasar nasional dan internasional belum beroperasi seperti yang diharapkan. Di dalam strategi pembangunan ekonominya, Koridor Ekonomi Utara Aceh memfokuskan diri pada sektor perkebunan, tanaman pangan, dan perikanan laut serta kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan Kawasan Industri Lhokseumawe (KIL) dan Kawasan Industri Bireun (KIB). Komoditas-komoditas utama dalam koridor ini meliputi kelapa sawit, karet, kakao, padi, kacang kedelai, dan perikanan laut.

Gambar 3.3. Tingkat Kemiskinan Koridor Utara 2012


61

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

3.3.2. Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Perkebunan kelapa sawit di koridor Utara merupakan perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Kabupaten Aceh Utara memiliki luas lahan dan produktivitas kelapa sawit terbesar diantara kabupaten/ kota di Koridor Utara, baik untuk perkebunan rakyat, maupun perkebunan besar. Di tahun 2011, untuk perkebunan rakyat, Aceh Utara memiliki luas lahan sebesar 16.829 ha dengan produksi 39.343 ton. Sementara perkebunan besarnya memiliki luas 7.766 ha dan produksi 76.632 ton. Bireun memiliki potensi yang juga relatif besar, terutama untuk perkebunan besar, dengan luas lahan 2.071 ha dan produksi 21.261 ton. Sementara Pidie Jaya memiliki produktivitas kelapa sawit yang cukup besar untuk kategori perkebunan rakyat, dengan luas lahan 208 ha dan produksi sebesar 243 ton. Perkebunan kelapa sawit rakyat di Koridor Utara masih memiliki tingkat produktivitas yang belum optimal. Di tahun 2012, dengan total luas tanam dalam wilayah koridor yang mencapai 21.610 ha, total produksi sawit yang dihasilkan baru mencapai 41.370 ton. Dengan demikian, perkebunan rakyat di koridor ini hanya memiliki produktivitas rata-rata sebesar 1,91 ton/ha, masih di bawah produktivitas rata-rata perkebunan besar yang mencapai 9,85 ton/ ha. 39.343

76.321

7.766

16.829

2.071

21.261

900

2.573

2.000

Bireun

884

243 208

Aceh Utara Pidie Jaya Lhokseumawe

Luas Lahan (ha)

Produksi (ton)

Gambar 3.4. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Koridor Utara 2012 Sumber: BPS Aceh, 2013 (diolah)

81

Bireun

106

Aceh Utara Pidie Jaya Lhokseumawe

Luas Lahan (ha)

Produksi (ton)

Gambar 3.5. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Besar Koridor Utara 2012


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

62

Dalam skala provinsi, persentase kontribusi produksi perkebunan rakyat Koridor Utara lebih besar dibandingkan perkebunan besarnya. Pada tahun 2012, total luas tanam perkebunan kelapa sawit di koridor ini mencapai sekitar 21.610 ha atau 11% dari area tanam seluruh perkebunan Aceh yang mencapai 194.639 ha. Dengan luas tanam tersebut Koridor Utara menghasilkan produk sebesar 41.370 ton atau 13% dari total produk yang dihasilkan di seluruh Aceh yang mencapai 310.766 ton. Sementara perkebunan besar di koridor ini hanya memiliki area seluas 9.918 ha atau 6% dari area tanam seluruh Aceh yang mencapai 174009 ha. Produksi perusahaan besar ini memberikan kontribusi sebesar 2% atau 97.688 ton terhadap total produksi sawit Aceh yang mencapai 4.759.790 ton.

13 % 11 %

6%

2%

Luas (ha)

Produksi (ton)

Perkebunan Rakyat

Luas (ha)

Produksi (ton)

Perkebunan Besar

Sumber: BPS, 2013 (data diolah)

Sampai saat ini, Koridor Utara telah memiliki setidaknya 2 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang mengolah buah sawit menjadi CPO. Dua PKS tersebut masing-masing terletak di wilayah Bireun dan di Cot Girek, Aceh Utara. PKS yang berada di Bireun dimiliki oleh perusahaan swasta, PT Syaukat Sejahtera, yang terletak di Desa Cot Jabet, Gandapura. Sedangkan yang berada di Cot Girek adalah milik PT Perkebunan Nusantara 1 (PTPN 1) Langsa. Kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan kelapa sawit di Koridor Utara menghadapi tantangan dalam upaya peningkatan

Gambar 3.6. Kontribusi luas lahan dan produksi kelapa sawit Koridor Utara terhadap Aceh 2012


63

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

nilai tambah (value added). Pengembangan produk CPO dan kernel kelapa sawit menjadi produk-produk seperti minyak makan, mentega, dan sabun merupakan peluang yang dapat lebih menggerakkan roda ekonomi dan menciptakan lapangan kerja bagi. masyarakat. Pengembangan industri pengolahan CPO ini merupakan hal yang cukup penting, selain upaya-upaya pengembangan kapasitas dan kuantitas PKS. Pengembangan PKS tersebut diharapkan dapat lebih meningkatkan kegiatan ekonomi yang terkait dengan kelapa sawit ini.

3.3.2.1 Regulasi dan Kebijakan Pengembangan kelapa sawit di Koridor Utara telah didukung oleh sejumlah regulasi dan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diantaranya adalah: o Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 yang menetapkan kelapa sawit sebagai salah satu kegiatan ekonomi utama Koridor Sumatera. o Pergub No. 71 Tahun 2012 tentang Rencana Umum Penanaman Modal Aceh yang menyatakan bahwa arah kebijakan penanaman modal Aceh terfokus salah satunya pada pengembangan agroindustri yang berbasis komoditas perkebunan yang meliputi kopi, kakao dan sawit. o Qanun No 70 Tahun 2012 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2012-2017. Dalam RPJMA ini diantaranya disebutkan bahwa pengembangan sektor perkebunan dilakukan dilakukan salah satunya dengan pemeliharaan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan rakyat di Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Jaya, Subulussalam, dan Singkil. Agar peran dan manfaat kegiatan ekonomi kelapa sawit di Koridor Utara semakin meningkat, perlu dipersiapkan berbagai regulasi dan kebijakan, meliputi: o Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit . o Perbaikan peraturan, insentif dan disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

o Kebijakan peningkatan akses petani sawit perkebunan rakyat, yang jumlahnya sangat potensial di Koridor Utara, terhadap modal usaha. o Kebijakan peningkatan kemitraan antara pemerintah, industri/ swasta dan petani sawit dalam rangka meningkatkan produktivitas dan nilai tambah kelapa sawit.

3.3.2.2 Konektivitas Koridor Utara memiliki transportasi darat, laut, dan udara yang memadai. Jaringan jalan dalam Koridor Utara ini terdiri dari Jalan Negara (Nasional), Jalan Provinsi, dan Jalan Kabupaten. Keberadaan Jalan Nasional yang berupa Jalan Arteri Primer dan kolektor primer yang melintas antar kabupaten/kota di Koridor Utara menjadi pendorong perkembangan ekonomi di kawasan ini. Kondisi jaringan jalan arteri primer yang melintasi kawasan ini secara umum cukup baik. Jaringan jalan tersebut menghubungi Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Utara, dan Kota Lhokseumawe. Untuk jaringan jalan ini, yang perlu lebih dikembangkan dan ditingkatkan adalah jaringan jalan dari sentra produksi menuju PKS dan pelabuhan. Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) RI No. 61/MDAG/PER/9/2013, maka Pelabuhan Laut Krueng Geukuh resmi menjadi pelabuhan impor. Dengan demikian secara nasional, saat ini telah ada tujuh pelabuhan laut yang berstatus sebagai pelabuhan impor. Selain Pelabuhan Laut Krueng Geukuh yang terletak di Kecamantan Dewantara, Aceh Utara ini, pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Riau, Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Soekarno Hatta di Makassar, dan Pelabuhan Tarakan. Disamping berfungsi sebagai pelabuhan impor, Pelabuhan Krueng Geukuh tentunya diharapkan dapat menjadi pintu gerbang untuk mengekspor bahan baku atau bahan olahan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dari kabupaten/kota yang berada di Koridor Utara. Sejauh ini Pelabuhan Laut Krueng Geukuh yang merupakan bagian dari pelabuhan yang diidentifikasikan sebagai Pelabuhan laut Lhokseumawememiliki dua kompleks pelabuhan. Pertama, Kompleks Pelabuhan Khusus di Kota Lhokseumawe. Kompleks pelabuhan ini digunakan untuk keperluan bongkar-muat LNG kondensat dan LPG oleh Perusahaaan EMOI di Blang Lancang dan

64


65

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

untuk bongkar-muat BBM oleh PT Pertamina di Hagu Selatan. Kedua, Kompleks Pelabuhan Umum di Krueng Geukuh. Kompleks pelabuhan ini melayani bongkar-muat barang danpenumpang umum. Selain itu di kompleks ini juga terdapat pelabuhan khusus yang melayani bongkar-muat barang PT AAF dan PT PIM. Koridor Utara memiliki dua pelabuhan udara. Pertama, Pelabuhan Udara Malikussaleh yang terletak di Kecamatan Muara Batu. Pelabuhan ini melayani penerbangan masyarakat umum dan berada di bawah pengelolaan Pemkab Aceh Utara. Kedua, Pelabuhan Udara khusus Perusahaan Exxon Mobil Indonesia (EMOI) yang terletak di Kecamatan Nibong. Pelabuhan ini hanya melayani kegiatan perusahaan EMOI. Kedua pelabuhan udara tersebut, atau setidaknya Pelabuhan Udara Malikussaleh, dapat mendukung kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung di dalam Koridor Utara. Pengembangan kegiatan ekonomi kelapa sawit memerlukan sejumlah dukungan infrastruktur, meliputi sebagai berikut: o Peningkatan kualitas jalan dari sentra-sentra produksi kelapa sawit menuju PKS dan pelabuhan laut untuk memudahkan mobiltas input dan output dalam kegiatan ekonomi kelapa sawit di Koridor Utara. o Pembangunan dan peningkatan fungsi Pelabuhan Krueng Geukuh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara sebagai pelabuhan pengangkut hasil produksi dan pengolahan kelapa sawit ke pasar nasional dan internasional.

3.3.2.3 SDM dan IPTEK Disamping dukungan regulasi dan infrastruktur, pengembangan kegiatan ekonomi kelapa sawit di Koridor Utara juga perlu ditunjang oleh pengembangan SDM dan Iptek. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan SDM dan Iptek ini diantaranya meliputi: o Peningkatan riset untuk memproduksi bibit sawit kualitas unggul dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa sawit. Kegiatankegiatan riset ini disamping melibatkan Dinas Perkebunan, juga dapat mengikutsertakan pihak perguruan tinggi yang berada di kawasan Koridor Utara seperti Universitas Malikussaleh, dan para pemangku kepentingan lainnya seperti dunia usaha dan, asosiasi


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

UMKM sawit, dll. o Penyediaan bantuan keuangan, pendidikan dan pelatihan, terutama untuk pengusaha kecil. Penyediaan bantuan keuangan dengan skema khusus untuk pengembangan komoditas sawit, terutama untuk kegiatan perkebunan rakyat perlu mendapat perhatian seksama. Sementara pendidikan dan pelatihan untuk pengusaha kelapa sawit dalam rangkaian kegiatan hulu hilir komoditas sawit juga perlu terus dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan perusahan kelapa sawit. o Pembentukan pusat penelitian dan pengendalian sistem pengelolaan sawit. Pusat penelitian ini dapat dikelola oleh perguruan tinggi seperti Universitas Malikussaleh yang merupakan perguruan tinggi negeri di Koridor Utara yang memiliki Fakultas Pertanian .

3.3.3. Pengembangan Kawasan Industri Lhokseumawe (KIL) Proyek Pembangunan LNG Receiving Terminal Gas Arun – Lhokseumawe dengan nilai total investasi US$ 80 juta diluar pembangunan pipa gas sepanjang ruas Arun – Belawan direncanakan pada tahun 20132014. Proyek ini berfungsi sebagai terminal penerima dan regasifikasi LNG yang berkapasitas 320 MMscfd. Tujuan dari pembangunan LNG Receiving Terminal gas ini adalah untuk menunjang kelangsungan pembangunan Aceh dengan kembali menghidupkan industri-industri yang telah mati seperti PT. Asean Aceh Fertilizer, PT. Kertas Kraft Aceh, dan menjaga kinerja PT. PIM serta sebagai infrastruktur penyedia gas bagi PT. PLN Persero dan industri-industri yang ada di Medan

66


67

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

KORIDOR EKONOMI TIMUR Tema Pembangunan: Sentra produksi dan pengolahan pertanian, perkebunan, dan perikanan, jasa, dan perdagangan Terdiri dari : 4 Pusat Ekonomi • Kota Langsa • Kuala Simpang • Idi Rayeuk • Blangkeujeren

Kegiatan Ekonomi Utama: • Perkebunan (Sawit, Nilam) • Jasa • Kawasan Industri

Catatan: Pertanian: a) Padi (kecuali Langsa); Perkebunan: a) Sawit, & Karet (Atim & Atam); b) Sereh Wangi & Nilam (Gayo Lues); Perikanan: Perikanan tangkap (Atim); Jasa: Kota Langsa; Kawasan Industri: a) kelapa terpadu, b) agroindustri dan perikanan (Atim), c) industri-migas & energi (Atim), d) industri pengolahan Rotan (Atam, Atim), e) industri UMKM pisang sale (Atim).

3.4. Koridor Ekonomi Timur 3.4.1. Pendahuluan

Koridor Ekonomi Utara mempunyai tema Sentra produksi dan pengolahan pertanian, perkebunan, dan perikanan, jasa, dan perdagangan. Di koridor ini, Aceh Tamiang direncanakan untuk dikembangkan menjadi Kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh (Aceh Trade and Distribution Center, ATDC) Secara garis besar, pembangunan di Koridor Utara berjalan lamban. Ada beberapa persoalan utama yang dihadapi koridor ini, yaitu: 1. Fokus pembangunan pada sektor pertanian dan perkebunan, kesenjangan pembangunan antar sektor 2. Belum memadainya insfratruktrur yang tersedia untuk koneksi antar daerah 3. Kualitas sumber daya manusia untuk mendukung sektor unggulan belum memadai 4. Perubahan iklim, cuaca yang semakin panas Pada tahun 2011, tingkat pertumbuhan dengan migas di koridor ini adalah lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Aceh ( 5,09%). Di samping itu, terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antar kabupaten di koridor ini. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Aceh Timur hanya sebesar 2,15%, jauh lebih rendah dari tingkat pertumbuhan di Kota Langsa (4,37%), Kabupaten Aceh Tamiang (4,61%) dan Gayo Lues ( 4,80%). Rendahnya pertumbuhan ekonomi di koridor ini harus dipacu agar tidak


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh Indonesia

6,5 %

Aceh

5,09 %

Gayo Lues

4,80 %

Aceh Tamiang

4,61 %

Langsa

4,37 %

Aceh Timur

2,15 %

68

Gambar 3.7. Pertumbuhan PDRB dengan migas Koridor Ekonomi Timur, 2011

Persentasi tingkat pertumbuhan ekonomi

Nasional

6,23 %

Aceh

6,06 %

Gayo Lues

4,41 %

Aceh Tamiang

5,76 %

Langsa

4,65 %

Aceh Timur

3,31 % Persentasi tingkat pertumbuhan ekonomi

Gambar 3.8. Persentase Tingkat Pertumbuhan PDRB dengan non-migas Koridor Ekonomi Timur, 2011

ketertinggalan dari koridor lainnnya di Aceh dan sekaligus untuk mempercepat pembangunan Aceh. Sumber: BPS, 2013

Pada umumnya, tingkat kemiskinan di koridor timur relatif lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kemiskinan Provinsi Aceh. Hanya Kabupaten Gayo Lues yang memiliki tingkat kemiskinan 22,31%, lebih tinggi dari tingkat kemiskinan provinsi (18,58%). Walaupun tingkat kemiskinan Kota Langsa (13,93%) adalah yang terendah di korodor timur dan juga terendah ketiga di level provinsi, namun tingkat Nasional

11,96 %

Gayo Lues

22,31 %

Aceh

18,58 %

Aceh Tamiang

16,70 %

Langsa

13,93 %

Aceh Timur

17,19 % Persentasi tingkat pertumbuhan ekonomi

Sumber: BPS, 2013

Gambar 3.9 Persentase Tingkat Kemiskinan Koridor Ekonomi Timur, 2012


69

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

kemiskinan Kota Langsa masih berada di bawah tingkat kemiskinan nasional (11,96%). Infrastruktur yang kurang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi, seperti masih terbatasnya tenaga listrik dan air bersih. Sementara itu, fasilitas pelabuhan Kuala Langsa yang diharapkan menjadi pelabuhan Crude Palm Oil (CPO) masih sangat terbatas. Jalan ke dan dari Gayo Lues ke wilayah lainnya di koridor masih sangat sempit, jauh dan berliku. Begitu juga dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang masih sangat terbatas. Selanjutnya, perubahan iklim seperti peningkatan cuaca yang relatif drastik, angin kencang, dan semakin seringnya terjadinya bencana juga merupakan salah satu tantangan dalam mempercepat pembangunan di koridor ini. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki skil sesuai dengan aktivitas ekonomi unggulan juga masih terbatas. Strategi pembangunan ekonomi koridor ekonomi timur berfokus pada sektor perkebunan, pertanian, perikanan, jasa dan pembanguan kawasan industri. Di sektor perkebunan dan pertanian, komoditas unggulah yang akan dikembangkan termasuk sawit, karet, nilam, sereh wangi dan padi. Sedangkan pada adalah komoditas unggulan yang akan dikembangkan di sektor perikanan adalah perikanan tangkap. Sektor jasa juga merupakan aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan di Kota Langsa. Di samping itu, kegiatan ekonomi utama koridor ini meliputi pengembangan Kawasan Industri agro, pengolahan rotan, kelapa, UMKM dan Industri Migas Pertambangan dan Energi.

3.4.2. Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Untuk jenis kelapa sawit perkebunan rakyat, Aceh Tamiang dan Aceh Timur adalah wilayah yang memiliki luas area lahan kelapa sawit terbesar ke tiga dan keempat setelah Nagan Raya dan Aceh Singkil pada tahun 2012. Namun dari segi hasil produksi yang dihasilkan, Aceh Tamiang menempati urutan ke dua setelah Aceh Singkil, dan Aceh Timur menempati urutan ke menempati urutan ke lima . Sedangkan untuk perkebunan besar, area lahan sawit terluas nomor satu dan dua di Provinsi Aceh terdapat du Aceh Timur dan Aceh Taming pada tahun 2012. Sebesar 48,87% (85.034 ha) area lahan kelapa sawit perkebunan besar terdapat di koridor ini, dan menghasilkan sebesar 86,73% (4.128.106 ton)dari total produksi sawit perkebunan besar di provinsi Aceh.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

70

4.759.790

3.802.521

174.009

Luas Area (Ha)

Aceh

174.009

325.585

Aceh Timur

0

Langsa

0

34.267

0

0

Aceh Tamiang Gayo Lues

Jumlah Produksi (ton)

3.4.2.1 Regulasi dan Kebijakan Untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada beberapa hal terkait regulasi yang harus dilakukan, antara lain: o Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit (perkebunan dan penggilingan/pabrik kelapa sawit (PKS); o Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit. o Pemberian insentif bagi sekolah-sekolah vokasi yang mendidik angkatan kerja setempat siap dengan dunia kerja agrobisnis dan agroindustri.

3.4.2.2 Konektivitas Pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:

sawit

juga

o Peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju penggilingan kelapa sawit dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang perlu disesuaikan dengan beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat

Gambar 3.10. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Besar Koridor Ekonomi Timur, 2012


71

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

produktivitas CPO sangat bergantung pada waktu tempuh dari perkebunan ke penggilingan, sebab kualitas TBS (Fresh Fruit Brunch-FFB) akan menurun dalam 48 jam setelah pemetikan; o Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO. 3.4.2.3 SDM dan IPTEK Selain kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan SDM dan Iptek, yaitu: o peningkatan riset untuk memproduksi bibit sawit kualitas unggul dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa sawit; o Penyediaan bantuan keuangan, pendidikan dan pelatihan, terutama untuk pengusaha kecil; o Pembentukan pusat penelitian pengelolaan sawit daerah.

dan

pengendalian

sistem

3.4.3. Pengembangan Komoditas Nilam Kegiatan ekonomi utama nilam memegang peranan penting bagi suplai nilam bagi industri rumah tangga dan kosmetika dunia. Aceh memiliki jenis nilam yang berkualitas dan bernilai tinggi di pasar internasional. Kabupaten Gayo Lues memiliki luas tanam dan produksi yang relatif lebih besar dari kabupaten lain di Koridor Timur. Rincian

3.848

853

2.283

Gambar 3.11. Luas Tanam dan Produksi Nilam Perkebunan Rakyat di Koridor Ekonomi Timur, 2012

0 Luas Area (Ha)

Aceh

0

Aceh Timur

0

Langsa

0

40

774

35

Aceh Tamiang Gayo Lues

Jumlah Produksi (ton)


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

luas tanam dan produksi nilam di Koridor Timurdapat dilihat pada gambar berikut. Nilam adalah bahan baku produk rumah tangga dan kosmetika yang dibutuhkan oleh banyak industri di dunia. Peluang peningkatan produksi nila dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan pala. Bagian hilir tetap penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang bermargin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir nilam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan industri nilam yang terdiri dari tiga aspek, yaitu perkebunan, pengolahan dan distribusi hasil pengolahan nilam. Terdapat beberapa tantangan yang berkaitan itu, antara lain: o Tidak terpetakannya semua potensi nilam kelautan secara akurat serta lemahnya kontrol implementasi rencana tata ruang yang menyebabkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya; o Sebagian besar petani masih menggunakan alat destilasi nilam yang sederhana yang dapat menurunkan kualitas minyak hasil destilasi; o Rendahnya minat investor untuk pengembangan nilam di sentra produksi, terutama dalam kegiatan penyimpanan dan pengolahan produk nilam, di mana minyak nilam yang dibeli dari petani langsung dikirim ke luar daerah. o Rendahnya kualitas SDM dalam rantai nilai komoditi nilam, baik dalam produksi penangkapan maupun pengolahannya; o Terbatasnya permodalan untuk masyarakat setempat sehubungan dengan pengembangan perkebunan nilam berbasis masyarakat; o Belum terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung (antara lain jalan, air bersih dan listrik) terutama untuk melayani industri pengolahan produk nilam. o Rendahnya nilai tambah ekonomis karena minimnya akses yang menghubungkan antara lokasi-lokasi penghasil produk nilam dengan lokasi industri pengolahannya serta dengan pasar regional dan fasilitas ekspor.

72


73

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

3.4.3.1 Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum peningkatan produksi nilam, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut: o Penyiapan dan pengawasan pelaksanaan RTRWA dan RTRWK di Koridor Barat; o Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi nilam untuk pemasarannya; o Pengembangan klaster industri nilam yang melingkupi industri produksi bahan baku; o Pemetaan potensi nilam; o Pengawasan penerapan RTRW; o Pembentukan pusat benih; o Revitalisasi lahan yang sudah ada.

3.4.3.2 Konektifitas Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektifitas untuk mendukung peningkatan produksi perikanan dilakukan melalui: o Perbaikan level of service jalan lintas kabupaten, terutama untuk Koridor Barat dan Koridor Utara; o Peninjauan kembali kapasitas mendukung aktivitas industri;

pelabuhan

setempat

guna

o Percepatan program penambahan kapasitas energi listrik dengan operasional PLTU Nagan Raya; o Pengembangan Bandar Udara Cut Nyak Dien di Nagan Raya yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan yang bernilai tinggi ke pelabuhan expor-import di Koridor Utara.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

74

3.4.3.3 SDM dan IPTEK Upaya peningkatan produksi nilam dilakukan melalui: o Pendirian pusat pelatihan petani dan pengadaan program sertifikasi; o Pengembangan bibit unggul dan teknologi pengolahan nilam, misalnya pembuatan alat destilasi dari bahan tahan-karat untuk menjaga kemurnian nilam; o Pemberian pendampingan pada UKM nilam untuk meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi petani; o Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi pengolahan hasil nila yang bernilai jual lebih tinggi (kualitas lebih baik).

Jalan Lintas Calang -Banda Aceh


75

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

KORIDOR EKONOMI BARAT Tema Pembangunan: Pusat agrobisnis, agroindustri, dan lumbung energi Aceh.

3.5. Koridor Ekonomi Barat 3.5.1. Pendahuluan

Terdiri dari : 5 Pusat Ekonomi • Calang • Meulaboh • Jeuram • Blang Pidie • Sinabang Kegiatan Ekonomi Utama: • Perikanan • Kelapa Sawit, • Peternakan • Pala • Nilam

Koridor Barat di Aceh mempunyai tema “Pusat agrobisnis, agroindustri, dan lumbung energi Aceh.” Secara geostrategis, wilayah barat Aceh ini diharapkan menjadi “kawasan utama agro industri dan sumber energi listrik bagi kebutuhan 70% wilayah Aceh.” Secara umum, Koridor Barat berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan ekonomi utama seperti perikanan, sawit, peternakan, pala, dan nilam.. Selain itu, koridor ini memiliki pembangkit listrik tenaga uap dengan produksi 2x110 MW yang diharapkan menjadi salah-satu lokomotif pertumbuhan lintas koridor ekonomi di Aceh. Namun demikian, koridor ini juga memiliki beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain: o Adanya perbedaan pendapatan yang signifikan di dalam koridor, baik antar perkotaan dan perdesaan ataupun antar-kabupaten yang ada di dalam koridor; o Pertumbuhan kegiatan ekonomi utama rendah; o Kenyamanan berinvestasi yang kurang; o Infrastruktur dasar yang kurang memadai untuk pengembangan industri, antara lain, jalan kabupaten yang masih rusak dan pelabuhan laut yang kurang efisien dan efektif menghubungkan Simeulue dengan kabupaten-kabupaten dalam satu koridor.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

76

Tabel 3.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam Koridor Barat atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha tahun 2000-2012 (Sumber: BAPPEDA Aceh, 2013).

3.5.2. Pengembangan Komoditas Perikanan Kegiatan ekonomi utama perikanan merupakan salah satu kegiatan yang penting untuk dikembangkan guna menuju ketahanan pangan daerah. Saat ini produk perikanan merupakan sumber protein hewani dengan tingkat konsumsi terbesar di Indonesia dengan besaran konsumsi produk perikanan mencapai sebesar 30,4 kg/kapita/tahun yaitu 72 persen konsumsi protein hewani/kapita/tahun, dibandingkan sumber protein hewani lainnya seperti ayam, daging dan telur. Sebagai koridor yang berada di wilayah pesisir, Koridor Barat sangat mendukung pengembangan kegiatan perikanan. Koridor ini memiliki akses sumber daya perikanan yang berlimpah baik perikanan perairan laut maupun air tawar. Pada tahun 2012, produksi perikanan tangkap di Koridor Barat adalah 35.823,8 ton. Sedangkan produksi perikanan budidaya adalah sebanyak 486,9 ton. Karena itu, peningkatan produktivitas hasil kelautan dapat dikembangkan bukan hanya melalui penangkapan, tetapi juga melalui pengembangan budidaya.

Tabel 3.4: Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya Perikanan di Koridor Barat tahun 2012 (Sumber: Aceh Dalam Angka, 2013).


77

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Secara umum kegiatan perikanan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi yang besar tersebut terutama terdapat di Aceh Barat. Kegiatan ekonomi utama perikanan perlu dikembangkan karena kegiatan tersebut berpotensi menjadi mesin penggerak perekonomian Koridor Barat melalui eksternalitas yang besar yang dimiliki dalam penyediaan lapangan kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kegiatan perikanan dibagi menjadi tiga aspek utama yaitu penangkapan/budidaya, pengolahan dan distribusi hasil pengolahan perikanan. Terdapat beberapa tantangan yang berkaitan dengan tiga aspek pengembangan kegiatan perikanan di atas, antara lain: o Tidak terpetakannya potensi perikanan kelautan secara akurat serta lemahnya kontrol implementasi rencana tata ruang yang menyebabkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya; o Terbatasnya suplai perikanan laut sehingga membutuhkan efisiensi produksi melalui pengembangan bibit unggul perikanan; o Sebagian besar armada dan peralatan penangkapan ikan masih sangat sederhana; o Rendahnya minat investor untuk pengembangan perikanan, terutama dalam kegiatan penyimpanan dan pengolahan produk perikanan dan kelautan; o Rendahnya nilai tambah ekonomis produk olahan perikanan kelautan; o Rendahnya kualitas SDM perikanan dan kelautan, baik dalam produksi penangkapan dan budidaya perikanan serta dalam pengolahannya; o Terbatasnya permodalan untuk masyarakat setempat sehubungan dengan pengembangan kegiatan perikanan berbasis masyarakat; o Terbatasnya jalur distribusi dan pemasaran produk perikanan dan olahannya; o Belum terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung (antara lain jalan, air bersih dan listrik) terutama untuk melayani industri pengolahan produk perikanan


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

kelautan. Hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi perikanan dan produk olahannya; o Minimnya akses yang menghubungkan antara lokasi-lokasi penghasil produk perikanan kelautan dengan lokasi industri pengolahannya serta dengan pasar regional dan fasilitas ekspor.

Untuk mengatasi tantangan di atas, strategi umum dan langkah aksi yang akan dikembangkan di Koridor Barat adalah: 1. Meningkatkan produksi hasil perikanan, yang meliputi penangkapan tuna,budidaya udang, dan budidaya rumput laut. Koridor Barat memiliki potensi perikanan yang sangat besar, oleh karena itu untuk meningkatkan produksi perikanan perlu dilakukan beberapa hal yang meliputi: o Pemetaan potensi sumber daya perikanan dan kelautan; o Pengawasan penerapan RTRW; o Pembentukan pusat benih; o Revitalisasi tambak yang sudah ada; o Pendirian pusat pelatihan nelayan dan pengadaan program sertifikasi; o Pengembangan bibit unggul dan teknologi penangkapan ikan. 2. Meningkatan produksi produk olahan bernilai tambah tinggi hasil perikanan, yang meliputi pembekuan udang, pengalengan ikan, pengolahan tepung ikan, dan pengolahan keraginan (tepung rumput laut). Nilai tambah produk olahan perikanan pada saat ini masih sangat kecil. Peningkatan nilai tambah ekonomis produk olahan perikanan dapat dilakukan dengan: o Pengembangan klaster industri perikanan yang melingkupi industri produksi bahan baku; o Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi hasil perikanan dan kelautan (Jepang dan Thailand) untuk pemasaran hasil budidaya; o Pemberian

pendampingan

pada

UKM

perikanan

untuk

78


79

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi nelayan. 3.5.2.1 Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum peningkatan produksi perikanan, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut: o Penyiapan dan pengawasan pelaksanaan RTRWA dan RTRWK di Koridor Barat; o Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi hasil perikanan dan kelautan (Jepang dan Thailand) untuk pemasaran hasil budidaya; 3.5.2.2 Konektifitas Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektifitas untuk mendukung peningkatan produksi perikanan dilakukan melalui: o Perbaikan level of service jalan lintas kabupaten, terutama untuk Koridor Barat dan Koridor Utara; o Peninjauan kembali kapasitas mendukung aktivitas industri;

pelabuhan

setempat

guna

o Percepatan program penambahan kapasitas energi listrik dengan operasional PLTU Nagan Raya; o Pengembangan Bandar Udara Cut Nyak Dien di Nagan Raya yang digunakan untuk mengangkut hasil perikanan dan kelautan yang bernilai tinggi namun harus cepat dikonsumsi; 3.5.2.3 SDM dan IPTEK Upaya peningkatan produksi perikanan dilakukan melalui: o Pendirian pusat pelatihan nelayan dan pengadaan program sertifikasi; o Pengembangan bibit unggul dan teknologi penangkapan ikan; o Pemberian

pendampingan

pada

UKM

perikanan

untuk


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

80

meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi nelayan; o Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan dan kelautan yang bernilai jual lebih tinggi (kualitas lebih baik).

3.5.3. Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit di Koridor Barat memegang peranan penting bagi suplai kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2007, menyusul Malaysia yang sebelumnya adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit adalah sumber minyak nabati terbesar yang dibutuhkan oleh banyak industri di dunia. Di samping itu, permintaan kelapa sawit dunia terus mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia didominasi oleh produksi Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen dari total produksi minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) di dunia. Pertumbuhan produksi kelapa sawit di Indonesia yang sebesar 7,8 persen per tahun juga lebih baik dibanding Malaysia yang sebesar 4,2 persen per tahun. Luas tanam perkebunan rakyat Koridor Barat pada tahun 2012 adalah 78.833 hektar dengan produksi CPO sebesar 75.007 ton/tahun (Sumber: Aceh Dalam Angka 2013). Adapun perbandingan luas tanam dan produksi di tahun 2012 pada kabupaten-kabupaten di koridor ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Tabel 3.5. Luas Tanam dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat Tahun 2012 dalam Koridor Barat (Sumber: Aceh Dalam Angka 2013).


81

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit dapat dilihat melalui rantai nilai yaitu dari mulai perkebunan, penggilingan, penyulingan, dan pengolahan kelapa sawit di industri hilir. Kegiatan tersebut terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3.12. Rantai Nilai Kegiatan Ekonomi Utama Kelapa Sawit

(Sumber: MP3EI, 2011).

Perkebunan: Di tahun 2012, Koridor Barat memiliki sekitar 78.833 hektar perkebunan kelapa sawit. Namun demikian, peluang peningkatan produksi sawit melalui peningkatan luas perkebunan kelapa sawit akan sangat terbatas karena masalah lingkungan. Karena itu, yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan produksi kelapa sawit adalah dengan meningkatkan produktivitas CPO dari perkebunan. Indonesia saat ini memiliki produktivitas 3,8 Ton/Ha, yang masih jauh di bawah produktivitas Malaysia 4,6 Ton/ Ha dan masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi produktivitas yang dapat dihasilkan (7 Ton/Ha). Rendahnya produktivitas yang terjadi pada pengusaha kecil kelapa sawit disebabkan oleh tiga hal:


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

82

o Penggunaan bibit berkualitas rendah. Riset menunjukkan bahwa penggunaan bibit kualitas tinggi dapat meningkatkan hasil sampai 47 persen dari keadaan saat ini; o Penggunaan pupuk yang sedikit karena mahalnya harga pupuk; o Waktu antar Tandan Buah Segar (TBS) ke penggilingan yang lama (di atas 48 jam) membuat menurunnya produktivitas CPO yang dihasilkan.

Gambar 3.13: Margin dari Setiap Rantai Nilai

(Sumber: MP3EI, 2013)

Penggilingan: Hal yang perlu diperbaiki dari rantai nilai ini adalah akses yang kurang memadai dari perkebunan kelapa sawit ke tempat penggilingan. Kurang memadainya akses ini menjadikan biaya transportasi yang tinggi, waktu tempuh yang lama, dan produktivitas yang rendah. Pembangunan akses ke area penggilingan ini merupakan salah satu hal utama untuk peningkatan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu, kurangnya kapasitas pelabuhan laut disertai tidak adanya fasilitas tangki penimbunan mengakibatkan waktu tunggu yang lama dan berakibat pada biaya transportasi yang tinggi. Penyulingan: Penyulingan akan mengubah CPO dari penggilingan menjadi produk akhir. Pada tahun 2008, Indonesia diestimasikan memiliki kapasitas penyulingan sebesar 18-22 juta ton CPO. Kapasitas ini mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi. Dengan


83

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50 persen utilisasi), rantai nilai penyulingan mempunyai margin yang rendah (USD 10/ton) jika dibandingkan dengan rantai nilai perkebunan (sekitar USD 350/ton). Hal ini yang membuat kurang menariknya pembangunan rantai nilai ini bagi investor. Hilir kelapa sawit: Industri hilir utama dalam mata rantai industri kelapa sawit antara lain oleo kimia, dan biodiesel. Seperti halnya rantai nilai penyulingan, bagian hilir kelapa sawit ini juga mempunyai kapasitas yang kurang memadai. Hal ini membuat rendahnya margin dari rantai nilai tersebut. Namun demikian, pengembangan industri hilir sangat dibutuhkan untuk mempertahankan posisi strategis sebagai penghasil hulu sampai hilir, sehingga dapat menjual produk yang bernilai tambah tinggi dengan harga bersaing. Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama ini kurang menarik karena margin yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir kelapa sawit.

3.5.3.1 Regulasi dan Kebijakan Untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada beberapa hal terkait regulasi yang harus dilakukan, antara lain: o Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit (perkebunan dan penggilingan/pabrik kelapa sawit (PKS)); o Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa sawit. o Pemberian insentif bagi sekolah-sekolah vokasi yang mendidik angkatan kerja setempat siap dengan dunia kerja agrobisnis dan agroindustri.

3.5.3.2 Konektifitas Pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa memerlukan dukungan infrastruktur yang meliputi:

sawit

juga


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

o Peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju penggilingan kelapa sawit dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang perlu disesuaikan dengan beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat produktivitas CPO sangat bergantung pada waktu tempuh dari perkebunan ke penggilingan, sebab kualitas TBS (Fresh Fruit Brunch-FFB) akan menurun dalam 48 jam setelah pemetikan; o Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO.

3.5.3.3 SDM dan IPTEK Selain kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan SDM dan Iptek, yaitu: o peningkatan riset untuk memproduksi bibit sawit kualitas unggul dalam rangka peningkatan produktivitas kelapa sawit; o Penyediaan bantuan keuangan, pendidikan dan pelatihan, terutama untuk pengusaha kecil; o Pembentukan pusat penelitian pengelolaan sawit daerah.

dan

pengendalian

sistem

3.5.4. Pengembangan Komoditas Peternakan Kegiatan ekonomi utama peternakan di Koridor Barat didominasi oleh peternakan kambing dan kerbau, tapi potensial untuk pengembangan jenis ternak lain, seperti sapi dan kambing. Sebagian besar populasi ternak di koridor ini masih dikonsumsi secara lokal dan hanya dipasarkan ke daerah lain dalam jumlah sedikit.

84


85

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Tabel 3.6. Populasi Ternak Menurut Jenis Ternak di Koridor Barat (Ekor) Tahun 2012 (Sumber: Aceh Dalam Angka, 2013).

Tabel 3.7: Populasi Unggas Menurut Jenis Ternak di Koridor Barat (Ekor) Tahun 2012 (Sumber: Aceh Dalam Angka, 2013).

Jenis populasi ternak yang potensial dikembangkan di koridor ini adalah Sapi Bali yang sudah dikenal luas sebagai sapi potong asli Indonesia. Sapi potong dapat dikembangkan untuk menghasilkan tujuh jenis emas, yaitu emas merah (daging), emas putih (susu), emas putih batangan (tulang), emas kuning (urin), emas cokelat (kulit), emas biru dan emas hijau (kotoran). Urin sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sedangkan kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau dan energi biogas. Selain sapi, jumlah produksi telur ayam buras pada tahun 2012 adalah 238.195 kilogram. Peternakan ayam petelur potensial untuk dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan telur di Aceh yang selama ini masih didatangkan dari Sumatera Utara. Tantangan terbesar dalam pengembangan kegiatan peternakan juga meliputi terbatasnya infrastruktur yang dapat mendukung distribusi produk ternak, kurangnya modal usaha dan lemahnya sumber daya manusia dan kelembagaan peternakan. Dengan tingginya jumlah rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan peternakan, diharapkan pengembangan kegiatan peternakan ini akan dapat mendukung percepatan pembangunan ekonomi di Koridor Barat ke depannya.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

3.5.4.1 Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi pengembangan kegiatan ekonomi utama peternakan, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut: o Meningkatkan industri hilir dengan meningkatkan nilai tambah ternak kambing, kerbau dan sapi potong, yang dapat dilakukan dengan melakukan diversifikasi produk yang memanfaatkan kulit, tulang, darah, kotoran, dan urin melalui penguatan industri kecil; o Membina peternak agar dapat menyediakan daging dengan kualitas ASUH (Aman Sehat Utuh dan Halal); o Mengembangkan kebijakan usaha tani sapi-tanaman yang terintegrasi (integrated rice-livestock system) dan berkelanjutan dengan mengoptimalisasi prinsip Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), atau pendekatan zero waste yang menghasilkan produk 4F (Food, Feed, Fertilizer & Fuel); o Memberikan jaminan tata ruang untuk lahan peternakan dan lahan penggembalaan ternak dengan tidak ada perubahan peruntukannya dalam jangka panjang; o Mempermudah akses finansial bagi peternak melalui penguatan koperasi simpan pinjam;

3.5.4.2 Konektivitas Hal lain adalah, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektivitas untuk mendukung produksi peternakan, yang dilakukan melalui: o Penyediaan infrastruktur yang mendukung kegiatan peternakan melalui PPP; o Penguatan jalan untuk mengangkut produk peternakan dari sentra industri pengolahan daging dan non daging ke pelabuhan atau terminal angkutan darat terdekat; o Penguatan pelabuhan lokal terdekat, seperti Pelabuhan laut Meulaboh di Aceh Barat, untuk mengangkut dan memasarkan produk ternak sapi ke wilayah lain di Aceh dan Sumatera Utara.

86


87

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

o Penguatan Bandar Udara Cut Nyak Dhien yang akan difungsikan untuk mengangkut produk peternakan; o Pengoperasian pembangkit listrik baru di Nagan Raya yang dapat meningkatkan ketersediaan listrik untuk sebagian besar wilayah Aceh; o Penyediaan air bersih untuk menjamin ketersediaan pakan ternak.

3.5.4.3 SDM dan IPTEK Upaya peningkatan dilakukan melalui:

produksi

dan

pengembangan

peternakan

o Menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun dengan teknologi pakan murah untuk pemenuhan kebutuhan daging lokal dari produksi dalam negeri; o Mengadakan pelatihan dan pendampingan kelompok peternak dalam rangka penerapan program Good Breeding Practice; o Mengembangkan teknologi untuk perbaikan mutu bakalan melalui metode inseminasi buatan, embrio transfer atau rekayasa genetika dalam waktu panjang.

3.5.5. Pengembangan Komoditas Pala Kegiatan ekonomi utama pala memegang peranan penting bagi suplai pala di Indonesia dan dunia. Aceh memiliki jenis pala yang berkualitas dan bernilai tinggi di pasar internasional. Simeulue dan Aceh Barat Daya memiliki luas tanam dan produksi yang relatif lebih besar dari kabupaten lain di Koridor Barat. Rincian luas tanam dan produksi pala di Koridor Barat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.8. Luas Tanam dan Produksi Pala Perkebunan Rakyat Tahun 2012 dalam Koridor Barat

(Sumber: Aceh Dalam Angka 2013)


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Pala adalah bahan baku obat-obatan yang dibutuhkan oleh banyak industri di dunia. Peluang peningkatan produksi pala dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunana pala. Bagian hilir tetap penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang bermargin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir pala.

3.5.5.1. Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum peningkatan produksi pala, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut: o Penyiapan dan pengawasan pelaksanaan RTRWA dan RTRWK di Koridor Barat; o Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi pala untuk pemasarannya;

3.5.5.2. Konektifitas Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektifitas untuk mendukung peningkatan produksi pala dilakukan melalui: o Perbaikan level of service jalan lintas kabupaten, terutama untuk Koridor Barat dan Koridor Utara; o Peninjauan kembali kapasitas mendukung aktivitas industri;

pelabuhan

setempat

guna

o Percepatan program penambahan kapasitas energi listrik dengan operasional PLTU Nagan Raya; o Pengembangan Bandar Udara Cut Nyak Dien di Nagan Raya yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan yang bernilai tinggi ke pelabuhan expor-import di Koridor Utara.

3.5.5.3 SDM dan IPTEK Upaya peningkatan produksi pala dilakukan melalui:

88


89

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

o Pendirian pusat pelatihan petani dan pengadaan program sertifikasi; o Pengembangan bibit unggul dan teknologi pengolahan pala; o Pemberian pendampingan pada UKM pala untuk meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi petani; o Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi pengolahan hasil pala yang bernilai jual lebih tinggi (kualitas lebih baik).

3.5.6. Pengembangan Komoditas Nilam Kegiatan ekonomi utama nilam memegang peranan penting bagi suplai nilam bagi industri rumah tangga dan kosmetika dunia. Aceh memiliki jenis nilam yang berkualitas dan bernilai tinggi di pasar internasional. Aceh Jaya memiliki luas tanam dan produksi yang relatif lebih besar dari kabupaten lain di Koridor Barat. Rincian luas tanam dan produksi nilam di Koridor Barat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.9. Luas Tanam dan Produksi Nilam Perkebunan Rakyat Tahun 2012 dalam Koridor Barat (Sumber: Aceh Dalam Angka 2013).

Nilam adalah bahan baku produk rumah tangga dan kosmetika yang dibutuhkan oleh banyak industri di dunia. Peluang peningkatan produksi nila dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan pala. Bagian hilir tetap penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyerap banyak produk hulu yang bermargin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi produk hilir nilam. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan industri nilam


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

yang terdiri dari tiga aspek, yaitu perkebunan, pengolahan dan distribusi hasil pengolahan nilam. Terdapat beberapa tantangan yang berkaitan itu, antara lain: o Tidak terpetakannya semua potensi nilam kelautan secara akurat serta lemahnya kontrol implementasi rencana tata ruang yang menyebabkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya; o Sebagian besar petani masih menggunakan alat destilasi nilam yang sederhana yang dapat menurunkan kualitas minyak hasil destilasi; o Rendahnya minat investor untuk pengembangan nilam di sentra produksi, terutama dalam kegiatan penyimpanan dan pengolahan produk nilam, di mana minyak nilam yang dibeli dari petani langsung dikirim ke luar daerah. o Rendahnya kualitas SDM dalam rantai nilai komoditi nilam, baik dalam produksi penangkapan maupun pengolahannya; o Terbatasnya permodalan untuk masyarakat setempat sehubungan dengan pengembangan perkebunan nilam berbasis masyarakat; o Belum terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, sarana dan prasarana pendukung (antara lain jalan, air bersih dan listrik) terutama untuk melayani industri pengolahan produk nilam. o Rendahnya nilai tambah ekonomis karena minimnya akses yang menghubungkan antara lokasi-lokasi penghasil produk nilam dengan lokasi industri pengolahannya serta dengan pasar regional dan fasilitas ekspor.

3.5.6.1. Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum peningkatan produksi nilam, diperlukan dukungan regulasi dan kebijakan sebagai berikut: o Penyiapan dan pengawasan pelaksanaan RTRWA dan RTRWK di Koridor Barat; o Penjalinan kerjasama dengan negara yang mengkonsumsi nilam untuk pemasarannya;

90


91

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

o Pengembangan klaster industri nilam yang melingkupi industri produksi bahan baku; o Pemetaan potensi nilam; o Pengawasan penerapan RTRW; o Pembentukan pusat benih; o Revitalisasi lahan yang sudah ada.

3.5.6.2. Konektifitas Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam rangka peningkatan konektifitas untuk mendukung peningkatan produksi perikanan dilakukan melalui: o Perbaikan level of service jalan lintas kabupaten, terutama untuk Koridor Barat dan Koridor Utara; o Peninjauan kembali kapasitas mendukung aktivitas industri;

pelabuhan

setempat

guna

o Percepatan program penambahan kapasitas energi listrik dengan operasional PLTU Nagan Raya; o Pengembangan Bandar Udara Cut Nyak Dien di Nagan Raya yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan yang bernilai tinggi ke pelabuhan expor-import di Koridor Utara.

3.5.6.3 SDM dan IPTEK Upaya peningkatan produksi nilam dilakukan melalui: o Pendirian pusat pelatihan petani dan pengadaan program sertifikasi; o Pengembangan bibit unggul dan teknologi pengolahan nilam, misalnya pembuatan alat destilasi dari bahan tahan-karat untuk menjaga kemurnian nilam; o Pemberian pendampingan pada UKM nilam untuk meningkatkan pengetahuan pengolahan yang memiliki nilai tambah tinggi serta


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

pemberian skema micro credit PNPM Mandiri melalui koperasi petani; o Penjalinan kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Universitas setempat untuk pengembangan teknologi pengolahan hasil nila yang bernilai jual lebih tinggi (kualitas lebih baik).

3.5.7. Kegiatan Ekonomi Lain Selain kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus Koridor Barat di atas, di koridor ini juga terdapat beberapa kegiatan yang dinilai mempunyai potensi pengembangan, seperti tanaman pangan, perdagangan, industri pertambangan, jasa, dan perdagangan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat juga berkontribusi di dalam pengembangan Koridor Barat secara menyeluruh.

3.5.7.1 Investasi Terkait dengan pembangunan Koridor Barat, teridentifikasi beberapa rencana investasi baru yang ditawarkan untuk kegiatan ekonomi utama di bidang perkebunan. Investasi nilam terbuka di Koridor Barat, terutama di Aceh Jaya dan Aceh Barat. Investasi yang ditawarkan adalah pembangunan pabrik parfum dan kosmetik serta pengembangan lahan tanam dan produksi nilam dengan rencana sebesar USD 1.025.960. Selain nilam, pembakitan listrik tenaga air memiliki prospek bagi peningkatan kapasitas Koridor Barat sebagai lumbung energi Aceh. Dua lokasi potensialnya adalah • Krueng Teripa, Nagan Raya, terbagi dalam dua tawaran proyek dengan total rencana investasi sebesar USD 1.437 juta dan total produksi 479 MWatt. • Krueng tenom, Aceh Jaya, dengan total rencana investasi sebesar USD 864,6 juta dan produksi 288,2 MWatt

.

92


93

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Gambar 3.14: Tawaran Investasi Produk Olahan Minyak Nilam 2013

(Sumber: Aceh Investment Profile, 2013)


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

94

KORIDOR EKONOMI SELATAN

3.6. Koridor Ekonomi Selatan 3.6.1. Pendahuluan

Koridor Ekonomi Selatan di Aceh meliputi wilayah Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Koridor ini mempunyai tema Sentra Produksi dan Pengolahan Perkebunan, Perikanan Laut, dan Wisata Konservasi Alam. Koridor diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi Aceh ke pasar Sumatra Utara dan wilayah pesisir selatan Sumatara”. Secara historis wilayah dalam koridor ini, terutama Aceh Singkil telah mempunyai hubungan ekspor-impor komoditas melalui transportasi laut dengan Silbolga di Sumatra Utara dan wilyah pesisir selatan Sumatra lainnya. Aktivitas ekonomi sejak masa Kesultanan Aceh dan masa kolonial itu tetap hidup hingga kini, walaupun potensinya tidak terpakai secara maksimal sejak pesisir utara Sumatra lebih hidup dengan aktivitas di sepanjang Selat Malaka. Saat ini, Koridor Ekonomi Selatan Aceh belum berkembang menurut potensinya secara ekonomi. Koridor ini memiliki potensi besar untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk perkebunan kelapa sawit, karet, jagung, perikanan tangkap, dan wisata konservasi alam di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Wilayah ini juga menjadi pusat produksi sejumlah tanaman khas seperti pala di Aceh Selatan, kemiri di Aceh Tenggara, dan nilam di Aceh Selatan dan Aceh Tenggara. Koridor ini juga mempunyai potensi cukup besar untuk tanaman coklat, padi, kacang tanah, dan kedelai. Dalam lima tahun terakhir (2008-2012), wilayah dalam koridor ini ekonominya tumbuh secara stabil dengan rata-rata 4,78%.

Tema Pembangunan: Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Perkebunan, Perikanan Laut, dan Wisata Konservasi Alam

Terdiri dari : 4 Pusat Ekonomi • Tapaktuan • Rimo • Subulussalam • Kutacane

Kegiatan Ekonomi Utama: • Kepala Sawit • Karet • Jagung • Perikanan laut • Wisata alam


95

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Gambar 3.15. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di Koridor Ekonomi Selatan (Sumber: Aceh Dalam Angka 2013

(diolah, Saiful Mahdi)

Hanya ada sedikit penurunan pada tahun 2009 yang merupakan indikasi selesainya proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca Tsunami 2004 yang secara langsung mempengaruhi wilayah Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Sejak 2011, pertumbuhan ekonomi di koridor ini telah berada diatas 5%. Kota Subulussalam menjadi wilayah dengan pertumbuhan tertinggi dalam koridor ini dengan rata-rata 5,31% dalam rentang waktu 2008-2012.

Gambar 3.16. Nilai dan Pertumbuhan PDRB per Kapita di Koridor Selatan Tahun 2012 (Sumber: BPS dan Aceh Dalam Angka 2013, diolah, Saiful Mahdi)


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

96

Koridor Ekonomi Selatan Aceh memiliki beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain: • Perlunya penataan ruang yang jelas dan efisien untuk mengoptimalkan pengelolaan baik wilayah konservasi maupun wilayah budidaya; • Adanya perbedaan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di dalam koridor, khususnya antar kabupaten/kota yang ada di dalam koridor; • Infrastruktur dasar yang kurang memadai, antara lain jalan yang sempit dan rusak, terbatasnya jalan yang menghubungkan wilayah pesisir dan pegunungan, terbatasnya jalan produksi dan usaha tani, pelabuhan laut dan udara yang kurang efisien serta kurangnya tenaga listrik yang dapat mendukung ekonomi berbasis agro-industri. • Rendahnya produktivitas sektor andalan, khususnya pertanian yang menjadi lapangan pekerjaan sekitar 53% penduduk yang ada dalam koridor ini. Gambar 3.17 menunjukkan sektor pertanian, jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor kontruksi merupakan empat sektor dengan kontribusi tertinggi terhadap PDRB Koridor Ekonomi Selatan. Kecuali sektor perdagangan dan konstruksi, sektor pertanian dan jasa-jasa masih perlu ditingkatkan produktivitasnya.

(Sumber: Aceh Dalam Angka 2013; Keadaan Angkatan Kerja Aceh 2012 (Diolah, SPARG)

Gambar 3.17. Kontribusi tiap Sektor dalam PDRB dan Lapangan Kerja dalam Koridor Ekonomi Selatan


97

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

Di dalam strategi pembangunan ekonominya, Koridor Ekonomi Selatan berfokus pada empat kegiatan ekonomi utama, yaitu kelapa sawit, karet, jagung, dan perikanan laut yang memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi koridor ini. Selain itu, kegiatan ekonomi utama pariwisata konservasi alam yang terkonsentrasi di sekitar Taman diatasi. Perbedaan alam atau topografi memengaruhi masyarakat dalam memanfaatkan lahan. Untuk lahan yang didominasi bukit-pegunungan warga umumnya mengembangkan pala. Mereka yang menempati wilayah yang lebih datar seperti dari Kluet Utara hingga Trumon Timur di Aceh Selatan cenderung Nasional Gunung Leuser (TNGL), Rawa Singkil hingga Pulau Banyak juga diharapkan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan koridor ini. Pariwisata konservasi alam ini akan berkembang jika masalah transportasi dan komunikasi antar kabupaten/kota dalam koridor ini dan antara koridor ini dengan koridor ekonomi lainnya, termasuk akses ke dan dari Sumatra Utara dapat memanfaatkan kelapa sawit (Elaeis). Dari luas total sawit di Aceh Selatan sebanyak 5.848 ha, 4.218 ha atau 96,6 persen lokasinya berada di wilayah timur Tapaktuan hingga ke perbatasan Subulussalam.

3.6.2. Pengembangan Komoditas Perikanan Laut Sektor perikanan dan kelautan adalah sektor strategis bagi perekonomian daerah ini. Garis pantainya mencapai 174 km. 14 dari 16 kecamatan merupakan wilayah pesisir yang memiliki potensi lestari sumber daya ikan atau maximum sustainable yield (MSY) 25.000-30.000 ribu ton. Nelayan Aceh Selatan berjumlah 8.338 orang, dengan perincian 6.004 orag sebagai buruh nelayan dan 2.334 orang sebagai pemilik usaha (kapal atau lahan). Ikan yang berhasil ditangkap 11 ribu ton atau hanya 39-43 persen dari MSY.1 Faktor armada dan teknologi masih tertinggal membuat hasil tangkapan nelayan rendah dibanding potensinya. Sebagian ikan wilayah perairan laut Aceh Selatan dimanfaatkan nelayan luar, seperti dari Sumatera Utara, Thailand dan Philipina yang memiliki armada dan alat tangkap modern.

1. Diolah dari data Dinas Perikanan Aceh Selatan, 2009.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

No.

Kabupaten

1.

Aceh Selatan

2.

Tambak

Kolam

Jaring Apung

Sawah

Keramba

98

Laut

16.1

60.1

-

-

0.0

0.0

Singkil

-

83.8

-

0.1

-

0.3

3.

Subulussalam

-

1.9

-

-

-

-

4.

Aceh Tenggara

-

737.1

2 098.1

-

0.1

-

Kolam

Sawah

Jaring Apung

Keramba

Laut

Tabel 3.10. Luas Areal Budidaya Perikanan (Ha) 2011

(Sumber : Aceh Dalam Angka 2012)

No.

Kabupaten

Tambak

1.

Aceh Selatan

-

367.7

-

-

1.7

0.5

2.

Singkil

-

48.8

-

8.6

-

7.2

3.

Subulussalam

-

16.9

-

-

-

-

4.

Aceh Tenggara

-

4 732.8

1 038.3

-

193.9

-

Tabel 3.11. Produksi Budidaya Perikanan (ton), 2011

Sumber : Aceh Dalam Angka 2012

No.

Kabupaten

Petani/Nelayan

Produksi

1.

Aceh Selatan

7 553

12 126.6

2.

Singkil

2 772

5 228.2

3.

Subulussalam

-

-

4.

Aceh Tenggara

-

-

Sumber : Aceh Dalam Angka 2012.

3.6.3. Pengembangan Komoditas Pala Aceh Selatan penghasil utama pala di Aceh. Setelah Maluku, provinsi Aceh merupakan penghasil pala (Myristica Fragan Haitt) terbesar kedua di Indonesia. Produksi pala di Aceh pada 2009 mencapai 5.709 ton. 4.096 ton atau 71,7 persen berasal dari Aceh Selatan.2 Paruh akhir dekade 1990-an produksi pala daerah ini mulai kurang ketika pohon pala banyak mati terserang penyakit.3 Kebanyakan pohon pala 2. Aceh Dalam Angka (ADA), 2008 3. Wawancara dengan ketua Seunebok di Desa Gunung Ketek, Kecamatan Samadua, 3 Oktober 2010

Tabel 3.11. Jumlah Petani/ nelayan dan Produksi perikanan Laut 2011


99

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

mati akibat penyakit akar atau batang yang disebabkan cendawan Ceratocystis.4 Sejak lama, menanam pala sudah jadi bagian dari budaya ekonomi masyarakat Aceh Selatan. Berkebun pala bukan sekedar memeroleh penghasilkan sehari-hari, tapi juga cara berinvestasi untuk masa depan. Memiliki kebun pala punya prestise bagi warganya. Makin luas kebun pala seseorang tinggi pula status sosial-ekonominya dalam pandangan masyarakat. Delapan dari 16 kecamatan adalah penghasil pala. Ada enam kecamatan di arah barat Tapaktuan, mulai dari Samadua hingga ke Labuhan Haji Barat. Tapaktuan termasuk salah satu kecamatan sentra penghasil pala dan Pasie Raja satu-satunya Kecamatan penghasil pala sebelah Timur Tapaktuan. Dilihat dari penggunaan lahan perkebunan (geo-plantation), kecamatan yang berada di barat Tapaktuan luas lahan mencapai 8.549 hektar (ha) atau 68,9 %. Tapaktuan memiliki 1.851 ha (14,9 %) dan kecamatan Pasie Raja hingga ke Trumon Timur yang berbatas dengan Kotamadya Subulussalam memiliki 1.212 ha (9,8 %) dari total areal kebun pala di Aceh Selatan, 12.400 ha.5 Semua kebun pala milik petani, tanpa ada usaha perkebunan besar.

3.6.4. Pengembangan Komoditas Kakao Perekonomian berbasis pala di Aceh sudah ada sejak pertengahan abad 18.6 Bandingkan dengan tanaman coklat komersil yang baru dimulai pada 1989. Akhir dekade 1990 perkembangan luas tanam dan produksi coklat daerah ini mengalami pertumbuhan yang lamban. Namun memasuki dekade 2000-an seiring meningkatnya harga, minat petani menanam kakao makin besar. Sejak Indonesia diterpa krisis moneter tahun 1998 harga kakao yang sebelumnya Rp 6-8 ribu per kilogram melesat menjadi Rp 15-16 ribu per kilogram. Pada saat konflik, penduduk yang mengurus kebun pala yang umumnya berada di pegunungan mulai terganggu aktivitasnya. Kegiatan berkebun menjadi terbatas karena rasa takut operasi militer. Situasi ini memengaruhi harga pala sehingga membuat 4. Suryo Wiyono, Laporan Hasil Diagnosis Penyebab Kematian Pohon Pala di Aceh Selatan dan Upaya Penanggulangannya, Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, 1998 5. Diolah dari Aceh Selatan Dalam Angka, 2009. 6. M. Hadad EA, dkk, Budidaya Tanaman Pala, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Parungkuda, 2006, http://balittri.litbang.deptan.go.id/database/ BUDIDAYA.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Koridor Ekonomi Aceh

mereka beralih kepada tanaman kakao.

3.6.5. Pengembangan Komoditas Tanaman Pangan Padi atau gabah merupakan komoditas utama yang dihasilkan di sawah. Luas sawah Aceh Selatan 24.164 ha dan produksinya berfluktuasi, dengan rata-rata produksi di bawah 80.000 ton setahun. Tidak berkembangnya usaha pertanian padi ini karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur pertanian tanaman pangan ini, seperti belum banyaknya irigasi dan lemahnya sistem pembuangan. Mengacu pada dokumen rencana strategis Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan tahun 2008-2013, selain padi, kacang tanah, jagung dan kedelai adalah komoditas yang diandalkan pemerintah Aceh Selatan pada tanaman bahan makanan (tabama). Namun meskipun produksi kacang tanah daerah ini dulu cukup dikenal di Aceh dan Sumatera Utara, dalam 5 tahun terakhir produksinya hanya sekitar 1.500 ton. Era 1980 sampai awal 1990-an produksinya lebih dari 13.000 ton - saat itu Aceh Selatan belum dimekarkan. Tahun 2007 dan 2008 produksnya 1.930,1 ton dan 983,74 ton (ASDA 2007, 2008). Kesuburan tanah Aceh Selatan memang mendukung untuk budidaya jagung dan kedele, hanya saja produksinya masih sedikit. Tahun 2007 dan 2008, produksi jagung 732 ton dan 874 ton dan kedelei 149 ton dan 142 ton. Ketika dilakukan observasi pada Oktober 2010, areal tanam kacang tanah terlihat sedikit. Di Kecamatan Samadua luas area tanam hanya 50 ha, begitu juga di Kecamatan Labuhan Haji Tengah dan Labuhan Barat kurang dari 100 ha.7 Tidak terlihat ada budidaya kacang tanah di kecamatan lain, selain ada beberapa petak lahan seluas 1000-an meter di kecamatan Pasie Raja, Kluet Selatan dan Trumon. Naiknya biaya produksi yang tinggi dan sebaliknya harga jual kacang kering berkisar Rp 6.000 - 8.000 membuat animo petani mengusahakannya menjadi rendah.8

7. Wawancara dengan kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Aceh Selatan, 4 Oktober 2010 dan observasi ke Desa Gunung Ketek Kecamatan Samadua dan Labuhan Haji Tengah, 5 Oktober 2010. 8. Hasil wawancara dengan Zainal, warga Labuhan Haji Barat, 12 Oktober 2010.

100



4 Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA


103

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

Bab IV Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

4.1. Tahapan Pelaksanaan RIPPEA merupakan rencana besar berjangka waktu panjang bagi pembangunan Aceh. Oleh karenanya, implementasi yang bertahap namun berkesinambungan adalah kunci keberhasilan RIPPEA. Implementasi RIPPEA ini direncanakan untuk dilaksanakan di dalam tiga fase hingga tahun 2025. Pada fase 1 (2015 – 2017), kegiatan difokuskan untuk pembentukan dan operasionalisasi institusi pelaksana RIPPEA. Institusi pelaksana RIPPEA ini kemudian akan melakukan penyusunan rencana aksi untuk debottlenecking regulasi, perizinan, insentif, dan pembangunan dukungan infrastruktur yang diperlukan, serta realisasi komitmen investasi (quick-wins). Pada fase ini juga dilakukan penguatan konektivitas Aceh terutama penetapan global hub untuk pelabuhan laut dan bandar udara di Kawasan Barat dan Timur Aceh. Penyiapan SDM difokuskan pada kompetensi yang dapat mendukung kegiatan ekonomi utama koridor serta pendirian sarana litbang dan riset (center of excellence) yang terkait dengan kegiatan ekonomi utama di masing-masing koridor sebagai langkah awal menuju pengembangan kapasitas IPTEK. Secara khusus, di dalam jangka pendek, RIPPEA difokuskan pada pelaksanaan berbagai rencana aksi yang harus diselesaikan hingga 2015. Rencana aksi yang dipersiapkan dalam jangka pendek ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa inisiatif strategik dapat


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

terlaksana serta menjadi dasar pada percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi pada fase-fase berikutnya. Untuk itu, pembentukan dan operasionalisasi Tim Pelaksana RIPPEA perlu segera diselesaikan disamping penyelesaian debottlenecking regulasi dan pelaksanaan investasi di berbagai kegiatan ekonomi utama oleh seluruh pihak terkait. Selanjutnya pada fase 2 (2018-2022), kegiatan akan difokuskan untuk mempercepat pembangunan proyek infrastruktur jangka panjang, memperkuat kemampuan inovasi untuk peningkatan daya saing kegiatan ekonomi utama RIPPEA, peningkatan tata kelola ekonomi di berbagai bidang, serta mendorong perluasan pengembangan industri yang akan menciptakan nilai tambah. Pada fase 3 (2023-2025), kegiatan RIPPEA lebih difokuskan untuk pemantapan daya saing industri dalam rangka memenangkan persaingan global serta penerapan teknologi tinggi untuk pembangunan berkelanjutan.

104

Rumoh Aceh, Mesium Aceh


105

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

4.2. Perbaikan Regulasi dan Perizinan Untuk mendukung realisasi percepatan dan perluasan kegiatan ekonomi utama, selain percepatan pembangunan dukungan infrastruktur, diperlukan dukungan non-infrastruktur berupa pelaksanaan, penetapan atau perbaikan regulasi dan perizinan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perbaikan regulasi dan perizinan lintas sektor di tingkat nasional dan provinsi adalah yang terkait dengan penataan ruang, tenaga kerja, perpajakan, dan kemudahan dalam penanaman modal di Aceh. Adapun perbaikan regulasi dan perizinan di tingkat daerah adalah yang terkait dengan sektor mineral dan batubara, kehutanan, dan transportasi (perkeretaapian, pelayaran, penerbangan) serta penyediaan infrastruktur dasar. Tujuan umum yang ingin dicapai dalam perbaikan regulasi dan perizinan adalah sebagai berikut: 1. Mempercepat penyelesaian peraturan turunan pelaksanaan undang-undang terutama Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 2. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, maupun antara sektor/lembaga; 3. Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung strategi RIPPEA; 4. Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan ekonomi utama yang sesuai dengan strategi RIPPEA; 5. Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perizinan.

4.2.1. Regulasi dan perizinan di tingkat daerah Berikut adalah masalah-masalah yang teridentifikasi di daerah yang membutuhkan perbaikan regulasi dan perizinan di tingkat daerah: 1. Percepatan penetapan RTRW Provinsi dalam upaya penyelesaian

konflik penggunaan lahan antara kawasan hutan, perkebunan dan pertambangan. Pihak yang bertanggung jawab untuk


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

permasalahan ini adalah BKPRN dan Pemda, dan target waktu penyelesaiannya pada Desember 2011. 2. Rendahnya pelaksanaan hukum (law enforcement)

Saat ini ancaman keamanan dan ketertiban masih cukup tinggi, termasuk di kawasan wisata, terlihat dari masih adanya catatan tindak kriminal yang menimpa wisatawan domestik dan mancanegara. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu meningkatkan keamanan dan ketertiban melalui pelaksanaan peraturan dan sanksi yang tegas bagi pelaku tindak kriminal. Disamping itu, terdapat berbagai peraturan daerah yang diidentifikasi menghambat investasi seperti pada beberapa Perda tentang retribusi daerah, dan lain sebagainya, yang perlu ditinjau ulang untuk memastikan pelaksanaan RIPPEA sesuai yang diharapkan.

4.3. Pemantauan dan Evaluasi Dalam rangka mengawal implementasi berbagai langkah percepatan dan perluasan yang telah dirumuskan oleh RIPPEA, akan dibentuk Tim Pelaksana RIPPEA. Tim yang dimaksud akan dipimpin langsung oleh Gubernur Aceh agar dapat lebih efektif di dalam melakukan koordinasi, pemantauan, dan evaluasi, maupun di dalam mempercepat pengambilan keputusan yang diperlukan untuk menangani berbagai permasalahan yang muncul dalam tahap pelaksanaan RIPPEA. Tim ini akan beranggotakan seluruh pemangku kepentingan yang terdiri dari unsur pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan dunia usaha. Pada tingkat daerah, Bupati dan Walikota akan menjadi ujung tombak bagi pelaksanaan program-program pembangunan di setiap koridor ekonomi. Untuk itu, diharapkan para Bupati dan Walikota memperkuat forum kerjasama antar kepala daerah yang telah ada agar tercipta kesatuan gerak langkah pelaksanaan yang harmonis di dalam maupun antar koridor ekonomi. Tim Pelaksana RIPPEA tersebut akan ditetapkan berdasarkan Peraturan/Keputusan Gubernur. Tim Pelaksana RIPPEA akan terdiri atas Tim Pelaksana, Tim Kerja dan didukung oleh Sekretariat dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Tim Pelaksana merupakan tim yang beranggotakan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) serta perwakilan dari pihak-pihak yang memiliki andil dalam pelaksanaan RIPPEA. Tim Pelaksana ini bertugas untuk memberikan pengarahan umum, menyetujui

106


107

RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

keputusan strategis, serta memecahkan isu strategis yang dihadapi pada saat pelaksanaan RIPPEA. 2. Tim Kerja beranggotakan pejabat setingkat eselon III dan pejabat dari pihak-pihak yang terkait atas implementasi rencana aksi RIPPEA. Tim Kerja bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan proyek investasi dan proyek infrastruktur dengan seluruh pemangku kepentingan, memecahkan masalah teknis yang bersifat antar-kementerian, serta memastikan dukungan pemerintah atas pelaksanaan RIPPEA. 3. Sekretariat merupakan tim pendukung yang bekerja penuh waktu untuk mengembangkan sistem dan mengorganisasikan seluruh upaya pemantauan dan koordinasi yang diarahkan Tim Pelaksana serta membantu sejumlah analisis yang diperlukan untuk perumusan teknis oleh Tim Kerja.


RIPPPEA | Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Aceh Pelaksanaan dan Tata Kelola RIPPEA

108


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.