Memadamkan Bara
Kepak JATAYU Menghalau PLTU di Desa Mekarsari, Indramayu.
SAYA DITANGKAP SECARA TIDAK SAH KARENA KEJAHATAN YANG DIBUAT-BUAT. SAYA MEMBELA HAK PENGHIDUPAN DAN KESEHATAN SAYA.
(Sukma. Petani Indramayu) "
SAYA DITANGKAP SECARA TIDAK SAH KARENA KEJAHATAN YANG DIBUAT-BUAT. SAYA MEMBELA HAK PENGHIDUPAN DAN KESEHATAN SAYA.
(Sukma. Petani Indramayu) "
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sudah banyak memberi petaka. Secara tidak langsung itu menjadi salah satu penyebab krisis iklim yang berujung bencana. Sebagai dampak lepasan emisi yang terus menerus dari cerobong asap PLTU, kemudian menumpuk di lapisan atmosfer sehingga membuat suhu bumi beranjak naik dan berakumulasi menjadi pemanasan global.
Sedari awal rencana pembangunan PLTU batu bara sudah memunculkan derita bagi warga. Itu terakumulasi setelah beroperasi, karena proyek PLTU batu bara kerap dibangun di lahan produktif dan kawasan alami. Seperti yang akan dibangun di lahan persawahan di Desa Mekarsari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Proyek tersebut
mengakibatkan ratusan buruh
tani yang bergantung pada lahan produktif berpotensi kehilangan pekerjaannya. Mereka terancam
jatuh miskin dan akan tinggal di daerah yang berpolusi di sisa hidupnya.
Menyadari hal itu, para kaum buruh tani dan warga Desa Mekarsari menghimpun diri berjuang melakukan perlawanan. Mereka satu suara untuk tidak bersepakat
terhadap pembangunan PLTU batu bara di desa mereka. Meski perjuangan yang dilalui banyak cobaan dan rintangan, seperti dikriminalisasinya tujuh warga
dalam gerakan menolak kehadiran pembangkit listrik energi kotor, tapi beberapa kemenangan kecil juga terwujudkan. Ini merupakan hasil dari komitmen dan konsistensi yang tinggi serta terjaga utuh.
Segala bentuk pembangunan
seharusnya tidak mengorbankan lingkungan dan rakyat, dengan dalih kepentingan umum. Faktanya, itu hanya kedok menghimpun kapital dari olah eksploitasi energi fosil dan alih fungsi lahan. Masyarakat dunia menyuarakan untuk segera dilakukannya transisi energi fosil ke energi bersih. Mendesak mempensiun dinikan PLTU batu bara. Sudah sepatutnya pembangunan lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan keberlanjutan layanan alam.
PROYEK PLTU BATU BARA
KERAP DIBANGUN DI
LAHAN PRODUKTIF YANG
MENGAKIBATKAN BURUH TANI
YANG BERGANTUNG PADA
LAHAN PRODUKTIF BERPOTENSI
KEHILANGAN PEKERJAANNYA.
Asap hasil pembakaran batubara PLTU Indramayu II
terlihat dari areal pertanian bawang milik warga di daerah
Mekar Sari, Indramayu, Jawa Barat, Oktober 2021. (Kredit foto: WALHI Jawa Barat/Iqbal Kusumadireza)
YANG KELUAR DARI
CEROBONG PLTU
BERDAMPAK PADA
MENURUNNYA KUALITAS
UDARA KARENA
MENINGKATNYA ZAT
PENCEMAR DAN EMISI
KARBON. AKUMULASI DARI
CEMARAN ITU MEMICU
PEMANASAN GLOBAL
DAN BERUJUNG PADA
PERUBAHAN IKLIM BUMI.
Salah satu kebijakan yang dicanangkan Joko Widodo setelah dilantik menjadi presiden tahun 2016 adalah
mendongkrak pengadaan listrik sebesar 35.000 MW
untuk lima tahun ke depan. Dengan proyeksi setiap tahun, maka harus tercipta listrik sebesar 7.000 MW.1
Pada saat itu total kapasitas listrik terpasang nasional sebesar 50.000 MW.2
Besaran tersebut berasal dari pembangkit listrik yang dibangun oleh PLN dan swasta. Program penambahan kapasitas listrik dianggap realistis guna merangsang pertumbuhan ekonomi sebesar enam sampai tujuh persen per tahun.
Untuk mengejar target
35.000 MW tentunya dibutuhkan infrastruktur pembangkit dan jaringan listrik. Tahap awal pemerintah membagi porsi pengadaan pembangkit listrik.
25.904 MW dibangun oleh
pengembang swasta dan 10.681
MW oleh PLN.3 Penegasan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang RUPTL yang selalu diperbarui setiap tahunnya.
Secara teknis, pembangunan pembangkit listrik yang dominan direncanakan oleh pemerintah adalah PLTU batu bara. Alasannya karena melimpahnya ketersediaan
sumber daya alam batu bara. Di Jawa Barat ada dua PLTU batu bara yang masuk dalam perencanaan akan dibangun. Yaitu PLTU Indramayu 1 x 1000 MW dan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A2 x 330 MW.
Namun, pemerintah menutup mata akan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial yang muncul dari pemilihan teknologi tersebut. Faktanya, alih fungsi lahan budi daya pertanian dan tambak garam menjadi PLTU, merampas mata pencaharian dan akar budaya warga. Kedaulatan wilayah tangkap nelayan tradisional semakin sempit sehingga berkurangnya hasil tangkapan. Sementara asap yang keluar dari cerobong berdampak pada menurunnya kualitas udara karena meningkatnya zat pencemar dan emisi karbon. Akumulasi dari cemaran dan emisi memicu pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim bumi.
Yang paling merasakan akibat dari proyek pembangunan PLTU
1 Publikasi PLN, 2016. 35.000 MW Untuk IndonesiaAKAN DAMPAK NEGATIF TERHADAP
LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL YANG
MUNCUL DARI PEMILIHAN TEKNOLOGI
TERSEBUT. FAKTANYA, ALIH FUNGSI
LAHAN BUDI DAYA PERTANIAN DAN
TAMBAK GARAM MENJADI PLTU, MERAMPAS MATA PENCAHARIAN DAN
AKAR BUDAYA WARGA. KEDAULATAN
WILAYAH TANGKAP NELAYAN
TRADISIONAL SEMAKIN SEMPIT
SEHINGGA BERKURANGNYA HASIL
TANGKAPAN.
adalah warga sekitar, terutama mereka yang bergantung pada tanah. Masyarakat tidak bisa lagi bekerja karena lahan garapan mereka dijual oleh pemiliknya. Kehidupan masyarakat akan semakin buruk di saat jatuh miskin karena tidak bekerja. Belum lagi dampak terhadap kesehatan yang mereka alami karena menghirup udara yang tidak sehat.
Berangkat dari keresahan dan harapan untuk bisa kembali hidup tenang di tengah lingkungan yang sehat maka muncul
beberapa gerakan pelawanan
dari masyarakat. Seperti yang
dilakukan oleh para kaum buruh tani di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat. Mereka tergerak membentuk Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) sebagai media perjuangan untuk menolak pembangunan PLTU batu bara Indramayu 1 x 1000 MW di desa mereka.
Selain itu upaya gugatan juga dilakukan WALHI untuk menghadang proyek pembangunan PLTU Jawa 3/Tanjung Jati A 2 x 330 MW di Desa Pangenan, Kabupaten Cirebon.
Di Jawa Barat, terdapat sekitar tujuh PLTU batu bara. Dari sisi sebaran lebih banyak berada di bagian utara, yaitu sebanyak tiga unit. Selebihnya berada di wilayah tengah dan selatan, yaitu di Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, dan Sukabumi. Saat laporan ini dibuat, semua PLTU batu bara tersebut sudah beroperasi. Lima unit dioperasikan oleh swasta dan dua lainnya oleh PLN. Salah satu yang masuk dalam perencanaan untuk dibangun adalah PLTU
Indramayu 1 x 1000 MW.
Sebenarnya kapasitas awal yang direncanakan adalah 2 x 1000
MW.4 Namun kemudian berubah menjadi 1 x 1000 MW.5 Pembangkit ini merupakan penambahan setelah sebelumnya sudah ada
PLTU di Kabupaten Indramayu, yaitu PLTU 1 Jawa Barat 3 x 330
MW yang beroperasi sejak tahun
2011. Kedua PLTU batu bara yang berada di kabupaten Indramayu ini merupakan unit pembangkit yang
dimiliki dan dioperasikan oleh PT.
PLN lewat anak perusahaannya PT.
PJB (UBJOM). Produksi listrik yang dihasilkan akan diintegerasikan
ke dalam sistem jaringan Jawa –
Bali. Untuk PLTU Indramayu 1 x 1000 MW, PLN mengklaim akan menggunakan teknologi yang lebih efisien namun rendah emisi.
4 Dokumen AMDAL PLTU Indramayu
2 x 1000 MW, Desember 2010
5 RUPTL 2018 - 2027
PLTU Indramayu 1 x 1000 MW akan dibangun di atas lahan seluas 327 hektar. Biaya yang
dibutuhkan sebesar 4 miliar dolar Amerika atau setara 53,2 triliun rupiah.6 Lembaga pembiayaan dan keuangan Jepang (JICA)
berminat untuk membiayai proyek pembangunannya. Sebagai awalan mereka telah memberikan pinjaman kepada PLN sebesar
15,4 juta dolar Amerika untuk kebutuhan membiayai jasa teknis (engineering service) berupa pembuatan desain dasar (basic design).7
Rencananya PLTU 1 x 1000 MW dijadwalkan selesai dan akan beroperasi pada tahun 2021. Namun rencana itu kemudian berubah. PLN memasang target baru dengan beroperasi pada tahun 2027, seperti yang tertuang dalam RUPTL 2018 – 2027.8 Di tengah perjalanan proyek pembangunan pembangkit ini ditunda, dengan alasan menyesuaikan dengan kebutuhan sistem.9
6 https://finance.detik.com/ energi/d-3459639/proyek-pltu-indramayu2x1000-mw-dibiayai-pinjaman-jepang-rp53-t
7 Friends of the Earth (FoE) Japan. Kesaksian JICA kepada parlemen Jepang.
8 https://www.dunia-energi.com/ proyek-pembangunan-pltu-indramayu-2dipastikan-molor/
9 RUPTL 2021 – 2030, Tabel 5.6, V-5, halaman 208.
PROYEK PLTU BATU BARA
KERAP DIBANGUN DI
LAHAN PRODUKTIF YANG
MENGAKIBATKAN BURUH TANI
YANG BERGANTUNG PADA
LAHAN PRODUKTIF BERPOTENSI
KEHILANGAN PEKERJAANNYA.
Menurut dokumen AMDAL
PLTU Indramayu 1 x 1000 MW yang diterbitkan Desember 2010, rencananya pembangkit ini akan dibangun di lahan budi daya pertanian sawah dan palawija seluas 327 hektar10. Proyek ini mengalihfungsikan lahan pertanian yang masih produktif yang berada di tiga wilayah. Yaitu Desa Sumuradem, Mekarsari, dan Patrol Lor. Desa Mekarsari merupakan wilayah dengan alih fungsi lahan paling besar, yaitu seluas ± 187 hektar11.
Dari luas lahan yang dialihfungsikan, pemilik lahan dan buruh tani bisa menanam padi sebanyak dua kali dalam setahun. Dengan hasil panen padi gabah kering dalam satu kali musim tanam rata-rata 4 sampai 5 ton per hektar. Belum lagi komoditas lain yang banyak ditanam, seperti bawang merah yang biasa ditanam sehabis masa tanam padi. Pun warga menanam jenis sayuran lain seperti kacang panjang dan gambas/oyong. Warga desa juga kerap memanfaatkan lahan di samping pematang sawah untuk ditanami singkong dan pepaya. Dapat dipastikan, pembangunan
PLTU batu bara akan sangat berdampak terhadap sumber mata pencaharian warga di sektor pertanian.
10 Dokumen AMDAL PLTU Indramayu
2 x 1000 MW, Desember 2010
11 Ibid
Berubahnya fungsi hamparan lahan pertanian berdampak pada hilangnya mata pencaharian warga desa yang sebagian besar merupakan petani penggarap dan buruh tani. Petani penggarap adalah mereka yang mengolah lahan yang disewa dari pemilik lahan. Sedangkan buruh tani adalah pekerja yang disewa penggarap untuk membantu, karena pada dasarnya profesi ini tidak memiliki kemampuan modal seperti halnya petani penggarap. Kedua profesi tadi merupakan keahlian yang dimiliki dan dikuasai oleh warga Desa Mekarsari dan sekitarnya, baik pria maupun perempuan. Sudah menjadi tradisi dalam satu keluarga, baik suami dan istri, bahkan anak mereka yang telah dewasa, untuk bekerja sebagai buruh tani.
Pembajak sawah dan nelayan air dangkal merupakan profesi lain yang turut terdampak dari dibangunnya PLU batu bara. Bagi para pembajak, dengan hilangnya sawah sebagai areal budi daya, secara langsung akan menurunkan permintaan kebutuhan untuk membajak sawah. Sama halnya dengan nelayan air dangkal, pembangunan PLTU batu bara akan membuat tertutupnya akses ke pantai, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan dan udang sebagai bahan baku pembuatan terasi.
Berdekatan dari tapak proyek
PLTU batu bara Indramayu 1 x 1000 MW, sudah berdiri PLTU batu bara 1 Jawa Barat 3 x 330 MW yang diresmikan pada 12 September
2011 sebagai bagian dari program
10.000 MW tahap pertama yang dicanangkan tahun 200712. PLTU ini secara administrasi berada di Desa Sumuradem yang juga didominasi lahan persawahan.
Setiap tahunnya PLTU 1 Jawa Barat melepaskan 4,44 juta ton emisi karbon.13 Jumlah tersebut tidak termasuk sebaran partikel pencemar lain seperti SOx, NOx, PM10, PM2,5 dan partikel lain yang berbahaya. Emisi karbon terbukti sebagai faktor utama penyebab pemanasan global dan perubahan iklim yang berujung pada bencana. Selain itu, partikel pencemar sisa pembakaran batu bara yang keluar lewat cerobong memicu gangguan kesehatan kronis pada manusia.
Dari hasil pengamatan dan wawancara WALHI Jawa Barat bersama Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) kepada masyarakat di Desa Tegal Taman tahun 2017, didapatkan beberapa balita dan lanjut usia penderita gangguan saluran pernapasan atau ISPA.
12 https://tekno.kompas.com/ read/2011/10/12/15500951/pltuindramayu-diresmikan
13 https://www.visualcapitalist.com/ all-the-worlds-coal-power-plants-inone-map/
Desa Tegal Taman sendiri berada di sisi barat Desa Sumuradem, persis bersebelahan dengan PLTU
1 Jawa Barat. Penyakit ISPA yang menjangkit balita di Desa Tegal
Taman meningkat sejak adanya
PLTU.14 Dijumpai juga abu batu bara menempel pada permukaan daun tanaman yang ada di sekitar pembangkit.
Ancaman memburuknya
kualitas udara juga berasal dari abu sisa pembakaran batu bara yang ditempatkan di lahan terbuka. Timbulan abu tersebut kerap
tertiup angin ke arah persawahan dan mengganggu aktifitas warga. Jika angin laut sedang besar, abu sisa pembakaran batu bara bahkan bisa mencapai pemukiman.
14 Persoalan Kesehatan Di Tegal Taman Paska Berdirinya PLTU Indramayu 1, Laporan WALHI Jawa Barat dan AEER , 2017
ABU BATU BARA MENGHANTUI WARGA DESAAsap hasil pembakaran batubara PLTU Indramayu II terlihat dari areal pertanian milik warga di daerah Mekar Sari, Indramayu, Jawa Barat, Oktober 2021. (Kredit foto: WALHI Jawa Barat/Iqbal Kusumadireza)
Mayoritas warga Desa
Mekarsari pada awalnya hanya berdiam diri sejak hadirnya PLTU
1 Jawa Barat di dekat wilayah mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan selain hanya mengamati bangunan PLTU dari kejauhan. Atau sesekali membicangkan kepulan asap yang keluar dari puncak cerobong di sela rehat dari aktivitas bertani. Itu pun tidak menjadi bahan obrolan panjang, masih kalah dibanding topik soal bagaimana agar hasil panen bagus.
Ketenangan warga, terutama para penggarap lahan, mulai terusik pada Desember 2010. Yaitu saat PT. PLN berencana akan membangun lagi PLTU di Desa Mekarsari, tepat di lahan sawah yang masih produktif. Ini artinya akan ada pembebasan lahan dan menjadi ancaman atas hilangnya mata pencaharian bagi para penggarap. Tentu, para pemilik lahan tidak ada yang keberatan karena mereka membayangkan tanahnya dibeli dengan harga tinggi.
Para pemilik lahan sawah di Desa Mekarsari kebanyakan tidak bertani, karena mayoritas sudah lanjut usia sehingga menyewakan lahannya pada penggarap untuk ditanami padi, bawang merah, dan sayuran. Untuk membantu olah tanah, penggarap selalu menyewa tenaga buruh tani.
Tentu, rencana pembangunan PLTU membuat resah para
penggarap dan buruh tani. Jelas mereka menolak hadirnya PLTU baru. Mereka sudah
membayangkan, lahan sawah yang biasa mereka garap tergantikan oleh bangunan PLTU. Tanah pertanian yang tersisa, tempat mereka menggantungkan hidup, akan menjadi rebutan dan buruh tani yang lemah dalam persaingan akan tersingkir.
Berangkat dari keresahan tersebut, awal tahun 2015 perwakilan warga dari tiga desa yang terdiri dari penggarap, buruh tani, pemuka desa, pemuka agama, dan profesi lain saling berkomunikasi. Bergabung juga perwakilan nelayan dari desa tetangga, Desa Ujung Gebang, sebagai bentuk solidaritas. Mereka menghubungi WALHI Jawa Barat untuk meminta dukungan dan dampingan. Sejak saat itu WALHI Jawa Barat terlibat langsung dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap warga yang akan terdampak pembangunan PLTU di Desa Mekarsari dan sekitarnya.
Setelah melalui beberapa kali musyawarah, terpikir perlunya wadah perjuangan. Dengan difasilitasi oleh WALHI Jawa Barat, maka sekitar bulan September 2015 disepakati pembentukan forum organisasi yang diberi nama Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu, disingkat JATAYU.
Aksi yang dilakukan oleh petani penggarap lahan yang tergabung dalam JATAYU, tak jauh dari lokasi PLTU batubara Indramayu. (Kredit foto: WALHI Jawa Barat)
UPAYA PERLAWANAN WARGA DESA DIMULAIMinggu pertama November
2015 rangkaian kegiatan terkait
pengadaan lahan PLTU Indramayu dilakukan di tiga desa terdampak. Judul kegiatannya “Pemberitahuan Awal (Sosialisasi) Pengadaan Tanah
PLTU Indramayu 2 x 1000 MW“. Untuk bisa mengikuti acara, pihak PLN meminta warga menunjukan surat undangan. Jadi hanya pihak yang diundang saja yang bisa masuk. Sebagian besar acara dihadiri oleh para pemilik lahan.
Setelah acara sosialisasi, tidak ada lagi pertemuan lain. Hanya sekali itu saja. Sementara proses pengukuran lahan mulai berjalan. Lahan yang sudah diukur dan diverifikasi berlanjut ke proses pembayaran ke rekening bank pemilik lahan. Pembuatan rekening bank difasilitasi oleh PLN dan salah satu bank pemerintah daerah.
Sejak itu perwakilan warga tiga desa yang tergabung dalam JATAYU rutin berkumpul. Mereka berembuk membahas tindakan yang harus dilakukan. Atau hanya sekedar mencurahkan perasaan, yang pasti secara sikap menolak adanya PLTU baru. Karena keterdesakan akan kebutuhan dasar, mereka bersepakat akan menggarap lahan yang sudah dibebaskan. JATAYU meyakini tindakan itu sebagai simbol perjuangan menolak rencana kehadiran PLTU.
Di suatu pagi ratusan buruh
tani serempak turun ke lahan.
Laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali, semua membawa alat pertanian sederhana. Masing-masing memilih sendiri
bidang lahan yang akan digarap, tanpa berebut, termasuk jumlah luasannya sesuai kemampuan.
Tidak semua berencana akan
menanam padi, sebagian hanya
akan menanam bawang merah dan jenis sayuran. Itu karena mayoritas para buruh tani anggota JATAYU
sudah lanjut usia. Mereka hanya
mampu menggarap lahan tidak
lebih dari seperempat hektar
oleh sendiri, atau bersama istri.
Ditambah tidak mempunyai uang lebih untuk modal.
Ekspresi Penolakan dan Mekanisme Keluhan
Aksi warga Desa Mekarsari
menolak pembangunan PLTU
Indramayu dimulai pada bulan
Oktober 2016. Dengan dimotori
JATAYU, mereka mendatangi kantor Bupati Indramayu. Di gerbang
kantor Bupati, perwakilan warga
dan buruh tani melakukan orasi
atas keberatan tehadap adanya
tambahan PLTU di daerah mereka.
Sikap penolakan kemudian
diarahkan ke pusat pemerintahan. Pada Januari 2017 warga menuju
Jakarta, dengan harapan bisa
bertemu Presiden Joko Widodo
untuk meminta dibatalkannya proyek PLTU Indramayu.
Kedatangan ke Jakarta juga diisi dengan aksi dan orasi di depan Istana Presiden. Tapi niat bertemu Presiden kandas. Perwakilan massa aksi hanya diterima oleh Kantor Staf Presiden. Walau begitu, warga tetap memanfaatkan kesempatan yang diberikan. Di hadapan para pembantu Presiden mereka mencurahkan segala keluh kesah alasan penolakan dan permintaan PLTU Indramayu dibatalkan. Tapi tidak ada jawaban kongkrit yang didapatkan dari pertemuan itu.
Pembebasan lahan dinyatakan selesai pada tahun 2017. PLN lalu memasang plang penanda tanah milik negara di beberapa sudut lahan. Dicetak juga pada plang yang terpasang, peringatan larangan masuk dan memanfaatkan. Walau begitu, JATAYU tetap menanam.
Pada Juli 2017 alat berat mulai masuk dan menggaruk lahan sawah di Desa Sumuradem. Tujuannya untuk pembuatan jalan masuk proyek Gardu Induk Tegangan
Ekstra Tinggi (GITET) PLTU 1 Jawa Barat. Lokasi proyek itu sendiri bersebelahan dengan lahan tapak proyek PLTU Indramayu yang digarap JATAYU untuk bercocok tanam. Seketika warga berpikir bahwa itu pertanda proyek PLTU akan dimulai. Ratusan buruh tani lalu secara serentak menghadang alat berat, berhadapan dengan aparat keamanan dari Polisi dan TNI.
Upaya lain yang dilakukan warga adalah menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu yang dikeluarkan Bupati Indramayu.
Karena pada dasarnya Bupati tidak berwenang menerbitkan izin lingkungan. Alasan tersebut yang menjadi dasar gugatan warga. Langkah ini ditempuh bersama
WALHI Jawa Barat demi batalnya proyek PLTU Indramayu. Karena tanpa izin lingkungan, PLTU tidak bisa dibangun.
Upaya gugatan warga yang ditempuh bersama WALHI
Jawa Barat didampingi oleh
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung sebagai kuasa hukum dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) yang membantu dalam penyusunan dokumen gugatan.
Upaya pembatalan izin lingkungan PLTU Indramayu lewat gugatan hukum membuahkan hasil yang baik. Pada 6 Desember 2017, Hakim PTUN Bandung memutuskan ahwa izin lingkungan PLTU Indramayu tidak sah. Putusan Hakim PTUN juga memerintahkan kepada Bupati Indramayu untuk mencabut izin lingkungan tersebut. Keputusan tersebut disambut dengan sukacita oleh warga sebagai sebuah kemenangan. Walau sukacita itu hanya berlangsung sekejap. Pada 9 April 2018 Bupati Indramayu melakukan banding kasasi atas putusan sebelumnya dan dikabulkan Mahkamah Agung.
Walau kalah di pertarungan
gugatan hukum, tapi semangat JATAYU tidak surut. Mereka bahkan berencana untuk
memperkuat tekanan. Selama kurun waktu 2017 - 2022 buruh
tani warga Desa Mekarsari yang
tergabung di JATAYU melakukan
rangkaian aksi dan tindakan
lanjutan. Di antaranya, tanggal
18 April 2018 aksi menuntut
pembatalan pembangunan PLTU
Indramayu ke kantor PLN UIP Jawa
Bagian Tengah I di Kota Bandung. Lalu aksi ke DPRD Kabupaten
Indramayu pada 20 Oktober 2016
untuk meminta dukungan dan pembatalan PLTU Indramayu.
Kunjungan langsung meminta
pembatalan dukungan pembiayaan dan pelibatan pemerintah Jepang di proyek PLTU Indramayu yang
dilakukan di tahun 2016, 2018, dan 2019. Serta aksi di depan
Kedutaan Besar Jepang di Jakarta
tanggal 20 November 2020, sekaligus menyampaikan surat desakan meminta Jepang dan JICA untuk membatalkan dukungan
pembiayaan terhadap proyek PLTU Indramayu.
Gerakan
Gerakan warga kaum buruh
tani yang tergabung dalam JATAYU
semakin bergemuruh. Kondisi tersebut membuat pihak yang
mencari dan mendapat keuntungan dari rencana pembangunan
PLTU Indramayu terganggu. Hingga mereka melakukan runtutan tindakan intimidasi untuk menghancurkan semangat perjuangan warga.
Pada Januari 2018 empat orang warga desa dilaporkan ke polisi atas tuduhan melakukan
penganiayaan terhadap oknum sub kontraktor yang melakukan
kekerasan fisik kepada seorang buruh tani perempuan saat
berunjuk rasa di lokasi proyek GITET PLTU. Buntut dari pelaporan itu, keempat warga desa dinyatakan bersalah atas putusan hakim dalam persidangan. Mereka mendapat hukuman penjara selama kurang lebih satu tahun di rutan Indramayu.
Hanya berselang beberapa bulan, tiga orang buruh tani dijemput secara paksa pada tengah malam jelang dini hari oleh polisi bersenjata laras panjang. Mereka ditangkap dengan tuduhan melakukan penghinaan lambang negara, atas laporan memasang bendera Merah Putih terbalik. Faktanya, ketiga buruh tani tersebut tidak melakukan perbuatan itu. Tidak pernah ada pemasangan bendera yang dibalik. Ketiganya lantas tetap didakwa bersalah oleh hakim di persidangan dan dihukum penjara selama kurang lebih 5 bulan.
Atas kedua kasus tersebut, warga dan semua pihak yang mendukung menyimpulkan, bahwa itu semua merupakan tindakan kriminalisasi untuk menghancurkan semangat gerakan perjuangan warga yang menggelora. Walau pada kenyataannya gagal. Semangat dan persatuan warga tetap utuh, bahkan bertumbuh.
Rabu 22 Juni 2022, langit cerah dan biru. Saat matahari terbit, para buruh tani warga Desa Mekarsari, anggota JATAYU, berangkat ke lahan garapan yang direncanakan pemerintah akan dibangun PLTU. Hamparan sawah dan kebun yang subur di tepi pantai laut utara Pulau Jawa, yang perlahan tergerus gelombang kenaikan muka air laut. Sebuah wujud nyata dampak perubahan iklim yang dipicu oleh emisi karbon dari PLTU batu bara.
Bagi warga Desa Mekrasari, mengolah lahan sudah menjadi budaya turun temurun. Proses menanam dan merawat yang dilakukan sepanjang tahun secara berulang. Hal ini menjadi bagian penting dari sumber kehidupan yang mesti dilindungi secara terus menerus, bukan malah dirubah fungsinya menjadi lahan yang ditanami beton dan besi. Bertani adalah urat nadi kehidupan mereka dalam menggantungkan harapan dan masa depan.
Di hari yang sama, WALHI
Jawa Barat mendapat pesan
singkat lewat telepon seluler dari Friends of the Earth Jepang. Pesan itu berisi tautan berita salah satu media daring di Jepang, dengan judul berita setelah diterjemahkan yaitu “Pemerintah menangguhkan dukungan ODA untuk tenaga batu bara terhadap Bangladesh dan Indonesia“.
Setelah dibaca dan dicermati lebih jauh, pembangkit listrik yang dimaksud adalah PLTU Indramayu. Tentu saja berita itu menjadi kabar baik yang sangat istimewa. Untuk
lebih memastikan, WALHI Jawa
Barat menghubungi balik Friends of the Earth Jepang soal kepastian berita itu. Mereka menjelaskan, bahwa sudah menghubungi pihak berwenang di pemerintahan Jepang dan masih menunggu jawaban.
Selang beberapa menit, salah satu media terpercaya di Jepang mempublikasikan berita yang sama. Ditambah siaran pers dari Kementerian Luar Negeri Jepang. Fakta-fakta tersebut membuat kami semakin yakin, bahwa benar pemerintah Jepang telah menghentikan dukungan dana untuk dua PLTU di Indonesia dan Bangladesh. Saat itu juga
WALHI Jawa Barat langsung memberi kabar ke ketua JATAYU lewat sambungan telepon. Berita gembira tersebut lalu diteruskan ke warga lain yang sedang bekerja di lahan. Sontak mereka menyuarakan takbir dan ucapan syukur, di atas lahan yang sedang mereka garap.
Dua hari kemudian warga para buruh tani menggelar syukuran. Mereka memanjatkan doa sekaligus merayakan apa yang disikapi sebagai suatu kemenangan. Daya upaya tak
Tangkapan layar dari salah satu media di Jepang yang memuat berita terkait penangguhan dukungan ODA, salah satunya terhadap PLTU di Indramayu. (Kredit foto: WALHI Jawa Barat)
kenal surut dalam mendesak pemerintah Jepang untuk mundur
dari proyek PLTU Indramayu, yang telah dilakukan sejak tahun 2015, telah membuahkan hasil.
Walaupun mereka sadar, lahan yang mereka garap sudah beralih kepemilikan ke PLN. Karena suatu saat para penggarap dan buruh tani harus keluar ketika PLN akan menggunakannya.
Potensi ancaman ekspansi
PLTU juga ada di Kabupaten
Cirebon. Saat ini sudah ada dua
PLTU yang beroperasi, yaitu PLTU
Cirebon 1x660 MW dan PLTU
Cirebon 1x1000 MW. Kabarnya akan ditambah satu PLTU lagi, yaitu PLTU Tanjung Jati A/Jawa
3 dengan kapasitas 2x660 MW. Dengan begitu, nantinya akan ada tiga PLTU batu bara di satu hamparan lokasi yang saling berdekatan.
Sejak tahun 2008, warga didampingi organisasi lingkungan hidup sudah melakukan daya upaya untuk mencegah pembangunan
PLTU di Kabupaten Cirebon. Tapi usaha tersebut gagal karena PLTU Cirebon unit 1 dan 2 pada akhirnya tetap dibangun. Dari dua PLTU
tersebut, PLTU Cirebon unit 2 baru selesai pembangunanya pada tahun 2022 lalu dengan kapasitas 1x1000 MW.
Hanya berjarak sekitar satu kilometer dari PLTU Cirebon unit 2 ke arah timur, akan dibangun
PLTU Tanjung Jati A/Jawa 3. Tapi proyek pembangunan PLTU
Tanjung Jati A/Jawa 3 tak kunjung
terlaksana karena terkendala dalam pendanaannya. Padahal dalam rencana yang ada, seharusnya pembangkit tersebut sudah mulai dibangun pada tahun 2016. Kondisi ini menjadi peluang baik untuk mengambil langkah hukum. Yaitu menggugat izin lingkungannya, walau belum pasti bakal
mendapatkan hasil yang diinginkan.
Selaku penggugat adalah
WALHI sebagai organisasi
lingkungan yang memiliki legal standing. Sedangkan pihak tergugat adalah Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
selaku penerbit Izin Lingkungan
PLTU Tanjung Jati A/Jawa 3. Sidang pembacaan gugatan dilakukan
pada 30 Juni 2022 di Pengadilan
Tata Usaha Negara Bandung. Adapun alasan yang dijadikan dasar gugatan adalah :
a. PLTU Tanjung Jati A akan berkontribusi pada perubahan iklim yang telah menjadi ancaman bumi. Berdasarkan perhitungan, PLTU Tanjung Jati A/Jawa 3 akan mengeluarkan 16 juta metrik ton CO2 dalam setahun. Jika dihitung
PLTU akan beroperasi selama 30 tahun sesuai dengan umur Izin
Usaha, maka PLTU Tanjung Jati A/ Jawa 3 akan mengeluarkan total 480 juta ton CO2. Oleh karena itu penerbitan Izin Lingkungan
bertentangan dengan asasasas di dalam UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Administrasi Pemerintahan.
b. Pembangunan dan operasional PLTU batu bara
Tanjung Jati A/Jawa 3 berpotensi menimbulkan keuangan negara.
Dengan kondisi kelistrikan Jawa yang sudah kelebihan pasokan, tambahan produksi listrik dari
PLTU batu bara Tanjung Jati A/
Jawa 3 akan semakin menambah
kelebihan pasokan listrik di Jawa.
Oleh karena itu potensi tidak
terserapnya listrik PLTU batu bara
Tanjung Jati A/Jawa 3 ke konsumen
sangat tinggi. Padahal PLN
terbebani untuk membayar listrik yang dihasilkan sesuai dengan
kesepakatan Perjanjian Jual Beli.
Atas dasar hal tersebut, WALHI
dan Kuasa Hukum memandang
penerbitan Izin Lingkungan
bertentangan dengan asas-asas di UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Ketika rangkaian proses persidangan masih berlangsung, kabar baik kembali datang. Salah satu media nasional
memuat pernyataan PLN yang
membatalkan rencana pengadaan
PLTU Tanjung Jati A/Jawa 3.
Beberapa bulan kemudian kabar baik itu disusul dengan hasil putusan Hakim PTUN Bandung yang mengabulkan gugatan WALHI.
Izin Lingkungan PLTU Tanjung
Jati A/Jawa 3 dinyatakan batal dan harus dicabut.
Keputusan Jepang
membatalkan dukungan
pendanaan untuk pembangunan PLTU Indramayu, maupun
keputusan Hakim PTUN
membatalkan Izin Lingkungan
proyek PLTU Tanjung Jati A/ Jawa 3 di Cirebon, adalah simbol
kemenangan rakyat, lingkungan, dan planet bumi.
Tekanan masyarakat dunia untuk menghentikan penggunaan energi berbahan bakar fosil, khususnya batu bara, sebagai bahan pembangkit tenaga listrik bisa dikatakan berhasil. Negara maju mulai meninggalkan teknologi PLTU batu bara. Padahal dulu mereka adalah penemu, pengguna, sekaligus penjual. Lembaga pendanaan keuangan asing dan internasional juga ramai - ramai berpaling. Mereka tidak lagi tertarik menjadi penyokong modal proyek pembangunan PLTU batu bara. Kecuali perbankan plat merah dan swasta Indonesia yang masih senang mendulang rente dari teknologi kotor itu.
Gagasan transisi energi dan pensiun dini dari PLTU batu bara juga sudah diterima, bahkan direalisasikan. Pada tahun 2022 muncul rencana 2 PLTU batu bara di Jawa Barat yang akan dihentikan lebih awal oleh pemerintah Indonesia. Yaitu PLTU Cirebon unit 1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan bahkan PLTU Indramayu 1. Namun kelanjutannya harus terus dikawal mengingat mekanismenya yang tidak transparan.
Di sisi lain, masih ada gagasan yang dipromosikan sebagai solusi krisis iklim padahal palsu. Seperti penggunaan biomassa dan pelet sampah sebagai pengganti batu bara. Lalu mengkonversi batu bara menjadi gas untuk bahan akar, disebut gasifikasi. Atau tindakan menangkap CO2 untuk selanjutnya disuntik ke dalam tanah, lalu kemudian didaur ulang untuk penggunaan lebih lanjut. Semua yang diterima dan dilakukan oleh pemerintah itu, pada kenyataannya justru malah akan menambah besarnya potensi kerusakan lingkungan.
Jepang mundur dari proyek PLTU Indramayu dan PLTU Tanjung Jati A/Jawa 3 yang membuat kedua proyek tersebut dibatalkan. Tapi kenyatannya lahan sawah dan tambak garam bakal tapak kedua proyek itu sudah tak lagi milik rakyat. Pemilik saat ini, yaitu PLN dan konsorsium YTL Bakrie, mungkin bisa membangun pembangkit listrik lain di atasnya. Bisa jadi pada akhirnya warga para penggarap lahan akan tersingkir. Tapi selama ada harapan, bara perjuangan rakyat tidak akan pernah padam.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas tersusunnya laporan dan riset tentang PLTU Batu Bara ini. Kontributor: Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU), Friends of The Earth Japan, Market Forces, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Koalisi Bersihkan Indonesia. Desain & Tata Letak: Kupa Media Lestari. Infografis: Kupa Media Lestari. Diterbitkan oleh: Eksekutif Daerah
WALHI Jawa Barat untuk didistribusikan kepada semua jejaring WALHI yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Alamat Redaksi: Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat Jl. Pecah Kopi No.14 Bandung, Jawa Barat, Indonesia E-mail: walhijabar@walhi.or.id
© WALHI Jawa Barat 2023