Glimpse: Melihat sekilas

Page 1


Prolog: Ucapan Terima Kasih

Tahun

2017; Year of Decision. Tahun ini adalah tahun yang menarik

untukku. Aku bersyukur tentang apa yang terjadi dan tidak terjadi di tahun ini. Aku bertemu dengan banyak teman baru dan aku pun berhasil sekali lagi keluar dari zona nyamanku. Karena itu sangat sayang bila tahun ini tidak didokumentasikan dengan mengarsipkan apa yang sudah aku kerjakan di tahun 2017. Karena sudah ada publikasi lain yang menceritakan tentang kehidupan dan peristiwa yang terjadi, pada publikasi ini, biarlah aku memajang karya-karya dalam bentuk tulisanku, agar tidak tercecer dan hilang entah kemana karena aku lupa aksesnya. Sebelum itu, aku ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang membuat publikasi ini ada. Pertama, terima kasih kepada pencipta, Allah S.W.T yang membuatku masih hidup hingga publikasi ini selesai dan karyaku terarsipkan dengan baik, karena seperti yang kita tahu, Ia mempunyai kuasa kapan saja untuk mengambil hidupku. Kedua, terima kasih kepada keluargaku yang telah dengan baik mempertimbangkan pilihan egoisku untuk mengganti jalan yang telah aku pilih. Ketiga, terima kasih kepada orang-orang yang mengisi kehidupanku di tahun 2017 ini. Tanpa kalian, karyaku tidak akan pernah ada. Kemudian, terima kasih setinggi-tingginya kepada orang-orang yang terus berkarya dan menginspirasiku, sehingga aku gatal dan ingin terus juga berkarya. Seperti mottoku, “selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap orang�, Banyak pihak yang tidak mungkin aku sebutkan namanya pada ucapan terima kasih ini. Mulai dari kalian yang dekat dan sering berinteraksi denganku, sampai dengan orang yang hanya berinteraksi denganku hanya satu kali, setiap interaksi kita mengubahku menjadi orang yang sekarang, dan aku berterima kasih untuk itu. Namun izinkan aku untuk mengucapkan terima kasih istimewa kepada dua orang yang memberi pelajaran besar yang benar-benar menghidupkan year of decision ini. Pertama, terima kasih kepada Kak Maria Vania Pardede, S.T., M.Ba, sebagai dosen pembimbingku yang telah membuka perspektifku di ranah pembangunan. Yang kedua, terima kasih kepada Nayla dari Rumah Autis Depok yang mengajarkanku untuk selalu berani untuk menjadi ceria bagi orang lain.

1


Aku benar-benar berterima kasih atas apa yang aku lalui pada tahun 2017. Meskipun banyak hal yang tidak diinginkan terjadi dan banyak orang yang pergi, aku tetap merasa bersyukur dengan semua ini. Karena itu, sekali lagi, izinkan aku mengulangi perkataanku, terima kasih.

FBZ 2017

2


3


Cintaku Pada Dimensi Kelima, Antara Harapan dan Penyesalan

Sebelum memulai sebuah tulisan yang lebih banyak memuat perasaan ini, aku ingin sedikit menyampaikan sedikit teori mengenai superstring theory atau teori dawai. Salah satu gagasan dari teori tersebut adalah teori 11-Mdimensi, yang pada salah satu isinya dijelaskan bahwa alam semesta tidak terdiri dari hanya tiga dimensi saja. Aku tidak tertarik untuk menjelaskan terlalu rinci karena sudah banyak artikel lain yang membahas mengenai teori dan isinya. Pun aku tidak ingin keluar terlalu jauh dari inti tulisanku ini. Tapi, aku harus menjelaskan secara ringkas dimensi satu sampai dimensi lima hingga kita berada pada koordinat pengetahuan yang sama dan meminimalisasi miskonsepsi. Bila aku menjelaskan pengertian dimensi, aku akan bingung sendiri karena saking banyaknya pengertian di luar sana. Kita semua sudah sering mendengar kata dimensi walaupun kita tidak mengetahui arti tepat dari kata tersebut. Tapi, aku yakin kita semua sepakat bahwa dimensi terdiri dari koordinat-koordinat seperti yang kita lihat jika memandang diagram kartesiua. Tiga dimensi pertama sudah kita pelajari sejak dini lewat pelajaran matematika, fisika, geografi, atau pelajaran lainnya. Bahkan kita pun sudah terbiasa melihat hal-hal berbentuk satu, dua, atau tiga dimensi. Dimensi ruang terdiri dari dimensi satu yang berisi koordinat panjang, dimensi dua yang berisi koordinat panjang dan lebar, dimensi tiga yang berisi koordinat panjang, lebar dan tinggi atau kedalaman. (Intinya, semakin besar angka dimensi tersebut, maka semakin banyak faktor untuk menentukan koordinatnya) Oleh karena itu, kita sudah terbiasa untuk melihat dimensi-dimensi tersebut tanpa bertanya, apakah ada dimensi lain dan bagaimana pengaruhnya terhadap hidup kita. Secara sederhana, dimensi empat adalah dimensi yang berisi koordinat dalam waktu. Seperti mengikuti sebuah garis, kita terus bergerak maju mengikuti alur waktu. Contohnya, bila kita pergi dari rumah ke kampus, kita mengikuti koordinat dengan arah tertentu dari koordinat ruang di mana rumah kita berada menuju kampus, diikuti majunya waktu; kita pergi pukul 06.00 WIB dan sampai pukul 06.35 WIB. Saat pulang, kita akan kembali ke koordinat ruang awal tempat kita berada, yaitu rumah. Sehingga menurut dimensi pertama hingga ketiga, kita berada di titik awal. Tapi saat itu sudah pukul 17.20 WIB, waktu yang berbeda dari ketika kita meninggalkan rumah. Jika dilihat dari perspektif dimensi waktu, kita tidak berbalik arah karena 4


kita tidak kembali pada koordinat awal dan kita sudah berada di koordinat waktu yang berbeda.

Lalu, apa itu dimensi kelima? Apa dimensi setelah waktu? Menurutku, dimensi kelima itu cukup spesial — cukup untuk menarik perhatianku dibanding dimensi lainnya. Dimensi kelima adalah dimensi yang menjelaskan mengenai potongan dalam koordinat sebelumnya. Seperti garis lurus yang terpotong menjadi dua, atau bahkan lebih, atau bahkan tidak ada potongan sama sekali. Jika waktu adalah sebuah koordinat yang terus bergerak maju yang berisi kehidupan kita di dalamnya, apakah waktu itu hanya berbentuk garis lurus? Hidup kita tidak lurus dan mulus begitu saja, kita terus menerus berbelok dari waktu ke waktu. Bahkan, kita acapkali tidak memperhatikan bahwa kita berada pada percabangan, yang akhirnya kita harus memilih satu jalan yang entah membawa kita kemana. Untuk menjelaskan dimensi kelima, aku akan memberi sebuah contoh sederhana terlebih dahulu mengenai pilihanku; aku ingin berlibur dan harus memilih antara berlibur ke pantai atau ke gunung. Aku, sebagai individu, tidak bisa memilih kedua pilihan tersebut pada waktu yang sama dan harus mengorbankan satu pilihan. Akhirnya, aku memilih untuk berlibur di pantai. Di benakku, aku membayangkan bila aku berlibur ke gunung, aku bisa lebih mendekatkan diri pada alam, aku bisa memacu adrenalinku dan melihat pemandangan menakjubkan dari puncak gunung tersebut. Tapi, sekarang aku berada di pantai, berjalan di pasir melihat ombak yang datang tanpa hentinya. Aku bukan berada di gunung, sebaik apapun pikiranku menggambarkan kemungkinan yang terjadi bila sekarang aku berada di gunung, aku tetap tidak berada di gunung. Aku bisa saja berlibur ke gunung tahun depan. Tapi tetap saja, aku melewatkan momen dan tidak bisa mengetahui apa yang benar-benar terjadi bila aku berlibur ke gunung saat ini. Sedikit terbayang apa yang mungkin terjadi pada saat aku berlibur ke gunung dan masa depanku selama aku di sana. Mungkin aku akan menyesal. Tapi saat ini aku punya harapan agar liburanku di pantai ini menjadi pilihan terbaik walaupun aku tidak tahu apakah ini benar-benar pilihan yang terbaik. Setelah memilih, aku hanya bisa berpasrah dan memperjuangkan pilihanku untuk menjadi yang terbaik tanpa mengetahui apa yang terjadi bila aku memilih pilihan yang lain. 5


Kenyataannya pilihan-pilihan yang aku buat terkadang lebih berat dibanding contoh yang aku gunakan saat ini. Acapkali berbagai pilihan memiliki harapan dan penyesalan yang aku lihat memiliki nilai yang sama untuk setiap pilihannya — opportunity cost kedua pilihan ini terlalu mahal untuk menjadi bayaran satu sama lainnya. Sehingga aku tidak bisa secara sederhana langsung memilih satu pilihan tanpa menggambarkan masa depanku dengan pilihan yang lain untuk mencoba memikirkan dampak positif, negatif, dan moral pilihanku. Pada akhirnya pun, bohong sekali jika aku tidak memiliki penyesalan terhadap pilihan yang aku tinggalkan karena berarti ada sesuatu yang aku korbankan, alternatif masa depanku. Bila contoh pada beberapa paragraf sebelum ini masih simpang siur, aku akan memperjelas apa itu dimensi kelima. Dimensi kelima adalah dimensi di mana pilihan dalam suatu waktu sangat berpengaruh untuk menjadi koordinat dari potongan jalan lurus pada bidang waktu, atau setidaknya itu lah yang aku tafsirkan. Potongan-potongan tersebut membentuk koordinat baru dari percabangan sebuah dunia yang masih memiliki kontinum yang sama. Intinya bila kita dapat melihat dimensi kelima, kita bisa melihat semua alternatif masa depan kita ketika kita dihadapkan dengan pilihan. Tapi, kita tidak mempunyai kemampuan itu dan kita pun tidak biasa untuk melihat dimensi kelima. Dimensi ini lah, yang menurutku mempunyai efek besar dalam harapan dan penyesalanku. Selama aku mempunyai percabangan dalam kehidupan, aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di ujung jalan yang tidak aku ambil. Bila kita menyesal, bila kita berharap, bukankah itu adalah imajinasi kita mengenai apa yang terjadi di koordinat lain di dimensi kelima sana?

Bila multiverse itu ada, maka aku akan memilih a dan b secara bersamaan di waktu yang bersamaan di tempat yang sama namun dengan koordinat yang berbeda, mungkin, untuk lebih mudah, aku bisa menyebutkannya, dunia yang berbeda, bumi yang berbeda, aku yang berbeda. Ya, aku yang berbeda, tapi tetap sama dengan aku yang sekarang, karena pada dasarnya

6


itu pun diriku, hanya dia telah tumbuh, berkembang, dan berada di koordinat yang berbeda dariku. Bila aku diberikan kekuatan untuk memanipulasi dimensi kelima, kekuatan untuk mempermainkan koordinat di dimensi keenam, apakah aku akan tahu titik mana yang akan aku ubah untuk menjadi diriku yang lebih baik? Dalam satu hari saja aku tidak hanya memilih satu atau dua kali walaupun memang pilihan yang aku pilih tidak semuanya adalah pilihan yang membingungkanku. Terkadang aku hanya harus memilih untuk berangkat jam berapa, atau memakai baju warna apa. Tapi siapa tahu pilihan yang tidak aku perhitungkan ternyata membawa efek yang cukup besar untuk hidupku tanpa aku menyadarinya. Dengan memanipulasi dan melihat semua pilihan yang ada, apakah aku bisa menggunakannya dengan cerdas? Ketika aku sudah mengetahui segala kemungkinan dan cerita yang ditimbulkan karenanya, apakah aku masih akan memilih jalan tersebut? Apakah apa yang aku yakin merupakan hal yang terbaik adalah yang benarbenar terbaik? Mungkin di koordinat lain, aku berbeda dan sama dengan diriku sekarang. Mungkin lebih bahagia, mungkin lebih sedih. Mungkin sedang melakukan sesuatu yang hebat, mungkin sedang tidur. Mungkin. Ya, bagiku, berkata “mungkin” saja sudah sangat menyenangkan dan membangkitkan semangat berpikirku. Sebuah bentukan kata yang secara indah dapat mempresentasikan dimensi kelima ini bisa mengatakan “ya” dan “tidak” pada waktu yang bersamaan. Sebuah paradoks yang jarang diapresiasi dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, mungkin ini hanyalah pemikiran isengku. Untuk penutup, aku ingin menuliskan sebuah perkataan dari tokoh antagonis yang aku suka di sebuah video games yang aku sangat cintai karena konsepnya, Andrew Ryan dari Bioshock, mengatakan “We all make choices, but in the end our choices make us”. Sekarang, aku mengerti perkataan itu lebih dalam dari sebelumnya. Aku yakin, bahkan di antara semua pilihan yang aku buat, banyak pilihan yang lebih berefek besar dibanding yang aku kira. Walaupun aku tidak tahu sampai sekarang pilihan yang seperti apa yang bisa membuatku pada titik ini. Tapi ini hanya teori. Tapi ini hanya opini. Tapi ini hanya yang aku pikirkan dan aku rasakan. Aku berharap. Aku menyesal. Pada akhirnya, bukankah berfantasi, kabur dari kenyataan menyenangkan? Ini lah rasa cintaku terhadap dimensi kelima. 7

itu


Terima kasih telah membaca!

Referensi:

1. Mason. Donavan. 2015. The Physics of Everything: Understanding Superstring Theory. Diakses pada 17 Agustus 2017. https://futurism.com/brane-science-complex-notions-of-superstringtheory/

2. Sciencephile the AI. 2016. The 11 Dimensions EXPLAINED. Diakses pada 16 Agustus 2017. https://www.youtube.com/watch?v=vvUX6uHqbm0&t=203s

8


19916202 Saat itu 4 Agustus 2016. Hal yang pertama aku ingin ucapkan adalah aku bersyukur telah dibuat bingung mengenai banyak hal. Baik dalam berbagai kegiatan, maupun oleh beberapa individu dan kelompok. Karena dengan semua kebingunganku, aku berpikir ulang, mencari apa yang secara relatif kupikir lebih baik, dan aku lebih banyak belajar. Aku belajar. Aku belajar bahwa selalu ada faktor yang dapat mengubah hasil dari usaha; usaha sedikit bahkan bisa menghasilkan sesuatu kesuksesan dan usaha keras pun mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Aku belajar bahwa label adalah hal yang terlalu sederhana untuk melihat seorang individu karena suatu sifat buruk tidak mengartikan seseorang adalah individu yang buruk. Aku belajar bahwa memilih tidak semudah meninjau positif dan negatif, tapi juga moral terhadap pilihan tersebut. Aku belajar untuk menghargai usaha dan karya dari seseorang yang bahkan aku tidak tahu siapa itu, karena selalu ada cerita di balik semua hal yang ada. Atau setidaknya, aku belajar bahwa bahkan yel-yel dapat benar-benar memberikan semangat. Aku benar-benar belajar banyak. Baik dari segi mata pelajaran maupun pembelajaran hidup. Saking banyaknya, aku bisa melanjutkan kalimatkalimatku dengan kata “Aku belajar�. Namun bukankah itu hanya akan membuat kita semua bosan? Mari kita hindari pemakaian kata itu untuk selanjutnya. Berbagai peristiwa terlalu sedih untuk dilupakan. Mulai dari makrab, bermain bersama, diskusi, belajar di kelas, ngegaring, atau bahkan sampai dengan bolos kelas bersama. Maaf ya teman-teman jika aku sering pundung dalam masa-masa ini. Mungkin aku terlihat tidak menikmati halhal tersebut. Mungkin aku benar-benar tidak menikmati banyak hal yang terjadi selama ini. Itu adalah hal natural bagiku untuk sibuk melihat ke depan dan ke belakang dan melupakan apa yang ada sekarang. Aku berharap aku lebih menghargai setiap momen itu karena pada akhirnya, siapa kah kita dihadapan waktu untuk mengulang dan menghentikan aliran kehidupan ini? Bahkan bukan hanya peristiwa, beberapa perkataan masih aku pikirkan. Beberapa dari perkataan itu adalah pertanyaan menggangguku karena sampai sekarang aku tidak tahu — karena tidak ada waktu atau pun lupa 9


karena termakan waktu — jawabannya. Ada juga pernyataan yang aku belum dapat buktikan kebenarannya. Ada juga dialog mengenai remehtemeh kehidupan yang ternyata dibaliknya mengandung makna dalam. Semua itu mengukir diriku menjadi aku yang sekarang. Aku bisa melihat bahwa aku berbeda dan sama dari aku yanh sebelumnya. Baik atau buruknya sendiri tidak bisa aku nilai secara subjektif. Mungkin ini yang disebut perkembangan. Ya. Aku percaya pada perkembangan dan perubahan yang terus terjadi pada diriku, orang-orang di sekitarku, dan seluruh yang ada di dunia. Walaupun tidak dapat diamati menggunakan indera, perubahan itu ada dan aku dapat merasakannya. Perubahan itu membuatku melihat banyak hal yang berbeda dari diriku yang sebelumnya. Aku yakin setidaknya diri mudaku dapat membanggakan beberapa hal tentang aku yang sekarang walaupun ada juga banyak hal yang pastinya mengecewakan. Tapi seperti manusia yang tidak ingin disalahkan, aku bisa menjelaskan alasan dari halhal yang mengecewakan itu karena Dibalik jatuh bangunnya diriku, pastinya ada cerita yang mengikutinya. Ceritaku di sini, bukanlah cerita selewat yang aku seharusnya lupakan agar aku bisa melihat ke depan tanpa sedikit pun berbalik arah. Masih banyak hal yang dapat aku ambil dari setiap momen yang terjadi. Momen-momen itu secara berkesinambungan membantuku untuk berkembang. Jujur, terlalu banyak momen yang bila diceritakan akan menyebabkan aku merindukan kembali satu tahun ini. Ya, mungkin satu tahun ini merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Esa yang memberikanku kesempatan untuk dikelilingi orang orang yang hebat untuk berkembang bersama. Aku yakin bahwa ini adalah salah satu hal termahal yang bahkan tidak bisa dibeli oleh uang.

Karena itu, mungkin melupakan bukanlah jalan yang mudah diambil bagiku.

Dan akhirnya, Di penghujung 365 hari yang aku lewati, aku pun memiliki penyesalan. Ya. Penyesalan akan selalu ada untukku dan penyesalan tidak akan pernah hilang selama aku hidup. Bahkan saat mati pun, aku mungkin saja masih 10


meninggalkan penyesalan. Penyesalanku yang terbesar adalah aku tidak menggunakan waktuku sebaik mungkin untuk berusaha mengenal setidaknya orang-orang yang berada di sekolah yang sama denganku, karena pada kenyataannya mereka adalah orang-orang hebat di jalannya sendiri, dengan cerita menariknya dan kepribadian uniknya. Aku yakin, bersama mereka, belajar dan berkembang merupakan hal yang akan membuatku bangga di kemudian hari. Yah, walaupun pada akhirnya itu hanyalah cerita fiksi di kepalaku untuk mengisi kebosanan dan waktu luangku. Mungkin hal itu terjadi di kehidupan lain. Karena, seperti yang kita tahu, pada kisahku ini, hal tersebut tidak terjadi. Ini adalah kala pertama dan terakhir angka 19916202 akan tercantum di tulisan ini. Tapi aku sangka cukup baik untuk menjadi judul dari pemikiranku ini. Angka itu, telah secara kebetulan menjadi identitas yang aku dapatkan. Banyak yang terjadi setelah aku mendapat identitasku itu, terlalu banyak malah bila aku menuliskan semuanya. Tapi yang aku tahu, untukku angka itu cukup berarti. Angka itu, membuat 4 Agustusku menjadi lebih berarti.

—

Mungkin tulisan ini tidak memiliki inti atau terlalu banyak inti yang berusaha untuk dimasukkan di satu tulisan, yang membuat tulisan ini terlihat tidak profesional. Melalui tulisan ini, aku hanya ingin menyampaikan pikiranku terhadap apa yang telah terjadi selama satu tahun ke belakang. Walaupun masih banyak hal yang tidak bisa aku tulis karena ingatanku yang jelek dan aku tidak begitu menghargai momen tersebut. Mungkin sebagian dari kalian bertanya, “Mengapa aku menulis hal-hal seperti ini?� Ini adalah caraku untuk menghargai hal yang pernah aku punya, memori yang kalian berikan di kertas kisahku. Setiap coretan tinta dalam kehidupanku diisi oleh berbagai warna yang semakin memudar teriris waktu, yang setiap kenangan di dalamnya, mulai berubah dari kenangan hangat menjadi dingin, yang aku pun akan lupa bagaimana rasa dari tiap warna yang ada. 11


Jadi Untuk orang-orang yang mengisi satu tahunku ini, aku ingin berkata kepada kalian;

Lets be amazing together!

Saat ini 4 Agustus 2017.

12


Planologi, Kompleksitas “Perencanaan�

dari

Arti

Kata

“Apa itu planologi? Apakah itu ilmu tentang tumbuhan? Apakah itu ilmu tentang pesawat?� Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih sering menjelaskan kurangnya pengetahuan orang-orang umum mengenai ilmu pengetahuan yang satu ini. Jujur saja, pada awalnya saya pun tidak mengetahui apa itu planologi. Namun jika disebutkan dengan nama lainnya yaitu Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), kebanyakan orang yang mendengar dapat menebak sendiri apa yang dipelajari dalam bidang keilmuan tersebut. Menurut saya, planologi adalah ilmu yang mempelajari kompleksitas dari masyarakat dalam skala besar dan mengembangkannya untuk menunjang masyarakat beberapa tahun mendatang. Namun mengapa planologi ada? Sebelum kita membicarakan kompleksitas, kerumitan, atau himpunan dari satu kesatuan yang membentuk sebuah wilayah pembangunan, ada baiknya kita melihat dulu awal mula tata kota dan sejarah perkembangannya. Ilmu planologi bukanlah ilmu yang baru dipelajari manusia. Ilmu planologi sederhana sudah mulai diterapkan sejak zaman perunggu (pra-Yunani). Saat itu, beberapa bangunan sudah mulai memiliki fungsi. Lokasi kota pun sudah dipertimbangkan dengan membangun kota di sekitar sumber daya alam, yang biasanya sungai besar, agar memudahkan berbagai kegiatan. Kota-kota masih berbentuk kerajaan yang penghuninya berada diantara 3000 –5000 jiwa. Contoh dari kota-kota ini adalah Babilonia dan Kahun. Sejarah planologi pun berlanjut seiring berjalannya sejarah manusia. Secara formal, mungkin dapat dikatakan bahwa ilmu planologi pertama kali diterapkan pada 5 SM oleh Hippodamus dengan Hippodomian plan miliknya. Dengan menggunakan Hippodomian plan, Hippodamus menyusun tata letak bangunan Kota Piraues secara teratur. Ia membagi kota menjadi tiga bagian yaitu untuk artis, husbandmen, dan penjaga. Ia juga membagi tanah menjadi tanah suci, publik, dan privat. Penataan tersebut sangat berbeda dengan penataan pada umumnya pada saat itu yang mengutamakan agar sebuah kota sulit untuk ditaklukan bila terjadi invasi dengan menggunakan ketidakaturan saat pembangunan. Ilmu planologi terus berkembang hingga menjadi ilmu planologi yang saat ini kita ketahui. Salah satu peristiwa penting yang menimbulkan modern planning adalah Revolusi industri di Eropa. Kegiatan ekonomi yang 13


berkembang membuat para pelakunya melakukan banyak hal untuk meminimalisasi biaya produksi, salah satunya adalah dengan menata ruang agar distribusi produk menjadi lebih murah. Hal itu menimbulkan kualitas lingkungan mulai menurrun dan dibutuhkannya tata kota. Lahirlah teori zonasi (zonning), yang mendorong untuk terciptanya pembagian lahan pada suatu wilayah berdasarkan fungsinya. Di Indonesia sendiri, penataan wilayah masuk bersamaan dengan kolonialisme. Bangsa Eropa mulai membangun gudang, benteng, penjara, sampai dengan permukiman menggunakan sistem tata kota yang sudah mereka pakai sebelumnya, yang kemudian disebut dengan urban planning tahap 1. Seiring berjalannya waktu, kolonialisme mulai surut. Akhirnya bangsa Eropa mulai menjual barang teknologi buatan mereka di negaranegara berkembang. Masuknya teknologi tersebut mulai menarik masyarakat desa untuk tinggal di kota atau yang sering disebut urbanisasi. Dengan terjadinya urbanisasi, muncul berbagai permasalahan yang harus dihadapi dan lahirlah urban planning tahap 2 seperti yang kita ketahui sekarang. Lalu apa yang dipelajari dalam planologi sendiri? Apakah ilmu transportasi, geografi, dan sosial budaya saja cukup? Saya sering dengar baik dari dosen maupun kakak tingkat saya bahwa planologi itu adalah persilangan antara teknik, sosial, dan desain. Selain itu, sering juga disebutkan bahwa planologi seperti danau yang luas namun tidak mendalam. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari pastinya sangat beragam namun saling menunjang untuk pembangunan sebuah wilayah. Karena untuk membangun suatu wilayah, sudah pasti bukan hanya tanah saja yang dipertimbangkan. Perlu dikaji juga aspek hukum, dampak terhadap lingkungan, estetika, dan bahkan beberapa aspek lainnya yang saya sendiri mungkin belum pelajari. Seorang planner, sebutan bagi sarjana PWK, butuh lebih dari materi dan praktikum mengenai ilmu-ilmu perancangan wilayah itu sendiri. Seorang planner harus dapat menjadi pemikir, pembicara, dan pemimpin. Ia harus dapat belajar dari masa lalu, menganalisis masa kini, dan merencanakan masa depan sebuah wilayah yang akan dia kembangkan. Tapi, ilmu planologi bukanlah ilmu yang bisa diterapkan oleh satu orang saja. Seperti yang kita tahu, kapasitas mental dan fisik yang kita miliki sebagai manusia terbatas. Karena itulah seorang planner juga belajar untuk bekerja di dalam tim.

14


Setelah mempelajari sedikit tentang ilmu planologi, saya pun kagum dengan banyaknya hal yang dapat dipelajari untuk pembangunan sebuah wilayah dan bagaimana perkembangannya selama sejarah manusia. Butuh sebuah (bahkan lebih!) analisis yang mendalam dan kuat untuk merancang kota tempat tinggal kita sekarang dari 5, 10, bahkan 20 tahun sebelumnya. Saat mempelajari ilmu planologi, saya seperti menyelam di sistem-sistem yang berkesinambungan membentuk suatu sistem yang sangat besar. Hebatnya, sistem ini tidak hanya mencakup ruang, tapi juga waktu. Mungkin sebelum saya mengetahui planologi, saya tidak akan peka bahwa sebuah kota dikembangkan di atas perjuangan orang-orang yang menghabiskan siang dan malamnya berpikir keras untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Sebelum saya mengetahui planologi, saya tidak akan tahu bahwa trotoar, pedagang kaki lima, lahan parkir, dan berbagai macam hal “lazim” lainnya adalah hasil dari perumusan hukum-hukum. Mungkin saya juga tidak akan tahu betapa banyaknya pertimbangan-pertimbangan untuk membangun kawasan perumahan, jembatan layang, dan pusat perdagangan. Hal-hal seperti itulah yang membuat kata “planologi” memiliki makna lebih dari arti kata itu sendiri. Untuk saya sendiri, planologi telah menjadi kata yang penuh dengan berbagai macam unsur, kompleksitas, dan ilmu pengetahuan di dalamnya. Satu kata yang terbuat dari sembilan huruf itu adalah bukti perjuangan orang-orang dalam mengembangkan peradaban dan menunjang kehidupan manusia. Para planner yang terus bekerja walaupun namanya tidak diketahui oleh publik, atau bahkan hasil kerja mereka tidak mendapat apresiasi karena terlihat terlalu “biasa”. Mereka yang meluangkan waktunya untuk masyarakat kota yang lebih baik, termasuk kita sebagai penghuninya. Ilmu planologi bukan hanya berisi materi dan data. Ilmu planologi bukan hanya tentang grafik dan tabel. Ilmu planologi bukan hanya salah satu aspek selewat dalam kehidupan. Tapi, ilmu planologi juga berisi seni, seni bekerja sama, seni merancang, seni berpikir, seni membangun, dan seni lainnya. Pada akhirnya… Saya sangat mengapresiasi ilmu planologi.

Referensi: 15


Zarkawi, Amar Ma’ruf. 2012. Sejarah Perkembangan Perencanaan. Diakses pada 4 Juli 2017. http://amarmarufzarkawi.blogspot.co.id/2012/12/sejarahperkembangan-perencanaan.html Tim penulis. 2015. Sejarah Perencanaan Kota di Dunia. Diakses 4 Juli 2017. http://www.radarplanologi.com/2015/10/sejarah-perencanaan-kota-didunia.html Vassileva, Diliana. 2017. Hippodamus and Early Planned Cities. Diakses pada 4 Juli 2017. http://www.museumofthecity.org/project/hippodamusand-early-planned-cities/ Lahanas, Michael. Town (or Urban) Planning in ancient Greece. Diakses pada 4 Juli 2017. http://www.hellenicaworld.com/Greece/Technology/en/CityPlan.html

16


Efesiensi Pareto Banyak orang berpikir bahwa dengan majunya sebuah negara, taraf kehidupan rakyatnya akan meningkat. Itu merupakan sebuah teori yang sangat terkenal dan sudah beberapa kali terbukti. Karena itu dijungjunglah sikap nasionalis, patriotis, et al untuk mencapai predikat negara maju. Namun, nyatanya negara maju yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi tidak memberi jaminan bahwa masih banyak orang yang miskin di sana. Bahkan di negara seperti Jepang, tingkat kemiskinan masih bertambah.[Baca: http://www.kabarbisnis.com/read/2824246/jumlahorang-miskin-di-negara-maju-naik-tajam ] Untuk keseimbangan dunia, tidak semua negara dibiarkan menjadi negara maju. Apalagi bila negara tersebut adalah negara yang mempunyai sumber daya berlimpah. Sangat tidak menguntungkan negara adidaya bila ada sebuah negara yang“terlalu kaya” karena tentunya negara tersebut hanya akan menjadi ancaman, selain itu, di mana lagi mereka akan mendapatkan sumber daya yang murah? Dengan opini seperti itu, dapat diasumsikan Indonesia tidak akan menjadi negara maju dalam waktu dekat. Kita akan terikat dengan perekonomian yang semakin mengikat leher kita, secara figural dan literal. Tingkat kemiskinan bertambah, pengangguran di manamana, pegawai dibayar dibawah upah minimum regional, hal-hal yang sudah kita lihat di kehidupan sehari-hari tapi kita rasa hal tersebut sudah “biasa”. Sehingga terkadang hal tersebut tidak kita pikirkan. Kemiskinan sendiri adalah dampak dari kurangnya uang yang dimiliki oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari penjabaran tersebut, terlihat bahwa kemiskinan tidak jauh dengan uang. Karena tentu saja agar uang sebagai barang ekonomi memiliki nilai, jumlahnya harus terbatas dan semua orang harus berkorban agar mendapatkannya. Terkadang, pengorbanan seseorang demi mendapatkan sejumlah uang bukan hanya masalah waktu dan tenaga, tapi juga moral sebagai manusia. Tapi bukan pengorbanan terhadap diri sendiri lah hal terburuk mengenai kemiskinan. Pernah dengar “Efisiensi Pareto”? Efesiensi Pareto adalah salah satu ukuran efisiensi yang banyak dipakai oleh ekonom dalam menentukan efisiensi dalam bidang kesejahteraan sosial. Disebutkan bahwa tidak mungkin seorang individu menjadi lebih baik, tanpa individu lain menjadi lebih buruk. Tentu saja, dengan kondisi ideal tertentu. Aku tidak akan menjelaskan ekonomi lebih dalam lagi, karena itu bukan ranahku dan aku bukanlah seorang ekonom. Aku hanya meminjam teori yang dibuat oleh 17


Vilfredo Pareto, seorang ekonom dan insinyur asal Italia, untuk menjelaskan hal yang lebih sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Apakah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka? Anggap aku sedang memberi sesuatu di pasar, suatu barang yang sama, kain misalnya. Kain sendiri mempunyai berbagai macam tingkatan kualitas dan warna. Di pasar itu sendiri, ditemukan banyak pedagang kain dengan harga, kualitas, corak, dan berbagai komparasi lainnya. Misalkan ada sepuluh pedagang yang menjual satu jenis kain yang aku ingin beli. Harganya bermacam-macam mulai dari Rp.24.500,- sampai Rp30.000,-. Gerainya pun ada yang berada di bagian belakang pasar, ada yang berada di paling depan pasar. Aku sebagai pembeli, pastinya ingin menguntungkan diriku, entah itu dalam masalah tenaga, waktu, atau harga. Dengan berbagai pertimbangan, aku akan memilih satu diantara sepuluh gerai tersebut. Pilihan manapun yang aku pilih, akan menguntungkan hanya salah satu pihak (kecuali bila beberapa atau semua pedagang tersebut bekerja sama). Secara tidak langsung, sembilan pedagang kehilangan satu pembeli dan keuntungan yang datang darinya. Secara sekilas pedagang-pedagang itu tidak dirugikan, tidak juga diuntungkan. Namun, keuntungan yang didapat dariku, pembeli, adalah uang yang akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup dari seseorang dan semua orang membutuhkan biaya untuk hidup tapi hanya satu yang diberi kesempatan di waktu saat aku membeli dan dengan aku sebagai pembeli. Mungkin bisa saja ada orang yang berargumen mengenai contoh yang agak kekanak-kanakan ini, namun itu hanya merupakan contoh dari bagaimana kehidupan seseorang sangat behubungan dengan orang lain. Atau mungkin suatu contoh yang lebih familiar adalah kesempatan untuk mengikuti suatu divisi di sebuah kepanitiaan acara. Sudah menjadi hal yang lumrah di setiap acara, ada salah satu divisi yang dianggap lebih menguntungkan anggotanya dibanding divisi lain. Bila aku dan banyak orang ingin menginginkan divisi tersebut, kami secara tidak langsung akan berkompetisi. Saat aku mendapatkan jabatan di divisi tersebut, aku secara tidak sengaja menguntungkan diriku sendiri dan — dengan tidak terlihat ataupun terasa — memperburuk kondisi orang lain. Walaupun yaa semua telah diatur dan blablabla. Sekali lagi, kehidupan kita, pilihan kita, berhubungan dengan orang lain. 18


Karena itu Kita tidak bisa hidup sendiri. Hari ini, 5 Mei 2017, aku pun melakukan observasi (secara tidak sengaja) saat aku membeli kain di sebuah pasar tradisional di Kota Bandung. Sambil menunggu kain yang disimpan digudang, pedagang kain tersebut mulai berbicara, atau lebih dapat dikatakan curhat. Beliau adalah seorang ibu di sekitar umur 40 tahun. Beliau mulai menceritakan bahwa pasar sudah sepi dan banyak pedagang yang mulai gulung tikar. Kemudian beliau melanjutkan dengan sulitnya mencari nafkah sekarang ini. Aku pun menjawab dengan berusaha sedikit menghibur, dengan mengatakan bahwa beliau dapat mencoba seperti online shopping dan kawankawannya, but who am i kidding. Dari mata beliau pun tersirat bahwa sekarang bukan sudah waktunya untuk berinovasi dan mencoba hal baru. Sebentar lagi, beliau bukanlah angkatan kerja dan harus beristirahat. Beliau pun menjawab dengan sedikit bergurau bahwa sudah banyak pedagang yang seperti itu. Dengan kemajuan teknologi, pembangunan, pendidikan tentunya ada halhal yang tidak dapat diantisipasi. Akan muncul konflik demi konflik dalam setiap hal baru yang terjadi di dunia ini. Ketika hal tersebut menguntungkan bagi sebagian, sebagian lainnya dirugikan, dan sebagian lagi tidak mendapatkan apapun secara langsung. Tapi itu lah hidup, dengan kita hidup saja kita sudah membawa keuntungan bagi hal lain dan kerugian bagi orang lain. Rasa semangat bagi keluarga kita untuk berjuang, dan sampah yang kita buat setiap hari, misalnya. Dan, mau tak mau kita hidup seperti ini. Ketika kembali pada diriku, aku pun malu. Hampir 20 tahun aku hidup dan aku masih belum melakukan apa-apa. Bukan sebagai nasionalis, mahasiswa, atau apapun sebagainya yang berbau kenegaraan dan bangsa. Tapi aku sebagai manusia, terhadap manusia lain tanpa memperhatikan stratifikasi dan diferensiasi sosial. Terkadang aku lupa bahwa dengan membaiknya kondisi hidupku, secara tidak langsung mungkin ada orang yang dirugikan. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa setidaknya bila kondisi kita menjadi lebih baik, kita harus berusaha membantu mereka yang tidak memiliki kondisi seperti kita. Karena hidup tidak semudah mengatakan “aku ingin kerja enak dan jadi kaya�. Sebagian dari kita tentu saja berjuang lebih keras dari yang lain, sebagian dari kita mendapatkan semuanya secara gampang. 19


Tidak ada orang yang mau untuk menjadi tukang parkir ataupun pengemis. Mungkin itu lah kesempatan yang diberikan kepada mereka. Tidak semua orang memiliki sifat yang sama dan dapat tetap berjuang dengan keadaan mereka. Tidak semua orang mempunyai waktu untuk memikirkan caranya memperbaiki hidup mereka. Tidak semua orang melihat dunia dengan pandangan yang sederhana maupun kompleks. Namun, bila kita mampu, kita bisa saling membantu. Karena semua masalah sesepele apapun adalah masalah. Karena masalah secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh manusia, baik diri sendiri maupun orang lain. Kita memang tidak bertanggung jawab secara langsung terhadap masalah orang-orang di dunia. Tapi pada hakikatnya kita samasama manusia dan kita punya kemampuan untuk membantu manusia lain. Pada hakikatnya juga, kita tidak bisa hidup sendiri. Jadi‌.?

20


Pencari? “Mengapa saya lahir sebagai manusia? Apa tujuan saya hidup?� Suatu hari pertanyaan itu muncul dipikiran saya. Ketika saya mencari dari berbagai sumber, banyak sekali jawaban yang diberikan oleh berbagai keyakinan tentang pertanyaan tersebut. Misalnya, menurut agama Islam, tujuan hidup adalah untuk menjadi pendakwah, khalifah, dan tentu saja hamba Allah. Menurut Katolik, Allah menginginkan lebih banyak mahluk dari segala macam tingkat untuk dapat berpartisipasi dalam kebaikan tersebut, sehingga semua mahluk dari berbagai tingkatan dapat berbahagia dan memuliakan Allah. [1] Bahkan menurut Hindu, tidak ada yang namanya kelahiran. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada diri yang dilahirkan. Jadi masalah ‘mengapa kita dilahirkan?’ bukan lah ssebuah hal yang nyata. Namun, saya tidak merasakan bahwa jawaban tersebut dapat saya terima mentah-mentah. Tapi, saya juga tidak tahu jawaban seperti apa yang saya cari. Berkali-kali, saya berpikir sampai pada ambang batas kemampuan berpikir saya tanpa menemukan apa yang saya cari. Akhirnya saya hanya terjebak dalam lingkaran pertanyaan. Namun, semakin saya berpikir, saya bisa kabur dari rutinitas saya, dari hal yang bahkan saya tidak termotivasi untuk mengerjakannya. Saya menghibur dan menyibukkan diri saya sendiri dengan dunia saya. Kabur dari berbagai hal yang jika dipikirkan tidak penting adanya. Saya menjelajahi dunia ide untuk mendistorsi diri saya dari kenyataan yang suram. Di sana, saya menemukan kesenangan saya sendiri. Saya suka mencari jawaban. Mencari jawaban memanglah hal yang menyenangkan dan mampu membuat saya bergairah. Menurut saya, tingkat kesenangan tertinggi pikiran adalah ketika berhasil membuat kesimpulan dari hasil analisis dan menemukan jawaban dari keanehan yang saya temukan sehari-hari. Perasaan realisasi ketika menggabungkan semua puzzle keanehan menjadi suatu hal yang masuk akal adalah perasaan yang sangatsangat menyenangkan. Tentu saja untuk mengembangkan pikiran, untuk membuka diri pada perspektif dan kemungkinan-kemungkinan baru, diperlukan objek untuk berpikir. Untuk itu, saya sering kali melakukan pengamatan; baik terhadap manusia, hewan, maupun lingkungan. Dari situ, terkadang muncullah rasa iri terhadap kucing atau tupai yang saya lihat berkeliaran di sekitar kampus. Mereka tidak mampu (atau mereka mampu?) untuk memikirkan mengapa

21


mereka dilahirkan atau apa tujuan mereka, sambil saya tentu saja dipusingkan kembali dengan memikirkan apa tujuan mereka hidup. Sayangnya, mayoritas manusia tidak berpikir begitu. Seringkali saya dianggap ‘aneh’ karena memikirkan ‘hal tidak penting’. Seringkali juga saya juga kecewa karena pertanyaan saya hanya mendapat jawaban seperti “Ya, gitu lah.” yang membuat saya kemudian bertanya-tanya, “Apakah orang-orang bisa menerima dengan begitu saja bahwa semua keanehan di dunia itu adalah hal yang biasa? Apakah orang-orang bisa menerima bahwa mereka tinggal di sebuah daratan-yang-dengan-segala-hukum-fisikanya melayang di tengahtengah angkasa yang kita sendiri tidak tahu sebesar apa? Apakah orang-orang dapat menerima bahwa kita hidup ditengah rutinitas dimana sekolah-kerjamenikah adalah hal yang hampir wajib untuk mengejar kebahagiaan dalam hidup?” Saya tahu bahwa terkadang pertanyaan itu muncul dalam diri tiap orang karena pada hakikatnya, manusia berpikir. Hanya, mengapa orang-orang memutuskan untuk berhenti mencari jawaban? Apakah mereka disibukkan dengan tugas matematika atau ekonomi yang tidak stabil? Kenyataannya kita disibukkan dengan hal yang kita rasa ‘harus’ lakukan demi bertahan hidup dan melupakan hal fundamental yaitu mengapa kita harus hidup. Terkadang, kita sangat sangat melupakan apa tujuan dan dasar kita sehingga kita terlalu mengikuti arus sampai-sampai melupakan jati diri kita. Kita mengikuti tren tanpa berpikir dua kali, agar hanya ingin terlihat bahwa kita sangat mengikuti arus yang ada, up to date, dan tanpa sadar membuat diri kita menjadi pribadi yang konsumtif demi bergaya. Lebih dari itu, terkadang hal tersebut menghilangkan kepribadian kita. Karena, mengikuti lebih mudah daripada membuat sesuatu yang baru, yang original. Kebiasaan tersebut membuat orang-orang menjadi malas berpikir. [3] Alhasil, banyak dari kita yang pada akhirnya hanya memikirkan bagaimana caranya kita dapat hidup tanpa memikirkan kehidupan. Dulu, ketika kita masih anak kecil. Kita dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan pemikiran. Kita menganggap banyak hal, bahkan menyapu lantai, adalah hal yang menyenangkan! Tapi, semakin kita tumbuh, khususnya saya, merasakan bahwa saya dibuat sibuk dengan sistem yang ada. Berapa banyak manusia yang hidup tidak maksimal karena tidak tahu apa tujuan dia hidup? Berapa banyak bunuh diri yang dilakukan karena orang-orang tidak merasa hidupnya berarti? Berapa banyak orang yang tidak menghargai kehidupan? Dan, berapa banyak orang yang tidak menghargai hakikat kita sebagai

22


manusia, sebagai makhluk yang dapat berpikir lebih dalam dan lebih luas dibanding dengan hewan? Atau apakah kita memang benar-benar seperti hewan, yang jika dilatih, dengan hukuman dan penghargaan, akhirnya pasrah saja dengan ‘takdir’ yang diberikan kepada kita, kemudian menerima ‘pelatihan’ tersebut? Apakah fatalisme seluhur itu sehingga kita pasrah saja dengan semua yang ada di sekitar kita? Pasti, kita dengan yakin mengatakan bahwa kita lebih baik dari hewan. Namun apa buktinya? Bila kita tidak menggunakan kemampuan kita untuk berpikir? Kita seperti hewan yang jinak dengan majikan kita, yaitu segala sistem kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, keyakinan, semua itu kita terima tanpa meninjau dan bertanya mengapa kita harus menerimanya. Kekritisan kita terhadap kehidupan dibuat tumpul tanpa kita menyadarinya. Saya kagum pada orang-orang yang hidup pada zaman dahulu. Khususnya, pada filsuf-filsuf dari Yunani. Mereka memikirkan segala keanehan yang mereka temukan di dunia (walaupun terkadang mereka salah!). Mereka dapat menghabiskan berjam-jam untuk mencari jawaban yang menurut mereka masuk akal, meskipun pada akhirnya mereka dihujat dan dianggap gila. Tapi, orang-orang seperti itu lah yang membuat manusia berkembang. Tanpa Plato, kita tidak akan tahu apa itu atom, misalnya. Salah satu filsuf yang paling saya hormati adalah seorang filsuf bernama Socrates, dimana ia berani mati untuk mempertahankan pemikirannya. Ia bisa saja menerima hukuman yang lebih ringan seperti keluar dari Athena, dengan konsekuensi orang-orang hanya menganggap pikirannya sesat. Tapi, dia memilih untuk menerima hukuman mati, karena ia tahu bahwa mati adalah satu-satunya cara agar orang-orang percaya bahwa apa yang dia anggap benar itu memanglah benar. Dia berhasil membuat manusia bangkit dari zaman dimana mitos adalah hal yang masuk akal. Dia mati demi kemanusiaan yang lebih baik, lebih cerdas. Dia adalah orang yang mencari jawaban, dan tidak takut dengan konsekuensinya. Tapi sayangnya, sekarang, tidak banyak orang yang mengetahui namanya dan sejarahnya. Lalu, kisah singkat tdi membawa saya pada sebuah quotes yang saya suka, “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” — Goethe Tiga ribu tahun? Memangnya kenapa dengan tiga ribu tahun? Pernahkah kalian berpikir bahwa kalian adalah bagian dari sejarah? Ya! Sejarah! Dimana kisah terbentuk karena cinta, nafsu, dan benci. Dimana perjanjian terukir 23


diatas sungai darah yang mengalir begitu derasnya. Dimana berbagai keputusan menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal yang menyebabkan pertempuran, atau kebetulan yang menjadi jalan perdamaian. Tapi mengapa orang-orang begitu menganggap sepele sejarah, sehingga mereka tidak tahu bahwa selama ini mereka dipermainkan oleh orang-orang yang memegang sejarah? Mengapa mereka menerimanya? Ketahuilah bahwa sejarah begitu gampang dipermainkan oleh pihak yang memenangkan sejarah. Dan sejarah, tanpa kita ketahui adalah sesuatu yang membentuk cara berpikir kita, cara berpakaian kita, cara berbicara kita, dengan kata lain, kita, manusia. Tapi bahkan kita lupa, atau tidak mau membahasnya karena kita terlalu zaman dengan zona ketidaktahuan kita. Saat saya diam, seringkali saya memerhatikan orang-orang di sekitar saya. Sebenarnya, apa yang mereka pikirkan? Apakah sebenarnya mereka sama seperti saya? Apa sebenarnya mereka juga merasa aneh dengan kehidupan? Tidak mungkin kan, hanya saya dan minoritas orang lainnya yang merasa aneh dengan kehidupan. Kami tidak sespesial itu, kan? Kami hanya orang yang ingin keluar dari zona dari zona nyaman kami, zona nyaman kita semua, yang bahkan kita tidak sebut sebagai zona nyaman karena kita tidak memikirkannya. Tapi, sejujurnya, lewat tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan kepada orang-orang, bahwa hidup lebih besar dari seorang individual. Hidup lebih besar dari diri kita sendiri. Setiap langkah dan keputusan yang kita ambil membawa nama manusia dan kemanusiaan. Hidup itu pilihan, memang. Namun menurut saya, hal terburuk yang dapat dipilih seseorang dalam hidupnya adalah menjadi seorang ignorant yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Karena, tanpa kita ketahui, itu lah salah satu zona nyaman kita. Untuk tidak tahu, dan untuk tidak mencari tahu. Untuk melakukan hal hanya berdasarkan pemikiran kita dan melupakan bahwa kita memiliki peranan penting untuk semesta. Mungkin kita memiliki tujuan yang lebih besar dari sekedar cita-cita kita, namun kita tidak tahu. Mungkin kita diciptakan bukan hanya untuk hidup, lalu kembali kepada-Nya. Mungkin kita lebih dari itu. Terakhir‌ Mengapa sangat sulit untuk mencari kebenaran sehingga orang-orang mulai melupakannya? Apakah yang saya tulis di sini benar-benar benar? Atau apakah kebenaran absolut itu memang ada? Atau bahkan apakah mencari jawaban itu merupakan suatu hal yang sia-sia? Pada akhirnya, saya pun tidak 24


tahu. Saya hanya pencari. Seseorang yang juga bermimpi agar manusia menjadi lebih baik. -Red, Anggota Muda ISH “Tiben�, Pencari

Sumber 1. https://www.katolisitas.org/mengapa-tuhan-menciptakan-manusia/ 2. http://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/mengapa-kita-dilahirkan/ 3. https://sianu.wordpress.com/2009/05/07/faktor-faktor-penyebab-manusia-malas-berpikir/

25


Pemerhati Mari mulai cerita ini dengan satu kata yang menurutku paling mengagumkan yang pernah diciptakan dalam sejarah manusia, dimana satu kata ini menimbulkan banyak persepsi dan pemikiran berbeda, dimana kata ini menjadi faktor penting dalam perkembangan hidup manusia, dan kata ini adalah ‘Mengapa’. Kata tersebut selalu memenuhi pikiranku dan membuatku bergairah untuk mencari kebenaran, berpikir berjam-jam bahkan berhari-hari mengenai sebuah persoalan yang lebih besar dari kehidupanku. Satu kata itu, sudah cukup untuk memotivasi hal-hal yang aku telah dan akan lakukan dalam hidup. Namun, hidup itu tidak semudah kita bertanya dan mendapat jawaban, kan? Satu tahun bersama tongkat kruk telah memberi perspektif baru bagiku. Aku, mau tak mau, harus diam dan menikmati menjadi pemerhati. Aku memerhatikan dunia dengan keanehannya. Tapi, satu hal yang selalu dapat membuatku tertarik dari keanehan dunia adalah memerhatikan manusia yang terbiasa dengan keanehan itu. Aku selalu bingung mengapa temantemanku dapat mengabaikan segala keanehan yang ada. Mengapa mereka nyaman dengan semua keanehan yang ada di sekeliling mereka tanpa mempertanyakan hal aneh tersebut? Mungkin, mencari jawaban adalah suatu hal yang hanya membuang waktu dan tidak memengaruhi nilai atau IPK di tempat kita belajar, kan? Jadi untuk apa kita mencari jawaban? Kita disibukkan dengan urusan dunia untuk bertahan hidup, sehingga kita kehilangan makna dari kehidupan itu sendiri. Kita dituntut untuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya kita juga tidak tahu apa fungsi sebenarnya dari hal tersebut. Misalnya, seringkali aku mendengar teman-temanku bertanya, apa fungsi dari matematika, PKn, fisika, dan lain sebagainya. Tapi, mereka tidak mencari jawabannya dan malah terus memikirkan bagaimana mengerjakan soal dengan rumus ini maupun itu, atau bagaimana bisa menghafalkan sekian banyak undang-undang yang akan diujikan. Bertahun-tahun kemudian, kita pun akan melupakan hal-hal yang telah kita pelajari. Kita hanya akan mengambil bagian pentingnya. Mungkin menghitung pajak dan menghindari razia dengan menggunakan embel undang-undang? Kita lupa dengan pemikiran kita yang kita anggap tidak penting karena pajak dan hukum begitu memusingkan, kita lebih baik memikirkannya daripada pertanyaan aneh mengenai tujuan hidup. Hal yang aku dapat dari memerhatikan orang-orang adalah bahwa kita dibuat untuk memikirkan hal-hal tanpa mengetahui tujuan untuk memikirkannya. 26


Kita disibukkan dengan kenaikan harga bahan makanan, baju apa yang harus kita pakai, dan trend internet sehingga kita lupa untuk bertanya mengapa kita bahkan memerlukan uang untuk belanja, mengapa kita harus berpakaian seperti itu dan mengapa kultur internet seperti ini. Kita hanya mengikuti aliran sungai tanpa bertanya darimana kah sungai berasal. Kita menerima saja apa yang aliran tersebut bawa kepada kita. Kita hanya memikirkan yang harus kita pikirkan, tanpa memikirkan apa yang bisa kita pikirkan. Coba perhatikan sekitarmu. Kita dibentuk untuk menjadi manusia yang malas berpikir, setuju? Bagian 1

27


Untuk kamu, yang berjuang Untuk kamu, yang lelah dengan bebanmu dan kebingunganmu Untuk kamu, yang lelah karena dunia tidak adil dan kamu tidak lebih baik dari orang lain Untuk kamu, yang mulai kehilangan cahaya di matamu dan seyuman di bibirmu

Atau untuk kamu yang sekadar lewat, membaca, dan mencari Untuk kamu yang lelah dengan kehidupanmu, yang bahkan mati pun adalah sebuah hal yang harus diperjuangkan Untuk kamu yang merasa marah pada kehidupan, kamu ingin berteriak sekuat tenaga dan bertanya “mengapa?� Untuk kamu yang sudah merasa dirimu hancur, pecah berkeping-keping, dan masih berusaha untuk menahan kepingan itu di hadapan orang banyak

Untuk semua perasaan lelah dan emosi yang menjadi dingin Untuk semua memori bahagia yang terus memudar Untuk semua perjuangan yang dipandang sebelah mata Untuk semua hal yang terjadi, yang dianggap baik maupun buruk

Bukan, ini bukan hanya untuk satu orang. Ini bukan hanya untuk orang-orang dengan suatu kesamaan tertentu. Ini bukan hanya untuk satu label dan satu masalah.

Ini untuk kamu, kalian.

Pertama Aku ingin minta maaf atas semua hal yang tidak aku lakukan Untuk aku yang tidak bisa selalu membantu 28


Untuk aku yang tidak tahu bagaimana mengembalikan senyum itu Untuk aku yang memilih menjadi hantu, dan hanya melihat dari belakang, tidak di sampingmu Untuk aku yang suatu saat tidak akan menjadi bagian relevan dari kehidupanmu Karena aku tahu walaupun aku berusaha, tetap akan ada bagian dari dirimu yang aku tidak bisa aku mengerti

Kedua Aku tidak akan melarang kamu melakukan hal apapun Baik atau buruk, aku tahu kamu memiliki alasanmu sendiri Aku pun tahu bahwa kamu lebih dari cakap untuk menentukan jalanmu

Tapi, ada yang kamu harus ingat Akan ada jurang yang terlalu dalam untuk kamu bisa ke luar dari sana Jurang yang terlalu gelap, ketika kamu melihatnya, kegelapan tersebut bukan hanya melihat balik ke arahmu Namun mengisi dirimu dengan kegelapannya, kegelapan yang memakanmu

Ketiga Aku bangga dengan semua pencapaianmu, perkembanganmu, yang kamu sadari atau tidak Aku belum tentu bisa mencapai apa yang kamu telah capai Itulah yang membuat ceritamu sangat berharga di mataku Karena itu, hargailah dirimu sendiri

Tidak apa-apa sekali-kali kamu mengeluh Kamu juga butuh untuk mengeluarkan perasaanmu Karena aku tahu, dibalik itu kamu tetap berjuang 29


Tapi tetap ingat ada perbedaan jauh antara mengeluh dan membicarakan orang lain

Keempat Kamu akan gagal, tentu saja Karena tanpa gagal, kamu tidak akan mengerti apa itu kesuksesan Tapi gagal dalam suatu hal spesifik itu tidak akan membuatmu gagal dalam hidup

Lagi pula, apa itu gagal dalam hidup? Kenyataannya kehidupanmu

kamulah

satu-satunya

yang

menentukan

standar

Kamu tidak dapat hidup di standar hidup orang lain Aku yakin melihat orang lain itu perlu namun jadikanlah mereka sebuah acuan dinamis

Karena pada akhirnya, kamu yang akan merasakan penyesalan di detik-detik terakhir kematianmu Kamu yang bertanggung jawab atas dirimu sendiri Carilah kesuksesanmu dan perjuangkan hal itu

Kelima Aku tahu tulisan ini tidak sespesial itu Aku tidak mengatakan ini langsung kepadamu Mungkin, aku pun tidak memperlihatkan sikap yang mendukung argumenku Tapi, kamu, kalian, seberkesan itu untukku Untuk kamu, yang sudah sering bersua denganku Pun untuk kamu, yang hanya bertukar pikiran denganku di malam itu

30


Keenam Tetap saja pada akhirnya begitu banyak hal yang masih tidak bisa tersampaikan Tapi, aku ingin mengucapkan terima kasih Karena kamulah yang memberi pembelajaran berharga beruntukku Sangat, sangat, sangat berharga Walaupun pastinya kamu akan menentang dan bertanya kepadaku untuk apa terima kasih itu Kemudian aku dengan tidak serius akan menjawab, mencoba bercanda

He, klasik

Ketujuh, terakhir

Apapun yang terjadi Seberat apapun itu

Walaupun semua hal membingungkanmu Walaupun semua hal membuatmu ingin menghilang dari kehidupan Tetaplah berjuang! Walaupun hanya karena alasan kecil, tidak rasional, tidak penting, dan diremehkan orang lain

Dan yang paling penting

Just please, don’t lose yourself!

Dari aku,

31


Seseorang yang juga berjuang melawan masalahku sendiri, berharap kali ini aku tidak menyerah

Turning Point On the night like this. I always asking myself same question. Why? Are you just running? Is this all wall of fake things you build to lie to people? To your friends, family, anyone? Why are you being like this? Sometime ago i red a novel, by my favourite writer; Banana Yoshimoto, the title is Moshi moshi. It means hello, in english and often used in phone. The 32


story was good. It told me about a woman who lost her father and so on and so on. But I found a part that alarmed me the most. That is, the part when the main protagonist was aware, a tragedy could change someone. I dont have motivation to do anything. Hell, even if I wanted to die, it took a lot motivation to do so. I dont have any motivation to do even social activities. Im tired. All I want is just that everything to stop. I just want to help myself I just want to get the hell out of this, point. Because right now, I’m still in the bottom of my turning point. And my mind doesnt let me to enjoy everything I like. In spite of deep down I know that i love doing things, my mind just doesnt care. And then as always, I just left what I love. I just want eveything to just stop. Please just stop. I cant do everything. It just that I wasting my time hours and hours to just sit down and getting furious at myself, trying everythinng to just make myself feel better and hoping that this all just phase that sometime later I will get trough. But in the end, I just dont know. What scared me the most is that the fact I almost turn 20th. Im scared of failing at this adulthood bullcraft and responsibility and stuff. Because it was so easy just to slip away and have a ‘bad’ situation when your family would call you a failure. And that maybe everything that I do right now is just a way to hide myself to eveyone. I just want to escape. I just want eveything to stop. I dont know what to do. I personally am sorry, for people who says that, im different back then before the accident. I know that was true and I could feel it. But who I am right now is just what I have left. If I lose myself, If I ever lose myself

I dont know what would happen I dont like to express this much to one specific person because I dont want to make someone overwhelmed by that one problem I just couldnt get trough. Indeed, i wouldnt tell all of my friends about this. Somehow, telling strangers on the internet it just enough to me for now. I cant lose someone I dont know and I dont want to make a stranger out of people who once was very important in my life. Because that was what had happen and I dont want that

to ever happen again and to this day, I can forget myself for that.

33


Sebuah Cerita Hai, kamu, aku, siapapun yang membaca ini. Tentunya, bila kamu adalah aku, khususnya lima tahun mendatang, seperti semua cerita, semoga kamu lebih baik dari aku dan bisa lebih menghargai setiap momen yang kamu punya. Untuk itu, coba kita lihat kembali cerita dan perjuanganku. Bila kamu, pembaca, bukanlah aku, maka terima kasih sudah membaca cerita yang mungkin terkesan banyak mengeluh ini. Mungkin, kita sama-sama dapat mengambil pembelajarannya. Terlalu banyak judul yang dapat aku beri untuk cerita ini karena begitu banyak warna yang menghiasinya. Aku sendiri pun tidak menyangka bahwa aku sampai pada titik ini. Mungkin ini bukanlah pencapaian atau hal yang membanggakan, namun di sinilah aku. Seperti yang selalu aku bilang, tahun ini bukan yang terbaik maupun terburuk, karena ada makna dari setiap hal yang terjadi, baik suka maupun tidak. Sepertinya, sudah cukup pembukaan panjang ini, kita akan lanjut ke awal mula cerita. 28 Juni 2016. Mungkin tanggal tersebut adalah tanggal yang aneh. Bohong sekali jika aku tidak senang melihat tulisan hijau pada situs SBMPTN yang berisi kata “selamat”. Tapi bohong juga bila detik itu aku tidak kehilangan arah dan tujuan. Semua orang kaget, hell, tidak ada yang pernah membayangkan bahwa aku akan masuk SAPPK termasuk aku sendiri. Awalnya, aku memang bingung untuk mengisi pilihan ketiga, karena aku tidak tertarik akan banyak hal. Aku hanya ingin masuk Teknik Informatika, di institut itu. Itu adalah kebiasaanku, membutakan diriku sendiri dengan jalan yang aku ambil. Bila aku menginginkan sesuatu, aku akan memperjuangkannya dengan membayar seberat apapun, even if its my sanity. Mungkin untuk sekarang hal ini belum bisa dibuktikan melewati tulisan, namun nantinya,akan terlihat jelas bahwa seperti itu lah aku. Jujur aku tidak tahu apapun, aku tidak punya rencana apapun, aku tidak punya gambaran apapun. Awalnya, aku memilih SAPPK agar aku tidak lulus SBMPTN, atau setidaknya tidak masuk di ‘jurusan yang aneh-aneh’ di suatu universitas yang aku belum tahu seluk-beluknya. Nyatanya, jurusan ini sangatlah ‘aneh-aneh’ untukku. Aku mencoba menerima karena aku takut bahwa aku tidak bersyukur. Aku tahu banyak orang yang sangat ingin SAPPK

34


dan sekarang di sinilah aku. Selain itu, aku masih menunggu jawaban dari pertanyaanku, yang selalu aku tanyakan. Agustus. Mungkin apapun yang terjadi pada bulan ini belum dapat menggambarkan keadaanku di institut ini, karena ya, seperti yang kita ketahui bahwa kuliah dimulai dengan rangkaian acara orientasi. Betapa megahnya hype yang dibuat pada sebuah acara untuk menyambut mahasiswa baru. Aku sendiri, tidak merasakan hal itu karena kondisi fisik yang memang tidak membiarkan aku 100% mengikuti acara tersebut. Lelah sekali rasanya berjalan antara ujung selatan-utara-tenggara-timur untuk hanya pengenalan yang bahkan aku sendiri sudah lupa apa itu. Selanjutnya, bulan September sampai dengan Oktober adalah masa saat aku dan empat ribu mahasiswa lainnya merasakan bagaimana serunya perkuliahan. Unit-unit menunjukkan keistimewaannya, dosen-dosen menunjukkan cara mengajarnya. Mungkin aku tidak terlalu bisa bercerita banyak mengenai akademis karena aku sendiri tidak merasakan perubahan yang signifikan dari cara belajar SMA, masih aku yang malas belajar, dan masih aku yang beruntung. Pada fase ini, aku pun mencari jalanku. Aku mengikuti banyak kegiatan dan unit. Tapi entah kenapa, hal-hal yang aku lakukan tetap tidak membuatku tertarik dan bersemangat. Aku kemudian memasuki masamasa demotivated, ketika aku tidak peduli lagi dengan kehidupan perkuliahan. Aku bosan. Tidak ada hal yang dapat membuatku senang. Aku belum mendapatkan jawabanku sampai saat ini. Aku seperti berjalan tanpa arah dan hanya satu hal yang aku tahu; aku tidak tertarik dengan apapun yang berada di sini. Tapi mungkin kebosanan itu adalah suatu hal yang sebuah titik balik juga bagiku. Saat itu, moralku dipertanyakan, ideologiku dikuatkan. Aku masih ingat, aku sedang mengerjakan tugas wawancara alumni dan kehabisan pertanyaan. Seperti alumni baik bagi unit kajian, alumni itu kemudian mulai bertanya kepadaku. Pertanyaannya mulai dari yang ringan seperti fakultas apa, et al. Sampai pada pertanyaan ‘apa hobiku, passion-ku’. Sejujurnya, aku sendiri masih bingung apa yang aku benar-benar suka. Karena, aku tidak memperjuangkan waktuku untuk melakukan hobi. Aku pun menjawab dengan hal-hal yang pernah aku lakukan, baik itu unit, ekskul, ataupun hal-hal yang aku pernah lakukan dan nikmati selama delapan belas tahun aku hidup. Respon yang dia berikan pun sungguh menarik; “Maneh suka sama banyak hal ya, kayak maneh ga bahagia gitu.� Kata-kata itu memicu sebuah keinginan 35


dari dalam diriku. Aku mencoba banyak hal, tapi bahkan aku sendiri tidak benar-benar menyukainya. Aku hanya beranggapan aku menyukainya karena aku melakukannya. Kata-kata itu, adalah kata-kata yang tidak pernah dikatakan orang lain kepadaku. Pendek tapi menyadarkan. Pendek tapi bermakna dalam. Dari situ, aku mulai tertarik dengan unit ini. Kapan lagi, aku diwawancara dua orang mab*k di malam minggu tentang ‘kebenaran’? Atau ansos (analisis sosial) dunia malam pada malam kamis ketika besoknya aku harus berada kembali di kampusku jam 7 pagi untuk mengurus unit yang lain? Yang akhirnya aku kehabisan suara dan serak selama 2 minggu. Kapan lagi, dibohongi kakak tingkat bahwa kami berada di hutan pinus di Lembang jam setengah satu malam padahal kami hanya berada di sarana olahraga kampus? Mungkin, pengalaman tidak terduga seperti itu lah yang membuat dunia seru. Tiga malam itu, sangat-sangat seru, lucu, dan pastinya tidak terlupakan. Karena itu juga, perspektifku menjadi lebih terbuka dan aku mempunyai berbagai macam kenalan dari diferensi sosial yang berbedabeda. Namun, selama itu, aku terus berpikir dan menunggu jawaban. Jika dilihat kembali, aku sangat sangat sedih karena aku ingin mengenal mereka lebih dekat. Aku ingin agar semester 2, aku lebih sering untuk bermain ke sekre. Aku ingin lebih banyak belajar dan melihat dunia yang bahkan sebelumnya aku tidak tahu dunia itu ada. Aku senang di sini. Namun, kenyataannya semester 2 tidak sesederhana aku dapat bersenang-senang di sekre semudah itu. Ada dua hal yang terjadi pada saat bersamaan. Pertama adalah kaderisasi unit radio yang aku ikuti dan yang kedua adalah mata kuliah yang menurutku sangat memakan banyak waktu. Pada bulan Januari dan Februari, aku masih dapat membagi waktuku. Aku selalu berusaha untuk mengikuti sekolah minggu pagi unitku yang bahkan materi Pengenalan Teknologi Informasi tidak ada apa-apanya dibanding itu. Aku juga tetap mengerjakan tugas mata kuliah tersebut walaupun hasilnya bisa dibilang tidak 100% dan asal-asalan. Hal itu terjadi karena aku sangat sangat tidak tertarik untuk mempelajari sesuatu yang sangat membutuhkan sense. Aku tidak punya keinginan untuk membaca hal-hal yang berhubungan dengan indra dan lingkungan, sehingga aku sangat malas mengerjakan tugas yang ada. Selama itu, tetap, aku belum merasa cocok dengan institut ini. Setiap hari, aku semakin tidak semangat untuk menimba ilmu. Padahal aku tahu, bayarannya sangat mahal. Tidak, bukan hanya nominal, tapi moral bahwa ada 36


pembangun yang mungkin lebih baik dariku yang tidak mendapatkan kursinya di sini karena diambil olehku. Aku hanya merasa bahwa aku tidak punya tujuan dan aku tidak tahu apa yang dapat memotivasi aku untuk terus maju. Walaupun begitu, aku tidak menyerah. Aku tidak mau hanya dianggap pengeluh yang menyerah tanpa mencapai apapun. Saat itu lah aku tahu aku butuh bantuan dari kawan lama. Sembari bertanya, sembari menunggu. Aku merasa hidupku sampah dan aku tidak tahu harus berbuat apa dengan masa depanku. Mungkin, bagi sebagian orang hal ini terlalu mengada-ngada dan tidak seharusnya dipikirkan. Tapi, beginilah aku, aku membutuhkan sebuah acuan dan cita-cita yang aku kejar sejak lama tidak aku dapatkan. Tentu, tidak semua orang harus mempunyai gambaran detail tentang visi hidupnya, namun aku sangat membutuhkannya karena itulah harapanku dan apa yang membuat aku hidup. Sedikit cerita yang terlewat. 13 Januari 2017. Aku bertemu teman-temanku di SMA. Hari itu juga aku memberikan semacam speech untuk adik kelasku di mengenai pengaruh faktor eksternal dalam hasil dari perjuangan. Saat aku bertemu teman-temanku, sedikit banyak mereka menceritakan tentang pengalaman mereka selama ini. Aku sendiri, belum bisa menceritakan apapun karena saat itu bagiku, SAPPK hanyalah selewat ingatan yang aku coba untuk lupakan. Melihat teman-temanku yang bahagia dengan jurusan mereka, aku pun memutuskan. Aku memutuskan, mulai hari itu, aku yakin 100% aku akan mencoba SBMPTN lagi. Aku sendiri memberi waktu untuk diriku untuk memilih prioritas dan meluangkan waktu untuk hal-hal yang aku suka. Karena pada bulan Maret, aku harus melepaskan hal yang aku suka dan fokus pada tujuanku yaitu SBMPTN. Aku menyebutnya, Drop Dead-Line, kembali mengungkit bahwa aku akan membayar apapun demi tujuanku termasuk kewarasanku. And i did. I create my own hell. Aku mulai untuk melepaskan unit-unitku dan kepanitiaan. Aku mulai mempersempit interaksi sosialku dan menambah waktu yang aku punya untuk belajar. Bahkan aku mengorbankan belajarku (pelajaran kuliah) demi belajar (yang lain). — tapi sebenernya aku juga belajarnya gitu-gitu aja jadi kayaknya aku ga mengorbankan akademik banget (?)— Hal yang mungkin bisa dianggap paling buruk adalah aku juga memperjauh hubunganku dengan orang-orang, khususnya yang dekat denganku. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya, namun aku tahu, aku tidak bisa membebankan mereka terus-

37


menerus di masalah yang sama, dan kali ini masalahku bukan seperti biasa, ini akan menjadi lebih kacau dari yang pernah aku alami sebelumnya. Aku sudah memprediksikan bahwa aku akan depresi pada April. Aku mengatakan itu pada Bulan Februari dan aku tidak tahu cara untuk menanggulanginya. Prediksiku (tentu saja)benar (karena aku sudah biasa memprediksikan kapan aku akan depresi) namun aku tidak memprediksi bahwa hal tersebut akan terjadi berkelanjutan sampai Mei. Bukan hanya depresi, intensitas menangis pun tiba-tiba melonjak semakin gila. Aku ingat sampai menjelang H-2 SBMPTN, aku bisa menangis dua kali dalam tiga hari. Saat itu, aku akhirnya menyerah untuk belajar. Aku tahu, bahwa setiap kali aku membuka buku, akan ada hal baru yang aku tahu. Tapi aku terlalu lelah secara mental untuk melakukannya. Aku menyerah saat itu. Aku lelah. Untungnya bekas menangis tidak jauh beda dengan bekas kurang tidur. Selagi hal tersebut terjadi, aku juga disibukkan dengan tugas salah satu mata kuliah yang menjadi pengantar materi jurusan. Dibanding teman-teman seangkatanku, nilai dan karyaku memang masih di bawah standar. Itu salah satu hal yang membuatku tidak percaya diri untuk melanjutkan pendidikan pada bidang ini. Namun bukan cuma masalah nilai, aku pun masih takut dengan tanggung jawab yang nantinya harus diambil oleh pembangun. Aku takut apa yang aku lakukan nanti akan membutakan aspek kehidupanku yang lain. Dari situ, aku dikalahkan ketakutanku, namun aku masih menunggu jawaban. 4 Mei 2017. Atau, mungkin dimulai dari 3 Mei 2017. Seharusnya malam itu aku belajar untuk UTS 2 Kimia yang aku tahu bahwa aku akan kesulitan untuk mengerjakannya besok. Tapi aku tidak bisa berpikir dan aku tidak bisa untuk berkonsentrasi. Aku kembali dipusingkan dengan memilih. Merah atau Biru. Aku tidak tahu apa alasan logisnya, namun suara-suara di kepalaku memilih Biru. Namun, banyak sekali orang yang menyuruhku Merah. Biasanya aku selalu mengikuti suara-suara itu tapi kali ini tidak ada alasan logis yang bisa aku terima. Aku tidak tahu mengapa, tapi suara itu terus-menerus menyuruhku. Mungkin aku juga berbohong jika aku tidak punya alasan untuk memilih Biru. Alasanku itu bermula pada tanggal 22 Agustus 2016, yang pada awalnya aku tidak hiraukan karena sangat tidak logis. Neatly and unexpectedly blowing my mind. Like, kapan lagi aku mencoba menaha ekspresi kaget di perpustakaan institut ini? Lalu, siapa yang dapat mengantisipasi alasan itu semakin kuat pada akhirnya walaupun tidak ada alasan logis yang mengimbanginya? 38


Tapi aku juga takut, bahwa alasanku tidak cukup kuat pada akhirnya. Aku takut suatu saat aku bosan, menemukan jawaban atas semua alasan itu, dan kembali pada keadaan ketika aku tidak termotivasi. Lalu apa selanjutnya? Aku akan kembali bingung dan memasuki masa denialisme, nihilisme, dan semua isme-isme lainnya. Lagi pula, aku tidak kuat untuk sebrengsek itu melempar orang dari jurusan yang memang ia perjuangkan, tidak seperti aku yang beruntung. Karena alasan bahwa aku ingin mengikuti sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Pada akhirnya aku memilih Merah. 5 Mei 2017. Perkataan dari suara-suaraku terjawab pada hari ini. Hanya sehari semenjak kekacauan dari konflik untuk memilih. Untuk penjelas, hari itu adalah hari sketsa kedua dan hari terakhir mata kuliah tersebut. Namun ada hal yang aku tidak antisipasi pada hari itu. Sketsaku bukan seperti gambaranku. Mungkin untuk standar para pembangun yang lain. Tapi untukku gambar itu bagus‌ Saat terakhir sebelum aku mengumpulkan, aku melihat sketsa itu sekali lagi. Itu bukanlah seperti gambarku. Aku tidak menggambar seperti itu. Atau untuk lebih jelas, aku baru kali ini menggambar seperti itu. Seriusan sampai detik ketika aku menulis ini, aku tidak yakin jika itu adalah sketsa yang aku gambar sendiri. Tapi saat itu juga aku sadar; “this? this what youre trying to say? hope?â€? Mungkin sebenarnya, itu yang ingin dikatakan oleh suara-suara di kepalaku, bahwa aku secara tidak sadar mengalami perkembangan walau sedikit. Suatu hal yang aku tidak lihat karena aku sibuk dengan hal lain. Tapi tak apalah, aku saat itu merasa bangga dan itu sudah cukup. Mungkin jika hal yang terjadi pada hari ini, terjadi sebelumnya, banyak hal yang akan terjadi dan banyak hal yang tidak akan terjadi. Mungkin aku akan memilih jalan lain. Mungkin aku akan melihat perspektif lain, atau mungkin pada akhirnya, hasil yang aku pilih tetap sama seperti ini. Apapun yang terjadi. Yah, mungkin memang ini jalannya. 9 Mei 2017. Ternyata ini jawaban yang aku tunggu. Lucu sekali, aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu. Yang aku tahu, waktunya sangat-sangat tidak tepat. Terlalu terlambat untuk memperbaiki yang sudah aku rusak namun ada di saat yang tepat untuk menghancurkan semangat belajarku. Aku yang dibutakan oleh jalan yang aku pilih, tiba-tiba tidak mengerti apa yang harus 39


aku lakukan. Aku bingung. Jawaban tersebut bukannya memantapkanku, namun membagi diriku sendiri menjadi dua keyakinan diantara melanjutkan atau memulai dari awal. 16 Mei 2017. Cerita yang berawal di akhir Agustus itu sepertinya akan berakhir sore ini. For that, you see, I already choose my path. Mungkin menurut orang lain, kebetulan hanyalah suatu hal yang tidak signifikan. Tapi, suatu hal yang berada di luar prediksiku selalu menjadi hal yang menarik. Setidaknya, terima kasih untuk memberi makna lebih pada pukul 11.03 setiap hari Kamis. Untuk selanjutnya, tidak akan ada lagi 11.03 yang sama, kecuali jika aku menyengajakannya dan itu akan menghilangkan makna dan keindahan dari sebuah kebetulan. Jadi, untuk terakhir kali, aku mengucapkan, “selamat sore, alasan tidak logis Biru-ku!” Dengan berakhirnya 16 Mei, berakhir sudah perjuangan-perjuanganku untuk meraih sebuah jalan hidup. 13 Juni 2017. Sebelum menceritakan hari ini, aku harus mengatakan bahwa lima hari ke belakang sangat terasa aneh bagiku. Banyak aspek-aspek kehidupan di institut ini yang tiba-tiba “membaik”. Mungkin aku harus berterima kasih kepada beberapa oknum yang secara tidak sengaja membantu memperbaiki kualitas hidupku. Namun, lagi-lagi hal-hal yang membaik itu membuatku berpikir; apa yang berada dibalik semua ini? Apa maksudnya? Mengapa sekarang? Perasaanku saat itu sedang sangat kacau karena menanti hasil dari perjuanganku selama empat bulan, atau bisa dibilang, perjuangan teman lamaku yang akan dijelaskan lebih lanjut secara singkat di akhir tulisan ini. Kembali pada perasaan, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah sangat lama tidak merasakan anxiety attack — apalagi saat menit-menit temanku membuka hasil SBMPTNku — separah ini. Tapi ya, lagi-lagi semua pilihan sangat membingungkan. Dengan membaiknya kehidupanku di institut ini dan kesempatanku untuk mengulang semuanya dari awal dan memperbaiki diriku, aku harus menjawab pertanyaan yang muncul dari jawaban pertanyaan yang terjawab pada tanggal 9 Mei; “Bagian mana dari diri aku yang harus berkembang? Aspek apa yang harus aku pelajari? Jalan mana yang aku pilih?” Kali ini, aku harus cepat memilih karena bila tidak, semuanya akan terlambat dan aku akan menyalahkan diriku sendiri. (Seriously tho batas isi form pra-regis sampe tanggal 16!)

40


Aku akhirnya memilih. Aku bukan pembangun. Atau, aku tidak bisa menyingkirkan pikiran bahwa aku bukanlah pembangun. Trust me I was trying so hard but I just cant. Aku tidak bisa membantu orang banyak bila aku sendiri tidak mengerti tentang diriku sendiri dan orang lain. Aku hanya ingin membantu manusia, bukan membantu sebuah bangsa. Karena, maju tidaknya sebuah bangsa, tetap akan ada orang yang tertindas dan aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku tidak akan kuat memikirkan hal tersebut. Aku yakin. BUT YEAAHH KALO KALIAN MAU PINDAH JADI KOMUN*S YOU GOT YOUR CHAMPION BABYYYYYYYY OF COURSE GUE MAU MENYELAMATKAN BANGSA KALO GITU BCZZ THAT MENYELMATKAN HUMANITY JUGA HE. ASAL PEMIMPINNYA BENER HE. GA KAYAK….

Terakhir,

Terakhir,

Terakhir, Mungkin, ada satu yang belum terapresiasi. Satu yang selama empat bulan ini juga berjuang. Satu yang benar-benar memenangkan semua ini. Hai, teman lama! Empat bulan memang tidak sebentar tapi tidak lama. Tapi perjuangan tetaplah perjuangan.

Its my start, but its also your win! Thank you! It was a fine time and I was honored. Thank you for telling me, “its okay” everytimes I cry. Thank you, Red! Meskipun suka terjadi distorsi realitas yang membingungkan

But it was fine it was okay 41


Sampai jumpa, Red!

I dont know if you’ll still exist in 5 years, but yeah, thank you! I know you’ll be somewhere anyway.

Pada akhirnya, aku bisa mengatakan aku senang, karena cerita ini mempunyai akhir, terlepas dari baik atau buruknya akhir tersebut. Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan tapi mungkin untuk saat ini dan nanti lebih baik untuk disimpan dan dimakan oleh waktu saja, apalagi yang berhubungan dengan perasaan. Pada akhirnya juga, akut tidak bisa memilih judul apa yang peta untuk cerita ini, karena, seperti yang aku bilang di awal, terlalu banyak warna yang menghiasinya. Terima kasih telah membaca!

42


43


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.