[Company name]
[Document title] [Document subtitle]
FBZ [Date]
Prolog: Negatif Satu Kuliah adalah tahun-tahun yang menyenangkan dalam hidup. Sebuah fase di mana aku mencoba hal-hal baru.
Banyak hal yang aku kira tidak akan aku
lakukan, pada akhirnya aku lakukan. Kadang-kadang, hal tersebut sebegitu menonjolnya pada hidupku hingga ide tentang mereka masih saja membuat ribut pikiranku. Aku tentu saja ingin menghentikan suara-suara ribut mengenai pikiranku ini. Untuk itu, aku berusaha mengarsipkan semua yang terjadi dalam rentang tahun aku berkuliah. Karena tidak mungkin aku menuliskan segalanya di akhir dan karena aku terlalu banyak memiliki waktu senggang, di sinilah aku sekarang sedang menulis. Aku berpikir bahwa zero years adalah nama yang tepat untuk menceritakan pengalaman yang aku dapat ketika Tahap Persiapan Bersama dan tahap mahasiswa baru yang secara kebetulan benar-benar menjadi tahap persiapan untuk kuliahku. Aku mendapatkan ide tersebut dari judul animasi Batman Zero Year yang menceritakan pengalamannya saat pertama menjadi vigilante. Kembali pada buku, pada bagian prolog ini aku akan membahas sedikit tentang bagaimana aku bisa sampai pada titik berdiriku sekarang. Karena aku sudah menggunakan kata zero years untuk tahun-tahun pertama kuliah, maka kejadian singkat saat kelas tiga SMA akan aku sebut dengan tahun negatif satu.
1
Kuliah, haruskah? Teman-temanku tahu bahwa aku ingin berkuliah di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB . Saking inginnya, aku bahkan pernah memunculkan ide untuk SBMPTN tahun depan bila tahun ini aku tidak diterima di sana. Wajar saja, saat itu aku masih merasa belum cukup pantas untuk menjadi mahasiswa STEI. Aku tidak termasuk murid yang rajin di sekolahku, nilaiku biasa saja dan aku pun sering remedial. Aku menganggap diriku sendiri tidak mempunyai nilai tambah untuk menjadi mahasiswa STEI. Dengan fakta-fakta tersebut, aku yakin aku tidak akan diterima jalur undangan apalagi undangan STEI ITB. Sehingga aku sudah tidak mengharapkan jalur undangan dan memfokuskan diri untuk SBMPTN walaupun aku belum tahu hasil dari undangan. Saat itu, ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Aku bisa merasakan bahwa kakiku belum sembuh. Beberapa kali aku mempunyai visi dan pikiran bahwa aku akan kembali memakai tongkat. Entah itu hanya intuisi atau memang ada hal-hal biologis yang membuat aku merasakan ada yang tidak beres. Aku ingat aku mengatakan hal ini kepada seseorang
(yang sayangnya aku lupa
siapa). Dari situ aku sudah mengantisipasi hal terburuk yang akan terjadi dengan kakiku. Sayangnya, antisipasi hanyalah antisipasi, aku tetap tidak bisa membelokkan apa yang harus terjadi. Aku hanya ingat satu hal yang aku pikirkan saat aku patah kaki untuk yang kedua kali adalah perkataan yang aku terus ulangi di pikiranku, “Not now, please, just don’t happen now� walaupun aku tahu, semua sudah terjadi. Selain patah kaki, prediksi lainku tepat; aku tidak diterima di jalur SNMPTN. Namun, ternyata aku tidak mengantisipasi perasaan yang turut datang bersama tidak diterimanya aku di jalur SNMPTN. Banyak dari teman-temanku yang saat itu sudah punya kampus. Mereka saling berlomba-lomba me-like official account dari fakultas dan jurusan mereka. Aku turut senang untuk mereka, tentu saja. Aku mencoba menyembunyikan perasaan sedih karena aku merasa bahwa aku
belum aman. Saat itu aku hanya bisa diam saja di kasur dengan kaki yang sulit digerakkan. Untuk belajarpun aku tidak kuat. Namun dengan saran dari orang tuaku dan sebuah motivasi yang berasal dari logical fallacy bahwa temantemanku kuliah maka aku harus ikut kuliah, aku pun belajar lagi. Lebih tepatnya, aku mencoba belajar walaupun sebenarnya aku tidak benar-benar belajar. Aku menyibukkan diriku dengan mengedit video akhir sekolahku dan aku pun tidak 2
tahu materi apa yang harus aku pelajari. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan, aku memasukkan tiga pilihanku yaitu STEI, FTMD, dan SAPPK yang semuanya di ITB. Sebenarnya ada hal menarik yang aku temukan di sini. Aku baru saja menyadari bahwa aku tidak tahu doa mana yang akan dikabulkan oleh Tuhan. Sedikit cerita, aku mempunyai sebuah akun di sosial media tempat seseorang dapat mengeluarkan pendapatnya atau emosinya. Saat itu, adalah akhir tahun 2015. Aku masih belum banyak tahu mengenai perkuliahan sehingga aku belum tahu tips dan trik menghadapi segala hal yang berhubungan dengan ini. Aku pun menuliskan berbagai hal yang aku ingin capai pada tahun 2016. Lebih jelasnya, aku melampirkan screenshot dari impianku tersebut.
3
Okay, okay aku memang bodoh saat itu karena aku tidak spesifik dalam berdoa dan saat itu aku tidak tahu bahwa aku akan memilih fakultas dan sekolah di institut yang sama. Aku akui bahwa aku masih polos waktu itu. Tapi yang terjadi setelahnya, ternyata doa itulah yang didengar dan ceritaku mengikuti doa tersebut. Semua orang kaget, teman-temanku kaget, aku pun kaget (bersamaan dengan senang dan bingung). Kecuali orang tuaku yang senang bahwa aku diterima walaupun kondisiku tidak prima. Aku punya kesempatan untuk kuliah. Waw. Aku merasakan rasa senang sebagaimana yang anak SMA pada umumnya rasakan karena mereka akan menginjakkan kaki di perkuliahan. Aku merasa bahwa setelah lulus SMA, aku harus kuliah, seperti yang dilakukan mayoritas orang. Tapi sebenarnya, haruskah aku kuliah? Saat itu keinginan kuliahku hanyalah perasaan ingin karena aku tahu teman-temanku kuliah. Aku bahkan tidak punya alasan fundamental untuk berkuliah dan aku pun tidak memikirkan untuk apa aku kuliah. Aku tidak bertanya apapun pada siapapun dan aku tidak sedang mencari tujuan dari berkuliah. Saat itu aku secara sederhana hanya beranggapan bahwa kuliah itu perlu. Satu hal yang aku ingin tekankan tapi sulit untuk diceritakan adalah bahwa aku saat SMA masih mempunyai semangat dan idealisme yang tinggi. Aku mengakui aku masih bodoh dan berpikiran sempit, tapi saat itu aku masih merasa memiliki semangat pemuda untuk berjuang seperti itu. Seringkali aku loyal dan dengan buta mau melakukan hal-hal di luar logika demi hal (wadah atau orang-orang) yang aku sayangi. Tapi, semesta mulai membalikkan ceritanya kepadaku. Hidupku mulai berubah seiring aku mulai menemukan perspektif baru dan mulai berkembang. Mungkin, ketika aku yang sekarang melihat aku yang dulu dan menghujatnya dengan segala kepolosan dan kebodohannya, aku yang dulu akan kecewa melihat bagaimana sinisnya aku melihat dunia saat ini. Satu hal yang aku pegang hingga penulisan zero years ini selesai adalah keinginanku untuk membuat sesuatu yang dapat membantu dan mengubah orang-orang. Yap, membuat, berkarya. Aku ingin dapat berbakti kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan. Aku ingin menjadi orang yang ada di belakang. Aku pun ingin selalu mengingatkan orang-orang bahwa akan ada orang yang siap di belakang mereka ketika mereka jatuh. Aku kira itulah hal 4
paling mendasar yang dapat aku lakukan. Maksudku, untuk apa membela negara bila akan ada manusia lain yang tertindas? Lagipula, sudah banyak orang yang memiliki idealisme tinggi mengenai nasionalisme dan patriotisme. Namun, apakah ada banyak orang yang memegang idealisme tentang kemanusiaan? Mungkin aku akan membiarkan jawaban tersebut sedikit mengiang di kepala siapapun yang membaca. Tanpa berlama-lama lagi, ayo kita mulai cerita zero years. Citra Masa penerimaan mahasiswa baru merupakan masa yang paling meriah yan dirayakan hampir di seluruh Universitas di Indonesia. Banyak uang yang dikeluarkan untuk itu yang aku pikir dapat digunakan untuk diberikan pada orang yang lebih butuh. Tapi, periklanan dan citra adalah yang utama, kan? (Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai opiniku terhadap kaderisasi awal dan periklanan, baca halaman opini Koran Persma ITB edisi Agustus 2017) Kampus terbaik pastilah harus memiliki citra yang baik. Aku pun sepertinya termasuk yang termakan impresi walaupun aku lebih banyak merasa bosan dibanding terpesona. Mengapa aku bosan? Berbeda dengan orang lain, saat memasuki ITB aku masih memakai tongkat kruk sebagai penyangga kakiku. Sehingga aku tidak merasakan hal-hal seperti kepanasan di lapangan terik atau disambut meriah oleh mentor. Aku pun seringkali harus duduk dipisahkan dari teman-temanku untuk duduk di tempat khusus bersama teman-teman berpita merah. Pita merah adalah penanda yang digunakan pada suatu acara fisik, khususnya kaderisasi, yang menandakan bahwa pemakainya tidak cukup kuat untuk melakukan tugas-tugas fisik berat. Dengan dimasukkannya aku pada kategori tersebut, aku pun tidak merasakan Integrasi yang sebenarnya. Pencitraan yang paling besar yang aku lihat adalah dengan dipecahkannya rekor muri oleh mayoritas mahasiswa baru yang bahkan tidak peduli untuk memecahkan rekor. Saat itu, sepertinya panitia ingin menunjukkan bahwa kampus terbaik pastinya memberi inovasi. Karena itu, memecahkan rekor muri adalah citra baik bagi institut ganesha ini. Lalu, ditanamlah sekitar empat ribu tanaman hidroponik. Naasnya, karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa hidroponik harus dibawa pulang, banyak dari kami yang tidak membawa 5
tanaman hidroponik tersebut. Aku sendiri mungkin adalah tersangka karena aku lupa apa yang terjadi dengan tanaman hidroponikku. Yang jelas, hari itu aku banyak melihat tanaman hidroponik yang tergeletak begitu saja di sekitar bumi Ganesha. Menjelang berakhirnya kegiatan hari itu, muncul berbagai lelucon dalam bahwa selain memecahkan rekor MURI menanam tanaman hidroponik terbanyak dalam waktu serentak, kami pun mencetak rekor membuang tanaman hidroponik terbanyak dalam waktu serentak. Sayangnya, impresi hanyalah impresi. Segala materi yang diberikan pada waktu itu lenyap seiring melihat kenyataan bahwa mahasiswa bumi
ganesha
sering
disibukkan
dengan
aktivitas mahasiswanya masing-masing. Slogan ‘empati
untuk
negeri’
pun
kalah
jika
dibandingkan dengan arogansi untuk wadah sendiri. Semua orang sibuk dengan tujuannya masing-masing yang entah untuk apa. Mungkin bukan cuma aku yang merasakan bahwa mahasiswa
ITB
sangat
jago
melakukan
pencitraan. Aku dengan Zein saat hari terakhir interasi
Semester pertama dan Sunken Court Jika ada satu tempat paling berpengaruh semasa kuliahku hingga saat ini, Sunken Court adalah tempat yang tepat untuk aku pilih. Sunken Court benarbenar tempat yang membuat aku berpikir bahwa kuliah lebih seru dari hanya sekolah biasa. Saat SMA, aku selalu menyangka kuliah akan biasa-biasa saja. Aku menyangka bahwa aku akan kuliah, belajar, lalu lulus dan bekerja, semudah itu. Tapi aku salah. Benar-benar salah. Salah satu tindakan yang aku lakukan saat baru pertama kali memasuki kuliah adalah mendaftarkan diri di unit kemahasiswaan. Jujur saja saat itu aku tertarik pada banyak unit yang terdapat di sini. Namun aku berencana untuk memasukinya sedikit-sedikit. Aku berencana pada akhir masa kuliahku, aku 6
mempunyai berbagai unit dengan kesekertariatan di wilayah berbeda, sehingga aku bisa bermain ke wilayah kampus manapun. Aku menargetkan untuk mengikuti tiga unit pada tahun pertama yaitu Institut Sosial Humaniora ‘Tiang Bendera’, Liga Film Mahasiswa (LFM), dan Amateur Radio Club (ARC). Karena satu dan lain hal, aku tidak dapat melanjutkan pendidikan ca-kru LFM dan akhirnya mengundurkan diri. Untuk mengisi kekosongan, aku kemudian mendaftar Lingkung Seni Sunda karena banyak temanku di sana dan aku diajak untuk mengikutinya. Aku juga mendapat kesempatan karena diajak temanku untuk menjadi manager Ganesha Touchdown. Namun untuk saat aku tidak akan menceritakan tentang ARC, Ganesha Touchdown dan LSS karena mereka tidak berhubungan dengan Sunken Court (meskipun ARC memiliki sekre di Sunken, semua interaksi yang aku ikuti dilakukan di gedung laboratorium teknik V). Institut Sosial Humaniora ‘Tiang Bendera’ atau lebih singkatnya ‘Tiben’ adalah unit kajian yang berada di gedung tengah Sunken Court. Dari namanya saja, aku sudah tertarik untuk bergabung. Pertama, mereka menggunakan nama institute dilanjut oleh kata social dan humaniora yang menurutku sangat menarik. AKu sebenarnya tidak tahu unit apa ini dan sampai sekarang memang banyak yang tidak jelas dari unit ini. Aku tidak pernah mengikuti kegiatan semacam kajian sehingga ini menjadi hal baru bagiku. Ketertarikanku pun terbayar dengan semua yang aku lakukan di sini. Seperti mayoritas wadah di Kampus Ganesha, Tiben pun melakukan kaderisasi sebelum seseorang dapat menjadi anggota (kaderisasi dan arogansi akan diceritakan lebih lanjut pada bagiannya sendiri!). Namun, aku merasakan kaderisasi yang berbeda dari Tiben. Ketika kaderisasi biasanya adalah drama yang dibuat sedemikian rupa, kaderisasi yang Tiben berikan adalah sesuatu yang nyata tanpa dibuat-buat. Memang ada lelucon di sana sini, apalagi saat kaderisasi khusus saat bermain tuhan di ‘hutan pinus Lembang’ , tapi tetap saja itu bukan drama yang dibuat-buat untuk memunculkan suatu perasaan segan terhadap kakak tingkat atau chauvinis terhadap tiben. Hal pertama yang aku lakukan sebagai Ca-ca-tiben atau calon-calon anggota Tiben adalah mendaftar ke kesekertariatan tiben saat open house sunken. Saat itu, aku berkenalan dengan Unis, satu-satunya figur perempuan yang saat itu aku lihat di kesekertariatannya. Di antara buku-buku tebal, poster yang 7
tertempel, gitar, radio, dan komputer yang ada di sana, kami bercakap-cakap sedikit tentang Tiben dan tentang diri kami sendiri. Aku masih ingat bahwa Unis mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang aneh. Bila berkata jujur, aku pun merasa bahwa aku orang yang aneh. Ada suatu ketidakharmonisan yang membuatku aneh dibannding orang lain. Impresi pertamaku sudah cukup baik kepada Tiben. Saat itu, aku mengalami perasaan kompleks, aku memiliki kesenangan tersendiri bila melihat orang lain jujur dengan dirinya sendiri dan melakukan hal sesuai dengan ketulusan yang mereka punya – hal yang dengan jelas aku lihat di Tiben saat itu. Aku pun melihat adanya sistem masyarakat dengan peraturan tak tertulis yang dilakukan oleh semua orang di sini; saling menghormati satu sama lain. Bukan rahasia jika banyak orang merokok di sana. Aku pun bukan orang yang anti dengan perokok. Tapi, bila mereka ingin merokok di dekatku, mereka selalu bertanya apakah aku tidak apa-apa dengan itu. Aku suka dengan kesopanan terselubung seperti itu. Okay lanjut pada cerita. Dengan terdaftarnya aku sebagai Ca-tibebz, aku juga mendapatkan tugas-tugas kaderisasi. Salah satu tugas adalah wawancara dengan alumni dan menonton film, Twelve Angry Men. Tugas yang diberikan oleh Tiben selalu menarik. Tugas pertamaku adalah wawancara para penguni Tiben, baik sahabat, alumni, atau anggota asli. Aku tidak ingat siapa saja orang yang aku wawancarai, jujur. Tapi, salah satu orang yang aku wawancara adalah Rilis dengan pertanyaan yang sangat cringey untukku aku tidak mau menuliskannya di sini. Hari-hari ini memulai sejarah bahwa aku mulai pulang malam hari karena kegiatan nonakademik. Pada suatu malam saat mengerjakan tugas wawancara, aku ingat kami membicarakan tentang Garut kota iluminati dan simbol-simbol kultisme di Kampus Ganesha ini yang tentunya hanya lelucon.
Kami pun mulai serius
dengan ia bertanya-tanya mengenai apa yang aku lakukan di waktu luang. Aku pun menjawab dengan berbagai kegiatan. Aku suka menonton youtube, mengedit video, futsal. Aku juga mengatakan aku mengikuti berbagai unit. Memang bernar. Aku belum menemukan tempatku, saat itu aku masih mencari rumahku. Banyak hal yang aku lakukan. Mendengar jawabanku, ia dengan sederhana mengatakan, “Kamu ga bahagia ya�. Kata-kata yang bahkan tidak pernah dikatakan oleh orang tua maupun teman terdekatku. 8
Melihat keadaanku saat itu, memang sepertinya aku tidak bahagia. Ada sesuatu yang masih mengganjal perasaanku dan masih ada pikiran yang menggangguku. Aku baru saja masuk kuliah di sekolah yang tidak aku sangka. Aku tidak punya visi apapun dan aku merasa hampa. Aku tidak punya visi dan misi seperti aku biasanya. Aku hanya mengikuti alur kehidupanku karena aku trauma dengan hancurnya rencanaku. Pada akhirnya, aku tidak punya kesempatan untuk mengingat nama alumni tersebut karena aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Di lain kesempatan, diadakan kaderisasi khusus dan analisis sosial (ansos). Sebenarnya, secara waktu kaderisasi khusus diadakan lebih dulu, yaitu pada tanggal 1 Oktober 2016 dan ansos baru diadakan pada 16 November 2016. Namun, karena konten dari ansos yang aku rasa tidak dapat diungkapkan secara bebas, aku akan menceritakan mengenai apa yang terjadi saat ansos. Hari itu adalah hari Rabu di minggu yang cukup kaos karena itu adalah minggu sebelum pelantikan LSS. Pada sore hari aku membantu Dira dan Babang untuk mencari kertas untuk membuat nametag yang ditugaskan. Dari itu, aku berjanji untuk datang pukul enam pagi pada hari Kamis. Malamnya, aku mengikuti
medical check-up yang juga diadakan oleh LSS yang menyita waktu cukup lama. Saat itu aku merasa panik karena aku seharusnya sudah berada di Tiben pada pukul 19.00 untuk persiapan kaderisasi khusus. Untungnya orang-orang mengerti kondisiku dan aku diperbolehkan untuk medcheck terlebih dahulu. Aku datang ke tiben ketika hampir semua orang sudah berkumpul di meja depan. Sedang mendiskusikan sesuatu yang aku belum mengerti. Saat itu, Nad menyambutku dengan mengatakan bahwa pada malam itu kami akan mewawancarai begal. Aku pun kaget, di saat yang sama juga terpukau. Waw!
Gila nih kader Tiben! Pikirku saat itu. Berbagai pertanyaan muncul dari kami, para ca-tiben. Tapi Nad dan Abu Peras (aku tidak tahu cara menulis namanya, maaf!) dapat menjawab atau membelokkan semua pertanyaan kami. Kami pun diberi sedikit materi untuk menghadapi wawancara dengan begal tersebut. Pertama, kami diberi tahu untuk membuat nama dan latar belakang palsu, demi keamanan identitas kami. Kami pun mulai memilih nama dan latar 9
belakang kemudian saling berkenalan dengan identitas tersebut. Lalu, kami mulai melepaskan semua identitas kami yang berbau ITB. Yang terakhir, kami berpenampilan sesederhana mungkin. Aku melepaskan atribut tambahan yang aku pakai dan menyimpan smartphone di dalam tas di sekre. Aku ingat saat itu hanya membawa uang Rp20.000,00 di dalam saku, dan tidak membawa apa-apa lagi. Kami pun mulai keluar dari ITB dan menyusuri jalan malam. Apa yang terjadi setelah itu membuatku sangat excited. Untuk selanjutnya, aku akan menceritakan secara implisit melalui tugas puisi yang aku buat mengenai hari itu. ... Tapi kesenangan terbaik tak dapat diekspektasi Saat semua bayang semu terbayar Oleh realita tak terpikirkan Tetiba, aku keluar dari zona nyaman Ketika rasa gembira muncul Hasrat keingintahuan berperang melawan moral Antara aku dan kewajibanku yang terpisah enam jam Walau hanya satu, aku pun senang Antara mangkuk popcorn yang mulai kosong Gelas bersisa es batu yang mulai mencair Lampu yang bersinar redup di ruang yang ramai Dan orang-orang yang sibuk Belum pernah lagi aku merasakan hal seperti itu Dibuat untuk memenuhi tugas yang belum terkumpul, pada kontinum suatu titik di ruang dan waktu tertentu. Oh iya, harus disebutkan bahwa karena ansos ini, aku kehabisan suara dan suaraku serak selama dua minggu. Salah satunya karena aku harus berbicara dengan Chubby sambil berteriak dan bodohnya aku tidak menggunakan suara perut. Tentu saja, pembicaraan singkat itu menyenangkan dan aku mendapat 10
pembelajaran
baru.
Bodohnya
lagi,
pada
hari
Kamis
aku
harus
mempresentasikan hasil observasiku di depan kelas. Aku tidak menyangka bahwa aftermath dari ansos ini adalah kehilangan suaraku dan kepanikan karena aku tidak dapat presentasi dengan benar. Tapi, ya sudahlah. Semua itu sudah terjadi.
Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, kaderisasi lain yang aku ikuti adalah kaderisasi khusus. Sama seperti ansos, sebelum kaderisasi khusus aku mengikuti kaderisasi LSS terlebih dahulu, dan paginya aku mengikuti UTS Fisika pertamaku. Pada hari kaderisasi itu, kami diminta membawa beberapa hal. Salah dua dari barang yang harus kami bawa adalah handuk dan buku setebal 200 halaman yang bukan buku pelajaran. Sayangnya, aku lupa membawa bukuku. Beruntungnya, aku berhasil menemukan buku 200 halaman yang sampai sekarang menjadi buku yang aku senang untuk baca, yaitu buku dari Viktor E. Frankl berjudul Man's Search for Meaning. Buku itu dapat dikatakan sebagai buku eksistensialisme pertama yang aku baca dan merupakan Rp25.000,00 terbaik yang pernah aku keluarkan. Kaderisasi dimulai pada pukul 19.00 dengan kajian metafisika. Saat itu kami membahas konsep dari Aristotle mengenai teleologi (akan disinggung sedikit di
zero years part 2). Setelah selesai, kami diminta untuk membuat sebuah puisi dan mengumpulkan semua barang berharga juga uang sejumlah Rp20.000,00. Kami dibagi menjadi dua kelompok. Tiap-tiap dari kami harus membacakan puisi kami. Dari setiap kelompok, satu orang berhak untuk mengambil smartphone mereka untuk merekam apa yang kami lakukan. Kami pun mulai keluar dari ITB. Malam itu gerimis, kurang cocok dengan kondisi malam minggu yang biasanya meriah. Tidak banyak orang yang bermalam minggu di sekitar sana. Kami kemudian menyusuri Gelap Nyawang (Ganyang) untuk mencari jiwa-jiwa yang dapat dihibur beberapa detik oleh puisi kami. Untuk isi puisi sendiri, menurutku puisi yang aku buat adalah puisi yang paling tidak ekspresif. Puisi lain adalah puisi mengenai realitas sosial atau perasaan. Puisiku adalah puisi mengenai puisi. Jujur saja, ini adalah kali pertama aku membacakan puisiku di depan umum. Aku merasa sedikit ragu dan panik. Aku tahu tidak semua orang di situ peduli dengan yang aku bacakan. Lagi pula, kami hanya pemanis tidak diminta di malam minggu mereka. Mungkin sedikit banyak 11
kami seperti pengamen. Tapi aku tetap senang di malam itu. Aku melihat langit malam sambil berjalan dan merasakan sepinya tanah di sekitar bumi ganesha ditemani hujan gerimis dan orang-orang unik di sekitarku. Saat itu, aku merasa damai.
Setelah tugas pembacaan puisi selesai, kami berkumpul di laboratorium teknik VIII. Kami menceritakan sedikit mengenai pengalaman kami berpuisi. Ada yang mendapat uang, ada yang menemukan teman baru. Ternyata, cerita-cerita yang kami lakukan adalah untuk mengulur waktu. Saat itu aku ditanya apa jurusan yang akum au. Aku pun menjawab bahwa aku ingin masuk planologi. Lalu mereka menceritakan mitos lama mengenai Tiben dan Planologi. Aku baru tahu bahwa katanya pernah ada rumor bahwa anak planologi tidak boleh menjadi anak tiben karena pernah terjadinya insiden. Cerita tidak mendalam karena diantara yang bercerita pun tidak mengalami insiden tersebut sendiri dan cerita itu adalah cerita lama sehingga detail peristiwanya pun tidak ada yang tahu. Setahuku, itu berhubungan dengan dibakarnya bendera. Ketika aku menulis ini, aku tiba-tiba menyadari bahwa aku tidak pernah melihat publikasi kajian kerjasama antara Tiben dan Planologi sendiri. Tapi, mungkin saja aku tidak tahu karena memang tidak mengikuti apa yang terjadi saat ini. Sepertinya saat itu waktu sudah menunjukkan waktu hampir pukul sebelas. Kami diminta mengikuti Ariq dan Dika (Abu Peras) ke gerbang belakang. Dari sana kami pergi ke Babakan Siliwangi lewat pintu belakang dan kemudian menyusuri malam di pinggir trotoar. Surya saat itu menyadari bahwa aku berjalan agak pincang. Memang menurutku Surya adalah salah satu figur kakak. Ia tidak takut menjadi diri sendiri dan secara tidak langsung mengajarkanku untuk berani menjadi diriku sendiri. Akhirnya pun aku harus memisahkan diri dengan rombongan. Aku hanya ditemani oleh salah satu alumni (?) yang aku sendiri lupa namanya dan kami berbicara banyak di tempat minum kopi di babakan siliwangi. Aku selalu senang jika pembicaraan pertamaku dengan orang yang baru kutemui sudah tidak berada pada ranah basa-basi. Setelah beberapa waktu, akhirnya aku ikut kembali bersama rombongan. Aku sempat menelpon orang tuaku untuk meminta izin bahwa aku akan menginap atau pulang lebih malam. (Lebih dari jam 12) Saat aku melihat HP-ku waktu menunjukkan waktu sekitar pukul setengah dua belas. Aku dan teman-teman 12
yang lain kemudian diminta untuk masuk ke angkot dan menutup mata dengan handuk. Kami tidak tahu akan dibawa ke mana dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Sekitar 30 menit aku dan orang-orang yang lain merasakan goyangan ke kanan dan ke kiri dan tusukan angin yang masuk melalui jendela angkot yang tidak bisa ditutup. Lalu tanpa membuka penutup mata kami, kami turun dan aku kembali dipisahkan dengan yang lain. Saat aku membuka mata, aku benar-benar terkejut. Kali itu adalah pertama aku terkejut sambil tercengang dan setengah berteriak “HAH?� Tapi keterkejutan diriku tidaklah irasional. Ternyata kami kembali pada titik di mana kami naik angkot. Lucu dan tidak terduga. Aku suka semua itu. Rombongan yang lain bermain tuhan-tuhanan di sekitar saraga sedangkan aku kembali menunggu di baksil. Setelah selesai kami pulang dan aku ikut dengan mobil yang menuju lapangan parker SR. Kami bercerita di perjalanan pulang menuju kampus. Aku diberi tahu bahwa supir angkot kami dikira selingkuh oleh istrinya karena ia mengangkut pada malam minggu. Kami tertawa-tawa karena ternyata itulah suara wanita yang kami dengan di angkot. Selain tugas dan kaderisasi, aku bertemu dengan orang-orang yang unik dengan jalannya masing-masing yang mungkin tidak akan aku temukan pada kuliah sehari-hari. Orang-orang tersebut kebanyakan aku temui pada kajian yang diadakan Tiben. Salah sedikit diantaranya adalah Lord Andrew, Yudki, Aditya PHX, Choi, Ofek, Haris, Senartogok (Tarjo). Sayang aku disibukkan dengan diriku sendiri sehingga aku tidak bisa sering datang ke Sunken. Aku pun yakin bahwa banyak dari mereka tidak akan mengingat lagi siapa aku karena kecilnya intensitas kami bertemu atau kami memang tidak pernah mengobrol. Tapi menurutku, semesta sudah cukup berbaik hati dengan memberi tahuku bahwa mereka ada karena aku sangat menghormati orang-orang seperti mereka. Semakin aku mengenal Sunken Court, aku melihat pola yang muncul dari diriku sendiri dan aku juga melihat suatu kultur yang ada di Sunken Court. Aku merasa selalu ada energi yang aku dapatkan dari kunjunganku ke Sunken Court. Menurutku, tempat ini lah yang menjadi tempat yang paling memanusiakan manusia. Ada interaksi harmonis antarwarga yang tidak tertulis dalam peraturan manapun. Ya, mungkin pendapatku tidak valid karena aku masih tingkat satu dan banyak yang tidak aku ketahui. Namun, itu lah yang aku rasakan. Aku benarbenar menyukai Sunken Court. 13
Foto saat pelantikan LSS
Selain di Tiben sendiri, aku pun takjub dengan hearing sunken. Walaupun katanya tidak semegah hearing sebelumnya, hearing sunken tetap lebih menarik dibanding dengan hearing-hearing lainnya. Saat itu, posisiku adalah staf komisi disiplin pemira, sehingga aku ditugaskan untuk mengikuti beberapa hearing. Yang aku ingat saat itu adalah aku mengikuti hearing TPB dan hearing unit. Sehingga aku dapat membandingkan tingkat kesereuan hearing tersebut walaupun sangat subjektif. Tak apalah dataku juga tidak menjadi penelitian ilmiah apapun. Menjadi anak sunken adalah keputusan untuk ‘keluar dari zona nyaman’ terbaik yang pernah aku pilih.
Kelas Calculus? Jika berbicara persoalan kelas-mengelas sendiri, aku tidak begitu punya banyak cerita di kelas. Seperti yang diketahui teman-temanku, aku adalah orang yang sering bolos. Saking seringnya, aku bahkan pernah bolos satu bab kalkulus. Aku sama sekali tidak datang dari awal hingga akhir pembelajaran, yang membuatku tidak tahu apa yang dipelajari di bab itu. Aku mempunyai alasan untuk tidak masuk kelas pada saat itu, namun apapun alasanku, aku tetap saja bolos. Aku pun selalu menggunakan jatah bolosku dengan sebaik mungkin. Selain mempelajari materi, aku mempelajari pola mengajar para dosen sehingga aku tahu kapan aku dapat menggunakan jatah bolosku dan meminimalisasi ‘konsekuensi’ yang harus aku bayar.
14
Jika kau orang yang butuh persiapan sepertiku, dipanggil ke depan kelas merupakan hal paling menyiksa, apalagi dengan fakta bahwa aku tidak tahu apa-apa mengenai apa yang dipelajari. Aku bukan orang yang dapat fokus dalam jangka waktu yang lama sehingga aku tidak bisa fokus di kelas dan menyerap semua materi. Saat itu aku diberikan dosen yang menurutku menakutkan. Ia bukan dosen yang jahat atau apapun. Ia hanya tegas dan itulah yang membuatku makin panik ketika aku berada di depan kelas. Tapi ada satu kebanggaan yang aku rasakan selama satu semester yang mungkin bukanlah suatu kebanggaan dari orang lain. Aku tidak dipanggil satu kalipun untuk maju ke depan selama satu semester. Padahal, ada temanku yang juga sudah dipanggil hingga empat kali yaitu Hilman. Oh iya, aku juga selalu bolos tutorial bila aku bisa. Aku memang bukan mahasiswa yang baik dalam akademik.
Ada lagi satu cerita lucu yang menarik dari kelas Calculus. Febi adalah salah satu anak yang dikenal oleh Dosen ini. Kadang-kadang selain dirinya yang dipanggil, orang di sekitarnya juga di panggil. Dengan berkata “Sebelahnya Cantika�, bapak dosen tersebut memanggil Tami dan menyuruhnya maju. Entah kenapa aku selalu tidak pernah berada di belakang, depan, kanan, atau kiri Febi ketika ada mahasiswa yang dipanggil. TTKI Entah kenapa waktu itu aku ingin membuktikan bahwa aku bisa mendapat nilai A, apalagi di mata kuliah tulis-menulis. Tapi tetap saja, sesuai dengan kebiasaanku, aku masih membolos dan aku cabut saat pengelompokan. Dengan baiknya, Febi dan Tami memasukkan aku ke grupnya sehingga aku tidak perlu kesulitan memikirkan bagaimana aku harus mencari grup. Menurutku, salah satu hal yang menarik di sini adalah bagaimana aku dan Febi selalu kontra dalam banyak hal dan Tami yang netral. Tanpa sadar, ada sebuah kotinuum diantara kami bertiga yang aku anggap lucu. Sehingga sampai akhir pengumpulan, banyak argumen yang terjadi diantara kami. Kami diberi tugas akhir untuk membuat sebuah makalah dengan topik yang masih tidak jauh dari SAPPK. Dari hasil diskusi kami, kami menemukan tiga topik untuk dijadikan makalah. Namun, ketiga topik yang kami bawakan untuk tugas 15
tidak memiliki controlling idea yang baik sehingga pada akhirnya kami menghabiskan satu pertemuan kuliah untuk mencari topik baru karena topik kami tidak ada topik kami yang diterima. Akhirnya, topik yang dapat kami buat sebagai makalah adalah topik mengenai parkir vertikal. Aku sendiri menganggap topik ini cukup menarik karena aku sendiri menyukai hal mengenai teknologi dan parkir vertikal. Bahkan ketika Mereka berdua tidak bisa, aku memberanikan diri datang ke perusahaan pembuatnya untuk bertanya mengenai teknologi yang dipakai. Aku tidak tahu mengapa motivasi untuk menunjukkan bahwa aku memiliki kemampuan menulis sangat besar. Aku ingin sekali mendapat nilai A untuk mata pelajaran TTKI. Aku sampai menghubungi dosen waliku untuk memberi review mengenai tugas kami sehingga setidaknya kami mendapat nilai 70. Kami pun menjadi salah satu dari lima kelompok yang pertama mengumpulkan tugas dan mendapat nilai tambahan 30. Akhirnya aku pun berhasil mendapat nilai A, sebagai penyelamat IP semester 2-ku yang terjun payung. Sekilas PTI Pengantar Teknologi dan Informasi adalah salah satu pelajaran yang juga aku pedulikan. Pikirku, bila aku mendapatkan nilai bagus pada mata pelajaran ini, berarti sebenarnya aku mampu untuk menjadi mahasiswa STEI. Pada akhirnya, aku terlalu malas untuk belajar dan aku hanya belajar sedikit untuk menghadapi UAS. Aku sangat tidak bersemangat untuk belajar mengenai bahasa CC+ tapi aku sangka akupun cukup mendapat nilai yang baik. Mungkin aku sudah berpikir bahwa aku bisa dan tidak mempunyai sebuah tantangan apapun untuk belajar lebih. Salah satu kesalahanku adalah aku bolos saat dilaksanakan kuis sehingga nilai kuisku benar-benar 0. Aku akhirnya tidak mendapat nilai A untuk mata pelajaran ini. Tapi tak apalah. Aku juga mengaku bahwa aku terlalu malas untuk membuat program dari awal. Ketika praktikum terkadang aku membuka file lama buatan orang lain dan memodifikasinya untuk mengerjakan soal yang diberikan kepadaku. Mungkin aku memang tidak pantas untuk menjadi mahasiswa STEI.
16
Antara pendidikan akademik dan akademis Pada semester dua, aku cukup menarik diri dari kegiatan nonakademis. Aku hanya mengikuti tiga kepanitiaan dan mengundurkan diri pada satu kepanitiaan karena aku tidak tertarik dengan kegiatan tersebut. Walaupun begitu, aku berusaha untuk aktif di angkatan dengan menjadi staff internal SAPPK 2016. Aku sudah berniat dari semester satu bahwa waktu untuk aktif di angkatan adalah pada semester dua. Aku pun tidak menyesal dengan pilihanku karena aku mulai jatuh cinta dengan orang-orang yang berasa di SAPPK. Di samping itu, semester dua adalah waktu di mana aku menemukan tempat belajarku, di bangku di taman plano. Entah kenapa, tempat itu selalu menjadi tempat yang nyaman untuk aku belajar walaupun terkadang diganggu nyamuk atau didatangi kucing. Aku berhasil mempelajari banyak materi SBMPTN di bangku itu. Aku pun beberapa kali duduk di sana untuk belajar materi lain, sambil sesekali melihat orang-orang lewat. Selain belajar materi, aku pun belajar banyak. Aku belajar untuk mempelajari perilaku mahasiswa yang lewat. Aku sangat bingung dengan apa yang harus aku lakukan di semester 2 ini. Masalahnya, aku mulai jatuh cinta dengan semua yang ada tapi aku pun ingin pergi dari tempat ini. Aku belajar materi SBMPTN soshum dari awal agar aku bisa membuktikan bahwa aku bisa lolos SBMPTN dengan kemampuanku sendiri. Tapi sebenarnya, aku tahu aku juga selalu sukses karena faktor keberuntungan. Aku selalu mempersiapkan diriku untuk mengisi soal dengan asal sehingga aku bisa mendapat skor lebih tinggi. Namun, aku harus mengerjakan semua tugas tekpresku. Anggap saja bahwa semester dua, banyak hal yang terjadi dan aku bingung harus memilih. Aku mementingkan pendidikan akademikku, sehingga aku menyempatkan untuk tetap belajar untuk SBMPTN. Saat itu, aku siap meninggalkan akademisku. Pola Arogansi Walaupun belum lama mengemban ilmu di sini. Aku bisa melihat adanya pola yang terjadi pada mahasiswa ITB yag aku kira dapat menjawab mengapa mahasiswa ITB terlihat begitu arogan di banding dengan mahasiswa lain. Data yang dikeluarkan oleh zenius (kalau tidak salah) menunjukkan bahwa mahasiswa
ITB
tertarik
dengan
kaderisasi
dibanding
riset.
Kaderisasi
dilaksanakan di ITB berkali-kali sehingga tidak lagi terdengar asing. Setiap kaderisasinya dibuat sedemikian rupa sehingga peserta dapat merasakan 17
kebanggaan dari mengikutinya. Memang tidak banyak main fisik yang tidaktidak, namun ada berbagai ancaman mental secara implisit dan eksplisit yang ada di dalamnya. Selain itu tugas dan citra membuat seseorang mengikuti kaderisasi tanpa bertanya apakah semua bagian dari keaderisasi tersebut bermanfaat. Sebenarnya, kaderisasi pun merupakan hal yang penting untuk menekankan kepentingan dari sebuah wadah, unit olahraga misalnya. Tanpa ditariknya komitmen dan keseriusan, unit olahraga di ITB pastilah sudah mati sejak lama. Bagaimana tidak? Orientasi mahasiswa lebih berada pada ranah pendidikan sehingga kadang-kadang ranah olahraga tidak terpakai. Dengan adanya kaderisasi yang menantang, para peserta dapat merasakan bahwa unit yang akan mereka ikuti adalah unit yang berharga dan patut dibanggakan. Namun kembali lagi, siapa yang tidak bangga dengan hasil perjuangan yang berhasil? Dilantik adalah suatu hadiah yang sangat membanggakan bagi peserta. Apalagi pada saat pelantikan peserta mendapatkan banyak pernakpernik wadah tersebut yang mungkin mereka asosiasikan dengan perjuangan
berat mereka saat kaderisasi. Dengan lingkungan yang terus-menerus diberikan pada mahasiswa ITB, tentulah mereka akan bangga dengan diri mereka sendiri, yang berpotensi menghasilkan bangga keterlaluan yang dinamakan arogansi. Selain integrasi, aku mengikuti beberapa pendidikan lainnya yang diadakan. Salah satunya adalah kaderisasi wilayah SAPPK yang dinamai Asistensi, sekolah mentor dan dikpus (pendidikan terpusat). Asistensi dan sekolah mentor adalah kaderisasi yang menurutku menarik. Aku bahkan menjadi salah satu PJ untuk sekolah mentor dan aku menikmatinya. Sayangnya untuk dikpus, aku bolos 3/6 pertemuan karena dikpus sangat membosankan. Untung saja waktu itu aku ada di wilayah nomor yang sama dengan Zalfa sehingga aku mempunyai teman mengobrol.
18
Asistensi adalah salah satu acara di mana aku mulai
meninggikan
pandanganku
terhadap
SAPPK. Walaupun peserta minim, aku dapat merasakan kegiatan yang bermanfaat dan benar-benar
menyatukan.
Itulah
pertama
kalinya aku menyanyikan yel-yel dengan tulus dan
bersemangat.
Hari
itu
juga
aku
menyanyikan yel-yel SAPPK untuk terakhir kalinya. Hari itu aku bangga dengan karyaku yang ditontonkan di depan teman-temanku dan membuat haru mereka. Hari itu 23 April 2017, dan aku belajar banyak bahwa SAPPK adalah sebuah sekolah yang sangat hebat dan arti dari angkatan sangat ditekankan di sini. Aku juga belajar bahwa mitos berpisahnya merah biru sangat ada dan semua kakak tingkat kami sedih karena itu.
Nametag asistensi
Sekolah mentor juga tidak jauh ceritanya. Aku entah kenapa ingin menjadi mentor
OSKM 2017 dan ingin mencari teman baru.
Sayangnya
aku
menggagalkan rencanaku kali ini dan aku hanya mengikuti sekolah mentor sebentar saja. Aku sekelompok dengan Aska, teman PRD-ku di kelompok 21. Karena tidak mempunyai HP, aku berjanji membantu Aska menjadi PJ kelompok dan menghubungi teman-teman untuk konfirmasi kehadiran. Setiap hari kaderisasi menurutku menyenangkan selain forum angkatan dan beberapa cek spek. Forum angkatan dilakukan saat siang hari yang panas dan semua orang tidak sabar termasuk aku. Aku pun menganggap pemimpin forum bukanlah pemimpin melainkan hanya mengikuti kemauan siapa saja yang berbicara.
19
Merah atau Biru (atau Kuning) Tanggal 4 Mei 2017 adalah hari terakhir untuk mengisi survey untuk pemilihan jurusan. Aku termasuk orang yang super bingung untuk memilih apa jurusanku. Di ITB sendiri ada tiga kali survey yang harus diisi untuk menentukan penjurusan, dan desas-desusnya survey penjurusan yang ketiga, selain dari nilai akademis, memperngaruhi jurusan. Survey pertama, aku secara jelas memilih planologi. Survey kedua, aku memilih arsitektur. Karena itu, survey ketiga sangatlah menjadi penentu untuk jurusanku. Perhatianku pun pada seminggu itu terfokus pada; ‘arsi atau plano?’. Orang-orang di luar SAPPK menyarankan agar aku memiliih plano namun orang-orang di SAPPK mengira bahwa aku memilih akan arsi. Keduanya, entah karena apa memiliki pandangan seperti itu. Aku sendiri tidak tahu akan memilih apa karena menurutku keduanya sama saja. Aku sama-sama tidak mempunyai keinginan untuk berjuang di ranah pembangunan. Tanggal 8 sampai 9 Mei 2017 aku menyempatkan diri untuk mengikuti makrab angkatan yang saat itu dinamai SAPPK Bubar. Acaranya cukup seru dan aku berhasil untuk enjoy dalam beberapa momen di sini. Dengan keadaan aku masih harus belajar untuk SBMPTN, aku tidak mengikutinya secara penuh karena akupun baru datang pada pukul 17:00 karena aku masih harus mengejar materi. Aku pun menyempatkan diri membaca beberapa materi saat makrab. SAPPK angkatanku sangat menarik untukku. Aku selalu punya rasa bangga bila aku dapat berkembang bersama mereka. Aku pun yakin untuk memberikan negeri ini untuk mereka kembangkan nantinya. Pada malam hari dilakukan penampilan-penampilan dan kemudian ditutup dengan video perpisahan. Setelah itu, ada saat-saat kesadaran di mana kami akan berpisah. Orang-orang menangis dan aku pun tidak kuat untuk menahan tangisanku. Saat itulah aku bingung. Tanpa sadar aku menaruh hatiku pada orang-orang ini. Aku tidak mau berpisah dengan mereka. Namun, aku sudah berjanji untuk berkomitmen dengan perjuanganku. Beberapa orang memelukku dan berkata untukku agar tidak pindah. Itulah yang hatiku mau. Tapi hatiku yang lain mengatakan bahwa aku harus pindah. Hati ini adalah hati yang tidak rasional dan penuh dengan rasa gengsi. Yah, mungkin tidak perlu dilanjutkan karena kita semua sudah tahu apa yang aku pilih.
20
Salah satu foto di SAPPK Bubar
Tekompres Waktu itu aku sendiri lebih condong untuk memilih arsi karena aku meilihat kemajuan dalam tekpres arsitektur dibanding plano. Saat tekpres plano, aku tidak dapat melakukan brainstorming untuk ide pada esaiku. Aku pun sangat malas berhubungan dengan grafik dan tabel. Di arsi, aku yang memang tidak memiliki dasar menggambar, berjuang mati-matian demi agar setidaknya aku mendapat nilai 70. Aku ingat saat itu tugas pertamaku tentang proyeksi ortogonal aku tidak mengerti apapun tentang bayangan. Sampai dijelaskan berkali-kali oleh asisten dosenpun, aku masih tidak mengerti. Tapi Asdos pembimbingku saat itu, Kak Maria Vania Pardede, S.T, M.Ba masih bersemangat mengajariku. Tapi pada akhirnya aku tetap tidak mengerti. Lalu, pada jam kosong aku bertanya pada Fahmi (yang sekarang sudah menjadi anak arsi) bagaimana cara menentukan bayangan jatuh. Fahmi pun mengajariku dan aku di situ masih tidak mengerti. Padahal banyak orang yang melihat. Aku mulai menangis. Entah kenapa. Aku pun merasa waw karena ini adalah pertama kalinya aku menangis karena tugas. Aku sepeduli itu dengan tugas arsiku, aku menangis karena aku tidak bisa. Di tekpres plano sendiri, ada kejadian menarik. Yaitu, presentasi. Presentasi plano bukan sekadar presentasi seperti pada kelas biasa. Banyak hal yang harus diperhatikan seorang presentator dan banyak hal yang dinilai dari tugas ini. Aku sendiri sangat gugup dengan presentasi kali ini. Aku masih kesulitan untuk mengatakan ‘itu’ dan malah lebih sering mengatakan ‘tuh’. Aku pun tidak berani untuk menilai setiap orang dengan penilaian masing-masing. Kelompok kami juga termasuk kelompok yang selalu asistensi dengan Kak Ayumas (S2 PWK ITB). 21
Sehingga kami mendapat gambaran mengenai apa yang harus kami lakukan. Saat itu, Karya Hilman mendapat julukan karya terbaik. Kami berhasil mengedit foto seperti yang diinginkan dosen. Di samping itu, aku tidak tahu lagi apa yang menarik dari planologi. Untuk selanjutnya, aku pun beruntung bisa mengenal Aska (Kriya’16) dari kelas PRD. Kelas PRD diadakan setiap hari Selasa. Saat itu aku bolos kelas tutorial bersama Tami dan aku mengerjakan tugas renderingku. Rendering adalah tugas tambahan dimana kita harus menggambar tekstur tertentu. Saat itu adalah tugas pertama render, yang harus digambar adalah kayu, batu, dan awan. Aku pun mulai menggambar kayu dan frustasi karena aku tidak mendapat tekstur yang aku inginkan. Aska berkata bahwa its in your mind, sebenarnya aku bisa atau tidak hanyalah perspektif. Akhirnya mau tidak mau aku menggambar. Aku sebenarnya tidak memiliki karya yang aku banggakan dari tugas render ini. Aku tidak menggambar menggunakan hati. Aku mencari kesempurnaan tanpa memikirkan apa yang aku rasakan.
Sketsa bangunan terakhirku untuk selamanya
Tugas render dan tugas arsi lainnya membuatku mulai terus membangun mental anak arsi (walaupun aku bukan anak
arsi).
Walaupun
aku
harus
mengulang tugas, selama masih ada waktu
dan
kesempatan
untuk
memberikan yang terbaik (bila aku mau dan niat) aku akan melakukannya. Untuk kedepannya, itulah yang membuat aku bisa bertahan dengan tugas apapun yang diberikan kepadaku. Tugas
terakhirku
sketsa.
Aku
adalah
masih
membuat
menyayangkan
mengapa hari pembuatan sketsa adalah hari
setelah
aku
memilih
jurusan.
Padahal, semua hasil bisa berbeda. Mungkin aku tidak akan mengetik ini sekarang
karena
aku
terlalu
sibuk
menjadi mahasiswa arsitektur. Hari itu aku memilih suatu bangunan lama yang 22
berbentuk seperti benteng. Bangunan itu terletak di dekat parkir sipil. Aku jujur saja merasa bangga dengan hasil sketsaku. Itulah satu-satunya gambar yang bagus yang pernah aku buat. Walaupun di akhir aku tidak mendapat nilai bagus, aku tetap bangga dengan gambar tersebut. Tami berkata bahwa aku terlihat senang saat akan mengumpulkan sketsa tersebut. Tapi alasanku tersebut masihlah alasan yang lemah. Jauh di dalam aku memiliki alasan yang kuat yang tidak rasional. Ada suatu tantangan yang aku suka dengan sesuatu di jurusan arsitektur. Lagi-lagi manifestasi dari defense
mechanism-ku. Aku tidak dapat menceritakannya di sini, namun, setiap kali aku mengunjungi gedng arsitektur, aku berharap bahwa aku bisa menjalankan tantanganku. Alasan ini lah yang juga membuatku ragu apakah aku harus memilih arsi atau tidak, karena aku tahu, ketika aku sudah kehabisan rasa senang dan penasaranku, aku tidak punya motivasi apapun. Intinya, walaupun banyak hal yang dapat dibilang negatif dari tekompres, aku sangat menyukai pelajaran ini. Aku benar-benar merasakan apa yang dinamakan dengan belajar, dari tidak bisa hingga bisa. Biasanya, aku hanya
bullshitting my way through things dan biasanya itu berhasil untuk membaca pola dari sesuatu yang seharusnya aku pelajari, sehingga aku tidak mengerti hal fundamental dari materi tersebut. Namun di tekompres, aku benar-benar belajar untuk mengerti dan bisa. Itulah yang aku suka.
Menit-Menit Terakhir di Planologi 5 Juni 2017 adalah hari diumumkannya penjurusan. Tentu saja, aku diterima di planologi atau nama formalnya Perencanaan Wilayah dan Kota. Hal pertama yang teman-teman seangkatanku adakan adalah membuat acara buka bersama. Saat teman-teman arsitektur sudah melaksanakan PJJGN, kami mulai berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Aku awalnya biasa saja dengan buka bersama ini. Aku merasa belum dekat dengan teman-teman seangkatanku dan aku ingin agar aku mengenal mereka. Salah satu hal yang membuatku senang dengan anak-anak planologi adalah mayoritas dari mereka adalah teman diskudi yang enak. Banyak dari mereka yang memilii pengetahuan yang luas dan cerita yang hebat. Pada hari itu aku dapat menyimpulkan bahwa rekan-rekan seangkatanku adalah orang yang 23
honorable. Aku sangat menghormati mereka karena saat pertemuan pertama kami, kami sudah mendiskusikan masalah kebaikan dan keburukan, agama, dan hal-hal dalam lainnya. Selain itu, kami juga membagi latar belakang kami tentang mengapa kami memliki planologi. Sudah ada kesan baik yang ada padaku setelah pertemuan pertama angkatanku. Dengan mendengar cerita mereka, (walaupun tidak semua orang datang) aku semakin tertarik untuk mengetahui mereka sebagai sebuah angkatan. Mungkin, aku di sini menjadi menggeneralisasi. Tapi aku merasakan hal itu lagi ketika aku datang kembali yang akan diceritakan pada zero years part 2. Ada cerita lucu lain saat buka bersama pertama kami. Aku masih ingat bahwa aku harus mengulang sholat berjamaah karena sebuah ke-caleuy-an. Aku sangat mudah tertawa dan saat itu aku sedang sholat maghrib berjamaah. Karena banyak yang tidak membawa alat sholat dan banyak juga yang datang, kami membagi menjadi dua kloter sholat dan aku ikut kloter kedua. Saat itu aku sholat di paling ujung kiri barisan dekat sebuah sofa pijit. Syahida kemudian duduk di sana dan membuat kontak mata denganku. Aku tidak dapat menahan tawaku dan mulai mengejar Syahida karena membatalkan sholatku. Saat itu sudah libur dan aku uring-uringan karena sebentar lagi hasil SBMPTN akan keluar. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar ingin pindah atau tidak. Sebenarnya, aku sudah menyerah H-2 SBMPTN dan tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Aku hanya meminta yang terbaik karena hatiku sudah aku simpan di anak-anak planologi. Aku pun merasa tidak pantas untuk lolos SBMPTN karena aku tidak belajar sehebat orang lain belajar. Aku pun terbagi fokus oleh tugas-tugas tekpres arsi. Aku benar-benat tertekan dan bingung saat itu. Semua pilihan sangat jauh dari satu dan yang lain dan membuatku bingung harus memilih yang mana. Tanggal 13 Juni datang. Hari itu, pukul 14:00 WIB adalah hari yang menentukan masa depanku. Jika aku tidak lolos, aku tidak lagi harus berpikir keras mengenai apa yang harus aku pilih. Hari itu bertepatan dengan pembagian jaket angkatan dan hearing calon ketua angkatan planologi 2016. Saking paniknya, aku tidak dapat bernapas dengan baik dan akhirnya Zkabel (Azka Bella) membukakan hasil SBMPTN padaku. Aku lolos. Aku senang tapi dalam hati juga sedih karena harus berpisah dengan banyak orang. Aku bingung mana pilihan yang terbaik. Aku yakin sebenarnya aku tidak akan puas dengan apapun yang terjadi karena 24
aku selalu membayangkan apa yang berada dibalik jalan yang tidak aku pilih. Apa yang harus aku pilih? Tanyaku, berkali-kali, berulang-ulang. Bukannya semuanya sama saja karena tidak ada yang penting di akhir? Tapi dibalik semua konflik internalku, ada faktor eksternal lainnya. Ada suatu hal yang menarik dari angkatan planologi 16, yang kemudian dinamai Aksatria Arghyabumintara. Dari pertemuan saat buka bersama saja, kami sudah membahas hal yang menarik. Saat itu yang dibahas adalah agama, tuhan, dan kejahatan. Yang jika tidak salah Abi dan Deca. Aku tertarik dengan orang yang bisa diajak diskusi mengenai hal-hal yang tabu atau setidaknya tidak biasanya dibicarakan di kehidupan sehari-hari. Dan saat itu, Aksantara memberikan sesuatu yang menarik untukku -- teman untuk berdiskusi. Gosip yang dibicarakan bukan hanya tentang oraang tapi juga mengenai isu yang ada. Hal itu berulang kembali di beberapa pertemuan dan itulah yang selalu membuatku senang.
Dokumentasi aja
Hal lain yang membuatku senang dengan Aksantara adalah fakta bahwa aku masih bisa senang berinteraksi dengan mereka walaupun ada grup-grup kecil di antara kami. Tentu saja itu adalah hal yang manusiawi untuk mempunyai peer
group, namun aku bisa dengan tenang dan santai berbicara dengan siapapun yang berada di sini. Sayangnya aku tidak bisa menceritakan dalam tulisan ini karena hal tersebut masuk dalam zero years part 2.
25
Aku pun masih aktif membantu saat aku sudah lulus SBMPTN. Aku masih menggunakan slayer dan mengikuti beberapa interaksi. Interaksi sendiri adalah salah satu hal yang menyenangkan. Entah itu termasuk ke dalam kaderisasi atau bukan, aku tidak pernah mau untuk bolos dari acara tersebut. Interaksi adalah acara pertama dari rangkaian orientasi jurusan di planologi. Saat itu kami benarbenar melakukan interaksi dua arah dengan kakak tingkat kami di Planologi. Walaupun masih rangkaian pertama, kami sudah mempunyai banyak masalah. Entah itu secara personal ataupun secara angkatan keseluruhan. Kami sering telat dan tugas kami tidak dikerjakan secara sungguh-sungguh. Kumpul angkatan selalu kami lakukan untuk memperbaiki diri kami. Entha kenapa aku di sini dapat mengungkapkan argumenku. Aku ingin kami jadi lebih baik dan aku ingin memperjuangkannya. Biasanya aku tidak seperti ini. Aku melakukan apa yang harus aku lakukan tidak lebih dan kurang kecuali aku diminta. Biasanya aku hanya pasif. Tapi kali ini aku aktif membantu. Dan aku suka itu. Salah satu hal menarik yang terjadi saat interaksi adalah menulis di medium. Karena adanya tugas itu, aku menjadi punya teman yang aktif di medium dan aku suka itu. Selain itu aku juga pernah berdebat dengan Hasna mengenai POPOPE (Posisi, Potensi, dan Peran). Aku selama tiga hari berturut-turut berusaha memikirkan arti posisi. Aku merasakan ketulusan ketika aku membantu mereka. Rasa tulus dari hatiku bahwa aku benar-benar ingin membantu. Rasa itu sangat berharga dan sangat jarang aku rasakan. Mungkin itulah mengapa aku selalu mendapat pertanyaan atas tindakanku. Meninggalkan orang-orang yang aku sayangi adalah tantangan terbesar. Tapi, aku sudah berjanji untuk menerima tantangan tersebut. Aku pun melakukannya. I over did it. Selintas tentang Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Bukan hal yang asing bahwa aku terkadang sering bersama dengan anak-anak seangkatan dari jurusan FTSL, khususnya anak-anak FTSL yang pernah satu sekolah denganku. Mereka pun beberapa kali mengajakku ketika aku gabut dan aku dengan tidak tahu malunya bergabung dengan mereka. Ini adalah defense
mechanism yang aku buat sebagai bentuk denialisme-ku sebagai mahasiswa SAPPK. Sampai-sampai aku memunculkan hashtag buatanku sendiri yaitu
26
#SAPPKrasaFTSL untuk menguatkan denialisme-ku. Tapi, bukankah aku selalu dipenuhi dengan denialisme di manapun aku berada? Haha. Karena sering berinteraksi dengan teman-teman FTSL, aku mengetahui banyak hal tentang tugas dan pelajaran mereka. Aku sendiri mengakui bahwa aku tertarik dengan salah satu jurusan di FTSL yaitu teknik kelautan. Jika dari namanya, aku hanya bisa menebak bahwa jurusan itu hanya mempelajari teknik sipil yang diterapkan di laut. Ya, mungkin ini adalah contoh langsung jangan
melihat buku dari covernya. Ketika mengetahui lebih jauh dari orang-orang tentang apa yang dipelajari di dalamnya, aku merasa tertarik dengan jurusan ini. Tapi, aku tidak setertarik itu sehingga aku berniat untuk mencoba teknik kelautan tahun depan. Aku hanya merasa tertarik dengan apa yang dipelajari. Dan semua itu cerita denialisme itu membawa kepada pertanyaan. Seringkali aku juga mendapatkan pertanyaan, kenapa dari dulu aku tidak memilih FTSL? Jawabannya, Aku juga, tidak tahu mengapa. Aku tidak pernah tertarik untuk mencoba mencari tahu dan ketika aku tahu, aku sudah mendapatkan status sebagai mahasiswa SAPPK. Ya, mungkin memang ini bukan jalan ceritanya. Tapi mungkin, di suatu ruang dan waktu yang berbeda, pada diagram dimensi kelima sana, ini adalah sebuah cerita yang menjadi fakta. Namun sekali lagi, cerita ini hanya sekadar apa yang mungkin terjadi.
Konklusi Aku sangat sedih karena hanya bisa merangkum satu tahunku kurang dari 27 halaman. Banyak sekali hal yang aku lupa sehingga tidak aku tulis di sini. Semoga aku tidak melakukan kesalahan yang sama pada zero years part 2.
27
28