Hari yang membosankan, pikir bebek itu. Sudah cukup lama ia merasakan perasaan ini, bosan. Apa yang membuat hari ini berbeda dari sebelumnya, bila
setiap hari aku masih merasakan perasaan yang sama? Tanyanya dalam hati. Setiap hari, ia hanya melakukan rutinitas biasa; makan, minum, tidur, berenang, berbebekria. Mungkin terkadang ia ‘berbakti’ kepada kawanan bebek pinggir sungai. Tapi di samping semua yang ia lakukan, ia tetap bosan. Mengapa ia harus
hidup seperti ini? Tanyanya lagi. Bisa dibilang bahwa ia gelisah. Mungkin sebenarnya dia ingin mencari suatu kebenaran absolut. Atau mungkin dia sendiri tidak tahu. Yang ia tahu, ia selalu mempertanyakan mengapa hidupnya seperti ini.
Namun, tanpa disangka, bebek itu pun berbicara seolah menjawab narasiku;
“Aku bisa mendengarmu, narator, dan tidak, aku tidak sedramatis itu untuk memikirkan satu subjek di semua waktu yang aku punya!�
Fakta bahwa bebek kecil itu menjawab ucapanku tidak menggangguku sedikitpun untuk melanjutkan cerita. Lagipula, mana bisa bebek kecil seperti dirinya menarasikan hidupnya sendiri? Tentu saja ia tidak mengetahui alur cerita seperti yang aku tahu. Saat aku menulis ini, aku sudah tahu akhir dari cerita si bebek kecil. Aku yakin bebek kecil itu iri dengan pengetahuanku. Ia dipenuhi rasa keingintahuan yang sangat besar tentang bagaimana semua hal akan berakhir. Aku pun tahu, walau terlihat enggan menyadari bahwa ia adalah pemain utama kisahku, ia pasti tetap mengikuti kisah ini. Rasa ingin tahunya terlalu besar untuk menolak suatu hal yang ia tidak dapat ekspektasi. Mungkin dia ingin mendapatkan akhir cerita bahagia, seperti kisah manis buatan kaum manusia.
Lagipula, pasti ia ingin menjadi pemeran utama. Ia ingin merasa spesial. Tapi tahukah dia bahwa semua makhluk di dunia ini ingin menjadi pemeran utama
sebuah cerita? Terimalah kenyataan bahwa semua makhluk adalah pemeran utama dalam hidupnya masing-masing. Ya! Semua makhluk melihat dirinya sendiri sebagai sebuah sorotan utama di panggung megah bernama kehidupan dunia, di mana semua kebaikan dan keburukan yang terjadi dibuat khusus untuknya mereka sendiri. Di mana ia menjadi pahlawannya sendiri dan semua yang menghalangi tujuan hidupnya adalah antagonis. Wahai bebek, jangan butakan pandanganmu dengan perkataan menggiurkan. Kau tidak seistimewa itu untuk menjadi pemeran utama sebuah cerita yang menurutmu menakjubkan. Tanpa sadar semua makhluk dipaksa hidup dan dipaksa membuat kisah, tanpa mereka minta. Dan mati, ketika sudah dirasa cukup waktunya. Kenyataan pahit, bukan? Kenyataan seperti ini lebih umum dari yang kau kira. Bahkan kenyataan ini sangat pahit, pemanis pun masih membuat makhluk yang mendengar akan curiga. Dan… Bisakah kau lihat semua itu, bebek kecil?
Mari kita mulai ceritamu.
Kau tahu kombinasi dari ruang dan waktu yang tepat dapat membuat sebuah titik di dimensi keempat yang tidak akan mudah kau lupakan? Kombinasi yang menjadi memori di otak kecilmu yang memberi impresi lebih kuat dibandingkan memori lain. Seperti kombinasi waktu dan ruang saat ini, tidak terlalu siang, tidak terlalu sore dengan angin yang berhembus halus dan matahari yang terik tidak menyengat, ditemani aliran air di sungai dan pohon di sampingnya. Waktu yang tepat untuk kawanan bebek pinggir sungai menikmati kemewahan yang mereka punya – sungai yang mereka banggakan. Tapi tidak dengan bebek kecil yang satu itu. Ia hanya duduk di pinggiran sungai, mengamati kawanannya. Pikirannya sedang terganggu, ada sebuah kesadaran yang tiba-tiba muncul yang membuatnya tidak mengerti akan banyak hal di sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa semua hal berjalan seperti “ini”. Ia tidak mengerti mengapa hal “ini”
adalah hal yang normal. Ia tidak mengerti mengapa semua orang begitu bahagia dengan sungainya. Beruntung baginya, mungkin pertanyaannya akan terjawab. Salah satu tetua bebek mendatanginya. Untuk kakek tetua, memberi jawaban saja tidak akan cukup,
bebek kecil sudah tahu bahwa
tetua
pasti akan
menceramahinya. Bebek tetua pun berkata, “apa yang mengganggumu, bebek
kecil?” “Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa bebek-bebek lain mempunyai rasa
bangga terhadap kawanannya, tapi aku tidak. Katakan, kakek tetua, mengapa kita seperti ini?”
Mencoba memperdalam pertanyaan bebek kecil, tetua pun menjawab, “Mungkin
kau ingin lebih spesifik dengan pertanyaanmu. Tapi dari yang kutahu, kita berbeda dari bebek lain, Tuhan memberikan kita sungai sendiri, Tuhan juga memberikan kita kemakmuran dan harta yang berlimpah.”
“Jadi, kau berkata bahwa kita spesial di mata Tuhan?” Tanya bebek, berusaha tetap menahan rasa keingintahuannya. Ia tahu bahwa pertanyaannya akan menyinggung cara hidup bebek yang loyal pada kehidupan konvensional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi, apakah salah jika dia mempertanyakan sesuatu yang fundamental, sesuatu yang dianggap tidak penting bagi makhlukmakhluk praktikal?
“Semua makhluk-Nya tentu spesial. Kita hanya berbeda dari yang lain.” “Lalu, jika kita berbeda dengan kelompok bebek lain, lantas mereka tidak bisa hidup bersama kita?” “Karena sudah dari dahulu kita begitu, itu sudah budaya. Ada perbedaan yang memang tidak dapat dihindari. Kita lebih baik hidup di jalan kita masing-masing.” “Mengapa kita tidak pernah mempertanyakan budaya kita?” “Kita menghargai budaya kita. Kita tahu pasti leluhur membuat kebudayaan karena suatu nilai yang baik. Lalu, terkadang ada perbedaan yang jelas tidak dapat
kita hindari. Misalnya, kita tidak bisa membuat keturunan karena perbedaan biologis. Jelas jika berbicara biologis, ada hal yang tidak dapat kita ubah sebagai bebek.� Pak tetua tidak ingin lagi berdebat, sehingga ia mengakhiri ceramahnya dan pergi. “Oh iya, karena kita berbicara biologis, coba pikirkan baik-baik tentang masa
depanmu, bebek kecil. Kau sebentar lagi harus mencari pasangan.�
Biologis? Apakah hidup bebek kecil itu hanya sebatas bermanfaat untuk melakukan regenerasi bebek? Apa dia hanya harus mencari pasangan? Bagaimana memikirkan masa depan jika masa depan hanyalah iming-iming ketidakpastian atas dasar biologis? Bila aku tidak dapat membuat keturunan, sebagai bebek, apakah masa depanku menjadi tidak berharga? Tapi, yang paling penting, pada akhirnya akankah semua hal itu penting? Apakah dia penting? Apakah dunia ini penting? Sambil berpikir, bebek kecil mencoba pergi dari tempat duduknya di pinggir sungai, menelusuri alam mencari suatu hal yang ia sendiri tidak tahu apa. Ia ingin mengimbangi pikirannya yang gelisah dengan jawaban yang tak terjawab. Berjalan-jalan dapat menyembuhkan rasa gelisah pikirnya. Namun mungkin ia hanya berbohong. Ia ingin keluar sementara dari apa yang nyata saat ini. Ia ingin menelusuri alam dan pikirannya sendiri. Ia mengingat ada sebuah larangan untuk kawanan bebek untuk tidak mencoba coba masuk ke jalur menuju hutan rimba. Hutan adalah tempat yang menakutkan, dengan predator yang siap memangsa bebek kecil rapuh kapanpun. Tapi hari ini, bebek kecil memilih mencoba hal tabu itu. Ternyata, memasuki hutan rimba bukan hal yang sulit. Bebek menemukan kedamaian saat berjalan di jalur yang menuju rimba dengan cahaya remangremang saat itu. Ia sebenarnya tidak tahu akan pergi ke mana dan ia tidak peduli bila ia tersesat dan menghilang. Ia hanya bosan dan berharap bahwa sesuatu akan terjadi, bahwa ia akan membuktikan tidak semua budaya dapat dipercaya.
Tanpa ia sadari, ia terus berjalan masuk ke dalam rimba. Suasana rimba kala itu mengingatkannya dengan suasana tidur siang. Angin melewatinya sesekali melalui celah dahan dan ranting pohon. Cahaya terus menemaninya lewat lubang-lubang kecil di daun. Sembari berjalan, ia berpikir, “Lucu, ya, harapan itu. Aku terus berharap bahwa sesuatu akan terjadi walau tidak mempunyai kuasa apapun untuk mengendalikan semesta. Menurutku, harapan adalah suatu hal yang aneh. Itu membuatku melakukan sesuatu walaupun aku tidak tahu apakah aku mendapatkan yang aku inginkan atau tidak. Harapan pula, yang membuatku masih bertahan hidup hingga saat ini. Dan, harapan adalah suatu yang menakutkan. Berapakali pun aku kehilangannya, ia akan kembali dan kembali.
Sejauh apapun aku mengusirnya, dia akan kembali dan memberi perasaan aneh untuk terus berjuang. Tak terasa ia sudah hampir menjelajahi hutan secara linier – dari satu kutub ke kutub lainnya. Di penghujung hutan, ia kemudian melihat seekor rubah yang sedang tertidur di bawah pohon. Pohon tersebut tidak rindang tapi tidak juga gersang. Bebek kecil mulai mengerti mengapa rubah sering dikatakan sebagai makhluk pintar – dalam memilih tempat tidur pun, mereka mempunyai kriteria pohon yang baik, tidak tidur sembarangan. Elegan! Namun rasa terkesan bebek berganti menjadi rasa penasaran. ‘Apa yang akan terjadi bila ia pura-pura secara tidak sengaja membangunkan rubah itu.’ Ia tahu seharusnya ia menjauhi rubah. Namun, sekali lagi bebek mendengar seruan di kepalanya, apa yang akan terjadi bila rubah itu bangun? Apakah bebek akan mati? Tak apalah, pikir bebek. Lagipula, kapan lagi ia bisa menemukan kesempatan seperti ini? Pertanyaan terus muncul di kepalanya. Daripada berpikir panjang dan harus menjawab semua pertanyaan itu dengan asumsi, maka Ia kemudian berjalan mendekati rubah. Tidak terlalu jauh agar rubah dapat melihatnya, tapi juga tidak terlalu dekat sehingga tidak mengejutkan rubah dan langsung menerkanya. Ia berjalan di atas daun-daun coklat yang berserakan di tanah karena tertiup angin. Daun-daun itu kira-kira terletak satu sampai dua meter dari sang rubah. Nampaknya, satu dua langkah yang sedikit berisik tidak membuat rubah terbangun dari tidurnya. Kesal dengan fakta bahwa seharusnya rubah memiliki pendengaran yang baik namun ia tetap tertidur, bebek kecil melangkah lebih geram dan tidak sengaja mematahkan ranting bengkok yang terkubur di balik dedaunan. Mendengar suara kayu yang patah, akhirnya rubah pun membuka matanya. Melihat bebek kecil di depan matanya membuat ia bingung dan ingin bertanya apa yang dilakukan bebek kecil di hutan. Tapi lebih dari itu, ia senang karena ia mendapat makanan dengan cuma-cuma. Ia kemudian tersenyum sinis pada bebek, memperihatkan semua giginya yang tajam dan siap mengoyak daging bebek untuk ditelan dan dicerna dalam perutnya. Bebek pun merasa takut. Ia bertanya pada rubah apa yang rubah akan lakukan padanya. “Tentu saja aku akan memakanmu, bebek kecil! Kau seperti hidangan makan siang bagiku.” Jawab rubah dengan senang. Bebek tidak terima dengan ucapan rubah itu. Ia makhluk yang berpikir dan hidup, seperti makhluk lain. Ia bukan sekedar hidangan bagi siapapun yang lapar dan ingin memangsanya.
“Tapi rubah, kau lebih dari sekadar sifat biologismu! Aku pun tidak mau jika hidupku berakhir dengan hanya menjadi makanan untukmu, dan engkau menjadi makanan untuk yang lain!” Rubah pun mengkerucutnya matanya, tidak mau mengakui bahwa dalam dirinya pun ada perasaan yang sama. Tapi apa yang ia bisa lakukan? Lagipula ia juga hanyalah satu dari sekian banyak rubah yang ada. Bila ia mati kelaparan karena tidak memakan bebek itu, misalnya, apakah dunia akan sepeduli itu? Tidak, rubah tahu bahwa dunia akan tetap berputar seolah tidak ada apapun yang terjadi. “Kau
adalah bebek yang pintar mengelas. Untuk kali ini, aku akan membiarkanmu bebas. Tapi bila kita bertemu kembali, aku akan membiarkan nafsuku mengambil alih diriku.”
Bebek kecil itu tidak perlu berlama-lama untuk pergi meninggalkan pohon. Ia tahu dirinya merasa takut tapi juga senang. Ia merasa secercah harapan bahwa ia telah dapat mengubah pemikiran rubah. Ia tahu pasti rubah pun tidak ingin dilihat sebagai makanan dan itulah yang membuat rubah melepaskan bebek. Ia berpikir sambal berjalan. Ia kemudian melihat sungai yang dipenuhi oleh kawanan angsa. Mungkin ini adalah wilayah lain dari sungai yang sama dengan kawanan bebek. Bebek kecil kemudian mendatangi kawanan angsa. Melihat hanya bebek kecil yang mendatangi mereka, kawanan angsa mulai berdiskusi dan akhirnya satu angsa yang berjalan mendekati bebek kecil. Angsa lain melanjutkan kegiatannya walaupun mereka semua sebenarnya mengamati dari jauh.
“Ada urusan apa engkau datang ke sungai kami, bebek?” Tanya angsa yang mendekati bebek itu.
“Angsa, aku hanya ingin datang untuk bicara dan mencari tahu.” “Apa yang ingin engkau ketahui? Apakah engkau mata-mata yang dikirim kawanan angsa pinggir sungai?” Angsa masih menjawab dengan defensif. Ia masih tidak mau membuka dirinya.
“Oh tentu tidak! Aku hanya sedang berjalan-jalan dan tidak sengaia melewati sungai kalian! Jadi, bolehkah aku bertanya?” “Selama tidak ada pertanyaan mengenai kawanan angsa, aku akan menjawab.” Bebek tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pertanyaan pertamanya. “Apakah kau pernah bertanya mengapa kau hidup sebagai angsa?” “Tidak.” Jawab angsa dengan singkat, jelas, dan padat. “Apakah kau senang hidup sebagai angsa?” Terlihat bahwa angsa tertegun dengan pertanyaan bebek. Dari matanya, terlihat jawaban secara implisit bahwa dia sendiri tidak tahu. Dan benar saja, ia kemudian menjawab “Aku tidak tahu”.
“Katakan, mengapa menurutmu kita, kawanan angsa dan bebek, tidak dapat hidup bersama? Kita memiliki banyak persamaan dan sedikit sekali perbedaan. Mengapa kita mengambil jalan yang berbeda, wilayah yang berbeda? Dan cara hidup yang berbeda?” “Sebanyak apapun jawaban yang aku jelaskan padamu, kau tahu bahwa inti jawaban itu adalah apapun yang terjadi, kita tidak bisa hidup bersama.” Dari jawaban angsa, bebek tahu bahwa angsa ini adalah angsa yang cerdas, angsa yang intelektual lebih lebih tepatnya. Sayangnya, ia tidak memilih jalan yang dipilih bebek. Tapi bebek pun berpikir bahwa semua makhluk bebas untuk memilih jalannya masing-masing. Akhirnya bebek menanyakan pertanyaan terakhir, ia tidak mau mengganggu kawanan angsa lebih lama.
“Angsa, pernahkah engkau mendengar kisah tentang kita? Mereka bercerita bahwa kita berdua dipotong. Lalu kemudian nona meminta untuk berdansa. Bukankah itu aneh?” “Tentu saja aku pernah mendengarnya, mengapa kau bertanya mengenai kisah itu?” “Bukankah itu kejam ketika dia ingin berdansa empat kali saat kita berdua dipotong? Lalu, apakah ia tidak lelah berdansa empat kali?” Angsa hanya tertegun. Ia tidak pernah memikirkan hal setidak penting itu dalam hidupnya. Sebenarnya, memang benar kisah tersebut sangatlah aneh. Tak ada pula makhluk yang mempertanyakannya. Hanya demi ritma yang baik, kisah tersebut tidak memiliki konsistensi alur dari awal hingga akhir dengan semua makhluk menerimanya. Tapi cukup sudah beberapa menit pikiran angsa dipakai untuk memikirkan hal yang sudah dari dulu begitu adanya. Melihat raut wajah angsa yang mulai terganggu, angsa lain tanpa sadar menghentikan kegiatan mereka dan mencuri dengar percakapan. Angsa tidak suka diperhatikan seperti itu dan mengakhiri pembicaraan.
“Maaf bebek aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Namun, mungkin kau harus melakukan sesuatu yang lebih berguna. Kembalilah ke kawananmu dan jangan mengganggu waktu kami dengan hal-hal tidak penting.“ Lagi-lagi bebek tidak menemukan jawaban yang dapat menghilangkan perasaan mengganjalnya. Ia malah kembali bertanya-tanya. Apakah bertanya adalah hal
yang tidak penting? Apakah bebek kecil itu selama ini, dengan bertanya, melakukan hal yang tidak penting dalam hidupnya?
Ia kembali berjalan, kali ini ke wilayah timur rimba, yang semakin sore semakin gelap karena mulai kehilangan sinar matahari. Bebek kecil memperhatikan bayangan yang mulai terlihat semakin jelas dengan hilangnya cahaya, yang mulai berganti dengan kegelapan malam. Ia menikmati suasana itu seiring dia berjalan.
Bebek kecil belum terbiasa dengan suasana malam. Banyak suara dan gerakan yang terasa menakutkan baginya. Bebek kecil itu sudah lelah dengan label lemah dan tidak berdaya yang datang bersamaan dengan label kecil yang diberikan kawanan bebek kepadanya. Ia memberanikan diri untuk lanjut melangkah. Suara apa itu? Ia melihat ke atas dan menemukan burung hantu, makhluk palung bijaksana di rimba. Hari aneh ini adalah hari keberuntungan bebek!
“Hai burung hantu!” Sapa bebek kecil dari bawah pohon-pohon. Membuat burung hantu menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara hingga akhirnya melihat bebek kecil di bawah. Heran melihat ada bebek kecil menyapanya, ia kemudiann membalas seraya bertanya, “Bebek kecil, apa yang
kau lakukan sendirian di rimba yang gelap ini? Bagaimana bila terjadi suatu hal buruk padamu?” “Aku sedang berada dalam perjalanan panjang untuk menghilangkan rasa bosanku, mungkin sekaligus mencari hal yang aku pun tidak tahu apa. Tentu saja, bila ada hal buruk terjadi, aku siap menerimanya karena menurutku itu adalah bayaran yang pas untuk perjalannanku. Lagipula, terkadang menyenangkan mengikuti permainan takdir yang bisa membawamu entah kemana!”
“Perjuanganmu sangat menarik. Tapi engkau tahu bahwa cepat atau lambat Tuhan akan memberi ilhamnya. Kau tidak perlu membahayakan dirimu. Saat ini mungkin mata-mata predator melihatmu. Liur keluar dari mulu mereka. Menunggumu lengah agar mereka dapat memangsamu.” "Kau memang bijaksana seperti yang mereka bilang. Tapi, berarti apakah perjuanganku sekarang sia-sia? Apakah aku hanya menjerumuskan diriku untuk menjadi makanan predator” “Tentu saja perjuanganmu tidak sia-sia. Percayalah, Tuhan selalu memberikan yang terbaik.” “Aku berusaha percaya, namun nyatanya masih ada hal yang mengganjal bagiku.” “Apa berarti kau tidak percaya Tuhan?” “Aku percaya Tuhan, Pencipta, tapi aku tidak percaya pada penyederhanaan konsep tentang hidup dengan suatu tujuan yang jelas. Apakah kita benar-benar hidup hanya untuk pengisi rantai makanan? Atau aku dan semua makhluknya mempunyai tujuan yang lebih dalam dari itu. Lagipula, bukankah konsep hitamputih mengenai hidup di neraka dan surga terlalu kejam? Aku seringkali melihat suatu kejahatan yang terpaksa. Karena ia tidak memiliki kesempatan lebih baik dariku untuk bertahan hidup. Apakah Pencipta melihat sesuatu hanya hitamputih saja? Lalu, aku pun pernah mendengar kisah, mengenai wadah spiritual
yang kehilangan kekuatannya bukan karena mereka tidak berjuang, melainkan wabah yang menghancurkan seluruh kejayaannya.” Permbicaraan menarik terjadi antara Burung hantu dan bebek. Mereka saling bertanya dan menjawab mengenai hal yang ada dalam hidup ini.
“Kau tahu, ada hal yang tidak dapat kita nalari sebagai makhluknya. Terkadang kita hanya bisa pasrah kepada keputusannya. Mereka berkata bahwa tidak baik untuk mempertanyakan Tuhan.” Ucap burung hantu, sambal berusaha membawa bebek kecil ke jalan yang lebih baik.
“Aku melihat makhluk yang menjalankan perintah Pencipta, tapi di saat yang sama melanggar ajaran-Nya. Apakah mereka lebih baik dariku yang mempertanyakan keputusan transenden-Nya? Aku hanya gelisah dengan perasaan bahwa banyak yang masih aku tidak ketahui. Aku merasa tidak nyaman dengan ketidaktahuan.” “Apakah kau pernah berpikir bahwa terkadang kau lebih baik tidak mengetahui sesuatu?” “Pikiran itu pernah terlintas sekali dalam hidupku. Tapi seburuk-buruknya kenyataan, masih ada perspektif yang aku bisa ambil dari ketahuanku. Aku takut dengan rasa nyaman. Menurutku, itu adalah denialisme terumum yang terjadi pada semua kahluk di muka bumi ini. Nyaman untuk tidak tahu”. “Tapi, kenyataannya ketidaktahuan adalah hal natural bagi kita. Kita bahkan tidak
tahu apa yang akan terjadi dalam waktu sepuluh detik lagi. Ada beberapa hal yang memang sudah begitu jalannya, dan percayalah kepadaku, bahwa sebelum dirimu, banyak yang mencari suatu hal yang tidak dapat dicari. Tetap saja, kita hanya makhluk buatan-Nya yang tidak memiliki kekuatan untuk melampaui apa yang sudah ditentukan.” Jawab burung hantu, mengakhiri semua percakapan mereka berdua. Menarik, berkesan, mungkin menjawab, tapi tidak menghilangkan perasaan bebek. Dengan sopan bebek itu mengangguk mengerti seolah jawaban sang kakek burung hantu sangat berarti. Mungkin sangat berarti, tapi mungkin juga tidak. Bebek itu kemudian pergi meninggalkan kakek burung hantu dengan alasan bahwa ia merasa sudah waktunya untuk keluar dari rimba. Dia tidak tahu
apakah dia sudah menemukan yang dia cari. Yang dia tahu, ia masih punya perasaan mengganjal tersebut. Lalu kemana lagi ia harus pergi? Dunia sebegitu luasnya, dia merasa sangat kecil dan tidak signifikan. Ia mengakhir petualangannya dengan napas panjang kemudian mencari tempat duduk. Ia kemudian keluar dari rimba. Tidak tahu lagi di mana dia, karena matahari tidak menunjukkan lagi arah baginya. Dia kemudian melihat ujung dari tanah yang ia injak. Ia mendekatinya dan melihat ke bawah. Betapa damainya air yang walaupun harus menabrak batuan pinggir sungai jurang tidak memiliki keengganan apapun. Ia lalu berpikir bahwa sungai sungai di bawah jurang terhubung dengan sungainya. dipinggir sebuah jurang yang ia kira tersambung dengan sungai kawanannya. Dan sekarang hanya tertinggal bebek itu dan diriku, masih menarasikan hidupnya. Aku, seperti membawakan pertanyaan wawancara, kemudian bertanya kepadanya,
Itu berarti apa yang kita lakukan tidak akan lebih baik dari apa yang kita tidak pilih untuk lakukan, bukan? Bila semua perjuangan dapat dihapuskan begitu saja.
"Tapi aku mengakui bahwa aku merasa senang melihat makhluk lain berjuang untuk mencapai tujuannya, tidak sepertiku yang saat ini hanya bergulat dengan diriku sendiri tanpa merubah apapun di dunia. Mungkin satu-satunya motivasiku hidup adalah rasa ingin tahuku. Tapi, kemana dia membawaku? Aku sekarang tidak merasa apapun kecuali bosan. Aku tidak menganggap hal sepenting itu. Kau tahu, ada perasaan aneh bila kau tidak mendapat yang engkau inginkan, padahal kau sudah berusaha. Semua kemudian menenangkanku dengan berkata bahwa Pencipta punya yang lebih baik untukku. Selalu ada perasaan mengganjal dalam diriku bahwa apa yang aku lakukan ini tidak berguna, semua perjuanganku hanyalah perjuangan yang juga dilakukan oleh bebek-bebek lain. Tidak ada yang spesial. Hanya ada yang dianggap spesial. Aku tidak dapat merasakan lagi bangga setelah mengetahui kenyataan fana ini!� Lalu untuk apa kau hidup? Saat ini, banyak pangan baik dan buruk terhadap cara hidupmu. Tanyaku kembali sebagai narator, sambil mencari jalan untuk mengakhiri cerita ini.
“Aku sendiri tidak tahu. Ada berbagai pertanyaan yang aku pikir bila aku tanyakan pada siapapun, aku hanya akan mendapat jawaban yang subjektif. Apakah ada
cara hidup yang salah? Apakah kita benar-benar punya kemampuan untuk menilai kehidupan padahal kita tidak mengetahui dengan benar apa itu hidup. Bahkan, moral kita adalah bias dari lingkungan kita. Kita tidak akan pernah menemukan subjektifitan karena pada kenyataannya, kita hanya mengikuti alur kehidupan kita sendiri. Semua nilai yang kita anut adalah konstruksi nilai dari kehidupan salling membutuhkan. Pada akhirnya, perjalanan sepanjang apapun, rasa mengganjal itu masih akan tetap ada. Aku tahu ini baru awal, hidupku masih belum berhenti.� Apakah kau akan membayar apapun untuk apa yang kau inginkan? Dengan lantang ia menjawab tanpa berpikir dua kalli, “Apakah ada yang benar-benar
seberharga itu untuk dibayar dengan segala yang aku punya? Aku merasa kita sangat menginginkan tujuan hidup, kita menggunakan berbagai alasan untuk membuat sesuatu jauh lebih penting dari yang kita kira.�
Aku pun melanjutkan. Adakah batas yang kau buat atas segala tindakanmu? Dia terdiam sejenak. Berbagai pikiran kemudian muncul dari dirinya yang semuanya meminta keluar di waktu yang bersamaan. Ia pun diam sejenak mempersiapkan kata-katanya agar dapat mempunyai inti, karena jujur saja, saat ini perasaannya jenuh dibanjiri berbagai pikiran yang masuk dalam satu waktu.
Batasan, menarik. Aku di sini hanyalah satu dari sekian. Seberapa banyak aku menginginkan diriku menjadi rasional dan mengikuti moral tertentu, aku hanyalah bebek yang mengikuti perasaanku. Aku dipenuhi rasa bosan dan gelisah, kemudian rasa itu lah yang membawaku sampai pada titik ini. Mungkin, bila lebih jujur dari ini, aku pun mempunyai rasa malu dan rasa bangga yang kuat. Aku tidak ingin makhluk lain melihatku sebagai sampah sejarah. Aku mengikuti ceritamu karena dorongan aneh dalam diriku. Aku pun jengkel di awal ketika mengetahui bahwa seseorang menarasikan hidupku. Bahkan, kau tahu bahwa aku akan membalas narasimu sebelum aku bahkan berbicara. Kau hanya menambahkan kata ‘tanpa disangka’ lagi-lagi hanya untuk melakukan dramatisasi terhadap ucapanku. Kau pun pastinya tahu bahwa percakapan ini akan terjadi. Lalu apakah aku benar-benar mempunyai kehendak? Lalu bagaimana kau ingin kisah ini berakhir? Bila kau lompat ke jurang, kisah ini terlalu klise dan aku tidak menyukainya. Kita tidak mungkin mempromosikan bunuh diri bila kita sendiri pun menganggap bahwa bunuh diri, sama seperti nilai lainnya, patut dipertanyakan dan dipertimbangkan. Ditambah, bunuh diri terlalu membutuhkan usaha. Bebek hanya terdiam, sembari sedikit kesal karena lagi-lagi
aku tahu daan mengerti perasannya. Kembali pada topik. Bila… Bahkan ketika ada aku mendatangkan badai, kau hanya merasakan emosi sejenak, entah itu takut atau pasrah. Kemudian kau akan kembali bosan dalam beberapa waktu. Lalu, apa yang benar-benar kau inginkan?
Bagaimana akhir cerita yang aku inginkan? Aku tidak pernah memikirkanya. Bahkan aku tidak pernah meminta kisah ini ada dari awal. Mungkin karena memperkirakan dia sudah mengetahui bahwa aku mengetahui isi pikirannya, ia bahkan tidak berusaha untuk bicara. Terjadi keheningan sejenak. Suatu kondisi yang bagus untuk membangun akhir cerita ini.
“Aku…” akhirnya bebek kecil mulai bicara. “Aku akan melakukan apa yang yang selalu aku lakukan, terhadap masa lalu, termasuk kisah ini; masa sekarang, ketika aku berbicara denganmu; dan masa depan, yang aku tidak ketahui akan membawa apa. Aku akan mengakhiri cerita ini dengan tawaku. Aku tertawa pada hidupku, hidup ini, dan semua hal di antaranya.