Majalah Rangkang Demokrasi Edisi 6

Page 1

ISSN: 2089-0222

Pemilukada; Realita Politik Aceh

14

Jefri Susetio Mahasiswa Ilmu Politik, UNIMAL

11

Kearifan Lokal, Kurangi Resiko Bencana Rita Reziana Aktivis BYTRA

Rangkang

DEMOKRASI Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

Kampanye

http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id

Tanpa Wali


Saleum

R

Setahun Sudah,,! asa syukur kepada Allah SWT dan ucapan terimakasih kepada semua pihak mengiringi penyusunan Rangkang Demokrasi Edisi ke-6 ini. Betapa tidak, ini merupakan edisi terakhir untuk tahun ini seiring dengan berakhirnya pembelajaran Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan Pertama. Masih sedikit sekali hal yang bisa kami lakukan namun dengan semangat evaluasi dan refleksi semoga di tahun mendatang segala kekurangan dan koreksi di tahun pertama ini menjadi dasar untuk menjalankan sekolah demokrasi tahun berikutnya secara lebih baik. Melalui edisi ini izinkan kami mengucapkan terimakasih banyak terutama kepada para siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara yang telah menjadi bagian utama dari sekolah ini yang sejak Januari lalu telah sungguh-sungguh menjalani semua kegiatan. Tidak ada yang sempurna memang, namun kami menilai para siswa telah sangat komit mengikuti sekolah ini sampai pembelajaran hari terakhir. Berikutnya terimakasih kepada Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) yang telah sangat serius memperhatikan sekolah ini, memberikan bimbingan dan asistensi sehingga telah membawa perubahan yang tidak hanya untuk proses persekolahan namun juga dari sisi manajemen kelembagaan. Terimakasih juga kepada para Fasilitator dan Narasumber yang telah menjalankan perannya menjadi guru, pelatih sekaligus sebagai teman bagi peserta. Terakhir izinkan kami menyampaikan informasi penerimaan peserta untuk Angkatan kedua yang bisa dibaca di halaman 23 media ini, semoga di angkatan berikutnya Sekolah ini bisa dilaksanakan lebih baik, dan tentu saja itu tidak mungkin tanpa dukungan anda semua. Harapan kami, melalui sekolah ini semoga cita-cita mewujudkan demokrasi kontekstual di Aceh Utara menemukan momentumnya. Selamat membaca,!

DaftarIsi ▼ RESENSI

▼ OPINI

5

KKR, Riwayatmu Kini Aryos Nivada | Mahasiswa Pascasarjana UGM Jurusan Politik dan Pemerintahan

9

Kampanye Tanpa Wali Azwir Nazar | Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia

11

Kearifan Lokal, Kurangi Resiko Bencana Rita Reziana | Aktivist LSM Bina Rakyat Sejahtera (BYTRA)

14

Pemilukada; Ralita Politik Aceh Jefri Susetio | Mahasiswa Ilmu Politik Unimal

18

Gerakan Rakyat Melawan Elite Marliana | Yayasan Suara Hati Rakyat (SAHARA)

▼ KEGIATAN

20 PENANGGUNG JAWAB: Edi Fadhil PEMIMPIN UMUM: Edi Fadhil, SIDANG REDAKSI: Edi Fadhil, Fadli Sy, Zulkifli Hamid Paloh REDAKTUR PELAKSANA: Eka Saputra WARTAWAN: Muksalmina, Ismadi SIRKULASI: Zakaria LAYOUTER/DESAIN GRAFIS: Eka Saputra IKLAN: Zakaria KEUANGAN: Dewi Tirta Wati KASIR: Ika Febriani

2

: Jl. Petua Ali No. 49. Gampong Tumpok Teungoh, Lhokseumawe, Aceh Kode Pos: 24351 : rangkangdemokrasi@sepakat.or.id : http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011 : sekolahdemokrasi.acehutara

22 Diterbitkan atas kerjasama antara:


humor

Suara Pembaca Masukan untuk Format Majalah

Sudah 4 edisi saya membaca Rangkang Demokrasi, saya mempunyai beberapa masukan. Dari pengamatan saya majalah ini harusnya bisa memperbaiki formatnya dari Majalah yang cenderung menjadi Kumpulan Tulisan/Opini peserta Sekolah Demokrasi menjadi majalah yang lebih bersifat reportase yang terfokus pada satu isu di setiap edisi penerbitannya, jadi misalnya disetiap penerbitan ada isu sentral yang diangkat dan peserta Sekolah di anjurkan untuk menulis tentang isu tersebut dan penyajiaannya merupakan kombinasi antara reportase langsung dilapangan dan kajian keilmuan yang diketengahkan melalui Opini peserta. Jadi harapannya majalah ini bisa lebih fokus, kalau selama ini opini yang diangkat berbeda-beda isunya jadi pembaca lebih cepat bosan dan tidak fokus. Menurut saya banyak sekali isu-isu sosial di Aceh yang menarik untuk kita hadirkan untuk masyarakat dan peserta SD bisa memperkuat melalui analis sesuai dengan ilmu yang didapat di sekolah demokrasi. Dengan demikian saya mengharapkan majakah ini bisa mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam melihat realitas sosial di sekitar kita. Terimakasih. Harwita (Ita) Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Tinggal di Limpok Darussalam

Ujian Susulan

Jawaban Ita yang baik, terimakasih untuk surat elektroniknya. Masukan yang sangat bagus. Sesuai dengan visi “Rangkang Demokrasi” sebagai suplemen Sekolah Demokrasi Aceh Utara pertamakali diharapkan menjadi media belajar menulis bagi peserta sekolah sekaligus untuk membahas isu-isu publik. Kami akan pertimbangkan usul Ita untuk rencana penerbitan di tahun mendatang.

Filsuf dan Supirnya Seorang filsuf terkenal sangat disegani oleh sopirnya yang selalu ikut mendengarkan setiap ceramah bosnya tentang moralitas dan etika. Kemudian suatu hari si sopir mendekati sang filsuf dan bertanya apakah ia bersedia untuk bertukar peran pada kuliah berikutnya, sang filsuf menjadi sopir, dan sang sopir yang akan menjadi dosen dan mengisi kuliah. Sang filsuf setuju. Materi kuliah dibawakan dengan sangat baik oleh si sopir. Ketika tiba saatnya pertanyaan dari para peserta, seorang wanita di belakang bertanya, “Apakah pandangan epistemologis alam semesta masih berlaku dalam dunia eksistensialis?” “Itu adalah pertanyaan yang sangat sederhana,” jawab sang sopir (yang sedang menyamar menjadi dosen), “Terlalu sederhana, bahkan sopir saya bisa menjawab pertanyaan itu, dan itulah yang akan ia lakukan.”

Mari bergabung dan berdiskusi bersama komunitas kami di halaman Facebook. klik facebook.com/sekolahdemokrasi.acehutara

Ada 4 orang mahasiswa yang kebetulan telat ikut ujian semester karena bangun kesiangan. Mereka lantas menyusun strategi untuk kompak kasih alasan yang sama agar dosen mereka berbaik hati memberi ujian susulan. Mahasiswa A: pak, maaf kami telat ikut ujian semester mahasiswa B: iya pak. Kami berempat naik angkot yg sama dan ban angkotnya meletus. Mahasiswa C: iya kami kasihan sama supirnya. Jadinya kami bantu dia pasang ban baru. mahasiswa D: oleh karena itu kami mohon kebaikan hati bapak untuk kami mengikuti ujian susulan. Sang dosen berpikir sejenak dan akhirnya memperbolehkan mereka ikut ujian susulan. Keesokan hari ujian susulan dilaksanakan, tapi keempat mahasiswa diminta mengerjakan ujian di 4 ruangan yg berbeda. “Ah, mungkin biar tidak menyontek,” pikir para mahasiswa. Ternyata ujiannya cuma ada 2 soal. Dengan ketentuan mereka baru diperbolehkan melihat dan mengerjakan soal kedua setelah selesai mengerjakan soal pertama. Soal pertama sangat mudah dengan bobot nilai 10. Keempat mahasiswa mengerjakan dengan senyum senyum. Giliran membaca soal kedua dengan bobot nilai 90. Keringat dingin pun mulai bercucuran. Di soal kedua tertulis: “Kemarin, ban angkot sebelah mana yang meletus?”

Kirimkan kritik dan saran atau pendapat anda melalui email rangkangdemokrasi@sepakat.or.id

Redaksi menerima tulisan berbentuk opini dan artikel yang bertemakan tentang politik, sosial dan isu demokrasi. Panjang tulisan artikel maksimal 500-600 kata. Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

3


H

Editorial

ak asasi manusia (HAM) merupakan nilai dan norma yang sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia ini. Dengan adanya perlindungan dan penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat diwujudkan. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain, tidak tergantung dari pengakuan masyarakat atau negara. Manusia memperoleh hak-hak asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena kodratnya (secundum suam naturam). Demikian pula orang-orang lain, negara tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM. Setiap manusia, setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak fundamental atau hak-hak dasar. Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam Konteks Aceh, Persoalan HAM khususnya dalam konteks konflik antara rakyat dan penguasa dalam rentang waktu pasca tahun 1945 sudah dimulai sejak peristiwa Darul Islam (1953-1964) yang dilanjutkan dengan penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (1991–1998) dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun 3.800 hingga 5.000 orang tewas dan hilang tanpa jejak. Konflik Aceh masih terus berlanjut dengan status darurat militer dan baru berakhir setelah kesepahaman damai ditanda tangani oleh Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Kasus lain yang tergolong pelanggaran HAM berat diantaranya tragedi Simpang KKA, Kasus Gedung KNPI, Bumi Flora, Pembataian Tgk Bantaqiah dan santrinya, Pembantaian Idi Cut, Kasus aktifis RATA, serta kasus-kasus lainnya yang terjadi selama penerapan Daerah Operasi Militer, Darurat Militer, Darurat Sipil I dan Darurat Sipil II. Damai di Aceh membawa harapan bagi semua

4

masyarakat Aceh, baik yang menjadi korban pelanggaran HAM atau tidak. Selain pembentukan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Salah satu jalan lain yang dituntut oleh elemen sipil Aceh adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR adalah salah satu harapan korban pelanggaran HAM untuk menjawab persoalan yang mereka alami. Keinginan agar pemerintah segera mensahkan Qanun KKR tersebut, karena persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama konflik di Aceh belum terselesaikan. Dalam pelaksanaannya, KKR terbukti berhasil dilaksanakan di sejumlah negara, seperti Argentina, Afrika Selatan, Chili dan banyak negara lainnya. Lembaga ini diperuntukkan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Anggota KKR bekerja di lapangan untuk mengungkap kembali kejadian pelanggaran HAM tersebut, dengan mendengar, melihat dan memeriksa para saksi ataupun korban dan setelah masalahny jelas, barulah proses rekonsiliasi bisa dijalankan. “Tidak ada rekonsiliasi tanpa mengungkap terlebih dahulu latar belakang masalah sebenarnya,” (mengutip Ifdal Kasim, Bekas Ketua Komnas HAM). Langkah-langkah yang dilakukan adalah: pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan. Untuk daerah Aceh, pembentukan KKR sudah merupakan tuntutan rakyat sebagai tindak lanjut dari proses perdamaian yang telah dicapai. Keberadaan KKR untuk Aceh tercantum jelas dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh. Hasil advokasi elemen sipil Aceh pada tanggal 10 Desember 2010, DPR Aceh berjanji untuk membahas dan mensahkan Qanun KKR selambat-lambatnya Juni 2011, namun sampai sekarang sepertinya DPR Aceh sudah lupa dengan janji tersebut. Damai Aceh sejatinya tidak hanya pengakhiran tindak kekerasan, namun harus dibarengi dengan upaya pemulihan hak para korban agar damai lebih bermakna bagi semua. Semoga pelanggaran HAM yang sudah terjadi tidak menjadi “dosa warisan” tujuh turunan. Semoga pemimpin kita tidak lupa dengan janji-janjinya. ▼

Penegakan HAM dan Aksi Melawan Lupa

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011


OPINI Aryos Nivada Mahasiswa Pascasarjana UGM Jurusan Politik dan Pemerintahan

KKR Riwayatmu Kini

Bagi kalangan aktivis yang bergerak di ranah Hak Asasi Manusia tidak asing lagi dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Saya ingin mengulas kembali pemahaman akan KKR itu sendiri. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fenomena yang timbul di era transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim sebelumnya. (Asplund, D. Knut dkk. 2008, h. 364).

P

andangan saya mendefinisikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga yang dibentuk dengan keterlibatan masyarakat sipil dan negara pasca pemerintahan otoriter. Secara masa keberadaannya lembaga KKR terbagi menjadi dua permanen

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

5


OPINI dan tidak permanen, tergantung keputusan negara. Merujuk dari pengalaman di negara yang telah membentuk KKR, dimana lembaga yang dibentuk tidak dipermanenkan. Tujuan untuk mengatasi masalah pelanggaran hak asasi manusia. Pandangan lain mengatakan KKR merupakan salah satu bentuk upaya perwujudan transitional juctice (Soeprapto 2003, h.1). Akan tetapi pemahaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di negara-negara yang memiliki institusi serupa, dimana memiliki pengertian dan penggunaan nama berbeda-beda. Inti substansi keberadaannya tetap menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM, ketika sebuah pemerintah otoriter berubah menjadi pemerintah demokratis. Sejalan dengan pemikiran Hayner, terdapat lima elemen yang dapat dikatakan karakter umum KKR, yaitu pertama (1) fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu, kedua (2) terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang. Tujuannya adalah mendapatkan gambaran yang komperhensif mengenai kejahatan hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak memfokuskan

6

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

pada suatu kasus saja. Ketiga (3) keberadaanya adalah jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhirnya selesai di kerjakan, keempat (4) ia memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian, dan kelima (5) pada umumnya dibentuk secara resmi oleh negara baik melalui keputusan presiden atau melalui undang-undang, bahkan oleh PBB seperti El Salvador. Ada juga diprakarsasi oleh LSM atas pembentuk KKR seperti KKR di Uruguay, Rwanda, dan Brasil (Hayner 1994, hh. 597-665). Dari pemikiran Asplund, Soeprapto, maupun Hayner. Saya memiliki pemikiran sendiri terhadap KKR. Kehadiran KKR bukan menekankan pada kerja-kerja rekonsiliasi antar pelaku dengan korban. Akan tetapi konsep dasar KKR lebih mengutamakan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan pelaku atau negara melalui alat kekerasaannya. Kebenaran dan keadilan merupakan syarat terciptanya rekonsiliasi. Jadi sekali lagi bukan rekonsiliasi sebagai landasan utama terbentuknya KKR. Secara umum KKR yang terbentuk secara keseluruhan di negara-negara yang sudah membentuknya, dimana tidak memiliki batasan jelas dan tegas akan kebenaran dan keadilan. Maka demikian pula dengan kata kebenaran itu sendiri. Salah satu definisi paling mendasar dikemukakan oleh Jurgen Habermas yang membagi kebenaran menjadi tiga katagori. Pertama, kebenaran faktual yaitu benar-benar terjadi atau nyata-nyata ada. Kedua, kebenaran normatif yaitu berkaitan dengan ada yang dirasakan adil atau tidak adil, dan ketiga, kebenaran hanya akan menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar (Habermas 1984).


Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

OPINI

Demikian juga dengan konsep rekonsiliasi. Secara dan hancurnya sosial kapital masyarakat Aceh. etimologis istilah ini tidak terlalu jelas. Priscilla yang Berangkat dari permasalahan pelanggaran HAM mengutip Oxford English Dictionary mendefinisikan yang dilakukan negara, untuk itu dibutuhkan KKR “reconcile” sebagai “to bring (a person) again into sebagai wujud menata ulang kembali politik Aceh friendly relation...after an estrangement...to bring back ke Indonesia. Penataan ditandai dengan perjanjian into concord, to reunite (person or things) in harmony”. damai antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Berbalik kembali dengan seseorang setelah masa- Aceh Merdeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di masa keterasingan, mengukur kembali, menyatukan Helsinky. kembali ke dalam harmoni (Hayner 1994, h. 264). Sementara itu negara, dimana representatifnya Sekali lagi menurut saya Komisi Kebenaran Pemerintah Pusat harus segera mewujudkan dan Rekonsiliasi tidak bisa menggantikan fungsi kehadiran KKR di Aceh. Bilamana tidak terlaksana daripada institusi pengadilan, karena KKR bukan maka Pemerintah Pusat secara politik telah badan peradilan. Di samping itu bukan lembaga mengingkari perjanjian yang tertuang dalam MoU yang berhak mengirimkan Helsinki serta Undangseseorang masuk dan undang Pemerintah Aceh tidaknya ke penjara serta No. 11 tahun 2006. Pasal yang Berbicara konteks kekinian di memiliki fungsi memvonis mengharuskan terbentuknya Aceh, hal yang melatarbelakangi Komisi Kebenaran dan hukum terhadap pelaku hadirnya KKR di Aceh tidak pelanggaran hak asasi Rekonsiliasi (KKR) di Aceh manusia. Jadi KKR hanya terlepas dari konflik yang terjadi tertuang di pasal 229, 230, berada memberikan dan 231. selama kurun waktu 32 tahun. penguatan dari data-data Kehadiran KKR menjadi Akibat konflik menimbulkan pelanggaran HAM untuk bagian penting dalam pelanggaran hak asasi manusia merekomendasikan kepada menjaga kestabilitasan institusi pengadilan. Teknis perdamaian yang telah (HAM) atas operasi yang memperoleh data-data tercipta di tanah rencong dilakukan Pemerintah Indonesia melalui penyelidikan kasusini. Padahal, bilamana dimulai dari darurat operasi kasus dan tidak dibatasi Pemerintah Indonesia sadar militer (DOM), darurat militer pada kepada penanganan KKR merupakan bagian cara sejumlah kasus kecil saja. membangun kepercayaan (DM), dan darurat sipil (DS). Pertumbuhan KKR begitu rakyat Aceh kepada pesat sejak pertama kali Pemerintah Indonesia. Tidak muncul pada dekade 1980hanya itu saja, sekaligus an. Pada rentang tahun 1980-1999, lebih kurang menciptakan hubungan yang sinergis tanpa memiliki 35 KKR telah dibentuk diberbagai negara. Jumlah rasa dendam lagi kepada Pemerintah Indonesia. begitu banyak di input dari berbagai referensi Kedua hal itu, seharus terpahami dan dilakukan, seperti : Briefing Paper ELSAM, Human Right bukan malahan seakan-akan lepas tanggung jawab Querterly Priscilla Hayner, dari berbagai jurnal dan tanpa memiliki kemauan keras mewujudkan. website. Saya hanya mengambil sebagian dari total Terakhir saya mensarankan pembentukan KKR keseluruhan untuk dijadikan rujukan. di Aceh membutuhkan partisipasi aktif dengan Berbicara konteks kekinian di Aceh, hal yang melibatkan masyarakat Aceh yang terkena dampak melatarbelakangi hadirnya KKR di Aceh tidak akibat konflik yang mendera Aceh. Kita mengetahui, terlepas dari konflik yang terjadi selama kurun bahwa partisipasi bagian dari demokrasi itu sendiri. waktu 32 tahun. Akibat konflik menimbulkan Jangan sampai konsep KKR lahir dari pemikiran pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas operasi kalangan CSO/NGO maupun masyarakat sipil yang dilakukan Pemerintah Indonesia dimulai dari lainnya seperti akdemisi, mahasiswa, wartawan, darurat operasi militer (DOM), darurat militer (DM), dll. Bukan murni dari pemikiran korban konflik. dan darurat sipil (DS). Atas penerapan operasi Sehingga KKR yang terbentuk nantinya, memiliki tersebut, banyak korban jiwa dari masyarakat rasa kepemilikan, bukan hanya memiliki segelintir Aceh. Dampak lainnya hancurnya infrastruktur organisasi maupun personal orang. ▼

7


OPINI

kampanye

Tanpa Wali 8

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011


OPINI Azwir Nazar

Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia

Kampanye dengan menggunakan simbol tokoh bukanlah hal baru dalam dunia politik. Terutama di Indonesia. Sebut saja, Seokarno, Presiden pertama Indonesia. Ia menjadi simbol, atribut sekaligus isu kampanye PDI Perjuangan. Sampai sekarang Soekarno masih dikenang dan di-‘dewa’-kan bagi sebagian masyarakat di Jawa. Gusdur bagi kalangan Nahdiyyin dengan Partai PKB-nya juga mendapat tempat istimewa. Bahkan, Soeharto yang dihujat sekalipun, menjadi ikon Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Begitupun SBY, menjadi lokomotif dan faktor penting kemenangan Demokrat pemilu 2009 lalu.

P

ersonalisasi tokoh bagi masyarakat yang menginginkan adanya seorang tokoh akan sangat berpengaruh dalam perolehan suara. Partai atau kandidat akan lebih mudah berkampanye. Tak dapat dipungkiri, ada pula partai yang mengandalkan ideologi dan jaringan. Apalagi, umumnya Partai politik hanya melakukan kerja dan aktivitas politik menjelang pemilu atau pilkada saja. Maka, disinilah peran seorang tokoh menjadi penting dan menentukan dalam isu kampanye. Meski sudah wafat, sosok tersebut akan

menjadi simbol spirit dan citacita perjuangan. Ia terus hidup sepanjang perjalanan sebuah partai atau sebuah masyarakat yang mengaguminya. Sosok Hasan Tiro sebagai ikon perjuangan Aceh akan ‘dipertaruhkan’ dalam Pilkada mendatang. Kemenangan besar Partai Aceh (PA) dalam pemilu legislatif 2009 di Aceh tidak terlepas dari ‘jualan’ sosok Hasan Tiro. Begitupun, pilkada 2006 yang memenangkan Irwandi Nazar. Foto dengan Hasan Tiro saat itu, sangat ‘laku’ di masyarakat Aceh kala itu. Pemilihan isu ini tidak

hanya menyangkut semata urusan coblos mencoblos. Lebih dari itu adalah bagaimana menghadirkan romantisme perjuangan. Ketidakikutsertaan PA dalam Pilkada ini juga telah ‘menjauhkan’ sosok Wali dari benak publik. Apalagi bila tiada kandidat yang menjadikannya sebagai simbol, atribut atau isu kampanye. Malah saya yakin kisruh politik ini tidak terjadi bila “peunuetoh Wali” masih ada. Maka, isu kampanye yang akan diangkat kandidat menjadi hal menarik untuk dikaji. Apa yang diperjuangkan oleh keempat kandidat Gubernur dalam meraup

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

9


OPINI 10

dukungan demi mensejahteraan rakyat. Lalu, bagaimana membangun diferensiasi antar keempatnya. Sehingga rakyat layak menggantungkan harapan perubahan dan mata rantai perjuangan Aceh? Dalam hal isu yang diperjuangkan harus diakui memang PA lebih jelas dan tegas. Baik secara ideologis maupun cita-cita politik. Terlepas, apapun penilaian publik, PA berhasil menjadikan diri mereka berbeda dengan yang lain. Namun, apa yang akan diperjuangkan oleh Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, Abi Lampisang maupun Darni Daud? Isu kampanye yang diusung calon gubernur akan mempengaruhi masyarakat di Aceh untuk datang ke TPS dan memilih pasangan calon. Tanpa isu yang menarik banyak orang enggan datang ke bilik pemungutan suara. Apalagi PA tidak mendaftar. Sebagian masyarakat lebih memilih aman di rumah, dibanding berjalan ke bilik pemungutan suara, bila kondisi politik tidak kondusif untuk memilih. Isu tunda atau boikot pilkada justru lebih kentara di masyarakat. Mengenang spirit Wali menjadi penting. Ijtihad politik yang dilakukannya dalam usaha meningkatkan martabat Aceh perlu dicontoh dan diteruskan. Sama halnya, sosok Soekarno yang selalu hidup dalam setiap kampanye politik di Indonesia. Foto Soekarno tidak pernah sepi dalam iklan kampanye. Selalu ada, mungkin sampai anak cucu kita. Itu juga bagian dari komunikasi politik PDI Perjuangan untuk melagendakan seorang tokoh.

Komunikasi Politik Dalam komunikasi politik dikenal 3 macam iklan kampanye. Pertama, Iklan advokasi kandidat, yaitu memuji-muji (kualifikasi) seorang calon. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan retrospective policy-satisfaction (pujian atas prestasi masa lalu kandidat), atau benevolent-leader appeals (kandidat memang bermaksud baik, bisa dipercaya, dan mengidentifikasi diri selalu bersama/menjadi bagian dari masyarakat pemilih). Kedua, Iklan advokasi isu. Biasanya dipasang, oleh pihak independen untuk menyampaikan isu-isu penting (lingkungan hidup, pengangguran, korupsi, kesehatan, dll) yang diarahkan pada satu atau beberapa iklan atau ungkapan-ungkapan kampanye dari satu atau beberapa kandidat. Kedua iklan ini dapat digunakan oleh calon “incumbent”. Sejauhmana klaim program mereka ini akan menjadi isu sentral kampanyenya. Atau bagaimana misalnya sebuah program Pemerintah Aceh yang berjalan bisa dipahami oleh masyarakat luas bahwa itu program Irwandi semata, Atau ada juga ide Nazar. Ketiga, Iklan menyerang atau disebut attacking, yakni berfokus pada kegagalan dan masa lalu yang jelek dari kompetitor. Pendekatannya bisa ritualistic

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

(mengikuti alur permainan lawannya, ketika diserang, akan balik menyerang). Ini bisa digunakan oleh new comer seperti Abi Lampisang dan Darni Daud untuk menjelaskan dirinya berbeda dan layak dipilih pada pilkada Desember 2011. Dalam budaya Timur, kadang memang attacking itu kurang digunakan. Sebab, menyerang seseorang secara vulgar dianggap tidak atau kurang etis. Maka, muncul teori baru oleh beberapa pakar seperti Effendi Ghazali dengan menambah satu opsi (macam) lagi, yaitu contrasting (memperbandingkan), menyerang tapi dengan memperbandingkan data tentang kualitas, rekam jejak, dan proposal antar-kandidat Semoga para kandidat memiliki kemampuan untuk membentuk atau menggunakan model iklan kampanye tersebut. Bila itu dikonsep secara matang dan baik, akan sangat mempengaruhi publik untuk memilih. Dan kehadiran sosok Hasan Tiro baik dalam isu, atribut maupun simbol kampanye akan sangat menarik dalam perjalanan sejarah politik Aceh. Lalu, siapa yang berhak menggunakan Hasan Tiro diantara keempat pasangan itu. Jangan-jangan Pilkada kali ini tanpa ‘kehadiran’ sang Wali. ▼

Mengenang spirit Wali menjadi penting. Ijtihad politik yang dilakukannya dalam usaha meningkatkan martabat Aceh perlu dicontoh dan diteruskan.


OPINI

T

Rita Reziana Aktivist LSM Bina Rakyat Sejahtera (BYTRA) Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Kearifan lokal

kurangi resiko bencana

erjadinya berbagai macam bencana di negeri ini selalu menyisakan duka dan trauma yang berkepanjangan bagi rakyat. Meskipun banyak hal yang telah dilakukan untuk mengatasi hal ini, namun hal tersebut seringkali tidak disertai dengan tindakan dan kebijakan yang nyata. Sehingga peningkatan bencana terus terjadi dari tahun ke tahun. Banyak kita lihat bencana-bencana dahsyat yang melanda beberapa negara termasuk Indonesia, misalnya ditahun 2004 silam Aceh dan Nias dilanda gempa dan terjangan tsunami yang begitu dahsyat sehingga meluluhlantakkan hampir sebagian wilayah Aceh dan Nias, dan menelan korban lebih dari 200 ribu jiwa dan ini merupakan jumlah yang luar biasa besar, sedangkan di daerah Jogyakarta dan Klaten sendiri lebih dari 7.000 jiwa yang kehilangan nyawa saat gempa terjadi dan ini termasuk dalam kelompok bencana luar biasa di tingkat Internasional dan menjadi bencana Nasional bagi Indonesia sendiri. Dan baru-baru ini di Jepang juga mengalami hal yang sama berupa bencana gempa dan

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

11


OPINI

tsunami serta radiasi nuklirnya. Ada juga banjir bandang di Aceh tepatnya di daerah Tangse, bagaimana air bah yang membawa begitu banyak kayukayu besar yang menghancurkan apa saja yang dilewatinya, yang menelan korban jiwa juga memporak porandakan semua bangunan rumah penduduk, jelas disini ada aktor yang menjadi penyebab banjir di Tangse, bisa saja dikarenakan penebangan liar selama ini di daerah tersebut. Sebenarnya bencana itu apa dan fenomena alam apa saja yang terjadi sebelum bencana itu terjadi? Teori Bencana Yang disebut bencana dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang bencana adalah peristiwa yang terjadi yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda dan berdampak psikologis misalnya trauma itu disebut bencana. Bencana dapat diartikan juga sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya kerugian terhadap jiwa manusia. Berdasarkan jenisnya bencana dapat dikategorikan dalam 2 macam yaitu bencana yang disebabkan oleh alam dan bencana yang disebabkan oleh non alam (ulah manusia). Kalau kita contohkan yang disebabkan oleh alam berupa banjir, tanah longsor, gempa, tsunami, angin topan/badai dan lain sebagainya. sedangkan yang disebabkan oleh ulah manusia berupa penebangan hutan/ilegal loging, pencemaran lingkungan, kebakaran hutan dan sebagainya. Bencana alam itu sendiri merupakan konsekwensi dari

12

kombinasi aktivitas alami yaitu suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, tanah longsor dan banjir serta aktivitas ataupun ulah tangan manusia. Bencana ini juga disebabkan karena ketidakberdayaan manusia itu sendiri, akibat kurang baiknya manajemen dalam keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian baik dari segi keuangan, struktural bahkan sampai kepada kematian atau korban jiwa. Kerugian tersebut tergantung pada kemampuan kita untuk mengurangi atau menghindari bencana serta kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Merujuk kepada kejadian tsunami di Aceh dulu mengapa banyak sekali korban jiwa, ini dikarena kita belum terbiasa dan belum ada pengetahuan tentang bagaimana cara kita mengurangi resiko bencana, tidak terstruktur dan tidak adanya letak tata ruang yang efektif ketika bencana terjadi. Oleh karena itu bagaimana cara kita menciptakan sebuah sistem untuk mengurangi resiko bencana itu sendiri. Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) dan memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang tinggi pula sehingga akan berdampak lebih buruk apabila masyarakatnya tidak mempunyai ketahanan terhadap resiko bencana. Konsep ketahanan terhadap bencana adalah kemampuan kita dalam menditeksi serta mencegah dan menangani segala bahaya dan tantangan yang hadir. Sehingga walaupun wilayah tersebut rentan akan bencana namun dengan diimbangi oleh jumlah penduduk yang memiliki kapasitas serta ketahanan terhadap bencana yang

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

cukup, maka resiko bencana akan dapat dikurangi atau bahkan dapat dihindari. Fenomena Alam dan Kearifan Lokal Bila kita kembali ke masa “endatu” kita dulu, sebenarnya cara-cara mengurangi bencana yang berbasis kearifan lokal itu sudah ada, hanya di zaman modernisasi seperti sekarang ini hal itu sudah hilang, seperti misalnya kenapa orang dulu membangun rumah Aceh itu tinggi? itu disebabkan orang dulu tahu bahwa Aceh rawan akan bencana banjir selain banjir juga untuk menghindari binatang buas seperti gajah harimau dan sebagainya, lalu mengapa rumah Aceh tidak di pasak? Itu disebabkan mereka tahu daerah Aceh juga merupakan langganan gempa sehingga bila gempa rumahnya hanya berayun saja tidak sampai rubuh, lalu mengapa “endatu” kita juga menanam “bak Jaloh” dan pohon bambu dipinggir sungai? Itu disebabkan agar dapat menghindari terjadinya abrasi sungai dan sebagainya. Jadi halhal seperti inilah yang dapat kita gali kembali menjadi kearifan lokal yang dapat mengurangi resiko bencana. Ada beberapa fenomena atau tanda-tanda alam yang dapat kita lihat sebelum bencana itu terjadi baik dalam bentuk binatang ataupun dalam bentuk mistik/ gaib. Kita ambil contoh saja fenomena alam yang terjadi di Kecamatan Langkahan tepatnya di Gampong Buket Linteung, mereka bisa memprediksikan kapan bencana banjir itu terjadi dengan melihat tanda-tanda alam yang berasal dari binatang


Penanganan Bencana Dalam hal penanganan bencana harus ada pembahasan mengenai konsep kearifan lokal melalui teknik investigasi, pendokumentasian serta pengkajian budaya lokal yang berhubungan langsung dengan bencana serta aturan-aturan (reusam gampong) yang ada dalam lingkungan masyarakat

dan juga rencana aksi komunitas. Kearifan lokal merupakan nilainilai masyarakat yang tumbuh dari proses interaksi dalam jangka waktu tertentu baik antar masyarakat, dengan sumber daya alam, dengan kondisi lingkungan juga dengan nilai-nilai baru yang masuk lewat proses interaksi sosial maupun media informasi yang kemudian menjadi kebiasaan umum. Kearifan lokal ini identik dengan hal-hal positif yang sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Investigasi sendiri merupakan rangkaian kegiatan pengalian berbagai informasi tentang sebuah topik atau fokus tertentu dengan tujuan mendukung terhadap keselamatan dan keseimbangan lingkungan dan masyarakat. Investigasi dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan tentang keadaan sebenarnya dari suatu permasalahan. Kegiatan inverstigasi juga harus partisipatif, yaitu menggunakan metode pengumpulan data yang dilakukan secara langsung dan melibatkan komunitas (masyarakat) lokal. Menurut Saifuddin Irhas, yang merupakan Aktifis lingkungan hidup mengungkapkan bahwa potensi bencana paling besar yang dihadapi Aceh saat ini adalah banjir, longsor dan gempa bumi. Untuk itu perlu perhatian optimal untuk penguatan masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana, dan perihal pengurangan resiko bencana ini harus menjadi perhatian dalam setiap perencanaan pembangunan. Saifuddin juga berpendapat, disamping Aceh harus memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan

bencana, juga harus dilakukan penguatana kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Seharusnya semua kabupaten kota harus memiliki SOP kebencanaan dan secara vertikal harus diturunkan ditingkat gampong agar masyarakat lebih siap dalam menghadapi bencana dan melakukan proses penanggulangannya. Berkaitan dengan kondisi hutan Aceh yang sudah kritis, bencana banjir akan sering terjadi. Potensi banjir yang sering terjadi di Aceh selain banjir juga ada gempa bumi, longsor, kebakaran hutan dan tsunami. SOP untuk penanganan bencana seharusnya disusun secara partisipatif. Namun lanjutnya, belum terlihat ada aksi kongkrit untuk penguatan kapasitas masyarakat dan sosialisasi proses penanggulangan bencana. Aspek pengurangan resiko bencana belum menjadi arus utama dalam proses perencanaan pembangunan. Selain SOP menurutnya juga harus ada Qanun atau aturan-aturan tentang penanggulangan bencana, juga harus ada Rencana Mitigasi dan Kontigensi Kebencanaan yang disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada. ▼

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

OPINI

berupa semut yang naik ke dinding rumah, adanya ular yang menyeberangi sungai, dan hal ini oleh masyarakat disana dijadikan tanda-tanda akan terjadi banjir. Dan masyarakat disana juga dapat mengetahui ketinggian air bila terjadi banjir dengan melihat tingginya lilitan badan ular yang melingkar dipohon. Ada juga tanda-tanda alam yang berhubungan dengan mistik/ gaib, yaitu berupa suara letusan meriam dari dalam sungai Lubok Pusaka dan suara itu mereka yakini sebagai tanda-tanda akan banjir besar, dan itu terbukti dengan terjadi banjir bandang dengan sebutan “Ie Raya Puteh” pada tahun 2005. (Hasil FGD Local Wisdom Gampong Buket Linteung Kecamatan Langkahan). Dalam Environmental Outlook WALHI 2003 diungkapkan bahwa Indonesia tidak bisa lagi membanggakan diri dengan julukan “Jamrud Khatulistiwa”, ini dikarenakan pada kenyataannya negeri kita adalah negeri sejuta bencana. Walhi juga mencatat bahwa tingkat kerawanan bencana di Indonesia bila dilihat dari segi kawasan mencapai 83%, yang berarti lebih dari 90% warga negara yang berjumlah 220 juta jiwa berpotensi menjadi korban bencana.

13


OPINI Jefri Susetio Mahasiswa Ilmu Politik Unimal dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Pemilukada :

Realita Politik Aceh Pergolakan konflik bersenjata berakhir secara demokratis setelah ditandatanganinya kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang biasa di sebut MoU Helsinki.

T

indak lanjut dari kesepakatan damai diwujudkan Undang-Undang (UU) Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Secara khusus UndangUndang tersebut lahir sebagai suatu bentuk kebijakan nasional Republik Indonesia yang bertujuan untuk mengatur penyelengaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan kerangka MoU Helsinki, kondisi ini tentu saja bisa di maknai sebagai penguatan demokratisasi di indonesia khususnya di Aceh,

14

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011


OPINI karena menyelesaikan konflik Aceh tanpa mengunakan kekuatan militer. Dalam perjalanannya kondisi sosial politik di Aceh kian dinamis ketika memasuki pemilukada tahun 2006, pemilukada pertama pasca konflik ini berjalan dengan sangat terbuka dan memberikan dinamika yang unik dalam proses demokratisasi di Aceh, kerena pada saat pemilukada yang diselenggarakan Desember 2006 ini pulalah calon perseorangan dari jalur independen untuk

pertama kalinya diperbolehkan ikut bertarung dalam pilkada di Indonesia. Dan penyelengaraan pemilukada pun berjalan sangat terbuka dan demokratis, tentu saja memberikan ruang kepada Partai Politik Nasional (PARNAS) dan calon perseorangan yang berasal dari eks- kombatan untuk ikut berkompetisi menjadi calon bupati/wakil bupati, walikota/ wakil walikota dan gubernur/ wakil gebernur. Dan kepercayaan masyarakat terhadap para calon perseorangan yang berasal eks-

kombatan sangat besar, hal ini terbukti hampir semua calon perseorangan yang berasal dari eks-kombatan menang di 17 kabupaten kota serta provinsi. Partisipasi politik rakyat Aceh semakin mencuat ketika memasuki pemilu tahun 2009 yang lalu, pada saat pemilu tahun 2009 tranformasi politik Aceh sangat panas karena ketatnya persaingan antara Partai Politik Nasional (Parnas) dengan Partai Lokal (Parlok) dalam memperebutkan empati

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

15


OPINI

rakyat. Antusias rakyat Aceh untuk mendukung Partai Lokal khususnya Partai Aceh sangat besar, hal ini dapat dilihat ketika kampanye Partai Aceh mampu mengkonsolidasi ribuan masyarakat sipil dan terbukti secara demokratis Partai Aceh menang pada saat pemilu dengan perolehan suara mencapai 48,78 % keberhasilan Partai Aceh dalam memenangi pemilu tahun 2009 yang lalu telah mendudukan 33 kader terbaiknya di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sedangkan di tingkat kabupaten/ kota Partai Aceh menguasai 237 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di 21 kabupaten/ kota di Aceh Keberhasilan Partai Aceh dalam memenangi pemilu 2009 yang lalu menunjukkan bahwa dukungan rakyat Aceh kepada Partai Aceh yang kebanyakan berasal dari eks- kombatan sangat kuat, namun sayang dukungan masyarakat yang sangat kuat ini tidak menjadikan Partai Aceh tetap solid dalam memperjuangkan kewenangan Aceh yang telah di atur dalam UUPA, tetapi terlihat bahwa kader Partai Aceh di DPRA belum menunjukkan kemajuan untuk mewujudkan cita-cita MoU helsinki. Dan sering terjebak pada berbagai persoalan yang pragmatis kemudian berakibat terjadinya keretakan dan kecemburuan antara sesama eks- kombatan. Polemik Calon Perseorangan Euforia politik menjelang Pemilukada tahun 2011 penuh dengan dinamika yang kemudian menjadi polemik dan konflik antara legislatif, eksekutif dan KIP Aceh (konflik regulasi) tentang pro dan kontra calon perseorangan. telah menjadikan isu pilkada Aceh menjadi isu terhangat sepanjang tahun 2011 ini. Isu calon perseorangan telah melewati beberapa tahap yang dikemas menjadi suatu perjalanan politik yang penuh dengan teka teki yang membuat hampir semua elemen masyarakat di Aceh terhegemoni oleh pro dan kontra calon perseorangan. Tahap yang pertama adalah telah dikirim kembali Raqan Pemilukada kepada DPRA oleh Kementerian Dalam Negeri, dan kemudian tahap kedua yang manarik adalah 16 partai politik yang dipelopori oleh Partai Aceh sepakat untuk menunda pemilukada yang dijadwalkan KIP Aceh tanggal 14 November 2011 dan koalisi partai ini berhasil dengan penundaan pemilukada sampai dengan tanggal 24 Desember 2011 dan tahap ketiga adalah timbulnya pergerakan dari masyarakat

16

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011


kekerasan yang membuat keresahan dikalangan masyarakat sipil di Aceh yaitu meledaknya granat di depan kantor tim sukses Irwandi Yusuf–Muhyan Yunan, selang dua hari kemudian sebuah granat meladak lagi di trotoar jalan Tgk Daud Beureueh di depan wisma Lamprit, beberapa hari berselang adanya kasus penembakan buruh pabrik yang sedang beristirahat siang di Geudong Pase, Aceh Utara, kemudian pada tanggal 9 Desember adanya ancaman bom di kantor Bupati Aceh Utara. Apabila kekerasan terus terjadi di Aceh tanpa adanya penyelesaian secara hukum akan membuat penyelengaraan pemilukada Aceh menjadi Rawan akan timbulnya chaos, Dan hal ini sangat berbahaya terhadap pembangunan politik yang sedang berlangsung di Aceh, elemen masyarakat harus menentukan peranya untuk mendesak elite agar menghentikan kekerasan dan konflik politik yang terjadi saat ini, jadikanlah pesta demokrasi ini menjadi jalan untuk mendapatkan kebaikan bersama guna mengwujudkan cita-cita MoU Helsinki. ▼

OPINI

sipil diberbagai daerah di Aceh yang bertujuan untuk menunda seluruh tahapan pemilukada Aceh sebelum konflik regulasi dapat terselesaikan. Kemudian TA Khalid dan Fadhlullah menggugat KIP Aceh ke Mahkamah Konstitusi, dengan permohonannya meminta membatalkan seluruh tahapan pemilukada Aceh. Menyikapi permohonan dari TA Khalid dan Fadhlullah pada tanggal 24 November 2011 Mahkamah Konstitusi mengelar sidang putusan akhir yang dibacakan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tahapan Pemilukada yang disusun KIP Aceh sudah sesuai dengan peraturan perundang–undangan. Soal pilkada harus berdasarkan Qanun, Mahkamah Konstitusi menilai Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tetap bisa menjadi payung hukum karena rancangan Qanun baru (hasil konsensus) tidak dapat diselesaikan oleh legislatif Aceh. ”Dengan tidak adanya Qanun Baru maka secara hukum qanun lama tetap berlaku dan dapat diberlakukan”, selain itu hakim konstitusi juga menyatakan calon perseorangan dalam pemilukada Aceh sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak pula melanggar butir 1.2.2 MoU Helsinki. Mahkamah Konstitusi meluruskan bahwa tidak ada konflik regulasi yang terjadi di Aceh menyangkut pelaksanaan pemilukada seperti halnya yang didahlilkan permohon dalam pokok permohonannya. Melihat polemik calon perseorangan menjelang Pemilukada Aceh saat ini, bagaimana potensi pemilukada Aceh kedepan? Apakah penguatan demokrasi yang diimplementasikan dengan legalnya calon perseorangan untuk mengikuti pemilukada Aceh akan tetap menjaga perdamaian Aceh?. Atau akan terjadi gesekan sesama bangsa Aceh ? Mencermati dinamika politik menjelang pemilukada saya beramsumsi bahwa pertama tahapan dan konflik menjelang pemilukada akan menjadikan rakyat Aceh lebih cerdas dalam memahami realita politik Aceh, kedua ketika tidak ada komunikasi antar elite politik di Aceh, dalam menyelesaikan persoalan konflik politik ini dan elite politik lebih mengutamakan egonya, maka besar kemungkinan kekerasan yang berbentuk politik menjelang dan sesudah pemilukada akan terjadi di Aceh. Tercatat setidaknya sudah ada empat kasus

Tulisan di atas merupakan tulisan Pemenang Juara Ketiga pada PENA Awards 2011 Lomba Penulisan Artikel se-Aceh yang diselenggarakan oleh Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Mahkamah Konstitusi meluruskan bahwa tidak ada konflik regulasi yang terjadi di Aceh menyangkut pelaksanaan pemilukada seperti halnya yang didahlilkan permohon dalam pokok permohonannya.

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

17


Resensi

GERAKAN RAKYAT MELAWAN ELITE MARLIANA

Staf Yayasan Suara Hati Rakyat (SAHARA) Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

M

engamati lebih seksama jalannya pemerintahan di Negara kita sangatlah rumit, banyak timbul gejolakgejolak atau serentak kita pandang pemberontakan oleh sebagian kelompok yang tidak menerima keadaan yang terhegemoni seperti sekarang ini. Membayangkannya terlalu sulit untuk saya dan membuat saya teringat akan kisah satu buku yang pernah saya baca. Buku tersebut dengan judul “Gerakan rakyat melawan elit�. Sepintas melihat keadaan buku ini hanya terlihat sebuah tangan yang hendak mencengkeram, gambar ini seolah mengisahkan secara tidak langsung menggambarkan suatu perlawanan. Sangat erat kaitannya ketika kita mulai membaca isi dari buku ini. Buku ini mengisahkan satu topik yang berjudul “Gerakan Rakyat Melawan Elit� yang di kisahkan oleh Munafrizal Manan. Terlihat

18

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

dari transisi Demokrasi, dari era baru ke era orde reformasi akan selalu penting sebagai bahan kajian. Para politisi akan mempelajari periode ini sebagai renungan bagaimana penguasa yang begitu kuat rontok dengan tiba-tiba. Sementara penguasa akan melihat era itu sebagai akhir dari buble ekonomy, istilah ini merujuk kepada kondisi ekonomi dan bisnis yang seolah-olah sehat tapi ternyata sangat rapuh. Buku ini juga lebih jauh mengulang hubungan negara dan masyarakat pada era setelahnya, era Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid, awalnya buku ini adalah tesis pasca Sarjana Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada. Berdasarkan studi perbandingan derngan negara lain yang juga mengalami transisi ke demokrasi, indonesia kini sedang berada di Simpang jalan. Di hadapan kita, sekarang terhampar tiga jalan yang setiapnya memiliki konsekuensi berbeda.


Judul : Gerakan Rakyat Melawan Elit Penulis : Munafrizal Penerbit : Perpustakaan Nasional Koleksi : Pustaka Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Yang pertama, membawa kita menuju demokrasi yang terkonsolidasi dan damai. Jalan kedua, membawa kita berputar arah dan kembali ke sistem lama secara cepat ataupun lambat. Sedangkan jalan ketiga, membawa kita kesana kemari tak tentu arah, di ramalkan pula oleh konflik yang berdarah-darah. Apakah kita sedang menuju jalan pertama, kedua, ketiga itu sangat tergantung pada bagaimanakita sebagai bangsa menjawab tiga tantangan negara demokrasi baru. Secara umum, buku ini mencoba mengajukan argumen yang keluar dari mainstream cara pandang poilitik Indonesia yang state centered. Sejauh ini, terutama pada masa orde baru, banyak para aktivis demokrasi dan penstudi Politik Indonesia yang menempatkan negara sebagai faktor satu-satunya penghambat tegaknya demokrasi di Indonesia, sedangkan masyarakat jarang dilihat sebagai aktor yang juga dapat merintangi jalan tegaknya demokrasi. Pada masa Orde baru, argumen ini memang meyakinkan karena negara memang selalu berusaha keras untuk mengukuhkan praktik otoritarian dan menghalangi tegaknya demokrasi. Namun, pada era transisi yang kehidupan politiknya lebih terbuka dan bebas, argumen semacam ini tidak dapat di pertahankan lagi. â–ź

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

19


KEGIATAN

Kegiatan:

Survey Keadilan Dalam Perspektif Korban Oleh: Kelompok HAM dan Reformasi Birokrasi Sekolah Demokrasi Aceh Utara

S

ejarah konflik Aceh dimulai sejak 1873 ketika genderang perang dengan Belanda dibunyikan, 100.000 ribu orang tewas dan 500.000 ribu lainnya luka-luka. Belum kering luka sejarah, tahun 1946 Aceh kembali terpuruk dalam revolusi sosial yang menewaskan 1.500 orang, tak lama kemudian, dalam kondisi yang serba miskin dan serba sulit Aceh kembali harus merelakan 4.000 jiwa rakyatnya melayang pada peristiwa Darul Islam (1953-1964). Sejarah hitam kembali terukir ditanah rencong saat wilayah ini ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer “DOM� dengan sandi Operasi Jaring Merah (1991 – 1998) dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun 3.800 hingga 5.000 orang tewas

20

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

dan hilang tanpa jejak. Episode konflik Aceh masih terus berlanjut dengan status darurat militer, untuk kepentingan Integrasi Indonesia Presiden Megawati telah melegalkan kekerasan struktural terhadap Aceh atas nama kepentingan bangsa. Masyarakat Aceh kembali hidup dalam rasa curiga, ketakutan dan perasaan tidak nyaman sepanjang waktu. Situasi ini baru berakhir setelah kesepahaman damai ditanda tangani oleh Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Posisi konflik yang terus menerus di Aceh menjadikan banyak korban dimana mana yang bisa


50 orang, yang terdiri dari laki-laki 34 orang dan perempuan 16 orang. Disisi ‘Keadilan dalam perspektif korban’ 23 korban belum adil, 2 korban sudah adil, 20 korban belum maksimal dan 5 korban merasa tidak adil sama sekali. Dalam pertanyaan ‘Sudahlah korban merasa hak-haknya dipenuhi’ dari 50 korban narasumber 23 korban menjawab pernah menerima bantuan dan 22 korban tidak pernah menerima bantuan dan 5 korban tidak menjawab. Sebanyak 21 korban menerima bantuan dari Dinas Sosial, 14 korban dari BRA, 14 korban dari NGO dan 1 korban dari pihak lain, 20 korban narasumber mengetahui apa tugas BRA dari 50 korban, 33 korban pernah bertemu BRA dan 17 korban tidak pernah bertemu BRA, ada 2 korban yang mendapat bantuan rumah dari BRA, 3 korban mendapat program pemberdayaan, 22 korban bantuan kesehatan dan 22 korban bantuan diyat, dalam hal BRA memberikan informasi kepada korban sebanyak 26 korban menjawab pernah, 24 korban menjawab tidak pernah, Tidak semua korban aktif dalam menuntut haknya, hanya 34 korban menuntut, 16 korban tidak mau menuntut. Dalam hal tanggapan korban tentang pembentukan KKR Aceh, Tentang isu KKR 16 korban yang pernah mendegarkan isu ini dan 34 korban lainnya tidak pernah mendengarkannya, Tanggapan korban tentang perlu tidaknya KKR di Aceh 46 korban menjawab perlu dan 4 orang menjawab tidak perlu, Minat korban dalam memperjuangkan hadirnya KKR di Aceh 38 korban menjawab mau memperjuangkan qanun KKR lahir di Aceh dan 12 orang tidak mau memperjuagkan hal tersebut, Dalam hal memaafkan pelaku 34 orang memaafkan pelaku dan 15 orang tidak mau memaafkan pelaku. Meski hanya melibatkan 50 orang sebagai sampel, namun penelitian ini diharapkan bisa menjadi gambaran kondisi penegakan HAM pasca konflik Aceh dari perspektif korban. ▼

KEGIATAN

dikategorikan pelanggaran HAM, tragedi Simpang KKA, Kasus Gedung KNPI, Bumi Flora, Pembataian Tgk Bantaqiah dan santrinya, Pembantaian Idi Cut, Kasus aktifis RATA, serta kasus-kasus lainnya yang terjadi selama penerapan Daerah Operasi Militer, Darurat Militer, Darurat Sipil I dan Darurat Sipil II. Kekerasan masa lalu di Aceh sudah membuat luka yang belum tersembuhkan, dimana setiap kejadian membuat korban atau keluarga korban menjadi imbas dari setiap kejadian. Yang paling pahit bila kita mengenang korban penghilangan paksa dimana pihak keluarga korban sampai sekarang masih ada yang belum tau dimana keberadaan keluarga mereka apakah sudah tiada ataupun hidup, sering mereka mengatakan “menyoe ka meuningggai prat jrat, meunyoe mantong udep pat alamat”. Damai di Aceh membawa sejuta harapan bagi semua masyarakat Aceh, baik yang menjadi korban pelanggaran HAM atau tidak. Bagi korban, damai membuka ruang untuk mereka mencapai keadilan masa lalu yang harus oleh pihak pemerintah. Tetapi selama ini tuntutan untuk keadilan terus disuarakan oleh korban, bagi mereka yang belum mendapatkan keadilan yang mereka cari, adanya pembentukan BRA juga belum mampu menjawab semua keluhan korban. Lalu bagaiman korban melihat keadilan sesudah 6 tahun perdamaian di Aceh, maka dengan alasan itu Kelompok HAM dan Reformasi Birokrasi SDAU melakukan survey untuk melihat Keadilan dalam Perspektif Korban. Hipotesa dalam penelitian ini adalah korban belum mendapatkan keadilan dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadilan dalam perspektif korban, Apakah korban merasa dipenuhi hak-haknya dan Bagaimana tanggapan korban tentang rencana pembentukan KKR Aceh. Tim turun langsung ke lokasi dan melakukan wawancara dengan korban dan menggunakan angket sebanyak 50 buah sebagai sampel dalam pengambilan data. Kendala dalam kegiatan ini masih dimana kebanyakan narasumber belum paham apa itu survey sehingga surveyor juga ikut menjelaskan tujuan dari kegiatan ini. Lokasi Kegiatan survey ada di 4 kecamatan di Kabupaten Aceh Utara yaitu Kecamatan Sawang, Kecamatan Muara Batu, Kecamatan Nisam Antara dan Kecamatan Langkahan Hasil Penelitian Total narasumber dalam kegiatan ini adalah

Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

| Rangkang Demokrasi

21


KEGIATAN

Berita:

Siswa Matangkuli Nominator Juara Esai Nasional LHOKSUKON - Fajrul Hayat (17) siswa kelas III IPS SMAN 1 Matangkuli Aceh Utara masuk dalam nominator juara lomba menulis esai yang diselenggarakan Komnas HAM RI bekerja sama dengan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) Jakarta. Naskah esai Fajrul yang berjudul ‘HAM di Balik Konflik Aceh’ itu dinyatakan masuk sepuluh besar oleh dewan juri lomba itu. “Saya sudah dapat surat pemberitahuan dari dewan juri. Tanggal 26 sampai 29 Januari 2012 mendatang, saya diminta ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan menulis dan mempresentasikan naskah yang saya tulis,” ujar Fajrul yang juga Ketua Penulis Sastra Aceh Utara (PiSAU) kepada Serambi, Jumat (16/12). Ditambahkan, dia berharap Dinas Pendidikan Aceh Utara menanggung biaya keberangkatan ke Jakarta. Pasalnya, panitia tidak menyediakan biaya transportasi. “Panitia hanya menyediakan akomodasi selama acara. Saya sudah sampaikan ke pihak sekolah dan pihak sekolah menyatakan siap mendukung keberangkatan saya. Saya berharap dinas pendidikan juga membantu keberangkatan saya ke Jakarta,” ujar Fajrul. Ditambahkan, dirinya adalah satu-satunya utusan Aceh yang masuk sepuluh besar lomba itu. “Saya harap, bisa menang dalam lomba ini. Untuk itu mohon dukungan dan doa masyarakat Aceh untuk kesuksesan saya,” harap Fajrul.(c46) (Sumber: Harian Serambi Indonesia). ▼

22

Rangkang Demokrasi | Edisi 6 | Tahun 1 | Desember 2011

siapa Fajrul? - Nama: Fajrul Hayat - Lahir: Matangkuli, 30 Maret 1994 - Alamat: Desa Keude Matangkuli, Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara - Pekerjaan: Siswa kelas III SMAN 1 Matangkuli - Orang tua: Zulkifli dan Maryana

Apa PISAU? Kelompok pendidikan Sekolah Demokrasi Aceh Utara membentuk sebuah komunitas bernama Penulis Sastra Aceh Utara (PiSAU). Komunitas ini lahir setelah kelompok ini menyelenggarakan kegiatan workshop penulisan sastra untuk siswa SMA di Kec. Tanah Luas. Sejauh ini sudah terdaftar beberapa orang peserta dari berbagai SMA di Aceh Utara dan Lhokseumawe selain alumni workshop. Dalam komunitas tersebut, para peserta yang dibina secara kontinyu oleh Kelompok Pendidikan Sekolah Demokrasi Aceh Utara secara random melakukan kegiatan-kegiatan seperti; - Melatih ketrampilan menulis - Meningkatkan kreatitifas - Menulis puisi - Membedah buku - Belajar mengenal media massa - Belajar cara mengirim karya ke media massa - Belajar membuat e-mail - Belajar mengaplikasikan komputer (internet) - Belajar Bahasa Inggris - Belajar mencari informasi-informasi di internet - Dan beragam kegiatan-kegiatan positif lainnya.


PENGUMUMAN PENERIMAAN SISWA SEKOLAH DEMOKRASI ACEH UTARA ANGKATAN KE-II LSM SEPAKAT (Serikat Pengembang Swadaya Masyarakat) Lhokseumawe bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dengan dukungan pendanaan dari Kemitraan (Partnership) akan menyelenggarakan kegiatan pendidikan Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan ke-II. Selain di Aceh, Sekolah Demokrasi juga sudah terselenggara di Provinsi Sumatera Selatan, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan Papua. Sekolah Demokrasi mempunyai visi untuk terciptanya komunitas yang memiliki pengalaman dan komitmen untuk transformasi kearah masyarakat demokratis, sadar politik dan mampu berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan publik melalui wacana demokrasi dalam sistem politik multi-partai. Sekolah Demokrasi akan melatih dan mendidik individu yang muda untuk sadar politik dan bisa memainkan peran strategis untuk memajukan demokasi di daerahnya masing-masing. Salah satu konteks yang akan menjadi perhatian Sekolah Demokrasi adalah interaksi antar-pranata (inter-institutional interaction) diantara empat pranata utama yaitu lembaga politik dan para politisi, pegawai/aparatur pemerintahan, komunitas bisnis dan rakyat dalam civil society

Sekolah Demokrasi Aceh Utara membuka peluang kepada masyarakat untuk menjadi siswa angkatan kedua dengan syarat sebagai berikut: 1. Berusia antara 21 s/d 40 Tahun 2. Pendidikan Minimum SMA/yang sederajat 3. Lulus seleksi Administrasi, Ujian Tulis, dan Wawancara 4. Berasal dari 4 pranata utama yaitu dari lembaga politik dan para politisi, pegawai/aparatur pemerintahan, komunitas bisnis dan organisasi masyarakat sipil 5. Bersedia mengikuti pembelajaran sekolah demokrasi baik in class dan out class selama satu tahun penuh (sebagian besar kegiatan belajar akan dilaksanakan pada hari Sabtu dan hari Minggu) 6. Mempunyai komitmen personal dan professional terhadap transformasi masyarakat 7. Peserta yang berdomisili di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe lebih dianjurkan untuk melamar 8. Peserta perempuan dianjurkan untuk ikut melamar

Jadwal Seleksi Siswa angkatan Kedua sebagai berikut: Item

Waktu

Seleksi Administrasi

05 s/d 16 Januari 2012

Tempat/Media

Keterangan

Mengisi Formulir pendaftaran, Formulir pendaftaran bisa di unduh di website Foto Kopi KTP, Foto Kopi Sekolah Demokrasi atau dapat diambil di Ijasah terakhir Sekretariat LSM SEPAKAT. Berkas kelengkapan Administrasi bisa diantar langsung ke kantor LSM SEPAKAT, dikirim via pos, via Fax atau via Email

Pengumuman Administrasi

Hasil

Seleksi 18 Januari 2012

Website, Email, SMS

Bagi yang tidak lulus seleksi administrasi akan diberitahu melalui surat

Ujian Tulis

20 s/d 23 Januari 2012

Sekretariat LSM SEPAKAT

Hanya bagi yang lulus seleksi Administrasi

Pengumuman Hasil Ujian Tulis

26 Januari 2012

Website, Email, SMS

Bagi yang tidak lulus seleksi ujian tulis akan diberitahu melalui surat

Seleksi Wawancara

27 s/d 30 Januari 2012

Sekretariat LSM SEPAKAT

Bagi yang Lulus Ujian Tulis

Website, Email, SMS

Bagi yang tidak lulus seleksi wawancara akan diberitahu melalui surat

Pengumuman Wawancara

Hasil

Mulai Pembelajaran

Seleksi 31 Januari 2012 04 Februari 2012

Sekolah Utara

Demokrasi

Aceh Dimulai dengan kegiatan Briefing, Matrikulasi dan Outbond

Catatan: Semua Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara bebas dari segala pungutan/iuran seperti SPP dan iuran lainnya dalam bentuk apapun, Peserta sekolah juga tidak mendapatkan imbalan/keuntungan materi dalam bentuk apapun. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi: Website : http://sekolahdemokrasi.sepakat.or.id atau www.sepakat.or.id Email : sekolahdemokrasi@sepakat.or.id cc ke: edifadhil@sepakat.or.id Facebook : Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Atau bisa langsung menghubungi Sekretariat kami di: LSM SEPAKAT Lhokseumawe Jl. Peutua Ali No.49 Gampong Tumpok Teungoh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe Provinsi Aceh, 24300 Telp/Fax : 064546077 Contact Person : Ika (085262160966) / Dewi (085270056458)


Disampaikan oleh:


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.