INNOVATIONS AND TECHNOLOGY
2 KEMENTERIAN BEKERJA SAMA UNTUK MENINGKATKAN KEMAJUAN TEKNOLOGI DI INDUSTRI KELAPA SAWIT
2 MINISTRIES TEAM UP TO IMPROVE TECHNOLOGICAL ADVANCEMENTS IN PALM OIL INDUSTRY
INNOVATIONS AND TECHNOLOGY
2 KEMENTERIAN BEKERJA SAMA UNTUK MENINGKATKAN KEMAJUAN TEKNOLOGI DI INDUSTRI KELAPA SAWIT
2 MINISTRIES TEAM UP TO IMPROVE TECHNOLOGICAL ADVANCEMENTS IN PALM OIL INDUSTRY
Kaltimex Energy (KE) offers power as one of its Total Power Solutions, either on a Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT ) basis or as an Independent Power Producer (IPP). Kaltimex Energy is also proud to ser ve Indonesia's Palm Oil & Sugar Industr y, having installed more than 220 Steam Turbine units, generating around 300 MW of electricity in total
Incorporated in 1996 in Indonesia with the target of being one of the leading companies to provide distributed power in Indonesia, Kaltimex Energy was the pioneer in obtaining the first IPP license in the private sector to operate a 23 MW Power Plant for a large textile company in Central Java. Since then, Kaltimex Energy has installed 750 MW in Kalimantan, Sulawesi, and Sumatera, including for the Rental (PLN), Palm Oil, and Sugar sectors With the development and the necessity to move towards greener and more sustainable energy, Kaltimex Group is now actively developing Renewable Energy (RE) projects using Biogas, Biomass, Municipal Solid Waste, and other energy efficienc y technologies
As a certified ISO 37001:2016, ISO 45001:2018, ISO 9001:2015, and ISO 14001: 2015 company, Kaltimex Energy implements international standards for Quality, Environment, Anti-bribery, and Occupational Health & Safety (HSE) Management Systems to ensure that the ser vices delivered are best In class.
K altimex represents Max watt Turbo Systems, one of India's leading steam turbine manufacturers, and it provides several products:
• Steam turbines of up to 10,000 kW capacity
• Energy recover y turbines of up to 2000 kW capacity
• Centrifugal vapor compressors of up to 100 Tons per Hour (at 1 Bar pressure)
Max watt's unique design and time-tested features provide high per formance and reliability for small turbine solutions with competitive pricing. A customized approach coupled with expertise in the field offers clients efficient product choices
Max watt also offers a fully integrated Steam Turbine Generator Pack age for industrial cogeneration, power generation, and energy recover y applications
Kaltimex Energy can set up plants with gas engines ranging from 400 kW to 4,500 kW, with an output of up to 100,000 kW These plants are designed for maximum electrical and thermal efficienc y, low operating and service costs, and high reliability and availability, achieving an efficienc y of over 90 percent.
MWM's installations in Indonesia have reached more than 420 MW, spread nationwide. The vast installation of MWM's brand is trustwor thy and well-accepted in Indonesia.
With the increasing need for greener and sustainable energy solutions, Kaltimex is committed to contributing to this challenging global Initiative. As a Total Power Solutions company, we have a higher calling to develop power plants from renewable energy sources, such as Municipal Solid Waste, Agricultural Waste, and other Organic or Inorganic Waste
Palm Kernel Oil
and De -Oiled Palm Kernel Pellets (PKP) obtained via the Solvent Extraction process results in a zero-waste solution for those in the Palm Oil
The solvent extraction process augments traditional palm kernel oil production. The second press from the Kernel Crushing Plant (KCP) extracts nearly all remaining CPKO in the Palm Kernel Ex tract (PKE). Palm Kernel Cakes containing ~8% palm oil is a potential source for fur ther extraction (up to 90%) with Solvent Extraction Technology, and the pelletized de - oiled Palm Kernel Meal (PKM) becomes Animal Feed. Solvent Extraction augments sustainable practices and a reliable technology that reduces waste.
Mobiol technology provides a sustainable alternative solution to the palm oil industr y to reduce the environmental impact by using By-LPO as the feedstock for producing DHA via patented bioengineered algae technology.
By-LPO is the water-phase by-product of CPO (Crude Palm Oil). This alternative opens a large market for the sustainable production of DHA Omega-3 essential supplements, compared to traditional methods like oceanic over fishing to extract DHA.
Susan Tricia
Managing Editor
Susan Tricia
Publications Manager
Amelia Lim
amelia@fireworksid.com
Editorial Consultant
Kenny Yong
Content Editor
Kristina Yang
Media Executives
Paulina Shu
Veronica Anugrah
Graphic Designer
Kelly Chou
Publisher
Welcome to the latest edition of our bilingual magazine, where we explore the dynamic world of sustainable agriculture, cutting-edge innovations, and ecological stewardship both locally and globally. Join us as we navigate the complex landscape of agribusiness, offering in-depth analyses and thought-provoking stories from around the world.
In a significant stride towards sustainability, two ministries have joined forces to enhance technological advancements in the palm oil industry.
We extend our heartfelt gratitude to our esteemed contributors, valued advertisers, and dedicated readers. Your unwavering support drives our commitment to excellence, ensuring each issue reflects journalistic integrity and intellectual curiosity.
Prepare to embark on an immersive journey through the realms of agricultural sustainability and technological innovation. Each page you turn promises to be enlightening and enriching.
6
Malaysia merencanakan ‘Diplomasi Orangutan’ di lapangan kelapa sawit
Malaysia plans ‘Orangutan Diplomacy’ in palm oil pitch
Indonesia dan Malaysia: minyak sawit di bawah tekanan dari produk pengganti dan peraturan deforestasi UE
Indonesia and Malaysia: palm oil under pressure from substitutes and EU deforestation regulation
Pemerintah Thailand akan menyelidiki penurunan harga kelapa sawit di selatan
Thailand government to investigate palm oil price dip in the south
Pasar minyak sawit tetap positif dengan permintaan yang kuat dari India, Tiongkok dan UE
Palm oil market to remain positive with strong demand from India, China and EU
Menteri: indonesia sumbangi 54% ekspor minyak sawit dunia
Indonesia accounts for 54% of global palm oil exports: minister
Perjalanan India menuju keamanan pangan bergantung pada budidaya minyak kelapa sawit
India’s trajectory toward food security hinges upon palm oil cultivation
Menjadikan industri kelapa sawit lebih ramah lingkungan Making the palm oil industry greener
Kekhawatiran terhadap keberlanjutan dan petani kecil: negaranegara produsen minyak sawit mempertanyakan “Model Alur Kerja” deforestasi UE
Sustainability and smallholder concerns: palm oil producing nations question EU’s deforestation “Workstream Model”
Para eksekutif perusahaan kelapa sawit mendiskusikan
keberlanjutan rantai pasokan untuk produk kosmetik & PBC
Palm oil company execs discuss supply chain sustainability for cosmetics & PBC products
Sabah berada di jalur produksi minyak sawit berkelanjutan
Sabah on track for sustainable palm oil production
MPOCC berganti nama menjadi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO)
MPOCC renamed as Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO)
2 kementerian bekerja sama untuk meningkatkan kemajuan
teknologi di industri kelapa sawit
2 ministries team up to improve technological advancements in palm oil industry
Sektor perkebunan didorong untuk meningkatkan penggunaan teknologi hindari deforestasi
Plantation sector urged to increase the use of technology, avoid deforestation
Advancing kernel press maintenance practice (YKL Group)
Solusi inovatif mengatasi tantangan limbah minyak sawit Malaysia
Innovative solutions address Malaysia’s palm oil waste challenge
Menteri Komoditas mengatakan hewan-hewan yang terancam punah dapat diberikan kepada negara-negara yang membeli minyak sawit Malaysia.
Malaysia mengatakan pihaknya berencana memulai program “diplomasi orangutan” untuk negara-negara yang membeli minyak sawitnya. Negara di Asia Tenggara ini merupakan produsen minyak nabati terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, namun para pengkritiknya mengatakan bahwa pengembangan besar-besaran industri ini telah memicu penggundulan hutan dan menghancurkan habitat orangutan yang terancam punah dan spesies penting lainnya di salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Orangutan hanya hidup di pulau Kalimantan dan pulau Sumatra di Indonesia.
Daftar Merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam memperkirakan populasi orangutan di Kalimantan, yang terbagi antara Brunei, Indonesia dan Malaysia, akan menurun menjadi sekitar 47.000 pada tahun 2025 sebagai akibat dari tekanan manusia dan hilangnya habitat. Diperkirakan ada sekitar 13.500 orangutan yang tersisa di Sumatera. Menteri Perkebunan dan Komoditas Johari Abdul Ghani mengatakan program orangutan ini terinspirasi oleh diplomasi panda Tiongkok dan akan menargetkan negara-negara yang membeli minyak sawit untuk “membuktikan” komitmen Malaysia terhadap konservasi dan keanekaragaman hayati. Ia mengatakan negara-negara pengimpor utama, seperti Tiongkok, India dan beberapa anggota Uni Eropa, kemungkinan besar akan menerima orangutan tersebut.
Dia tidak merinci bagaimana program itu akan berjalan atau kapan akan dimulai.
“Malaysia tidak bisa mengambil pendekatan defensif terhadap minyak sawit,” katanya kepada para delegasi di forum keanekaragaman hayati di Genting, sebelah timur Kuala Lumpur, yang kemudian ia bagikan di media sosial. “Kita perlu menunjukkan kepada negara-negara di dunia bahwa Malaysia adalah produsen kelapa sawit berkelanjutan dan berkomitmen untuk melindungi hutan.” Beijing, yang menjalankan program pembiakan panda raksasa, umumnya meminjamkan panda selama 10 tahun asalkan negara tersebut memenuhi persyaratan tertentu untuk perawatan mereka. Malaysia menerima dua ekor panda pada tahun 2014 , dan membangun kandang berAC bernilai jutaan dolar di Kebun Binatang Nasional di Kuala Lumpur.
Malaysia tidak memiliki program penangkaran orangutan, meskipun terdapat pusat konservasi orangutan di Sarawak dan Sabah di Kalimantan. LSM juga menjalankan program konservasi untuk memulihkan habitat mereka. Johari mendesak produsen minyak sawit besar untuk berkolaborasi dengan LSM dalam bidang konservasi dan keberlanjutan. Minyak sawit digunakan dalam berbagai macam produk, mulai dari sampo hingga es krim dan roti. Industri ini telah mencoba untuk meningkatkan keberlanjutan di tengah tekanan dari para aktivis mengenai dampaknya terhadap lingkungan melalui kelompok-kelompok seperti Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO).
Malaysia has said it plans to start an “orangutan diplomacy” programme for countries that buy its palm oil. The Southeast Asian nation is the world’s second biggest producer of the edible oil after Indonesia, but critics say the mass development of the industry has fuelled deforestation and destroyed the habitat of critically endangered orangutans and other emblematic species in one of the world’s biodiversity hotspots. Orangutans live only on the island of Borneo and the Indonesian island of Sumatra.
The International Union for Conservation of Nature’s Red List estimates the orangutan population on Borneo, which is shared between Brunei, Indonesia and Malaysia, will decline to about 47,000 by 2025 as a result of human pressures and loss of habitat. It estimates there are about 13,500 orangutans left in Sumatra. Minister of Plantation and Commodities Johari Abdul Ghani said the orangutan programme was inspired by China’s panda diplomacy and would target countries buying palm oil to “prove” Malaysia’s commitment to conservation and biodiversity. He said leading importing countries, such as China, India and some European Union members, would likely receive the orangutans. He did not elaborate on how the programme would work or when it would start.
“Malaysia cannot take a defensive approach to palm oil,” he told delegates at a biodiversity forum in Genting, east of Kuala Lumpur, that he later shared on social media. “We need to show the countries of the world that Malaysia is a sustainable oil palm producer and committed to protecting forests.”
Commodities minister says critically endangered animals could be given to countries that buy Malaysia’s palm oil.
Beijing, which operates a giant panda breeding programme, generally loans pandas for 10 years providing the countries meet certain conditions for their care. Malaysia received two pandas in 2014, building them a multimillion-dollar airconditioned enclosure at the National Zoo in Kuala Lumpur.
Malaysia does not have a breeding programme for orangutans, although there are conservation centres for them in Sarawak and Sabah on Borneo. NGOs also run conservation programmes to restore their habitat. Johari urged large palm oil producers to collaborate with NGOs on conservation and sustainability. Palm oil is used in a huge variety of products, from shampoo to ice cream and bread. The industry has been trying to improve sustainability amid pressure from campaigners over its effect on the environment through groups such as the Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO).
Industri minyak sawit, terutama di Indonesia dan Malaysia, dua produsen terbesar di dunia, menghadapi tantangan dari produk pengganti yang diklaim ramah lingkungan. C16 Bioscience, sebuah perusahaan yang berbasis di AS, telah mengembangkan pengganti minyak sawit sejak tahun 2017 dengan Bill Gates, pendiri Microsoft, sebagai salah satu investornya.
Munculnya produk baru sebagai pengganti produk yang sudah ada merupakan hal yang lumrah dalam dunia industri. Agar berhasil, produsen harus menyoroti kelebihan produk pengganti dan kelemahan produk sasaran. C16 melakukan hal ini dengan mempromosikan keunggulan produk penggantinya dibandingkan minyak sawit. Pada saat yang sama, industri minyak sawit Indonesia dan Malaysia menghadapi tekanan dari Peraturan Deforestasi Uni Eropa ( EUDR ), yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi produk terkait deforestasi.
Dalam postingannya pada bulan Februari 2024 di gatesnotes.com, Gates mengungkapkan kemajuan C16 dalam mengembangkan pengganti minyak sawit. Minyak C16 diproduksi melalui fermentasi bebas emisi dengan mikroorganisme, tidak seperti ekstraksi minyak sawit tradisional dari kawasan gundul. Meskipun ada beberapa perbedaan kimia, minyak C16 memiliki asam lemak dan kemungkinan penerapan yang serupa dengan minyak sawit. Gates mengkritik Indonesia dan Malaysia karena menyumbang 1,4 persen terhadap emisi bersih CO2e global. Pada bulan November 2022, C16 mengumumkan tonggak sejarah dalam komersialisasi pengganti minyak sawit dengan merek Palmless, fermentasi skala industri pertama (mengoperasikan tangki fermentasi berkapasitas 50.000 liter). Palmless dapat digunakan dalam berbagai aplikasi produk konsumen seperti kecantikan, perawatan pribadi, perawatan rumah tangga, dan produk makanan. Pada tahap ini, fokus C16 adalah meningkatkan kesadaran dan memanfaatkan Palmless untuk memungkinkan merek lain berinovasi secara berkelanjutan.
Di situsnya, C16 mempromosikan Palmless dengan menekankan dampak buruk minyak sawit terhadap lingkungan. Mereka meragukan efektivitas sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil ( RSPO ), karena minyak sawit bersertifikat sering dicampur dengan minyak sawit non-sertifikasi, sehingga menghambat penelusuran sumber meskipun kriteria RSPO melarang pembukaan hutan primer atau kawasan yang kaya keanekaragaman hayati.
Kini, C16 memanfaatkan EUDR untuk memperluas pemanfaatan Palmless. Perusahaan merekomendasikan agar produsen hilir mendiversifikasi rantai pasokan mereka dengan menggunakan alternatif minyak sawit seperti Palmless, yang berada di luar cakupan EUDR. Untuk menghadapi potensi produk pengganti dan tindakan sepihak UE, negara-negara produsen minyak sawit harus memastikan rantai pasokan yang berkelanjutan. Konsumsi minyak sawit akan terus meningkat di negara-negara dimana permintaan pangan, khususnya minyak goreng, meningkat sementara permintaan akan minyak sawit berkelanjutan masih dalam tahap awal.
EUDR yang akan mulai berlaku pada 30 Desember 2024 mewajibkan penilaian terhadap tujuh komoditas termasuk minyak sawit. Ia juga mengkategorikan kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi. Kriteria EUDR mencakup produksi bebas deforestasi, ketertelusuran sumber daya, dan aktivitas produksi legal. EUDR mencerminkan Otonomi Strategis Terbuka (OSA) Uni Eropa, yang memperkuat kemampuan Uni Eropa untuk bertindak secara sepihak namun tetap terbuka terhadap kerja sama. Hal ini memungkinkan UE untuk meningkatkan daya saing industri minyak lobak dan bunga matahari serta mengatur impor minyak sawit, namun juga memungkinkan kerja sama dengan negara-negara produsen.
Keterbukaan UE ditunjukkan melalui kerja samanya dengan Indonesia dan Malaysia dalam Ad Hoc Joint Task Force (JTF) di EUDR. Pada tanggal 2 Februari 2024, pertemuan JTF berfokus pada kolaborasi untuk mengatasi tantangan EUDR dan memastikan kepatuhan. UE berkomitmen untuk mengatasi kekhawatiran Indonesia dan Malaysia sambil mencari solusi.
Sementara itu, deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih terus terjadi. Sebuah laporan dari Rainforest Action Network mengungkapkan bahwa operator skala kecil membuka hutan untuk memenuhi permintaan perluasan pabrik pengolahan. Deforestasi ini mengkhawatirkan karena sebagian terjadi di Ekosistem Leuser, khususnya rawa gambut Trumon Singkil-Bengkung, yang merupakan salah satu ekosistem yang paling kaya dan paling rentan secara ekologis. Pergeseran dari operasi skala besar ke skala kecil menyoroti tren deforestasi yang lebih luas yang terkait dengan perkebunan.
Minyak sawit yang menggunakan bahan-bahan dari kawasan yang mengalami deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020 akan dilarang berdasarkan EUDR. Sekalipun produk tersebut berasal dari wilayah yang memenuhi syarat, UE dapat menolak produk tersebut jika produk tersebut datang tanpa laporan uji tuntas dan geolokasi yang tepat. Selain itu, menurut EU Agricultural Outlook 2023-2035, penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biofuel di UE akan turun dari 21 persen pada tahun 2020-2022 menjadi hanya empat persen pada tahun 2035, karena kekhawatiran akan keberlanjutan. Pangsa minyak nabati lainnya, terutama minyak lobak, diperkirakan akan stabil pada kisaran 50 persen. Pangsa biodiesel tingkat lanjut diproyeksikan meningkat dari 32 menjadi 46 persen, dimana limbah minyak dan lemak meningkat dari 24 menjadi 31 persen, dan biodiesel tingkat lanjut lainnya meningkat dari delapan menjadi 16 persen.
Di sektor pangan UE, penggunaan minyak sawit diproyeksikan menurun sebesar 19,2 persen dari tahun 2023 hingga 2035, seiring dengan tingkat penurunan tahunan minyak biji minyak untuk pangan sebesar 0,25 persen. Penggunaan minyak bunga matahari dalam makanan diperkirakan mengalami penurunan terbesar, diikuti oleh minyak lobak dan minyak kedelai. Pergeseran ini disebabkan oleh meningkatnya preferensi konsumen UE terhadap minyak alternatif. Prospek tersebut menunjukkan
adanya tren penurunan permintaan minyak sawit di UE –yang kini menjadi importir minyak sawit terbesar ketiga di dunia (10 persen pangsa global) setelah India (19 persen) dan Tiongkok (15 persen). UE lebih menyukai bahan-bahan terbarukan untuk energi dan sumber makanannya yang tidak merusak lingkungan. Mengingat hal ini, pasar UE mungkin akan merespons secara positif inovasi solusi ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti Palmless C16 sebagai pengganti minyak sawit.
Untuk menghadapi potensi pengganti dan tindakan sepihak UE, negara-negara produsen minyak sawit harus memastikan rantai pasokan yang berkelanjutan. Konsumsi minyak sawit akan terus meningkat di negara-negara dimana permintaan pangan, khususnya minyak goreng, meningkat sementara permintaan akan minyak sawit berkelanjutan masih dalam tahap awal. Namun demikian, dengan meningkatnya kekhawatiran global terhadap deforestasi dan perubahan iklim, importir non-UE seperti India dan Tiongkok mungkin masih memperketat kriteria lingkungan hidup. India telah membentuk Koalisi Minyak Sawit Berkelanjutan India , sementara Tiongkok memperkenalkan Rantai Nilai Ramah Lingkungan Global . Ada kemungkinan kedua negara ini menggunakan kriteria EUDR sebagai acuan dalam pengaturan impor minyak sawit.
Keberlanjutan akan menjadi aspek kunci daya saing, sehingga memerlukan tindakan yang kredibel dari pihak Indonesia dan Malaysia untuk melindungi reputasi minyak sawit.
The palm oil industry, notably in Indonesia and Malaysia, the world’s two largest producers, faces challenges from claimed environmentally friendly substitutes. C16 Bioscience, a US-based company, has been developing palm oil substitutes since 2017 with Bill Gates, the founder of Microsoft, among its investors.
The emergence of new products as substitutes for existing ones is common in the industrial world. To succeed, producers must highlight the advantages of the substitute and the weaknesses of the target products. C16 is doing this through promoting the superiority of its substitute over palm oil. At the same time, Indonesia and Malaysia’s palm oil industries face pressure from the EU Deforestation Regulation (EUDR), which aims to reduce deforestation-linked product consumption.
In his February 2024 post on gatesnotes.com, Gates revealed C16’s progress in developing palm oil substitutes. C16 oil is produced through emission-free fermentation with micro-organisms, unlike traditional palm oil extraction from deforested areas. Despite some chemical distinctions, C16 oil shares similar fatty acids and application possibilities with palm oil. Gates has criticised Indonesia and Malaysia for contributing 1.4 per cent to global net CO2e emissions. In November 2022, C16 announced a milestone in the commercialisation of palm oil substitutes under the brand Palmless, the first industrialscale fermentation (operating a 50,000-litre fermentation tank). Palmless can be used in various consumer product applications such as beauty, personal care, household care, and food products. At this stage, C16’s focus is to raise awareness and utilise Palmless to enable other brands to innovate sustainably.
On its website, C16 promotes Palmless by emphasising palm oil’s environmental harm. It doubts the efficacy of the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certification, as certified palm oil is often mixed with non-certified palm oil, hindering source traceability despite RSPO criteria against primary forest clearance or biodiversity-rich areas.
Now, C16 is leveraging the EUDR to expand the utilisation of Palmless. The company recommends that downstream producers diversify their supply chains by using palm oil alternatives like Palmless, which falls outside the scope of the EUDR. To contend with potential substitutes and EU unilateral measures, palm oil-producing countries must ensure sustainable supply chains. Palm oil consumption will keep growing in countries where demand for food, especially cooking oil, is increasing while demand for sustainable palm oil is still at an early stage.
The EUDR, which will come into effect on 30 December 2024, requires assessments of seven commodities including palm oil. It also categorises the oil palm as a high-risk crop. EUDR criteria include deforestation-free production, resource traceability, and legal production activities. The EUDR reflects the EU’s Open Strategic Autonomy (OSA), which strengthens the EU’s ability to act unilaterally while remaining open to cooperation. It enables the EU to enhance the competitiveness of its rapeseed and sunflower oils industry and to regulate palm oil imports but allows cooperation with producing countries.
The EU’s openness is demonstrated in its cooperation with Indonesia and Malaysia in the Ad Hoc Joint Task Force (JTF)
on the EUDR. On 2 February 2024, the JTF meeting focused on collaboration to address the EUDR’s challenges and to ensure compliance. The EU is committed to addressing the concerns of Indonesia and Malaysia while seeking solutions.
Meanwhile, deforestation for oil palm plantations in Indonesia persists. A report by the Rainforest Action Network revealed that smaller operators are clearing forests to meet the demand of expanding processing mills. This deforestation is alarming because some of it is happening in the Leuser Ecosystem, specifically the Singkil-Bengkung Trumon peat swamp, one of the ecosystem’s ecologically richest and most vulnerable parts. This shift from large-scale to smaller operations highlights a wider trend in plantation-linked deforestation.
Palm oil which uses materials from deforested areas after 31 December 2020 will be prohibited under the EUDR. Even if sourced from eligible areas, the EU may reject such products if they come without proper due diligence reports and geolocation. On top of that, according to the EU Agricultural Outlook 20232035, palm oil’s use as biofuel feedstock in the EU would drop from 21 per cent in 2020-2022 to just four per cent in 2035, due to sustainability concerns. The share of other vegetable oils, mainly rapeseed, is projected to be stable at around 50 per cent. The share of advanced biodiesels is projected to increase from 32 to 46 per cent, of which waste oils and fats from 24 to 31 per cent, and other advanced biodiesels from eight to 16 per cent.
In the EU food sector, the use of palm oil is projected to decrease by 19.2 per cent from 2023 to 2035, along with an annual decline rate of oilseed oils for food by 0.25 per cent. Sunflower oil’s food use is expected to decline the most, followed by rapeseed and soybean oil. This shift is attributed to increasing EU consumer preference for alternative oils. The outlook suggests a downward trend in EU palm oil demand it is now the world’s third largest palm oil importer (10 per cent global share) after India (19 per cent) and China (15 per cent). The EU favours renewable materials for energy and sources for its food which do not harm the environment. Given this, the EU market may positively respond to innovations in eco-friendly and sustainable solutions such as C16’s Palmless as a palm oil substitute.
To contend with potential substitutes and EU unilateral measures, palm oil-producing countries must ensure sustainable supply chains. Palm oil consumption will keep growing in countries where demand for food, especially cooking oil, is increasing while demand for sustainable palm oil is still at an early stage. Nevertheless, with escalating global concerns over deforestation and climate change, non-EU importers like India and China may yet tighten environmental criteria. India has established the India Sustainable Palm Oil Coalition, while China introduced the Global Green Value Chain. There is a possibility that these two countries might use EUDR criteria as a reference in regulating palm oil imports.
Kementerian Perdagangan telah memerintahkan Departemen Perdagangan Dalam Negeri untuk mengunjungi provinsi-provinsi dengan perkebunan kelapa sawit setelah harga kelapa sawit jatuh, guna menemukan penyebabnya dan menyarankan langkah-langkah pencegahan. Menteri Perdagangan Phumtham Wechayachai menginstruksikan Wattanasak Sur-iam, direktur jenderal Departemen Perdagangan Dalam Negeri, untuk mengunjungi provinsi-provinsi di selatan seperti Phangnga, Krabi, dan Surat Thani untuk mengevaluasi penyebab penurunan harga kelapa sawit setelah adanya keluhan dari petani mengenai harga pembelian yang menurun. Mr. Wattanasak mengatakan harga lokal buah kelapa sawit segar domestik turun dari 4,98 baht per kilogram menjadi 4,60 baht minggu lalu karena kelebihan pasokan dari April hingga Mei. Selain kelebihan pasokan, buah sawit juga berkualitas rendah karena cuaca yang sangat panas, yang menyebabkan buah tidak matang secara alami, mengurangi persentase minyak sawit, dan berakibat pada penurunan harga pembelian.
Mr. Wattanasak mengatakan harga buah kelapa sawit segar lokal diperkirakan akan pulih setelah petani diminta untuk menunda panen mereka dan hanya memotong buah sawit yang sudah matang sepenuhnya agar mendapatkan harga yang baik. Departemen menginstruksikan pembeli buah sawit dan pabrik produksi minyak sawit untuk terus membeli seperti biasa, dan untuk tidak membuat buah sawit jatuh secara tidak alami. Pelanggar dapat menghadapi hukuman penjara hingga lima tahun, denda sebesar 100.000 baht, atau keduanya, sesuai dengan Undang-Undang Harga Barang dan Jasa tahun 1999. Departemen juga memerintahkan petugas untuk memeriksa pembelian dan ketepatan timbangan di tempat pembuangan, serta pabrik minyak sawit untuk mencegah eksploitasi terhadap petani.
Produksi buah sawit segar diperkirakan mencapai 18,1 juta ton tahun ini, turun dari 18,3 juta tahun sebelumnya. Dari total pasokan, sekitar 3 juta ton untuk produksi minyak sawit mentah, terdiri dari 1,3 juta ton untuk konsumsi domestik, 1,08 juta ton untuk produksi biodiesel, dan 800.000 ton untuk ekspor. Thailand memiliki stok minyak sawit mentah sebanyak 200.000 ton.
The Commerce Ministry has ordered the Internal Trade Department to visit provinces with palm plantations as oil palm prices fell to find the cause and suggest preventive measures. Commerce Minister Phumtham Wechayachai told Wattanasak Sur-iam, director-general of the Internal Trade Department, to visit the southern provinces of Phangnga, Krabi and Surat Thani to evaluate the cause of the decline in oil palm prices following complaints by growers of the reduced purchase prices. Mr Wattanasak said the local price of domestic fresh palm nuts plunged from 4.98 baht per kilogramme to 4.60 baht last week because of oversupply from April to May. In addition to a glut, the nuts are low quality because of the extremely hot weather, meaning they did not naturally ripen, which decreases the percentage of palm oil, resulting in a lower purchase price, he said.
Mr Wattanasak said the prices of local fresh palm nuts are expected to recover after farmers were asked to delay their harvest and cut only palm nuts that are fully ripened to fetch good prices. The department instructed palm nut buyers and palm oil production plants to continue purchasing as usual, and
to refrain from making palm nuts fall unnaturally. Offenders could face a prison term of up to five years, a fine of 100,000 baht, or both, according to the Price of Goods and Services Act of 1999. The department also ordered officials to inspect the purchases and the accuracy of the scales at dumping yards, as well as palm oil plants to prevent the exploitation of farmers.
Fresh palm nut production is estimated at 18.1 million tonnes this year, down from 18.3 million the year before. Of the total supply, about 3 million tonnes is for crude palm oil production, comprising 1.3 million tonnes for domestic consumption, 1.08 million tonnes for biodiesel production, and 800,000 tonnes for export. Thailand has crude palm oil stocks of 200,000 tonnes.
KUALA LUMPUR: “Pasar minyak sawit Malaysia diperkirakan akan tetap positif pada tahun 2024, dengan permintaan yang kuat dari negara tujuan ekspor utama seperti India dengan pangsa pasar sebesar 17,4 persen, Tiongkok (9,1 persen), dan Uni Eropa (7,4 persen)” , kata Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani. Dia mengatakan permintaan tersebut semakin didukung oleh minat untuk mengisi kembali stok guna menjamin ketahanan pangan dan kelangsungan kegiatan usaha secara keseluruhan.Malaysian Palm Oil Board (MPOB) memperkirakan produksi minyak sawit mentah (CPO) akan mencapai 18,75 juta ton pada tahun 2024 dibandingkan 18,55 juta ton pada tahun 2023. “Peningkatan marjinal (produksi) sekitar satu persen dibandingkan tahun 2023 ini akan didorong oleh membaiknya kondisi pasar tenaga kerja dan lebih banyak pohon kelapa sawit yang akan menghasilkan tanaman,” katanya dalam pidato utamanya pada Konferensi Outlook Harga Minyak Sawit dan Lauric ke-35. dan Pameran (POC2024) di sini hari ini.
Ia mengatakan untuk mewujudkan perkiraan positif pada tahun 2024, sangat penting untuk bertindak cepat dan mengatasi tantangan utama dalam industri ini, yaitu mengelola persepsi negatif terhadap minyak sawit, hilangnya peluang yang cukup besar akibat tidak efisiennya petani kecil, perubahan iklim (El Nino). ) dan masalah ketenagakerjaan. Johari mengatakan meskipun terdapat tantangan, industri kelapa sawit mempunyai banyak peluang, dan Malaysia memiliki potensi untuk menetapkan standar dan menjadi standar emas dalam minyak kelapa sawit bagi seluruh dunia.
Ia mengatakan bahwa ke depannya, industri dan lebih dari 447.000 petani swadaya dan terorganisir yang terlibat harus fokus pada produksi tandan buah segar (TBS) dan CPO berkualitas tinggi dan unggul secara berkelanjutan. “Keterlibatan multilateral sangat penting karena merupakan satu-satunya cara untuk melawan tuduhan tidak berdasar dan persepsi negatif terhadap minyak sawit. Komunitas petani, pengolah, peneliti, dan pedagang di Malaysia harus bersatu untuk melawan persepsi negatif terhadap industri kita,” tambahnya.
Sementara itu, Johari juga mengumumkan bahwa Dewan Sertifikasi Minyak Sawit Malaysia (MPOCC) akan berganti nama menjadi Sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO), hal ini untuk menghilangkan kebingungan yang ada antara Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) dan MPOCC.
Pada tahun 2023, pasar minyak sawit menunjukkan ketahanan meskipun terjadi ketidakpastian ekonomi global, dan industri ini terus menjadi bagian penting dari perekonomian Malaysia, memberikan kontribusi sekitar tiga persen terhadap pertumbuhan produk domestik bruto pada tahun lalu. Meskipun harga CPO mengalami penurunan tajam, nilai ekspor minyak sawit dan produk minyak sawit mencapai lebih dari RM100 miliar, didorong oleh peningkatan volume. Permintaan yang kuat dari wilayah konsumen utama dan kondisi produksi yang membaik berkontribusi terhadap kinerja pasar secara keseluruhan.
PALM OIL MARKET TO REMAIN POSITIVE WITH STRONG DEMAND FROM INDIA, CHINA AND EU
KUALA LUMPUR: “The Malaysian palm oil market is expected to remain positive in 2024, with strong demand from top export destinations such as India with 17.4 per cent of the share, China (9.1 per cent), and the European Union (7.4 per cent)”, said Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani. He said the demand is further supported by the interest in replenishing stocks to ensure food security and the overall viability of business activities. The Malaysian Palm Oil Board (MPOB) estimates that crude palm oil (CPO) production will reach 18.75 million tonnes in 2024 versus 18.55 million tonnes in 2023. “This marginal (production) increase of about one per cent compared to 2023 will be driven by improved labour market conditions and a higher number of oil palm trees maturing,” he said in his keynote address at the 35th Palm and Lauric Oils Price Outlook Conference and Exhibition (POC2024) here today.
He said in order to realise the positive estimates for 2024, it is crucial to act swiftly and address key challenges in the industry, namely, managing the negative perceptions against palm oil, the sizable opportunity loss arising from inefficient smallholders, climate change (El Nino) and labour issues. Johari said that despite challenges, the palm oil industry is presented with many opportunities, and Malaysia has the potential to set the bar and be the gold standard in palm oil for the entire world. He said that moving forward, the industry and the over 447,000 independent
and organised smallholders involved must focus on producing high-quality and high-yielding fresh fruit bunches (FFB) and CPO sustainably. “Multilateral engagements are vital as they are the only way forward to counter the unfounded allegations and negative perception directed towards palm oil.Our Malaysian community of growers, processors, researchers, and traders must be united to fight off the negative perceptions against our industry,” he added.
Meanwhile, Johari also announced that the Malaysian Palm Oil Certification Council (MPOCC) will be renamed as Malaysian Sustainable Palm Oil Certification (MSPO), and this is to eliminate existing confusion between the Malaysian Palm Oil Council (MPOC) and MPOCC.
In 2023, the palm oil market exhibited resilience despite global economic uncertainties, and the industry continues to be an important part of the Malaysian economy, contributing approximately three per cent to gross domestic product growth last year. Despite the sharp decline in the price of CPO, the export value of palm oil and palm oil products registered over RM100 billion, driven by an increase in volume. Strong demand from key consuming regions and improved production conditions contributed to the market’s overall performance.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa Indonesia mendominasi ekspor minyak sawit global, dengan menyumbang 54 persen dari pasokan minyak sawit dunia.
Pada tahun 2023, total produksi minyak sawit Indonesia mencapai 56 juta ton dengan realisasi ekspor mencapai 26,33 juta ton, jelasnya. “Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi sebesar 56 juta ton. Ekspor kita mencapai 26,33 juta ton dan menyumbang 54 persen dari pasar dunia,” kata Hartarto pada Rapat Koordinasi Nasional Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 2019–2024 pada hari Kamis.
Menurutnya, minyak sawit adalah komoditas strategis bagi Indonesia. Pada tahun 2023, nilai ekspor minyak sawit mencapai Rp28,45 miliar (US$1,7 juta), atau hampir 12 persen dari ekspor nonmigas. Selain itu, industri minyak sawit berkontribusi pada sektor tenaga kerja dengan mempekerjakan langsung dan tidak langsung sebanyak 16,2 juta orang, tegasnya. “Minyak sawit juga merupakan penggerak ekonomi di daerah penghasil minyak sawit dan membawa pembangunan di daerah pedesaan serta
mengurangi tingkat kemiskinan,” tambah Hartarto.
Oleh karena itu, kementeriannya terus mengembangkan hilirisasi minyak sawit dengan memproduksi produk jadi yang bernilai lebih tinggi, misalnya biodiesel B40 yang berasal dari minyak sawit, yang telah dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif berkelanjutan. Lebih lanjut Hartarto mengatakan bahwa kementeriannya saat ini fokus pada menciptakan industri minyak sawit berkelanjutan dengan melakukan berbagai upaya melalui berbagai kebijakan, termasuk sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Peraturan presiden tentang ISPO bertujuan untuk mempercepat sertifikasi berkelanjutan bagi perusahaan besar dan perkebunan kelapa sawit. “Peraturan presiden telah direvisi dan ISPO juga mencakup keterlacakan rantai pasokan minyak sawit dengan memperkuat konsep hilirisasi,” kata menteri. Pemerintah, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), telah menyalurkan dana sebesar Rp9,25 triliun untuk lahan seluas 331.007 hektar untuk program PSR. Sebelumnya, pemerintah telah meningkatkan pendanaan untuk program PSR dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektar, kata Hartarto.
Coordinating Minister for Economic Affairs, Airlangga Hartarto, has said that Indonesia is dominating global palm oil exports, accounting for 54 percent of world palm oil supplies.
In 2023, Indonesia’s total palm oil production stood at 56 million tons with export realization reaching 26.33 million tons, he informed. “Indonesia is the world’s largest palm oil producer with (production pegged at) 56 million tons. Our exports amount to 26.33 million tons and make up 54 percent of the world market,” Hartarto said at the National Coordination Meeting for the National Action Plan for Sustainable Palm Oil Plantations 2019–2024 on Thursday.
According to him, palm oil is a strategic commodity for Indonesia. In 2023, the value of palm oil exports reached Rp28.45 billion (US$1.7 million), or close to 12 percent of non-oil and gas exports. In addition, the palm oil industry contributes to the labor sector by directly and indirectly employing 16.2 million people, he highlighted. “Palm oil is also an economic driver in palm oil producing areas and brought development in rural areas and reduces poverty levels,” Hartarto added.
Therefore, his ministry is continuing to develop palm oil downstreaming by producing finished products with higher value, for example, B40 biodiesel derived from palm oil, which has been developed as a sustainable alternative fuel. Hartarto further said that his ministry is currently focusing on creating a sustainable palm oil industry by undertaking several efforts through various policies, including the Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) certification and the People’s Palm Oil Rejuvenation (PSR) program.
The presidential regulation on ISPO aims to accelerate sustainable certification for large-scale businesses and palm oil plantations. “The presidential regulation has been revised and the ISPO also includes traceability of the palm oil supply chain by strengthening the downstream concept,” the minister said. The government, through the Palm Oil Plantation Fund Management Agency (BPDPKS), has disbursed funds amounting to Rp9.25 trillion for a land area of 331,007 hectares for the PSR program. Earlier, the government had increased funding for the PSR program from Rp30 million to Rp60 million per hectare, Hartarto said.
Minyak nabati merupakan salah satu komoditas yang paling banyak diimpor di India, nomor dua setelah minyak bumi dan emas. Dengan hampir 60 persen konsumsi tahunan negara tersebut sebesar 25 juta ton dikirim dari luar negeri, tagihan impor minyak nabati melonjak 34 persen menjadi ₹1,57 lakh crore untuk tahun minyak 202122. Tahun minyak 2022-23 dimulai dengan catatan yang sama. Dengan konsumsi minyak nabati yang diperkirakan meningkat sebesar dua hingga tiga persen per tahun,
total impor minyak nabati India melonjak 25 persen dalam sembilan bulan pertama (November 2022 hingga Juli 2023).
Seiring dengan upaya negara ini untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang berjumlah 1,4 miliar jiwa, maka terjadilah peningkatan produksi Minyak Sawit dalam negeri, yang mewakili 33,4 persen dari total konsumsi minyak nabati dan 59 persen dari total impor minyak nabati, dapat membantu negara dan memangkas tagihan impor.
India adalah importir minyak sawit terbesar dan konsumen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Komoditas ini merupakan bagian terbesar dari impor minyak nabati negara ini, dengan daya tariknya karena profil rasanya yang netral. Hal ini menjadikannya bahan serbaguna untuk beragam kegunaan – mulai dari saus tomat hingga sampo.
Oleh karena itu, meningkatkan produksi minyak sawit dalam negeri adalah kunci untuk membuka jalan bagi India menjadi negara yang tahan pangan, memungkinkan India untuk mengurangi pengiriman impor dan menghemat jutaan dolar negara setiap tahunnya. Selain dampak finansialnya, kinerja tanaman kelapa sawit juga mengungguli tanaman penghasil minyak lainnya dalam hal produktivitas.
Meskipun lanskap pertanian di India merupakan rumah bagi beragam tanaman yang menghasilkan minyak seperti rapeseed, kedelai, dedak padi, bunga matahari, kacang tanah, sawi, dan kapas, tanaman-tanaman tersebut membutuhkan lebih banyak lahan untuk menghasilkan sejumlah minyak dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. keluaran yang mengesankan. Misalnya, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam, kelapa sawit hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan untuk menghasilkan satu ton tanaman. Sebagai perbandingan, tanaman rapeseed membutuhkan 1,25 hektar, bunga matahari 1,43 hektar, dan kedelai 2 hektar untuk menghasilkan hasil yang sama yaitu satu ton.
Oleh karena itu, karena tanaman kelapa sawit mempunyai potensi menghasilkan 35 persen dari seluruh minyak nabati pada kurang dari 10 persen lahan yang dialokasikan untuk tanaman minyak lainnya, hal ini menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman ideal bagi India yang sektor pertaniannya didominasi oleh minyak nabati. kepemilikan tanah kecil. Demikian pula, pada saat ladang pertanian India berada di bawah tekanan besar akibat kebutuhan akan peningkatan produksi pangan di tengah tantangan perubahan iklim, kelapa sawit muncul sebagai secercah harapan. Oleh karena itu, meningkatkan budidaya kelapa sawit menawarkan prospek realokasi lahan pertanian yang saat ini digunakan untuk tanaman penghasil minyak lainnya, sehingga dapat menjawab kebutuhan akan lebih banyak pangan dan keharusan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Dengan permintaan global akan minyak nabati yang akan meningkat hampir dua kali lipat dari 165 juta ton saat ini menjadi 307 juta ton pada tahun 2050, dan minyak sawit diperkirakan akan memenuhi sebagian besar permintaan tersebut, potensi kemakmuran dari tanaman kelapa sawit jelas menjadi sorotan. Potensinya untuk meningkatkan kesejahteraan sudah terlihat jelas. Ambil contoh Andhra Pradesh – di negara bagian ini, para petani terpilih telah menyaksikan pendapatan mereka meningkat tiga kali lipat seiring mereka beralih ke budidaya kelapa sawit. Peningkatan finansial ini tidak hanya disebabkan oleh tingginya pendapatan yang dihasilkan oleh kelapa sawit, namun juga karena diversifikasi sumber pendapatan yang difasilitasi oleh tumpang sari. Potensi
Sisi lain dari kelapa sawit berpusat pada potensinya untuk mendorong kesejahteraan. Pertama, hasil panen yang dihasilkan kelapa sawit jauh lebih kecil dibandingkan tanaman minyak lainnya. Kelapa sawit misalnya dapat menghasilkan empat ton minyak per hektar, sangat berbeda dengan 300-500 kg per hektar yang biasanya diperoleh dari tanaman seperti lobak, kedelai, dedak padi, bunga matahari, kacang tanah, sawi, dan kapas.
Tumpang sari, sebuah teknik yang banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit, melibatkan penanaman berbagai macam tanaman seperti kakao, jahe merah, cabai, dan pisang di samping pohon kelapa sawit. Praktik ini tidak hanya meningkatkan kesehatan tanah namun juga menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi petani, khususnya selama masa kehamilan empat tahun awal sebelum pohon kelapa sawit menjadi produktif.
Intinya, alasan kuat untuk meningkatkan produksi minyak sawit dalam negeri mencakup tiga dimensi penting: potensi pengurangan biaya impor pangan India secara drastis, janji peningkatan kesejahteraan ekonomi, dan kapasitas untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian di sektor pertanian.
Sederhananya, upaya India menuju ketahanan pangan bergantung pada penggunaan minyak sawit yang dibudidayakan secara lokal. Langkah penting ini tidak hanya mengatasi permasalahan yang mendesak namun juga meletakkan dasar bagi masa depan pertanian yang lebih mandiri dan berketahanan.
Edible oils are among India’s most imported commodities, second only to petroleum and gold. With nearly 60 per cent of the country’s annual consumption of 25 million tonnes shipped in from overseas, the edible oil import bill surged 34 per cent to ₹1.57 lakh crore for the 2021-22 oil year. The 2022-23 oil year has started on the same note. With the consumption of edible oil expected to rise at two to three per cent per annum, total imports of edible oils by
India shot up 25 per cent in the first nine months (November 2022 to July 2023).
As the country strives to meet the needs of its 1.4 billionstrong population, it is herein that a boost to production of Palm Oil locally, which represents 33.4 per cent of total edible oil consumption and 59 per cent of the total edible oil imports, can aid the country and slash the import bill.
India is the world’s largest importer and second-largest consumer of palm oil. The commodity accounts for the biggest share of the country’s edible oils import pie, with its appeal owing to its neutral taste profile. This renders it a versatile ingredient for a vast array of applications – from ketchups to shampoos.
Boosting domestic production of palm oil, as a result, is key to paving the way for India to become a food-secure nation, enabling it to wean itself off import shipments and saving the state exchequer millions every year. Beyond its financial implications, the oil palm crop also outperforms other oil-producing counterparts in terms of productivity.
While the Indian agricultural landscape hosts an array of oilyielding crops such as rapeseed, soya, rice bran, sunflower, groundnut, mustard, and cotton, they all require a lot more land for a certain amount of oil in comparison to the oil palm’s impressive output. For instance, as per a study conducted by The International Union for Conservation of Nature’s Red List of Threatened Species, oil palm needs only 0.26 hectares of land to produce a yield of one tonne. In comparison, the rapeseed crop needs 1.25 hectares, sunflower 1.43 hectares, and soyabean 2 hectares to produce the same one-tonne yield.
Yet another facet in the case of palm oil centres on its potential to catalyse prosperity. For starters, the yields generated by oil palm dwarf those of any other oil crop. The oil palm for instance can yield a staggering four tonnes of oil per hectare, a stark contrast to the 300-500 kg per hectare typically garnered from crops such as rapeseed, soya, rice bran, sunflower, groundnut, mustard, and cotton.
With global demand for vegetable oils set to nearly double from 165 million tonnes currently to 307 million tonnes by 2050, and palm oil expected to meet a significant chunk of this demand, the prosperity potential of the oil palm crop is clearly highlighted. Its potential to boost prosperity is already evident. Take Andhra Pradesh for example - in this State, select farmers have borne witness to their incomes tripling as they transitioned to palm oil cultivation. This financial upswing isn’t solely attributed to the higher income generated by palm oil, but also to the diversification of revenue streams facilitated by intercropping.
Thus, with the oil palm crop having the potential to produce 35 per cent of all vegetable oil on less than 10 per cent of the land allocated to other oil crops, this makes the oil palm the ideal crop for India whose agriculture sector is dominated by small landholdings. Equally, at a time when India’s agricultural fields are under immense strain due to the need for heightened food production amid the challenges of climate change, the oil palm emerges as a beacon of hope. Boosting palm oil cultivation, therefore, offering the prospect of reallocating farmland currently dedicated to other oil-producing crops, thus addressing both the need for more food and the imperative to adapt to a changing climate.
Intercropping, a widely embraced technique on palm oil plantations, involves cultivating an assortment of crops such as cocoa, red ginger, bush pepper, and bananas alongside the oil palm trees. This practice not only enhances soil health but also provides farmers with alternate sources of income, particularly during the initial four-year gestation period before oil palm trees become productive.
In essence, the compelling case for augmenting domestic palm oil production encompasses three pivotal dimensions: the potential to drastically reduce India’s food import expenses, the promise of elevating economic prosperity, and the capacity to optimise the utilisation of farmland within the agriculture sector. In the simplest terms, India’s trajectory towards food security hinges upon the embrace of locally cultivated palm oil. This crucial step not only addresses immediate concerns but also lays the foundation for a more self-reliant and resilient agricultural future.
Dalam beberapa tahun terakhir, keberlanjutan minyak sawit semakin mendapat perhatian, dengan isu-isu seperti deforestasi, hak buruh dan penggunaan lahan, serta emisi karbon kini mendapat sorotan secara terbuka. Ada dua perspektif yang bertentangan mengenai industri kelapa sawit. Di satu sisi, para kritikus berpendapat bahwa hal ini merupakan ancaman terhadap keberlanjutan, namun di sisi lain, hal ini dipandang sebagai pendorong pembangunan berkelanjutan.
Hal ini dibuktikan dengan memetakan industri kelapa sawit terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB. Industri ini memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi (SDG 9, 12), pengentasan kemiskinan (SDG 1, 8, 10), peningkatan ketahanan pangan (SDG 2), energi alternatif (SDG 9), dan peluang kerja jangka panjang (SDG 1). Hal ini juga terkait dengan penanganan masalah hak asasi manusia dan kesenjangan (SDG 8). Namun, industri ini juga menimbulkan permasalahan lingkungan karena ekspansi perkebunan monokultur dalam skala besar, yang menyebabkan konflik manusia-satwa liar, mengancam keanekaragaman hayati (SDG 14, 15), dan meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) (SDG 13).
Kelapa sawit di Malaysia
Diperkenalkan ke Malaya (sekarang Malaysia) sebagai pabrik komersial pada tahun 1917, industri minyak sawit di negara ini telah berkembang dari awal yang sederhana menjadi produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia (setelah Indonesia), mengekspor sekitar 30% pasokan dunia. Sekitar 40% produksi minyak sawit Malaysia diproduksi oleh petani kecil. Pada tahun 2021, Malaysia berkomitmen untuk membatasi area penanaman kelapa sawit menjadi 6,5 juta hektar. 1 Produksi minyak sawit Malaysia diperkirakan meningkat antara 18,5 juta dan 18,75 juta mt pada tahun 2024.2
Ekonomi sirkular dalam industri seringkali terbatas pada desain produk sampingan Industri kelapa sawit memerlukan peralihan dari produksi linier ke sistem yang lebih sirkular. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan produk sampingan sawit, meminimalkan limbah, dan memperpanjang umur produk melalui penggunaan kembali dan daur ulang. Pemanfaatan kembali limbah sekunder kelapa sawit menjadi produk bernilai tambah bukanlah hal baru dalam industri ini. Misalnya, cangkang sawit (PKS) dan tandan buah kosong (EFB) dikirim ke pabrik untuk dibakar sebagai bioenergi; abu boiler yang kaya akan unsur hara dikembalikan ke perkebunan untuk digunakan sebagai pupuk organik; dan bleaching earth (SBE) bekas, setelah digunakan dalam proses penyulingan minyak sawit, dikumpulkan oleh perusahaan spesialis untuk pengambilan minyak. Minyak SBE ini digunakan dalam aplikasi yang tidak dapat dimakan.
Gambar 1 menunjukkan bagaimana produk sampingan produksi minyak sawit mengalir di berbagai operasi dalam rantai pasokan. Namun, potensi penuh dari seluruh penggunaan kembali produk sampingan belum dapat direalisasikan karena ketersediaan teknologi, keterbatasan infrastruktur logistik, dan kurangnya kesadaran. Para pelaku industri sawit hanya fokus pada desain produk tanpa mempertimbangkan simbiosis industri. Dengan perencanaan yang matang, penciptaan kawasan eko-industri dapat mendorong efisiensi sumber daya dan praktik ekonomi sirkular. Kelayakan transisi klaster industri kelapa sawit (POIC) menjadi kawasan eko-industri yang berfungsi dengan baik dan menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan bagi semua pelaku di kawasan harus dipelajari. Ekonomi sirkular dalam industri ini akan menurunkan ketergantungan pada impor, mengurangi emisi GRK yang diimpor, dan juga mendukung berbagai mitra bisnis lokal.
Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam peralihan ke pupuk organik
Pemanfaatan biomassa kelapa sawit untuk produk bernilai tambah seperti pupuk organik bisa dibilang masih minim. Perkebunan lebih memilih menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik karena mampu menyediakan unsur hara secara tepat waktu, kaya akan unsur hara dan mudah diserap tanaman, tidak berbau, praktis, dan mudah diaplikasikan. Minyak sawit memerlukan nutrisi dalam jumlah besar. Penggunaan kalium organik yang berasal dari abu boiler biomassa meningkatkan pertumbuhan akar tanaman dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan. Terdapat banyak penelitian dan pengembangan yang menghasilkan pupuk organik NPK (nitrogen, fosfor, kalium) berbasis limbah sawit yang lebih lengkap. Beberapa formulasi ini mencakup penggunaan enzim. Penggunaannya di perkebunan masih dalam tahap awal, namun potensi pengurangan jejak karbon akan membantu mengatasi kekurangan ini.
Terbatasnya pemasangan fasilitas penangkapan metana untuk pembangkit energi
Pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah cair (POME) yang terurai menjadi gas metana. Energi ini 28 kali lebih kuat dibandingkan CO2 dalam memerangkap panas 3 sehingga regulator industri, sejak tahun 2014, mengharuskan pabrik-pabrik baru untuk menangkap panas tersebut sebelum mencapai atmosfer dan menyebabkan perubahan iklim. Meskipun metana dapat dibakar untuk menghasilkan listrik di fasilitas biogas, pemerintah dan perusahaan utilitas hanya melakukan sedikit upaya untuk menghubungkan pembangkit biogas ke jaringan listrik nasional. Sementara itu, pabrik yang didirikan sebelum tanggal cut-off tidak diwajibkan mengubah biometana menjadi energi. Sudah menjadi praktik umum jika pabrik hanya menangkap bio-metana dan membuangnya ke atmosfer. CO2 yang dihasilkan tidak terlalu berbahaya, namun merupakan limbah yang sangat besar. Semua faktor ini ditambah dengan tingginya biaya investasi semakin menghambat pabrik dalam memasang fasilitas penangkapan dan pemanfaatan metana.
Kurangnya pilihan pasar menghambat konversi aliran sekunder menjadi biodiesel berbasis limbah Proses ekstraksi minyak sawit mentah (CPO) menghasilkan limbah pabrik kelapa sawit (POME), yaitu campuran aliran air limbah yang mengandung sisa minyak. Dengan memisahkan cairan TKKS dan kondensat alat sterilisasi dari aliran air limbah, kedua aliran ini dapat disuplai sebagai bahan baku biodiesel. Dalam praktiknya, hal ini merupakan tugas yang berat, terutama ketika pasar untuk mengubah aliran sekunder menjadi produksi biodiesel berbasis limbah terutama berada di pasar Eropa. Tinjauan kebijakan yang diterbitkan pada tahun 2019 4 oleh Federasi Transportasi dan Lingkungan Eropa melaporkan bahwa minyak sawit memiliki dampak perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC) tertinggi dan bahkan menyarankan bahwa sulingan asam lemak sawit (PFAD), yang merupakan produk sampingan dari penyulingan minyak sawit , harus dimasukkan dalam kategori biofuel dengan risiko ILUC tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aliran sekunder dari
pengolahan kelapa sawit akan dianggap sebagai ILUC yang tinggi oleh Uni Eropa (UE) di masa depan, sehingga menghambat perkembangannya.
Saat ini di Malaysia terdapat pengumpul untuk pembeli internasional, yang berarti industri lokal tidak mengkonversi bahan baku untuk produksi biodiesel generasi kedua dalam negeri. Hal ini mengakibatkan produsen minyak sawit terikat pada persyaratan peraturan UE. Bahan baku yang tercantum dalam Lampiran IX (A) Petunjuk Energi Terbarukan Uni Eropa (RED) II 5 harus disertifikasi dengan sistem Sertifikasi Keberlanjutan & Karbon Internasional (ISCC) atau skema setara lainnya yang diakui UE. Hal ini menunjukkan kepatuhan terhadap keberlanjutan dan memenuhi ambang batas penghematan emisi GRK, berkisar antara 50-65% tergantung pada tanggal mulai pemasangan. Lanskap penghitungan GRK di Malaysia masih dalam tahap awal. Faktor emisi jaringan listrik yang diperkenalkan pada tahun 2017 merupakan awal yang baik. 6 Namun, di tingkat nasional, negara ini masih bergulat dalam menentukan faktor emisi yang akan membantu industri kelapa sawit dalam memenuhi kriteria RED II dan penghematan GRK.
Mengapa perusahaan kelapa sawit enggan berkomitmen menuju net zero?
Meskipun fokus pada net zero, banyak organisasi kecil yang kesulitan mengatasi hambatan dalam memahami dan mengukur emisi mereka, apalagi menguranginya. Skema Sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) telah diperkenalkan dengan pedoman penghitungan GRK bagi produsen minyak sawit, sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai emisi industri dan cara menguranginya. Ini adalah batu loncatan menuju net zero. Bagi perusahaan kelapa sawit yang lebih besar, komitmen dan kepemimpinan manajemen memainkan peran penting dalam mengarahkan dan menyelaraskan strategi dan kebijakan bisnis dengan komitmen net zero. Meningkatkan upaya untuk meminimalkan deforestasi, meningkatkan penyerapan karbon, mendorong metode pengolahan yang efisien dan penelitian pertanian rendah karbon, serta memanfaatkan energi terbarukan juga memiliki tantangan finansial.
Kekhawatiran keamanan pangan baru-baru ini Keamanan dan keberlanjutan pangan memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga kesejahteraan generasi saat ini dan masa depan. Lebih dari 70% minyak sawit diproduksi untuk keperluan makanan. Meskipun hanya terdapat dalam jumlah kecil pada minyak sawit olahan, 3-monokloropropana 1,2-diol ester (3-MCPDE), dan glisidil ester (GE) telah menjadi masalah kesehatan yang potensial karena meluasnya penggunaan minyak sawit dalam aplikasi makanan. 7 Tingkat konsumsi 3-MCPDE dalam makanan dianggap aman bagi sebagian besar konsumen namun terdapat potensi masalah kesehatan di kalangan konsumen kelompok usia muda, sementara GE bersifat genotoksik dan karsinogenik. Dalam mengatasi kontaminan proses, pemasangan tahap pencucian dapat membantu menghilangkan prekursor 3-MCPDE pada minyak olahan. Sistem pencucian CPO ini akan memungkinkan terpenuhinya target Uni Eropa (UE) sebesar 3-MCPDE sebesar 2,5 mg/kg untuk minyak sawit. Peningkatan lebih lanjut pada metode pencucian akan mencapai di bawah 1,25 mg/kg pada minyak sawit yang dimurnikan, diputihkan, dan dihilangkan baunya, sehingga memenuhi spesifikasi untuk kategori minyak lunak. Prosedur pencucian ini belum diadopsi secara luas oleh industri, sementara kadar GE cenderung tinggi pada minyak sawit karena suhu pemrosesan yang digunakan lebih tinggi. Penghapusannya memerlukan langkah pemrosesan tambahan dan sebagian besar pengolah minyak sawit sedang menunggu pengembangan teknologi yang lebih baik untuk mitigasi 3-MCPDE dan GE sebelum berinvestasi.
Air hasil pencucian dengan kebutuhan oksigen kimia (COD), kotoran dan kandungan minyak yang tinggi, merupakan tantangan bagi instalasi pengolahan limbah (ETP) yang awalnya dirancang untuk pemurnian fisik. Beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan proses ETP untuk mengolah influen COD yang tinggi sekaligus menjaga kualitas limbah yang diolah, dengan mematuhi peraturan setempat. Air olahan dari ETP digunakan sebagai air industri untuk meminimalkan konsumsi air tawar.
UE diperkirakan akan memberlakukan undang-undang mengenai tingkat minyak mineral yang diperbolehkan dalam minyak nabati sebagai respons terhadap peningkatan insiden kontaminasi makanan. Kontaminan tersebut meliputi hidrokarbon
jenuh minyak mineral (MOSH) dan hidrokarbon aromatik (MOAH) yang biasanya berasal dari pelumas. MOSH berhubungan dengan kerusakan hati, sedangkan MOAH dapat menyebabkan kanker. Beberapa bagian industri telah beralih menggunakan pelumas food grade sebagai penggantinya, sementara bagian lain telah menerapkan pengendalian yang lebih ketat untuk mencegah kontaminasi.
Industri kelapa sawit telah menunjukkan ketahanan dalam menghadapi banyak tantangan di masa lalu. Hal ini juga akan mengatasi kesulitan dalam mengatasi tantangan-tantangan yang disebutkan di sini, bekerja sama dengan para insinyur kimia untuk mengubahnya menjadi peluang.
In recent years, the sustainability of palm oil has gained traction, with issues such as deforestation, labour and land use rights, and carbon emission now openly scrutinised. There are two contradictory perspectives on the palm oil industry. On one hand, critics argue that it poses a threat to sustainability, while on the other hand, it is viewed as a driver for sustainable development.
This is evidenced upon mapping the palm oil industry against the United Nations Sustainable Development Goals (SDGs). The industry makes a direct contribution to economic growth (SDG 9, 12), poverty alleviation (SDG 1, 8, 10), enhanced food security (SDG 2), alternative energy (SDG 9), and long-term employment opportunities (SDG 1). It is also linked to addressing human rights issues and inequalities (SDG 8). However, the industry also raises environmental concerns due to the large-scale expansion of monoculture plantations, leading to human-wildlife conflicts, threatening biodiversity (SDG 14, 15), and increasing greenhouse gas (GHG) emissions (SDG 13).
Palm oil in Malaysia
Introduced to Malaya (now Malaysia) as a commercial plant in 1917, the nation’s palm oil industry has grown from humble beginnings to become the world’s second-largest palm oil producer (behind Indonesia), exporting around 30% of the world’s supply. About 40% of Malaysia’s palm oil output is produced by smallholders. In 2021, Malaysia committed to cap palm oil planted area to 6.5m hectares.1 Malaysia’s palm oil production is estimated to rise to between 18.5m and 18.75m mt in 2024.2
Circular economy in the industry often limited to byproduct design
The palm industry requires shifting from a linear production to adopt a more circular system. The aim is to use palm byproducts, minimising waste and extending product lifespan through reuse and recycling. The repurposing of palm secondary streams into value-added products is not new to the industry. For example, palm kernel shells (PKS) and empty fruit bunches (EFB) are sent to mills to be burned for bioenergy; the resulting boiler ash, which is rich in nutrients, is returned to the plantation for use as organic
Figure 1 shows how the byproducts of palm oil production flow between the different operations in the supply chain. However, full potential of all byproduct reuse is yet to be realised due to technology availability, logistic infrastructure limitations, and inadequate awareness. The palm industry players have focused primarily on product design without considering industrial symbiosis. With thoughtful planning, the creation of eco-industrial parks can promote resource efficiency and circular economy practices. The feasibility of transitioning palm oil industrial clusters (POIC) into well-functioning eco-industrial parks that create a win-win ecosystem for all players in the park must be studied. A circular economy within the industry will lower dependency on imports, reducing imported GHG emissions and supporting various local partner businesses too.
Aspects to consider in transitioning to organic fertilisers
The use of palm oil biomass for value-added products such as organic fertilisers is arguably minimal. Plantations prefer to use inorganic fertiliser over organic fertiliser because of its ability to provide nutrients in a timely manner, being nutrient-rich and readily absorbed by plants, and being odourless, practical, and easy to apply. Palm oil requires a large quantity of nutrients. The use of organic potassium derived from biomass boiler ash increases crop’s root growth and improves drought tolerance. There are numerous ongoing R&D studies which produce more complete palm waste-based NPK (nitrogen, phosporus, potassium) organic fertiliser. Some of these formulations include the use of enzymes. Their usage in plantations is still at its infancy, but their potential for carbon footprint reduction will help to address this shortcoming.
Limited installation of methane capture facilities for energy generation
Palm oil mills produce effluent (POME) which degrades to produce methane. This is 28 times more potent than CO2 in trapping heat3 so the industry regulator has, since 2014, required new mills to capture it before it reaches the atmosphere and causes climate change. While the methane can be burned to produce power in a biogas facility, the government and utility companies have made little effort to connect biogas plants to the national grid. Meanwhile, mills established before the cut-off date are not obligated to convert biomethane into energy. It is common practice to observe mills only capturing bio-methane and flaring it into the atmosphere. The CO2 this produces is less harmful but it’s a huge waste. All these factors coupled with the high investment cost further hamper mills from installing methane capture and utilisation facilities.
Lack of market options hinders conversion of secondary streams into waste-based biodiesel
The process of extracting crude palm oil (CPO) generates palm oil mill effluent (POME), a mixture of wastewater streams that contain residual oils. By segregating EFB liquor and steriliser condensate from wastewater streams, these two streams can be supplied as biodiesel feedstock. In practice, this is a daunting task, especially when the market for converting secondary streams into waste-based biodiesel production is primarily in the European market. A policy review published in 20194 by the European Federation for Transport and Environment reported that palm oil has the highest indirect land use change (ILUC) impact and even suggested that palm fatty acid distillate (PFAD), which is a byproduct of palm oil refining, should be included in the category of high ILUC risk biofuels. That raised concerns that secondary streams from oil palm processing will be considered as high ILUC by the European Union (EU) in the future, hindering its development.
Currently in Malaysia, there are collectors for international buyers, which means the local industry is not converting the feedstock for domestic second-generation biodiesel production. This results in palm oil producers being bound to the EU’s regulatory requirements. The feedstocks listed in Annex IX (A) of the European Union Renewable Energy Directive (RED) II5 must be certified with the International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) system or other equivalent EU-recognised schemes. This demonstrates compliance with sustainability and meeting the GHG emission savings thresholds, ranging from 5065% depending on the start date of the installation. The landscape of GHG accounting in Malaysia is still in its infancy. The grid emission factor introduced in 2017 is a good start.6 However, at national level, the country is still grappling with determining emission factors that will assist the palm oil industry in meeting
the RED II and GHG savings criteria.
Why are oil palm companies holding back from committing to net zero?
Despite the focus on net zero, many smaller organisations struggle to overcome barriers in understanding and quantifying their emissions, let alone cutting them. The Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) Certification Scheme has been introduced with guidelines on GHG calculation for palm oil producers, thus enabling a clearer picture of industry emissions and how to reduce them. This is a stepping stone in moving towards net zero. For larger oil palm corporations, management commitment and leadership play an important role in directing and aligning business strategies and policies with net zero commitments. Scaling up efforts to minimise deforestation, enhance carbon sequestration, promote efficient processing methods and lowcarbon agricultural research, and harness renewable energy also come with financial challenges.
Food safety and sustainability share the common goal of safeguarding the well-being of both current and future generations. Above 70% of palm oils are produced for food application. Although only present at trace level in processed palm oils, 3-monochloropropane 1,2-diol ester (3-MCPDE), and glycidyl ester (GE) have become a potential health concern due to the widespread usage of palm oil in food applications. 7 Consumption levels of 3-MCPDE in food are considered safe for most consumers but there is a potential health concern among high consumers in younger age groups, while GEs are genotoxic and carcinogenic. In addressing the process contaminants, the installation of a washing step can help to remove the precursors of 3-MCPDE in the refined oil. This CPO washing system will enable the meeting of the European Union (EU) target of 3-MCPDE of 2.5 mg/kg for palm oil. Further enhancement of the washing method will achieve below 1.25 mg/kg in refined, bleached, deodorised palm oil, meeting the specification for the soft oil category. This washing procedure has not been widely adopted by the industry, while GE levels tend to be high in palm oil due to the higher processing temperatures employed. Its removal requires additional processing steps and most palm oil processors are awaiting better technologies to be developed for the mitigation of 3-MCPDE and GE before investing.
The washed water with high chemical oxygen demand (COD), impurities and oil content, is a challenge to an effluent treatment plant (ETP) originally designed for physical refining. Several studies were conducted to improve the ETP process to treat the high COD influent while maintaining the quality of treated effluent, complying with local regulations. The treated water from the ETP is used as industrial water to minimise freshwater consumption.
The EU is expected to impose legislation on permissible levels of mineral oils in edible oils in response to an increase in food contamination incidences. The contaminants include mineral oil saturated hydrocarbons (MOSH) and aromatic hydrocarbons (MOAH) typically from lubricants. MOSH is connected to liver damage, whereas MOAH may cause cancer. Some portions of the industry have shifted to using food-grade lubricants as a substitute, while others have introduced more stringent controls to prevent contamination.
The palm oil industry has shown resilience in facing many challenges in the past. It will also weather the storm in overcoming the challenges mentioned here, coming together with chemical engineers to convert them into opportunities.
Masih ada keraguan yang besar mengenai apakah model alur kerja deforestasi baru UE akan cukup untuk menghilangkan ketakutan yang ditimbulkan oleh negara-negara produsen minyak sawit, terutama yang berkaitan dengan keberlanjutan dan petani kecil. Satuan Tugas Gabungan Ad Hoc (JTF) Peraturan Deforestasi UE (EUDR) sejauh ini telah mengadakan dua pertemuan, yang terakhir diadakan pada bulan Februari 2024 yang diselenggarakan oleh Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) di Malaysia.Hal ini mencakup peluncuran model alur kerja khusus untuk melihat berbagai permasalahan yang diangkat oleh negara-negara produsen terkait EUDR. Pokok diskusi utama pada pertemuan tersebut adalah keberlanjutan dan ketertelusuran seputar lima komoditas yang akan terkena dampak EUDR – kakao, karet, kayu, kopi dan yang paling penting, minyak sawit.
Lima alur kerja yang diuraikan pada akhir pertemuan berfokus pada inklusi petani kecil; skema sertifikasi yang relevan khususnya sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO); sistem ketertelusuran termasuk Sawit Intelligent Management System (SIMS) Malaysia dan National Dashboard for Commodities Indonesia; data ilmiah terkait deforestasi; dan perlindungan data privasi.
Namun meskipun hal ini menandai awal dari evaluasi jangka panjang dan rumit mengenai hubungan EUDR dengan pasar produsen, para pemimpin dari Indonesia dan Malaysia telah dengan jelas menguraikan apa yang diperlukan dari EUDR untuk memastikan perdagangan tetap berjalan. untuk kedua belah pihak. “Malaysia telah berulang kali mengakui hak UE untuk menerapkan EUDR [dan melakukan upaya untuk] menyelaraskan peraturan ini dengan sistem hukum, administratif, dan rantai pasokan yang ada di Malaysia,” Wakil Sekretaris Jenderal Malaysia (Perkebunan & Komoditas) Dato’ Zailani Bin Haji Hashim mengatakan kepada lantai. “Meskipun demikian, penyelarasan ini menghadirkan tantangan yang signifikan bagi petani kecil, khususnya mereka yang berada di daerah terpencil, yang mungkin paling terkena dampak EUDR jadi keringanan hukuman terhadap mereka sangatlah penting.”
“Kami berharap gugus tugas akan mempertimbangkan untuk menunda implementasi dan memberikan dukungan teknis dan peningkatan kapasitas yang ditargetkan untuk kelompok ini karena hal ini akan memastikan transisi yang lebih lancar dan memberdayakan mereka untuk mematuhi EUDR dalam jangka panjang.” Hal ini juga didukung oleh Wakil Menteri Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dr Musdhalifah Machmud, yang menegaskan bahwa Indonesia mengharapkan ‘solusi nyata’ dari pertemuan-pertemuan ini. “Pemerintah Indonesia berharap UE dapat memahami dan mempertimbangkan upaya yang dilakukan [Indonesia] hingga saat ini, dan menekankan bahwa [kami] mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan berdasarkan peraturan [kami] sendiri, [berdasarkan PBB ‘] Prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabiltities (CBDR-RC),” tuturnya.
“Kami berharap ada solusi konkrit dari JTF Ad Hoc ini, seperti kemungkinan penundaan penerapan EUDR bagi petani kecil.” UE mengakui tantangan besar yang dihadapi karena tenggat waktu EUDR yang sangat ketat, dan ‘mencatat’ seruan penundaan serta
menyetujui perlunya perhatian khusus diberikan kepada petani kecil. “Komitmen Malaysia dan Indonesia untuk mengembangkan ketertelusuran yang ketat dan untuk lebih memperkuat sistem sertifikasi masing-masing berdasarkan analisis bersama mengenai perbedaan dengan persyaratan EUDR sangat disambut baik,” Direktur Diplomasi Hijau dan Multilateralisme Komisi Eropa (EC) Astrid Schomaker mengatakan. “UE berkomitmen untuk bekerja sama secara erat dengan kedua negara tersebut untuk memastikan kelancaran implementasi EUDR, khususnya untuk memastikan bahwa petani kecil [tetap] termasuk dalam rantai pasokan legal dan bebas deforestasi ke Uni Eropa.”
Selain itu, UE juga telah menyetujui lima alur kerja untuk bekerja sama dengan kedua pasar dalam hal skema sertifikasi MSPO dan ISPO, mendukung pengembangan platform ketertelusuran, dan mengatasi masalah privasi data apa pun yang disorot dalam analisis. Apakah ini cukup ? Meskipun pasar produsen telah menyatakan tujuan akhir mereka dengan sangat jelas, pada saat ini masih belum ada kepastian apakah model workstream ini akan cukup untuk melindungi berbagai komoditas dari pengecualian EUDR, terutama minyak sawit berkelanjutan yang telah menerima dampak negatif dari pemberitaan dan persepsi konsumen. di pasar barat. Hal yang menjadi perhatian utama adalah bahwa di masa lalu, perwakilan Komisi Eropa secara khusus menyatakan bahwa EUDR sudah bersifat ‘nondiskriminatif’ dan ‘menguntungkan’ bagi petani kecil, dengan pendirian yang tampaknya tidak tergoyahkan bahkan setelah Malaysia dan Indonesia sebelumnya telah mengemukakan masalah ini kepada Dunia. Organisasi Perdagangan (WTO).
“EUDR adalah kesepakatan yang sudah selesai, [dan yang terpenting], peraturan ini bersifat non-diskriminatif karena berlaku baik terhadap komoditas yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor serta produk turunannya, tidak hanya yang berasal dari pasar Asia, namun juga pasar mana pun yang ingin menjual produk di negara tersebut. UE,” Wakil Kepala Komisi Eropa Dirjen Lingkungan Hidup Helge Zeitler mengatakan kepada kami pada konferensi diskusi EUDR. “Sistem benchmarking (yang akan mengklasifikasikan negara-negara ke dalam tingkat risiko berdasarkan risiko deforestasi) mendapat lebih banyak perhatian dan tekanan daripada yang seharusnya - setiap negara memulai dari tingkat dasar dan kemudian akan diberi tingkatan sesuai dengan risiko deforestasi mereka jadi negara-negara harus menerapkan sistem keterlacakan dengan benar dan tidak fokus pada penilaian.”
“Mengenai skema sertifikasi, ada banyak jenis yang berbeda baik pemerintah maupun swasta dan kami tahu ada banyak tantangan dalam hal verifikasi dan keandalan data - karena kekhawatiran ini, peran hukum sertifikasi masih terbatas dan bukan merupakan jalur hijau untuk sertifikasi. produk untuk memasuki UE, meskipun upaya terus dilakukan untuk bekerja sama dengan pemerintah guna memastikan skema tersebut dapat diandalkan. Tidak ada larangan terhadap negara atau komoditas mana pun, kami ingin bekerja sama dengan semua orang untuk memiliki rantai pasokan bebas deforestasi dan tidak menutup pasar mana pun, sehingga kerja sama dengan negaranegara mitra merupakan bagian penting dari pekerjaan kami. Kuncinya adalah mengidentifikasi tantangan yang ada di negaranegara produsen, misalnya petani kecil - kami merasa mereka bisa mendapatkan manfaat dari EUDR karena tidak memerlukan skema yang mahal.”
Significant doubts remain as to whether the EU’s new deforestation workstream model will be sufficient to allay fears raised by palm oil producing nations, especially in relation to sustainability and smallholder farmers. The EU Deforestation Regulation (EUDR) Ad Hoc Joint Task Force’s (JTF) has held two meetings so far, with the most recent being in February 2024 hosted by the Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) in Malaysia. This featured the launch of a dedicated workstream model to look into the various issues raised by producer countries regarding the EUDR. A primary discussion point at the meeting was that of sustainability and traceability surrounding the five commodities set to be impacted by the EUDR - cocoa, rubber, timber, coffee and most prominently, palm oil.
The five workstreams that were laid out at the end of the meeting focused on smallholder inclusion; relevant certifications schemes especially the Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) and Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) certifications; traceability systems including Malaysia’s Sawit Intelligent Management System (SIMS) and Indonesia’s National Dashboard for Commodities; deforestation-related scientific data; and the protection of privacy data.
But although this has marked the beginning of what is likely to be a long-term, complicated evaluation of EUDR relations with producer markets, leaders from both Indonesia and Malaysia have already clearly outlined what is needed from the EUDR in order to ensure trade remains viable for both sides. “Malaysia has repeatedly acknowledged the EU’s right to implement the EUDR and made efforts to align these regulations with Malaysia’s existing legal, administrative, and supply chain systems,” Malaysia Deputy Secretary General (Plantation & Commodities) Dato’ Zailani Bin Haji Hashim told the floor. “That said, this alignment presents significant challenges with smallholders, particularly those in remote areas, likely to be most impacted by the EUDR so leniency towards them is crucial.”
“We hope that the task force will consider deferring implementation and providing targeted technical and capacitybuilding support for this group as this will ensure a smoother transition and empower them to comply with the EUDR in the long run.” This was seconded by Indonesia Deputy Minister for Food and Agriculture at the Coordinating Ministry for Economic Affairs Dr Musdhalifah Machmud, who made it clear that Indonesia expected a ‘concrete solution’ from these meetings. “The Government of Indonesia hopes that the EU can comprehend and consider the efforts made by Indonesia to date, and would take to highlight that we adhere to sustainability principles based on our own regulations, based on the United Nations Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC) principle,” she said. “We hope for a concrete solution from this Ad Hoc JTF, such as the possible postponement of EUDR implementation for smallholders.” The EU acknowledged the major challenge that the close deadlines in the EUDR were, and ‘noted’ the call for postponements as well as agreeing to the need
for particular attention to be paid to smallholders. “Malaysia’s and Indonesia’s commitments to developing strict traceability and to further strengthening their respective certification systems based on a shared analysis of discrepancies with EUDR requirements is very welcomed,” European Commission (EC) Director for Green Diplomacy and Multilateralism Astrid Schomaker said. “The EU is committed to work closely with both markets to ensure the smooth implementation of the EUDR, in particular on ensuring that smallholders [remain] included in legal and deforestation free supply chains to the European Union.”
In addition, the EU has also agreed within the five workstreams to work with both markets in terms of the MSPO and ISPO certification schemes, support the development of the traceability platforms, and address any data privacy concerns that were highlighted in the analysis. Is this enough? Although the producer markets have made their end-goals very clear, at this point it is uncertain whether this workstream model will be sufficient to protect the various commodities from EUDR exclusion, especially sustainable palm oil which has suffered the brunt of negative press and consumer perception in western markets. A major point of concern is that in the past, EC representatives have specifically stated that the EUDR is already ‘non-discriminatory’ and ‘beneficial’ to smallholders, with an apparently unwavering stance even after Malaysia and Indonesia previously surfaced this issue to the World Trade Organisation (WTO).
“The EUDR is a done deal, [and importantly], this regulation is non-discriminatory as it applies to both domestically-produced and imported commodities and derived products, not only those from Asian markets, but any market that wants to sell products in the EU,” EC Deputy Head DG Environment Helge Zeitler told us at an EUDR discussion conference. “The benchmarking system (which would classify countries into risk grades based on deforestation risk) is getting more attention and press than would be justified – every country starts on a base level and then will be assigned a grade according to their risk of deforestation [so] countries should get traceability systems right and not focus on the grading.”
“As for certification schemes, there are many different types both public and private and we know there are many challenges with verifiability and reliability of data - due to these concerns, the legal role of certifications remain limited and are not a green lane for products to enter EU, though work is ongoing to work with governments to make sure the schemes are reliable. There is no ban against any country or commodity, we want to work with everyone to have a deforestation free supply chain and not close off any market, so cooperation with partner countries is an important part of our work. The key is to identify where the challenges lie in producer countries, such as with smallholders –we feel they can really benefit from the EUDR as there will be no costly scheme involved.”
Perusahaan Singapura Golden Agri-Resources baru-baru ini memperluas operasinya hingga mencakup Amerika Serikat dan berupaya meningkatkan produksi minyak sawit berkelanjutan di seluruh rantai pasokan dengan upaya termasuk memenuhi standar non-GMO, memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil, dan memenuhi standar ISO untuk pengelolaan kualitas dan lingkungan.
Menurut laporan terbaru yang diterbitkan oleh firma riset pasar Statista, 45% responden survei konsumen AS menegaskan bahwa salah satu kriteria terpenting untuk produk kecantikan berkelanjutan adalah penggunaan 100% bahan alami. Lebih lanjut, 39% responden menyatakan bahwa salah satu faktor terpenting dalam konsumsi produk kecantikan berkelanjutan adalah produk tersebut tidak menggunakan bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan, dan 31% menyatakan bahwa produk ramah lingkungan perlu diproduksi dengan cara yang tidak membahayakan lingkungan. mencemari lingkungan.
Ketika konsumen mempertimbangkan formulasi produk kosmetik dan perawatan pribadi, “sepuluh tahun yang lalu, keberlanjutan bukanlah kata pertama yang terlintas dalam pikiran ketika minyak sawit disebutkan,” kata Jaap Raijmans,
Product Line Manager, Oleochemicals di Golden Agri-Resources (GAR). Perusahaan minyak sawit Singapura, yang baru-baru ini memperluas operasinya ke Amerika Serikat, adalah “agribisnis benih hingga siap pakai di seluruh rantai nilai minyak sawit,” yang memfokuskan operasinya pada “pengembangan dan penanaman benih hingga pengelolaan perkebunan, pabrik dan kilang yang menghasilkan produk konsumen, biofuel, dan oleokimia,” kata Marcus Hattar, Manajer Komersial AS untuk Oleokimia di GAR.
“Dengan meningkatnya kekhawatiran konsumen mengenai peran petrokimia berbasis bahan bakar fosil dalam perubahan iklim,” lanjut Hattar, “ada permintaan yang semakin besar terhadap produk nabati, termasuk oleokimia, sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan alami.”
Kami berbincang dengan Raijmans dan Hattar untuk mempelajari lebih lanjut tentang keunggulan produksi oleokimia minyak sawit sebagai alternatif produk minyak bumi yang berkelanjutan di industri kecantikan, cara GAR berupaya mengatasi permasalahan terkait produksi dan pasokan minyak sawit berkelanjutan, serta tujuan masa depan. untuk oleokimia minyak sawit dalam kecantikan dan perawatan pribadi.
Minyak sawit memiliki beragam kegunaan dan kegunaan, termasuk sebagai minyak goreng, pembersih rumah tangga, dan berbagai produk kecantikan dan perawatan pribadi. Sebagaimana dirinci dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil, “walaupun memiliki kualitas produk yang unik dan permintaan yang tinggi, minyak sawit memiliki reputasi yang beragam,” karena jika “diproduksi secara tidak berkelanjutan, hal ini dapat menimbulkan dampak negatif - terhadap lingkungan, pada satwa liar dan hak asasi manusia” termasuk deforestasi dan eksploitasi pekerja.
When consumers consider the formulation of cosmetic and personal care products, “ten years ago, sustainability would not be the first word that came to mind when palm oil was mentioned,” said Jaap Raijmans, Product Line Manager, Oleochemicals at Golden Agri-Resources (GAR). The Singaporean palm oil company, who has recently expanded operations into the United States, is “a seed-to-shelf agribusiness across the palm oil value chain,” who is focusing its operations on “developing and growing seeds to managing plantations, mills and refineries that produce consumer products, biofuels and oleochemicals,” said Marcus Hattar, US Commercial Manager for Oleochemicals at GAR.
“With increasing consumer concern about the role of fossilfuel-based petrochemicals in climate change,” Hattar continued, “there’s an established and growing demand for plant-based products, including oleochemicals, as a greener and natural alternative.”
We spoke to Raijmans and Hattar to learn more about the advantages of palm oil oleochemical production as a sustainable alternative to petroleum products in the beauty industry, the ways that GAR is working to address issues related to sustainable palm oil production and supply, and future goals for palm oil oleochemicals in beauty and personal care.
Palm oil has a wide variety of applications and uses, including as cooking oil, in household cleaners, and in a variety of beauty and personal care products. As detailed by the Roundtable on Sustainable Palm Oil, “despite its unique qualities as a product and its high demand, palm oil has a mixed reputation,” because if it is “Produced unsustainably, it can have negative impacts –on the environment, on wildlife and on human rights” including deforestation and exploitation of workers.
When palm has been grown sustainably, however, “palmderived oleochemicals can make a compelling substitute for producers looking to replace petroleum-based ingredients such as fatty alcohols in cosmetics manufacture,” shared Raijmans.
Additionally, when compared to other vegetables used to create oleochemicals like coconut or rapeseed, palm also offers other sustainable advantages. “Palm is the world’s most productive vegetable oil,” Raijmans explained, “producing 3.5 tons of palm oil per hectare compared to 0.5 tons of soybean or 0.7 tons of sunflower using the same amount of land.” As “land use for agriculture and forestry contributes to around one-fifth of greenhouse gas emissions, ingredient choice plays an integral in developing more sustainable formulations,” Raijmans said. Regarding the production of more sustainable beauty and personal care product formulations, Raijmans added, “palm-derived oleochemicals are interchangeable with their petrochemical counterparts in many cosmetics applications, to give a formulation that’s safe, traceable and plant-based, while reducing carbon emissions compared to petrochemicals.”
Considering the rise in consumer awareness and interest in beauty and personal care formulations compositions when considering a product’s sustainable footprint, “palm oil’s safety and quality credentials also offer an advantage,” said Raijmans. “According to McKinsey,” he cited, “almost half of Gen-Z consumers won’t make a beauty purchase until they’ve done extensive research on the ingredients that are inside.”
GAR has therefore ensured “that all palm-based raw materials meet non-GMO standards,” Raijmans said, as the company’s “oleochemical supply chains are Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certified, and we meet ISO standards for quality and environmental management.” While “from a formulation perspective, we don’t see major challenges for customers using or switching to palm-based products,” he continued, “the most pressing challenge is ensuring the supply of sustainably produced palm derivatives.” In recent years, he added, “demand for palm-derived oleochemicals has consistently outstripped supply, posing a risk of price escalation that risks reducing interest in these sustainably produced alternatives.”
Therefore, to actively address this issue, GAR has focused its efforts on boosting supplies of sustainable palm oil by “elevating production through GAR’s replanting program, which replaces aging, less-efficient trees with more productive ones, enhancing oil yield from the same planted area,” explained Raijmans.
Additional GAR efforts to increase the availability of sustainably sourced palm oil include expanding “smallholder certification, exemplified by initiatives like the Sawit Terampil program, which recently incorporated 270 independent farmers into our RSPO-certified supply chain, to increase available of sustainable feedstock,” he shared further. “At an industry level,” he added, “the RSPO’s drive to certify more kernel crushing plants should open new routes to market for certified sustainable palm kernel oil and derivatives.”
Moving forward, “there are a lot of opportunities for growth when it comes to palm oil oleochemicals for beauty and personal care,” said Hattar. For example, “as the industry continues to focus on sustainability and innovation, we can expect to see further development and innovative applications of palm oil-derived ingredients, such as Propylene Glycol from glycerine instead of the traditional petrochemical route,” he illustrated.
Additionally, Hattar opined that “we’ll continue to see more demand for sustainable agricultural practices from customers and consumers.” Considering that “the US Forest Act is back on the agenda, following similar legislation in Europe in the form of the EUDR, as well as the incoming Modernization of Cosmetics Regulation Act (MOCRA),” he added, “supply chain transparency and regulatory compliance will remain vital.”
Therefore, Hattar concluded, “GAR is committed to increasing our presence in the US market and oleochemicals play an important part in that strategy.”
Namun, ketika kelapa sawit ditanam secara berkelanjutan, “oleokimia yang berasal dari kelapa sawit dapat menjadikan pengganti yang menarik bagi produsen yang ingin mengganti bahan-bahan berbasis minyak bumi seperti alkohol lemak dalam pembuatan kosmetik,” ungkap Raijmans.
Selain itu, jika dibandingkan dengan sayuran lain yang digunakan untuk membuat oleokimia seperti kelapa atau lobak, kelapa sawit juga menawarkan keunggulan berkelanjutan lainnya. “Kelapa sawit adalah minyak nabati paling produktif di dunia,” jelas Raijmans, “menghasilkan 3,5 ton minyak sawit per hektar dibandingkan dengan 0,5 ton kedelai atau 0,7 ton bunga matahari dengan menggunakan lahan yang sama.” Karena “penggunaan lahan untuk pertanian dan kehutanan menyumbang sekitar seperlima emisi gas rumah kaca, pemilihan bahan baku berperan penting dalam mengembangkan formulasi yang lebih berkelanjutan,” kata Raijmans. Mengenai produksi formulasi produk kecantikan dan perawatan pribadi yang lebih berkelanjutan, Raijmans menambahkan, “oleokimia yang berasal dari kelapa sawit dapat dipertukarkan dengan bahan petrokimia dalam banyak aplikasi kosmetik, untuk menghasilkan formulasi yang aman, dapat ditelusuri, dan berbahan dasar tanaman, sekaligus mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan produk kosmetik lainnya. untuk petrokimia.”
GAR & produksi minyak sawit
Mengingat meningkatnya kesadaran dan minat konsumen terhadap komposisi formulasi kecantikan dan perawatan pribadi ketika mempertimbangkan jejak berkelanjutan suatu produk, “kredensial keamanan dan kualitas minyak sawit juga menawarkan keuntungan,” kata Raijmans. “Menurut McKinsey,” ujarnya, “hampir separuh konsumen Gen-Z tidak akan melakukan pembelian produk kecantikan sampai mereka melakukan penelitian ekstensif terhadap bahan-bahan yang terkandung di dalamnya.”
Oleh karena itu, GAR telah memastikan “bahwa semua bahan mentah berbahan dasar kelapa sawit memenuhi standar non-GMO,” kata Raijmans, karena “rantai pasokan oleokimia perusahaan tersebut bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan kami memenuhi standar ISO untuk pengelolaan kualitas dan lingkungan.” Meskipun “dari sudut pandang formulasi, kami tidak melihat tantangan besar bagi pelanggan yang menggunakan atau beralih ke produk berbasis kelapa sawit,” lanjutnya, “tantangan yang paling mendesak adalah memastikan pasokan turunan kelapa sawit yang diproduksi secara berkelanjutan.” Dalam beberapa tahun terakhir,
tambahnya, “permintaan terhadap oleokimia yang berasal dari kelapa sawit secara konsisten melebihi pasokan, sehingga menimbulkan risiko kenaikan harga yang berisiko mengurangi minat terhadap alternatif yang diproduksi secara berkelanjutan.” Oleh karena itu, untuk secara aktif mengatasi masalah ini, GAR telah memfokuskan upayanya untuk meningkatkan pasokan minyak sawit berkelanjutan dengan “meningkatkan produksi melalui program penanaman kembali GAR, yang menggantikan pohon-pohon yang sudah tua dan kurang efisien dengan pohon yang lebih produktif, sehingga meningkatkan hasil minyak dari area tanam yang sama,” jelas Raijmans.
Upaya tambahan GAR untuk meningkatkan ketersediaan minyak sawit yang bersumber secara berkelanjutan termasuk memperluas “sertifikasi petani kecil, yang dicontohkan oleh inisiatif seperti program Sawit Terampil, yang baru-baru ini memasukkan 270 petani mandiri ke dalam rantai pasokan kami yang bersertifikasi RSPO, untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku berkelanjutan,” katanya dibagikan lebih lanjut. “Di tingkat industri,” tambahnya, “keinginan RSPO untuk mensertifikasi lebih banyak pabrik penghancur inti sawit harus membuka jalur baru ke pasar minyak inti sawit berkelanjutan dan turunannya yang bersertifikat.”
Inovasi lebih lanjut untuk kelapa sawit berkelanjutan dalam bidang kosmetik dan PBC
Ke depan, “ada banyak peluang pertumbuhan dalam hal oleokimia minyak sawit untuk kecantikan dan perawatan pribadi,” kata Hattar. Misalnya, “seiring dengan fokus industri terhadap keberlanjutan dan inovasi, kita dapat melihat perkembangan lebih lanjut dan penerapan inovatif dari bahan-bahan yang berasal dari minyak sawit, seperti Propylene Glycol dari gliserin, bukan dari jalur petrokimia tradisional,” jelasnya.
Selain itu, Hattar berpendapat bahwa “kami akan terus melihat lebih banyak permintaan akan praktik pertanian berkelanjutan dari pelanggan dan konsumen.” Menimbang bahwa “UU Kehutanan AS sedang kembali menjadi agenda, mengikuti undang-undang serupa di Eropa dalam bentuk EUDR, serta Undang-undang Modernisasi Peraturan Kosmetika (MOCRA) yang akan datang,” tambahnya, “transparansi rantai pasokan dan kepatuhan terhadap peraturan akan tetap penting.”
Oleh karena itu, Hattar menyimpulkan, “GAR berkomitmen untuk meningkatkan kehadiran kami di pasar Amerika dan oleokimia memainkan peran penting dalam strategi tersebut.”
Singaporean company Golden Agri-Resources has recently expanded its operations to include the United States and is working to improve sustainable palm oil production across the supply chain with efforts including meeting non-GMO standards, obtaining Roundtable on Sustainable Palm Oil certifications, and meeting ISO standards for quality and environmental management.
According to a recent report published by market research firm Statista, 45% of US consumer survey respondents affirmed that one of the most important criteria for sustainable beauty products was the use of 100% natural ingredients. Further, 39% of respondents stated that one of the most important factors
in sustainable beauty product consumption is that products do not use ingredients that are harmful to the environment, and 31% stated that sustainable products need to be manufactured in a way that does not pollute the environment.
KOTA KINABALU: Sabah telah menegaskan kembali komitmennya terhadap produksi minyak sawit berkelanjutan di negara bagian tersebut pada tahun depan berdasarkan kerangka kerja yang ditetapkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Dikatakan bahwa pihaknya berada pada jalur yang tepat untuk menerapkan Kerangka Kerja Percontohan Pendekatan Yurisdiksi yang ditetapkan oleh RSPO, yang saat ini merupakan sertifikasi internasional yang paling diakui untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Upaya Sabah sejak tahun 2015 mendapat pengakuan pada konferensi tahunan RSPO di Jakarta, Indonesia.
Negara bagian ini mencapai langkah pertama dari proses empat langkah tahun lalu. Inisiatif ini dikenal dengan nama Pendekatan Yurisdiksi Minyak Sawit Berkelanjutan (Jaspo). Sebuah lokakarya diadakan awal bulan ini untuk membahas implementasi langkah kedua. Sekretaris Kantor Sumber Daya Alam Sabah Sernam Singh mengatakan dua tahun ke depan akan mencakup pengembangan menyeluruh dan penerapan kerangka kerja tersebut. “Hal ini memerlukan pendekatan yang hati-hati dan unik agar sesuai dengan solusi yang diperlukan untuk permasalahan kompleks di negara bagian ini, mulai dari permasalahan ketenagakerjaan hingga perlindungan kawasan bernilai konservasi tinggi. Menyiapkan mekanisme untuk mencapai hal ini akan mempersiapkan Sabah untuk sepenuhnya mematuhi standar keberlanjutan nasional dan internasional, termasuk Peraturan Deforestasi Uni Eropa,” katanya.
Kepala Konservator Hutan Sabah Datuk Frederick Kugan mengatakan pendekatan keberlanjutan berbasis lanskap untuk industri kelapa sawit merupakan sebuah perjalanan terobosan karena Sabah telah menunjukkan komitmen dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan baru. “Pengetahuan yang kami peroleh dalam proses ini sangat berharga dan akan bermanfaat tidak hanya bagi industri kelapa sawit di Sabah tetapi juga bagi sektor dan wilayah lain yang melakukan hal serupa,” tambahnya. Sabah menghasilkan 24% produksi minyak sawit mentah Malaysia dan sekitar 6% produksi global.
KOTA KINABALU: Sabah has reaffirmed its commitment toward the production of sustainable palm oil in the state by next year under a framework set by the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
It said it was on track to implement the Jurisdictional Approach Piloting Framework set by RSPO, currently the most recognised international certification for the production of sustainable palm oil. Sabah’s efforts since 2015 were recognised at the RSPO’s annual conference in Jakarta, Indonesia.
The state achieved the first step of the four-step process last year. This initiative is known as the Jurisdictional Approach to Sustainable Palm Oil (Jaspo). A workshop was convened earlier this month to discuss the implementation of the second step. Sabah Natural Resources Office secretary Sernam Singh said the next two years would entail the complete development and adoption of the framework.
“It will require a careful and unique approach to suit necessary solutions for complex issues in the state, ranging from labour issues to protection of high conservation value areas. Setting up mechanisms to achieve this will prepare Sabah for full compliance of national and international sustainability standards, including the European Union Deforestation Regulation,” he said
Sabah’s Chief Conservator of Forests Datuk Frederick Kugan said a landscape-based sustainability approach for the palm oil industry had been a groundbreaking journey as Sabah had shown its commitment and the ability to adapt to new challenges. “The knowledge we have gained in the process is invaluable and will benefit not just Sabah’s palm oil industry but also other sectors and regions embarking on similar pursuits,” he added. Sabah produces 24% of Malaysia’s production of crude palm oil and around 6% of global production.
KUALA LUMPUR: Dewan Sertifikasi Minyak Sawit Malaysia (MPOCC) kini dikenal sebagai Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO).
Menteri Perkebunan dan Komoditas Datuk Seri Johari Abdul Ghani mengatakan penggantian nama MPOCC menjadi MSPO merupakan salah satu inisiatif untuk memperkuat rebranding MSPO sebagai skema sertifikasi kelapa sawit berkualitas tinggi dan berkelas dunia. “Upaya pemajuan MSPO akan semakin ditingkatkan dengan diluncurkannya Rencana Aksi Strategis MSPO 2024 hingga 2026. Ini mencakup tiga strategi utama yaitu membangun skema sertifikasi keberlanjutan yang kuat dan dapat dipercaya, memastikan kepatuhan pelaku industri dan memberikan nilai tambah pada sertifikasi MSPO, serta memperluas pengakuan dan penerimaan MSPO,” ujarnya dalam acara Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) Perayaan HUT ke-10 dan Hari Raya dilakukan hari ini. Pidatonya dibacakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Kementerian (Perencanaan dan Manajemen Strategis) Datuk Abdul Hadi Omar.
Johari mengatakan dalam diskusi bilateral antara kementerian dan Uni Eropa (UE) mengenai Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dan MSPO, Malaysia mendapat tanggapan positif terkait upayanya mengurangi laju deforestasi. “UE juga telah memberikan pengakuan yang berarti atas komitmen Malaysia terhadap produksi komoditas berkelanjutan,” ujarnya.
Pada acara tersebut, MSPO juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan empat institusi pendidikan tinggi yaitu IIUM Higher Education Sdn Bhd, Persatuan Regenerasi dan Kelestarian Alam, Felcra College dan City University. Sepuluh Duta Muda MSPO dari masing-masing institusi telah dipilih untuk mempromosikan dan meningkatkan kesadaran mahasiswa lain tentang sertifikasi MSPO.
the Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani said the renaming of MPOCC to MSPO was one of the initiatives to strengthen the rebranding of MSPO as a highquality and world-class palm oil certification scheme. “Efforts to promote MSPO will be further enhanced with the launch of the MSPO Strategic Action Plan 2024 to 2026. It encompasses three main strategies namely building a robust and trustworthy sustainability certification scheme, ensuring industry players’ compliance and adding value to MSPO certification, as well as expanding recognition and acceptance of MSPO,” he said during the Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) 10th Anniversary Celebration and Hari Raya do today. His speech was read by the ministry’s deputy secretary-general (strategic planning and management) Datuk Abdul Hadi Omar.
Johari said during a bilateral discussion between the ministry and the European Union (EU) regarding the European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) and MSPO, Malaysia had received positive feedback regarding its efforts to reduce deforestation rates. “The EU has also provided meaningful recognition of Malaysia’s commitment to sustainable commodity production,” he said.
At the event, MSPO also signed a memorandum of understanding (MoU) with four higher education institutions namely IIUM Higher Education Sdn Bhd, Persatuan Regenerasi dan Kelestarian Alam, Felcra College and City University. Ten MSPO Youth Ambassadors from each institution have been selected to promote and raise awareness among other students about MSPO certification.
Kementerian Perkebunan dan Komoditas akan berkolaborasi dengan Kementerian Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi (Mosti) untuk mendorong berbagai inovasi, otomasi, dan mekanisasi di industri kelapa sawit Tanah Air.
Dalam postingan di X, Menteri Perkebunan dan Komoditas Johari Ghani mengatakan kesepakatan dicapai setelah berdiskusi dengan Menteri Sains, Teknologi dan Inovasi Chang Lih Kang kemarin mengenai kemajuan teknologi dalam pemanenan minyak sawit. “Oleh karena itu, kami menyambut Mosti, peneliti, pengusaha teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya di ekosistem ini untuk berinovasi dan mengadaptasi teknologi canggih untuk membantu industri kelapa sawit Malaysia,” ujarnya.
Sementara itu, dalam postingan Facebooknya, Chang menyatakan komitmen Mosti untuk menawarkan teknologi dan inovasi yang sesuai untuk mengatasi tantangan yang dihadapi industri minyak sawit Malaysia, khususnya dalam hal pemanenan. Dia mengatakan industri ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara, namun menghadapi kekurangan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan perkiraan hilangnya pendapatan berkisar antara RM20 miliar dan RM30 miliar. “Saya yakin bahwa melalui kolaborasi erat antara Mosti dan Kementerian Perkebunan dan Komoditas, ditambah dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan, kita dapat menjadi ujung tombak pengembangan teknologi yang akan meningkatkan efisiensi dan daya saing industri minyak sawit negara kita,” ujarnya.
The plantation and commodities ministry will collaborate with the science, technology and innovation ministry (Mosti) to promote various innovations, automations, and mechanisations in the country’s palm oil industry.
In a posting on X, plantation and commodities minister Johari Ghani said an agreement was reached following discussions with science, technology and innovation minister Chang Lih Kang yesterday regarding the technological advancements in palm oil harvesting. “Therefore, we welcome Mosti, researchers, technology entrepreneurs, and other stakeholders in this ecosystem to innovate and adapt advanced technology to assist the Malaysian palm oil industry,” he said.
Meanwhile, in a Facebook post, Chang expressed Mosti’s commitment to offering suitable technology and innovation to address the challenges faced by Malaysia’s palm oil industry, particularly in harvesting. He said the industry contributed significantly to the country’s economy, but faced a labour shortage. This led to an estimated loss of income ranging between RM20 billion and RM30 billion.
“I am confident that through close collaboration between Mosti and the plantation and commodities ministry, coupled with the support of all stakeholders, we can spearhead the development of technology that will enhance the efficiency and competitiveness of our country’s palm oil industry,” he said.
Sektor perkebunan didesak untuk tidak menebang hutan baru untuk budidaya kelapa sawit, tetapi sebaliknya meningkatkan penggunaan teknologi untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. Menteri Perkebunan dan Komoditas, Datuk Seri Johari Abdul Ghani, mengatakan bahwa ini adalah salah satu dari tiga poin utama yang ditekankan oleh Perdana Menteri Datuk Seri
Anwar Ibrahim selama briefing tertutup dengan manajemen puncak Sime Darby Plantation Bhd (SDP) dalam rangka kunjungan kerjanya ke lokasi operasional konglomerat tersebut di Pulau Carey dekat sini hari ini.
Johari mengatakan bahwa perkebunan adalah salah satu sektor terbesar yang berkontribusi pada ekonomi negara dan perdana menteri ingin melihat sektor ini memenuhi beberapa aspek termasuk meningkatkan penggunaan teknologi. “Perdana menteri mengatakan bahwa kita tidak ingin deforestasi berlanjut, tetapi tetap dengan apa yang kita miliki, tetapi pada saat yang sama kita ingin meningkatkan hasil dan salah satu caranya adalah dengan menggunakan teknologi,“ katanya saat ditemui wartawan setelah sesi briefing yang berlangsung lebih dari setengah jam. Briefing tersebut juga dihadiri oleh Menteri Keuangan II Datuk Seri Amir Hamzah Azizan.
Mengomentari lebih lanjut, Johari mengatakan bahwa Anwar juga menekankan bahwa peningkatan penggunaan teknologi tidak hanya akan meningkatkan hasil minyak sawit tetapi juga membantu dalam upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing. “Dalam hal ini, perdana menteri mengatakan bahwa hanya pekerjaan yang melibatkan 3D (kotor, berbahaya dan sulit) yang menggunakan layanan mereka (pekerja asing),“ katanya. Johari mengatakan bahwa perdana menteri juga meminta sektor perkebunan untuk mengadopsi teknologi yang dihasilkan oleh perusahaan start-up untuk mendukung perkembangan perusahaan-perusahaan tersebut. “Perdana menteri juga menekankan betapa pentingnya bahwa jika ada perusahaan start-up yang memperkenalkan teknologi mereka yang telah berhasil, kita ingin memastikan bahwa mereka dapat menjual teknologi tersebut kepada pelaku industri perkebunan,” katanya.
Johari mengatakan bahwa pelaku industri perkebunan harus meniru SDP yang telah berhasil mengembangkan dan menerapkan teknologi mesin baru di sektor tersebut. Dia mengatakan bahwa penggunaan teknologi yang diterapkan oleh SDP berhasil memperluas cakupan kerja di perkebunan menjadi 12,5 hektar per pekerja dibandingkan dengan delapan hektar per pekerja sebelumnya. Dia mengatakan bahwa dia juga bersedia mempertimbangkan untuk memastikan bahwa Dewan Minyak Sawit Malaysia menerapkan beberapa teknologi yang digunakan oleh SDP dalam operasi harian dewan tersebut. “Kemudian kita akan memperkenalkannya kepada semua pelaku industri kelapa sawit untuk mereka tiru dan memanfaatkan teknologi yang digunakan oleh SDP,” katanya.
The plantation sector has been urged not to cut down new forests for oil palm cultivation but instead to improve the use of technology to increase production and income.Plantation and Commodities Minister Datuk Seri Johari Abdul Ghani said it was one of the three main points emphasised by Prime Minister Datuk Seri Anwar Ibrahim during a closed door briefing with the top management of Sime Darby Plantation Bhd (SDP) in conjunction with his working visit to the conglomerate’s operating site in Pulau Carey near here today.
Johari said plantation is one of the biggest sectors that contribute to the country’s economy and the prime minister wants to see this sector fulfill several aspects including increasing the use of technology. “The prime minister said that we don’t want deforestation to continue, but to stay with what we have, but at the same time we want to increase the yield and one of the ways is to use technology,“ he said when met by reporters after the briefing session which lasted for over half an hour. The briefing was also attended by Finance Minister II Datuk Seri Amir Hamzah Azizan.
Commenting further, Johari said Anwar also emphasised that increasing the use of technology will not only increase palm oil yield but also help in the government’s efforts to reduce dependence on foreign labour. “In this regard, the prime minister said that only work involving 3D (dirty, dangerous and difficult) use their services (foreign workers),“ he said. Johari said the prime minister also asked the plantation sector to adopt technology produced by start-up companies to support the development of these companies. “The prime minister also emphasised how important it is that if there are start-up companies that introduce their technology that has been successful, we want to make sure that they can sell that technology to players in the plantation industry,” he said.
Johari said players in the plantation industry should emulate SDP which has successfully developed and applied new machinery technology in the sector. He said the use of technology applied by SDP successfully expanded the scope of work on the plantation to 12.5 hectares per worker compared to eight hectares per worker before. He said he is also willing to consider ensuring that the Malaysian Palm Oil Board applies some of the technology used by SDP in the board’s daily operations. “Then we will introduce it to all players in the oil palm industry for them to emulate and utilise technology used by SDP,” he said.
Industri ini menghasilkan sejumlah besar limbah, termasuk tandan buah kosong (EFB), limbah pabrik kelapa sawit (POME), dan cangkang inti sawit (PKS). Upaya berkelanjutan sedang dilakukan untuk mengelola limbah ini dengan lebih efektif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, mengonversi limbah menjadi bioenergi atau menggunakannya dalam bahan bangunan tidak hanya membantu mengurangi dampak lingkungan tetapi juga menambah nilai ekonomi bagi industri minyak sawit.
Co-founder dan CEO BioLoop Sdn Bhd, Mah Jun Kit, mengatakan bahwa strategi tersebut melibatkan penggunaan bioteknologi dan larva lalat tentara hitam (BSFL) untuk mengalihkan sejumlah besar limbah organik dari tempat pembuangan sampah dan mengubahnya menjadi produk berharga. Metode ini jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses manajemen limbah tradisional dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG). Dia berbagi bahwa secara keseluruhan, Malaysia menghasilkan jumlah limbah yang substansial, termasuk limbah makanan dan pertanian yang signifikan.
Pada tahun 2022, total limbah yang dihasilkan sekitar 7,4 juta ton, dan dia percaya angka ini akan meningkat pada tahun 2024. “Setiap dua minggu, KLCC bisa diisi dari lantai ke langit-langit, atau setiap hari, kolam ukuran Olimpiade bisa diisi — sangat tidak berkelanjutan,” katanya, menggambarkan situasi tersebut kepada The Malaysian Reserve (TMR). Mah menekankan bahwa Malaysia telah menjadi sorotan baru-baru ini karena isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), serta kekhawatiran mengenai kebersihan industri minyak sawitnya, yang semuanya berkontribusi pada persepsi negatif.
Untuk mengatasi hal ini, dia mengatakan bahwa mengubah narasi tentang minyak sawit melibatkan membuat rantai pasokan lebih ramah lingkungan dan memastikan produk sampingan digunakan secara berkelanjutan. Salah satu metode adalah memanfaatkan produk sampingan minyak sawit, yang biasanya dibuang atau dibiarkan di perkebunan, dengan menggunakannya sebagai pakan bagi larva. BioLoop menggunakan bungkil inti sawit dan bungkil sawit untuk memberi makan larva, yang kemudian menghasilkan protein dan pupuk. Pendekatan ini tidak hanya menambah nilai pada produk sampingan, tetapi juga secara signifikan memperkuat narasi keberlanjutan pabrik minyak sawit.
Selain itu, mengonversi limbah menjadi sumber daya berharga seperti protein dan pupuk, yang kemudian dapat diintegrasikan kembali ke dalam sistem ekonomi, memiliki potensi untuk secara signifikan meningkatkan keberlanjutan lingkungan global dengan mendorong ekonomi yang lebih efektif dan sirkular. Praktik ini juga dapat mengurangi kebutuhan akan lahan yang saat ini digunakan untuk produksi kedelai dan jagung, terutama di negara-negara seperti Brasil dan AS.
Selain itu, pendekatan ini dapat mengurangi ketergantungan pada tepung ikan dalam pakan ternak, yang sering kali berasal dari penangkapan ikan berlebihan, yang tidak hanya merusak biologi laut tetapi juga mengurangi keanekaragaman hayati laut.
Dengan mengurangi permintaan tepung ikan, solusi ini dapat berkontribusi pada ekosistem laut yang lebih sehat, memungkinkan populasi ikan untuk pulih dan meningkatkan
keanekaragaman hayati laut. Mah mengatakan bahwa pemerintah mendorong pemerintah daerah untuk mengadopsi teknologi BSF untuk manajemen limbah makanan dan bahkan telah memberikan hibah untuk mendukung inisiatif ini.
Metode tradisional pembuangan limbah minyak sawit biasanya melibatkan meninggalkan limbah di perkebunan sebagai kompos atau menjualnya sebagai bahan pakan bernilai rendah ke perikanan dan peternakan sapi. Meskipun metode ini bermanfaat, metode ini tidak sepenuhnya memanfaatkan potensi nilai limbah tersebut. BioLoop memanfaatkan limbah ini dengan cara yang lebih inovatif dengan menggunakannya untuk membudidayakan larva, yang sangat kaya akan protein dan kemudian menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi. BioLoop juga secara strategis membentuk usaha patungan dengan perusahaan di sepanjang rantai nilainya untuk memastikan sumber limbah yang berkelanjutan dan jangka panjang, yang penting dari perspektif bisnis.
Saat ini, perusahaan berpartisipasi dalam usaha patungan dengan penyedia teknologi biogas terkemuka, dengan tujuan untuk menciptakan solusi komprehensif untuk manajemen limbah minyak sawit. BioLoop berencana untuk memperluas operasinya ke Malaysia Timur, memanfaatkan volume limbah minyak sawit yang tinggi yang saat ini kurang dimanfaatkan.
Langkah berikutnya melibatkan replikasi model ini di Indonesia, dengan fokus utama pada limbah minyak sawit, yang merupakan dasar dari model bisnis mereka, dengan potensi aplikasi di masa depan dalam mengelola limbah makanan. Berbeda dengan Malaysia, di mana pasar relatif bersatu di Malaysia Barat dan Timur, Indonesia menyajikan lanskap yang lebih terfragmentasi dengan industri minyak sawit yang tersebar. Segmentasi ini memerlukan pembentukan kemitraan lokal untuk memfasilitasi ekspansi dan memanfaatkan peluang bisnis secara efektif. Meskipun ada beberapa perusahaan BSFL di Indonesia, Mah mengatakan bahwa inovasi teknologi minyak sawit Malaysia semakin diakui dan diadopsi di seluruh kawasan, menyiapkan panggung untuk inisiatif pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang BioLoop yang ambisius.
Saat ini memproses sekitar 20 ton limbah per hari, perusahaan berencana untuk memperluas kapasitasnya hingga mencapai tujuan jangka menengah untuk menangani 100 ton per hari dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Strategi utama untuk mencapai hal ini melibatkan pembentukan kemitraan dengan fasilitas biogas untuk menciptakan situs yang berlokasi bersama, yang berarti mendirikan operasi langsung di sebelah pabrik minyak sawit.
Sementara awalnya mempertimbangkan model terpusat di mana semua limbah akan diangkut ke satu lokasi, pendekatan tersebut dianggap tidak praktis dan mahal karena sifat tersebar dari pabrik-pabrik di seluruh Malaysia dan logistik yang terlibat. “Kami saat ini sedang mengimplementasikan proyek baru dan berencana menggunakan model sukses ini sebagai contoh bagi pabrik minyak sawit lainnya, mengundang mereka untuk melihat operasi kami dan mempertimbangkan pengaturan serupa,” katanya.
Tantangan dan Perubahan dalam Industri
Masuknya perusahaan-perusahaan baru menimbulkan risiko dan peluang. Misalnya, pelanggan sering menganggap protein BSF mahal karena biaya produksi yang tinggi, sehingga petani mengabaikannya sebagai pilihan. Persepsi ini mencegah mereka mempresentasikan produk mereka secara efektif, hambatan yang ingin diatasi oleh BioLoop dengan mempromosikan BSF sebagai produk yang berkelanjutan dan terjangkau.
Tantangan signifikan lainnya adalah mempertahankan konsistensi produk di tengah permintaan klien untuk produk yang konsisten, namun variabel seperti penggunaan limbah makanan yang berbeda dapat mengubah kandungan nutrisi larva setiap hari. Pabrik pakan membutuhkan tingkat protein dan lemak yang stabil, sehingga diperlukan pengujian dan standarisasi yang ketat terhadap bahan baku pakan untuk memastikan keseragaman. Untuk ini, Mah mengatakan BioLoop berupaya menyempurnakan formulanya dengan menggunakan produk sampingan berbasis sawit yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan ini, mengatasi masalah variabilitas dan memperkuat gagasan bahwa BSF tidak secara inheren mahal.
“Kami sering mendengar pemerintah membahas inklusi protein alternatif baru dalam pakan ternak lokal. Secara historis, subsidi untuk ayam dan telur telah memperkuat rantai pasokan unggas, sementara perusahaan besar mempertahankan kontrol atas pasokan pakan. Kami bertujuan mengatasi hal ini dengan mengadvokasi kebijakan lokal yang mewajibkan persentase kecil, mungkin 1% atau bahkan 0,5%, dari protein dalam pakan bersumber secara lokal. Meskipun 99% masih dapat diimpor, kuota lokal kecil ini bisa sangat menguntungkan produsen domestik karena skala besar industri. Sumber protein untuk kuota ini tidak harus BSF; sumber lokal apa pun akan cukup,
memberi kami kesempatan untuk bersaing,” tambahnya.
Secara historis, subsidi berfokus pada mendukung industri unggas. Namun, mengalihkan sebagian subsidi ini ke sumber protein alternatif seperti BSF dapat secara signifikan membantu perusahaan memperluas operasinya dengan lebih efisien di Malaysia.
Namun demikian, Mah pada akhirnya percaya bahwa dengan atau tanpa intervensi pemerintah, BSF akan tetap ada, dan meskipun intervensi dapat mempercepat kematangan industri ini, perusahaan-perusahaan akan menemukan cara untuk membuatnya berhasil.
Kebijakan di Malaysia Mengenai Limbah Minyak Sawit
Lembaga Minyak Sawit Malaysia (MPOB) mengatakan kepada TMR bahwa kolaborasinya dengan Kementerian Perusahaan Perladangan dan Komoditi (KPK) serta pemangku kepentingan industri telah mengembangkan Dasar Agrikomoditi Negara (DAKN 2030) yang bertujuan untuk menangani berbagai aspek pengelolaan limbah minyak sawit, dengan fokus khusus pada pengurangan dampak lingkungannya.
Strategi kunci yang diuraikan dalam kebijakan ini termasuk pemanfaatan biomassa dan bahan bakar nabati yang berasal dari sektor minyak sawit. Selain itu, beberapa peraturan relevan lainnya juga diberlakukan untuk mengatur pengelolaan limbah minyak sawit. Ini termasuk Undang-Undang Energi Terbarukan Nasional, yang menyediakan kerangka kerja untuk mempromosikan sumber energi terbarukan, dan Peraturan Kualitas Lingkungan (Tempat Tertentu) (Minyak Sawit Mentah) tahun 1977, yang menetapkan standar pengolahan air limbah untuk mengendalikan tingkat permintaan oksigen biokimia.
Secara khusus, sejak 1 Januari 2014, pabrik baru dan pabrik yang ingin memperluas throughput diwajibkan memasang fasilitas penjebakan biogas penuh atau fasilitas penghindaran metana, yang semakin menekankan komitmen terhadap praktik pengelolaan limbah berkelanjutan dalam industri minyak sawit. Untuk membandingkan praktik pengelolaan limbah di industri minyak sawit Malaysia dengan negara-negara penghasil minyak sawit signifikan lainnya, Ketua Pengarah MPOB, Datuk Dr Ahmad Parveez Ghulam Kadir, mengatakan bahwa pengelolaan limbah dalam industri ini tunduk pada peraturan ketat, dengan sektor ini menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap standarstandar ini.
“Sebagai perbandingan, praktik pengelolaan limbah di negara-negara penghasil minyak sawit utama lainnya bervariasi. Beberapa negara mungkin memiliki kerangka peraturan dan tingkat kepatuhan yang serupa, sementara yang lain mungkin menghadapi tantangan dalam menegakkan peraturan atau menerapkan praktik pengelolaan limbah yang efektif. Penting bagi semua negara penghasil minyak sawit untuk terus meningkatkan praktik pengelolaan limbah mereka untuk mengurangi dampak lingkungan dan mempromosikan keberlanjutan,” katanya dalam pernyataan tertulis kepada TMR.
Teknologi atau Praktik untuk Meningkatkan Keberlanjutan dalam Industri
MPOB secara aktif mempromosikan teknologi dan praktik baru yang bertujuan memperkuat keberlanjutan pengelolaan limbah dalam industri minyak sawit, termasuk:
I. Penangkapan dan Pemanfaatan Biogas serta Penghindaran Metana
Saat ini, sekitar 30% pabrik minyak sawit dilengkapi dengan fasilitas untuk menangkap biogas, yang dihasilkan dari POME (limbah cair). Biogas yang ditangkap ini berfungsi sebagai sumber energi terbarukan (RE) dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara, termasuk pembakaran bersama dalam boiler biomassa di dalam pabrik, menghasilkan listrik untuk sambungan jaringan atau pengguna eksternal, serta mendukung upaya elektrifikasi pedesaan. Pemanfaatan biogas dari limbah cair pabrik minyak sawit memiliki potensi untuk secara signifikan mengurangi dampak lingkungan, dengan estimasi pengurangan tahunan sekitar 5,5 juta ton CO2 ekuivalen melalui penangkapan biogas dan penghindaran metana. Ini menegaskan kontribusi substansial pemanfaatan biogas terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (GHG) dan menyoroti pentingnya sebagai sumber energi berkelanjutan dalam industri minyak sawit.
II. Konversi Biomassa menjadi Energi Konversi Energi biomassa menawarkan solusi yang menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dengan memanfaatkan biomassa minyak sawit dan kelapa sawit sebagai sumber utama. Sementara adopsi biodiesel sawit semakin berkembang berkat kebijakan nasional seperti implementasi bertahap biodiesel B20 di Malaysia sejak Februari 2020, tantangan tetap ada dalam pengembangan energi biomassa di bawah peraturan yang ada. Meskipun biomassa menyumbang kurang dari 2% dalam campuran energi Malaysia pada tahun 2014, proyek percontohan untuk kogenerasi biomassa dan produksi pelet sedang berjalan. Bahan bakar bio padat seperti pelet semakin banyak digunakan di pembangkit listrik dan sistem kogenerasi, dengan potensi pasar ekspor yang muncul seperti Jepang dan Korea. Meskipun pemanfaatan biomassa langsung memungkinkan untuk bahan baku kering, pretreatment diperlukan untuk pemadatan. Bahan bakar bio canggih memerlukan proses yang lebih kompleks, menyoroti pentingnya teknologi yang efisien biaya. Memanfaatkan biomassa kelapa sawit dan sumber daya lainnya menawarkan keuntungan lingkungan yang signifikan dibandingkan bahan bakar fosil, mengingat sifat terbarukan mereka. Mengintegrasikan biomassa sebagai sumber nutrien dan energi di seluruh rantai pasokan kelapa sawit dapat secara substansial mengurangi emisi GHG.
III. Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)
Diproduksi dengan mengubah minyak limbah dan biomassa menjadi diesel terbarukan dan bahan bakar biojet melalui proses biokimia.Ini dapat dicapai dengan mengintegrasikan operasi pengilangan dan petrokimia yang ada untuk memproduksi HVO dan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) menggunakan berbagai bahan baku seperti minyak jelantah, distilat asam lemak kelapa sawit, lumpur minyak kelapa sawit, dan bahkan minyak mikroalga. Keberhasilan implementasi bergantung pada sumber bahan baku yang sistematis dan produksi yang beragam baik untuk bahan bakar maupun bahan kimia.
IV. Biomassa menjadi produk bernilai tambah Pemanfaatan biomassa padat kelapa sawit telah menghasilkan berbagai produk bernilai tambah, mulai dari bahan bakar padat dan pupuk hingga produk kayu, bahan-bahan komposit,
dan bahan baku pulp dan kertas. Selain itu, juga digunakan untuk menciptakan bahan-bahan ramah lingkungan seperti bioplastik dan polimer berbasis bio, menawarkan alternatif yang berkelanjutan untuk plastik konvensional di berbagai industri. Platform biorefineri terpadu memaksimalkan penggunaan biomassa, mengubahnya menjadi produk beragam melalui berbagai teknologi. Selain itu, produk sampingan seperti bungkil kelapa sawit dan serat tekan kelapa sawit digunakan sebagai suplemen pakan hewan yang kaya gizi.
V. Teknologi untuk Pengolahan Air Limbah MPOB Telah mengembangkan dan menerapkan teknologi untuk pengolahan air limbah, menawarkan solusi yang disesuaikan untuk berbagai kontaminan, laju aliran, dan standar pembuangan berdasarkan karakteristik khusus air limbah dan mandat peraturan. Dengan mengintegrasikan berbagai proses pengolahan dalam instalasi pengolahan, efisiensi dapat dioptimalkan, memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan yang ketat.
Kolaborasi dengan Pemain Industri
Meskipun begitu, MPOB secara aktif terlibat dalam kolaborasi dengan organisasi lokal maupun internasional untuk meningkatkan praktik pengelolaan limbah dalam industri kelapa sawit. Kemitraan ini bertujuan untuk mempromosikan pengelolaan limbah yang berkelanjutan, menghasilkan pendapatan, dan membudayakan ekonomi circular dalam industri tersebut. Salah satu hasil kolaborasi yang mencolok adalah penyebaran teknologi pengelolaan limbah kepada para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit.
“Saat ini, sekitar 30% dari teknologi yang dikembangkan oleh MPOB bekerja sama dengan perusahaan lokal atau internasional telah berhasil dikomersialisasikan. Ini menunjukkan dampak yang signifikan dalam menerapkan praktik pengelolaan limbah yang efektif dan menciptakan peluang ekonomi dalam industri,” kata Ahmad Parveez.
MPOB secara strategis berfokus pada kemajuan teknik pengelolaan limbah dalam industri kelapa sawit melalui pengembangan sektor biomassa dan bioenergi. Mengakui sumber daya biomassa yang melimpah dan keharusan untuk diversifikasi sumber energi di tengah kelangkaan minyak bumi, Ahmad Parveez mengatakan rencana masa depan MPOB untuk meningkatkan teknik pengelolaan limbah dalam industri kelapa sawit berfokus pada pengembangan sektor biomassa dan bioenergi. Ini termasuk bio-bahan bakar generasi berikutnya dan bahan bakar hasil hidrokraking, difasilitasi oleh adopsi teknologi yang inovatif dan peningkatan untuk konversi biomassa menjadi energi dalam kompleks pabrik minyak kelapa sawit. Dengan memanfaatkan bahan bakar padat, cair, dan gas sebagai bagian dari rantai nilai biorefineri, MPOB bertujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya dan meminimalkan pembentukan limbah.
Selain itu, MPOB bermaksud untuk menjadi pelopor konsep biorefineri dalam industri kelapa sawit, dengan memanfaatkan
berbagai komponen biomassa seperti EFB (tandan kosong), PKS (cangkang biji kelapa sawit), dan serat mesokarp untuk menghasilkan produk bernilai tambah, bio-bahan bakar, dan biokimia. Mengintegrasikan proses biorefineri dengan pabrik minyak kelapa sawit yang sudah ada memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi sumber daya, mendorong keberlanjutan, dan mempromosikan prinsip ekonomi circular dalam industri ini. Secara singkat, limbah minyak kelapa sawit merupakan tantangan besar di Malaysia, tetapi pendekatan inovatif seperti yang ditawarkan oleh Bio-Loop merupakan langkah maju dalam mengatasi masalah tersebut — dengan memberikan manfaat baik bagi lingkungan maupun ekonomi.
Selain itu, upaya kolaboratif antara perusahaan dan lembaga pemerintah, seperti MPOB, juga meningkatkan praktik pengelolaan limbah. Melihat ke depan, peningkatan terusmenerus dalam teknik pengelolaan limbah dan promosi bioenergi sangat penting untuk memajukan keberlanjutan industri minyak kelapa sawit.
The industry generates substantial amounts of waste — including empty fruit bunches (EFBs), palm oil mill effluent (POME) and palm kernel shells (PKS). There are ongoing efforts to manage these wastes more effectively and sustainably. For instance, converting waste into bioenergy or incorporating it into building materials not only helps reduce the environmental impact but also adds economic value to the palm oil industry.
BioLoop Sdn Bhd co-founder and CEO Mah Jun Kit said the strategy involves utilising biotechnology and Black Soldier Fly Larvae (BSFL) to divert substantial quantities of organic waste from landfills and transform it into valuable products. The method is significantly faster than traditional waste management processes and leads to reduced greenhouse gas (GHG) emissions. He shared that overall, Malaysia produces a substantial amount of waste, including significant quantities of food and agricultural waste.
In 2022, the total waste generated was approximately 7.4 million tonnes, and he believes this figure will increase in 2024. “Every two weeks, the KLCC could be filled from floor
to ceiling, or every day, an Olympic-sized pool could be filled — very unsustainable,” he said, illustrating the scenario to The Malaysian Reserve (TMR). Mah emphasised the particular scrutiny Malaysia has faced recently due to environmental, social and governance (ESG) issues, along with concerns regarding the cleanliness of its palm oil industry, all of which have contributed to a negative perception.
To combat this, he said altering the narrative around palm oil involves making the supply chain more environmentally friendly and ensuring byproducts are used sustainably. One method is repurposing palm oil byproducts, which are typically discarded or left on estates, using them as feed for larvae. BioLoop uses palm kernel expeller and palm kernel cake to nourish larvae, which subsequently produce both protein and fertiliser. The approach not only adds value to the byproducts but also significantly bolsters the sustainability narrative of palm oil mills.
Apart from that, converting waste into valuable resources such as protein and fertiliser, which can then be reintegrated into the economic system, has the potential to greatly improve global environmental sustainability by fostering a more effective and circular economy. This practice could also reduce the need for land currently used for soybean and maize production, particularly in countries such as Brazil and the US.
Additionally, the approach could decrease the reliance on fishmeal in animal feed, which is often sourced from overfishing, which not only degrades marine biology but also diminishes the diversity of marine life.
By reducing the demand for fishmeal, the solution could contribute to healthier ocean ecosystems, potentially allowing fish populations to rebound and marine biodiversity to improve. Mah said the government is encouraging local municipalities to adopt BSF technology for food waste management and has even provided grants to support these initiatives.
Traditional palm oil waste disposal methods typically involve leaving waste on the estate as compost or selling it as low-value feedstock to fisheries and cattle farms. While these methods are beneficial, it does not fully capitalise on the waste’s potential value. BioLoop leverages the waste in a more innovative way by using it to cultivate larvae, which are extremely rich in protein and subsequently produce high-quality organic fertiliser. It also strategically forms joint ventures with companies along its value chain to ensure a sustainable, long-term source of waste and offtake, which is critical from a business perspective.
The company currently participates in a joint venture with a leading biogas technology provider, aiming to establish a comprehensive solution for palm oil waste management. BioLoop plans to extend its operations to East Malaysia, capitalising on the high volume of palm oil waste that is currently underutilised.
The next step involves replicating the model in Indonesia, focusing primarily on palm oil waste, a staple of their business model, with potential future applications in managing food waste. In contrast to Malaysia — where the market is relatively unified across both West and East Malaysia — Mah said Indonesia presents a more fragmented landscape with scattered palm oil industries. The segmentation necessitates the formation of local partnerships to facilitate expansion and leverage business opportunities effectively. Despite the presence of several BSFL companies in Indonesia, Mah said Malaysia’s palm oil technological innovations are increasingly recognised and adopted across the region, setting the stage for BioLoop’s ambitious long-term growth and sustainability initiatives.
Currently processing approximately 20 tonnes of waste daily, the company is looking to expand its capacity to a mediumterm goal of handling 100 tonnes per day within the next three to four years. A key strategy in achieving this involves forming a partnership with the biogas facility to create co-located sites, which entails establishing operations directly adjacent to palm oil mills.
While initially considering a centralised model where all waste would be transported to a single location, the approach was deemed impractical and costly due to the scattered nature of the mills across Malaysia and the logistics involved. “We are currently implementing a new project and plan to use this successful model as a showcase to other palm oil mills, inviting them to see our operations and consider a similar setup,” he said.
The influx of new companies poses both a risk and an opportunity. For instance, customers often perceive BSF protein as expensive due to high production costs, leading farmers to disregard it as an option. The perception prevents them from presenting their product effectively, a barrier BioLoop aims to overcome by promoting BSF as both sustainable and affordable.
Another significant challenge is maintaining product consistency amid clients’ demand for a consistent product, but variables like using different food wastes can alter the nutrient content of the larvae on a daily basis. Feed millers require stable protein and fat levels, necessitating rigorous testing and standardisation of its feedstock to ensure uniformity. For this, Mah said BioLoop strives to perfect its formula using consistent palm-based byproducts to meet these needs, addressing the issue of variability and reinforcing the idea that BSF is not inherently expensive.
“We often hear the government discussing the inclusion of new alternative proteins in local animal feed. Historically, subsidies for chicken and eggs have solidified the poultry supply chain, while major companies have maintained control over the feed supply. We aim to address this by advocating for local policies that mandate a small percentage, perhaps 1% or even 0.5%, of protein in feed to be sourced locally. Although 99% could still be imported, this small local quota could significantly benefit domestic producers due to the large scale of the industry. The protein source for this quota does not necessarily need to be BSF; any local source would suffice, providing us with an opportunity to compete,” he added.
Historically, subsidies have focused on supporting the poultry industry. However, shifting some of these subsidies to alternative protein sources such as BSF could significantly help the company expand its operations more efficiently in Malaysia.
Nevertheless, Mah ultimately believes that with or without government intervention, BSF is here to stay and while intervention could accelerate the maturity of this industry, companies will find a way to make it work.
The Malaysian Palm Oil Board (MPOB) told TMR that its collaboration with the Ministry of Plantation and Commodities (KPK) and industry stakeholders, has developed the National Agricommodity Policy (DAKN 2030) which aims to address various aspects of managing palm oil waste, with a specific focus on reducing its environmental impact.
Key strategies outlined in the policy include the utilisation of biomass and biofuels derived from the palm oil sector. Moreover, several other pertinent regulations are in place to govern the management of palm oil waste. These include the National Renewable Energy Act, which provides a framework for promoting renewable energy sources, and the Environmental Quality (Prescribed Premises) (Crude Palm Oil) Regulations of 1977, which stipulate wastewater treatment standards to control biochemical oxygen demand levels.
Notably, as of Jan 1, 2014, new mills and existing mills seeking throughput expansion are mandated to install full biogas trapping or methane avoidance facilities, further emphasising the commitment to sustainable waste management practices in the palm oil industry. To contrast Malaysia’s waste management practices in the palm oil industry with those of other significant palm oil-producing nations, MPOB DG Datuk Dr Ahmad Parveez Ghulam Kadir said the waste management within the industry is subject to strict regulations, with the sector demonstrating a high level of adherence to these standards.
“Comparatively, waste management practices in other major palm oil-producing countries vary. Some countries may have similar regulatory frameworks and compliance levels, while others may face challenges in enforcing regulations or implementing effective waste management practices. It is important for all palm oil-producing countries to continuously improve their waste management practices to mitigate environmental impacts and promote sustainability,” he said in a written statement to TMR.
MPOB is actively promoting new technologies and practices aimed at bolstering the sustainability of waste management in the palm oil industry including:
I. Biogas capture and utilisation and methane avoidance
Currently, around 30% of palm oil mills are equipped with facilities for trapping biogas, which is generated from POME (wastewater). This captured biogas serves as a renewable energy (RE) source and can be utilised in various ways, including co-firing in biomass boilers within the mills, generating electricity for grid connection or external users and supporting rural electrification efforts. Leveraging biogas from palm oil mill effluent has the potential to significantly mitigate environmental impact, with an estimated annual reduction of approximately 5.5 million tonnes of CO2 equivalent through biogas capture and methane avoidance. This underscores the substantial contribution of biogas utilisation to GHG emissions reduction and underscores its importance as a sustainable energy source within the palm oil industry.
II. Biomass to energy conversion
Biomass energy conversion offers a promising solution to reduce reliance on fossil fuels, utilising palm oil and oil palm bio-mass as primary sources. While palm biodiesel adoption gains traction due to national policies like the phased implementation of B20 biodiesel in Malaysia from February 2020, challenges persist in biomass energy development under existing regulations.
Despite biomass contributing less than 2% to Malaysia’s energy mix in 2014, pilot projects for biomass cogeneration and pellet production are underway. Solid biofuels such as pellets find increasing use in power plants and cogeneration systems, with potential export markets emerging such as Japan and Korea. While direct biomass utilisation is feasible for dry feedstock, pretreatment is needed for densification. Advanced biofuels require more complex processes, highlighting the importance of costeffective technologies. Leveraging oil palm biomass and other resources offers significant environmental advantages over fossil fuels, given their renewable nature. Integrating biomass as a nutrient and energy source throughout the oil palm supply chain can substantially reduce GHG emissions.
III. Hydrotreated Vegetable Oil (HVO)
Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) is produced by converting waste oil and biomass into renewable diesel and biojet fuel through biochemical processes. This can be achieved by integrating existing refinery and petrochemical operations to produce HVO and sustainable aviation fuel (SAF) using various feedstocks such as used cooking oil, palm fatty acid distillates, sludge palm oil and even microalgae oil. Successful implementation relies on systematic feedstock sourcing and multifaceted production of both fuel and chemicals.
IV. Biomass into value-added products
The utilisation of solid oil palm biomass has led to the creation of a diverse array of value-added products, spanning from solid fuels and fertilisers to wood products, biocom- posites and pulp and paper materials. Other than that, it is also used to create ecofriendly materials such as bioplastics and bio-based polymers, offering sustainable alternatives to conventional plastics in various industries. Integrated biorefinery platforms maximise biomass usage, converting it into diverse products through different technologies. Additionally, by-products such as palm kernel cake and palm press fibre serve as nutritious animal feed supplements.
V. Technology for wastewater treatment
MPOB has developed and implemented technology for wastewater treatment, offering tailored solutions for various contaminants, flow rates and discharge standards based on specific wastewater characteristics and regulatory mandates. By integrating multiple treatment processes within treatment plants, efficiency can be optimised, ensuring compliance with stringent environmental regulations.
Nevertheless, MPOB actively engages in collaborations with both local and international organisations to elevate waste management practices within the oil palm industry. These partnerships are geared towards promoting sustainable waste management, generating income and cultivating a circular economy within the industry. One notable outcome of the collaborations is the dissemination of waste management technologies to stakeholders in the oil palm sector.
“Currently, approximately 30% of the technologies developed by MPOB in collaboration with local or international companies have been successfully commercialised. This indicates a significant impact in terms of implementing effective waste management practices and creating economic opportunities within the industry,” Ahmad Parveez said.
MPOB is strategically focused on advancing waste management techniques in the palm oil industry through the development of biomass and bioenergy sectors. Recognising the abundant biomass resources available and the imperative to diversify energy sources amid petroleum scarcity, Ahmad Parveez said MPOB’s future plans for enhancing waste management techniques in the palm oil industry focus on the development of the biomass and bio-energy sectors. It includes next-generation biofuels and hydrocracked fuels, facilitated by the adoption of disruptive and upgrading technologies for biomass-to-energy conversion within palm oil mill complexes. By harnessing solid, liquid and gaseous fuels as part of a biorefinery value chain, MPOB aims to maximise resource utilisation and minimise waste generation.
Furthermore, MPOB intends to champion the biorefinery concept in the oil palm industry, leveraging various biomass components such as EFBs, PKS and mesocarp fibres to produce value-added products, biofuels and biochemicals.
Integrating biorefinery processes with existing palm oil mills holds the potential to enhance resource efficiency, foster sustainability and promote circular economy principles within the industry. In brief, palm oil waste poses a significant challenge in Malaysia, but innovative approaches such as those offered by Bio-Loop are a step forward in addressing the issue — benefitting both the environment and the economy. Moreover, collaborative efforts between companies and government bodies, such as the MPOB are also enhancing waste management practices. Looking ahead, continued improvement in waste management techniques and the promotion of bioenergy are crucial for advancing the sustainability of the palm oil industry.