Momentum Citarum

Page 1



Momentum Citarum

Kontribusi Program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation: “Titik Tumpu Kolaborasi Para Pihak di Tingkat Tapak Dalam Melestarikan Ekosistem Penting di Hulu Citarum�


Momentum Citarum

Kontribusi Program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation: “Titik Tumpu Kolaborasi Para Pihak di Tingkat Tapak Dalam Melestarikan Ekosistem Penting di Hulu Citarum” ISBN: ...... ©2016 Diterbitkan oleh Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Didukung oleh Asian Development Bank dan Global Environment Facility Pembina Program: Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Penanggung Jawab Program: Ir. Antung Deddy Radisyah, MP Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Penulis: Agus Prijono Robi Royana Editor Teknis: Dr. Ir. Cherryta Yunia MMA Kepala Sub Direktorat Konservasi Lahan Basah dan Taman KEHATI Dr. Ir. Sylvana Ratina M.Si Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat Ir. Herry Subagiadi M.Sc Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (sampai April 2015) Kontributor Teknis: Ery Mildranaya, S.Hut, M.Ec.Dev.,MA – Balai Besar KSDA Jawa Barat Ade Bagja Hidayat – Balai Besar TNGGP Rangga Agung Prabowo, S.Pi.,MPA – Direktorat BPEE Kharina Savira Nasution,S.Pi – Direktorat BPEE Bambang Agus Kusyanto Yadi Supriyadi Kredit Foto: Bambang Agus Kusyanto Agus Prijono Tim Dokumentasi CF Ilustrasi Peta: Arief Ismail Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 14, Jl. Jend. Gatot Subroto, JAKARTA 10270, Telp/Fax. 021-5746336


Keterangan foto sampul: Daerah Aliran Sungai kerap digambarkan secara dendritik: seperti cabang-cabang pohon. Begitu pun DAS Citarum yang dibentuk oleh jalinan puluhan anak sungai, yang tumpah di sungai utama Citarum. Arsitektur dendritik secara alami juga nampak pada tulang-tulang daun pakis di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu pada lembar sampul depan. Kredit foto & teks: Agus Prijono


Daftar Isi

Kata Pengantar Muqadimah Peta Hulu - Hilir Citarum

Hal 7 11 14

I. Memahami Citarum II. Harapan dari Hulu Citarum Komponen 1: Kajian Keanekaragaman Hayati Komponen 2: Restorasi Ekosistem Komponen 3: Imbal Jasa Lingkungan Komponen 4: Mengarusutamakan Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi III. Hikmah & Pembelajaran IV. Menjaga Momentum Citarum

16 30 34 44 52 62

Lampiran Peta Galeri Foto

139 145

4 Momentum Citarum

76 122


Daftar Isi 5


6 Momentum Citarum


Kata Pengantar Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

S

elama ini upaya untuk memulihkan dan merawat kondisi Daerah Aliran Sungai Citarum telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah hingga inisiatif masyarakat. Sebagai upaya, setiap program tentu bertujuan baik dan bermanfaat. Hanya saja, hingga saat ini, masih saja ada berita yang belum menggembrikan terkait Sungai Citarum. Di antara berbagai banyak upaya di DAS Citarum, program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC) mempunyai lokus dan sasaran yang berbeda. Program ini menyasar konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi yang tercakup di hulu DAS Citarum. Dari awal mula hingga tuntas, program CWMBC mengarahkan upaya pelestarian hulu DAS Citarum bertumpu pada dua ujung tombak strategis. Ujung tombak pertama adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dua unit pelaksana teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut akan melakukan konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di wilayah hulu DAS Citarum. Ujung tombak kedua adalah konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi, yang menegaskan peran penting masyarakat yang hidup di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat sekitar inilah yang selayaknya menjadi garda depan pelestarian keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Bentuk pelibatan masyarakat tersebut bersifat aktif, dan mewujud langsung dalam pembangunan desa. Dalam perpektif tersebut, desa-desa di hulu DAS Citarum, yang bersinggungan dengan kawasan konservasi, akan menjadi ujung tombak pembangunan wilayah. HaraKata Pengantar 7


pannya, desa akan menggerakkan masyarakatnya untuk memelihara dan memulihkan lingkungannya. Secara konseptual, program CWMBC telah menggagas cikal bakal pembangunan desa yang berbudaya konservasi. Gagasan ini tumbuh dari Model Desa Konservasi atau MDK yang dilakukan BBKSDA Jawa Barat dan pengembangan desa penyangga oleh BBTNGGP. Seiring dengan momentum yang telah diciptakan oleh program CWMBC, Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial - Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem melakukan koordinasi antar pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam upaya besar bagi konservasi keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Pada penghujung program, baik BBKSDA, BBTNGP maupun Direktorat BPEE, mengedepankan Desa Berbudaya Konservasi dalam kerangka pembangunan desa yang dicirikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang memasukkan kegiatan pelestarian lingkungan. Selanjutnya adalah Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) yang setiap tahun mencakup kegiatan pelestarian lingkungan. Desa Berbudaya Konservasi juga mengintegrasikan urusan pelestarian lingkungan dalam struktur kelembagaan desa. Terkait Desa Berbudaya Konservasi, saat ini ada dua program yang secara langsung menempatkan desa sebagai pemeran utama dalam pemulihan Citarum. Program tersebut adalah MDK dan Ecovillage yang dilakukan oleh BPLHD Provinsi Jawa Barat. Koordinasi antar instansi ini telah dilakukan, bahkan konsultasi dan pembahasan yang melibatkan instansi-instansi terkait lainnya juga telah dilakukan. Pada akhirnya telah disepakati untuk mendorong Desa Berbudaya Lingkungan sebagai muara dari MDK dan Ecovillage. Dengan demikian, pada akhirnya, momentum yang telah digerakkan oleh program CWMBC akan terus bergerak demi pengelolaan hulu DAS Citarum yang lestari. Jakarta, Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial

Ir. Antung Deddy Radiansyah, MP

8 Momentum Citarum


Kata Pengantar 9


10 Momentum Citarum


Muqadimah

S

elama kurun 2011 sampai Mei 2016 telah dilaksanakan program Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP) di kawasan konservasi yang tercakup dalam wilayah hulu DAS Citarum. Wujudnya berupa program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC). Program ini dilakukan di kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tujuan program CWMBC untuk mencapai pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan pegunungan Jawa Barat yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat di DAS Citarum. Program CWMBC mulai digagas sejak tahun 2006. Pada tahun itu pemerintah telah mengembangkan Citarum Roadmap, yaitu sebuah rancangan strategis yang berisi program–program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air dan memulihkan kondisi Sungai Citarum. Dalam Citarum Roadmap terdapat Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP), merupakan program besar pengelolaan sumber daya air terpadu dengan bantuan pinjaman, hibah, dan teknis dari Asian Development Bank. Program ICWRMIP melibatkan para pihak yang mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan, hingga pelaksanaan program. Visi ICWMRIP adalah Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif, serta membawa manfaat berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di Citarum. Ada enam lembaga yang terlibat dalam tahap pertama program ICWRMIP: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Di dalam ICWRMIP tahap pertama terdapat program PenMuqadimah 11


gelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation [CWMBC]) dengan dukungan dana hibah Global Environment Facility yang dikelola Asian Development Bank. Pelaksana program CWMBC adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Dengan demikian, program CWMBC merupakan bagian dari ICWRMIP yang lebih luas. Karena program ICWRMIP belum memasukkan konservasi keanekaragaman hayati, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berpartisipasi melalui CWMBC. Untuk itu, lalu dimasukkan konservasi keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui unit pelaksana teknis BBKSDA Jawa Barat dan TNGGP. Pustaka ini hadir untuk memaparkan program CWMBC, mulai dari awal hingga tuntas yang berlangsung di delapan kawasan konservasi yang menyokong DAS Citarum. Tentu saja, kawasan konservasi yang berada dalam cakupan DAS Citarum menghadapi berbagai tantangan sekaligus memiliki potensi penting dalam konservasi keanekaragaman hayati dan memberi sumbangan penting bagi pengelolaan DAS Citarum. Ada empat komponen CWMBC yang dilaksanakan di delapan kawasan konservasi. Pada bab pertama, akan dipaparkan peran Sungai Citarum dalam menyokong kehidupan manusia dari masa ke masa. Selain itu, juga dijelaskan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS Citarum. Bab 1 sekaligus mendudukkan konteks program CWMBC dalam pengelolaan DAS Citarum. Pada bab berikutnya, buku ini mengajak pembaca untuk melihat capaian empat komponen program CWMBC. Kemudian, Bab 3 akan menerangkan hikmah dan pembelajaran dari seluruh kegiatan komponen. Berdasarkan kendala, capaian dan tantangan selama program CWMBC, bagian ini menjelaskan apa dan bagaimana yang bisa dilakukan di masa datang, terutama bagi pengelolaan kawasan konservasi dalam konteks pengelolaan DAS Citarum. Bab ini ingin memaparkan pembelajaran yang melampui batas-batas program dan menjadi dasar bagi pengelolaan kawasan konservasi ke depan. Pada tataran tertentu, bahkan pembelajaran dari program CWMBC juga berkontribusi bagi pengelolaan kawasan konservasi di luar DAS Citarum. Hal ini mengingat bahwa kawasan konservasi di Indonesia menghadapi tantangan yang kurang lebih sama, meskipun harus tetap memperhatikan konteks khususnya. 12 Momentum Citarum


Yang terakhir, Bab 4 menjelaskan kontribusi program CWMBC dalam pembangunan wilayah desa yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Seiring berjalannya waktu, program CWMBC telah berhasil memupuk modal sosial di desa-desa sekitar kawasan konservasi. Modal sosial inilah yang perlu dirawat dan dimanfaatkan dalam pembangunan desa yang berwawasan konservasi. Dengan berbagai paparan dan pembelajaran, dengan demikian, buku ini merupakan hasil dari pergumulan gagasan, daya, dan upaya selama berlangsungnya program CWMBC. Ini juga berarti program CWMBC meletakkan landasan bagi pengelolaan DAS Citarum di masa depan. Inilah momentum bagi Citarum untuk terus berbenah, sambil tetap menjaga sinergi para pemangku kepentingan yang selama ini berkontribusi dalam pengelolaan DAS Citarum. Program CWMBC telah menciptakan momentum untuk terus melestarikan dan merawat kawasan konservasi di hulu Citarum. Momentum yang penting untuk selalu mengingat Citarum adalah milik generasi mendatang. Selamat membaca.

Muqadimah 13


PETA HULU - HILIR


SUNGAI CITARUM


I. Memahami Citarum Mengalir sepanjang masa, Citarum tak lekang menyokong peradaban dari generasi ke generasi. Dalam dua dekade terakhir, batang air terpanjang di Jawa Barat ini menyandang status daerah aliran sungai prioritas di Indonesia.

Citarum yang Arkaik ejak abad ke-6, peradaban manusia telah berkembang di sekitar Sungai Citarum. Jejak-jejak kehidupan manusia dari abad-abad silam itu bisa dilihat di Desa Segaran, Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Di wilayah yang menghampar di sisi utara aliran Citarum ini, sisa-sisa candi tersebar di areal seluas lima kilometer persegi. Sebelum ditemukan dan dipugar oleh para arkeolog, masyarakat sekitar menyebut situs-situs itu sebagai unur atau tanah tinggi. Itu lantaran tanah-tanah situs lebih tinggi dari hamparan sawah di sekitarnya. Salah satu situs di Batujaya yang terbesar dan terlengkap adalah Candi Blandongan. Bangunan candi ini berbentuk bujur sangkar dengan tangga masuk menuju selasar di empat sisi kaki candi. Beton stuko atau lepa gamping melapisi lantai selasar. Tepian lantai selasar di empat sisi dibatasi pagar langkan yang tidak dapat diketahui lagi tinggi aslinya, karena bagian atasnya sudah roboh. Di kalangan para arkeolog, Candi Blandongan dipandang memiliki keunikan dibandingkan dengan candi-candi lain di Indonesia. Keunikannya: perpaduan bangunan candi dengan konstruksi kayu. Pada lantai selasar, antara badan candi dan pagar langkan, terdapat 12 umpak batu yang dipasang secara teratur berderet pada jarak yang sama. Umpak batu

S

16 Momentum Citarum


ini diperkirakan untuk menopang tiang-tiang cungkup yang menaungi stupa puncak badan candi. Para peneliti juga menemukan fitur bekas pintu masuk di empat sisi dan fitur kusen jendela pada pagar langkan di sisi timur laut dan barat daya (Sedyawati, et al., 2013). Penelitian mengungkap kompleks percandian Batujaya dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara dalam dua fase. Djafar (2010) menyatakan fase pertama sekitar abad ke-6 dan ke-7, dan fase kedua abad ke-8 dan ke-10. Fase kedua merupakan masa pendudukan Tarumanegara oleh Sriwijaya. Dengan demikian, untuk sementara ini, situs Batujaya merupakan kompleks candi Budha yang tertua di Jawa, yang mulai dibangun pada abad ke-6 dan ke-7. Situs Batujaya juga menyimpan sisi lain peradaban yang pernah berkembang di tepian Citarum. Pada 2014, tak jauh dari Candi Blandongan, ditemukan tiga kerangka manusia. Temuan ini mengukuhkan dugaan bahwa Batujaya menjadi pusat pemujaan pada masa transisi dari zaman prasejarah ke sejarah. Para peneliti menduga kompleks candi didirikan di daerah yang memang semenjak dahulu menjadi pusat kepercayaan lama. Sebelumnya, pada 2004-2005, juga ditemukan tujuh kerangka manusia di dekat unur Lempeng (Djafar, 2010).

Kompleks candi di Batujaya, Karawang, membuktikan Sungai Citarum telah menopang peradaban manusia seawal abad ke-4 MasehiFoto: Agus Prijono.

I. Memahami Citarum 17


Setelah itu, ada lima rangka manusia di seputar kawasan Batujaya. Sekurangnya ada 15 kerangka yang pernah ditemukan di situs ini. Sunarto menyatakan, jasad-jasad itu ditemukan bersama gerabah dan senjata sebagai bekal kubur. Penemuan kerangka manusia dan bekal kubur menunjukkan kehidupan di sekitar muara Sungai Citarum ini terjadi pada masa transisi zaman prasejarah dan sejarah (atau protosejarah). Di antara bekal kubur ditemukan tembikar India Selatan, dari kota pelabuhan kuna Arikamedu, kira-kira dari abad ke-2 hingga ke-4. Ini menunjukkan adanya hubungan antara orang India dengan masyarakat pesisir di pantai utara Jawa Barat pada masa akhir prasejarah (Djafar, 2010).

LANTAS, bagaimana Sungai Citarum menyokong tamadun yang berkembang di pesisir utara Karawang? Kondisi lingkungan Batujaya pada masa lalu merupakan hamparan sedimen dari luapan Sungai Citarum. Daerah aliran sungai yang subur, dengan sumber air yang berlimpah, telah mendukung kehidupan bercocok tanam. Hasan memaparkan penggunaan kulit padi sebagai bahan campuran bata merah pada candi di Batujaya memberikan petunjuk awal budidaya padi di pantai utara Jawa bagian barat. Candi-candi di Batujaya membuktikan teknologi pembakaran bata merah, dengan bahan baku tanah hasil pengendapan luapan Citarum, telah digunakan seawal abad ke-4 hingga ke-6. Teknologi lain adalah stuko atau lepa putih berbahan gamping. Sisa-sisa stuko ini terlihat dari bercak-bercak putih di kaki Candi Blandongan. Bisa jadi, di masa lalu candi-candi di Batujaya berwarna putih. Untuk melapisi tembok, para arsitek Batujaya mencampur kapur dan kulit kerang. Stuko juga digunakan untuk membuat hiasan, patung dan relief. Djafar (2010) mencatat bahwa biasanya perlu pembakaran kapur hingga suhu 900-1.000 derajat Celsius. Sumber bahan baku gamping tersedia melimpah di perbukitan karst di selatan Karawang. Bagian ujung timur perbukitan ini berada di tepi Sungai Citarum, dan ujung baratnya di tepi Sungai Cibeet. Karst merupan kawasan yang memiliki kondisi hidrologi dan bentuk lahan yang berkembang di batuan mudah larut dan memiliki banyak rekahan. Hubungan antara Sungai Citarum dan perbukitan karst terlihat di sekitar daerah Padalarang, terutama di lembah Cimeta Citarum. Lembah Cimeta ini pada zaman dahulu dipandang sebagai Sungai Citarum Purba. Tentunya, Sungai Citarum saat ini adalah hasil penyumbatan Sun18 Momentum Citarum


“Penemuan kerangka manusia dan bekal kubur menunjukkan kehidupan di sekitar muara Sungai Citarum ini terjadi pada masa transisi zaman prasejarah dan sejarah (atau protosejarah).� gai Citarum Purba atau Lembah Cimeta ini. Kawasan karst berfungsi sebagai habitat flora-fauna, menyimpan bahan mineral langka, wilayah religi dan spiritual, dan sebagai tempat rekreasi dan wisata (Yunia et al., 2015). Jarak antara bukit kapur di selatan Karawang dengan situs Batujaya sekitar 50 kilometer. Kondisi ekologis Sungai Citarum dan Cibeet saat itu, menurut uraian Djafar (2010), diduga cukup baik untuk digunakan sebagai sarana pengangkutan. Secara teknis pengangkutan batu kapur dari selatan Karawang ke Batujaya dengan perahu tidaklah sulit karena mengikuti aliran sungai. Djafar (2010) juga menegaskan bahwa kompleks candi Batujaya telah mengalami perubahan dan penambahan. Perbaikan ini lantaran bangunan candi mengalami kerusakan akibat faktor alam, khususnya luapan Sungai Citarum. Secara teknis tampak adanya upaya penanggulangan itu. Dampak ekologi ini ditanggulangi dengan teknologi yang adaptif, seperti meninggikan halaman candi, dan menutup permukaan halaman candi dengan beton stuko atau hamparan lantai bata. Bila dihitung dari masa peradaban manusia di Batujaya, Sungai Citarum sedikitnya telah menyokong kehidupan manusia selama 17 abad—hampir dua milenium. Namun, pertautan antara Sungai Citarum dengan alam sebenarnya bisa ditarik mundur lebih jauh. Secara geologis, sungai ini telah berperan dalam membentuk bentang alam tatar Sunda. Sekitar 105.000 tahun yang lalu, dalam wawasan para pakar geologi, letusan dahsyat Gunung Sunda purba telah membendung Sungai Citarum purba. Letusan gunung purba ini membendung aliran Citarum dan terciptalah Danau Bandung purba. Material letusan kemudian mengisi lembah–lembah yang membuat danau itu terpisah: Danau Bandung Purba Barat dan Timur. Adanya patahan dan kawasan yang ambles semenjak 16.000 tahun lalu telah menyusutkan air dua danau purba tadi. Penyusutan diperkirakan terjadi di kawasan yang kini dikenal sebagai Curug Jompong (Anonim, 2013). I. Memahami Citarum 19


“Sungai Citarum mendukung beragam kebutuhan manusia, mulai dari irigasi pertanian, industri, hingga yang paling pokok: sumber air minum.� Beban Antropogenik Melewati masa demi masa, aliran Sungai Citarum masih berperan penting bagi kehidupan manusia. Potensi air Citarum yang mencapai 13 miliar meter kubik per tahun baru dimanfaatkan sebagiannya. Pemanfaatan Sungai Citarum mulai masif semenjak 1957. Saat itu, di Sungai Citarum dibangun Bendungan Jatiluhur. Lalu disusul dua bendungan lagi: Saguling pada 1985 dan Cirata pada 1988 (Anonim, 2013). Sungai Citarum mendukung beragam kebutuhan manusia, mulai dari irigasi pertanian, industri, hingga yang paling pokok: sumber air minum. Manfaat itu menjalar ke segala penjuru: Kota Bandung, Cianjur, Cimahi, Purwakarta, Bekasi, dan Karawang. Dan, inilah manfaat yang tak bisa dilupakan: menyokong air baku untuk 80 persen warga Ibukota Jakarta. Cakupan Daerah Aliran Sungai Citarum membentang seluas 13.000 kilometer persegi—tujuh kali luas Kota Bandung (Anonim, 2013). Sayangnya, siapa pun tahu, di balik keagungannya, Sungai Citarum kini sedang terpuruk. Pusat-pusat industri, pemukiman, pertanian, dan perkotaan mengepung Citarum beserta anak-anak sungainya. Peradaban modern menurunkan derajat keagungan sungai ini sebagai tempat pembuangan raksasa: sampah, limbah, dan segala macam sisa peradaban. Alih-alih memuja, melestarikan dan merawat sungai terpanjang di Jawa Barat ini, kehidupan manusia membuat Citarum membusuk. Seiring pertumbuhan pusat industri, populasi manusia yang menghuni Daerah Aliran Sungai Citarum terus beranak pinak. Sedikitnya 1.500 pabrik berdiri berjejalan di kawasan hulu, yang seenaknya membuang limbah ke anak-anak sungai ataupun Sungai Citarum. Tragisnya, industri di DAS Citarum menyokong 20 persen produksi industri nasional dan 60 persen produksi tekstil Jawa Barat (Anonim, 2013). Kawasan hutan di DAS Citarum seluruhnya 159 ribu hektare, tetapi hutan yang masih baik tersisa 111 ribu hektare. Berkaca pada kondisi sebelumnya, Boer (2015) menyebutkan bahwa pada rentang wak20 Momentum Citarum


Air yang berlimpah namun tak bisa dikonsumsi. Itulah paradoks yang membayangi kehidupan warga di Muara Gembong, Bekasi-Foto: Agus Prijono.


Surut saat kemarau, banjir kala musim penghujan. Beban peradaban telah menjauhkan Sungai Citarum dari keseimbangan alami-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


tu 2000-2025 hutan di DAS Citarum yang hilang seluas 2.500 hektare per tahun. Artinya, pada 2060 nanti tak ada lagi hutan dalam kondisi baik di DAS Citarum. Sampai 2015, keadaan alam dan lingkungan wilayah hulu Citarum yang seluas sekitar 230 ribu hektare semakin menurun. Saat ini, luas lahan kritis mencapai 136 ribu hektare. Tim Peneliti dari Universitas Padjajaran mendeteksi hilangnya tutupan hutan di wilayah hulu Citarum selama kurun 1983-2022. Tutupan hutan di hulu Citarum pada 1983 seluas 82.523 hektare, dan pada tahun 2002 hanya seluas 42.902 hektare. Dengan demikian rata-rata hutan yang hilang di hulu Citarum seluas 2.783 hektare setiap tahun. Jika benar prediksi itu, maka pada 2013 lalu hutan di hulu Citarum seharusnya sudah hilang. Beruntung, Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang diperkuat pada tahun 2007, dan penguatan pengelolaan hutan, terutama di hutan-hutan konservasi mampu membendung laju musnahnya hutan di hulu Citarum. Di dataran agak tinggi, produksi pertanian holtikultura telah mengorbankan daya dukung daerah tangkapan air Citarum. Tanahtanah telanjang menghampar di sempadan sungai, menjalari lembah,

Pemulihan akan terus menelan biaya besar bila tidak ada kesadaran bersama terhadap nilai penting DAS Citarum-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

I. Memahami Citarum 23


“Di dataran agak tinggi, produksi pertanian holtikultura telah mengorbankan daya dukung daerah tangkapan air Citarum. Tanah-tanah telanjang menghampar di sempadan sungai, menjalari lembah, punggung dan puncak bukit.� punggung dan puncak bukit. Perubahan tata guna lahan yang tidak terencana itu menyisakan secuil kawasan hutan yang terserak di wilayah hulu. Lahan-lahan yang terbuka, tanpa naungan vegetasi pelindung yang memadai, sudah pasti meloloskan aliran air langsung menuju sungaisungai dan memboyong jutaan sedimen. Tanah tak lagi sempat menyerap air untuk persedian musim kering. Akibatnya, daya serap tanah lumpuh, kualitas air tercemari limbah. Hasil penelitian mengungkap laju total erosi di Daerah Aliran Sungai Citarum mencapai 21,7 juta ton setiap tahun, dengan nilai sedimentasi sangat tinggi: 8,5 juta ton per tahun (Rini, 2015). Dampaknya berantai, jutaan ton sedimen itu membuat daya tampung Citarum turun drastis. Saat curah hujan tinggi, Citarum menanggung beban debit air. Terjadilah banjir di wilayah daerah yang lebih datar. Ringkas kisah, Daerah Aliran Sungai Citarum telah memikul beban antropogenik. Beban yang tiada terperi itu membuat daya dukung Citarum makin berantakan. Dalam dua dekade belakangan, Citarum ditetapkan sebagai salah satu daerah aliran sungai prioritas di Indonesia. Staf Balai Pengelolaan DAS Citarum dan Ciliwung Junaediyono mengungkapkan, Citarum merupakan DAS yang diprioritaskan untuk dipulihkan. Artinya, memang berpredikat buruk. Junaediyono menambahkan pada 2013 dilakukan pemantauan terakhir kondisi Citarum. Salah satu aspek yang membuat Citarum terjebak dalam kondisi buruk adalah tata airnya, yaitu imbangan antara aliran air di musim kemarau dengan musim penghujan. Aliran Citarum ternyata menyusut jauh saat kemarau, dan meluap saat musim hujan. Kering saat kemarau, dan banjir di musim hujan. Keseimbangan alam telah menjauh dari badan air Citarum.

24 Momentum Citarum


Produktivitas pertanian di dataran tinggi DAS Citarum mengabaikan konservasi tanah dan air. Ini tantangan lain yang memerlukan sinergi para pihak terkait-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Upaya bagi Citarum Rumitnya masalah di Daerah Aliran Sungai Citarum menuntut penanganan yang melibatkan banyak pihak. Ini berarti, tak ada satu pihak ataupun satu institusi tunggal yang bisa membenahi tantangan di Citarum tanpa menggandeng pihak-pihak lain. Salah satu tumpuan bagi pemulihan Citarum adalah pengelolaan sumber daya air terpadu atau Integrated Water Resources Management (IWRM). Konsep terpadu ini merupakan proses yang mengutamakan koordinasi, kerja sama serta pengelolaan air, tanah, dan sumber daya terkait. Konsep itu diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang menjadi panduan untuk membenahi beragam tantangan di Daerah Aliran Sungai Citarum (Anonim, 2013). Sejak 2006, pemerintah telah mengembangkan Citarum Roadmap: sebuah rancangan strategis berisi program–program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air dan memulihkan kondisi Citarum. Dalam Citarum Roadmap itu terdapat Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP). Ini sebuah program skala besar dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dengan bantuan pinjaman, hibah, dan teknis dari Asian Development Bank. Pelaksanaan program melalui koordinasi dan konsultasi para pemangku kepentingan, serta mengutamakan partisipasi masyarakat dalam menentukan prioritas, rancangan, hingga pelaksanaan. Visinya: Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif, serta membawa manfaat berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di Citarum. Ada lima lembaga yang terlibat dalam tahap pertama program ICWRMIP: BAPPENAS, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari banyaknya kementerian yang terlibat, menunjukkan program investasi perbaikan Sungai Citarum itu mengedepankan keterpaduan lintas-sektor yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air. Di dalam ICWRMIP tahap pertama terdapat program Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati (Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation [CWMBC]) dengan dukungan dana hibah Global Environment Facility yang dikelola Asian Development Bank. Mandat pelaksanaan program CWMBC berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Dengan demikian, Project Manager CWMBC Cher26 Momentum Citarum


“Hakikat pengelolaan daerah aliran sungai adalah menautkan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dengan fungsi hidrologi. Program CWMBC menunjukkan hubungan antara perlindungan keanekaragaman hayati dengan pengelolaan DAS Citarum.� ryta Yunia memaparkan, program CWMBC merupakan bagian dari ICWRMIP yang lebih besar, yang merupakan lanjutan dari program Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum. Turut sertanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena kegiatan sebelumnya tidak memasukkan konservasi keanekaragaman hayati. Untuk itu, lalu dimasukkan konservasi keanekaragaman hayati yang berada di kawasan yang dikelola KLHK, yang berada dalam kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kawasan konservasi yang terkoneksi dengan DAS Citarum memang dikelola oleh Balai Besar KSDA Jawa Barat dan Balai Besar TNGGP yang menjadi daerah tangkapan air Citarum. Seluruh kegiatan CWMBC untuk mendukung manfaat konservasi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di hulu Citarum bagi kepentingan global. Selain melindungi sisa-sisa ekosistem hutan hujan pegunungan Jawa, kawasan konservasi juga menjadi bagian integral dari sistem pengelolaan terpadu Daerah Aliran sungai Citarum. Hakikat pengelolaan daerah aliran sungai adalah menautkan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dengan fungsi hidrologi. Dua fungsi yang terkesan berbeda arah itu sebenarnya saling melengkapi. Konservasi keanekaragaman hayati juga berarti melindungi fungsi hidrologi kawasan konservasi. Begitu juga sebaliknya, perlindungan fungsi hidrologi akan membawa manfaat dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Barangkali relasi kedua fungsi ini nampak samar, lantaran tidak mudah mengamati dan merasakan langsung keterkaitan dua fungsi itu. Program CWMBC menunjukkan hubungan antara perlindungan keanekaragaman hayati dengan pengelolaan DAS Citarum yang terlihat dari tujuan program. Ada empat tujuan program CWMBC. Pertama, I. Memahami Citarum 27


Keceriaan anak-anak Muara Gembong membersitkan tanggung jawab bagi para pihak dalam mengelola DAS Citarum. Citarum hari ini adalah masa depan mereka-Foto: Agus Prijono.

memantapkan pengelolaan kawasan konservasi melalui penguatan kelembagaan berbasis tapak; kedua, merestorasi habitat flora-fauna di kawasan konservasi; ketiga, mengembangkan pemanfaatan potensi jasa lingkungan tanpa merusak keseimbangan DAS Citarum; dan keempat, mengembangkan pemberdayaan masyarakat dan kerjasama para pihak dalam pelestarian kawasan konservasi. Upaya mencapai tujuan tersebut terlihat dari aktivitas empat komponen CWMBC yang dilaksanakan semenjak 2013. Empat komponen itu berlangsung di delapan kawasan konservasi kelolaan Balai Besar KSDA Jawa Barat dan sebagian kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Komponen 1 mengkaji kekayaan hayati, memetakan habitat, dan mengembangkan sistem informasi geografis. Hasil akhir Komponen 1 untuk mendukung perencanaan pengelolaan kawasan konservasi. Kemudian Komponen 2 untuk mengembangkan pilot program restorasi hutan di kawasan konservasi. Dari program komponen 2 akan diketahui kebutuhan pemulihan ekosistem sesuai tingkat gangguan kawasan konservasi. Sementara itu, Komponen 3 akan mengkaji berbagai jasa lingkungan yang terpendam di kawasan konservasi: air, udara, wisata, karbon hingga nilai penting dataran tinggi sebagai lokasi sarana komunikasi. Namun, dari seluruh potensi itu, Komponen 3 akan fokus

28 Momentum Citarum


pada jasa lingkungan air, dilengkapi dengan kajian karbon dan jasa ketinggian, Komponen ini akan mengembangkan pendanaan berkelanjutan bagi konservasi keanekaragaman hayati melalui imbal jasa lingkungan. Terakhir, Komponen 4 yang berupaya mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi. Komponen ini mengajak masyarakat dan pemerintah daerah dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati. Di sekitar kawasan, Komponen 4 mengembangkan kelompok Model Desa Konservasi sebagai ujung tombak gerakan pelestarian keanekaragaman hayati. Lebih jauh, komponen ini mendorong koordinasi, integrasi, koordinasi dan kolaborasi para pihak di tingkat tapak, yaitu DESA. Cherryta menegaskan empat komponen itu terintegrasi dan saling mendukung. Misalnya saja, Komponen 1 akan mendukung Komponen 2 dalam menentukan spesies tumbuhan asli untuk pemulihan ekosistem. Atau Komponen 4 yang akan menyokong Komponen 2 dan komponen 3 dalam mengaitkan kelompok Model Desa Konservasi sebagai penyedia jasa lingkungan dengan lembaga pemanfaatnya. Dengan kata lain, program CWMBC akan memperbaiki empat keadaan dalam pengelolaan kawasan konservasi di hulu Citarum. Yang pertama, memperbaiki pengelolaan keanekaragaman hayati kawasan konservasi dan sekitarnya; kedua memulihkan habitat keanekargaman hayati yang terlanjur rusak dengan melibatkan masyarakat; lalu meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab pengguna jasa lingkungan untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan penyedia jasa lingkungan; dan keempat meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pelestarian habitat keanekaragaman hayati di tingkat tapak.***

I. Memahami Citarum 29


II. Harapan dari Hulu Citarum Dataran rendah yang menjadi pusat keanekaragaman hayati Pulau Jawa telah diduduki oleh populasi manusia. Dampaknya, demi kemajuan peradaban, manusia mengorbankan kekayaan hidupan liar, yang kini mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Harapan kelestarian alam ada di hutan hujan pegunungan di kawasan konservasi di hulu Citarum.

D

i tengah muramnya Citarum, adakah sisa-sisa yang memercikkan harapan yang mencerminkan kemurnian sungai ini? Di tepian Situ Cisanti, di Kecamatan Kertasari, Bandung, situs Pangsiraman memendam jejak keaslian Citarum. Di tempat ini, yang dinaungi rindangnya pepohonan, arus air menyembur lembut dari dasar mata air. Airnya sebening kristal. Begitu jernihnya, hingga air Pangsiraman bisa diminum langsung. Sepokok pohon Kihujan yang roboh sejak 1974 membelah sumber Pangsiraman menjadi dua bagian, kiri dan kanan. Juru kunci Mang Atep menuturkan, kolam bagian kanan untuk perempuan dan yang kiri untuk laki-laki. Mata air ini juga disebut cikahuripan mastaka Citarum. Mang Atep menjelaskan cikahuripan berarti air kehidupan, dan mastaka berarti hulu. Kurang lebih berarti: air kehidupan dari hulu Citarum. Makna mastaka sejajar dengan kata mustaka dalam bahasa Jawa. Mustaka berarti kepala, yang dalam masyarakat Jawa, kata ini berada

30 Momentum Citarum


pada tataran tertinggi berbahasa. Pada masa sekarang, selain menandai asal-usul Citarum, Pangsiraman menjadi saksi doa-doa pengharapan yang dipanjatkan para peziarahnya. Suasana spiritual dan mistis terasa kental di Pangsiraman. Mata air ini hanya salah satu dari tujuh sumber yang dipandang sebagai awal mula Sungai Citarum. Air dari tujuh sumber air lantas ditampung di Situ Cisanti. Berada di kaki Gunung Wayang, Situ Cisanti— danau buatan seluas 10 hektare—menjadi simbol hulu Citarum. Situ Cisanti adalah titik nol Sungai Citarum yang mengalir sejauh 297 kilometer, melewati 13 kabupaten, dan berakhir di Laut Jawa di pesisir Muara Gembong. Sayangnya, air Pangsiraman yang bening tak ada lagi jejaknya setelah bercampur dengan air keruh Situ Cisanti. Padahal, tutur Mang Atep, para leluhur berdoa agar air Citarum bisa diminum langsung di sepanjang alirannya—seperti di mata air ini. Doa leluhur itu bagaikan membaca tengara zaman: seiring waktu Sungai Citarum tak lagi membawa berkah. Dari sudut pandang pengelolaan daerah aliran sungai, sebenarnya hulu Citarum dibentuk oleh puluhan anak sungai yang berasal dari kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Aliran anak-anak sungai ini membentuk sub-DAS yang lantas bergabung di DAS Citarum. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan daerah aliran sungai, mastaka Citarum meliputi wilayah dataran tinggi yang tercakup di dalam hutan konservasi. Dan di kawasan konservasi itulah digelar program Pengelolaan DAS Citarum dan Konservasi Keanekaragaman Hayati atau Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC). Program CWMBC mengemban empat tujuan. Pertama, untuk memperbaiki pengelolaan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi dan sekitarnya; kedua, memulihkan habitat keanekaragaman hayati yang terlanjur rusak dengan melibatkan masyarakat; ketiga, meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab pengguna jasa lingkungan untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan konservasi; dan keempat, meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Upaya pencapaian tujuan itu tecermin dari empat komponen kegiatan program CWMBC di tujuh kawasan konservasi Balai Besar KSDA dan taman nasional di wilayah hulu Citarum. Komponen 1 mengkaji kekayaan hayati, memetakan habitat, dan mengembangkan sistem inII. Harapan dari Hulu Citarum 31


Lahan-lahan pertanian menjalari lereng Gunung Wayang yang menaungi Situ Cisanti. Beban antropogenik sudah ada di hulu Sungai Citarum ini-Foto: Bambang Agus Kusyanto.



PETA INTERVENSI CWMBC DALAM

PENGELOLAAN KAWA

Pengelolaan K awasan

Pengelolaan S umberdaya Alam H ayati dan Ekosistem

Pemantapan K awasan

Perlindungan

Penataan K awasan : Zonasi/Blok Penataan W ilayah K erja

Pengawetan Pemanfaatan

Pengamanan K awasan

INTERV

CITARUM WATERSHED MANAGEMENT

34 Momentum Citarum


M PENGELOLAAN KK DI HULU CITARUM

ASAN KONSER VASI

Pengelolaan D aerah Penyangga

Pemberdayaan Masyarak at ( Desa Konserva si, Pemungutan HHBK, Pemanfaatan Tr adisional, W isata Alam) Peran Serta Masyarak at Dalam Pengelolaan K K

Pengelolaan Kelembagaan

Organisasi P engelolaan (s truktur, S OP, dll) Sa rana dan Prasaran a Sumberdaya Manusia Kerjas ama dan Kolaborasi Anggaran

VENSI

T AND BIODIVERSITY CONSERVATION

II. Harapan dari Hulu Citarum 35


formasi geografis. Kemudian Komponen 2 mengembangkan pilot program restorasi hutan di kawasan konservasi. Sementara itu, Komponen 3 akan mengkaji berbagai jasa lingkungan yang terpendam di kawasan konservasi: air, udara, wisata, karbon hingga nilai penting dataran tinggi sebagai lokasi sarana komunikasi. Dari seluruh potensi itu, Komponen 2 bakal fokus pada jasa lingkungan air. Dan terakhir, Komponen 4 sebagai upaya mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi.

Komponen 1: Kajian Keanekaragaman Hayati Salah satu satwa kharismatik yang hidup di kawasan konservasi adalah macan tutul (Panthera pardus melas). Predator kelas atas di hutanhutan Jawa Barat ini punya dua varian warna tubuh: terang dan gelap. Yang bertubuh terang disebut macan tutul, yang gelap dijuluki macan kumbang. Kendati berbeda warna, keduanya satu spesies yang sama. Macan kumbang memang mengidap melanisme, yaitu tubuhnya diselimuti pigmen hitam. Meski hitam, bercak tutul macan kumbang masih terlihat samar-samar. Macan tutul sebenarnya memiliki daya adaptasi yang tinggi. Artinya, ia mampu bertahan hidup di alam yang terus berubah. Hutan pegunungan di Jawa Barat, yang juga berstatus sebagai kawasan konservasi, adalah benteng terakhir bagi habitat macan tutul. Atau, lebih tepatnya tempat perlindungan terakhir bagi mangsa-mangsa macan tutul. Pemangsa ini hanya salah satu dari seluruh kekayaan hayati di kawasan konservasi baik yang dikelola oleh BBKSDA maupun TNGGP. Untuk meneliti keanekaragaman hayati, dalam program CWMBC terdapat tim Komponen 1 untuk meneliti kekayaan hayati di kawasan konservasi. Survei yang dilakukan di kawasan konservasi yang ada di hulu DAS Citarum ini memberikan informasi tentang kekayaan tumbuhan, burung, amfibi, serangga dan biota aquatik. Tujuan penelitian untuk mendata kekayaan keanekaragaman hayati, memetakan habitat, dan mengembangkan sistem informasi geografis serta sistem informasi manajemen. Hasil akhir dari tujuan tersebut untuk memperbaiki perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi. Di hulu DAS Citarum, seluruh kawasan konservasi BBKSDA yang disurvei luasnya hanya 32.780 hektare dan areal di TNGGP hanya 5.485 hektare, sementara DAS Citarum seluas 13 ribu kilometer persegi. Tak terlalu luas memang, namun kawasan konservasi itu menjadi tumpuan terakhir bagi konservasi keanekaragaman hayati di Jawa Barat. 36 Momentum Citarum


Cakaran macan tutul membekas di pepohonan, yang menandai keberadaan pemangsa kelas atas itu-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Kawasan konservasi di hulu DAS Citarum adalah surga bagi herpetofauna-Foto: Dokumentasi Tim CF.


Hasil survei Komponen 1 memberikan pengetahuan bahwa banyak catatan baru spesies flora-fauna di kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA. Contohnya di Cagar Alam Gunung Tilu. Dari catatan lama, burung di Gunung Tilu hanya tercatat 13 spesies, kini bertambah menjadi 125 spesies. Vegetasi yang semula 19 spesies, menjadi 125 spesies. Herpetofauna yang hanya 5 spesies, menjadi 34 spesies. Untuk serangga, yang sebelumnya tanpa catatan sama sekali, kini ditemukan 43 spesies. Pun biota aquatik yang dulu belum tercatat, ternyata ditemukan 12 spesies. Tim peneliti juga mendapati satu spesies endemik di wilayah lain, namun ditemukan di hulu Citarum. Salah satunya ketam ungu. Dengan demikian, kawasan konservasi memiliki peran ganda, yaitu untuk melestarikan kekayaan hayati dan melindungi daerah tangkapan air DAS Citarum. Sebagai relik hutan pegunungan di Pulau Jawa yang padat, kawasan konservasi menjadi tumpuan terakhir bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Kajian Komponen 1 menyediakan daftar spesies flora-fauna untuk delapan kawasan konservasi, lengkap dengan status, sebaran, dan ancamannya. Daftar ini menjadi modal bagi pemantauan dinamika populasi, sebaran, dan ancaman bagi spesies penting dari waktu ke waktu. Dalam jangka panjang, pemantauan memerlukan dukungan riset lapangan untuk memperbaharui data populasi, distribusi, sifatsifat biologi dan ekologi, serta perilaku.

Selama program CWMBC dilakukan pelatihan bagi personel BBKSDA dan BBTNGGP sebagai upaya peningkatan kapasitas-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

II. Harapan dari Hulu Citarum 39


Kekayaan fauna air menandai kawasan konservasi juga menopang pengelolaan DAS Citarum-Foto: Dokumentasi Tim CF.

Untuk memudahkan fokus pengelolaan, tahap selanjutnya adalah menentukan spesies prioritas yang akan menuntun arah dan tindakan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies prioritas merupakan spesies yang dinilai penting untuk dilakukan tindakan konservasi dibandingkan dengan spesies lain. Pemilihan spesies prioritas akan membantu keefektifan pengelolaan, karena tidak semua spesies memerlukan upaya konservasi intensif. Di samping itu, disadari pula terbatasnya sumberdaya manusia, dan dana untuk melestarikan seluruh kekayaan hayati. Pendek kata, upaya konservasi bagi spesies prioritas sekaligus juga akan melindungi banyak spesies lain. Penetapan spesies prioritas dilakukan dengan meninjau daftar spesies di kawasan konservasi yang diteliti. Berdasarkan spesies yang terpilih, kemudian para tenaga ahli mendiskusikan dan menentukan kriteria yang mendasari pemilihan spesies prioritas. Dalam pemilihan spesies prioritas, salah satu aspek penting yang menjadi pertimbangan adalah kondisi ekosistem yang diwakili spesies tertentu yang memiliki sifat khusus. Keterwakilan ini dapat mencerminkan keadaan populasi, sebaran dan ancaman. Berikut ini beberapa spesies prioritas yang penting untuk dikelola dan dipantau di delapan kawasan konservasi proyek CWMBC. Di kelompok mamalia, terdapat spesies prioritas macan tutul, owa

40 Momentum Citarum


“Pemilihan spesies prioritas akan membantu keefektifan pengelolaan, karena tidak semua spesies memerlukan upaya konservasi intensif.�

jawa, surili (Prebystis comata), sero ambrang (Aeonyx cinerea), dan jelarang (Ratufa bicolor). Kemudian spesies prioritas burung, yakni elang jawa (Nisaetus bartelsi), julang emas (Rhyticeros undulatus) dan ayam hutan merah (Gallus gallus). Spesies prioritas kelompok serangga adalah kupu-kupu Troides helena, tonggeret (Cicadidae), dan capung (Libellulidae). Sementara spesies prioritas kelompok herpetofauna: sanca bodo (Python molurus bivittatus) dan labi-labi hutan (Dogania subplana). Lantas, kelompok biota aquatik: ikan kekel (Glyptothorax platypogon), ikan jeler (Cobitis choirorhynchos), ikan paray (Rasbora lateristriata) dan udang batu (Macrobrachium empulipke). Untuk spesies prioritas tumbuhan adalah rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan kiputri (Podocarpus neriifolius). Selain spesies tersebut, ada juga spesies prioritas yang umumnya sulit dipantau di lapangan, namun perlu perhatian khusus. Karena itu, di masa datang selama survei dan pemantauan sebaiknya diupayakan untuk mendapatkan data primer ataupun data sekundernya. Contoh spesies prioritas yang butuh perhatian khusus adalah anggrek-anggrek endemik Jawa yang kurang data, bunga edelweiss (Anaphalis Javanica) yang sebarannya terbatas, bunga bangkai (Amorphophallus spp.) dan kantung semar (Nephentes spp.). Sementara untuk kelompok herpetofauna terdapat kodok-pohon mutiara, kura-kura batok (Cuora amboinensis), kurakura bergerigi (Cyclemys dentata), kura-kura oldham (C. oldhamii). Kajian yang dilakukan Komponen 1 menyediakan pengetahuan baru dan basis data tentang potensi keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Basis data ini sebagai salah satu fondasi dalam pengelolaan kawasan jangka panjang dalam bentuk penelitian, pemetaan, dan pemantauan spesies prioritas dan spesies penting. Potensi kekayaan hayati ini sekaligus untuk menyusun dan merancang strategi pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak—semisal Perhutani, yang bersinggungan langsung dengan kawasan. II. Harapan dari Hulu Citarum 41


Potensi kekayaan hayati juga menjadi salah satu aspek penting dalam penataan blok atau zona kawasan. Kegiatan pengelolaan kawasan konservasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (KSA-KPA) adalah perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi. Secara berurutan, pada aspek perencanaan terdapat tiga kegiatan yang dilakukan secara berurutan. Kegiatan pertama adalah inventarisasi potensi kawasan; kedua, penataan kawasan yang terdiri dua aktivitas, yaitu penataan blok atau zona dan penataan areal (wilayah) kerja; dan ketiga menyusun rencana pengelolaan. Penataan blok/zona adalah kegiatan membagi ruang di dalam kawasan konservasi dengan memperhatikan tujuan penetapan atau pengelolaan kawasan konservasi, potensi dan permasalahan yang ada. Zona atau blok inilah yang menjadi pedoman langkah-langkah pengelolaan kawasan konservasi di tingkat tapak. Penjelasan kriteria setiap blok, terutama ‘blok lain’-nya diatur dengan peraturan menteri, yang hingga saat ini belum diterbitkan. Oleh karena itu, blok pengelolaan pada KSA dan KPA terdiri dari blok perlindungan, blok pemanfaatan dan ‘blok lain’ (pasal 19). Hasil akhir penataan blok untuk menjamin terwujudnya tujuan penetapan/pengelolaan kawasan konservasi dan menentukan tindakan pengelolaan sesuai potensi keanekaragaman hayati, habitat, sebaran dan populasi spesies penting. Selain itu, penataan blok juga harus memperhatikan tingkat interaksi kawasan konservasi dengan masyarakat, kerusakan ekosistem dan potensi jasa lingkungan. Dengan demikian, penetapan blok dilakukan secara adaptif, sesuai potensi dan kebutuhan pengelolaan. Artinya, pembagian blok tidak harus selalu sama dan lengkap di setiap kawasan konservasi, namun harus tetap menjamin terwujudnya tujuan penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi. Seiring dengan dinamika populasi dan sebaran spesies prioritas, penentuan blok tentu saja tidak bersifat permanen. Penataan blok cenderung dinamis seiring berkembangnya pengelolaan kawasan, potensi, dan interaksinya dengan masyarakat. Artinya, penataan blok selayaknya ditinjau ulang setiap tiga sampai lima tahun. Misalnya saja penunjukan suatu bagian kawasan yang rusak menjadi zona lainnya dalam bentuk zona restorasi, maka setelah bagian kawasan itu pulih dapat dirubah menjadi zona inti atau rimba atau blok lindung. Tujuh kawasan konservasi BBKSDA Jawa Barat memiliki fungsi yang berbeda-beda, seperti cagar alam, taman wisata alam, dan taman 42 Momentum Citarum


“Penataan blok untuk menjamin terwujudnya tujuan penetapan/ pengelolaan kawasan konservasi dan menentukan tindakan pengelolaan sesuai potensi keanekaragaman hayati, habitat, sebaran dan populasi spesies penting.�

buru. Penataan blok sudah pasti sesuai fungsi setiap kawasan. Kawasan cagar alam—seperti Gunung Tilu, Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, dan Kawah Kamojang—ditetapkan murni untuk pelestarian alam: pemantauan gejala alam, perlindungan ekosistem dan isinya. Fungsinya lebih untuk pengawetan keanekaragaman hayati, perlindungan penyangga kehidupan, serta penelitian dan pendidikan. Secara ringkas, cagar alam punya derajat perlindungan dan pengawetan yang paling ketat. Untuk taman wisata alam, meskipun penetapannya umumnya sebagai destinasi ekowisata, namun juga memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan flora-fauna dan keunikan alam. Tujuan pengelolaan taman wisata alam untuk menjamin kelestarian kawasan, penelitian, pendidikan, dan pendayagunaan plasma nutfah. Jadi, tingkat pemanfaatan di taman wisata alam lebih longgar ketimbang cagar alam. Pada prinsipnya, aspek pemanfaatan taman wisata alam tidak mengurangi luas dan mengubah fungsi kawasan. Sedangkan taman buru lebih untuk perburuan satwa (game) secara teratur tanpa mengabaikan perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Tujuan pengelolaannya: mengelola habitat dan potensi satwa buru. Sementara itu, untuk TNGGP penataan kawasannya sesuai dengan sistem zonasi, yang terdiri atas zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain. Zona yang terakhir ini bisa berupa zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, ataupun zona khusus. Alhasil, di kawasan taman nasional terdapat zona inti seluas 6.680 hektare; zona rimba, 7.175 hektare; zona pemanfaatan, 1.330 hektare; zona rehabilitasi, 4.367 hektare; zona tradisional, 312 hektare; zona konservasi owa jawa, 50 hektare; dan zona khusus seluas 3,2 hektare. II. Harapan dari Hulu Citarum 43


Seluruh rancangan blok dan zonasi tersebut memakai teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, dan memperhatikan potensi kawasan dan penutupan hutan tahun 2013. Komponen 1 telah menyusun pedoman untuk penyusunan blok/zona menggunakan metoda sensitivitas ekosistem. Sejauh pantauan hingga awal 2016, ada tiga kawasan konservasi di BBKSDA yang telah menyusun blok pengelolaan dengan menggunakan metoda yang diwariskan CWMBC. Seluruh upaya dari inventarisasi spesies hingga penataan blok tersebut untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Namun praktek pengelolaan memerlukan satu lagi tahap penataan kawasan, yaitu penataan wilayah kerja. Bagian ini memang belum tergarap di CWMBC, namun akan dikupas pada bab selanjutnya sebagai bahan pengembangan oleh BBKSDA Jabar. Untuk keperluan pengelolaan kawasan jangka panjang masih ada tahap selanjutnya, yaitu riset dan pemantauan atau sistem pemantauan keanekaragaman hayati. Untuk keperluan ini, Komponen 1 mengembangkan model petak cuplik permanen (permanent sampling plot/PSP). Kalangan peneliti kerap menyebutnya PSP, yang berarti cuplikan areal atau petak contoh di kawasan hutan dengan luas tertentu dan permanen serta dapat mewakili kawasan secara keseluruhan. Luasan petak permanen ini tergantung pada taksa yang diamati dan diteliti. Tim Komponen 1 memberikan beberapa pilihan. Untuk pengamatan flora, petak PSP berukuran dari 0,1 hingga 4 hektare. Petak permanen untuk pemantauan mamalia, berukuran: lebar 50 meter dan panjang 1.500-2.500 meter. Sementara untuk burung, plot PSP memiliki bentuk radial, dengan radius 50 meter dan panjang sejauh 1.000-2.000 meter. Pada taksa herpetofauna lebar jarak pengamatan 50 meter, dan panjang jarak pengamatan 800 meter hingga 1.500 meter. Secara umum, tujuan utama pengamatan di plot permanen ini. Pertama, memonitor dinamika hutan, seperti suksesi, regenerasi, pertumbuhan pohon dan kematian; kedua, untuk menyediakan basis data habitat, adanya proses alami, ataupun aspek pemanfaatan oleh manusia; ketiga untuk menyediakan area yang representatif bagi penelitian. Pembuatan model petak permanen dilakukan di Cagar Alam Gunung Tilu dan sejumlah titik di TNGGP. Di masa datang, personel BBKSDA dan TNGGP akan mengadopsi model PSP ini untuk pemantauan di kawasannya. Di kawasan taman nasional pemantauan harus memperhatikan sistem zonasi seperti zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi, yang selanjutnya dihubungkan dengan keterwakilan tipe ekosistem, seperti ekosistem hutan dataran rendah, perbukitan, hutan 44 Momentum Citarum


subpegunungan ataupun hutan pegunungan. Pada masing-masing zona dan tipe ekosistem tersebut dilakukan pembuatan petak contoh permanen dengan memperhatikan keterwakilan areal, biofisik lanskap, kekompakan kawasan, habitat dan fauna-flora indikator, aksesibilitas dan tingkat kerawanan. Petak permanen sekaligus bisa menjadi alat untuk mengukur kinerja pengelolaan. Adanya plot PSP berarti menuntut keharusan adanya pemantauan rutin. Data mentah dari lapangan ini sebagai masukan bagi pengelolaan dalam merespon dinamika kawasan. Kemudian, data mentah ini dianalisis, lalu dihimpun sesuai standar yang telah ditetapkan. Data yang telah dianalisis akan memiliki nilai informasi, yang selanjutnya dikemas secara sistematis menjadi paket-paket pengetahuan sebagai pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan. Dalam kaidah pengetahuan, siklus ini sering disebut manajemen pengetahuan atau knowledge management; sementara dalam kaidah kebijakan disebut pengambilan keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan (scientific based decision making process). Alur berputar inilah inti dari pengelolaan keanekaragaman hayati. Untuk mendukung dan memperkuat alur pengelolaan itu, tim Komponen 1 telah membentuk perangkat pendukung berupa Sistem

Kajian vegetasi dilakukan bersama personel BBKSDA dan BBTNGGP untuk transfer ilmu pengetahuan. Seiring meningkatnya kapasitas pengelola, diharapkan juga mendukung kinerja pengelolaan kawasan konservasi-Foto: Dokumentasi Tim CF.

II. Harapan dari Hulu Citarum 45


Informasi Manajemen (SIM). Sistem informasi ini akan membantu bagaimana data dikumpulkan, diolah dan dianalisis menjadi informasi, yang kemudian dikemas menjadi paket-paket pengetahuan yang dapat digunakan untuk membuat keputusan atau disebarluaskan ke publik. Sistem informasi manajemen juga membantu memacu kinerja, karena letak kelemahan-kelemahan dalam struktur organisasi pengelolaan akan mudah terdeteksi. Secara ringkas, semakin banyak aktivitas data dalam SIM menunjukkan kegiatan pengelolaan berjalan intensif. Sebaliknya, jika aktivitas data minim, bisa dikatakan aktivitas pengelolaan kawasan juga rendah.

Komponen 2: Restorasi Ekosistem Di perbatasan Cagar Alam Gunung Tilu dan Hutan Lindung Perhutani, Ujang Sukmana menembus semak samun yang rimbun. Ketua kelompok Model Desa Konservasi (MDK) Sugihmukti, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, itu menyiangi tumbuhan bawah di sekitar tanaman restorasi. Bersama polisi hutan Wawan Wajihadin, Ujang membebaskan tanaman muda hasil restorasi ekosistem dari kepungan semak liar di Blok Gluduk. Wawan menuturkan, lahan yang direstorasi seluas 30 hektare dengan berbagai tanaman asli Gunung Tilu. Satu lokasi yang lain, terdapat di Blok Kendeng, dengan luasan restorasi 17 hektare. Restorasi juga dilakukan di Blok Batu Belah, Desa Sukaluyu, Pangalengan. Restorasi ekosistem tersebut sebagai upaya memulihkan hutan Gunung Tilu yang pernah dibuka oleh perambah. Ujang sempat mengunduh tiga buah terong belanda yang tumbuh yang ditanam perambah. Kawasan ini memang pernah dirambah, tapi kini perambah sudah keluar dari kawasan. Tanaman asing tersebut dikhawatirkan akan mengancam tanaman asli. Jika kelak tumbuh berkembang, terong belanda bisa disangka sebagai tumbuhan asli Gunung Tilu. Untuk memulihkan kawasan konservasi, program CWMBC melakukan restorasi ekosistem. Amanat restorasi untuk membalik keadaan: dari lahan yang terganggu, kembali menjadi kawasan yang mendekati ekosistem alami. Istilah ekosistem asli terdengar agak problematik, lantaran tidak mudah menentukan kondisi awal dari areal yang telah tersentuh oleh aktivitas manusia. Karena itu, restorasi memerlukan pengetahuan yang memadai tentang profil ekosistem yang relatif asli. Inilah yang membedakan restorasi dengan program penanaman lain, seperti rehabilitasi dan reboisasi. Ken46 Momentum Citarum


Kajian vegetasi dilakukan bersama personel BBKSDA dan BBTNGGP untuk transfer ilmu pengetahuan. Seiring meningkatnya kapasitas pengelola, diharapkan juga mendukung kinerja pengelolaan kawasan konservasi-Foto: Dokumentasi Tim CF.


“Hasil akhir restorasi dapat berupa ekosistem yang kembali berfungsi seperti semula ataupun mencapai kondisi optimal dengan pulihnya beberapa aspek dalam ekosistem, seperti tumbuhnya tanaman sumber pakan satwa liar.� dati kegiatan utama restorasi adalah menanam, namun proses tahap demi tahap dalam restorasi berbeda dengan rehabilitasi. Restorasi memerlukan pengetahuan tentang spesies tumbuhan asli yang secara ekologis mampu menopang kehidupan satwa liar. Pada akhirnya, tumbuhan yang ditanam sebisa mungkin mendekati ekosistem asli dan bermanfaat bagi satwa liar. Dengan demikian, tujuan utama restorasi untuk memperbaiki habitat flora dan fauna. Intinya, memang tetap menanam, namun seiring waktu tanaman restorasi akan mengembalikan keberadaan satwa liar yang pernah hidup di daerah yang terganggu. Itulah tugas besar Komponen 2 dengan mengembangkan model restorasi habitat flora dan fauna di kawasan konservasi. Di sisi lain, secara sosial, upaya restorasi juga melibatkan masyarakat untuk mengungkit ekonomi lokal. Model pilot restorasi mencakup areal 75 hektare di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Cagar Alam Gunung Burangrang, Cagar Alam Gunung Tilu; dan 30 hektar di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Restosari memakai teknik percepatan regenerasi alam dan pengkayaan dengan tanaman endemik. Aktivitas pertama pemulihan ekosistem adalah pekerjaan di atas kertas: menentukan lokasi pilot proyek restorasi. Penentuan ini berdasarkan aspek legal formal, biofisik, dan sosial-ekonomi yang diterjemahkan dalam kriteria dan indikator. Kriteria meliputi beberapa hal, semisal kaitan lokasi dengan DAS Citarum. Ada juga kriteria tentang seberapa besar tekanan manusia terhadap kawasan konservasi, seperti perambahan, tingkat kerusakan vegetasi, aksesibilitas, keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, dan adanya program komponen lain di lokasi yang akan direstorasi. 48 Momentum Citarum


Dari kriteria-kriteria tersebut, kemudian dikembangkan sejumlah indikator yang lebih rinci. Rentang nilai indikator pada setiap kriteria antara 3 – 5, sehingga nilai terbesarnya adalah 50, dan terendah 26. Setelah semua kriteria dan indikator diterapkan, Komponen 2 akan melakukan penilaian untuk menetapkan prioritas lokasi restorasi. Pemilihan lokasi prioritas melewati tiga tahap. Pertama: analisis spasial dengan berbekal peta-peta topografi, tata guna lahan, kawasan konservasi, kerusakan lahan, tanah, iklim, perambahan hutan, wilayah administrasi, dan cakupan DAS Citarum. Kedua, beragam peta tersebut ditumpang-tindihkan, yang lalu ditambahkan informasi hasil analisis habitat dari Komponen 1 yang melakukan kajian keanekaragaman hayati. Ketiga, dengan mengacu kriteria dan indikator, tim Komponen 2 melakukan penilaian lokasi. Dari gabungan tiga tahap itu, alhasil lokasi yang pantas menjadi model restorasi terletak di Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan Cagar Alam Gunung Burangrang. Untuk wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pilot restorasi tersebar di Blok Parabon dan Blok Telaga Saat, di Resor Mandalawangi, serta Blok Romusha, di Resor Gunung Putri. Lalu bagaimana agar hasil restorasi mendekati ekosistem asli? Upaya restorasi mensyaratkan gambaran kondisi akhir ekosistem yang diinginkan. Hasil akhir restorasi dapat berupa ekosistem yang kembali berfungsi seperti semula ataupun mencapai kondisi optimal dengan pulihnya beberapa aspek dalam ekosistem, seperti tumbuhnya tanaman sumber pakan satwa liar. Untuk mendapatkan profil kondisi ekosistem yang akan dicapai, dapat diperoleh dari ekosistem acuan atau ekosistem referensi. Staf Pengendali Ekosistem Hutan BBKSDA Dwi Hendra Kristianto menyatakan dalam restorasi terdapat proses menilai habitat asli dengan ekosistem referensi. Hal itu juga berarti bahwa penetapan ekosistem referensi merupakan salah satu tahap penting dalam pemulihan ekosistem untuk menentukan tujuan akhir restorasi. Ekosistem referensi adalah ekosistem yang dijadikan contoh untuk mengetahui kondisi ekosistem yang pernah ada di masa lalu. Wujud ekosistem referensi adalah profil areal yang tak terganggu atau deskripsi bentang alam asli. Ringkasnya, upaya restorasi ingin meniru kondisi ekosistem yang relatif masih asli. Ekosistem acuan ini mungkin berada di sekitar areal yang akan dipulihkan dengan syarat belum tersentuh aktivitas manusia. Keadaan ekosistem referensi juga dapat diteliti dari laporan survei, peta, citra satelit, dan foto udara dari lokasi restorasi sebelum mengalami perubahan. II. Harapan dari Hulu Citarum 49


Langkah-langkah identifikasi dan analisis plot ekosistem referensi dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, menganalisis data citra satelit untuk melihat bagian kawasan yang diduga masih utuh sebagai ekosistem referensi. Lalu, melakukan cek lapangan dan menentukan plot ekosistem referensi pada titik yang telah diperiksa di lapangan. Setelah lokasi ekosistem referensi ditetapkan, selanjutnya dibuat plot ekosistem referensi di Cagar Alam Gunung Tilu dan Cagar Alam Gunung Burangrang. Sementara di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, informasi tentang ekosistem alaminya diperoleh dari kajian pustaka. Untuk restorasi di taman nasional, penentuan ekosistem referensi mengacu pada hasil plot cuplik permanen (permanent sampling plot [PSP]) Gekbrong yang dibuat Balai Pemantapan Kawasan Hutan XI Jawa-Madura pada 2010. Agar mendekati kenyataan, tim Komponen 2 meneliti keadaan lapangan pada areal plot ekosistem referensi. Di plot ini, tim melakukan survei iklim, uji kesuburan tanah, analisis vegetasi serta mengamati kehidupan satwa liar. Analisis vegetasi akan menghasilkan daftar spesies kunci tumbuhan yang dijadikan penanda penting penyusun ekosistem alami. Kriteria spesies kunci adalah tumbuh dominan, cepat tumbuh, memiliki kemampuan beradaptasi tinggi, memiliki tajuk rapat, serta bunga dan buahnya disukai binatang penyebar biji, seperti burung atau serangga. Proses meneliti deskripsi ekosistem alami tersebut baru satu tahap dalam upaya restorasi. Tujuan lainnya adalah restorasi yang berbasiskan pemberdayaan masyarakat, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan konservasi. Selama ini kerusakan hutan konservasi umumnya disebabkan perambahan, pencurian kayu, perburuan satwa liar, pembuatan arang, dan pengambilan kayu bakar. Dengan demikian, diperlukan upaya prakondisi bagi kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan di kawasan konservasi. Tim Komponen 2 melakukan diskusi terfokus dengan masyarakat dan para pihak terkait untuk membangun pemahaman bersama tentang restorasi. Diskusi terarah sekaligus untuk mengevaluasi dan memilih kelompok masyarakat yang akan berpartisipasi dan menginisiasi kerjasama kelembagaan. Forum diskusi terarah ini memberikan informasi berharga tentang berbagai tantangan di sekitar empat kawasan konservasi yang menjadi lokasi model restorasi ekosistem. Di Desa Sukaluyu dan Sugihmukti misalnya tantangannya nyaris serupa. Sebagian masyarakat dua desa ini masih merambah kawasan untuk dijadikan lahan budidaya cabai, kol, kentang.

50 Momentum Citarum


Tantangan yang kurang lebih sama juga terjadi di sekitar Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Sebagian warga Tanjungwangi rupanya masih suka mencari kayu, rotan, pakis dan satwa liar. Sedangkan di Cihanjawar, desa dekat Cagar Alam Gunung Burangrang, tantangannya adalah ketrampilan bertani yang belum memadai sehingga sebagian warga masih tergantung pada sumber daya hutan. Kondisi hampir sama juga terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di Blok Romusha, Resor Gunung Putri, yang terletak di zona rehabilitasi, para perambah bercocok tanam sayur-sayuran. Perambahan terjadi karena blok ini merupakan perluasan kawasan taman nasional yang semula dikelola Perhutani yang mewariskan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau PHBM. Warisan Perhutani juga terlihat di Blok Parabon, Resor Mandalawangi, yang meninggalkan tegakan tusam (Pinus merkusii) yang bukan jenis endemik Gede Pangrango. Kasus berbeda terjadi di Blok Telaga Saat, di Resor Mandalawangi, yang sebagian arealnya rusak karena merajalelanya tanaman asing yang invasif. Tanaman asing ini tumbuh lebih cepat, dan menyerang permudaan alami vegetasi setempat. Pada mulanya, tanaman asing ini dipicu oleh rusaknya kawasan akibat terpaan badai yang merobohkan pepohonan. Tanpa

Masyarakat bersama pengelola kawasan konservasi berbagi pendapat dan gagasan untuk pengelolaan DAS Citarum-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

II. Harapan dari Hulu Citarum 51


Restorasi ekosistem melibatkan masyarakat setempat sebagai wujud pengembangan ekonomi lokal-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


diduga, lahan yang terbuka memicu tumbuhnya tanaman asing seperti konyal, harendong bulu, pisang kole. Meski menghadapi berbagai tantangan, upaya restorasi justru menemukan sasaran yang tepat untuk model pemulihan ekosistem. Forum diskusi ternyata bermanfaat dalam membuka wawasan berbagai pihak yang akan berpartisipasi dalam restorasi. Dari catatan proses diskusi, masyarakat sekitar telah memiliki pemahaman yang cukup tentang restorasi hutan. Pelibatan masyarakat dalam restorasi dan rehabilitasi lahan di kawasan konservasi juga disambut baik oleh warga setempat. Dengan kata lain, masyarakat telah siap, dan berharap dapat terlibat dalam restorasi sambil membuka peluang usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di sisi lain, masyarakat yang berpartisipasi dalam restorasi juga menyadari mereka tidak akan mendapatkan manfaat langsung dari tanaman hasil restorasi. Masyarakat memahami bahwa tidak ada hasil langsung yang bisa dipetik dari upaya restorasi. Restorasi ekosistem memang semata untuk memulihkan habitat satwa liar dan perbaikan fungsi tata air. Namun, untuk mengungkit manfaat ekonomi, program CWMBC dalam upaya restorasi ekosistem dilibatkan juga kegiatan Komponen 3 yang merintis imbal jasa lingkungan. Skema inilah yang akan membangkitkan nilai ekonomi kawasan konservasi demi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar. Sederhananya, siapapun yang menikmati manfaat dari hutan harus memberikan imbalan jasa kepada pihak yang menjaga kawasan konservasi. Tentunya, masyarakat yang melindungi dan memulihkan hutan secara swadaya yang layak menjadi penerima imbal jasa. Hal itu membuktikan bahwa proyek CWMBC bersifat integratif. Hal itu terlihat dari upaya restorasi yang melibatkan komponen lain. Ciri partisipatif dalam upaya restorasi ekosistem dilakukan dengan mengajak kelompok Model Desa Konservasi (MDK) yang dikembangkan oleh Komponen 4 di setiap desa. Seluruh pekerjaan penanaman, penyulaman dan pemeliharaan dilakukan oleh MDK. Kegiatan restorasi dimulai dari pembersihan lahan, pembuatan ajir, pembibitan dan penanaman. Selain itu, kelompok MDK juga mendapatkan pelatihan pembibitan dan pembuatan kompos. Agar tanaman restorasi kelak tidak ditebang, untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi masyarakat, ada upaya rehabilitasi di lanskap produksi yang dilakukan di Komponen 4. Pemenuhan bibit juga dapat diperoleh melalui pembuatan persemaian jenis endemik oleh kelompok masyarakat. Bibit-bibit berasal dari II. Harapan dari Hulu Citarum 53


biji dan bibit cabutan dari hutan alam setempat. Juga dimungkinkan membeli bibit jika penanaman sangat mendesak, sehingga tak sempat pengadaan bibit melalui persemaian. Hanya saja, pembelian dengan syarat yang ketat, mengingat restorasi ekosistem tidak bisa dengan jenis tanaman asing. Kelompok MDK juga mengemban tugas menyiapkan kompos melalui progam pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini sekaligus ikhtiar meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memproduksi kompos. Komponen 3: Imbal Jasa Lingkungan Sebagai pelengkap upaya pemberdayaan masyarakat dari restorasi ekosistem, program CWMBC melalui Komponen 3 mengembangkan imbal jasa lingkungan air (IJLA, atau payment for enviroment services [PES]) di sekitar kawasan konservasi. Upaya ini berusaha menautkan masyarakat di hulu, tengah dan hilir untuk bergabung dalam kontribusi besar melestarikan keanekaragaman hayati. Untuk membuat nilai jasa lingkungan yang berasal hutan konservasi terlihat secara ekonomi, Komponen 3 secara khusus mengkaji pemanfaatan air. Observasi dilakukan di tiga kawasan: Cagar Alam Gunung Burangrang, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, dan Taman Buru Masigit Kareumbi. Kajian ini untuk membilang nilai jasa lingkungan air yang dimanfaatkan secara non-komersial dan komersial. Kajian dilakukan terhadap nilai ekonomi sumber air dan kesediaan untuk membayar para pemanfaatnya (atau willingness to pay-WTP). Secara umum, kemauan membayar berarti kesanggupan pemanfaat atau konsumen membayarkan sejumlah dana untuk memperoleh barang atau jasa. Nilai ‘kemauan membayar’ adalah harga maksimum dari barang atau jasa yang dibeli konsumen pada waktu tertentu. Buat memahami ‘kemauan membayar’ konsumen, titik awalnya dimulai dari azas kemanfaatan: seberapa puas konsumen terhadap barang atau jasa pada waktu tertentu. Kesanggupan membayar inilah yang dikaji oleh tim Komponen 3. Di sekitar Cagar Alam Burangrang kajian dilakukan di enam desa, salah satunya di Desa Cihanjawar. Nama desa ini berasal dari nama sungai yang bermula dari air terjun di Cagar Alam Gunung Burangrang. Sungai ini memasok air irigasi persawahan Cihanjawar. Kendati debit airnya berkurang di musim kemarau, tetapi sungai ini tak pernah kering sepanjang tahun. Debit aliran Sungai Cihanjawar yang 285 liter per detik cukup besar untuk mengairi lahan pertanian. 54 Momentum Citarum


Jasa Lingkungan air dari kawasan konservasi menyokong kehidupan masyarakat sekitar. Jalinan pipa ini menyalurkan air yang disediakan CA Gunung Burangrang-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Jasa Lingkungan air dari kawasan konservasi menyokong kehidupan masyarakat sekitar. Jalinan pipa ini menyalurkan air yang disediakan CA Gunung BurangrangFoto: Bambang Agus Kusyanto.

Sedangkan kebutuhan air bersih masyarakat Cihanjawar dan desa-desa lainnya dipenuhi dari mata air yang berada di luar cagar alam. Ada enam sumber mata air utama di Cihanjawar: Cisalada, Kubang, Cibadak, Pemandian Kuda, dan Citengah. Masyarakat memahami Cagar Alam Gunung Burangrang menjaga dan melestarikan mata-mata air. Hal itu menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian CA Gunung Burangrang. Pengelolaan air bagi rumah tangga dikelola oleh petugas khusus yang bertugas memantau kelancaran air bersih. Iuran air bersih umumnya Rp3.000 per bulan. Iuran ini lebih rendah dari usulan pihak desa yang sebesar Rp5.000. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk membayar iuran masih rendah. Itu karena sebagian masyarakat masih berpenghasilan rendah, dan terbiasa memanfaatkan air secara gratis. Kendati ada kesadaran kelestarian air menjadi tanggung jawab bersama, masyarakat memandang pemanfaatan air tak perlu dikenakan biaya. Tidak mengejutkan bila gagasan pemerintah desa ihwal iuran air Rp5.000 per bulan bertepuk sebelah tangan. Sebagian besar warga hanya menyanggupi Rp3.000.

56 Momentum Citarum


Tidak berbeda dengan Cihanjawar, pengelolaan air di Sakambang juga dikendalikan oleh pengurus air. Enam sumber air menyokong kebutuhan air Sakambang: Cimenteng, Cipondoh, Ciputat, Ciburial, Ciandon, Sawah Lega. Setiap mata air digunakan secara merata oleh rukun tetangga dan rukun warga. Begitu juga Pesanggrahan. Untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, desa ini memanfaatkan mata air: Darmaga, Tajur 1 dan Tajur 2. Desa-desa lain, sepeti Bojong Timur, Nagrog, dan Cibuntu, memanfaatkan mata air yang dikelola oleh pengurus. Desa terakhir, Cibuntu, merupakan pemekaran Desa Sumurugul. Pasokan air untuk rumah tangga berasal dari Sumurugul, yang bersumber dari Blok Tegal Lega Cagar Alam Gunung Burangrang. Perusahaan Daerah Air Minum Purwakarta juga melirik berlimpahnya sumber air dari Cagar Alam Gunung Burarang. Perusahaan air minum itu membangun instalasi pipa yang melintasi Cihanjawar, Sakambang, sampai pusat kecamatan di Wanayasa. Pemanfaatan Sungai Cihanjawar itu untuk memenuhi kebutuhan air bersih di desa-desa di dua kecamatan: Wanayasa dan Bojong. Taksiran nilai ekonomi Sungai Cihanjawar sekitar Rp3,05 miliar per tahun. Taksiran itu hasil perkalian nilai air tanah per meter kubik: Rp340 kali debit tahunan Sungai Cihanjawar. Nilai ini akan lebih besar jika memakai tarif dasar PDAM di Pasir Angin yang senilai Rp1.200 per kubik. Nilainya menjadi sekitar Rp10,8 per tahun. Bentuk lain dari jasa lingkungan berupa panorama dan fenomena alam. Salah satu tujuan wisata alam di Jawa Barat adalah Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu. Gunung stratovulkano ini dikelola BBKSDA Jawa Barat sebagai cagar alam dan taman wisata alam. Sebagian bentang alam Tangkuban Parahu juga berfungsi sebagai hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Tangkuban Parahu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang 2007 sampai 2009, PNBP masih di bawah Rp1 miliar per tahun. Namun sejak 2010 penerimaan negara cenderung di atas Rp1 miliar setahun. Selain wisata, Tangkuban Parahu juga menjadi daerah tangkapan air bagi wilayah sekitarnya. Komponen 3 mengkaji dua pengguna air komersial di sekitar Tangkuban Parahu, yaitu PT Sinkona Indonesia Lestari dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Kedua perusahaan itu mengambil air (intake) dari Sungai CikonengCimuja. Debit air sungai ini pada bulan November sekitar 504 liter setiap detik. Sementara itu, Perum Jasa Tirta II mencatat debit pada musim huII. Harapan dari Hulu Citarum 57


jan: 600 liter dan pada musim kemarau, turun menjadi 200 liter setiap detik. Nilai ekonomi air Sungai Cimuja berdasarkan survei Komponen 3 sekitar Rp4,7 miliar per tahun. Sinkona Indonesia adalah perusahaan pengolahan kulit kina untuk bahan obat-obatan tujuan ekspor. Bahan bakunya diperoleh dari suplai domestik 40 persen, dan 60 persen diimpor dari Afrika. Dalam proses produksinya, termasuk untuk kebersihan dan konsumsi, Sinkona membutuhkan air rata-rata 166,2 meter kubik per hari. Kebutuhan ini dapat dipenuhi sepanjang tahun dari sumber air Cikoneng-Cimuja. Investasi yang dikeluarkan—termasuk pemeliharaan dan izin—untuk mengalirkan air hingga dapat dimanfaatkan senilai Rp212 juta atau Rp 42,4 juta per tahun. Kerelaan membayar atau WTP Sinkona: Rp 666,1. Sementara itu, Perkebunan Nusantara VIII—kerap disebut perkebunan teh Ciater, adalah perusahaan negara penghasil teh kualitas ekspor, yang dikenal dengan nama Teh Walini. Dalam proses produksinya, perkebunan membutuhkan air untuk mencuci daun teh petikan. Air yang dibutuhkan rata-rata 93,32 meter kubik per hari. Investasi yang dikeluarkan untuk mengalirkan air sampai di pabrik sebesar Rp53 juta atau Rp10,6 juta per tahun. Nilai kesanggupan membayar atau WTP perkebunan teh ini adalah Rp314,58. Menariknya, kedua perusahaan ini memperoleh izin pemanfaatan air dari Perum Jasa Tirta III, dan membayar retribusi air kepada Kabupaten Subang. Kepada tim Komponen 3, manajemen Sinkona dan perkebunan teh Ciater menyatakan bersedia berkontribusi untuk penyedia jasa lingkungan air. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Komponen 3 mengembangkan model imbal jasa lingkungan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Taman buru ini menunjukkan secara kasat mata jasa lingkungan air yang mengalir langsung dari kawasan konservasi. Ekosistem taman buru menyangga kehidupan di tiga kabupaten: Garut, Sumedang dan Bandung. Sungai Citarik, yang melintasi taman buru, mengalir jauh, melewati permukiman, kawasan industi, perkotaan dan persawahan. Kajian Komponen 3 menemukan bahwa masyarakat di bagian hilir, di Sindang Pakuon, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan Sungai Citarik untuk air bersih desa. Pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Air Minum Desa (Pamdes) Tirta Pakuon. Sementara itu, warga Desa Cihanjuang, Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memanfaatkan mata air Bihbul, yang daerah resapannya berasal dari Masigit Kareumbi. Pengelolaan air diemban oleh dua lembaga: Pamdes Maju Makmur dan Mitra Sejahtera. 58 Momentum Citarum


“Pengalaman paceklik air dan konflik menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mempertahankan daerah resapan di bagian hulu.� Pengembangan lembaga perusahaan air desa ini didukung oleh Corporate Social Resposibility (CSR) Coca-cola, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan dana bantuan lainnya. Dukungan dana bagi pengembangan lembaga pengelola air itu menandakan air menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat setempat. Di balik kisah sukses pemanfaatan air itu memang terselip sejarah paceklik air. Sebelum ada perusahaan air minum desa, selama puluhan tahun masyarakat Sindang Pakuon dan Cihanjuang selalu kesulitan air saat kemarau. Upaya membuat sumur gali tak banyak menolong. Selain telah tercemar limbah, pada musim kemarau sumur-sumur juga mengering. Paceklik itu membuka inisiatif: warga ingin menangguk air bersih di daerahnya. Untuk itu, warga mencari sumber air yang bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Alhasil, dua desa itu memanfaatkan mata air Bihbul dan Sungai Citarik. Dari penuturan kepala desa Sindang Pakuon dan Cihanjuang, menunjukkan pernah terjadi konflik dalam pemanfaatan air dengan desa lain yang menjadi lokasi sumber mata air. Perseteruan ini menandakan adanya kompetisi pemanfaatan air. Ini terjadi karena debit air terus menyusut, sementara kebutuhan meningkat untuk memasok kebutuhan domestik, industri dan pertanian. Namun, pada saat yang sama, konflik juga membuka momentum penyadaran bagi semua pihak untuk menjaga daerah tangkapan air. Pengalaman paceklik air dan konflik menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mempertahankan daerah resapan di bagian hulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya Keputusan Kepala Desa Cihanjuang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Kepengurusan Pamdes Maju Makmur. Warga di dua desa itu memang berkeinginan untuk memberikan sumbangsih bagi penyedia jasa yang berdiam di wilayah hulu. Menariknya, para pemanfaat air ini berada di luar kawasan, namun menyadari aliran air berasal dari hutan konservasi Masigit Kareumbi. Niat berkontribusi itulah bekal awal untuk imbal jasa lingkungan air. II. Harapan dari Hulu Citarum 59


Pertautan jasa lingkungan air dari kawasan konservasi dengan masyarakat di dataran lebih rendah terlihat dari berkembangnya lahan-lahan pertanian padi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Imbal jasa lingkungan merupakan mekanisme pembayaran dari pemanfaat kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Berbekal hasil valuasi jasa lingkungan air, Komponen 3 mencoba mengembangkan lembaga imbal jasa lingkungan air di kawasan penyangga Masigit Kareumbi. Dalam mengembangkan imbal jasa ini, yang menentukan adalah keberadaan pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan. Tanpa ada pemanfaat dan penyedia yang saling berkomitmen, mekanisme imbal jasa mustahil dapat dikembangkan. Dari pengembangan imbal jasa di Masigit Kareumbi, diharapkan muncul sebuah model imbal jasa lingkungan bagi kawasan konservasi yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat. Kawasan taman buru ini dikenal unik. Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dikelilingi 32 desa dari sembilan kecamatan di tiga kabupaten. Bisa dibayangkan, jasa lingkungan dari kawasan konservasi seluas 12.000 hektare bisa menghidupi 32 desa. Untuk itu, Komponen 3 mengkaji data sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sepanjang Sungai Citarik. Pada 2013 tim Komponen 3 telah menghasilkan peta jasa lingkungan air yang menggambarkan hubungan hulu-hilr. Pada tahun itu juga dilaksanakan prakondisi, yang disusul pematangan hasil kajian pada 2013. Dan, pada 2014 dilakukan pematangan konsep pengembangan imbal jasa di daerah penyangga Masigit Kareumbi. Berbekal kegiatan 2014 yang mengembangkan imbal jasa lingkungan, pada 2015 dilakukan orientasi lapangan di daerah hilir SubDAS Citarik yang berhulu di Masigit-Kareumbi. Salah satu kegiatannya: memetakan para pihak pemanfaat air. Selain tiga pemanfaat air, yaitu Tirta Pakuon, Maju Makmur dan Mitra Sejahtera, di DAS Citarik terdapat pihak lain yang memanfaat air dari Masigit Kareumbi. Salah satunya PT Coca Cola Amatil Indonesia yang berdiri pada 1980-an di Cihanjuang. Perusahaan minuman ini memanfaatkan air sebagai bahan baku dalam proses produksinya. Pasokan air baku berasal dari air tanah dengan rencana debit mencapai 50.000 meter kubik setiap bulan, yang baru terealisasi 20.000 meter kubik. Sebagian besar porsi air digunakan untuk bahan baku produksi minuman ringan dan sanitasi. Sisanya, sekitar 13 persen air untuk pasokan masyarakat di sekitar pabrik. Air tanah ditangguk dari dua titik pengeboran, yang sayangnya mulai mengalami pencemaran—khususnya unsur logam. Akibatnya, proses produksi minuman makin sulit, yang pada akhirnya meningkatkan biaya produksi. Selain itu, debit air tanah relatif kecil dibandingkan II. Harapan dari Hulu Citarum 61


“Yang diharapkan adalah kontribusi dari pemanfaat yang menyadari bahwa pasokan jasa lingkungan yang mereka gunakan berasal dari kawasan konservasi. Imbalan dari masyarakat hilir tersebut akan diterima masyarakat hulu.� dengan kebutuhan air baku. Untuk mencukupi kebutuhan air bakunya, PT Coca Cola akhirnya memanen air permukaan dari Sungai Cimande. Daerah tangkapan air Sungai Cimande ini membentang di kawasan Masigit Kareumbi dan sekitarnya. Tim Komponen 3 sempat berbincang dengan manajemen PT Coca Cola Amatil Indonesia. Perusahaan transnasional ini sebenarnya terikat dengan komitmen Coca Cola Atlanta. Komitmen itu mengamanatkan perusahaan untuk berpartisipasi dalam pelestarian sumber air dan berperan dalam mengelola tanggung jawab sosial. Partisipasi yang telah dilakukan selama ini, di antaranya, baru berupa dukungan pelestarian lingkungan—seperti penanaman pohon. Terkait imbal jasa lingkungan bagi daerah hulu, perusahaan ini merespon cukup positif. Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pemangku kawasan hutan dan desa-desa yang menjadi resapan air. Secara informal, Komponen 3 telah melakukan pembicaraan dengan Coca Cola Indonesia ihwal peluang kontribusinya bagi pelestarian Masigit Kareumbi. Responnya cukup positif. Selain Coca Cola, masih banyak pabrik-pabrik yang memanfaatkan air permukaan dari aliran sungai yang berasal dari Masigit Kareumbi. Dengan demikian, penerima manfaat jasa lingkungan air tersebut perlu dikelola dengan baik. Pemanfaatan air dari kawasan taman buru juga menyokong perkembangan pertanian. Sungai Citarik dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi bagi beberapa daerah. Cakupannya luas, mengairi persawahan di dua kabupaten: Bandung dan Sumedang. Perlahan, kajian Komponen 3 menghasilkan peta para pihak yang memanfaatkan air dari Taman Buru Masigit Kareumbi. Tentu saja, pihak utama yang menjadi penyedia jasa adalah BBKSDA Jawa Barat dan Balai 62 Momentum Citarum


Besar TNGGP, yang keduanya adalah pengelola kawasan. Tugas BBKSDA dan Balai Besar TNGGP adalah menyelenggarakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan-kawasan konservasi di Jawa Barat. Pada prinsipnya, dalam imbal jasa lingkungan, pihak pengelola tidak bisa menerima benefit langsung. Jadi, yang diharapkan adalah kontribusi dari pemanfaat yang menyadari bahwa pasokan jasa lingkungan yang mereka gunakan berasal dari kawasan konservasi. Imbalan dari masyarakat hilir tersebut akan diterima masyarakat hulu, yang lantas menggunakannya untuk pengembangan ekonomi dan pelestarian kawasan konservasi. Dalam program CWMBC, pengembangan imbal jasa lingkungan difokuskan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan daerah penyangganya. Komunikasi juga dilakukan untuk membangun jaringan kerja dengan instansi pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Sumedang. Penerapan nota kesepakatan imbal jasa ini tentu saja juga tidak akan lepas dari BBKSDA Jawa Barat sebagai pengelola kawasan. Desa-desa yang menjadi penyedia jasa lingkungan di sub-DAS Citarik, adalah Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Sumedang, dan Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Bandung. Di dua desa ini sudah ada tapak kinerja atau lokasi untuk mewujudkan komitmen penyedia dalam mekanisme imbal jasa lingkungan air. Sementara itu, pemanfaat jasa adalah warga Cihanjuang dan Sindang Pakuon. Dua desa ini menyadari air yang mereka manfaatkan dipengaruhi tata guna lahan di bagian hulu. Atas dasar pemahaman tersebut, dua desa pemanfaat ini berkomitmen menganggarkan dana konservasi air dengan melestarikan kawasan Masigit Kareumbi. Setelah ada penyedia jasa lingkungan dan pemanfaatnya, dalam nota kesepakatan dituangkan kesediaan kedua pihak. Jadi, dalam nota kesepakatan imbal jasa lingkungan harus tertuang adanya pemanfaat, penyedia jasa lingkungan, dan tapak kinerja (lahan milik anggota kelompok penyedia jasa). Untuk itu, sebelum penulisan rancangan nota kesepakatan, perlu klarifikasi terhadap kondisi lapangan, lembaga penyedia, dan lembaga pemanfaat. Sebagai bentuk komitmen kedua pihak, dirancang nota kesepakatan sebagai wujud solidaritas lingkungan. Komitmen dan tujuan dari nota kesepakatan itu adalah merehabilitasi lahan pertanian melalui wanatani di desa penyangga kawasan konservasi; pelestarian mata air; perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat di daerah penyangga, dan pelestarian kawasan Masigit Kareumbi. II. Harapan dari Hulu Citarum 63


Masing-masing kepala desa Cihanjuang dan Sindang Pakuon, mengamanatkan untuk menganggarkan 2 persen dan 7 persen dari keuntungan untuk konservasi tanah dan air. Sementara itu, penyedia jasa bersedia menyusun rancangan teknis rehabilitasi lahan milik masyarakat; merehabilitasi lahan; merumuskan dan menyepakati aturan main kelompok; pelestarian mata air; perbaikan kondisi ekonomi, sosial dan kelembagaan masyarakat. Satu keunikan dan menjadi salah satu ciri menonjol dari imbal jasa lingkungan air adalah tapak kinerja. Artinya, imbalan dari pemanfaat hanya akan diberikan setelah penyedia memenuhi komitmennya di tapak kinerja yang disepakati. Tapak kinerja jasa lingkungan dalam nota kesepakatan ini adalah kelestarian Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi dan lahan pertanian milik warga yang tinggal di hulu Sungai Citarik.

Komponen 4: Mengarusutamakan Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi Salah satu program yang didorong dalam proyek CWMBC adalah mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati pada bentang lahan atau lanskap produksi. Program ini bertujuan untuk menggalang peran aktif dari masyarakat dan para pihak dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. Program ini ditujukan untuk masyarakat yang hidup di sekitar kawasan konservasi, agar mereka berdaya serta mampu menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi menggantungkan kehidupannya pada kawasan konservasi, namun diharapkan dapat berperan sebagai pengawal dan penjaga hutan konservasi. Kawasan konservasi BBKSDA dan BBTNGGP dikelilingi oleh lanskap produksi, seperti hutan produksi, lahan pertanian, perkebunan, atau pemukiman. Beberapa kawasan hutan lindung yang dikelola Perhutani, juga menjadi wilayah penyangga bagi sejumlah kawasan konservasi. Peran aktif masyarakat di lanskap produksi dalam melindungi keanekaragaman hayati akan berdampak positif bagi kelestarian manfaat kawasan konservasi. Komponen 4 melaksanakan berbagai aktivitas yang mendukung pengelolaan DAS Citarum di lahan produksi secara partisipatif. Desa-desa yang berbatasan dengan kawasan konservasi di hulu DAS Citarum memang lekat dengan isu konservasi keanekaragaman hayati. Upaya konservasi di lanskap produksi sebagai bentuk pengarustamaan konservasi keanekaragaman hayati mewujud dalam beberapa ke64 Momentum Citarum


Forum kursus kepemimpinan menggabungkan para tokoh desa dalam gerakan konservasi di lanskap produksi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Kursus kepemimpinan tingkat desa merupakan langkah awal menuju pembentukan Desa Berbudaya Konservasi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

giatan yang berurutan dan berkesinambungan. Skenario utamanya adalah: 1) kursus kepemimpinan desa untuk pelestarian lingkungan, 2) pembentukan kelembagaan konservasi tingkat masyarakat desa, 3) pembuatan rencana konservasi desa, 4) mengembangkan kegiatan konservasi dan usaha alternatif ramah lingkungan di tingkat desa sesua rencana konservasi, 5) menilai potensi desa, 6) melakukan pemetanaan partisipatif untuk menyusun tata ruang desa merujuk pada tata ruang wilayah, dan 7) memfasilitasi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) berbudaya lingkungan. Selain itu, untuk menyebarkan infomasi dan manarik dukungan para pihak juga dilakukan kampanye penyadaran untuk mendukung konservasi. Kursus kepemimpinan desa untuk konservasi dilakukan di 13 desa, yang bertujuan untuk mencari penggerak-penggerak konservasi di tingkat masyarakat desa. Peserta kursus mencakup pemimpin formal dan informal, yakni kepala desa, Badan Perwakilan Desa, karang taruna, ibu-ibu PKK dan tokoh masyarakat. Forum kursus kepemimpinan sebagai langkah awal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dan membentuk kelembagan konservasi masyarakat tingkat desa. Dari para peserta kursus, lantas dilahirkan kelompok Model Desa Konservasi (MDK) sebagai wujud dari tahap Pembentukan kelembagan konservasi tingkat desa. Kelompok MDK dibangun di

66 Momentum Citarum


12 desa sekitar kawasan konservasi Balai Besar KSDA, yang tersebar di Cagar Alam Gunung Burangrang, Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Kamojang, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu. Kelompok MDK diposisikan sebagai “kelembagaan awal�, karena ke depan diharapkan berubah menjadi unit kerja dalam tubuh organisasi desa, setingkat dengan Kepala Urusan (KAUR) dalam struktur organisasi pemerintahan desa. Kelompok MDK berisi orang-orang yang bisa mempengaruhi warga lain. Bersama kepala desa, forum lantas memilih orang-orang yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengarusutamakan konservasi di lanskap produksi. Hasil akhirnya: menentukan anggota kelompok yang terdiri 30 orang sebagai perwakilan dari berbagai pihak yang ada di desa. Sekurangnya, 30 orang anggota kelompok MDK bisa mengkampanyekan untuk tidak melakukan aktivitas yang tidak ramah lingkungan di kawasan konservasi. Kelompok sekaligus menjadi sasaran bagi penguatan kapasitas masyarakat MDK. Untuk mengurangi ketergantungan warga terhadap kawasan konservasi dilakukan pelatihan kewirausahaan, pertanian organik, pembuatan kompos dan persemaian. Untuk memahami tantangan dan isu konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi, bisa melihat dua desa yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Salah satunya, Desa Cihanjawar yang terletak tak jauh dari Cagar Alam Gunung Burangrang, sebagian warganya biasa memanen rumput songket untuk bahan baku sapu. Industri rumahan ini rupanya masih bertumpu pada pasokan songket yang diambil dari CA Gunung Burangrang. Bahan baku sapu songket memang banyak terdapat di dalam kawasan CA Gunung Burangrang. Yang mengambil bukan perajinnya, tetapi pemasok bahan bakunya. Selain mengunduh songket, sebagian orang juga merambah Burangrang untuk mencari jamur hutan, rotan dan tak jarang satwa liar. Dengan demikian, anggota kelompok MDK diharapkan bisa menjadi agen perubahan bagi warga yang masih menggantungkan hidupnya di kawasan konservasi. Satu lagi adalah Desa Pasanggrahan, tetangga Cihanjawar, yang sebagian warganya masih menggantungkan hidupnya pada CA Gunung Burangrang untuk bercocok tanam. Sejatinya, dari catatan polisi hutan yang bertugas di Cagar Alam Gunung Burangrang, masyarakat Pasanggrahan telah sadar ihwal pelestarian cagar alam. Selain patroli rutin dua kali sepekan, polisi hutan bersama kepolisian dan pemerintah desa kerap mengkampayekan cagar alam. PeramII. Harapan dari Hulu Citarum 67


“Kursus kepemimpinan desa bertujuan untuk mencari penggerakpenggerak konservasi di tingkat masyarakat desa. Dari para peserta kursus, lantas dilahirkan kelompok Model Desa Konservasi (MDK) sebagai wujud dari tahap pembentukan kelembagan konservasi tingkat desa.� bahan memang masih terjadi, terutama di kampung Depok RT 04 yang berbatasan langsung dengan cagar alam. Modusnya: perambah menanam sayuran di dekat perbatasan antara cagar alam dengan tanahnya. Kondisi dua desa itu saja telah menggambarkan tantangan dan isu pelestarian keanekaragaman hayati di hulu DAS Citarum. Ringkasnya, kawasan konservasi menghadapi tantangan perambahan, pembalakan liar dan perburuan flora-fauna. Dari tantangan itu, terbitlah gagasan untuk mengarusutamakan konservasi keanekaragaman hayati di sekitar cagar alam, taman wisata alam dan taman buru. Apapun bentuk usaha alternatif, hakikat pelatihan untuk memberikan kesadaran bagi anggota kelompok agar mampu berwirausaha secara tangguh. Kewirausahaan juga untuk melecut para anggota MDK bisa memilih dan memiliki usaha alternatif sebagai pengganti kebiasaan masyarakat masuk ke hutan. Dari seluruh kegiatan kelompok, semuanya diniatkan untuk meningkatkan kapasitas kelompok MDK. Para anggota kelompok di desadesa dengan lembaga MDK menjalani berbagai forum musyawarah dan curah pendapat. Diskusi kelompok atau FGD untuk menguatkan kelompok tentang apa yang akan dilakukan MDK dan menggali potensi desa. Selama ini, masyarakat berpandangan bahwa modal selalu berbentuk dana. Padahal banyak potensi desa dan sumber daya manusia yang masih terpendam. Adanya kegiatan MDK telah menggugah kesadaran kelompok dalam memahami modal sosial dan lingkungan yang ada di desanya. Per68 Momentum Citarum


lahan-lahan ada perubahan di tingkat kelompok MDK. Contohnya di Desa Cihanjawar. Di sana, untuk memenuhi pasokan bahan baku sapu, anggota kelompok kini menanam songket di lahan produksi. Ini untuk mencegah pemasok mencari songket di kawasan cagar alam. Bahan baku songket sekarang ditanam di kebun masing-masing. Sebenarnya songket banyak tumbuh di sekitar desa, hanya saja harus beli. Kalau mencari di kawasan Burangrang, perajin sapu bisa memperolehnya secara gratis. Selain itu, gagang sapu sekarang dibuat dari bambu, bukan rotan yang biasa juga diambil dari kawasan. Salah satu bentuk pengembangan ekonomi alternatif adalah ternak ayam kampung. Kelompok MDK Cihanjawar mengembangkan ternak ayam yang mampu memasok ayam bagi rumah-rumah makan di sekitar desa. Sejak merintis usaha ternak, MDK Cihanjawar telah tiga kali panen. Penjualan hasil panen pun telah bermitra dengan rumah makan dan para penjual ayam di pasar-pasar sekitar. Usaha alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap keanekaragaman hayati dilakukan di tujuh kawasan konservasi. Bentuknya macam-macam. Selain produksi gula aren, ternak ayam, ada juga ternak kelinci, budidaya bunga hebras. Intinya, wujud usaha alternatif tersebut sebagai hasil curah pendapat di setiap kelompok MDK.

Pengembangan MDK melibatkan warga untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan desa yang berwawasan konservasi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

II. Harapan dari Hulu Citarum 69


Setiap MDK leluasa menentukan usaha alternatif sesuai citacita kelompok. Usaha ini untuk mengurangi ketergantungan warga pada sumber daya alam di kawasan konservasi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Anggota MDK di Sindulang, dekat Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, misalnya menjalankan budidaya bunga anggrek. Sejauh ini, budidaya anggrek berjalan baik, karena Sindulang memang dikenal sebagai penghasil anggrek dan telah memiliki jaringan pasar. Anggota kelompok juga memilih usaha kursus menjahit yang lulusannya mampu mengembangkan usaha mandiri. Demikian pula aktivitas MDK di Desa Sugihmukti. Kelompok di salah satu desa di sekitar Cagar Alam Gunung Tilu ini mengembangkan pengelolaan sampah komunal, pembibitan dan ternak kelinci. Pengelolaan sampah komunal itu terus bergulir dengan mendaur ulang barang bekas menjadi kerajinan tangan dan produk baru. Sementara itu, sampah organik yang berasal dari kotoran sapi dan sampah domestik dimanfaatkan sebagai kompos. Sampah domestik itu dikumpulkan dari rumah-rumah dengan kendaraan roda tiga, bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung. Hanya saja, tak semua usaha di Sugihmukti berjalan sesuai harapan. Usaha beras online misalnya, menghadapi tantangan banyaknya pembeli yang menunggak pembayaran. Sedangkan di TNGGP, usaha alternatif berupa peternakan domba, budidaya kelinci, pengembangan pupuk cair, dan pembibitan. Peternakan domba dikembangkan di sejumlah desa, seperti Suka-

Peternakan kelinci menjadi harapan bagi sebagian anggota MDK dalam mengembangan ekonomi alternatifFoto: Bambang Agus Kusyanto.

II. Harapan dari Hulu Citarum 71


mulya, Tegalega, Sukatani, Ciloto, Galudra, Padaluyu, Sindangjaya, dan Sarampad. Hasilnya cukup menggembirakan. Dari semula 178 ekor domba, telah beranak-pinak menjadi 479 ekor. Keberhasilan ini akan digulirkan ke kelompok lain yang belum sempat menerima bantuan domba. Sedangkan untuk pengembangan pupuk cair, yang dilakukan di Desa Ciputri, saat ini memerlukan penguatan bagi kelompok dan pemasaran produknya. Hakikat beragam usaha ekonomi itu untuk mengajak kelompok membuka peluang pekerjaan tanpa dampak negatif terhadap kawasan konservasi yang tercakup dalam CWMBC. Perlahan tapi pasti, keberhasilan kelompok-kelompok MDK diharapkan menggugah minat warga yang lain untuk tidak merambah dan membuka kawasan konservasi. Upaya Komponen 4 tidak terbatas pada pengembangan ekonomi alternatif. Pada hakikatnya seluruh upaya Komponen 4 memiliki cakupan lebih luas, yaitu memberikan model atau contoh dalam pembangunan wilayah di sekitar kawasan konservasi yang menopang hulu DAS Citarum. Lantaran berada di luar kawasan konservasi, demi masa depan pembangunan lanskap produksi sudah semestinya melibatkan pemerintah daerah. Apapun gagasan pemerintah daerah, dalam membangun wilayah sekitar kawasan konservasi mesti berwawasan lingkungan. Ada tiga aspek penting dalam membangun wilayah desa di sekitar kawasan konservasi. Pertama, aspek lingkungan. Masyarakat sekitar kawasan diharapkan mampu menyangga hutan konservasi dari berbagai gangguan; merawat habitat hidupan liar; serta dapat menambah daerah resapan air. Kedua: aspek sosial, yang menyangkut peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, sehingga bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Ketiga, aspek ekonomi: meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengalirnya investasi ke perdesaan. Tentunya gerak maju desa konservasi mesti didukung oleh semua pemangku kepentingan terkait, baik pengelola kawasan maupun pemerintah daerah. Di masa datang, pemerintah daerah akan berperan penting dalam membangun desa-desa konservasi ini. Menyadari hal itu, Komponen 4 melaksanakan lokakarya desa untuk menyusun masterplan MDK. Pembuatan rencana konservasi berjalan secara partisipatif di 12 MDK, yang dokumennya disebut Master Plan MDK, disusun oleh anggota MDK, dan disahkan oleh kepala desa. Master plan MDK telah disosialisasikan kepada para kepala instansi pemerintah daerah terkait untuk membangun sinergi kerja antar-sektor di tingkat desa. 72 Momentum Citarum


“Saat program CWMBC tuntas, diharapkan telah tersusun 10 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Berbudaya Konservasi dengan dukungan dari berbagai pihak.� Kegiatan-kegiatan yang dicantumkan dalam mater plan dipilah dan dipilih serta diurutkan berdasarkan prioritas sesuai perspektif masyarakat. Selanjutnya, masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan untuk menumbuhkan kebiasaan praktek konservasi, membangun usaha produktif yang ramah lingkungan, serta berdiskusi dan bergotong royong. Setelah cukup terbangun interaksi kegiatan konservasi di masyarakat desa, kemudian dilaksanakan kegiatan fasilitasi penilaian potensi desa, pemetaan tata ruang desa, dan perencanaan pembangunan desa. Tahapan ini sangat menentukan keberlanjutan usaha konservasi di tingkat desa. Pemaduan konservasi ke dalam pembangunan desa ditunjukkan dengan tata ruang dan rencana pemabangunan desa yang memperhatikan dan menerapkan kaidah-kaidah konservasi dan lingkungan hidup. Harapannya, saat program CWMBC tuntas, telah disusun 10 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) Berbudaya Konservasi dengan dukungan dari berbagai pihak. Jika usaha ini berhasil, maka kelestarian ekosistem, keanekaragaman hayati, dan daerah tangkapan air Citarum adalah suatu kenicayaan tanpa harus tergantung pada proyek-proyek dari luar. Master plan MDK disusun oleh anggota MDK yang kemudian dibahas dalam forum konsultasi publik. Lokakarya di tiap-tiap desa dihadiri tokoh masyarakat, penyuluh kehutanan, pertanian, peternakan di tingkat kecamatan. Berbekal master plan, Komponen 4 berupaya menautkan program MDK dengan pemerintah kabupaten. Dengan demikian, bermula dari tingkat desa dengan kegiatan MDK, pengarusutamaan konservasi akan berlanjut ke tingkat kabupaten dan provinsi. Selain perubahan perilaku yang lebih sadar konservasi, upaya Komponen 4 juga diukur dari II. Harapan dari Hulu Citarum 73


Anggota MDK menerima berbagai pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dalam merintis usaha baruFoto: Bambang Agus Kusyanto.


adanya rencana-rencana formal di tingkat desa hingga provinsi untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan melindungi lanskap produksi yang penting bagi kenakeragaman hayati dan fungsi DAS. Rencana-rencana itu mulai dari RPJMDes, kabupaten, dan provinsi. Mulai akhir 2014 dilakukan berbagai forum pertemuan untuk mengintegrasikan konservasi ke dalam RPJMDes, kabupaten dan provinsi. Upaya untuk merintis hal tersebut dilakukan secara intensif dengan Badan Pemberdayaan masyarakat dan pemerintah Desa (BPMPD) di kabupaten dan provinsi. Kelak, seiring diterapkannya Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, rencana induk itu diharapkan dapat menjadi bagian RPJMDes. Master plan sekaligus sebagai wujud komitmen jangka panjang dalam pengembangan MDK. Penyusunan rencana induk bisa dipandang sebagai peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam merespon undangundang desa yang mensyaratkan adanya RPJM desa. Program pengembangan MDK juga mengajak kelompok untuk merancang tata ruang desa. Rencana tata ruang desa untuk menyelaraskan pembangunan desa dengan kawasan hutan. Selama ini, disadari kawasan konservasi rentan terhadap perkembangan pembangunan yang tidak diimbangi dengan perencanaan tata ruang perdesaan. Alhasil, pembangunan desa menjadi tidak beraturan yang akan mengganggu kemantapan kawasan konservasi. Jadi, RPJMDes sangat berkaitan dengan rencana tata ruang desa. Sementara pada tataran yang lebih tinggi, tata ruang desa harus sejalan RTRW kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten bisa disahkan, jika sejalan dengan tata ruang Kehutanan. Dengan penalaran seperti itu, rencana tata ruang desa tidak bakal bertubrukan dengan tata kawasan hutan. (Misalnya saja, pengembangan pertanian di wilayah desa tidak akan dilakukan di kawasan hutan—sehingga mencegah perambahan hutan.) Di sisi lain, pembangunan desa yang seturut kaidah konservasi akan mendorong pengelola kawasan konservasi membangkitkan personel di lapangan untuk memfasilitasi dan mengajak masyarakat menjaga kawasan konservasi. Inti dari program CWMBC bagi pembangunan wilayah adalah menciptakan desa berbudaya konservasi dengan memetakan potensi sumber daya alam desa, menyusun tata ruang desa, dan menyusun RPJMDes yang berbudaya konservasi.***

II. Harapan dari Hulu Citarum 75


III. Hikmah & Pembelajaran Segala upaya telah tercurahkan untuk pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi yang mendukung Daerah Aliran Sungai Citarum. Di balik capaian setiap komponen kerja, terdapat pembelajaran untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengelolaan kawasan konservasi di wilayah hulu Citarum. Langkah-langkah apa yang diperlukan agar pembelajaran bisa melampui cakupan dan batas-batas program?

1.

Kerangka Pikir Pembelajaran rogram CWMBC telah melaksanakan empat komponen kerja di delapan kawasan konservasi selama 2011 hingga 2016. Empat komponen tersebut untuk mencapai empat tujuan. Pertama, adalah memperkuat pengelola kawasan konservasi. Kedua, memulihkan ekosistem yang terlanjur rusak. Ketiga, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian pemanfaat jasa lingkungan untuk berkontribusi terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Keempat, meningkatkan keterlibatan masyarakat, pemerintah daerah, dan para pihak lainnya dalam konservasi keanekaragaman hayati.

P 76 Momentum Citarum


Melalui kegiatan empat komponen tersebut, program CWMBC menekankan keterpaduan para pihak untuk memelihara dan memulihkan habitat keanekaragaman hayati di hulu Citarum, sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Intinya, menekankan upaya konservasi keanekaragaman hayati di hulu Citarum bukan semata kewajiban BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP—pihak pengelola kawasan konservasi di hulu Citarum—tapi juga menjadi tanggung jawab para pihak terkait, mulai dari masyarakat, swasta, sampai pemerintah daerah. Salah satu persoalan yang mendasari penyusunan desain program CWMBC adalah instansi atau sektor lain cenderung apriori terhadap konservasi alam. Kesadaran para pihak untuk berperan nyata dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi, sebagai salah satu penopang pembangunan berkelanjutan, masih rendah. Egosektoral masih terasa kental, yang akhirnya, berdampak pada kerusakan ekosistem kawasan konservasi di hulu Citarum secara signifikan. Rusaknya ekosistem kawasan konservasi itu dalam jangka panjang justru akan menghambat pembangunan; bahkan mengancam keberlangsungan kehidupan. Upaya menjalin koordinasi dan menggalang kerjasama dengan berbagai pihak harus dimulai dengan memperkuat lembaga pengelola kawasan konservasi. Keberadaan lembaga penyelenggara konservasi yang profesional, handal dan berwibawa bisa menumbuhkan kepercayaan publik dan para pihak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kerangka pembelajaran ini sejalan dengan arah program CWMBC, yakni bagaimana program ini mampu melakukan penguatan kelembagaan pengelola kawasan konservasi dan mendorong kolaborasi antarsektor dan antarpihak dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam konsep kekinian, kedua arahan tersebut sebenarnya terangkum dalam istilah penguatan “tata kelola atau governance� kawasan konservasi. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan butir-butir pembelajaran selama pelaksanaan setiap komponen kerja program CWMBC, terlebih dahulu bab ini mengulas tentang konsep tata kelola, dan kaitannya dengan penguatan kelembagaan dan kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi. Ulasan tentang hal ini dalam konteks pembelajaran CWMBC diletakkan sebagai pembelajaran fundamental. 2.

Pembelajaran Fundamental Berbagai persoalan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang terjadi di Indonesia, dan berbagai negara lain, telah mendorong perge-

III. Hikmah & Pembelajaran 77


seran cara pandang terhadap penyelenggaraan pengelolaan kawasan yang dilindungi. Sedikitnya ada lima perubahan cara pandang.1 Pertama, cara pandang yang semula hanya menekankan fungsi perlindungan bergeser menjadi fungsi sosial-ekonomi kawasan konservasi dalam jangka panjang untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Kedua, beban pembiayaan pengelolaan, yang semula ditanggung pemerintah, menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle). Ketiga, penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up (participatory). Keempat, pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multipihak (multistakeholder based management/collaborative management). Kelima, perubahan pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif–fleksibel-netral. Selain itu juga perubahan tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis, serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator. a. Tata Kelola Kawasan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi adalah kewenangan pemerintah (government). Pemerintah adalah sekelompok orang yang mengatur sebuah komunitas atau unit yang menetapkan dan mengelola kebijakan publik dan kekuasaan eksekutif, politik dan berdaulat yang mengatur dan mengelola rakyat. Tingkat pemerintahan yang berbeda biasanya memiliki tanggung jawab yang berbeda pula. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, wajah pemerintah di mata rakyat tercermin pada “resor” sebagai unit kerja pemerintah terendah, berada langsung di kawasan, dan di tengah-tengah masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Resor harus senantiasa ada di tengah masyarakat dan kredibel, karena mereka adalah wakil pemerintah sekaligus wakil Negara di lapangan. Ini adalah logika formal yang menjadi salah satu alasan utama untuk memperkuat resor.2

Pokja Kebijakan Konservasi. 2008. Konservasi Indonesia: “Sebuah potret pengelolaan dan kebijakan’. Bogor

1

Dalam konteks penataan wilayah kerja kawasan konservasi dan kelembagaan pengelolaan, resor adalah satuan wilayah kerja terkecil sekaligus sebagai unit kerja terendah dalam organisasi pengelolaan kawasan konservasi. Resor juga identik dengan istilah “pengelolaan kawasan konservasi tingkat tapak”.

2

78 Momentum Citarum


Salah satu plot PSP untuk memantau keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di DAS Citarum. Plot ini selayaknya digunakan untuk membantu pengelolaan berbasis resorFoto: Bambang Agus Kusyanto.

III. Hikmah & Pembelajaran 79


Lantas, bagaimana hubungan kewenangan pemerintah dalam kolaborasi antarsektor dan dengan para pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi? Dalam hal ini, perlu memperdalam pokok bahasan, tidak saja mengenai pemerintah dan kewenangannya, tetapi juga konsep governance atau pemerintahan atau tata kelola. Istilah governance dalam beberapa referensi diterjemahkan sebagai pemerintahan atau tata pemerintahan atau tata kelola. Collins (2009) mendefinisikan governance sebagai tindakan, cara, atau sistem sebuah pemerintahan. Sementara menurut UNESCAP (2013), governance merupakan proses pengambilan keputusan dan proses dengan mana keputusan akan diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. Kesimpulannya, pemerintah adalah sebuah lembaga yang memiliki tujuan mengatur dan mengelola kepemerintahan. Sedangkan tata kelola/pemerintahan adalah rangkaian proses, kebijakan, aturan, budaya, dan organisasi dalam mengelola sesuatu untuk mencapai tujuan. Konsep governance lalu berkembang dengan munculnya kampanye mengenai good governance atau tata pemerintahan/tata kelola yang baik. Kampanye good governance tersebut juga menjangkau penyelenggaraan pengelolaan kawasan konservasi. Beberapa pihak menyakini bahwa penerapan good governance dalam penyelenggaraan kawasan konservasi akan mengubah wajah pengelolaan kawasan konservasi ke arah yang lebih baik secara signifikan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa perbaikan-perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan tidak akan berarti, jika tanpa adanya good governance. Bagaimana tata kelola kawasan konservasi yang baik (conservation good governance), dan apa urgensinya untuk meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan konservasi? Rujukan tentang konsep good governance cukup melimpah. Dalam konteks pengelolaan konservasi, upaya penguatan good governance setidaknya menuntut beberapa aspek berikut:3 1. Kelembagaan di sektor konservasi alam dan lingkungan hidup yang profesional dan berintegritas agar handal, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat tapak;

3 Dimodfikasi dari Harry Alexander, Ibid, hlm. 7-9 dan Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001). Berdasarkan Johanesburg’s Plan of Implementation, good governance sangat esensial bagi keberhasilan pembangunan berkelanjutan.

80 Momentum Citarum


“Penerapan good governance dalam penyelenggaraan kawasan konservasi akan mengubah wajah pengelolaan kawasan konservasi ke arah yang lebih baik secara signifikan. � 2. Pembagian peran dan kewenangan penyelenggaraan konservasi antara pusat dan daerah sampai ke tingkat desa dan kelurahan; 3. Komponen masyarakat peduli konservasi yang kuat sehingga mampu melaksanakan fungsi pendukung dan kontrol publik; 4. Lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif (efective representative system) terhadap tata kelola pemerintahan di bidang konservasi sumber daya hayati; dan, 5. Penegakan hukum konservasi alam yang konsisten, independen, bersih dan profesional. Tiga butir pertama dalam usulan tata kelola kawasan konservasi yang baik di atas, secara tidak langsung dan parsial telah terjangkau oleh intervensi program CWMBC. Namun demikian, berikut ini sejumlah pembelajaran dari program CWMBC dalam konteks good governance yang berhasil direkam. 1. Program CWMBC telah berupaya melakukan penguatan kapasitas teknis bagi personel dan pengembangan instrumen-instrumen pengelolaan untuk mendorong profesionalisme staf dan lembaga pengelola kawasan konservasi, terutama di BBKSDA Jawa Barat. Tetapi program ini tidak bisa menjangkau persoalan integritas. Tanpa ada intervensi untuk memperbaiki aspek integritas, kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi yang handal—dapat dipercaya oleh publik—nampaknya belum bisa terwujud. Lebih jauh, lemahnya integritas seringkali mengakibatkan terjadinya dinamika negatif di internal lembaga pengelola kawasan konservasi. 2. Program CWMBC telah berupaya mendorong terjalinnya koordinasi dan membangun kerjasama antara BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP dengan berbagai instansi terkait di pemerintah daerah, swasta III. Hikmah & Pembelajaran 81


penerima manfaat, dan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Kegiatan pengarusutamaan telah dilakukan oleh program CWMBC— utamanya Komponen 4—di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah desa. Di BBKSDA Jawa Barat, sebanyak 10 dari 12 desa telah berproses untuk menginternalisasikan program/kegiatan konservasi dalam rencana pembangunan desanya. Begitupun di tingkat pemerintah daerah, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mendeklarasikan program Citarum Bestari, yang salah satu kegiatannya adalah pengembangan desa konservasi di hulu Citarum. Sementara itu, di TNGGP sebanyak satu desa didampingi untuk mengembangkan desa konservasi, dan delapan desa diintervensi dengan pola bantuan modal ekonomi produktif. Pada akhir pelaksanaan program, BBTNGGP telah mengikat kesepakatan dengan instansi-instansi terkait di Pemda Cianjur untuk melakukan aksi bersama pelestarian hulu Citarum yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur dan sekitar kawasan TNGGP. Sementara di BBKSDA Jawa Barat, pemerintah daerah di empat kabupaten telah siap untuk mendukung pembangunan desa berbudaya konservasi di sekitar kawasan konservasi di hulu Citarum. Untuk keberlanjutannya, BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP nampaknya harus mengawal hasil-hasil transisi yang telah dicapai tersebut. 3. Program CWMBC juga telah mendorong skema imbal jasa lingkungan, khususnya dari para penerima manfaat yang bersifat komersial melalui skema PES (payment of enviroment services). Namun, kesadaran dan aksi konkrit instansi-instansi pemerintah daerah serta para penerima manfaat masih harus didorong, baik melalui sosialisasi, penyadartahuan, pendidikan dan latihan; atau, bahkan melalui pemberlakukan peraturan yang mengikat. 4. Program CWMBC telah melakukan kerjasama dengan beberapa unsur lembaga masyarakat, baik LSM maupun kelompok-kelompok masyarakat di tingkat desa. Upaya ini cukup efektif, tetapi untuk keberlanjutan dan pengembangannya tergantung pada pengelola kawasan konservasi, yaitu BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP. b. Perubahan Fokus dan Orientasi Kolaborasi dalam Konservasi Kolaborasi adalah keniscayaan dalam konservasi. Secara etimologis konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save), yang berarti memelihara apa yang kita punya (keep/save what we have). Jadi, arti kata konservasi atau conservation bisa dikatakan ‘memelihara apa yang kita punya secara bersama.’ Ide 82 Momentum Citarum


ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan konsep konservasi. Kolaborasi adalah bentuk kerjasama yang menekankan proses berdasarkan konsensus. Dalam kolaborasi terjadi pembagian wewenang, peran, tugas, saling menghargai dan berkontribusi. Tonggak awal menuju kolaborasi dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia secara formal dimulai sejak terbit Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Peraturan ini tetap menegaskan kewenangan tunggal pengelolaan kawasan konservasi, yakni di tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian, pada tingkat pelaksanaan pengelolaan di beberapa tempat telah memperlihatkan adanya pelibatan para pihak, termasuk masyarakat setempat, LSM, perguruan tinggi, pihak swasta dan pihak lain yang memiliki kepedulian serta komitmen terhadap keberadaan kawasan konservasi. Keterliban para pihak tersebut diharapkan menjadi cikal-bakal tumbuhnya kolaborasi atau bentuk-bentuk kerjasama efektif lainnya. Penerbitan peraturan kolaborasi ini bersifat taktis untuk mengurangi konflik pengelolaan yang terjadi relatif merata di semua kawasan konservasi di Indonesia. Konflik tersebut amat beragam, mulai dari konflik di tingkat atas, yaitu pertentangan kebijakan antara pusat dan daerah, hingga tingkat bawah, yaitu konflik antara pengelola dengan masyarakat lokal. Di sisi lain, pemerintah juga memperkuat kebijakan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, baik melalui skema terpadu seperti pembentukan Desa Konservasi maupun melalui skema parsial atau tematik melalui pembinaan kegiatan ekonomi alternatif masyarakat sekitar hutan, pembentukan Pengamanan Hutan Swakarsa, Masyarakat Peduli Api, dan lain-lain. Upaya ini akan hilang nilai strategisnya jika tanpa peran aktif pemerintah daerah sebagai penanggung jawab pembangunan masyarakat di daerah. Proses untuk mewujudkan peran aktif pemerintah daerah ini seringkali sulit dikonkritkan, yang biasanya hanya terjadi “di atas kertas�. Upaya kolaborasi untuk melindungi habitat keanekaragaman hayati yang menuntut peran nyata pemerintah daerah juga telah dilaksanakan pada tingkat lanskap. Salah satunya dalam skema Cagar Biosfer. Namun, kolaborasi cagar biosfer juga kurang berjalan sesuai harapan. Sebagai contoh, kolaborasi dalam pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas yang zona intinya adalah kawasan TNGGP. Meskipun dipayungi oleh III. Hikmah & Pembelajaran 83


keputusan gubernur dan disepakati oleh para bupati, serta didukung oleh berbagai lembaga yang kredibel—bahkan melibatkan Lembaga PBB (UNESCO), tetapi aksi bersama antarpihak untuk cagar biosfer ini kurang tampak nyata di lapangan. Hal serupa terjadi juga di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Provinsi Riau, yang zona intinya adalah Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil. Proses menuju kolaborasi cenderung kurang lancar dan menuntut adanya pemikiran ulang. Pembelajaran fundamental dari program CWMBC dalam konteks kolaborasi cukup menarik untuk dipertimbangkan sebagai salah satu dasar dalam perubahan fokus dan orientasi kolaborasi dalam konservasi. Fokus dan orientasi kolaborasi hendaknya berubah, yaitu dari yang sebelumnya eksklusif, selalu terfokus dan berorientasi pada kawasan konservasinya, menjadi kolaborasi yang berfokus dan berorientasi pada pembangunan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Secara sederhana, perubahan tersebut dapat dimulai dengan mengganti istilah “kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi” menjadi “kolaborasi pembangunan masyarakat/desa sekitar kawasan konservasi”. Arah perubahan ini mendapat peluang yang sangat lebar dengan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan turunannya. c. Konsep Pengelolaan Kawasan Konservasi Pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi dapat digolongkan dalam empat dimensi kerja: pengelolaan kawasan, pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan daerah penyangga, dan pengelolaan kelembagaan. Kiprah setiap komponen program CWMBC dalam empat dimensi kerja tersebut dapat dipetakan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.1 dan diperjelas pada Tabel 3.1. Dari keempat dimensi kerja tersebut, inti dari konservasi terletak pada dimensi pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup: Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagian ahli dan pengambil kebijakan mengasumsikan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sebagai tiga pilar konservasi. Asumsi ini nampaknya kurang relevan jika menyimak hubungan ketiga aspek tersebut yang lebih mencerminkan sebuah tahapan: dimulai dengan perlindungan melalui penetapan, pengamanan dan penjagaan kawasankawasan yang dianggap penting secara ekologis, dilanjutkan dengan 84 Momentum Citarum


Manfaatkan secara bijak (wiseuse) agar konservasi bermanfaat bagi masyarakat, berkontribusi pada PDB, dll

Tetapkan, amankan dan jaga kawasan konservasi

Pelindungan

t t t t

Penetapan wilayah t Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK) Penetapan pola dasar t pembinaan program PSPK Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK t

Pengawetan

Penetapan dan penggolongan t yang dilindungi dan tidak dilindungi Pengelolaan jenis tumbuhan dan t satwa serta habitatnya secara In-situ: Inventarisasi, Pemantauan, Pembinaan habitat dan populasiny, Penyelamatan jenis, Pengkajian, penelitian dan pengembangan Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya secara Ex-situ: Pemeliharaan, Pengembangbiakan, Pengkajian, Penelitian dan pengembangan, Rehabilitasi satwa, Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Pemeliharaan dan pengembangbiakan

Pemanfaatan

Pemanfaatan kondisi lingkungan (wisata alam, panas bumi, pengatur tata air, dll) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; pemeliharaan untuk kesenangan)

pengawetan yang menekankan upaya mempelajari potensi kawasan dan merancang konsep pengembangannya, kemudian pemanfaatan potensi tersebut secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Kemampuan manusia dalam menciptakan metode dan teknologi untuk menggali data dan menghasilkan pengetahuan tentang sumberdaya alam hayati dan ekosistem selalu berkembang. Dengan demikian, data dan pengetahuan juga berkembang. Fenomena ini menyebabkan pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistem selalu memiliki aspek ketidakpastian. Padahal, kegiatan pengelolaan harus terus berjalan, tanpa bisa menunggu sampai pengetahuan yang dibutuhkan dianggap lengkap seluruhnya. Kondisi seperti ini menjadi dasar pijakan para ahli lingkungan dan sumberdaya ekosistem dalam mempromosikan konsep pengelolaan adaptif (adaptive management). Pengelolaan adaptif adalah proses berulangulang yang terstruktur untuk mengurangi ketidakpastian dari waktu ke waktu melalui sistem pemantauan. III. Hikmah & Pembelajaran 85


Dalam kerangka pikir pengelolaan adaptif, aspek pengawetan dalam pengelolaan kawasan konservasi mendapat posisi penting. Kegiatan identifikasi, inventarisasi, valuasi yang dilakukan secara reguler, dan pengembangan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, yang merupakan komponen kerja dalam aspek pengawetan, menyediakan data, informasi dan pengetahuan baru untuk perubahan-perubahan dalam perencanaan dan tindakan pengelolaan. Dengan menyimak tahapan Perlindungan-Pengawetan-Pemanfaatan serta kerangka pengelolaan adaptif di atas, dapat diperoleh beberapa pembelajaran fundamental dalam konteks konsep pengelolaan kawasan konservasi selama program CWMBC, yaitu: 1. Persepsi di kalangan masyarakat luas, terutama masyarakat sekitar kawasan konservasi, masih memandang konservasi hanya sebatas larangan-larangan. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terkesan hanya diarahkan untuk penjagaan dan pengamanan kawasan (perlindungan), serta pemulihan kawasan yang rusak melalui rehabilitasi dan restorasi (pengawetan). 2. Kegiatan pengawetan merupakan “jembatan� antara aspek perlindungan dan pemanfaatan. Data, informasi, dan pengetahuan mengenai potensi sumberdaya alam di kawasan konservasi, serta konsep pengembangan untuk pemanfaatannya adalah bagian kerja dalam aspek pengawetan. Walaupun di TNGGP tampak lebih maju daripada BBKSDA Jawa Barat, tetapi secara umum aspek pengawetan ini perlu diperkuat—atau 86 Momentum Citarum

KOMPONEN CWMBC Komponen 1

Pengelolaan Kawasan t 1emetaan batas kawasan konservasi lokasi proyek t 4VSvey lapangan batas kawasan TB. Masigit Kareumbi bersama BPKH t 3FLPNFOEBTJ SFLPOTUSVLTJ kawasan TB. Masigit Kareumbi. t "OBMJTJT QFSVCBIBO UVUVQBO lahan t 1embuatan peta-peta tematik t 1enataan blok t 1enyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di 8 lokasi CWMBC

Komponen 2

Komponen 3

Komponen 4

t 1embuatan Peta Desa yang menunjukan batas-batas kawasan konservasi. t 1eningkatan pengetahuan dan kesadaran mengenai kawasan konservasi


Tabel 3.1. Kontribusi CWMBC dalam Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi DIMENSI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem

Pengelolaan Daerah Penyangga

t %VLVOHBO QFOHBEBBO LFOEBSBBO operasional pengelolaan kawasan konservasi baik kendaraan roda dua dan roda empat t %VLVOHBO QFOHBEBBO QFSBMBUBO TVrvey (GPS, Kamera Trap, Kamera DSLR, tenda lapangan) t %VLVOHBO QFSBMBUBO QFNFUBBO QMPUUFS

t %VLVOHBO QFSMBUBO QFOHPMBIBO EBUB (laptop) t 1elatihan aplikasi Sistem Informasi Pengelolaan Kawasan Konservasi t 1elatihan Survey Biodiversity

t *nventarisasi keanekaragaman hayati di 8 kawasan konservasi di Hulu Citarum t ,ajian status perlindungan spesies di 8 kawasan konservasi t ,ajian spesies indikator setiap kawasan konservasi lokasi proyek CWMBC t .POJUPSJOH LFBOFkaragaman hayati dengan pendekatan PSP t 1embuatan Permanent Sampling Plot untuk pengamatan populasi dan habitat keanekaragaman hayati.

t ,ajian ekosistem referensi t 1enyusunan rancangan teknis restorasi ekosistem. t 1embuatan model restorasi habitat pada beberapa tipologi tapak. t 1embuatan sistem monitoring restorasi ekosistem t 1elaksanaan monitoring plot percontohan restorasi.

t 1elatihan pembuatan persemaian dan composting oleh masyarakat t 1elatihan monitoring restorasi ekosistem oleh masyarakat t 1elibatan masyarakat dalam pembuatan plot percontohan restorasi

t 1engembangan model imbal jasa lingkungan yang melibatkan masyarakat. t ,PPSEJOBTJ EFOHBO TUBLFIPMEFS pemanfaatan jasa lingkungan t 1embahasan pemanfaatan jasa lingkungan air dengan unsur pemerintah daerah baik di wilayah BBKSDA jabar maupun TNGGP.

t 1embuatan plot rehabilitasi lahan dengan agroforestry di sekitar kawasan konservasi.

Pengelolaan Kelembagaan

t %VLVOHBO QFOHBEBBO QFSBMBUBO pemantauan debit air (AWLR).

t 1embentukan kelembagaan Konservasi Desa (MDK) sebanyak 12 Desa di BBKSDA Jabar dan 1 Desa di TNGGP. t 1embinaan mayarakat di 8 Desa sekitar TNGGP. t Penyusunan Rencana Konservasi Desa (Master Plan MDK) secara partisipatif. t Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang berbudaya konservasi. t Penyusuanan Rencana Aksi bersama untuk pelestarian wilayah hulu Citarum di Kabupaten Cianjur.

III. Hikmah & Pembelajaran 87


mungkin dikonsep ulang. Aspek pengawetan adalah inti dari inti (core of the core) tindakan konservasi, sekaligus menjadi jantung pengelolaan adaptif. 3. Seluruh potensi kawasan konservasi selayaknya didayagunakan secara bijaksana dalam jangka panjang. Jika di masa lalu konservasi didekati dengan cara-cara defensif (pengamanan dan penjagaan) untuk mempertahankan keanekaraagaman hayati dan ekosistemnya, saat ini sudah harus berubah dengan cara-cara yang lebih terbuka, masyarakat peduli dan aktif mendukung konservasi bukan karena paksaan peraturan atau kebijakan, tetapi memang keberadaan kawasan konservasi dirasakan manfaatnya secara langsung. 4. Hingga saat ini, pemanfaatan yang berkembang hanya wisata alam. Berbagai potensi lain, seperti pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk mendukung budidaya dan bioprospeksi masih belum berkembang. Hal ini dikarenakan kegiatan aspek pengawetan masih lemah. Lebih jauh, aspek pemanfaatan yang saat ini berjalan dengan melalui mekanisme perizinan seakan tidak tersentuh oleh masyarakat. Misalnya, wisata alam yang selalu dikuasai pengusaha bermodal besar seringkali menimbulkan kecemburuan masyarakat sekitar kawasan konservasi. 3. Pembelajaran Komponen Kerja Program CWMBC Bagian ini akan mengupas ringkas pembelajaran yang lebih teknis dari pelaksanaan kegiatan pada setiap komponen program CWMBC. Secara umum muatan dalam bagian ini terdiri dari tujuan pembelajaran dari setiap komponen, materi dan hasil pembelajaran diperoleh dari setiap kegiatan. Komponen 1: Konservasi Keanekaragaman Hayati Tujuan pembelajaran dari komponen ini adalah memperbaiki perencanaan dan tindakan pengelolaan kawasan konservasi. Sementara materi pembelajarannya mencakup: inventarisasi keanekaragaman hayati, pemetaan habitat, pengembangan sistem informasi geografis dan sistem informasi manajemen. Keluaran langsung dari inventarisasi adalah data, yang selanjutnya diolah menjadi infomasi, dan dianalisis, sehingga menjadi paket-paket pengetahuan. Data merupakan modal dasar untuk membuat rencana yang tepat dan akurat. Sementara rencana adalah pedoman untuk bertin88 Momentum Citarum


dak dan pelaksanaannya akan berjalan baik jika ditunjang oleh sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, teknologi, jaringan kerja, dan anggaran. Logika ini yang menjadi konsep kerja Komponen 1 program CWMBC. Pada bab terdahulu telah disinggung, siklus pengolahan data tersebut merupakan wujud manajemen pengetahuan atau knowledge management. Artinya, data dari lapangan akan dianalisis, sehingga bernilai informasi, yang lalu dikemas secara sistematis menjadi paket-paket pengetahuan, yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan kebijakan pengelolaan. Dari sisi kebijakan, proses itu disebut pengambilan keputusan berdasarkan ilmu pengetahuan (scientific based decision making process). Untuk mendukung siklus tersebut berjalan, Komponen 1 telah mengembangkan sistem pemantauan keanekaragaman hayati yang terintegrasi dalam Sistem Informasi Management (SIM). Sistem ini merupakan siklus yang berjenjang untuk memperlakukan data dan informasi sebagai tulang punggung pengelolaan kawasan konservasi. Dalam kerangka sistem tersebut, kepala BBKSDA dan BBTNGGP berperan sebagai pengambil keputusan untuk tindakan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan. Namun bahan baku dari keputusan itu berasal resor yang berupa data lapangan yang dinamis. Data yang dihasilkan resor, lantas diolah sedemikian rupa menjadi informasi dan pengetahuan oleh seksi dan bidang pengelolaan wilayah dan bidang teknis. Pembagian peran tersebut sekaligus menegaskan tanggung jawab setiap jenjang unit pengelolaan dalam memastikan berjalannya pengelolaan kawasan konservasi. Kelancaran aliran data dalam SIM menjadi tanggung jawab setiap unit kerja secara berjenjang. Intinya, wujud pengelolaan di tingkat tapak akan terlihat dari adanya aliran data lapangan dari resor sampai Balai Besar, lantas ada respon balik ke lapangan. Dari aliran data, analisis, dan lantas tanggapan, akan tercermin tata kelola internal, yang akan berpengaruh pada kebaruan data, dan tindakan pengelolaan kawasan. Proses tersebut bersifat siklus dan simultan, yang akan berjalan efektif jika setiap pihak yang terlibat dalam struktur memiliki kapasitas sesuai fungsinya masing-masing4. Dengan demikian, kelemahan pada satu unit

Secara umum, kapasitas merupakan kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk dapat mengemban dan melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Kapasitas juga dapat diartikan dalam konteks sistemik: suatu entitas yang bekerja untuk mancapai tujuan bersama berdasarkan proses dan aturan tertentu (UNDP, 2005). 4

III. Hikmah & Pembelajaran 89


struktur akan berdampak pada lumpuhnya siklus ini. Dalam kata lain, SIM juga menjadi alat bantu untuk menilai kinerja pengelola, karena letak kelemahan dalam struktur organisasi pengelolaan akan mudah terdeteksi. Bila tidak ada kebaruan data misalnya, secara praktis bisa dibilang pengelolaan kawasan bermasalah. Andaikan ada kebaruan data, juga dapat ditelusuri apakah pengambilan keputusan memang berdasarkan informasi dari lapangan atau tidak. Struktur organisasi pengelolaan kawasan konservasi telah mencerminkan pengaturan peran dalam sistem ini. Gambaran umum mengenai hubungan antara struktur organisasi pengelola kawasan konservasi dengan SIM dan sistem pemantauan keanekaragaman hayati diperlihatkan pada gambar berikut:

Kebijakan

90 Momentum Citarum

Kepala Balai Mengambil Kebijakan Berdasarkan Pengetahuan

Balai

Pengetahuan

Bidang W ilayah dan Bidang Teknis Mengolah Informasi Menjadi Pengetahuan

Bidang

Informasi

Seksi Sebagai Pengolah data Menjadi Informasi

Seksi

Data

Resort Sebagai Produsen Data

Resort


Program CWMBC juga telah mengidentifikasi kebutuhan kapasitas pada setiap tingkatan organisasi, mengadakan sebagian perangkat keras dan lunak untuk kebutuhan operasi sistem, melakukan pelatihan, dan mendampingi beroperasinya SIM tersebut. Ini berarti program CWMBC telah berupaya melakukan peningkatan kapasitas, baik di tingkat individu maupun kelembagaan. Amanat lain dari program CWMBC adalah mengaitkan sistem informasi manajemen di tingkat UPT (BBKSDA Jawa Barat dan BBTNGGP) dengan sistem informasi di tingkat pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sejauh ini, rupanya sistem informasi manajemen dari program CWMBC hanya sampai di tingkat UPT. Ini bisa dimaklumi karena sistem informasi di tingkat pusat belum terbangun. Semestinya memang ada SIM yang terpadu yang bisa melacak apakah kebijakan dan manajemen pengetahuan di tingkat nasional berdasarkan informasi dan pengetahuan dari lapangan, atau apakah kebijakan yang telah ditetapkan telah dilaksanakan di lapangan. Hal terpenting adalah bagaimana pengambil keputusan di tingkat pusat bisa setiap saat memantau kinerja dan dinamika permasalahan di lapangan. Ini adalah salah satu bagian yang belum tergarap pada program CWMBC Komponen 1. Intervensi program CWMBC selanjutnya menyasar unit kerja terlemah untuk dijadikan prioritas, yakni resor, yang sekaligus menegaskan peran penting resor sebagai garda depan pengelolaan kawasan. Intinya, resor harus mampu dan berdaya. Wujud penguatan resor berupa pengembangan tata kelola di tingkat tapak, pelatihan personel, dan mengajak personel di lapangan dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan berpartisipasi dalam setiap tahap kegiatan, personel lapangan diharapkan memperoleh pengetahuan secara lengkap seiring dengan tahap kajian dan pelaksanaan program. Untuk memberdayakan resor, kebutuhan dasar sarana pengelolaan di tingkat tapak harus dipenuhi, seperti ketersediaan kantor, sarana komunikasi dan transportasi, peralatan kerja sesuai tipologi resor, serta pos jaga dengan sarana yang memadai agar personel betah bertugas selama 24 jam dengan penugasan bergilir. Hadirnya petugas di lapangan merupakan representasi eksistensi negara di kawasan konservasi. Kehadiran petugas berpengaruh terhadap kemantapan dan keamanan dari klaim pihak lain, mengurangi perambahan, perburuan satwa liar ataupun penebangan liar. Tantangan dalam konteks sumberdaya manusia di tingkat resor cukup berat. Petugas-petugas di resor ternyata adalah staf yang mendekati masa pensiun. Tentu saja, pengalaman dan wawasan personel senior III. Hikmah & Pembelajaran 91


tetap dibutuhkan dalam menghadapi dinamika di lapangan. Persoalannya, bagaimana mengimbangi personel senior dengan personel muda yang berwawasan baru dan segar. Distribusi personel di setiap resor perlu memperhatikan keseimbangan antara personel yang berpengalaman dengan personel muda yang membawa pengetahuan baru.

Alur Penilaian Kebutuhan Personel Resort

!

Fitur penting adalah komponen SDA yang menjadi fokus pehatian dalamkonservasi, missal: spesies langka, ekosistem unik, dll.

Tujuan Penetapan/ Penunjukan

Luas & Letak Resor Secara Administrasi

Luas mengindikasikan kebutuhan jumlah SDM. Letak mengindikasikan kompleksitas dan kebutuhan koordinasi.

Pemangkuan Blok Pengelolaan

Seluruh potensi tapak (ekologi, ekonomi, dan sosekbud) merupakan modal untuk mencapai tujuan pengelolaan.

Potensi Tapak/ Resor

Fitur Penting Tapak

Permasalahan Tingkat Tapak

Kelemahan internal dan ancaman dari luar yang telah atau akan menghambat kegiatan pengelolaan untuk mencapai tujuan.

Kegiatan Pengelolaan Tingkat Tapak

Kebutuhan SDM Tapak

Komposisi fungsi SDM dinilai dari kegiatan pengelolaan. Kompisisi jumlah SDM untuk setiap fungsi (PEH, Penyuluh, Polhut) dilihat dari luas dan letak tapak.

Secara fungsional, petugas lapangan semestinya terdiri dari Pengendali Ekosistem Hutan, Penyuluh, dan Polisi Hutan. Komposisi jumlah masing-masing tenaga fungsional tersebut ditentukan oleh kebutuhan kegiatan di tingkat tapak dengan memperhatikan tujuan spesifik, potensi, dan permasalahan setiap resor. Distribusi personel atau staf fungsional adalah wewenang kepala UPT, sehingga tidak ada halangan bagi kepala UPT untuk memperkuat resor dengan tenaga yang terampil, muda, dan berkapasitas. Bila resor diakui sebagai garda depan pengelolaan kawasan konservasi, maka UPT semestinya menggerakkan sumber daya manusia dan anggaran untuk memberdayakan resor. Pemberdayaan resor tak bisa hanya dilakukan dengan menuntut personel di lapangan untuk mencatat dan mengumpulkan data. Tuntutan itu harus disertai dengan menurunkan dan menyebar personel PEH 92 Momentum Citarum


ke kawasan. Tenaga inilah yang bertugas memantau dan membaca dinamika di lapangan. Untuk efektivitas pengelolaan, personel PEH semestinya dibekali dengan kapasitas khusus sesuai tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati. Dari hasil kajian Komponen 1, terlihat sekurangnya dibutuhkan PEH spesialis di bidang pengelolaan satwa liar, jasa lingkungan, ataupun restorasi ekosistem. Personel PEH spesialis inilah yang secara rutin meneliti dan memantau bersama staf resor lainnya. Intinya, PEH sangat dibutuhkan untuk berada di lapangan. Di pundak tenaga terampil inilah bertumpu harapan akan munculnya ide-ide kreatif dan inovatif untuk mengembangkan model-model perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang bersumber dari dinamika lapangan. Saat ini ada fenomena penumpukan tenaga terampil PEH di kantor UPT. Untuk mendistribusikan staf PEH ke lapangan, dengan demikian, sangat tergantung pada kapasitas dan visi pemimpin UPT dalam mengelola kawasannya. Alasan klasik yang kerap muncul adalah minimnya sumber daya manusia dan anggaran yang tidak memadai. Alasan yang seolah tak terpecahkan ini, yang kini justru makin rumit karena tak sedikit personel di lapangan yang mendekati pensiun, menuntut pemimpin UPT melakukan terobosan. Salah satu terobosan untuk mengantisipasi kekurangan personel lapangan adalah melibatkan pihak-pihak lain dalam pengelolaan kawasan. Kolaborasi atau kerjasama adalah cara yang bisa ditempuh untuk meringankan beban minimnya jumlah personel di lapangan. Selain itu, pelibatan masyarakat lokal dalam dua cara berikut bisa menjadi solusi. Cara pertama, anggota masyarakat dengan kualifikasi, sistem seleksi dan pembinaan tertentu direkrut menjadi personel pengelola resor. Cara kedua, mengintegrasikan pengelolaan kawasan konservasi dalam kelembagaan desa agar petugas resor memiliki mitra kerja di tingkat desa. Selain distribusi personel, pengelolaan berbasis resor juga mensyaratkan rencana pengelolaan dan rencana anggaran yang bottom-up: dimulai dari lapangan, lalu bergerak ke atas. Dasar pemikirannya, setiap resor memiliki tipologi yang menentukan kebutuhan tindakan pengelolaan berbeda. Dari tipologi ini, para personel resor, yang terdiri dari Polisi Hutan, Penyuluh dan PEH, akan memahami rencana kegiatan yang perlu dilakukan. Rencana kegiatan tersebut hanya bisa terealisasi bila ada dukungan anggaran, supervisi dan koordinasi dari setiap jenjang pengelolaan hingga pucuk pimpinan BBKSDA dan BBTNGGP. Dengan demikian, pengelolaan resor juga mensyaratkan kebijakan anggaran yang terbuka terhadap III. Hikmah & Pembelajaran 93


Para personel BBKSDA dan BBTNGGP mengikuti berbagai pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola kawasan konservasi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

masukan dari lapangan, yang tertuang dalam rencana pengelolaan berbasis resor. Tanpa adanya kebijakan anggaran tersebut, sangat sulit pengelolaan di tingkat lapangan bisa terwujud. Paparan di atas merupakan uraian ringkas bahwa pengelolaan berbasis resor berada di tataran paradigmatik. Artinya, gagasan pengelolaan di tingkat tapak lahir dari fenomena terabaikannya resor sebagai subsistem pengelolaan yang langsung berada di tingkat tapak. Resor yang tak berdaya berdampak pada lemahnya penegakan hukum, tidak hadirnya personel di lapangan, membuka peluang besar masuknya gangguan terhadap kawasan, dan lain-lain. Selama ini pengelolaan berbasis resor hanya dipahami sebagai kehadiran personel di lapangan. Pemahaman ini benar, tapi tidak lengkap, yang mereduksi pengelolaan resor sekadar hadir-tidaknya personel di lapangan. Untuk lebih jelas, secara ringkas, berikut ini adalah tahapan yang menunjukkan paradigma pengelolaan berbasis resor telah dilakukan di UPT:

94 Momentum Citarum


Tahapan Pengelolaan Berbasis Resort

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Menyusun Rencana Pengelolaan Resor: Yang berisi visi, misi, tujuan utama pengelolaan, potensi, masalah, rencana kerja, rencana anggaran dan sebagainya. Rencana pengelolaan ini harus memperlihatkan skala prioritas dengan target-target yang terukur. Membahas dan Menetapkan Rencana Pengelolaan Resor: Rencana pengelolaan dibahas di tingkat seksi dan bidang pengelolaan wilayah. Selanjutnya dinaikan ke Bidang Teknis Kantor UPT untuk mendapat pengesahan Kepala UPT. Memperkuat Kelembagaan Resort: Melengkapi kebutuhan SDM (PEH, penyuluh, dan polhut) sesuai kebutuhan pelaksanaan rencana pengelolaan. Melengkapi kebutuhan minimal operasional pengelolaan sesuai rencana (peralatan survei, sarana mobilitas, alat dan bahan aplikasi SIM yang sesuai tugas dan fungsi resor (blangko, tally sheet dan sebagainya). Meningkatkan Kapasitas: Meningkatkan kapasitas spesialisasi SDM resor, sesuai kebutuhan untuk menerapkan rencana pengelolaan dan operasi berbagai alat bantu pengelolaan. Termasuk peningkatan kapasitas masyarakat sebagai bagian personil resor. Memperkuat Kerjasama: Kerjasama dengan Perguruan Tinggi untuk penelitian kenekaragaman hayati, jasa lingkungan, dll. Kerjasama dengan LSM Lingkungan. Kerjasama dengan masyarakat untuk menjadi bagian dari personil resor (mengatasi terbatasnya personil PNS), dll.

Mengendalikan Pengelolaan Tingkat Tapak: Melakukan pembinaan teknis dan administrasi. Memantau dan mengevaluasi kinerja kegiatan pengelolaan oleh resor - menggunakan SIM sebagai alat bantu untuk memantau kegiatan tingkat tapak. Menerapkan sistem pelaporan.

III. Hikmah & Pembelajaran 95


Pengelolaan berbasis resor nampaknya memerlukan dorongan politik dari pucuk pimpinan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE). Norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) untuk pengelolaan berbasis resor perlu ditetapkan di tingkat pusat agar dilaksanakan oleh setiap UPT. Komponen 1 juga telah menghasilkan Rencana Aksi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Berbasis Resor untuk setiap kawasan yang tercakup di kawasan hulu Citarum. Dokumen ini berisi berbagai kegiatan, yang pada pokoknya mengadopsi hasil kegiatan empat komponen program CWMBC. Hanya saja, dokumen berjangka 2016 – 2020 itu memuat kegiatan yang bersifat sangat umum untuk ’rencana aksi pengelolaan berbasis resor’. Dokumen rencana aksi tersebut tidak disusun berdasarkan tipologi resor—bahkan sama sekali tidak menyebut tipologi resor. Salah satu hasil yang diharapkan dari Komponen 1 adalah munculnya tipologi setiap resor sebagai modal dasar menyusun rencana yang akurat. Seluruh dokumen rencana aksi berisi uraian rencana yang sama untuk semua resor, mulai dari jangka dan tata waktu, nomenklatur kegiatan dan sebagainya. Alhasil, rencana aksi ini masih mengabaikan prinsip spesifik lokal setiap resor. b. Langkah ke Depan Konservasi Keanekaragaman Hayati Komponen 1 telah menghasilkan berbagai capaian. Harapannya capaian-capaian tersebut membekali BBKSDA dan BBTNGGP dalam melakukan pengelolaan kawasan. Ada beberapa langkah untuk membuat berbagai capaian itu berdaya guna, terutama bagi BBKSDA Jabar yang wilayah kerjanya tercecer dari ujung barat pulau Jawa hingga batas timur Jawa Barat. Pertama, baik BBKSDA maupun BBTNGGP perlu melakukan internalisasi hasil-hasil kegiatan Komponen 1 kepada staf resor dan PEH. Internalisasi ini tentu saja akan melalui proses diskusi yang memancing daya kritis dari para PEH dan staf resor lain. Dengan cara ini diharapkan hasil-hasil dari Komponen 1 bisa bermanfaat dalam mendukung peningkatan kapasitas personel dan lembaga, bisa secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, upaya internalisasi diiringi dengan tinjauan ulang (review) terhadap Rencana Aksi Pengelolaan Berbasis Resor untuk setiap kawasan. Tinjauan ini untuk mengkaji prioritas kegiatan dan tata waktu untuk disesuaikan dengan kapasitas sumber daya manusia dan anggaran. 96 Momentum Citarum


Ketiga, meninjau kembali penataan blok yang disarankan oleh Komponen 1, yang dikaitkan dengan keberadaan resor yang telah ada saat ini. Penataan blok atau zona di dalam Rencana Aksi Pengelolaan belum ditindaklanjuti dengan penataan wilayah kerja yang disesuaikan dengan kemampuan UPT. Penataan blok atau zona lebih banyak menyangkut potensi keanekaragaman hayati, sebaran flora-fauna, kerusakan kawasan dan tingkat interaksi masyarakat dengan kawasan. Sementara itu, penataan wilayah kerja berhubungan dengan aksesibilitas, ketersediaan personel, anggaran, dan kemampuan UPT dalam memenuhi kebutuhan minimal resor sesuai tiplologinya. Dengan menggabungkan penataan blok dan penataan wilayah kerja diharapkan dapat diketahui kebutuhan yang realistis sesuai kemampuan UPT dalam mengelola kawasan. Keempat, menurunkan seluruh data dan informasi hasil kajian Komponen 1 ke tingkat resor. Ini sebagai upaya pembaharuan data dan informasi yang dibutuhkan oleh personel di lapangan, yang selanjutnya akan menentukan rencana kegiatan, skala prioritas dan kebutuhan sarana-prasarana di resor. Kelima, memanfaatkan dan merevitalisasi Sistem Informasi Manajemen kawasan yang telah dibangun oleh Komponen 1. Pemanfaatan SIM ini sekaligus untuk membangkitkan seluruh jenjang organisasi terlibat dalam pengelolaan kawasan, sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berjalannya SIM sekaligus memberikan petunjuk bahwa BBKSDA dan BBTNGGP memang benar-benar menerapkan pengelolaan berbasis resor. Jika sebaliknya yang terjadi, SIM tidak berjalan, berarti pengelolaan berbasis resor yang digaungkan selama ini hanya ada di atas kertas. Dalam konteks ini, SIM bukan hanya berarti WEB-Site atau portal informasi seperti yang bisa diakses saat ini. Keenam, membangun stasiun-stasiun penelitian keanekaragaman hayati di setiap kawasan konservasi untuk melakukan pemantauan di setiap kawasan konservasi. Upaya ke arah tersebut dimulai dengan memanfaatkan permanent sampling plot (PSP). Di dalam petak PSP dilakukan pengamatan satwa liar, adanya tanaman asing, pengamatan spesies indikator dan sebagainya, sebagai sarana untuk terus memperbaharui data dan informasi dari lapangan. Ketujuh, Direktorat Jenderal KSDAE menerbitkan NSPK pengelolaan berbasis resor merujuk pada tahapan pengelolaan berbasis resor yang telah disampaikan di atas. Resor adalah representasi Negara di tapak atau di lapangan. Oleh karenanya, kondisi dan kinerja resor juga mencerminkan kondisi dan kinerja Negara dalam mengelola kawasan konservasi. III. Hikmah & Pembelajaran 97


Komponen 2: “Pembangunan Pilot Restorasi Habitat�. a. Tumpuan Pemulihan Ekosistem Pegunungan Program CWMBC Komponen 2 berperan memberikan pembelajaran dalam memulihkan kawasan konservasi yang melindungi kekayaan hayati pegunungan Jawa. Apalagi upaya pemulihan ekosistem ini dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pelibatan masyarakat didasari pemikiran bahwa penyebab kerusakan adalah manusia, seperti perambahan untuk lahan pertanian dan pemukiman, pencurian kayu, perburuan satwa, dan lain-lain. Di sisi lain, konservasi keanekaragaman hayati akan berkelanjutan bila masyarakat dengan penuh kesadaran turut berpartisipasi melindungi kawasan konservasi dari berbagai bentuk gangguan manusia. Partisipasi akan terbentuk bila masyarakat mendapatkan manfaat dari kawasan secara berkelanjutan. Manfaat dan keuntungan itulah yang akan mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi. Selain partisipatif, Komponen 2 juga menunjukkan proyek CWMBC bersifat integratif. Hal itu terlihat dalam upaya restorasi yang melibatkan Model Desa Konservasi (MDK) yang dikembangkan oleh Komponen 4. Kelompok MDK terlibat dalam pekerjaan penanaman dan pemeliharaan pohon yang dilakukan oleh Komponen 2. Di sisi lain, agar kebutuhan kayu masyarakat tidak dibebankan ke hutan-hutan di kawasan konservasi, ada upaya rehabilitasi di lanskap produksi, yaitu penanaman model agroforestri di lahan-lahan komunal milik desa yang dilakukan oleh Komponen 4 bersama masyarakat. Sebagai upaya untuk merestorasi kawasan yang telah berubah, Komponen 2 memberikan beberapa pembelajaran bagi pengelola kawasan dan pihak-pihak lain. Misalnya saja, pada beberapa lokasi pilot restorasi, tanaman mengalami kegagalan dengan persentase hidup di bawah standar minimal. Penyebab kegagalan ditemukan, yaitu: kualitas bibit dan waktu tanam di lapangan. Jenis bibit tanaman endemik yang diambil secara cabutan dari alam memiliki peluang tumbuh lebih kecil dibandingkan dengan bibit hasil persemaian. Karena itu, untuk penyulaman tanaman disarankan menggunakan bibit yang telah dibina di areal persemaian, dan memilih bibit yang mampu tumbuh di bawah naungan. Pengembangan pilot restorasi di kawasan konservasi telah menghasilkan lima model pemulihan ekosistem. Model pertama: restorasi kawasan konservasi yang terdegradasi dengan kategori kerusakan ringan. Teknik restorasinya dengan mekanisme suksesi alami. 98 Momentum Citarum


Pertanian di dataran tinggi DAS Citarum belum menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Kawasan lanskap produksi ini sebenarnya juga berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Model kedua: restorasi kawasan konservasi yang terganggu dengan tingkat kerusakan sedang akibat perambahan untuk pertanian. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi. Model ketiga: kawasan konservasi yang terganggu spesies invasif. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi yang didahului dengan eradikasi spesies invasif. Model keempat: restorasi kawasan konservasi hutan monokultur. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi. Model kelima: restorasi kawasan konservasi yang terdestruksi. Teknik pemulihannya dengan rehabilitasi. Hal yang cukup menarik adalah adanya tegakan tusam (Pinus merkusii) di Blok Parabon, Desa Ciloto, Resor Mandalawangi. Ini merupakan zona rehabilitasi TNGGP, hasil perluasan kawasan yang berasal dari Perhutani. Vegetasi yang dominan adalah tusam yang bukan jenis endemik TNGGP. Karena kawasan ini termasuk bagian dari Taman Nasional, maka harus direstorasi kembali ke ekosistem aslinya. Kendala yang dihadapi adalah adanya zat alelopati pinus, sehingga diduga tidak memungkinkan vegetasi lain yang berdekatan dapat bertahan hidup. Ada dua alternatif untuk mengembalikan tegakan tusam menjadi hutan dengan jenis endemik dan berkeanekaragaman tinggi. Pertama, menebang tegakan pinus, dan menggantinya dengan jenis endemik. Tentu saja, bila pilihan ini dilakukan perlu kajian mendalam terhadap peraturan perundangan, silvikultur, lingkungan, dan kondisi sosial. Kedua, memperkaya tanaman endemik di bawah tegakan tusam. Mengingat pinus dikenal memiliki zat alelopati yang dapat mematikan tanaman lain, pilihan kedua ini juga membutuhkan kajian mendalam. Dari hasil survei Komponen 2 menunjukkan bahwa tanaman rasamala, ki bangkong, ki racun, huru, kileho, walen mampu tumbuh di bawah tegakan pinus. Dengan demikian, penggantian tegakan pinus dalam jangka panjang melalui penyiapan tegakan pengganti dari jenis endemik TNGGP berpeluang untuk diuji coba. Komponen 2 juga mengemban amanat menyusun peta jalan (roadmap) restorasi di delapan kawasan konservasi, sesuai dengan tipe ekosistem dan kerusakannya. Inilah yang akan menjawab pertanyaan tentang data luas kawasan konservasi yang rusak, tingkat kerusakan, seperti apa ekosistem referensinya, bagaimana cara merestorasi, seberapa lama serta kisaran biaya restorasi. Peta jalan akan menjadi bekal bagi BBKSDA dan BBTNGGP dan para pihak untuk melanjutkan restorasi di kawasan konservasinya. 100 Momentum Citarum


“Peta jalan akan menjadi bekal bagi BBKSDA dan BBTNGGP dan para pihak untuk melanjutkan restorasi di kawasan konservasinya.”

Peta Jalan Restorasi Ekosistem Kawasan Konservasi (REKK) di hulu DAS Citarum telah dibuat oleh Komponen 2. Program yang dicantumkan dalam peta jalan itu tidak hanya terkait dengan ekologi kawasan, tetapi juga masalah sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Tujuan peta jalan restorasi yang berjangka 2016-2020 ini harapannya memberi panduan restorasi ekosistem yang melibatkan masyarakat. Peta jalan restorasi memperlihatkan bahwa lahan yang terdegradasi seluas 1.551,1 hektare, dengan kegiatan restorasi yang direncanakan akan dilaksanakan mulai 2016 sampai 2020. Rata-rata luas lahan yang direstorasi berkisar 310 hektar per tahun. Selama kurun 2016-2018, pemulihan ekosistem akan terpusat di Taman Buru Masigit Kareumbi. Selanjutnya pada 2018-2019, restorasi dilakukan di Cagar Alam Gunung Burangrang dan Cagar Alam Kawah Kamojang. Dan pada 2020, kegiatan restorasi akan dilaksanakan di Cagar Alam Kawah Kamojang dan Cagar Alam Gunung Tilu. Skenario yang termuat dalam peta jalan restorasi sayangnya kurang selaras dengan Rencana Aksi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang dibuat Komponen 1. Untuk Taman Buru Masigit Kareumbi misalnya, kegiatan restorasi direncanakan selama 2018 – 2020. Sementara pada dokumen peta jalan restorasi, pemulihan akan berlangsung pada 2016 – 2018. Begitu juga untuk kawasan konservasi yang lain: semua akan berlangsung selama 2018 – 2020. Lantas, dokumen mana yang akan dianut oleh pengelola kawasan? Peta jalan restorasi tidak memberikan gambaran tentang standar dan kriteria setiap model restorasi. Peta jalan restorasi juga belum menyertakan perkiraan biaya sesuai model restorasi yang disarankan. Rupanya, pilot restorasi dan plot ekosistem referensi belum cukup waktu

III. Hikmah & Pembelajaran 101


Upaya pemberdayaan resor dilakukan dengan pelatihan dan pemahaman potensi setiap kawasan resor-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

untuk diperas nilai pengetahuannya dan dijadikan bahan untuk menyusun peta jalan restorasi. Meski begitu, Komponen 2 telah menyusun panduan praktis restorasi ekosistem—dengan merujuk pada berbagai literatur—sebagai bekal bagi pengelola kawasan untuk melaksanakan restorasi ekosistem di masa datang. Namun, tidak ada panduan yang secara khusus untuk setiap model restorasi yang disarankan. Para pengelola kawasan tampaknya masih harus mencari sendiri cara-cara restorasi untuk berbagai kondisi dan penyebab kerusakan kawasan yang mereka hadapi. Dengan lima model restorasi yang kualitatif, tidak sulit untuk membayangkan bahwa pengetahuan dari Komponen 2 kurang memenuhi kebutuhan para praktisi pengelolaan kawasan untuk melakukan restorasi. Terlebih lagi, BBTNGGP menghadapi hutan monokultur tusam yang asing. Bahkan tantangan restorasi di taman nasional ini tidak hanya terkait spesies asing, namun juga masalah sosial. Untuk yang terakhir ini, dengan pilot restorasi yang gagal di TNGGP, Komponen 2 dianggap kurang memberikan analisis mendalam dan rekomendasi bagi pemulihan ekosistem yang berhasil guna.

102 Momentum Citarum


“Restorasi ekosistem tidak hanya menyangkut urusan teknis penanaman, tapi juga harus melibatkan partisipasi masyarakat.�

b. Langkah ke Depan Restorasi Ekosistem Upaya restorasi ekosistem selayaknya memperhatikan sumber penyebab kerusakan lahan di setiap kawasan konservasi. Sumber permasalahan sangat penting untuk dimasukkan dalam upaya restorasi ekosistem yang melibatkan masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh Komponen 2. Melibatkan masyarakat nampaknya hanya bisa dilakukan melalui upaya lintas-sektoral, mengingat pendekataannya harus diarahkan pada konsep pemberdayaan masyarakat. Untuk menghentikan kegiatan masyarakat di dalam hutan harus dengan cara mencarikan alternatif kegiatan ekonomi lain. Untuk menumbuhkan keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan memulihkan hutan, maka harus ada manfaat dari hutan yang dirasakan oleh masyarakat. Keduanya adalah kerja lintas sektor yang bisa terwujud jika terjadi kolaborasi antara pengelola kawasan dengan pemerintah daerah dan para pihak terkait. Sinergi antarpihak ini akan meringankan beban keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta anggaran di BBKSDA dan BBTNGGP. Pengalaman menarik program CWMBC adalah sinergi antara Komponen 2 dengan Komponen 4 untuk mengurai permasalahan sosial dan ketergantungan warga pada kawasan konservasi. Restorasi ekosistem tidak hanya menyangkut urusan teknis penanaman, pemeliharaan dan penyulaman, tapi juga harus berorientasi pada mitigasi penyebab kerusakan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Masalah sosial yang dominan menegaskan bahwa saat melakukan restorasi, BBKSDA dan BBTNGGP harus memasukkan problem sosial dalam rencana teknis restorasi.

III. Hikmah & Pembelajaran 103


Komponen 3 a. Jalan Panjang Pendanaan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi dianggap sebagai cost centre dalam pembangunan. Banyak sebab yang melatarbelakangi anggapan ini, tetapi yang paling mendasar dikarenakan jasa lingkungan yang disediakan oleh kawasan-kawasan konservasi belum sepenuhnya dielaborasi untuk menjadi bagian dari sumber pendapatan langsung. Jika semua jenis jasa ekosistem dari kawasan konservasi bisa dinilai dan mekanisme kompensasi atas pemanfaatannya terbangun, akan terlihat nilai sesungguhnya dari kawasan konservasi. Â Beberapa bentuk pembiayaan konservasi di antaranya: investasi langsung pemerintah dalam bentuk dana publik (direct government investment) seperti APBN, APBD atau dana dari pemerintah luar negeri; investasi sukarela swasta (voluntary private investment) atau yang sekarang disebut dengan Coorporate Social Responsibility (CSR); investasi swasta beregulasi (regulated private investment), seperti imbal jasa ekosistem di Lombok dan Mataram; dan investasi swasta berbasis pasar (market based private investment), seperti izin usaha pengelolaan sarana wisata alam. Pemanfaatan potensi sumberdaya keuangan inovatif tersebut dapat diterapkan di tingkat internasional, seperti perdagangan karbon, keanekaragaman hayati (bioprospecting), di tingkat nasional maupun di tingkat regional dan lokal. Partisipasi swasta dalam konservasi sumberdaya alam mulai berkembang. Begitupun instrumen berbasis pasar mulai dibahas sebagai perangkat baru untuk mengerahkan investasi pada konservasi alam. Hal ini didukung oleh adanya kesepahaman internasional bahwa hutan adalah paru-paru dunia dan penyangga kehidupan, yang saat ini kondisinya terus menurun. Bahkan para ahli menyebutkan pembangunan berkelanjutan hanya bisa terwujud bila penghargaan terhadap jasa-jasa lingkungan berjalan secara kongkrit. Hingga saat ini baru ada empat jenis jasa lingkungan yang telah masuk ke dalam mekanisme pasar di tingkat nasional, yaitu pengatur tata air, pengusahaan tumbuhan dan satwa liar, penyerapan dan penyimpan karbon, dan kegiatan ekowisata. Perkembangannya memang belum menggembirakan, baru jasa keindahan bentang alam (scenic beauty) yang telah dimanfaatkan dalam bentuk ekowisata di hutan lindung dan hutan konservasi, walaupun cenderung memberikan akses hanya kepada pengusaha besar, sehingga keterlibatan masyarakat sekitar hutan sangat terbatas.

104 Momentum Citarum


Kawanan rusa timor di Taman Buru Masigit Kareumbi berpotensi untuk dikembangkan sebagai satwa buruan. Sayangnya, taman buru ini belum menjalankan fungsinya sebagai arena perburuan yang menyenangkan. Padahal, aktivitas berburu juga merupakan bentuk jasa lingkungan-Foto: Agus Prijono.


Jasa lingkungan air lebih familiar bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pengembangan imbal jasa lingkungan bisa dirintis dengan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pembiayaan secara sukarela-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

Masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui manfaat ekonomi, penguatan kapital sosial dan peningkatan kualitas sumber daya manusia atas jasa lingkungan hutan yang ada pada saat ini. Masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi, pada hakikatnya mengalami “kehilangan peluang� (opportunity loss) dari keberadaan kawasan konservasi. Mereka tidak bisa memanfaatkan lahan dan beberapa jenis sumberdaya alam yang berada di sekitar tempat hidupnya. Dalam perspektif ini, mereka semestinya menjadi pihak yang “dibayar� atau diberi kompensasi oleh para pemanfaat jasa lingkungan, sepanjang mereka sadar dan berupaya menjaga kelestarian alam di sekitarnya. Inilah alasan mendasar mengapa pengusahaan jasa lingkungan mesti diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat setempat. Jika tidak dilibatkan, persoalan sosial justru akan merembet pada gangguan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Program CWMBC Komponen 3, dalam kaitannya dengan pendanaan konservasi secara berkelanjutan melalui pembayaran jasa lingkungan, harus mengedepankan manfaat untuk masyarakat seki-

106 Momentum Citarum


tar kawasan konservasi dan berkontribusi langsung terhadap peningkatan pembiayaan konservasi. Secara berurutan, upaya Komponen 3 dalam mewujudkan harapan tersebut adalah: 1) mengidentifikasi jenis jasa lingkungan di 8 kawasan konservasi lokasi program; 2) menginventarisasi potensi beberapa jenis jasa lingkungan yang potensial dikembangkan sebagai proyek percontohan; 3) melakukan valuasi ekonomi terhadap beberapa jenis jasa lingkungan yang paling potensial dikembangkan; 4) melakukan analisis kelayakan terhadap paling kurang dua jenis jasa lingkungan yang paling potensial pasarnya; 5) melakukan upaya pengembangan pilot pembayaran jasa lingkungan. Kegiatan yang secara langsung menunjang lima tahap pengembangan jasa lingkungan tersebut, adalah: analisis kebijakan mengenai pengusahaan jasa lingkungan, analisis stakeholder, analisis harga, koordinasi dan kolaborasi dengan stakeholder, fasilitasi pembangunan kesepakatan antara penyedia dan penerima manfaat, dan pendampingan implementasi kesepakatan. Dalam proses identifikasi, Komponen 3 telah menjajaki peluang pengembangan jasa lingkungan air di Cagar Alam Burangrang, Taman Buru Masigit Kareumbi, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan Cagar Alam Gunung Tangkuban Parahu; jasa ketinggian di Cagar Alam Tangkuban Parahu, jasa penyerapan dan penyimpanan karbon di Cagar Alam Gunung Tilu. Pada akhirnya Komponen 3 telah menetapkan satu jenis jasa ekosistem yang dikawal untuk percontohan skema pembayaran jasa lingkungan, yaitu imbal jasa air di Taman Buru Masigit Kareumbi. Kawasan Masigit Kareumbi dikelilingi 32 desa dari sembilan kecamatan di tiga kabupaten. Jasa lingkungan air dari kawasan konservasi seluas 12.000 hektare ini menghidupi 32 desa. Secara kelembagaan, tentu saja pihak utama penyedia jasa di kawasan konservasi adalah BBKSDA Jawa Barat. Hanya saja, pada prinsipnya BBKSDA tidak bisa menerima benefit langsung dari imbal jasa lingkungan. Karena itulah, yang diharapkan dari skema imbal jasa adalah kontribusi dari pemanfaat yang menyadari bahwa pasokan jasa lingkungan berasal dari kawasan konservasi. Dari kesadaran itu, lantas pemanfaat tergerak memberikan kontribusinya kepada masyarakat di hulu—karena BBKSDA tidak bisa menerima dana dari masyarakat hilir. Sederhananya, imbalan dari masyarakat hilir bakal diterima masyarakat hulu, yang digunakan untuk pengembangan ekonomi dan pelestarian kawasan konservasi. Sementara itu, dari masyarakat hulu yang menerima imbalan jasa lingkungan, BBKSDA berharap tiga kontribusi: melestarikan keanekaragaman hayati, mengamankan kawasan, menjaga III. Hikmah & Pembelajaran 107


mata air dan sungai. Pendek kata, ada aliran imbalan jasa dari masyarakat hilir kepada komunitas di hulu, yang akan memberikan kontribusi dalam pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi. Dalam mengembangkan model imbal jasa di Taman Buru Masigit Kareumbi, Komponen 3 menyusun nota kesepahaman untuk pembiayaan konservasi yang berkelanjutan. Skema ini dilatar-belakangi terbatasnya dana konservasi, sementara laju deforestasi dan degradasi lahan berlangsung cepat. Nota kesepahamaan tersebut menautkan pemanfaat dengan penyedia jasa lingkungan air di daerah penyangga Masigit Kareumbi. Dengan demikian, mekanisme ini mensyaratkan adanya kesepakatan antara penyedia jasa lingkungan dan pemanfaatnya. Pada 14 Agustus 2015, bertempat di kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumedang, Ketua BPAB Mitra Sejahtera Desa Sindangpakuon, Supendi, dan Ketua kelompok MDK Sindulang, Hendra Purnama, menandatangani nota kesepahaman pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan air. Penandatangan nota kesepahaman juga dilakukan antara pemanfaat Pamdes Maju Makmur dari Desa Cihanjuang, yang diwakili ketuanya, Tarmidi, dan penyedia yang diwakili Ketua Kelompok Lestari, Cimanggung, Aon Sumantri. Lantas, disusul oleh Ketua KSM Tirta Pakuon, Ogi Diana Yusup, yang meneken nota kesepakatan dengan Asep Saepudin sebagai Ketua Kelompok MDK Tanjung Wangi. Tantangan setelah penandatanganan kesepahaman adalah berjalannya seluruh komitmen dalam nota tersebut. Bila nota kesepahaman berjalan efektif, maka akan ada aliran kontribusi dari masyarakat hulu ke hilir. Setelah program CWMBC selesai, BBKSDA Jawa Barat diharapkan memetik pelajaran dan manfaat dari kontribusi aksi masyarakat di bagian hilir. Pada saat yang sama, masyarakat di hulu akan menjalankan komitmennya di tapak kinerja—lokasi untuk menjalankan komitmen di nota kesepahaman. Nampaknya, masih diperlukan energi besar untuk mewujudkan imbal jasa lingkungan yang sesungguhnya. Hal ini mengingat, hingga program CWMBC berakhir, Komponen 3 hanya berhenti pada capaian penandatanganan nota tersebut. Energi terbesar terutama perlu dicurahkan untuk menjalin kesepahaman seluruh pihak di 32 desa di sekitar Masigit Kareumbi—nota itu diteken hanya melibatkan dua desa, yang diwakili kelompok tertentu. Upaya keras itu tentu saja meluas seiring cakupan imbal jasa. Dengan demikian, dalam pengembangan imbal jasa diperlukan pendampingan bagi masyarakat hulu untuk mencari solusi bila timbul sengketa 108 Momentum Citarum


air. Pendampingan juga diperlukan untuk memberikan pemahaman bersama, antara masyarakat hilir dan hulu. Bagi masyarakat di hilir—industri dan usaha, yang berperan sebagai pemanfaat, juga perlu memahami, lalu menyadari, asal jasa lingkungan air. Pada tataran selanjutnya, andaikan ada pemahaman dan kesepahaman di antara pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan, masih diperlukan upaya bersama menjaga komitmen kedua belah pihak. Dokumen Rencana Aksi Pengelolaan untuk setiap kawasan konservasi yang tercakup di hulu Daerah Aliran Sungai Citarum yang disusun oleh Komponen 1, memang mencantumkan imbal jasa lingkungan sebagai bagian untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati. Hanya saja rencana aksi tersebut sekadar memberikan panduan normatif bagi pengembangan imbal jasa lingkungan. Amat disayangkan, pengembangan model imbal jasa di Masigit Kareumbi kurang tergarap sehingga miskin nilai pembelajaran untuk pengelolaan kawasan konservasi. Apalagi, rencana aksi juga tidak memberikan gambaran secara umum tentang potensi jasa lingkungan di delapan kawasan konservasi. (Tidak hanya air, namun juga jasa penyerapan dan penyimpan karbon, wisata alam, ataupun jasa ketinggian tempat.) Idealnya, Komponen 3 menyediakan seluruh potensi dan peluang jasa lingkungan di setiap kawasan. Kajian dan tahap-tahap pengembangan jasa lingkungan hanya fokus di Cagar Alam Gunung Burangrang, Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu dan Taman Buru Masigit Kareumbi. Sedangkan untuk kawasan lain, masih memerlukan inventarisasi, valuasi dan pemetaan pemanfaat-penerima jasa lingkungan. Itu baru menyangkut imbal jasa lingkungan di tataran masyarakat. Komponen 3 sebenarnya bisa melakukan tinjauan lebih luas terkait kebijakan pemerintah daerah yang bersinggungan langsung dengan kawasan konservasi. Di Masigit Kareumbi misalnya, terdapat tiga kabupaten: Sumedang, Garut dan Bandung. Tanpa dukungan kebijakan pemerintah setempat (kabupaten dan provinsi), mekanisme imbal jasa lingkungan bagi pendanaan konservasi keanekaragaman hayati mustahil terwujud. Agar mekanisme imbal jasa lingkungan berjalan, harus diikuti dengan fasilitasi dan asistensi dari pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat telah memberikan payung hukum melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penaatan Hukum Lingkungan. Bahkan pemerintah provinsi juga menerIII. Hikmah & Pembelajaran 109


Ikatan masyarakat dataran tinggi dengan alam sekitarnya begitu tinggi. Relasi tersebut bisa dijadikan modal sosial bagi pengelolaan DAS Citarum-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

bitkan aturan khusus jasa lingkungan: Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2015. Seluruh payung kebijakan tersebut, idealnya, masuk dalam radar analisis Komponen 3, entah itu menyangkut kendala, peluang, dan tantangan. Dalam rencana aksi pengelolaan memang terdapat usulan tentang trust fund (dana amanah atau dana abadi publik) untuk jasa lingkungan. Hanya saja, ide trust fund menarik dibicarakan, namun tak mudah diwujudkan. Untuk menggagas pendanaan konservasi berkelanjutan melalui trust fund memerlukan inisiasi dari pihak-pihak terkait untuk mendorong terbentuknya lembaga yang terhubung dengan badan nonstruktural di tingkat daerah. Artinya, Komponen 3 meninggalkan beban pekerjaan kepada pengelola, tanpa ada pembelajaran dalam merintis lembaga trust fund. Mekanisme trust fund, pendanaan dengan cadangan modal berjangka panjang, hingga kini belum memiliki landasan hukum undang-undang. Pemerintah memang mulai menyadari pentingnya landasan hukum untuk pembentukan trust fund dengan kebijakan dan lembaga-lembaga temporer—sekadar untuk menarik dan memanfaatkan dana hibah cepat. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2011 tentang dana perwalian menunjukkan upaya pemerintah menutup kekurangan legalitas tersebut. Tetapi, peraturan itu tidak cukup dan

110 Momentum Citarum


“Di masa datang, kawasan konservasi akan menjadi wilayah alami terakhir yang menopang kehidupan manusia.” tak berhasil mengatasi masalah pokoknya, karena trust fund tetap tidak bisa diberikan langsung kepada lembaga multipihak yang independen, melainkan harus melalui jalur birokrasi dan prosedur anggaran pemerintah. Cakupan trust fund yang luas dan multipihak itu dalam Rencana Aksi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Berbasis Resor dipandang sebagai upaya pendanaan konservasi mandiri. Alur pikirnya benar, namun silap dalam mendudukkan lembaga trust fund di tingkat resor—kendati dengan rincian tugas dan tanggung jawab hingga kantor bidang. Hasil yang diharapkan adalah sekadar tersusunnya konsep trust fund sampai tahun 2020. Sekali lagi, trust fund adalah skema yang mudah dibicarakan di forum-forum diskusi, namun butuh usaha keras dan sulit diwujudkan. Sebenarnya, Komponen 3 mempunyai peluang besar sebagai contoh dalam pengembangan jasa lingkungan di kawasan yang dikelola BBKSDA Jawa Barat. Setakat ini, tidak banyak—bahkan mungkin belum ada—imbal jasa di kawasan yang dikelola BBKSDA. Ini berbeda dengan kawasan taman nasional yang telah ada contohnya, semisal di Taman Nasional Gunung Ciremai. b. Langkah ke Depan Pendanaan Konservasi Di masa datang, kawasan konservasi akan menjadi wilayah alami terakhir yang menopang kehidupan manusia. Peran penting itu membuka peluang untuk mengembangkan mekanisme imbal jasa lingkungan sejak sekarang. Kegiatan Komponen 3 memang menyediakan wawasan baru tentang jasa lingkungan di beberapa kawasan konservasi. Namun, mengingat jasa lingkungan di kawasan konservasi begitu beragam, sepatutnya BBKSDA dan BBTNGGP menyiapkan beberapa kemungkinan untuk meraih peluang pendanaan konservasi di masa datang. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan, dengan berbekal kegiatan yang telah dirintis oleh Komponen 3. III. Hikmah & Pembelajaran 111


Pertama, meninjau kembali pengembangan imbal jasa yang melibatkan masyarakat di sekitar Taman Buru Masigit Kareumbi yang telah dirintis Komponen 3. Peninjauan ini menyangkut pihak masyarakat yang berperan sebagai penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan air. Kajian Komponen 3 menunjukkan, selain masyarakat juga ada pemanfaat dari pihak bisnis atau perusahaan. Karena mekanisme imbal jasa bisa bersifat sukarela (voluntary) dan wajib (compliance) maka perlu juga memetakan pihak-pihak pemanfaat yang sesuai dengan dua mekanisme tersebut. Pemanfaat dari masyarakat lebih sesuai dengan mekanisme sukarela, sementara dari pihak bisnis lebih cocok secara wajib. Dua mekanisme tersebut juga memiliki konsekuensi bagi peran dan fungsi pengelola kawasan konservasi dalam imbal jasa lingkungan. Dalam mekanisme sukarela, pengelola kawasan akan berperan sebagai pendamping bagi masyarakat yang menjadi penyedia jasa. Sementara dalam mekanisme wajib, pengelola kawasan konservasi berperan sebagai regulator kebijakan. Dari hasil pemetaan para pihak, nantinya pengelola kawasan dituntut untuk kreatif dalam membuka peluang dan terobosan pendanaan konservasi. Misalnya saja, imbal jasa lingkungan dari pihak perusahaan bisa berbentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Barangkali, tidak semua pihak pemanfaat harus menjalankan imbal jasa lingkungan. Namun bisa dilakukan seleksi ketat pihak pemanfaat potensial, beserta pihak penyedia, untuk menjalankan imbal jasa lingkungan sebagai acuan (benchmark) pengembangan pendanaan konservasi. Dari poin pertama, tersirat bahwa pengelola kawasan konservasi dituntut harus berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait. Hal ini dikarenakan jasa lingkungan dirasakan manfaatnya oleh pihak-pihak di luar kawasan konservasi. Dengan demikian, pada poin kedua, pengelola kawasan konservasi perlu berkolaborasi dengan pemerintah setempat, baik desa maupun kabupaten, yang bersinggungan dengan kawasan konservasi. Baik pengelola kawasan konservasi maupun pemerintah daerah dapat berbagi peran dalam mengatur mekanisme imbal jasa lingkungan. Apapun bentuknya, pada hakikatnya, hasil dari imbal jasa lingkungan harus kembali ke kawasan konservasi baik langsung maupun tidak langsung. Ketiga, perlunya melakukan kajian terhadap seluruh potensi jasa lingkungan di kawasan konservasi, entah air, karbon, maupun wisata. Untuk karbon, Komponen 3 telah memberikan contoh dalam skema pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Kawasan konservasi memiliki jasa ekosistem dalam penyimpanan karbon (carbon

112 Momentum Citarum


Tajuk yang rapat dan bertingkat-tingkat di hutan konservasi adalah sebentuk jasa lingkungan dalam mengurangi erosi dan banjir bagi dataran yang lebih rendah-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Program CWMBC memberikan perhatian khusus dalam peningkatan kapasitas pengelola kawasan konservasi. Harapannya, upaya ini akan berhasil guna dalam melestarikan keanekaragaman hayati-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

stock). Ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon yang berasal dari deforestrasi dan degradasi hutan. Pengembangan karbon dapat dilakukan di hutan konservasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD). Kajian ini dilakukan sebagai tahap awal dalam persiapan pengusulan Demonstration Activities (DA) dari skema REDD+ di Cagar Alam Gunung Tilu. Dalam dokumen tersebut diuraikan tentang perlunya meningkatkan kapasitas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam skema REDD. Untuk itu, pihak pengelola kawasan konservasi perlu menindaklanjuti untuk meningkatkan kapasitas personel dan lembaganya dalam skema REDD. Hal ini penting dengan melihat potensi dan peluang skema REDD di masa datang. Kapasitas yang diperlukan bagi pengelola meliputi pemahaman tentang perubahan iklim dan REDD, perdagangan karbon, penghitungan cadangan karbon, sampai skema pembayaran karbon.

114 Momentum Citarum


Peluang dalam REDD sangat terbuka lebar karena dunia memberikan perhatian pada perubahan iklim, yang berkaitan erat dengan skema REDD. Tak ada jalan lain bagi pengelola kawasan konservasi untuk mengarusutamakan kawasan konservasi dalam skema REDD. Selain karbon, perlu juga dilakukan peninjauan ulang tentang kontribusi kawasan Taman Wisata Alam dalam menyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Baik BBKSDA maupun TNGGP memiliki kawasan ekowisata yang punya peran penting dalam menyumbang PNBP. Sebagai contoh Komponen 3 melakukan kajian dampak ekonomi ekowisata di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu. Dari paparan hasil kajian diketahui bahwa terdapat kecenderungan kenaikan PNBP dari tahun ke tahun. Selama 2007-2009 PNBP masih di bawah Rp1 miliar per tahun, namun sejak 2010 PNBP meningkat secara signifikan. Peningkatan ini terjadi karena jumlah pengunjung naik secara drastis sejak 2009. Pertanyaannya, apakah nilai PNBP tersebut sebanding dengan eksternalitas negatif yang ditanggung Tangkuban Parahu akibat pengunjung yang banyak? Apakah nilai PNBP juga sudah memperhitungkan saat Tangkuban Parahu berstatus siaga, sehingga jumlah pengunjung turun, dan berdampak domino bagi ekonomi sekitar? Rupanya, kajian Komponen 3 tidak memberikan jawaban atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengunjung maupun dampak domino bila Tangkuban Parahu terlarang untuk dikunjungi. Dalam konteks itulah, antara biaya eksternal dan status terlarang saat Tangkuban Parahu aktif, biaya tiket masuk harus diperhitungkan. Untuk itu pula, pengelola kawasan masih punya pekerjaan rumah untuk meninjau kembali harga tiket masuk di Tangkuban Parahu maupun kawasan konservasi yang lain. Peninjauan ini juga akan memiliki nilai informasi bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menentukan kategorisasi biaya masuk kawasan konservasi di Indonesia. Komponen 3 rupanya silap untuk memberikan pengetahuan baru dalam konteks sumbangan kawasan konservasi dalam meningkatkan PNBP, sambil mengabaikan biaya recovery atas eksternalitas negative yang harus ditanggung kawasan konservasi. Pendanaan konservasi memerlukan proses panjang yang melibatkan banyak pihak. Jadi, tak ada waktu lagi untuk menunda inisiasi pengembangan imbal jasa lingkungan di kawasan konservasi. Penerapan imbal jasa lingkungan akan menghapus stigma bahwa kawasan konservasi hanya melindungi keanekaragaman hayati, namun melupakan aspek pemanfaatannya.

III. Hikmah & Pembelajaran 115


Komponen 4 a. Masa Depan Konservasi di Lanskap Produksi Model Desa Konservasi adalah desa percontohan bagi desa lain dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Tujuannya: membangun wilayah sekitar kawasan konservasi yang berwawasan lingkungan dan mendukung konservasi kekayaan hayati. Upaya konservasi di lanskap produksi mewujud dalam beberapa kegiatan. Aktivitasnya berupa pengembangan Model Desa Konservasi; rehabilitasi lahan di lanskap produksi; mendorong usaha alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan sembari mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi; dan kampanye penyadaran untuk mendukung pengelolaan DAS Citarum yang lestari. Namun, kiprah Komponen 4 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu memberikan contoh dalam pembangunan wilayah di sekitar kawasan konservasi di hulu DAS Citarum. Seiring berlakunya Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, pengembangan Model Desa Konservasi menemukan momentumnya dalam berkontribusi untuk pembangunan desa. Dalam konteks itulah, Komponen 4 memfasilitasi penyusunan rencana induk atau masterplan MDK. Kini, telah tersusun rencana induk MDK di 13 desa yang berguna sebagai rujukan bagi kegiatan di desa. Dokumen ini berisi rencana kegiatan pembangunan desa yang berkaitan dengan pengelolaan DAS Citarum dan kawasan konservasi. Kelak, seiring berlakunya Undang-undang Desa, rencana induk itu diharapkan dapat menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Pada tataran pengetahuan, penyusunan rencana induk bisa dipandang sebagai peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam merespon Undang-Undang Desa yang mensyaratkan adanya RPJMDes. Artinya, dengan terlibat dalam penyusunan rencana induk MDK, anggota punya pengalaman untuk berkontribusi dalam penyusunan RPJMDes. Dokumen RPJMDes disusun dengan melibatkan pihak-pihak terkait di desa untuk memahami potensi dan tata ruang desa. Dengan demikian, masyarakat desa akan membuat RPJMDes sesuai dengan modal alam, modal sosial dan modal keruangan. Lantaran itulah, pengembangan MDK juga mengajak kelompok untuk merancang tata ruang desa. Rencana tata ruang desa untuk menyelaraskan pembangunan desa dengan kawasan hutan. Selama ini, disadari kawasan konservasi rentan terhadap perkembangan pembangunan yang tidak diimbangi dengan perencanaan tata ruang perdesaan. Alhasil,

116 Momentum Citarum


Masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilibatkan dalam skema imbal jasa lingkungan. Dari imbalan itu, masyarakat hulu akan menjaga kawasan konservasi-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Peternakan ayam kampung di MDK Cihanjawar telah berkembang menjadi usaha alternatif bagi sebagian warga desa-Foto: Agus Prijono.

pembangunan desa menjadi tidak beraturan yang akan mengganggu kemantapan kawasan konservasi. Dengan demikian, RPJM desa sangat berkaitan dengan rencana tata ruang desa. Sementara pada tataran yang lebih tinggi, tata ruang desa harus sejalan RTRW kabupaten. Dan, RTRW kabupaten bisa disahkan, jika sejalan dengan tata ruang Kehutanan. Dengan penalaran seperti itu, rencana tata ruang desa tidak bakal bertubrukan dengan tata kawasan hutan. (Misalnya, pengembangan pertanian di wilayah desa tidak akan dilakukan di kawasan hutan—sehingga mencegah perambahan hutan.) Kendati program CWMBC telah di ujung waktu, MDK masih akan berkiprah dalam pembangunan desa. Seluruh capaian MDK, mulai dari kegiatan membuat rencana tata ruang desa dan inventarisasi potensi desa diharapkan akan melebur dan mewarnai RPJMDes. Sumbangan ini akan memberikan pembelajaran bagi para pihak yang terkait dengan desa di sekitar kawasan konservasi. Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, pembangunan MDK dibarengi dengan usaha alternatif di 13 desa. Usaha kelompok ini untuk mengurangi tekanan terhadap keanekaragaman hayati di-

118 Momentum Citarum


“MDK juga mengajak kelompok untuk merancang tata ruang desa, untuk menyelaraskan pembangunan desa dengan kawasan hutan.� lakukan di tujuh kawasan konservasi. Bentuknya macam-macam. Selain produksi gula aren, ternak ayam, ada juga ternak kelinci, budidaya bunga hebras. Pendek kata, wujud usaha alternatif tersebut sebagai hasil curah pendapat setiap kelompok Model Desa Konservasi. Selama pendampingan Model Desa Konservasi, dari 2013 sampai 2015, salah satu tantangannya adalah akses pasar bagi produk-produk usaha alternatif. Untuk itu, Komponen 4 mengembangkan jaringan dan forum kemitraan usaha dengan para pihak bagi kelompok MDK. Dengan melebarkan sayap jaringan, diharapkan kelompok MDK mampu mandiri dan bermitra dengan para pihak. Dengan adanya RPJMDes, usaha alternatif tersebut bisa masuk dalam kerangka pembangunan desa. Artinya, dari sisi keberlanjutan dan kemandirian, capaian Model Desa Konservasi akan memperoleh kesempatan dalam jangka panjang. Kemandirian dan keberlanjutan sebaiknya dimaknai dalam konteks pembangunan di tingkat pemerintahan terkecil, yaitu desa. Dengan begitu, seiring berakhirnya program CWMBC, kemandirian bukan berarti kelompok MDK—dan juga kelompok yang lain di desa—benar-benar lepas tanpa bimbingan, pendampingan dan fasilitasi pemerintah desa dan pihak terkait. Hanya mesin birokrasi di tingkat desa, seturut penalaran RPJMDes, yang mampu menggulirkan modal sosial bagi kemandirian masyarakatnya. Kelak, apapun bentuk dukungan Balai Besar KSDA Jawa Barat ataupun pembinaan daerah penyangga Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango harus sesuai dan seturut dengan RPJMDes. Begitu juga dukungan dari instansi pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi. Dalam ujaran lain, RPJMDes akan memandu seluruh institusi pemerintah dan pihak lain dalam memberikan dukungan bagi pembanIII. Hikmah & Pembelajaran 119


gunan wilayah desa. Hal ini memiliki manfaat strategis: menghilangkan egosektoral dan memudahkan koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak terkait. Selama ini, berbagai pihak, bahkan di instansi kabupaten, memiliki berbagai rencana program di desa. Sayangnya, rencana program itu datang dan pergi tanpa melihat dan memperhatikan potensi, tata ruang dan kebutuhan desa. Alhasil, hal itu hanya mendidik masyarakat sebagai penerima program tanpa memahami dan memaknai Sementara bagi pengelola kawasan konservasi, RPJMDes akan memudahkan dalam melibatkan masyarakat dalam pelestarian alam. Berdasarkan logika bahwa desa akan membuat rencana tata ruang sesuai kawasan hutan, bagi pengelola kawasan konservasi hal itu adalah peluang positif. Tata ruang desa sebenarnya lebih detail dan nyata dibandingkan dengan tata ruang kabupaten. Bahkan, setiap ruang desa bisa dicek dan dikunjungi oleh pihak-pihak terkait. Dengan menilik potensi dan tata ruang yang tertuang di RPJMDes, pemerintah desa bisa memberikan kesempatan bagi pengelola kawasan dalam bekerjasama dengan masyarakat. Manfaat lainnya adalah peluang bersinerginya pengelolaan di tingkat tapak (resor) kawasan konservasi dengan birokrasi di pemerintahan tingkat tapak (desa). Bertemunya dua ujung tombak yang berbeda ranah, namun sama-sama mewakili eksistensi negara di unit terkecil, akan memudahkan kedua pihak dalam mencapai pengelolaan DAS Citarum yang lestari. Pengelola kawasan konservasi di lapangan dapat menjaga dan melindungi kawasannya, sementara pemerintah desa bisa membangun wilayahnya sesuai kaidah konservasi. Berbeda dengan desa-desa lain, desa di sekitar kawasan konservasi sudah pasti memiliki potensi dan tata ruang yang akan mewadahi budaya konservasi. Apapun rencana pembangunan desa, masyarakat sekitar kawasan tidak akan mengabaikan keberadaan hutan konservasi. Bahkan, masyarakat desa sangat memahami fungsi daerah tangkapan air di desanya hanya dengan melihat derajat kelerengan, aliran sungai dan sumber air. (Di Jawa Barat, kearifan lokal mengajarkan wilayah hutan sesuai fungsinya: leuweung larangan dan sebagai.) Pada hakikatnya, pemerintahan desa merencanakan pembangunan sesuai dengan tata ruang dan potensinya. Pembangunan desa yang sesuai kaidah konservasi akan mendorong pengelola kawasan konservasi membangkitkan personel di lapangan dalam memfasilitasi masyarakat dalam pelestarian. Inti dari program CWMBC bagi pembangunan wilayah adalah menciptakan desa berbudaya konservasi dengan memetakan potensi sumber daya alam desa, menyusun tata ruang desa, dan menyusun RPJMDesa yang berbudaya 120 Momentum Citarum


konservasi. Indikator pembangunan desa berbudaya konservasi bisa dilihat dalam RPJMDes selama enam tahun, yang mencatumkan kegiatan konservasi. Dari situ, lantas diturunkan dalam rencana kegiatan pemerintah desa setiap tahun. Jadi setiap tahun, desa akan melangsungkan kegiatan konservasi. Dengan demikian, bermula dari tingkat desa dengan kegiatan MDK, pengarusutamaan konservasi akan berlanjut ke tingkat kabupaten dan provinsi. Dari sisi keberlanjutan program, modal sosial dari MDK akan bersenyawa dengan pembangunan desa melalui RPJMDes yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi dan fungsi DAS Citarum. b. Langkah ke Depan Dari pengalaman kegiatan Komponen 1, 2, dan 3 menunjukkan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi sangat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Pembelajaran dari tiga komponen tersebut dilengkapi dengan Komponen 4 yang makin menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat yang hidup di desa-desa sekitar kawasan konservasi. Mengingat BBKSDA dan BBTNGGP telah merintis hubungan dengan pemerintah daerah, maka Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, yang mengelola program CWMBC, bisa mempertegas dan menindaklanjuti upaya UPT tersebut. Upaya tersebut untuk mempermudah kolaborasi untuk memelihara dan melanjutkan capaian program CWMBC di masa depan. Komponen 4 memberikan pembelajaran bahwa masih diperlukan identifikasi pembangunan desa yang sesuai dengan potensi desa dan fungsi kawasan konservasi. Komponen 4 mengelompokkan tujuh basis pengembangan desa, yaitu berbasis pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pariwisata, dan industri rumah tangga. Tujuh basis pengembangan desa ini tentu saja masih terbatas dalam cakupan kelompok MDK. Untuk setingkat desa, masih memerlukan penajaman dan pelibatan pihak-pihak terkait di desa. Pada hakikatnya, Komponen 4 telah memberikan gambaran umum tentang potensi desa dalam sudut pandang kelompok MDK. Modal sosial inilah yang harus diteruskan, untuk memperbesar efek bola salju program CWMBC dalam konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi.***

III. Hikmah & Pembelajaran 121


IV. Menjaga Momentum Citarum Program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation telah meletakkan fondasi pengelolaan kawasan konservasi bagi pengelolaan DAS Citarum yang lestari. Demi menjaga momentum keberlanjutan, program ini akan menautkan capaian-capaian komponen kerja dalam pembangunan desa. Inilah sebuah langkah keluar program CWMBC yang strategis dan berjangka panjang.

P

ada akhirnya, program CWMBC dituntut untuk menegaskan arti dari setiap jejaknya sekaligus memberikan titik tumpu bagi para pihak terkait untuk menjaga dan memulihkan kondisi hulu Citarum dalam jangka panjang. Dasar pikir yang dipakai untuk menanggapi tuntutan tersebut cukup sederhana, bahwa pelestarian hulu Citarum akan efektif jika pengelolaan di tingkat tapak berjalan intensif, seiring dengan berjalannya pembangunan masyarakat di tingkat tapak. Istilah ‘tapak’ dalam hal ini menyasar dua entitas, yaitu resor sebagai unit organisasi terkecil pengelolaan kawasan konservasi di lapangan, dan desa sebagai unit terbawah pemerintahan yang berada di tengahtengah masyarakat. Dengan demikian, titik tumpu yang dibangun adalah pengelolaan berbasis resor dan pembangunan desa yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi dan lingkungan.

122 Momentum Citarum


Nilai penting dan runtutan proses pengelolaan berbasis resor untuk memperkuat pengelolaan hutan konservasi telah dikupas pada bagian sebelumnya. Ini adalah titik tumpu bagi pengelola kawasan konservasi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan di tingkat tapak. Sementara kontribusi CWMBC dalam pembangunan desa terlihat jelas bila menelisik seluruh aktivitas Komponen 4 yang bertajuk ‘Pengarusutamaan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lanskap Produksi.’ Program pengarusutamaan ini dilakukan dalam tujuh langkah berurut, yakni: 1) kursus kepemimpinan desa untuk pelestarian lingkungan, 2) pembentukan kelembagaan konservasi tingkat masyarakat desa, 3) pembuatan rencana konservasi desa, 4) mengembangkan kegiatan konservasi dan usaha alternatif ramah lingkungan di tingkat desa sesuai rencana konservasi, 5) menilai potensi desa, 6) melakukan pemetaan partisipatif untuk menyusun tata ruang desa merujuk pada tata ruang wilayah, dan 7) memfasilitasi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) berbudaya lingkungan.

Masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilibatkan dalam skema imbal jasa lingkungan. Dari imbalan itu, masyarakat hulu akan menjaga kawasan konservasiFoto: Bambang Agus Kusyanto.

IV. Menjaga Momentum Citarum 123


S os ialis as i – kons ultas i – koordinas i – pemantauan

K oordinas i dan K ons olidas i dengan P emerintah Daearah

K urs us K epemimpinan Des a untuk K ons ervas i di 13 Des a

Membangun Lembaga K ons ervas i T ingkat Des a

Menyus u R encana K ons erva T ingkat De

MoU dengan 4 B upati: K ab. B andung K ab. P urwakarta K ab. S umedang K ab. S ubang

Anggota Mas yarakat P enggerak K ons ervas i di T ingkat Des a

13 K elompok Model Des a Konservasi

R encana K egiatan P eles tarian Hutan R encana Usa R amah Lingkungan

K ons ervas i K enekaragaman hayati

R es toras i di dalam kawas an kons ervas i R ehabilitas i lahan di lans kap produks i

Imbal J as a Ling T ingkat Mas y

Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC)

Diagram tersebut memberikan gambaran ringkas bahwa program CWMBC sejak awal telah menyasar pembangunan desa untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di lanskap produksi. Pemerintahan desa telah disadari akan bernilai strategis dalam konservasi, karena akan berperan besar dalam pembangunan di tingkat tapak. Karena itulah, selama program CWMBC, Komponen 4 berupaya mengembangkan MDK di desa-desa sekitar kawasan konservasi di hulu DAS Citarum sebagai percontohan bagi desa lain dalam pembangunan berwawasan lingkungan. Setelah program CWMBC tuntas, MDK bersama seluruh investasi sosialnya, akan dihantarkan kepada pemerintah setempat. Ini lantaran desadesa yang berdampingan dengan kawasan konservasi di bawah kendali pemerintah kabupaten. Program CWMBC telah berada di ujung waktu. Menyadari hasil penting CWMBC, baik BBKSDA Jawa Barat maupun BBTNGGP yang 124 Momentum Citarum


n dan evaluas i terus dilakukan bers ama uns ur P emda

un a si es a

n

aha

n

gkungan yarakat

E xercis e Melakukan K egiatan K ons ervas i di Mas yarakat Des a

Menilai P otens i Des a dan P emetaan P artis itif untuk T ata R uang Des a merujuk R T R WK

Menyus un/ Memperbaiki R encana P embangunan Des a (R P J MDes )

Aktivitas K ons ervas i Mas yarakat 32 J enis Aktivitas E konomi P roduktif Mas yarakat

P otens i Des a P eta T ata R uang/T ata G una Lahan Des a

R P J MDes B erbudaya Lingkungan/ K ons ervas i

P ertanian R amah Lingkungan dengan memperhatian as pek kons ervas i tanah dan air

S anitas i, P engelolaan limbah ternak, dll

ICWRMIP

dikoordinasikan oleh Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial mempersiapkan exit strategy atau strategi pengakhiran program. Upayaupaya yang telah dilakukan dalam program CWMBC telah menggalang modal sosial di desa-desa MDK. Modal sosial inilah yang mesti dirawat dan ditingkatkan. Pola pengakhiran program, antara BBKSDA dengan BBTNGGP memang sedikit berbeda, karena perbedaan kondisi sosial di kawasan konservasi yang dikelola dua UPT tersebut. Pada tahun terakhir, baik BBKSDA maupun BBTNGGP sengaja mengajak para pihak untuk membahas exit strategy. Tujuannya untuk mendukung dan melanjutkan capaian program CWMBC demi menjaga keberlanjutan, pihak-pihak terkait diharapkan memanfaatkan capaian program CWMBC sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Tentu saja, upaya tersebut tanpa tergantung pada pihak luar, baik berbentuk hibah maupun bentuk pendanaan yang lain. IV. Menjaga Momentum Citarum 125


Untuk keberlanjutan program ke depan, BBKSDA merekomendasikan pelibatan pemerintah daerah dalam Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP).�

Fasilitasi penyusunan RPJMDes merupakan salah satu bentuk strategi pengakhiran program CWMBC-Foto: Bambang Agus Kusyanto.


Intinya, tujuan dari strategi pengakhiran program untuk memastikan keberlanjutan dampak kegiatan setelah program tuntas. BBKSDA telah menggelar forum pembahasan strategi pengakhiran program dengan menggandeng SKPD kabupaten dan provinsi, kalangan swasta dan pihak-pihak lain. Forum ini untuk wadah curah pendapat, berbagi saran dan masukan untuk pengakhiran program. Bahkan, sejak awal mula, pada 2013, CWMBC telah menggelar lokakarya MDK di tingkat Provinsi Jawa Barat. Mengusung tema “Integrasi Pengelolaan Hulu DAS Citarum melalui Program Model Desa Konservasi�, lokakarya untuk memaparkan rencana induk setiap desa, yang lantas dipadukan dengan program pembangunan daerah. Dengan paparan dan integrasi program itu, pemerintah daerah, utamanya lembaga pemberdayaan masyarakat desa, diharapkan memberikan dukungan penuh terhadap MDK. Untuk keberlanjutan program ke depan, BBKSDA merekomendasikan pelibatan pemerintah daerah dalam Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP). BBKSDA telah menyiapkan tiga tahap pengakhiran program. Yang pertama fase pengurangan (phase down) bagi dukungan secara perlahan-lahan. Artinya, sedikit demi sedikit dukungan akan kurangi, sambil tetap menjaga keberhasilan program. Tahap pengurangan program ini memanfaatkan sumber daya dan organisasi setempat untuk mempertahankan dan melanjutkan program bersamaan dengan berjalannya sebagian program. Fase ini sekaligus persiapan bagi fase selanjutnya. Sebelum benar-benar berakhir, tim Komponen 4 mengembangkan jaringan dan forum kemitraan usaha dengan para pihak bagi kelompok MDK. Selama 2015, Komponen 4 melakukan pendampingan bagi pengembangan forum kemitraan untuk kelompok MDK. Dengan memperluas jaringan, diharapkan kelompok MDK mampu mandiri dan bermitra dengan para pihak. Kelompok MDK telah diajak berrkunjung dan berkoordinasi ke dinas-dinas setempat untuk menginformasikan berbagai usaha dan pemberdayaan masyarakat. Selama masa transisi itu, BBKSDA masih melakukan monitoring dan pendampingan. Selama fase pengurangan, BBKSDA berfokus pada peningkatan kapasitas institusi lokal dan masyarakat. Pada fase yang kedua (phase out), dukungan akan dihentikan sama sekali dengan melihat adanya perubahan positif yang terjadi. Lalu fase yang terakhir, phase over, seluruh program dan kegiatan Komponen 4 akan dialihkan ke institusi lokal. Bila sudah siap, secara mandiri lembaga lokal bisa melanjutkan capaian dan keberhasilan program. Dalam forum diskusi exit strategy itu terungkap masukan dan kritik dari berbIV. Menjaga Momentum Citarum 127


“Salah satu titik masuk pengembangan desa berbudaya konservasi adalah dengan memasukkan tata ruang kehutanan dalam tata ruang desa.� agai pihak. Saran ini menunjukkan adanya sambutan baik terhadap kiprah CWMBC, terutama yang terkait dengan pembangunan desa. Sumbangan pemikiran juga diberikan oleh pihak swasta yang berkecimpung di DAS Citarum. Salah satunya adalah saran perlunya memadukan CWMBC dengan program lain di Citarum. Selain untuk mencegah kegiatan berbagai pihak berjalan sendiri-sendiri, integrasi program juga akan memperbesar dampak positif dari seluruh upaya pemulihan Citarum. Kalangan swasta yang akan menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) memerlukan data keanekaragaman hayati. Ini untuk menentukan bentuk sumbangsih bagi konservasi spesies yang langka dan terancam. Dengan pendekatan ekologi lanskap, sejumlah kalangan juga menyarankan untuk menautkan upaya konservasi di tujuh kawasan konservasi yang tercakup dalam CWMBC dengan kawasan hutan yang lainnya. Pada akhirnya, strategi pengakhiran program CWMBC di BBKSDA Jawa Barat dipandang berhasil karena telah mampu membangun Desa Berbudaya Konservasi yang didukung penuh oleh pemerintah daerah, bahkan oleh Kementerian Desa. Secara konseptual, Desa Berbudaya Konservasi juga telah didefinisikan dan disepakati para pihak. Pada intinya, Desa Berbudaya Konservasi akan memiliki RPJMDes dan Rencana Kerja Pemerintah Desa yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa sangat berkaitan dengan tata ruang desa. Sementara pada tataran yang lebih tinggi, tata ruang desa harus sejalan RTRW kabupaten. Kemudian, RTRW kabupaten bisa disahkan, jika sejalan dengan tata ruang Kehutanan. Dalam RTRW kabupaten, pedesaan menjadi salah satu kawasan yang perlu dikembangkan, karena desa mengandung potensi dan sumber daya yang menjadi energi pembangunan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan pengembangan pedesaan tak kalah penting dibandingkan dengan perkotaan. Dalam Undang-Undang Pena128 Momentum Citarum


taan Ruang juga disebutkan arah dan tujuan penataan ruang kawasan pedesaan, yakni: pemberdayaan masyarakat desa; mempertahankan kualitas lingkungan dan wilayah yang didukungnya; konservasi sumber daya alam; pelestarian warisan budaya lokal; pertahanan kawasan lahan pertanian untuk ketahanan pangan; dan penjagaan keseimbangan pembangunan desa-kota. Dengan penalaran seperti itu, rencana tata ruang desa tidak bakal bertubrukan dengan tata kawasan hutan. (Misalnya saja, pengembangan pertanian di wilayah desa tidak akan dilakukan di kawasan hutan—sehingga mencegah perambahan hutan.) Seturut Undang-undang Desa, pemerintah desa berwenang menyusun tata ruang desa sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam forum penyusunan rencana tata ruang desa ini, kader-kader konservasi MDK akan memberikan pandangan inovatif dan kreatif bagi pembangunan desa sesuai kaidah konservasi. Salah satu titik masuk pengembangan Desa Berbudaya Konservasi adalah dengan memasukkan tata ruang kehutanan dalam tata ruang desa. Peruntukan lahan pertanian, permukiman dan kehutanan menjadi lebih tegas sekaligus cair dengan adanya tata ruang desa. Kawasan hutan yang tercakup dalam wilayah administrasi desa

Beragam materi dan ketrampilan telah diberikan kepada anggota MDK sebagai wujud pembekalan bagi masyarakat desaFoto: Bambang Agus Kusyanto.

IV. Menjaga Momentum Citarum 129


Dari sisi keberlanjutan program, pengelolaan DAS Citarum ke depan mesti mengajak para pihak yang berkepentingan di bidang pertanian, kehutanan, pertambangan dan perusahaan-Foto: Bambang Agus Kusyanto.

dapat dimanfaatkan sebagai arah dan panduan bagi dukungan pemberdayaan dari sektor kehutanan bagi pembangunan desa. Misalnya saja, hutan tanaman rakyat, hutan desa, ataupun hutan kemasyarakatan yang dapat dilakukan di hutan produksi dan hutan lindung. Sementara di hutan konservasi dapat dibangun berbagai bentuk kemitraan yang efektif menunjang keberlanjutan kawasan konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Berbekal tata ruang dan potensi sumber daya alamnya, pemerintah desa akan menentukan arah pembangunannya dalam RPJMDes. Sebagai definisi sederhana, Desa Berbudaya Konservasi di hulu DAS Citarum adalah desa yang wilayah administrasinya berada di hulu DAS Citarum dan menyelenggarakan pengelolaan pembangunan desa yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi. Tujuannya: mendorong upaya pelestarian sumberdaya ekosistem hutan secara sistematis dan jangka panjang oleh masyarakat desa sekitar hutan, melalui integrasi pelestarian hutan dan lingkungan serta pemanfaatan lestari dalam RPJMDes. Secara umum ada beberapa kriteria untuk Desa Berbudaya Konservasi. Pertama, kriteria lokasi: seluruh atau sebagian besar wilayah

130 Momentum Citarum


administrasi desa berada di hulu DAS Citarum. Indikator kriteria lokasi dapat dilihat di peta wilayah administrasi desa, peta DAS Citarum, dan peta kawasan konservasi. Kedua, kriteria pembangunan, yang tercermin dalam pembangunan desa yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi dalam penyelenggaraan pembangunan desa. Untuk kriteria ini terdapat beberapa indikator: a) tata ruang desa sejalan dengan RTRW Kabupaten, terutama memperhatikan norma kawasan lindung, b) RPJMDes memuat program dan kegiatan konservasi dan lingkungan, dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) setiap tahun selalu memasukkan program dan kegiatan konservasi atau pelestarian lingkungan, c) ada Unit Kerja Desa yang secara khusus menangani urusan konservasi atau pelestarian lingkungan di dalam struktur kelembagaan desa. Secara umum, kriteria, indikator dan pihak-pihak yang terkait dapat dilihat pada matriks berikut.

KRITERIA Kriteria Lokasi

Kriteria Pembangunan

INDIKATOR

PIHAK TERKAIT

KETERANGAN

Posisi terhadap hulu DAS Citarum, yang dapat dilihat pada Peta Administrasi Desa dan Peta DAS Citarum .

BPDAS, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, BPLHD.

Tata Ruang Desa memperhatikan fungsi lahan, kawasan hutan, terutama kawasan lindung sesuai RTRWK.

BAPPEDA, Dinas Kehutanan, BBKSDA dan BBTNGGP

- Memfasilitasi penyusunan tata ruang desa yang sesuai dengan pola ruang dan struktur ruang RTRWK - Memberikan kesadaran dan pengetahuan mengenai posisi kawasan hutan.

RPJMDes, di tingkat desa tidak ada rencana lain selain RPJMDes.

BAPPEDA dan BPMPD, BBKSDA dan BBTNGGP

- Memfasilitasi proses penyusunan RPJMDes oleh pemerintah desa yang sesuai dengan peraturan. - Mengintegrasikan program pelestarian hutan sesuai fungsinya menjadi salah satu program prioritas di RPJMDes - Mengawal program sektor lain agar tidak berdampak terhadap kelestarian hutan.

BPMPD, BBKSDA dan BBTNGGP

- Memfasilitasi pembentukan unit kerja desa untuk pelestarian hutan dan lingkungan yang terintegrasi dalam kelembagaan desa.

Unit Kerja Desa/Kelembagaan Desa: “ Kepala Urusan Hutan dan Lingkungan dalam Struktur Kelembagaan Desa�

dalam DAS Citarum

IV. Menjaga Momentum Citarum 131


Berbatasan langsung dengan lahan produksi, pengelolaan kawasan konservasi menuntut partisipasi dari pihak lain, seperti pemerintah desa, kabupaten dan masyarakat hulu.



Masa depan DAS Citarum sangat tergantung pada kesadaran generasi mudanya. Kampanye dan penyadaran harus melibatkan kaum muda di wilayah hulu, tengah dan hilir DAS Citarum-Foto: Agus Prijono.

Pemerintah desa dengan RPJMDes bisa menuntun pihak-pihak lain, baik dari instansi pemerintah maupun swasta, yang selama ini mendukung pembangunan desa secara sektoral. Di masa datang, dengan RPJMDes, pemerintah desa dapat memberikan acuan bagi pihak lain yang akan terlibat dalam pembangunan desa. Misalnya saja, bantuan dari dinas terkait harus sesuai dengan RPJMDes. Selain membantu keefektifan program, RPJMDes akan mencairkan egosektoral pihak-pihak terkait dalam pembangunan desa. Bila selama ini program-program dari instansi terkait—seperti dinas pertanian, kementerian dan sebagainya—bersifat sektoral dan tidak sesuai potensi desa, ke depan pemerintah desa bisa menggunakan RPJMDes sebagai alat integrasi bagi kerja-kerja sektor. Tujuannya, agar program dari pihak eksternal terarah dan sesuai dengan potensi dan tata ruang yang tertuang dalam RPJMDes. Perspektif tersebut akan membuka peluang bagi pendekatan menyeluruh dalam pembangunan pedesaan dan pengembangan program kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—misalnya pembinaan

134 Momentum Citarum


“Kaidah konservasi sebenarnya adalah kemestian dalam pembangunan desa.�

masyarakat di desa penyangga kawasan konservasi dapat dilakukan dengan mudah dan cair dengan melihat RPJMDes. Pendekatan insentif bisa diberikan kepada desa-desa yang mengadopsi kaidah konservasi dalam RPJMDes dan rencana kegiatan pedesaan setiap tahun. Kebijakan dan program insentif pemerintah sebenarnya telah banyak dilaksanakan, hanya saja tidak terkoordinasi secara baik sehingga cenderung berjalan sendiri-sendiri. Sebaliknya, pendekatan disinsentif dikedepankan bagi desa yang abai terhadap kaidah konservasi. Kaidah konservasi sebenarnya adalah kemestian dalam pembangunan desa. Tanpa perlu kampanye berlebihan, masyarakat telah menyadari bahwa wilayah desa berdampingan dengan hutan konservasi—dan kawasan hutan yang lain. Pemahaman dan pengenalan tata ruang yang lebih baik dan rinci itulah yang akan membuka inovasi dalam pembangunan wilayah. Semisal, membangkitkan kembali nilai lokal yang sesuai kaidah konservasi dalam RPJMDes Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, BBTNGGP juga telah berkoordinasi intensif dengan pemerintah daerah Cianjur. Pada akhir 2015, Bupati Cianjur menyatakan dukungannya bagi kelanjutan program pelestarian hulu DAS Citarum. Pernyataan tersebut disampaikan pada acara seminar exit strategy di kantor Bappeda yang dihadiri dari dinas terkait, perangkat desa dan kecamatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial serta kelompok masyarakat. Dalam seminar exit strategy ini juga dilakukan penandatanganan piagam kesepakatan antara pemerintah pusat, melalui BBTNGGP, dengan pemerintah daerah, yang meliputi Bappeda, Dinas Kehutanan dan

IV. Menjaga Momentum Citarum 135



Perkebunan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa. Piagam kesepakatan ini sebagai bentuk dukungan pemerintah daerah untuk melanjutkan program CWMBC bersama-sama dengan BBTNGGP. Bupati Cianjur mengatakan kelanjutan program CWMBC harus didukung dari anggaran APBD. Sebagai wujud nyatanya, BBTNGGP dengan instansi pemerintah daerah sedang menyiapkan rencana aksi bersama pelestarian hulu Sungai Cikundul—salah satu anak sungai Citarum— melalui pendekatan multisektor.***

Anak-anak di dataran tinggi masih merasakan kemewahan bermain di tanah lapang. Kelestarian DAS Citarum sangat tergantung pada kiprah mereka di masa datang-Foto: Agus Prijono. IV. Menjaga Momentum Citarum 137



L A M P I R A N

Peta

Program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation

Lampiran - Peta 139


Peta Citarum

140 Momentum Citarum


Peta Cagar Alam Gunung Burangrang

Peta Cagar Alam Gunung Tilu

Lampiran - Peta 141


Peta Cagar Alam Kawah Kamojang

Peta Cagar Alam Gunung Tangkuban Parahu

142 Momentum Citarum


Peta Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi

Peta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Lampiran - Peta 143



L A M P I R A N

Galeri Foto Program Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation

Lampiran - Galeri Foto 145



Pagar beton dibangun untuk menaklukkan luapan Sungai Citarum di Muara Gembong. Foto: Agus Prijono

Di bibir muara Sungai Citarum, abrasi Laut Jawa menelan pantai perlahan-lahan. Rumah-rumah semi permanen berjajar di tepi muara dan pasrah menunggu waktu ombak menggerus pesisir. Foto: Agus Prijono

Lampiran - Galeri Foto 147


Teratak terjerembab di tepi Sungai Citarum di bawah jembatan Batujajar. Saat kemarau, air surut, dan Citarum menjadi sungai sampah. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Setelah dibersihkan dari timbunan sampah, salah satu anak sungai di DAS Citarum kembali bersih—secara kasat mata. Sampai kapan Citarum terbelenggu beban peradaban? Foto: Bambang Agus Kusyanto

148 Momentum Citarum




Dampak DAS Citarum tak mampu menanggung luapan air permukaan. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Daerah hulu DAS Citarum tetap saja memikat para pengembang untuk membangun perumahan bagi kalangan menengah ke atas. Perkembangan permukiman semestinya memperhatikan tata ruang wilayah di sekitar DAS Citarum. Kerumunan rumah-rumah ini mengabaikan kelerengan tanah dan melibas daerah resapan air. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Lampiran - Galeri Foto 151


Iklim mikro kawasan konservasi memberikan ruang hidup kepada herpetofauna yang memerlukan kolam air dan sungai. Foto: Dokumentasi Tim CF

Tajuk pepohonan menapis hujan, dan air merambat pelan ke lantai hutan kawasan konservasi. Air lalu mengendap di dalam tanah, menghidupkan sungai dan mata air. Foto: Bambang Agus Kusyanto

152 Momentum Citarum




Bahkan pengabaian tata guna lahan telah menghadang di perbatasan kawasan konservasi, seperti di tapal batas Taman Buru Masigit Kareumbi ini. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Persawahan di lembah dan ngarai sangat tergantung pada pasokan air dari kawasan konservasi. Praktik pertanian yang ramah lingkungan akan mengurangi beban lingkungan Sungai Citarum. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Lampiran - Galeri Foto 155


Upaya memasarkan produk anggota MDK dilakukan melalui berbagai media: pameran, koordinasi dengan dinas terkait, dan jaringan lainnya. Ekonomi lokal yang berkembang akan mengurangi tekanan terhadap kawasan konservasi di hulu DAS Citarum. Foto: Bambang Agus Kusyanto

Dalam memulihkan ekosistem, pelibatan masyarakat setempat akan berkontribusi bagi kelestarian keanekaragaman hayati dalam jangka panjang. Foto: Bambang Agus Kusyanto

156 Momentum Citarum



“Buku ini dibiayai oleh DIPA Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Kehutanan Tahun Anggaran 2016.�

***


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.