4 minute read

Upaya Perlawanan Warga Desa Dimulai

Next Article
Awal Kebangkitan

Awal Kebangkitan

Minggu pertama November

2015 rangkaian kegiatan terkait pengadaan lahan PLTU Indramayu dilakukan di tiga desa terdampak. Judul kegiatannya “Pemberitahuan Awal (Sosialisasi) Pengadaan Tanah

Advertisement

PLTU Indramayu 2 x 1000 MW“. Untuk bisa mengikuti acara, pihak PLN meminta warga menunjukan surat undangan. Jadi hanya pihak yang diundang saja yang bisa masuk. Sebagian besar acara dihadiri oleh para pemilik lahan.

Setelah acara sosialisasi, tidak ada lagi pertemuan lain. Hanya sekali itu saja. Sementara proses pengukuran lahan mulai berjalan. Lahan yang sudah diukur dan diverifikasi berlanjut ke proses pembayaran ke rekening bank pemilik lahan. Pembuatan rekening bank difasilitasi oleh PLN dan salah satu bank pemerintah daerah.

Sejak itu perwakilan warga tiga desa yang tergabung dalam JATAYU rutin berkumpul. Mereka berembuk membahas tindakan yang harus dilakukan. Atau hanya sekedar mencurahkan perasaan, yang pasti secara sikap menolak adanya PLTU baru. Karena keterdesakan akan kebutuhan dasar, mereka bersepakat akan menggarap lahan yang sudah dibebaskan. JATAYU meyakini tindakan itu sebagai simbol perjuangan menolak rencana kehadiran PLTU.

Di suatu pagi ratusan buruh tani serempak turun ke lahan.

Laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali, semua membawa alat pertanian sederhana. Masing-masing memilih sendiri bidang lahan yang akan digarap, tanpa berebut, termasuk jumlah luasannya sesuai kemampuan.

Tidak semua berencana akan menanam padi, sebagian hanya akan menanam bawang merah dan jenis sayuran. Itu karena mayoritas para buruh tani anggota JATAYU sudah lanjut usia. Mereka hanya mampu menggarap lahan tidak lebih dari seperempat hektar oleh sendiri, atau bersama istri.

Ditambah tidak mempunyai uang lebih untuk modal.

Ekspresi Penolakan dan Mekanisme Keluhan

Aksi warga Desa Mekarsari menolak pembangunan PLTU

Indramayu dimulai pada bulan

Oktober 2016. Dengan dimotori

JATAYU, mereka mendatangi kantor Bupati Indramayu. Di gerbang kantor Bupati, perwakilan warga dan buruh tani melakukan orasi atas keberatan tehadap adanya tambahan PLTU di daerah mereka.

Sikap penolakan kemudian diarahkan ke pusat pemerintahan. Pada Januari 2017 warga menuju

Jakarta, dengan harapan bisa bertemu Presiden Joko Widodo untuk meminta dibatalkannya proyek PLTU Indramayu.

Kedatangan ke Jakarta juga diisi dengan aksi dan orasi di depan Istana Presiden. Tapi niat bertemu Presiden kandas. Perwakilan massa aksi hanya diterima oleh Kantor Staf Presiden. Walau begitu, warga tetap memanfaatkan kesempatan yang diberikan. Di hadapan para pembantu Presiden mereka mencurahkan segala keluh kesah alasan penolakan dan permintaan PLTU Indramayu dibatalkan. Tapi tidak ada jawaban kongkrit yang didapatkan dari pertemuan itu.

Pembebasan lahan dinyatakan selesai pada tahun 2017. PLN lalu memasang plang penanda tanah milik negara di beberapa sudut lahan. Dicetak juga pada plang yang terpasang, peringatan larangan masuk dan memanfaatkan. Walau begitu, JATAYU tetap menanam.

Pada Juli 2017 alat berat mulai masuk dan menggaruk lahan sawah di Desa Sumuradem. Tujuannya untuk pembuatan jalan masuk proyek Gardu Induk Tegangan

Ekstra Tinggi (GITET) PLTU 1 Jawa Barat. Lokasi proyek itu sendiri bersebelahan dengan lahan tapak proyek PLTU Indramayu yang digarap JATAYU untuk bercocok tanam. Seketika warga berpikir bahwa itu pertanda proyek PLTU akan dimulai. Ratusan buruh tani lalu secara serentak menghadang alat berat, berhadapan dengan aparat keamanan dari Polisi dan TNI.

Upaya lain yang dilakukan warga adalah menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu yang dikeluarkan Bupati Indramayu.

Karena pada dasarnya Bupati tidak berwenang menerbitkan izin lingkungan. Alasan tersebut yang menjadi dasar gugatan warga. Langkah ini ditempuh bersama

WALHI Jawa Barat demi batalnya proyek PLTU Indramayu. Karena tanpa izin lingkungan, PLTU tidak bisa dibangun.

Upaya gugatan warga yang ditempuh bersama WALHI

Jawa Barat didampingi oleh

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung sebagai kuasa hukum dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) yang membantu dalam penyusunan dokumen gugatan.

Upaya pembatalan izin lingkungan PLTU Indramayu lewat gugatan hukum membuahkan hasil yang baik. Pada 6 Desember 2017, Hakim PTUN Bandung memutuskan ahwa izin lingkungan PLTU Indramayu tidak sah. Putusan Hakim PTUN juga memerintahkan kepada Bupati Indramayu untuk mencabut izin lingkungan tersebut. Keputusan tersebut disambut dengan sukacita oleh warga sebagai sebuah kemenangan. Walau sukacita itu hanya berlangsung sekejap. Pada 9 April 2018 Bupati Indramayu melakukan banding kasasi atas putusan sebelumnya dan dikabulkan Mahkamah Agung.

Walau kalah di pertarungan gugatan hukum, tapi semangat JATAYU tidak surut. Mereka bahkan berencana untuk memperkuat tekanan. Selama kurun waktu 2017 - 2022 buruh tani warga Desa Mekarsari yang tergabung di JATAYU melakukan rangkaian aksi dan tindakan lanjutan. Di antaranya, tanggal

18 April 2018 aksi menuntut pembatalan pembangunan PLTU

Indramayu ke kantor PLN UIP Jawa

Bagian Tengah I di Kota Bandung. Lalu aksi ke DPRD Kabupaten

Indramayu pada 20 Oktober 2016 untuk meminta dukungan dan pembatalan PLTU Indramayu.

Kunjungan langsung meminta pembatalan dukungan pembiayaan dan pelibatan pemerintah Jepang di proyek PLTU Indramayu yang dilakukan di tahun 2016, 2018, dan 2019. Serta aksi di depan

Kedutaan Besar Jepang di Jakarta tanggal 20 November 2020, sekaligus menyampaikan surat desakan meminta Jepang dan JICA untuk membatalkan dukungan pembiayaan terhadap proyek PLTU Indramayu.

Percobaan Menghancurkan

Gerakan

Gerakan warga kaum buruh tani yang tergabung dalam JATAYU semakin bergemuruh. Kondisi tersebut membuat pihak yang mencari dan mendapat keuntungan dari rencana pembangunan

PLTU Indramayu terganggu. Hingga mereka melakukan runtutan tindakan intimidasi untuk menghancurkan semangat perjuangan warga.

Pada Januari 2018 empat orang warga desa dilaporkan ke polisi atas tuduhan melakukan penganiayaan terhadap oknum sub kontraktor yang melakukan kekerasan fisik kepada seorang buruh tani perempuan saat berunjuk rasa di lokasi proyek GITET PLTU. Buntut dari pelaporan itu, keempat warga desa dinyatakan bersalah atas putusan hakim dalam persidangan. Mereka mendapat hukuman penjara selama kurang lebih satu tahun di rutan Indramayu.

Hanya berselang beberapa bulan, tiga orang buruh tani dijemput secara paksa pada tengah malam jelang dini hari oleh polisi bersenjata laras panjang. Mereka ditangkap dengan tuduhan melakukan penghinaan lambang negara, atas laporan memasang bendera Merah Putih terbalik. Faktanya, ketiga buruh tani tersebut tidak melakukan perbuatan itu. Tidak pernah ada pemasangan bendera yang dibalik. Ketiganya lantas tetap didakwa bersalah oleh hakim di persidangan dan dihukum penjara selama kurang lebih 5 bulan.

Atas kedua kasus tersebut, warga dan semua pihak yang mendukung menyimpulkan, bahwa itu semua merupakan tindakan kriminalisasi untuk menghancurkan semangat gerakan perjuangan warga yang menggelora. Walau pada kenyataannya gagal. Semangat dan persatuan warga tetap utuh, bahkan bertumbuh.

This article is from: