Lentera Asa Desa

Page 1


Silahkan mengisi link di bawah ini untuk survei majalah natas

http://bit.ly/surveymajalahnatas


Edisi Januari-Juni 2017 Ilustrasi Sampul: Yohakhim Ragil Anantya

Pendamping Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A Pemimpin Umum Benediktus Fatubun Sekretaris Meylina Br Barus, Nabilla Maharani Bendahara Stefania Haban Pemimpin Redaksi Media Cetak Martinus Danang Pratama Wicaksana Redaktur Pelaksana Media Cetak Abdullah Azzam Staf Media Cetak Dyas Putri Winayu, Gabriella Anindita Kusumasputri Pemimpin Redaktur Media Online Atanasius Magnus Ayus Balistha Redaktur Pelaksana Media Online Dionisius Sandytama Oktavian Staf Media Online Christin Ayu Rizky, Yosaphat Made Dharma Suryanata, Tiwi Wira Pratika

Pemimpin Editor Ludgeryus Angger Prapaska Staf Editor Irene Lejap, Fika Rosario Labobar, Konsita Belarosa R. Naen Kepala Divisi Artistik Yohakhim Ragil Anantya Staf Artistik Julia Noor Abdillah, Ahmad Nur Wahyudin Kepala Divisi Litbang Fileksius Gulo Kepala PSDM Renata Winning Sekar Sari Kepala PDI Nerry Suhartono Kepala Divisi Jaringan Kerja Novita Anggarwati Staf Jaker Clarita Fransiska Simarmata, Yohanes Mariano Ba

Alamat: Gedung Student Center lt. 2 Kampus II Universitas Sanata Dharma, Tromol Pos 29 Yogyakarta 55002. Surel Redaksi lpm.natas@gmail.com. Media Online www.natasmedia.com


DAFtAR 6

Foto

8

Sekilas Angka

Fokus Redaksi 10 Slogan (turisme) istimewa

Laporan Utama Bertani Melawan Gempuran Pembangunan 12 Meneropong Lebih Jauh Desa Mangunan 16 Eksotisme Desa Festival 20

Liputan Kampus Menimbang Kinerja dalam Pengabdian 26 Problematika KKN USD 29

Gaung Sumbang 33 Semangat Magis dalam Melayani

Opini 37 PKM: Wadah Transformasi Intelektual dan Karakter Mahasiswa 39

4

natas

Mahasiswa: Sikap Kritis yang Terkikis


Pers Kita Pers Mahasiswa Harus Berani Move On 42

Jas Merah Mengubah Bencana Menjadi Berkah 44

Catatan Sang Jurnalis Bisikan Kaum Hawa 46

Tokoh 48 Rela Mati Demi Watu Kodok

Info 51 Kisruh Tarif Parkir Liar

Resensi 53 Laut dan Kisah Muasal 55 Mendengarkan Coldplay dalam Sebuah Permenungan Hidup

Sastra Cerpen: Lautan Juang 57 Puisi: Agenda 60 Di Surabaya Puisi: Hagemoni Karat 61 Proses Bersalaman

Si Ichir 62

ISI natas

5


Sekelompok pengunjung sedang menikmati pemandangan di sekitar monumen sintetis Stonehenge, Dusun Petung, Kecamatan Cangkringan, Kaliurang, Yogyakarta. Salah satu destinasi wisata sintetis batuan (semen) yang dibuat mirip dengan monumen megalitik aslinya di Wilshire, Inggris. Foto: Ahmad Nur Wahyudin

6

natas


natas

7


Sekilas KKN Angka 2017 Tanggapan No

8

Pernyataan

Ya

Tidak

Tidak Menjawab

1

Jangka dan alokasi waktu yang diberikan cukup berhasil untuk mengimplementasikan tri dharma perguruantinggi?

87

5

8

2

Ada kendala saat pengurusan administrasi di lokasi KKN

17

75

8

3

Syarat-syarat untuk pendaftaran program KKN menyulitkan mahasiswa

13

79

8

4

Penempatan KKN sesuai dengan program studi mahasiswa

70

22

8

5

Ketika KKN, anda mengalami kesulitan adaptasi di lokasi yang telah ditentukan

21

71

8

6

Kehadiran anda menjadi “beban� bagi masyarakat di lokasi KKN

6

86

8

7

Anda merasa puas dengan program KKN yang telah anda jalankan

89

3

8

8

Biaya KKN memberatkananda

45

47

8

9

Anda setuju dengan pembagian kelompok KKN antarprodi yang berbeda

87

5

8

10

Setujukah andadengan program KKN untuk tetap dijalankan oleh kampus

84

8

8

natas


Sekilas Angka

A

ngket jajak pendapat tentang Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk penelitian dan pengembangan data Litbang LPM natas Universitas Sanata Dharma. Ditujukan pada mahasiswa yang telah melaksanakan program KKN. Sampel dari penelitian ini disebarkan secara acak kepada 150 mahasiswa, namun hanya 92 responden yang berhasil mengisi daftar pertanyaan dan pernyataan yang ada pada angket. Kemudian beberapa responden diwawancarai secara intensif guna mengklarifikasi dan mendapatkan validitas angket. Rata-rata responden mengetahui, bahwa program KKN merupakan wujud implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat. Maka tidak salah tafsir apabila program KKN diidentikkan dengan kerja yang sesungguhnya. Artinya, mahasiswa langsung dihadapkan pada kehidupan bermasyarakat guna mengaktualisasikan diri dengan bekal pendidikan yang telah ditempa di perguruan tinggi. Sementara itu, ada juga beberapa responden yang masih menyangsikan esensi dari program KKN. Hal yang paling krusial menurut responden adalah masalah pembiayaan KKN. Rata-rata partisipan mengeluhkan beratnya beban finansial. Meskipun masih rasional, kalkulasi partisipasi itu perlu dievaluasi untuk mendapatakan signifikansi matematis di lapangan. Di samping itu, ada juga yang mengeluhkan soal manajemen KKN, khususnya pada ranah komunikasi. Penyelenggara KKN, mahasiswa dan masyarakat sering mengalami miskomunikasi. Hal itu perlu digarisbawahi di samping faktor geografis yang cukup sulit dijangkau oleh sarana dan prasarana komunikasi. Banyak responden yang merasa puas dengan program KKN yang telah dilaksanakan, sehingga hampir semua responden merekomendasikan untuk tetap mempertahankan dan terus megembangkan program KKN. Ada beberapa responden yang membeberkan aktualisasi dari program KKN yang telah diwujudkan, diantaranya adalah pendidikan dan pengajaran, pendampingan pada anak serta pembelian ternak kepada masyarakat. Sementara itu, beberapa kendala yang dialami oleh peserta program KKN menjadi evaluasi untuk kedepannya, baik secara internal maupun eksternal.

Litbang LPM natas

natas

9


FOKUS REDAKSI

Slogan (Turisme) Istimewa Trans Jogja Istimewa, gudeg istimewa, konser istimewa, oblong istimewa, bakmi godhog istimewa, bakpia istimewa, Jogja Istimewa.mp3, gorengan istimewa 2000:3 (dua ribu dapat tiga), angkringan istimewa dan seterusnya.

F

rasa istimewa itu bisa kita jumpai pada “papan-iklan” di sekujur wilayah Yogyakarta: dari Kecamatan Tempel sampai Kasihan; Pakem sampai Wonosari. Penggunaan secara masif terma istimewa, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serupa dengan, khas; khusus; lain daripada yang lain itu mempunyai korelasi dengan diterbitkannya slogan pariwisata oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2012, yaitu: Jogja Istimewa. Tepatnya dalam Rencana Induk Perencanaan Kepariwisataan Daerah atau RIPPARDA tahun 20122025 (Perda DIY No. 1 Th 2012 tentang Kepariwisataan). Di tahun yang sama Yogyakarta ditetapkan sebagai koridor ekonomi Jawa dan penghubung ekonomi nasional dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di zaman Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Secara administratif Yogyakarta memang pas untuk memakai terma istimewa, bila menengok status pemerintahannya yang khas, yakni kepala pemerintahan yang dipimpin oleh sultan untuk membawahi daerah setingkat provinsi. Sultan atau Sri Sultan ialah gelar yang diperoleh dari suksesi kepemimpinan pemerintahan Yogyakarta (yang kala itu kerajaan Mataram) sejak Sri Sultan Hamengkubuwono I menyerahkan tahta kepada putranya, Gusti Raden Mas Sundara (Sri Sultan Hamengkubuwono II), paruh akhir abad ke-18. Lewat UU Keistimewaan DIY, suksesi itu terus dipertahankan hingga kini, ketika Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi bagian Republik Indonesia. Kekhasan yang demikian, membuat daerah yang mempunyai luas garis pantai 113.000 km2 ini menghidupi masa lampau dalam gerak zamannya. Melalui ritus tradisi, ajaran leluhur dan kolektivitas menjadi ciri masyarakat jawa yang masih ditemui. Kosmologi Mataram, yakni trisuci Merapi, Keraton dan

10 natas

Pantai Selatan, bahkan masih dikhidmati lewat upacara Labuhan. Dengan intangible capital semacam itu, perencana pariwisata Yogyakarta akan mengambil unsur budaya untuk memoles sektor pariwisata. Visi RIPPARDA mengafirmasi hal itu, disana disebut: ”terwujudnya Yogyakarta sebagai Destinasi Pariwisata berbasis budaya terkemuka di Asia Tenggara, berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, mampu mendorong pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat.” Perihal “pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat,” dewasa ini muncul konsep tourist village atau desa wisata. Sebuah desa yang berisi masyarakat lokal dengan keunikannya masing-masing, justru mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mengembangkannya sebagai objek wisata, seharusnya juga membantu pengembangan daerah itu sendiri. Pada 2015, Dinas Pariwisata menerbitkan kajian mengenai lokalitas dalam pariwisata, yaitu Laporan Pengembangan Desa Wisata dan Kajian Potensi Ekowisata tiap Kecamatan se-DIY. Dari terbitan itu kita bisa melihat misalnya, desa wisata di Bantul menawarkan atraksi kehidupan desa untuk menarik minat warga urban merasakan hidup di desa yang guyub. Pemetaan potensi tiap kecamatan juga memungkinkan untuk menengok Kecamatan Turi yang mempunyai potensi ekowisata lewat alamnya.


FOKUS REDAKSI sebagai agenda rutin digelar tiap tahun. Dengan konsep yang unik: desa sebagai tempat penyelenggaraan, warga lokal menjual jajanan, panggung yang dinamai lakon pewayangan, dan tidak dipungut biaya, membuat Ngayogjazz memiliki daya pukau tersendiri. Pelibatan unsur lokal juga ada pada gelaran Jogja Asian-Netpac Film Festival (JAFF) lewat program Open Air Cinema alias layar tancap. Gelaran JAFF 2012 misalnya, memutar film pemenang piala Maya 2015, Lemantun di balai Dusun Jethak II, Kecamatan Godean. Menggunakan unsur budaya lokal dalam mengemas festival atau event seperti keharusan. Dengan mempertimbangkan identitas Jogja yang masih kental membuat hal itu harus menyesuaikan diri. Atau, hal itu membuktikan perihal peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.

Ilustrasi: Ahmad Nur Wahyudin

Berkembangnya banyak desa atau objek wisata yang diinisiasi oleh masyarakat lokal tentu akan menggerakkan roda ekonomi dan menarik peluang datangnya investasi. Tahun 2014 pemodal swasta yang memegang izin khusus hendak mengambil alih pengelolaan pantai Watukodok di Wonosari dari warga lokal dengan serangkaian intimidasi. Pemda DIY harus memastikan—meski klise—warga lokal untuk tidak tersingkir, menepi ke bangku cadangan, dan sekedar menjadi penonton. Tahun 2015 pula, akumulasi kunjungan turis (khususnya mancanegara) ke DIY hanya memiliki rataan tinggal kisaran 2 hari, rataan yang kecil untuk destinasi wisata yang hendak berdaya saing se-Asia Tenggara. Untuk menyiasati hal tersebut, Yogyakarta membutuhkan atraksi lain yang mampu menahan turis lebih lama, minimal 3 hari (seperti Bali contohnya, dengan rataan 3,9 hari). Event-event atau festival hendaknya menjadi alternatif daya tarik pariwisata yang lain. Namun, meski dengan beragam festival yang ada di Yogyakarta tidak serta merta mengisi kekosongan tersebut, butuh konsep dan keajegkan yang tidak mudah.

Pembangunan pariwisata pada galibnya membutuhkan infrastruktur memadai, seperti pembangunan akomodasi dan semacamnya. Bali, sebagai destinasi wisata utama di Indonesia, pada 2016 mencatat jumlah hotel di seluruh Bali sebanyak 4.880— melonjak 134 persen dari tahun 2015. Pembangunan masif tentu memerlukan konversi lahan yang sangat besar pula, tercatat ribuan hektar lahan hijau beralih fungsi menjadi bangunan beton. Kehilangan lahan hijau berarti juga kehilangan sumber pangan, pada 2015 sekitar 6000 ton beras hilang bersama subaksubak dan lahan hijau di Bali (Republika 03/05/15). Provinsi DIY kurang lebih mengalami hal serupa, lahan pertanian yang beralih fungsi mencapai 200-250 hektar per-tahun. Tidak sebesar di Bali memang, namun pertumbuhan penduduk yang sekitar 1,2 persen membuat permintaan hunian terus meningkat. Ditambah lagi, Yogyakarta bukan hanya sebagai pusat kebudayaan dan pariwisata, juga sebagai pusat pendidikan—yang membutuhkan akomodasi tersendiri. Peralihan lahan hijau besar-besaran, yang seringkali disebabkan oleh kekuatan kapital pada akhirnya turut menyumbang, entah sedikit atau banyak, kesenjangan ekonomi DIY dengan rasio begini pengeluarannya mencapai 0,425 atau tertinggi di Indonesia. Dan itu menyedihkan, tentu saja.

Abdullah Azzam

Ngayogjazz yang telah digelar sejak 2007 barangkali satu dari sekian festival yang bisa dijadikan rujukan. Musik jazz, yang terkesan elitis dan memang mempunyai segmentasi tersendiri, bisa bertahan

natas

11


LAPORAN UTAMA

Petani menanam padi di lahan yang sempit, yang di kelilingi rumah rumah. Foto: Ahmad Nur Wahyudin

Bertani Melawan Gempuran Pembangunan Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), setiap tahunnya terjadi penurunan lahan-lahan pertanian di Yogyakarta. Pemerintah sudah melakukan langkah antisipasi, namun beberapa petani di Sleman belum bisa menikmati hasilnya.

S

eorang pria yang renta mencangkul sawahnya di panas terik matahari siang itu. Tak jauh dari sawah tempat dia mengadu nasib berseberangan dengan Jalan Kaliurang yang padat merayap. Jalanan yang didominasi oleh kendaraan beroda empat, lalu-lalang menuju tempat wisata Kaliurang yang menjadi salah satu destinasi wisata andalan Yogyakarta. Jalanan yang tidak pernah sepi akan kendaraan, ditambah lagi dengan berjubel penginapan berdampingan langsung dengan sawahsawah. Pria ini tak sungkan turun ke dalam parit sawah yang penuh dengan lempung yang membuat sekujur kakinya tertempel butiran-butiran tanah. Padahal di depannya terdapat perumahan mewah

12

natas

dengan pagar-pagar tinggi mengelilingi rumah-rumah tersebut. Sambil mencangkul dia memperhatikan juga kambing peliharaannya yang mengembik meminta makan. “Saya ini sudah bertani sejak kecil, sejak saya masih SD,� ungkap pria bernama Amin, 40 tahun itu. Amin adalah salah satu dari petani-petani yang tersisa di sepanjang Jalan Kaliurang. Lahan pertanian di sepanjang Kaliurang ini sudah beralih fungsi menjadi apartemen maupun perumahan. “Sleman itu adalah wilayah yang sangat strategis dan masyarakatnya sangat dinamis, banyak masyarakat luar yang nyaman untuk bertempat tinggal di kabupaten Sleman,� tutur Suwandi Azis Sekretaris Dinas Pertanian Sleman. Akibatnya beberapa petani di Sleman menjual lahan pertaniannya yang mereka dapatkan melalui warisan


LAPORAN UTAMA turun-temurun. Amin yang setiap hari berprofesi sebagai petani di daerah Kaliurang hanya memiliki lahan tidak lebih dari setengah hektare. “Hanya 400 meter persegi kira-kira, sebelumnya luas tetapi karena sudah dijual oleh pakde-pakde saya maka sekarang sudah jadi rumah,” ungkapnya. Memang tidak diragukan lagi bahwa di sekitar lahan pertanian yang Amin garap sudah berubah fungsi menjadi perumahan. Tidak hanya perumahan tetapi hotel-hotel yang berjajar rapi juga menyempitkan lahan-lahan pertanian. Data BPS memperlihatkan bahwa setiap tahunnya pertumbuhan hotel di Sleman kira-kira mencapai 5%. Salah satu hal yang menjadi penyebab beralihnya fungsi lahan-lahan pertanian di Sleman, disebabkan karena mahalnya pajak yang mereka bayarkan setiap tahunnya. Ditambah lagi penghasilan yang mereka dapatkan dari produksi tidak mencukupi untuk membayar pajak tanah dan untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi sebagaian dari mereka hanya berprofesi sebagai petani dan tidak menyambi profesi yang lain. Hal inilah yang dikeluhkan oleh Amin yang selama ini berprofesi sebagai petani. “Pajaknya Rp 75.000,00 setahun, sedangkan penghasilan hanya tiga kali panen dalam setahun, total pendapatan dalam satu tahun tidak sampai satu juta. Ditambah lagi harus bayar pajak dan memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan saya hanya menggarap sawah dan pelihara kambing,” ungkap Amin.

Di sepanjang Jalan Kaliurang usaha untuk bertani semakin lama semakin memberatkan, apalagi pajak tanah yang cukup tinggi. “Perhitungan itu yang menyebabkan mereka untuk lahannya dialihfungsikan, karena hasilnya akan lebih besar dibandingkan menjadi lahan pertanian sebelumnya. Apalagi harga tanah juga mengikuti harga pasar,” kata Sri Wuryaningsih, Kepala Seksi Perekonomian Pembangunan Kecamatan Ngaglik.

Jumlah Akomodasi Hotel Bintang Kabupaten Sleman

Akomodasi

2014

2013

2012

2011

2010

43

38

32

24

21

Sumber: BPS Sleman

natas

13


LAPORAN UTAMA Lahan yang Tidak Berizin Pajak lahan-lahan pertanian yang memberatkan petani mengakibatkan mereka menyewakan lahan pertaniannya. Lahan pertanian yang disewakan tersebut kemudian digunakan untuk dibangun hotel-hotel, maupun perumahan. Apalagi seperti yang dituturkan oleh Azis, di mana masyarakat Sleman yang dinamis membuat mereka meninggalkan lahan pertanian, kemudian beralih profesi dari petani menjadi pengusaha. Hal ini membuat sektor pertanian menjadi jenuh karena ditinggalkan banyak orang. Yang disayangkan Azis, lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan yang produktif untuk pertanian. Apalagi, beberapa lahan-lahan pertanian yang dialihfungsikan masih belum mengantongi izin mendirikan bangunan. Bahkan, pihak-pihak yang belum mengantongi izin tersebut sudah mendirikan bangunan, ini menimbulkan masalah baru di Sleman. “Ada perumahan yang memaksakan untuk mendirikan di situ, sedangkan perizinan sedang diproses untuk diperbolehkan atau tidak. Kemudian mereka jalan sendiri dengan rasa percaya dirinya mereka membangun unit-unit itu,� ungkap Azis. Bahkan Azis mencotohkan kasus di Godean yang mendirikan bangunan, padahal pihak yang membangun belum diberikan izin dari pemerintah. Apalagi lahan yang digunakan adalah lahan yang produktif untuk pertanian. Data BPS memperlihatkan terjadi penurunan lahan di Sleman akibat alih fungsi lahan. Lebih-lebih lagi, alih fungsi lahan yang dilakukan tanpa mengantongi izin. Akibatnya menjamur hotel-hotel dan perumahan yang semakin menyudutkan lahan-lahan pertanian. Luas Lahan Pertanian Kabupaten Sleman

Sawah

2014

2013

2012

22233

22835

22642

Sumber: BPS Sleman

14 natas


LAPORAN UTAMA Pihak pemerintah hanya melakukan antisipasi dari pengalihfungsian lahan pertanian ini. “Untuk semua lahan apalagi untuk alih fungsi lahan harus menggunakan izin perubahan lahan terlebih dahulu, baru diizinkan membangun,” terang Azis melihat fenomena alih fungsi lahan yang marak terjadi. Azis menerangkan bahwa antisipasi pemerintah dalam mengatasi penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi ialah, dengan menerbitkan sertifikasi tanah. Sertifikasi tanah yang diberikan oleh petani nantinya akan melindungi petani-petani yang memiliki lahan untuk tidak dialihfungsikan. Namun ironinya beberapa petani belum memiliki sertifikasi tanah, apalagi mereka kebingungan cara mengurusnya. “Saya tidak punya sertifikat tanah, tapi saya tetap membayar pajak bumi saja. Saya ingin punya sertifikat tanah sendiri tapi membuat katanya membayar biaya dan saya tidak punya uang,” tutur Amin. Penyelamatan Lahan Langkah-langkah antisipasi pemerintah Kabupaten Sleman dalam menanggulangi alih fungsi lahan, tidak berhenti pada program sertifikasi lahan pertanian. Beribu cara dilakukan untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian yang tersisa. Melalui program-program pemberdayaan petani, hingga mempertahankan lahan pertanian dalam beberapa tahun ke depan, ditempuh untuk menjaga keseimbangan perekonomian. Sekolah-sekolah lapangan untuk petani menjadi salah satu contoh program yang dilaksanakan di Kecamatan Ngaglik, Sleman. Dengan program sekolah lapangan petani ini, para petani diberikan pelatihan menambah hasil produksi panennya. Upaya-upaya ini dilakukan oleh pemerintah setempat untuk mendukung perekonomian para petani di Kecamatan Ngaglik. Tidak hanya program-program latihan yang diberikan kepada para petani saja, tetapi pemerintah Kecamatan Ngaglik juga melaksanakan program mendata lahan-lahan pertanian yang berada di sekitar Kecamatan Ngaglik. Upaya ini disebabkan karena lahan-lahan pertanian di sekitar Kecamatan Ngaglik mulai kritis terutama di sepanjang Jalan Kaliurang. “Jadi ada beberapa

lahan yang akan dijadikan lahan abadi untuk pertanian, artinya itu tidak boleh dialihfungsikan,” kata Sri. Program ini dalam tahap pengerjaan oleh Kecamatan Ngaglik, apalagi target yang ingin dicapai untuk mempertahankan lahan pertanian ini adalah 1.044 hektare dan cadangannya 678 hektare tersebar diseluruh Kecamatan Ngaglik. Program ini juga mengantisipasi lahan-lahan yang disewakan petani secara bebas untuk dialihfungsikan. Apalagi lahan-lahan tersebut merupakan milik pribadi secara turun-temurun, hal inilah yang membuat pemerintah kesulitan dalam mempertahankan lahan. “Karena hak milik itu membuat kami kesulitan, karena nanti turun waris diberikan anaknya. Memang idealnya tanahtanah itu dikuasai oleh negara,” ungkap Sri. Program pemerintah Kabupaten Sleman untuk mempertahankan lahan-lahan pertanian tidak berhenti sampai di situ saja. Pemerintah juga memberikan hak yang istimewa kepada petani yang mampu mempertahankan lahan pertaniannya. Pajak bumi untuk lahan pertanian yang memberatkan petani dicoba untuk dikurangi. “Pemerintah daerah Sleman ingin memberikan reward kepada petani yang berhasil mempertahankan lahan pertanian akan dipotong pajak. Berapa persen yang dipotong masih proses karena ini masih sosialisasi,” ungkap Heribertus Sutrisno, Kepala Seksi Pemerintah Kecamatan Ngaglik. Beribu macam cara dilakukan pemerintah untuk mempertahankan gempuran pembangunan di Yogyakarta. Sebab pembangunan ini dilakukan pada lahan-lahan produktif pertanian. Di satu sisi pemerintah ingin memajukan daerah Yogyakarta yang kini fokus pada bidang pariwisata, tetapi di sisi yang lain pemerintah tidak ingin kehilangan pemasukan daerah dari sektor pertanian. “Jadi harapan kita meskipun dengan lahan yang terbatas tetapi produksinya tetap tinggi,” ucap Sri.

Martinus Danang Pratama Wicaksana

natas

15


LAPORAN UTAMA

Meneropong Lebih Jauh Desa Mangunan

K

eberadaan pariwisata Bantul mulai membangkitkan gairah bagi para penggiat pariwisata, dan pelaku wisata untuk saling melirik satu sama lain. Hal ini dibuktikan melalui antusiasme masyarakat yang semakin memuncak dalam bertandang ke tempat-tempat wisata. Beragam objek wisata yang bermunculan di Kabupaten Bantul telah menarik wisatawan domestik untuk mencicipi keindahan pariwisata yang disuguhkan. Pada tahun 2015, data statistik pemerintah Bantul menunjukkan, wisatawan domestik naik sebesar 9,6%. Di samping itu, tahun 2015 pula, sektor

16

natas

pariwisata menyumbang sebanyak 2,85% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bantul. Hal tersebut tidak lepas dengan munculnya desa wisata yang banyak memberikan pengaruh bagi perkembangan pariwisata Bantul. Berdasarkan data statistik daerah Kecamatan Dlingo, Desa Mangunan merupakan salah satu desa yang memiliki potensi besar dalam bidang wisata. Berakar dari Pemikiran Abstrak Ditempuh dengan kendaraan bermotor, perjalanan menuju Desa Mangunan memakan waktu sekitar satu jam. Dari pusat Kota Yogyakarta, jalan


LAPORAN UTAMA Beberapa tahun silam, objek wisata hutan pinus adalah hamparan perkebunan kayu putih. Merasa manfaatnya kurang menjanjikan, Widodo menceritakan, perkebunan itu lalu diganti dengan pohon pinus yang dapat disadap getahnya. Seiring waktu, perkebunan pinus itu justru disambangi para remaja tanggung untuk berduaan. Pemandangan tersebut mengundang rasa penasaran seorang anak laki-laki yang ada di sekitaran tempat itu. Ia pun membuntuti mereka. Widodo saat itu sedang berada di tempat yang sama, kemudian menghampiri anak itu. Sambil memantik korek, Widodo mengisahkan lagi, dirinya memberi anak itu uang lima ribu dan menyuruhnya mengerjakan sesuatu. “Nak, ini ambil, tapi kamu tidak boleh ngikutin dan ngintip orang

Salah satu spot di Rumah Hobbit yang digunakan untuk berfoto. Foto: Gabriella Anindita

alternatif yang dapat ditempuh melewati Jalan Imogiri dan diteruskan menuju Jalan Imogiri-Dlingo dengan jarak kurang lebih lima kilometer. Memasuki Desa Mangunan, sepanjang jalan hanya terlihat beberapa sepeda motor berlalu-lalang. Di jalan yang berkelokkelok itu terlihat seorang wanita paruh baya tampak bungkuk menggendong kumpulan rerumputan yang didapatnya. Sisi jalan yang lain didominasi oleh tokotoko kelontong dan penjaja bensin eceran. Selang beberapa meter, tampak bangunan berwarna kuning berdiri kokoh sambil bertuliskan berbagai destinasi wisata seperti Hutan Pinus, Kebun Buah, Goa Gajah dan Kaki Langit. Tak jauh dari situ adalah rumah milik Widodo, Ketua Kelompok Sadar Wisata (PokDarWis) Bantul. Ditemui di kediamannya, ia bercerita panjang lebar mengenai perkembangan pariwisata desa yang telah lama diampunya. Menurutnya, eksistensi pariwisata Desa Mangunan bermula dari ide gila mengelola hutan pinus.

itu sedang apa. Tungguin saja motornya,” ujarnya. Kemudian, tanpa banyak pertimbangan ia membuat karcis sekadarnya menggunakan lintingan rokok, dan menarik biaya seribu rupiah bagi pengunjung yang datang ke hutan pinus. Harganya murah karena memang waktu itu hutan pinus masih polos. “Ada sepuluh orang yang datang waktu itu, lalu saya suruh anak itu menyimpan uangnya sebagai imbalan, karena dia sudah menunggui motor-motornya,” pungkasnya lagi. Melihat adanya timbal balik yang positif, Widodo mengajak kawannya, Suratman, untuk mempercantik hutan pinus dengan menyediakan tempat parkir. “Tapi nanti kita tidak akan untung, malah banyak ruginya karena kita pakai kantong sendiri,” ceritanya saat mewanti-wanti kawannya. Berawal dari situlah ia mencium adanya potensi bagi Desa Mangunan untuk semakin dikenal publik. Pintu Akses Munculnya Daerah Wisata Di sisi lain, Widodo menyadari bahwa hutan pinus berada di bawah naungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), maka ia tidak mengantongi izin apabila mengembangkan daerah tersebut secara personal. Katanya, solusi terbaik ialah dengan bernegoisasi dengan pihak provinsi – dalam hal ini adalah dengan Sri Sultan Hamengkubuwono

natas

17


LAPORAN UTAMA X. Ia menawarkan kepada beliau untuk meninjau Desa Mangunan, agar dapat dikembangkan menjadi daerah wisata. Setelah lampu hijau berhasil didapat, langkah berikutnya adalah koordinasi dengan Resort Pengelolaan Hutan (RPH) dan Dinas Pariwisata Bantul. Ketua Pok Darwis ini mengungkapkan bahwa pengelola desa wisata perlu didirikan sehingga kegiatan pariwisata dapat terorganisir lebih optimal. Hal senada juga disampaikan Tanti yang menjabat di Bidang Pemasaran dan Kemitraan Dinas Pariwisata Bantul. Beliau menegaskan bahwa selain adanya potensi yang merupakan pondasi berdirinya daerah wisata, masing-masing pedukuhan juga harus memiliki pengelola desa wisata. “Percuma kalau ada potensi tapi tidak ada yang mengelola,” ungkapnya. Di Desa Mangunan pengelola desa wisata hadir di enam dusun diantaranya: Cempluk, Mangunan, Sukorame, Lemahbang, Kediwung, dan Kanigoro. Widodo mengambil contoh beberapa dusun. Dusun Cempluk kondang dengan wisata budaya napak tilas Sultan Agung yang berada di objek wisata Watu Goyang. Dinamakan Watu Goyang karena terdapat batu yang akan bergoyang jika dihentak, namun tidak jatuh ke dalam jurang. Diresmikan 31 Desember 2016 silam, tempat ini menjembatani setiap kesenian budaya yang dimiliki Pedukuhan Cempluk seperti wayang, taritarian, karawitan, jathilan, dan ketoprak. “Mayoritas pemainnya merupakan penduduk setempat,” imbuhnya. Ciri khas berbeda ditemui Desa Wisata Songgo Langit, yang terletak di Dusun Sukorame. Masih berada di sekitaran hutan pinus, objek wisata ini lekat dengan pertanian dan keindahan panorama sebagai daya tariknya. Selain itu, Desa Wisata Songgo Langit terkenal akan usaha anyaman bambu. Sesuai namanya, tempat ini dihiasi dengan bebatuan raksasa yang berada di kawasan hutan pinus. Widodo menjelaskan bahwa pengelola desa berinisiatif membuat spot foto seperti rumah kurcaci (hobbit), rumah kayu, jembatan kayu, dan lain-lain – agar pengunjung dapat memanfaatkannya ber-swafoto. Desa wisata lain terdapat di Goa Gajah yang

18

natas

merupakan wisata peninggalan nenek moyang. Di desa ini, kesenian reog dan souvenir rangka keris menjadi andalan. Menurut Widodo, wisata goa sempat booming di era 80-an, namun kini wisata tersebut terkesan kurang menarik bagi generasi milenial. Sambungnya lagi, di penghujung tahun 2016, Kaki Langit menyusul menjadi desa wisata dengan varian destinasi seperti outbound, kuliner, pendidikan, dan selembrang (salah satu wisata alam dengan konsep kolam alami yang dipenuhi dengan bebatuan besar). Sarana Pembangunan Desa Ketua PokDarwis ini menyatakan ada dua instansi yang menangui desa wisata, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, dan Koperasi Notowono. “Pemasukan dari desa wisata dipisahkan dengan asumsi pembagian 25% untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY, dan 75% untuk Koperasi Notowono,” jelasnya Kemudian koperasi menentukan bagian-bagian pendapatan desa, yang nanti akan masuk menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Widodo menuturkan untuk wisata yang langsung dikelola oleh masyarakat, pembagiannya menjadi 5% untuk desa, dan 95% untuk pemberdayaan desa wisata maupun pengembangan destinasi. Peran Dinas Pariwisata dan Masyarakat Mengacu pada Perda Kabupaten Bantul No. 18 Tahun 2015 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan daerah (RIPPARDA Kabupaten Bantul) pasal 26, masyarakat berperan mengembangkan potensi melalui sosialisasi, pelatihan, bimbingan, dan pendampingan. Tanti menjelaskan mayoritas profesi masyarakat Mangunan dulu adalah sebagai petani atau buruh, maka jika terjun ke pariwisata mereka harus dibekali pengetahuan yang mencukupi. Lebih lanjut Tanti menjelaskan, salah satu pelatihannya adalah membimbing masyarakat membuat thiwul namun dengan bentuk yang lebih bervariasi. “Pelatihan itu tidak harus membuat yang baru, tapi mengemas,” katanya. Menurut Supriyanto, Kepala


LAPORAN UTAMA

Rumah Seribu Kayu Songgo Langit mulai dipadati wisatawan terutama kawula muda. Foto: Gabriella Anindita

Dinas Pariwisata Bantul menukaskan, masyarakat juga dibekali oleh dinas tentang pengetahuan dasar seputar pariwisata, terutama bagi masyarakat yang memiliki usaha homestay. Ia memaparkan bahwa setiap homestay diharuskan memiliki kloset duduk, entah itu homestay komunal maupun individu. Pesatnya arus perkembangan wisata sewaktuwaktu dapat menyebabkan pangsa pasar meredup, maka inovasi selalu dibutuhkan agar wisata tidak monoton. “Bisa melalui event atau outbound. Sesuai dengan ciri khas masing-masing saja, agar muncul keberagaman, tidak itu-itu saja yang muncul,’’ tutur Tanti. Ratusan Tawaran dari Investor Industri pariwisata akan tetap bersinar selama pengelola bisa menghadirkan inovasi baru di setiap potensinya. Terbatasnya modal tidak berarti roda perekonomian harus murni jatuh ke tangan asing. Berdasarkan RIPPEDA Bantul pasal 11 (f), pembangunan destinasi pariwisata meliputi salah satunya peningkatan investasi. Widodo menyampaikan, investor yang ingin menjalin kerjasama dengan Desa Mangunan sudah mencapai ratusan, namun hampir semuanya ditolak. Sebagai ketua PokDarWis, ia menegaskan bahwa perjanjian kerjasama hanya dapat disepakati apabila terikat saling untung di kedua pihak. Nilai

pemberdayaan masyarakat menjadi kunci utama. Pemberdayaan yang dimaksud dapat berupa pelatihan memasak, bahasa Inggris, ataupun pengetahuan di bidang pariwisata. “Jika investor kerja di sini, tapi orang-orang saya cuman nonton, no!” kata Widodo. “Saya tidak mau masyarakat desa jadi pengemis di tanah sendiri. Tapi jika pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan, peluang masih terbuka lebar bagi investor,” sambungnya. Dialog Sebagai Rutinitas Widodo mengungkapkan salah satu syarat mendirikan desa wisata adalah dengan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Dalam mewujudkan hal itu, sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata Bantul, secara konsisten ia berkumpul dengan beberapa tokoh untuk menyatukan pemikiran dan menuangkan kendala yang dihadapi. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai paham arti wisata dan manfaatnya. Widodo berseloroh, terkadang ada dialog yang berlangsung tidak masuk akal. Walaupun begitu, ia tetap mengapresiasi dan tidak menyinggungnya. “Sekali tersinggung, bubar,” ujarnya. Dialog tidak hanya berlangsung bagi masyarakat setempat. Ia kembali menjelaskan, bahwa orang luar dari Jepang, Hongkong, Malaysia, dan Thailand juga datang untuk bertukar ilmu mengenai pariwisata. Gabriella Anindita Kusumasputri

natas

19


LAPORAN UTAMA

Eksotisme Desa Festival

S

emilir angin berhembus menerpa pepohonan, tampak beberapa penjual menawarkan dagangan di bawah rindangnya pohon beringin. Senyum dan tawa menyelimuti wajah mereka, bercengkrama bersama dengan para pembeli dagangan. Salah satu pemandangan yang menghiasi desa wisata Kabupaten Sleman. Seiring berjalannya waktu Kabupaten Sleman memiliki objek pariwisata yang berpengaruh bagi pengembangan desa. Sebagaimana yang dipaparkan Kus Enarto selaku Kepala Seksi Analisa Pasar, Dokumentasi, dan Pariwisata Kabupaten Sleman, bahwa tempat-tempat wisata berdampak pada perkembangan desa. “Seperti jajaran kompleks candi, maupun pertanian yang kini dapat dijadikan sebagai tujuan objek wisata baru,” tuturnya.

20 natas

Kus Endarto menjelaskan kehadiran desa wisata di Kabupaten Sleman diharapkan dapat menambah daya tarik turis untuk berkunjung. Desa wisata memberikan paket-paket wisata berbasis kebudayaan, kesenian, keterampilan, dan permainan alam. Salah satu contohnya, Desa Wisata Brayut yang berada di Pandawaharja, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman. Catur Sarjumiharta selaku Kepala Desa Pandawaharja menuturkan, bahwa desa tersebut merupakan perpaduan antara desa budaya dan desa wisata. “Jika desa budaya mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, desa wisata menjual kantong-kantong budaya yang ada,” jelasnya. Catur juga menuturkan bahwa hal tersebut menyebabkan Desa Pandawaharja cocok untuk dijadikan tempat penyelenggaraan suatu acara. Ada beragam acara yang kian menyemarakan Desa


LAPORAN UTAMA Menurut Catur, menyelenggarakan festival di desa wisata tentu menambah warna suatu desa. Salah satu contohnya adalah Festival Ngayogjazz. Meskipun pada mulanya Ngayogjazz dilaksanakan di padepokan milik Djadug Feriyanto, tetapi pada tahun selanjutnya selalu diadakan di desa wisata. Pada tahun 2007 Djadug untuk pertama kalinya menggelar Ngayogjazz, Festival Ngayogjazz yang pertama terbilang sukses sehingga Djadug berniat untuk mengadakan Ngayogjazz pada tahun-tahun berikutnya. Kemudiaan katanya, pada tahun 2008 Ngayogjazz diselenggarakan Desa Wisata Tembi, Sewon, Bantul. Pemerintah Kabupaten Bantul mendukung sepenuhnya acara ini melalui Dinas Pariwisata

Suasana kemeriahan Ngayogjazz 2016 Sumber: www.gudeg.net

Pandawaharja diantaranya: Jambore Sekolah Sepak Bola (SSB) dan Pekan Buaya Sadran Agung. Ia mengatakan acara yang diselenggarakan merupakan kegiatan terbesar di Desa Pandawaharja. Festival di Yogyakarta hadir dari awal hingga akhir tahun. Hal ini terbukti dengan adanya para penggiat festival mengadakan forum dengan tujuan tidak memiliki jadwal yang bertabrakan. Djadug Feriyanto, salah satu penggagas Festival Ngayogjazz mengatakan bahwa setiap festival saling berhubungan dengan festival yang lainnya. “Untuk musik ada beberapa yang harus kita temani, di samping ada Ngayogjazz juga ada Pasar Keroncong,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa Pasar Keroncong merupakan acara musik keroncong yang diselenggarakan di Kota Gede selama dua tahun terakhir. Secercah Festival di Desa Wisata

dan Budaya dengan pemberian fasilitas prasarana. Komunitas Gabusan, Manding, Tembi (GMT) dan Warwick Purser selaku tokoh masyarakat Tembi juga memberikan dukungan dengan menghadiri acara Ngayogjazz. Djadug memilih desa wisata sebagai tolak ukur seberapa jauh dan dalam selera musik jazz di masyarakat pedesaan – karena aliran musik tersebut identik dengan kota-kota besar. Dengan adanya Ngayogjazz, Djadug berkeinginan untuk dapat lebih mengenalkan musik jazz kepada masyarakat. Pada tahun-tahun berikutnya pagelaran tetap dilaksanakan di desa wisata, ia beralasan bahwa desa wisata memiliki suasana alam yang masih asri dan kental akan nilai kebudayaan, sehingga menjadi unik saat diadakan di desa. Sembari menghisap rokoknya, Djadug memaparkan bahwa tempat penyelenggaran Ngayogjazz memiliki beberapa kriteria. Kriteria yang pertama adalah masyarakat yang mendukung. “Jika masyarakat sudah terlebih dahulu beranggapan buruk akan musik jazz, walaupun desa wisatanya sangat mewadahi, kita tetap tidak bisa memaksakan dan harus cari tempat lain,” ungkapnya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk melancarkan suatu acara membutuhkan koordinasi yang baik dengan masyarakat sekitar. “Kriteria yang selanjutnya adalah tempat yang tersedia di desa, seperti

natas

21


LAPORAN UTAMA lahan untuk parkir, tempat untuk mendirikan panggung sekaligus tempat bagi penonton untuk menyaksikan acara,” imbuh penggagas Ngayogjazz itu. Esensi Setiap Festival di Desa

masyarakat tidak sekedar keuntungan ekonomi dari membuka lapak untuk berdagang atau sebagai juru parkir, melainkan masyarakat mendapatkan nilai kepercayaan diri akan desa wisatanya.

Menurut buku karangan Spillane berjudul Pariwisata Indonesia disebutkan bahwa, pemanfaatan desa untuk ruang eksplorasi dan wahana kreativitas tentu menambah nilai bagi suatu desa untuk menjadikan sesuatu yang eksotis. Selain itu dituliskan pula, sesuatu yang eksotis bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak dikenal, tetapi secara samar dipahami oleh masyarakat. Dalam buku tersebut, eksotisme yang ditawarkan dalam desa wisata pada intinya menggiring ke dalam suatu penjelajahan dan penemuan baru – layaknya desa wisata yang dijadikan tempat suatu festival.

Djadug menganggap nilai kepercayaan diri suatu desa sangatlah penting. “Desa membutuhkan ruang eksistensi, butuh pengakuan, ketika kita melaksanakan suatu acara mereka merasa ruang eksistensinya diakui,” pungkasnya. Ia berharap selanjutnya ketika warga desa membuat acara sendiri, walaupun bersifat lokal mereka sudah memiliki rasa percaya diri, pengalaman, dan ruang eksistensi yang telah diakui.

Melalui penuturan Djadug, dijelaskan pula bahwa festival yang diselenggarakan di desa belum lazim. Namun ia menginginkan suatu inovasi baru. “Memang banyak orang bertanya kenapa yang dipilih malah desa,” tukas Jadug saat ditemui di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.

padukuhan yang terlibat saat pelaksanaan festival. Catur beranggapan pada saat Ngayogjazz tahun 2015 membawa dampak yang sangat baik bagi kerukunan masyarakat sekitar Pandawaharja, karena melibatkan lebih dari satu pedukuhan antara lain: Nggabugan, Pajangan, Berkisan, Tlacap, Nggrojogan, dan Sagan.

Ia memiliki tujuan sendiri dari diadakanya Ngayogjazz di desa-desa terlebih desa wisata. “Supaya masyarakat sekitar desa mendapatkan timbal balik dari acara Ngayogjazz,” jelasnya. Menurutnya, timbal balik yang didapat

Masyarakat terlibat menyukseskan festival tersebut dengan ikut tergabung menjadi panitia yang terdiri dari seniman, warga masyarakat, dan volunteer. Mereka bekerjasama dalam semangat yang positif tanpa terjadi perselisihan. Desa Pandawaharja menjadi desa yang kerap dijadikan gelarnya Ngayogjazz. Catur mengungkapkan bahwa desanya telah tiga kali menjadi tuan rumah Ngayogjazz. “Pada tahun 2012 dan 2014 Ngayogjazz berada di Brayut,

Meniti penuturan Catur, dampak lain yang dirasakan ialah jalinan interaksi intens antarwarga

Djaduk saat ditemui di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Foto: Dyas Putri Winayu

22 natas


LAPORAN UTAMA sedangkan 2015 berpindah ke Karang Tanjung dan Karang Kepuh,” katanya. Lalu pada tahun 2017 barulah Ngayogjazz berpindah ke Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean,” imbuhnya lagi. Djadug menganggap proses regenerasi menjadi alasan penting festival diadakan di desa-desa. “Proses regenerasi meliputi pergantian pengisi acara,” tuturnya. Ia berpendapat, masyarakat tentu akan membantu dan mendukung produk seni, sehingga para peregenerasi muda memiliki kesempatan berkarya di daerahnya, tanpa harus menunggu kesempatan di kota-kota besar. Hal tersebut sejalan dengan pengisi acara Ngayogjazz yang tidak menampilkan semua artis yang telah populer. “Ngayogjazz sebagai sarana untuk peregenerasi muda, agar dapat lebih dikenal masyarakat,” tuturnya lagi. Ngayogjazz memiliki pasar yang luas, hal itu dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang datang untuk meramaikan festival tersebut. Pada tahun terakhir Ngayogjazz yang diselenggarakan di Kwagon, jumlah pengunjung yang datang lebih dari 30 ribu orang. Dengan banyaknya jumlah pengunjung yang berdatangan, Djadug berharap juga dapat lebih mengenalkan desa kepada masyarakat. Terlebih jika suatu desa memiliki ciri khas, seperti Desa Kwagon yang mayoritas penduduk sekitar berprofesi sebagai petani dan pembuat genteng. Lebih lanjut Djadug menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh desa sendiri tidak semata-mata saat Ngayogjazz berlangsung, tetapi setelah Ngayogjazz digelar desa tersebut dapat menjual keunikannya dengan paket-paket wisata yang berbasis budaya dan lingkungan.

baru, mengenai segala bentuk permintaan hibah dan bantuan sosial telah dihapuskan. “Pemerintah tidak boleh memberikan bantuan dana kepada masyarakat, bantuan yang kita berikan harus selain dana, bantuan dapat berupa pelatihan, sarana, dan prasarana fisik,” tutur Kus. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011, pasal 22 Bab IV tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berbunyi, pemerintah daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada anggota atau kelompok masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah. Dalam peraturan tersebut disebutkan pula, bantuan sosial yang diberikan bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Dalam pasal 16 Bab I, diperjelas risiko sosial yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan sosial yang ditanggung oleh masyarakat sebagai dampak krisis sosial, ekonomi, politik, dan bencana alam – jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk. “Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan wasit, bukan para pemain serta sebagai katalisator yang mempercepat pelaksanaan suatu kegiatan,” jelas Kus.

Dyas Putri Winayu

Peran Pemerintah Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman mendukung beragam festival yang diadakan karena mampu menarik wisatawan. “Kami sangat mendukung setiap kegiatan yang diadakan masyarakat,” papar Kus saat dijumpai di Kantor Dinas Pariwisata Sleman pada Selasa (25/04) silam. Djadug juga sempat menjelaskan bahwa festival jazz-nya mendapatkan bantuan dana dari pemerintah sejak dua tahun terakhir. Namun mulai dari tahun 2016 mengacu pada peraturan yang

natas

23


ADVERTORIAL


MENIMBANG KKN USD

Ilustrasi: Yohakhim Ragil

natas 25


D

irektorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai kegiatan intrakulikuler. KKN merupakan kegiatan pengabdian masyarakat yang mendukung tujuan dalam konsep Tri Dharma di perguruan tinggi. Dalam penerapannya Tri Dharma terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Menurut data dari Pusat Kuliah Kerja Nyata (PKKN), Universitas Sanata Dharma (USD) telah melaksanakan KKN sejak tahun 1990-an, dengan sistem yang sama hingga saat ini. Selama kegiatan KKN para mahasiswa akan menjalankan live in, tujuannya agar dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat. Berdasarkan data dari website resmi PKKN, USD dijelaskan bahwa, melalui KKN mahasiswa diharapkan memiliki: kemampuan melakukan analisis sosial budaya, sehingga memahami persoalan yang dihadapi oleh

26 natas

masyarakat; pengalaman hidup langsung bersama dengan anggota masyarakat yang kurang beruntung; dan mampu bekerja sama dengan berbagai pihak dalam melaksanakan kegiatan. Program KKN Pada buku panduan yang berjudul Bahan Pembekalan KKN Reguler LIV, dituliskan bahwa kegiatan KKN dipilih sebagai kegiatan kurikuler untuk pembentukan karakter mahasiswa. Di dalam buku tersebut, disebutkan pula proses pembentukan karakter mahasiswa diharapkan dapat mengembangkan sikap kepedulian dan kemampuan berpikir kritis. Dengan itu, mahasiswa dapat belajar mengembangkan kemampuan untuk menilai dan menggali makna atas sebuah pengalaman hidup, yang akan bermanfaat bagi pengalaman-pengalaman hidup selanjutnya. Ditemui pada rabu (05/04) silam, Widanarto Prijowutanto selaku ketua PKKN menuturkan, USD telah melaksanakan KKN selama kurang lebih dua

Foto: Mahasiswa KKN Angkatan 53.

Menimbang Kinerja dalam Pengabdian

Para mahasiswa KKN membimbing anak-anak mengerjakan tugas di rumah Pak Dukuh.

LIPUTAN KAMPUS


LIPUTAN KAMPUS puluh tahun, tetapi pelaksanaannya hanya dilakukan di sekitar Yogyakarta. Belakangan ini PKKN berencana untuk melaksanakan KKN di luar pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun PKKN masih memiliki kendala, selain sistem dan pengawasan mahasiswa di sana. “KKN di luar daerah membutuhkan pendanaan yang dinilai tidak sedikit, dan PKKN belum memiliki solusi untuk kendala tersebut, sehingga bisa dibilang KKN di luar pulau Jawa masih sebuah rencana,” terangnya Dalam perbincangannya beliau juga menegaskan, bahwa pengabdian kepada masyarakat berarti peserta KKN mampu memberikan suatu program yang dapat membantu perkembangan daerah KKN. Program tersebut disusun sendiri oleh mahasiswa bersama dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Mahasiswa tidak diperkenankan untuk membangun berupa fisik seperti sekolah, puskesmas, jalan, jembatan, dan lain-lain. “Para mahasiswa diminta untuk lebih mengutamakan pembangunan sumber daya manusia yang berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat,” jelasnya Pada prinsipnya KKN bertujuan untuk membantu masyarakat memperoleh penghasilan bagi daerahnya sendiri, bukan sekedar pemberian dari mahasiswa. “Kami sendiri berharap mahasiswa mampu menerapkan slogan USD yaitu competence, conscience, dan compassion (3C), untuk menyatukan mahasiswa dengan masyarakat,” tutur Widanarto. Menurutnya, selama KKN mahasiswa akan mendapatkan beberapa hal yang diajarkan selama pembekalan. Seperti membangun kepekaan mahasiswa tentang kondisi masyarakat, dan memiliki rasa untuk berbagi. Selain itu, mahasiswa juga harus mampu mengetahui, mencari solusi, dan membantu dalam memecahkan masalah yang dialami masyarakat sekitar. “Jadi mahasiswa tidak hanya olah otak, tetapi juga olah hati,” lanjut Ketua PKKN itu. Di pihak lain, Damar Widjaja, salah satu DPL tahun 2017 mengatakan, pemberdayaan di sini lebih ke masyarakat. Mahasiswa meningkatkan kesejahteraan dengan modal keterampilan dan sumber daya yang sudah ada di desa tersebut. “Terkadang masyarakat tidak sadar atau tidak mau memanfaatkan sumber daya

yang sudah ada di desa mereka. Jadi, di situlah tugas mahasiswa untuk membantu dan mengolah sumber daya alam itu,” katanya. Dalam hal lain, pencapaian pengabdian masyarakat tahun ini dapat tercapai, meskipun waktu yang diperkenankan begitu sedikit. “Bisa dilihat dari pelatihan yang diberikan, memberi wawasan atau pengetahuan baru, dan mengajar untuk anak-anak sekolah. Banyak juga mahasiswa yang membantu dalam membuat pupuk organik dan pestisida organik,” jelas Damar yang ditemui di ruangannya. Pembagian jam kerja selama KKN Waktu KKN dari tahun ke tahun memang berubahubah, hanya saja peraturan jam kerja selama KKN tidak diubah, sehingga mahasiswa harus memenuhi jam kerja selama 240 jam dalam 25 hari. “Mahasiswa diberikan waktu 25 hari untuk menjalankan programnya, sedangkan observasi ke tempat KKN dilakukan di luar 25 hari dan tidak termasuk dalam jam kerja,” kata Damar. Di sisi lain, Istu yang merupakan mahasiswi Sastra Inggris mengatakan ada beberapa kelompok mengalami kendala selama KKN berlangsung. Waktu 25 hari yang diberikan kepada mahasiswa begitu singkat, sehingga sulit untuk memberikan kesan pengabdian bagi masyarakat. Seperti yang diungkapkan istu, program yang direncanakan memang selesai, tetapi jangka waktu 25 hari belum cukup untuk menjalin relasi dengan masyarakat. “Bagi kami 25 hari itu ternyata tidak cukup untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Kita harus kerja kurang lebih 10 jam dalam 1 hari, dan bagi aku itu agak tidak masuk akal,” tutur gadis yang baru saja menyelesaikan KKN-nya. Memenuhi waktu 240 jam kerja merupakan kesulitan yang dialami banyak kelompok-kelompok lain. “Bukan hanya di kelompok saya saja. Di kelompok lain juga banyak yang belum memenuhi itu, tetapi kami sesama DPL saling mengerti,” tutur Damar. Dia juga menambahkan, “Meskipun tahu sulit untuk mencapai 240 jam, peserta KKN tetap menjalani sewajarnya saja

natas

27


LIPUTAN KAMPUS dengan bekerja 8 jam perhari.” Damar mengaku ada beberapa kelompok yang dapat mencapai waktu 240 jam, hanya saja kelompok itu harus bekerja keras hingga ada yang jatuh sakit. Dalam evaluasi kemarin ia telah menyampaikan ketidaksetujuannya dengan estimasi waktu KKN yang harus mencapai waktu 240 jam kerja dalam 25 hari. “Sudah saya sampaikan dalam evaluasi kemarin dan sudah dibicarakan dengan rektorat. Makanya direncanakan KKN berikutnya akan ada lagi masa observasi dengan harapan masa observasi itu terhitung dalam jam kerja,” ungkapnya. Pola KKN di Fakultas Ada beberapa fakultas yang melakukan KKN sesuai dengan visi dan misinya, seperti Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Gregorius Adhytama yang sering disapa Egi, mahasiswa Program Studi (Prodi) Akutansi menuturkan, bahwa telah merasa nyaman dengan adanya Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang dilaksanakan oleh fakultas. “Terbilang murah dan cepat. Mahasiswa dapat menyelesaikan KKP dalam waktu dua minggu,” ungkapnya. Egi juga menjelaskan, KKP direncanakan oleh para panitia yang terdiri dari dosen dan mahasiswa yang telah menyelesaikan KKP. Pelaksanaan KKP memakan waktu 6 minggu, di mana 2 minggu untuk menyurvei tempat, 2 minggu pelaksanaan KKP, dan 2 minggunya lagi untuk pembuatan laporan akhir. KKN lebih fokus kepada pengembangan masyarakat, sedangkan KKP lebih mengutamakan pengembangan profesi sesuai dengan jurusannya. “Bukan berarti tidak ada pengabdian kepada masyarakat. Di sini kita 80% profesi dan 20% untuk masyarakat,” tuturnya. Ia melanjutkan, KKP dalam FE lebih menargetkan mahasiswanya untuk terjun langsung dalam unit kegiatan masyarakat.

Mahasiswa KKN selesai melakukan pengajaran di salah satu TK di Desa Hargomulyo, Kecamatan Srurulor. Foto: Mahasiswa KKN Angkatan 53.

Selaras dengan hal tersebut, Judha Jiwangga mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang telah mengikuti Pengalaman Praktik Lapangan (PPL), merasa nyaman dengan tidak adanya program KKN di fakultas. “KKN itu tidak optimal, hanya turun langsung ke desa dengan membangun infrastruktur dan lain sebagainya,” tutur lelaki yang sering disapa Jeje. “KKN di prodi PBSI ada, hanya saja lebih difokuskan untuk ke sekolah-sekolah. Hal itu lebih kontekstual dibandingkan dengan KKN,” tambahnya. Jeje menyebutkan jika dikaitkan dengan tujuan KKN untuk lingkup yang lebih besar, KKN di Prodi PBSI tidak memenuhi syarat pengabdian kepada masyarakat – karena FKIP hanya fokus pada sekolah. “Akan tetapi, apakah pengabdian kepada masyarakat hanya sebatas membangun sumber daya bagi masyarakat?” katanya. Pengabdian kepada masyarakat bisa dalam berbagai cara, tergantung dengan individu masing-masing. “Dia (mahasiswa) berpengabdian dengan membuat apa, dengan cara apa, itu sudah berpengabdian. Namun, itu tidak diwadahi oleh sistem universitas, seperti mendapatkan sertifikat. Dari situ muncul pertanyaan, apakah itu pengabdian atau kerja hanya dilandasi oleh sertifikat?” ujarnya lagi.

Fika Rosario Labobar

28 natas


LIPUTAN KAMPUS

Problematika KKN USD

D

alam buku yang berjudul Bahan Pembekalan KKN PPM Reguler LIV disebutkan bahwa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dimaksudkan untuk mengembangkan sikap kritis dalam menganalisis permasalahan dan potensi di masyarakat, serta mengembangkan kemampuan problem solving – mencari solusi menyelesaikan masalah. Dituliskan juga bahwa KKN diarahkan pada pengembangan potensi masyarakat, seperti pengembangan ilmu dan teknologi yang telah dipelajari secara interdisipliner, sehingga dapat mengembangkan nilai dalam visi yaitu menjadi pribadi yang dewasa, cerdas, dan peduli. Kepala Pusat Kuliah Kerja Nyata (PKKN) Universitas Sanata Dharma (USD), Sebastianus Widanarto Prijowutanto menuturkan, KKN merupakan salah satu mata kuliah yang membuat mahasiswa berdinamika secara aktif dengan masyarakat. Lanjutnya, mata kuliah KKN dapat mengembangkan karakter mahasiswa-mahasiswi USD menjadi lebih

Mahasiswa KKN melayani anak didik sekolah dasar untuk membaca dan meminjam buku. Foto: Mahasiswa KKN Angkatan 53.

humanis dan peka akan berbagai permasalahan di masyarakat sekitar. Widanarto mengatakan ada dua aspek proses pengembangan karakter mahasiswa pada KKN, yaitu pengembangan karakter profesional sesuai tuntutan akademik dan pengembangan karakter kepribadian yang selaras dengan visi universitas. “Kaitannya dengan KKN yakni, kegiatan pengembangan karakter profesional mahasiswa melalui pembelajaran konstektual di masyarakat, sedangkan pengembangan kepribadian mengacu pada pengembangan karakter mahasiswa yang memiliki kepedulian, terutama pada masyarakat kecil, lemah, miskin, terpinggirkan, dan difabel,” katanya. Ia menambahkan bahwa demi mencapai tujuan tersebut perlu dikembangkan KKN melalui program live in, untuk memberi kesempatan berinteraksi dengan masyarakat secara intensif. “Hal ini juga menjadi sarana bagi universitas mewujudkan bentuk kepedulian pada pengembangan masyarakat.”

natas

29


LIPUTAN KAMPUS Masalah Pembagian Kelompok Setiap desain implementasi operasional KKN, telah dirancang oleh pihak PKKN. Misalkan dalam pembentukan kelompok, Widanarto menyebutkan bahwa kelompok dibagi menjadi beberapa mahasiswa, bisa 7 – 9 orang dalam tiap kelompok. Ia menjelaskan pembagian kelompok KKN mempunyai prinsip pada lintas disiplin ilmu, sehingga dalam satu kelompok terdapat program studi yang berbeda. “Tujuannya agar para mahasiswa saling berbaur dengan prodi lain dan dapat menambah wawasan tentang hal yang belum dipahami. Berbeda-beda prodi, otomatis ilmu dan kajian yang dimiliki juga berbeda, sehingga diharapkan mahasiswa untuk saling bertukar pikiran mendapatkan banyak pemahaman,” ungkapnya. Selain dari prinsip tersebut, Widanarto menambahkan bahwa pembagian kelompok juga didasarkan pada keberagaman (agama, suku, dan jenis kelamin). Di sisi lain, pembagian kelompok dengan sistem tersebut ternyata tidak begitu baik bagi beberapa kelompok KKN. Pandu Wiyoga, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) menuturkan pembagian kelompok belum sepenuhnya merata. Ia mengatakan, bahwa di dalam kelompok hanya dirinya yang bisa menggunakan ‘motor cowok’. “Itu (pembagian kelompok) juga harus diperhatikan, hal kecil tetapi cukup berdampak. Apalagi ada jalan di sana yang tidak bisa dilalui oleh motor biasa,” tutur pria yang sering disapa Pandu. Sementara itu, Widanarto beranggapan jika harus mencari tahu seperti itu (variabel lain untuk pembagian kelompok) pihak KKN akan kerepotan. “Kami (PKKN) kesusahan bila harus membagi kelompok dengan memperhitungkan variabel yang lain semisal kemampuan, kekurangan, dan kelebihan mahasiswa,” tuturnya. Perubahan Sistem Pembekalan Pelaksanaaan KKN terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu pembekalan, observasi (analisis sosial), pelaksanaan program, dan evaluasi (refleksi). Pada tahap pembekalan, mahasiswa diberikan bekal untuk siap hidup bermasyarakat. “Para mahasiswa diharapkan

30 natas

dapat mengetahui visi misi universitas dan visi misi desa sehingga dapat mewujudkannya,” ungkap Kepala PKKN itu. Menurut Widanarto, pembekalan tahun ini akan dilakukan berbeda dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. “Pada tahun sebelumnya hanya dilakukan 2 hari sebelum observasi, sedangkan pada tahun ini pembekalan dilaksanakan sepanjang semester dengan perhitungan 120 jam. Satu atau dua kali setiap minggunya tergantung pada Dosen Pendamping Lapangan (DPL) masing-masing, karena mengikuti kurikulum yang baru,” tambahnya. Hal tersebut disebabkan pembekalan dalam waktu dua hari sangat kurang. Ia mengatakan, tujuan pembekalan dengan program yang baru agar mahasiswa lebih siap dan dapat mengenal anggota kelompoknya lebih dini. Basa-Basi Observasi Widanarto menyebutkan bahwa analisis sosial merupakan tahap metodologi yang dikembangkan untuk mengetahui dan mendalami realitas sosial. Menurutnya banyak hal dalam situasi sosial yang harus diketahui para mahasiswa pada saat observasi, antara lain masalah-masalah sosial, sistem sosial, lembaga-lembaga sosial, dan potensi sosial. Sementara menurut Pandu, observasi satu hari yang dilakukan tiap kelompok hanya dipandang sebatas basa-basi permisi tanpa ada penelitian mendalam seperti sifat masyarakat, kebiasaan di sana, kekurangan pada masyarakat, dan potensi masyarakat. Serupa dengan itu, Dian Oktavia mahasiswi Prodi Sastra Inggris menuturkan bahwa pembekalan itu hanya sekedar basa-basi biasa. “Seharusnya pembelakan dilakukan untuk lebih dekat dengan masyarakat, sebelum nanti terjun langsung di lingkungan,” ucapnya. Di samping itu, pada tahap observasi tahun lalu terdapat kejadian

Kepala KKN, Sebastianus Widanarto Prijowutanto saat diwawancarai tim natas. foto: Stefania Haban


LIPUTAN KAMPUS yang tidak diinginkan. Mahasiswa bernama I Made Dwi Kardiasa dan Anansi mengalami kecelakaan sepulang observasi. Sebelum pulang observasi, Made sempat menanyakan kepada kepala dukuh terkait jalur pulang yang jalannya lebih rata. Namun Made mengatakan, kecelakaan pun terjadi akibat masalah teknis kendaraan. Kemudiaan dari pihak PKKN bertanggung jawab untuk membiayai pengobatan. Menindaklanjuti kejadian tersebut, Made dan Anansi tidak diperkenankan mengikuti pelaksanaan program KKN karena kondisinya yang kurang memungkinkan. Made pulang ke Bali, sedangkan Anansi pulang ke Flores karena harus mejalani perawatan. Program KKN untuk Memanusiakan Manusia Sebelum penerjunan, mahasiswa di bawah bimbingan DPL merumuskan program yang akan disusun berdasarkan data yang diperoleh saat observasi. Menurut Widanarto program yang akan dilakukan, diharapkan berkelanjutan untuk menghasilkan produk sumber daya pada masyarakat. “Jadi misalnya tahun pertama pengolahan, tahun-tahun selanjutnya harus ada peningkatan, seperti pemasaran. Lalu program lima tahun itu ada peningkatan yang diharapkan masyarakat sudah berdaya dan mandiri,” terangnya. Program lima tahun tersebut dianjurkan oleh PPKN untuk berkelanjutan di setiap KKN. Di luar itu mahasiswa juga memiliki program kelompok. “Terdapat dua jenis program bagi mahasiswa yakni, program pokok dan program tambahan. Program pokok dilakukan untuk melanjutkan program KKN yang lalu, dan program tambahan dibuat mahasiswa itu sendiri dengan kelompok bersama DPL-nya,” jelas Widanarto. Widanarto menjelaskan bahwa pada prinsipnya KKN ditujukan untuk membantu masyarakat mencari dana bagi masyarakat itu sendiri, bukan sekedar mahasiswa yang mencari dana dan diberikan kepada masyarakat begitu saja. “Misalkan pada KKN yang lalu, ada masyarakat yang meminta untuk diajari tambal ban, maka KKN ke depannya akan mengusahakan program tersebut,” katanya. Ia mengungkapkan pihak PKKN senang jika masyarakat mendapatkan pengetahuan,

bukan hanya hasil produk. Sasaran Tempat KKN Selama ini, KKN di USD hanya dilaksanakaan di seputar daerah Yogyakarta. Widanarto menerangkan bahwa beberapa waktu yang lalu, ada pihak keuskupan dari daerah Kalimantan berharap agar KKN di USD diadakan di sana, melihat kondisi pedalaman Kalimantan yang masih minim akan pendidikan. Dengan adanya rencana demikian, ia menuturkan jika harus dilaksanakan ke luar wilayah Yogyakarta, masih memiliki beberapa kendala seperti sistem, pengawasan mahasiswa, dan aspek pendanaan yang dinilai tidak sedikit. “Kalau ke sana masih banyak yang harus dipikirkan, baik pengawasan mahasiswa maupun dana yang jumlahnya besar,“ tukasnya. Sejauh ini pihak PKKN pun belum memiliki solusi atas kendala tersebut, sehingga masih dikatakan suatu rencana dan belum berproses pada realisasinya. “Sebenarnya kalau mau, mahasiswa boleh mencari sponsor untuk KKN, tetapi bersifat lepas tanpa ikatan, dan tidak mengatasnamakan lembaga,” tutur Widanarto. Katanya lagi, jika keluar daerah pihak PKKN akan mencari dan menganalisis lokasi yang layak untuk dilaksanakan KKN dengan memperhatikan indikator kelayakan. “Misalkan wilayahnya jarang mendapat perhatian pemerintah, situasi yang minim, dan adanya keinginan masyarakat untuk mengembangkan potensi wilayahnya,” jelasnya. Ia menambahkan apabila sudah dinilai layak, maka dari pihak PKKN akan mengajukan surat permohonan kepada pimpinan wilayah. Kronologis Perubahan Program KKN Salah satu kelompok KKN angkatan ke53 mengalami kendala saat pelaksanaan program. Kelompok tersebut adalah kelompok yang diketuai oleh Dian Oktavia. Menurutnya, ada program kelompoknya yang dibatalkan, karena mengalami perselisihan dengan warga tempat KKN. “Ketika itu kami mengadakan sosialisasi program. Kemudian anggota kelompok saya pun dipanggil oleh kepala dusun dan ketua RT, karena kaget dengan rancangan yang telah dibuat,” ceritanya.

natas

31


LIPUTAN KAMPUS Lebih lanjut Dian mengatakan, pada awalnya beberapa tokoh masyarakat menyarankan untuk membangun balai dusun. Namun, ia tidak menyetujui karena dari pihak PKKN melarang ada pembangunan fisik. Oleh sebab itu, mereka membuat program lain yang akhirnya membuat beberapa warga protes. “Padahal kami tidak berkata ‘iya’ saat diminta membuat balai dusun,” ujar Dian dengan kesal. Menurut Dian, saat itu ada 3 – 4 tokoh masyarakat yang terus memaksa untuk melakukan program pengerjaan balai dusun. “Dalam hati saya, uang 3 juta mau dibuat apa, beli pasir aja kurang,“ katanya. Ia juga mengungkapkan, ketidaksetujuan jika harus menambahkan uang pada program. “Saya bilang ke teman-teman kalau buat program harus dari uang program, jangan sampai kita yang nombokin,” tegasnya. Dian menuturkan, anggota kelompoknya tidak setuju melaksanakan program pembuatan balai dusun. Namun, salah seorang bapak di sana melobi untuk menggunakan ½ dari uang program. Ia melanjutkan bahwa saat itu salah satu tokoh yang berkepentingan mengatakan untuk tidak memberitahu masyarakat lain, jika uang program hanya 3 juta rupiah. “Tapi saya tetap bilang ke warga, kalau uangnya hanya segitu,” katanya. Dian mengungkapkan bahwa bukan karena pelit, tetapi karena kelompok tidak mau memanipulasi data. “Dari awal juga pihak PKKN sudah menekankan, bahwa tidak boleh ada pembangunan fisik,” ujarnya. Namun katanya, salah satu bapak di sana menyepelekan dengan mengatakan bahwa hal itu dapat diurus seandainya ingin mendapatkan nilai bagus. “Itu mah gampang mbak, nanti uangnya masuk di kas kami, lalu kami bisa foto kegiatan-kegiatan yang mbak mau. Toh itu kan hanya sekedar formalitas,” katanya meniru ucapan salah satu bapak di lokasi KKN. Setelah itu, kelompok Dian ‘mendiami’ tagihan program pembuatan balai dusun tersebut selama satu minggu. “Tetapi ada salah satu teman kami yang dikejar-kejar dan terus ditanyakan terkait program itu. Kemudian selama kami diam, banyak juga program

32 natas

lainnya yang terlaksana. Jadi hanya ada dua program yang tersisa,” jelasnya. Menurutnya, setelah kejadian itu beberapa tokoh masyarakat ada yang marah dan mengatakan uang programnya nanti habis – tidak jadi membuat balai dusun. Selanjutnya, saat itu tokoh masyarakat memanggil anggota kelompok yang berasal dari suku Jawa terkait pembangunan balai dusun. “Padahal di dalam anggota kelompok ada orang Timur, mungkin karena orang Jawa sungkan,” ujar Dian. “Kami diancam, para warga mau demo di kampus, tetapi saya hanya tertawa dalam hati,” lanjutnya. Ia mengatakan jika anggota kelompoknya akan membantu untuk membuat balai dusun dengan meminta proposal, tetapi beberapa tokoh masyarakat yang sering ngotot itu tidak setuju. “Mereka (warga) terus mendesak agar membangun balai dusun dengan segera.” Di samping itu, Dian mengatakan karena masalah tersebut tetap berlanjut, ia meminta kepala PKKN untuk datang. “Kemudian kepala PKKN menjelaskan kepada masyarakat. Akhirnya masyarakat meminta agar uangnya dialihkan untuk arisan kambing – induk kambing diberikan pada satu keluarga, jika sudah beranak, maka induknya akan dilanjutkan ke keluarga selanjutnya, dan seterusnya,” katanya. Ia menyebutkan saat itu kepala PKKN menyanggupi, tetapi kelompoknya tidak mengetahui tempat para warga membeli kambing. “Kami (kelompok) hanya memberi uang dan beberapa warga yang membelinya. Pikiran negatifku ialah ada 3 – 4 orang yang sering ngotot itu untuk mengambil uangnya,” tegasnya. Dian mengungkapkan bahwa satu kesalahan PKKN tidak menjelaskan pada masyarakat jika konsepnya tidak sama seperti dahulu. “Dulu, semacam ada hibah, dan itu bisa membantu masyarakat dalam hal fisik seperti memasang lampu,” tuturnya. Ia mengatakan, lebih baik pihak PKKN sejak awal menjelaskan kepada masyarakat tentang konsep program KKN.

Konsita Belarosa R. Naen


GAUNG SUMBANG

Semangat MAGIS dalam Melayani “Tidak semua orang dapat melakukan hal besar, namun kita semua dapat melakukan hal kecil dengan semangat cinta yang besar.” (Bunda Teresa)

B

unda Teresa adalah sosok perempuan berdarah Albania yang pernah berkarya di kota Kalkuta, India. Pada tahun 1970-an, ia menjadi sorotan dunia

program-program KKN, para mahasiswa diharapkan untuk membawa perubahan pada lokasi penempatan kegiatan tersebut. Pada tahun 1971, KKN pertama kali dicetuskan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan

internasional karena telah mendukung nilai kemanusiaan dan advokasi bagi hak orang-orang miskin yang tak berdaya. Kongregasi Misionaris Cinta Kasih yang didirikan oleh Bunda Teresa menjadi pelayanannya terhadap orang-orang terpinggirkan. Kongregasi tersebut terus berkembang hingga kini. Ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra serta TBC. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang-orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat.

Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Suara Merdeka, 28 April 2014). Terdapat tiga tujuan yang diimplementasikan dalam regulasi KKN, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Pada 5 September 1997, Bunda Teresa menghembuskan nafas terakhirnya di kota Kalkuta. Manifestasi semangatnya dalam melayani masyarakat begitu besar, hingga banyak orang-orang mendukung untuk menjadi santa. Kemudiaan, ia pun mendapat beatifikasi dari Paus Fransiskus, setelah sebelumnya pernah menerima Nobel di tahun 1979 (CNN Indonesia, 3 September 2016). Pelayanan Teguh Anak muda sangat digencarkan untuk memiliki kemampuan leadership yang tinggi dalam semangat melayani. “Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang berani melayani,” kata Romo John Nugroho, seorang Jesuit yang pernah menjadi pamong saya di SMA Kolese De Britto tahun 2014. Berbicara soal pelayanan, Kuliah Kerja Nyata (KKN) menjadi hal yang paling dekat dengan kehidupan mahasiswa. Melalui

Universitas Sanata Dharma (USD) yang berada di bawah naungan Jesuit ini, menerapkan KKN sebagai program wajib. Tentu KKN adalah salah satu program kampus dari sekian banyak program lainnya, seperti voluntary teaching, live in sosial, penanaman bakau di pesisir pantai, dan lain-lain. Dalam hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan. Bagaimana program KKN di USD dapat menjadi sarana bagi mahasiswa-mahasiswi untuk menerapkan semangat MAGIS? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata MAGIS berarti memiliki sifat magi atau gaib, namun kata magi dalam bahasa Latin berasal dari kata magia yang berarti lebih, sehingga MAGIS dapat diartikan melakukan sesuatu secara mendalam. Hal tersebut didukung pula oleh Vincent J. Duminuco, S.J., pada bukunya yang berjudul Ignatian Pedagogy. Di dalam buku itu dijelaskan bahwa, para Jesuit memiliki kekhasan dibandingkan ordo-ordo Katholik lainnya, yakni memiliki semangat MAGIS untuk melakukan pekerjaan lebih baik dari sebelumnya – dalam rangka memuliakan nama Tuhan. Tentu hal ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan. Maka, para Jesuit melakukan latihan-

natas

33


GAUNG SUMBANG

Ilustrasi: Ahmad Nur Wahyudin

34 natas


GAUNG SUMBANG latihan rohani khusus, sehingga apa yang dikatakan hati nurani dapat selaras dengan yang dipikirkan dan menghasilkan aksi nyata berupa bela rasa pada orang lain. Kita sebagai mahasiswa USD juga memahami nilai tersebut melalui Competence, Consience, dan Compassion (3C). Dalam dinamika KKN, mahasiswa-mahasiswi USD ditetapkan untuk tinggal selama beberapa bulan di rumah keluarga angkatnya. Berdinamika bersama dengan rutinitas sehari-hari menjadi hal yang biasa. Semangat MAGIS dapat terlihat saat para mahasiswa berani keluar dari zona nyaman, menerima tantangan baru, dan mengerjakan sesuatu secara penuh. Sebagai contoh seorang mahasiswa yang berani membuka diri pada keluarga barunya, bukan karena takut diberi penilaian buruk oleh warga sekitar, tetapi karena pilihan bebas untuk mau bersosialisasi – setelah sadar sebelumnya ia merupakan seorang yang individualis. Tidak semua mahasiswa berani mengambil pilihan sedemikian rupa, mengingat bahwa mereka perlu mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bisa mengaktualisasikan semangat MAGIS. Jika diperhatikan lebih seksama, Bunda Teresa telah memulai semangat MAGIS semenjak ia membuat pilihan melayani orang-orang kusta di Kalkuta. Bukan sebuah ketidakmungkinan bagi Bunda Teresa untuk mengalami tekanan selama proses pelayanannya. Tentu risiko yang sangat besar, dapat terjangkit pada penyakitpenyakit di lingkungan tersebut. Dengan pelayanan yang teguh ia tetap menolong orang-orang terabaikan demi pengorbanannya terhadap sesama. Saat yang lain memilih menyelamatkan nyawa masing-masing, hal sebaliknya justru dilakukan oleh Bunda Teresa. Ia sadar bahwa korban-korban kusta perlu mendapatkan sentuhan manusiawi, selain dari segi materi. Melalui peristiwa yang dialami oleh Bunda Teresa, sesungguhnya kita sebagai manusia diajak untuk saling membantu dan melayani satu sama lain. Berkenaan dengan itu, kegiatan KKN juga mendorong para mahasiswa untuk memahami persoalan yang dihadapi masyarakat, dalam tujuan pengabdian. Pengabdian yang dimaksud ialah membantu dan melayani dengan hidup langsung di antara lingkungan

masyarakat sekitar. Hal tersebut pun, seyogianya dapat bermanfaat di kehidupan yang akan datang. Di Luar Tembok KKN Ada sebuah kisah menarik dari salah satu mahasiswa USD yang telah lama terjun menjadi volunteer tenaga pengajar di Pingit – sebuah pemukiman di Jalan Kyai Mojo, Bumijo, Jetis, Yogyakarta. Sebut saja Andi. Ceritanya demikian, suatu saat datanglah sepasang suami istri gelandangan yang meminta tempat tinggal di Pingit. Spontan Andi bertanya soal identitas pasangan tersebut beserta dokumen-dokumen resminya. Sayang sekali, mereka telah kehilangan itu semua. Maka sesuai kebijakan yang berlaku, sepasang gelandangan itu pun tidak dapat menetap di Pingit.

Hal ini diketahui oleh frater Jesuit yang sedang

bertugas menjadi pembina di tempat tersebut. Maka dicarilah pasangan gelandangan itu, dan ditemukan di dekat jembatan Kali Code. Frater pun memutuskan untuk membantu dan mengurus dokumen resmi pasangan gelandangan itu, lalu menitipkannya di Kolsani Gereja Kotabaru – untuk sementara waktu. Dalam proses tersebut, Andi pun ikut terlibat dan merasakannya secara langsung. Selama berbulanbulan ia berdinamika bersama, hingga pasangan tadi mendapatkan tempat yang layak. Menarik sekaligus ironis, ketika membenturkan pengalaman voluntary teaching yang dialami oleh Andi dengan dinamika KKN yang ada di USD. Andi tidak perlu mengikuti program KKN demi menerapkan semangat MAGIS. Ia hanya cukup menghadirkan niat lebih saat menjalani pelayanan. Hal ini membuktikan bahwa peran mahasiswa juga menjadi penting dalam keberhasilan aktualisasi nilai MAGIS. Di sisi lain, seorang penulis ternama, St. Kartono, pernah menjadi editor dalam buku yang berjudul Sekolah Gempa Sekolah Hati – catatan refleksi siswa-siswa SMA Kolese De Britto. Sebuah kenangan pahit masyarakat Yogyakarta akan gempa hebat yang melanda pada 27 Mei 2006 yang dibukukan dalam bentuk catatan reflektif. Hanya selang satu hari sesudah gempa, siswa-siswa SMA De Britto berinisiatif untuk melakukan bakti sosial pada korban-korban bencana.

natas 35


GAUNG SUMBANG Hal itu terwujud berupa posko bencana yang dibuka di SMA Kolese De Britto. Seluruh siswa menjadi relawan dalam melayani para korban, baik langsung di lokasi maupun di sekolah. Dengan menyediakan pakaian, tempat untuk tidur, mencarikan makanan atau minuman, dan lain-lain. Di sela-sela hiruk-pikuk itu, masih ada seorang siswa yang tidak tergerak hatinya, ia bernama Yudhistira. Yudhistira mengalami kebimbangan untuk bergabung dengan teman-temannya menjadi relawan. Inilah yang disebut para Jesuit sebagai dinamika batin. Proses dari dinamika batin dengan membuat pilihan bebas berdasarkan hati nurani ini yang disebut dengan conscience. Tentu sebuah refleksi, turut membantunya mengolah dinamika batin yang dialami. Hanya ada dua pilihan yang dihadapi, yakni soal individualisme untuk hanya berdiam diri di rumah atau memperjuangkan humanisme melalui aksi menjadi relawan. “Pada awalnya, aku merasa malas untuk menjadi relawan, bahkan berniat untuk pergi dari area sekolah guna menghindari tawaran tersebut. Akan tetapi, ucapan Romo Pamong tentang ‘man for others’ membangkitkan semangatku. Aku diajari untuk hidup bagi sesama, namun kini aku hanya memikirkan diri sendiri, lalu apa artinya pelajaran yang pernah aku dapat?” (Yudhistira, Sekolah Gempa Sekolah Hati, 200: 5) Serupa halnya dengan USD, SMA Kolese De Britto juga merupakan salah satu lembaga pendidikan di bawah naungan Jesuit yang menerapkan semangat MAGIS. Perbedaannya terletak pada program sekolah untuk merealisasikan semangat MAGIS di tiap individuindividu. SMA Kolese De Britto dengan program live in sosial dan USD dengan program KKN. Tidak jauh berbeda dengan KKN, live in sosial adalah sebuah program bagi para siswa kelas XI, untuk tinggal di rumah warga yang berlokasi di tempat-tempat tertentu. Seperti TPPA Bantar Gebang, Pemukiman Sawah di Jakarta Selatan, Pelabuhan Tanjung Priuk, dan lainlain. Perbedannya hanya pada waktu yang cenderung lebih singkat yakni satu minggu, namun misinya tetap sama yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

36 natas

Konvergensi antara Mahasiswa dan Universitas Pada dasarnya KKN di USD bertujuan untuk mewujudkan semangat MAGIS dalam bentuk pelayanan kepada masyarakat. Namun, hal itu hanya dapat terwujud jika ada sikap terbuka dari mahasiswa, untuk mau dibentuk melalui konflik-konflik batin yang bertentangan antara diri sendiri dengan lingkungan di sekitar KKN. Inilah yang menjadi catatan khusus bagi para peserta KKN dengan segala masalah yang dihadapi sebagai pengalaman berharga. Di samping itu, pihak kampus juga mengupayakan supaya program KKN dapat dijalankan secara kontekstual bagi setiap mahasiswa yang mengikutinya. Kontekstual berarti pengalaman selama KKN dapat memberikan pelajaran hidup bagi para mahasiswa yang berguna di waktu mendatang. Dengan demikian, tujuan KKN sendiri akan benarbenar tercapai jika terdapat sinergi dari pihak kampus maupun mahasiswa. Kampus bersinergi dengan cara mengkaji kembali efektivitas KKN dalam mengajarkan semangat MAGIS, sedangkan mahasiswa bersinergi dengan cara mengikuti proses dinamika KKN secara total.

Referensi: Kartono, St. 2007. Sekolah Gempa Sekolah Hati, Yogyakarta: SMA Kolese De Brito Soetomo, Greg. 2009. Semangat Lebih Yesuit, Jakarta : OBOR Sardi, L. A. 2006. Jesuit Magis. Yogyakarta: Kanisius Wikipedia, 2016. Sejarah KKN. https://id.wikipedia. org/wiki/Kuliah_Kerja_Nyata. Diakses: 01/04/2017, 16.45.

Atanasius Magnus Ayus Balistha


OPINI

PKM: WADAH TRANSFORMASI INTELEKTUAL DAN KARAKTER MAHASISWA Bagi sebagian mahasiswa pasti telah mengenal program Pengembangan Kreativitas Mahasiswa (PKM). Namun, apakah semua telah mencoba program ini?

P

rogram Kreativitas Mahasiswa merupakan salah satu pengembangan kegiatan mahasiswa yang membutuhkan kreativitas dan intelektual dalam berkarya. Mahasiswa di setiap universitas memiliki kesempatan mengembangkan diri untuk berkarya, sehingga karya itu dapat diakui oleh negara. Di samping itu, PKM salah satu usaha yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DITLITABMAS) Ditjen Dikti untuk meningkatkan mutu lulusan perguruan tinggi, agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis serta mengembangkan, menerapkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan – budaya Indonesia. Program Kreativitas Mahasiswa dilakukan pertama kali tahun 2001, setelah dilaksanakannya program restrukturisasi di lingkungan Ditjen Dikti. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sarat dengan partisipasi aktif mahasiswa, diintegrasikan ke dalam satu wahana yaitu PKM. Secara garis besar PKM dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu PKM Proposal Kegiatan yang meliputi PKM-P, PLM-M, PKM-K, PKM-T, dan PKM-KC yang disebut PKM 5 bidang, serta PKM Proposal Karya Tulis disebut PKM-KT. Pada awalnya, terdapat lima jenis kegiatan yang ditawarkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa, yaitu: (1) PKM Penelitian (PKM-P) ialah program penelitian untuk mampu menjawab berbagai macam permasalahan yang berkaitan dengan isu terkini dan masalah humaniora; (2) PKM Kewirausahaan (PKM-K) adalah program keterampilan mahasiswa dalam berwirausaha dan berorientasi pada profit; (3) PKM Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) adalah program penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam upaya peningkatan kinerja. Membangun keterampilan dan usaha, penataan serta perbaikan lingkungan sebagai penguatan kelembagaan

masyarakat, sosialisasi penggunaan obat secara rasional, pengenalan dan pemahaman aspek hukum adat dan lain-lain, baik formal maupun non-formal yang sementara ini dinilai kurang produktif; (4) PKM Penerapan Teknologi (PKM-T) merupakan program bantuan teknologi atau manajemen bagi industri berskala mikro atau kecil, menengah, bahkan skala besar – yang menyangkut kepentingan masyarakat luas dan sesuai kebutuhan calon mitra program; (5) Pengembangan Karya Cipta (PKM-KC) yaitu program penciptaan yang didasari atas karsa dan nalar mahasiswa, bersifat konstruktif serta menghasilkan suatu sistem, desain, model barang dan prototype. Sejak Januari 2009, Ditlitabmas mengelola enam PKM. Kompetensi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) yang semula menjadi tugas Dirketorat Akademik dalam pengelolaannya, dilimpahkan kepada Ditlitabmas. Hal tersebut disebabkan sifatnya yang identik dengan PKM-I, KKTM selanjutnya dikelola bersama PKM-I dalam PKM-Karya Tulis (PKM-KT). Dengan demikian, di dalam PKM-KT terkandung dua program penulisan, yaitu: PKM – Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM – Gagasan Tertulis (PKMGT). PKM-I atau selanjutnya disebut PKM-AI yang merupakan artikel hasil kegiatan, tidak lagi ditampilkan dalam PIMNAS, namun dimuarakan pada e-jurnal. Sedangkan PKM-GT yang berpeluang didiskusikan dalam forum terbuka, diposisikan sebagai pengganti PKM-AI di PIMNAS. Pada tahun 2011, jumlah bidang PKM bertambah menjadi tujuh dengan terbitnya bidang PKM-Karsacipta. PKM dialokasikan di Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat bagi seluruh perguruan tinggi melalui penyediaan dana yang bersifat kompetitif, akuntabel dan transparan. Cipta Karya dan Karsa Mahasiswa Setiap orang termasuk mahasiswa dianugerahi

natas

37


OPINI

ILUSTRASI: JULIA NOOR Abdillah

kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Mahasiswa juga diharapkan terbiasa melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, pengabdian, dan penelitian) agar semakin utuh jiwa kemahasiswaan dan berorganisasi. Dengan sendirinya setiap mahasiswa dapat mengasah kemampuan intelektual dan mengembangkan karakter diri, supaya kelak siap menghadapi segala tantangan di dunia kerja. Salah satunya PKM merupakan kegiatan yang sangat berpotensi bagi mahasiswa dan kemajuan program studi serta universitas, sehingga apabila semua mahasiswa diberikan kewajiban untuk melakukan PKM akan memajukan potensi diri dan pihak lainnya. Pada tahun 2016, Program Pengembangan Kepribadian dan Metode Belajar (PPKMB) dipusatkan kepada PKM dan tanpa mengurangi esensi dari PPKMB itu sendiri. Ini salah satu cara universitas untuk mengasah karakter sekaligus mengasah intelektual mahasiswa di Universitas Sanata Dharma (USD). Di dalam PKM sendiri terdapat unsur

38 natas

kecerdasan dan kreativitas yang di dalamnya terdapat tiga unsur yaitu: pikiran, perasaan, dan keterampilan. Semua mahasiswa di bidang atau jurusan apa pun dapat mencoba program ini. Mahasiswa dapat mengungkapkan semua pikiran, emosi, dan keterampilan yang dimiliki. USD diharapkan dapat memotivasi para mahasiswa, agar dapat mengambil kesempatan yang diberikan Dikti dengan PKM sebagai upaya peningkatan intelektual dan kreativitas mahasiswa. Beberapa hal yang menjadi kendala, tidak sedikit dari mahasiswa tidak atau belum mau mengambil kesempatan tersebut termasuk PKM. Banyak mahasiswa di seluruh univeristas di Indonesia khususnya USD belum menemukan makna atau keuntungan program tersebut, atau mahasiswa merasa kurang waktu untuk belajar. Sebagian mahasiswa USD menganggap bahwa waktu luang sebaiknya dihabiskan untuk hiburan atau sekedar refreshing, karena waktu banyak dihabiskan untuk kuliah dan mengerjakan tugas. Dengan demikian, mengikuti PKM dianggap hanya membuang waktu saja. Maka sangat tepat USD melakukan transformasi meski langkah awal ini dianggap sulit karena ketidaksiapan mahasiswa bahkan dosen sekalipun dalam mendukung PKM – yang juga terurai dalam PPKMB pada tahun ajaran 2016/2017. Perlu kesadaran bersama untuk menyukseskan program PKM di tingkat perguruan tinggi. Para dosen pembimbing perlu menetapkan komitmen dengan tugasnya dalam membimbing para mahasiswa di PKM dapat berkembang secara memadai, sehingga apabila ada kemungkinan tidak lolos pun para mahasiswa tetap mendapatkan manfaat dari segala upayanya. Intinya selalu menerapkan sikap membangun rasa optimis dan penuh kesungguhan dalam menjalankan program PKM tersebut. PKM tidak lagi menjadikan mahasiswa seperti katak di dalam tempurung, tetapi sebagai mahasiswa yang selalu terbuka pemikirannya untuk berani mencoba hal yang baru, mencoba untuk melihat dan mengambil kesempatan yang ada, serta mencoba untuk terlibat dengan kesempatan yang ditawarkan oleh USD melalui PKM. Maka apa yang dilakukan mahasiswa ialah tidak hanya mengedepankan nilai akademis, tetapi dapat mengembangkan pribadi yang berkarakter, pribadi yang berbudaya, pribadi yang bertanggung jawab sebagai ciptaan Tuhan yang humanis. Brigida Intan P, M.Pd. (Anggota TIM Manajemen PKM Universitas Sanata Dharma)


OPINI

Mahasiswa: Sikap Kritis yang Terkikis “Ya, hanya dari generasi mudalah dapat timbul perbaikan fundamental. Tapi, apakah generasi muda kita yang sudah terlanjur manja, hedonis, konsumeristik, hanya cari karier serta sudah diindoktrinasi selama puluhan tahun – agar takut berpikir sendiri, agar apolitis, mampu untuk membuat perubahan mendasar? Jawabannya tak diragukan. Bisa dan mampu!” (Y. B. Mangunwijaya)

P

andangan Romo Mangun yang tertera dalam buku Kata-kata Terakhir Romo Mangun, menunjukan betapa kuat keyakinannya terhadap kaum muda (mahasiswa) negeri ini. Romo Mangun memandang generasi muda, sebagai generasi yang dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh golongan tua. Namun dalam optimismenya terhadap generasi muda, terselip beberapa pertanyaan yang sangat fundamen. Beliau mempertanyakan loyalitas generasi muda untuk berani berpikir dan berkata secara kritis, atas segala kebijakan yang merugikan masyarakat. Akan tetapi, pada akhirnya ia meyakini, pemuda mampu melakukan kewajibannya sebagai seorang pemuda. Pemuda dalam benak beliau adalah, pemuda yang tidak manja, pemuda yang tidak hanya ada sebagai pemuda, melainkan pemuda tersebut haruslah meng-ada untuk masyarakat. Dalam pemaparan selanjutnya, saya akan mengganti diksi pemuda menjadi mahasiswa. Alasannya sederhana, semua pemuda belum tentu mahasiswa, dan semua mahasiswa belum tentu pemuda. Penggunaan diksi ini juga dimaksudkan, agar tidak muncul multitafsir tentang pemuda itu sendiri. Saya berpikir bahwa, diksi mahasiswa lebih tendensi kepada para pemuda yang memiliki kesempatan untuk mengecap dinamika di perguruan tinggi. Mahasiswa yang mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya, sudah seharusnya menjadi mahasiswa yang mencari dan mendapatkan ilmu. Bukan hanya pengetahuan yang diperoleh dari tahu saja. Mahasiswa yang telah mencari dan mendapatkan ilmu tersebut, selanjutnya menggunakan ilmunya untuk membantu masyarakat. Ilmu tersebut digunakan untuk mengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kampus dan pemerintah. Perlu diingat bahwa, pernyataan di atas tidak memiliki maksud untuk mendiskreditkan para pemuda yang belum sempat mengecap dunia perguruan tinggi. Di

belahan bumi manapun, sebuah era perubahan selalu dipelopori oleh kaum terpelajar. Dan dibelakang kaum terpelajar tersebut, berdiri barisan masyarakat lainnya. Setelah mengetahui sedikit dari banyaknya pandangan Romo Mangun tentang mahasiswa negeri ini, patutnya kita bertanya, bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Apakah esensi mahasiswa, bagi setiap pemuda-pemudi yang menyandang kalimat tersebut? Apakah mahasiswa selalu identik dengan bangku kelas? Apakah IPK merupakan subjek utama dalam dinamika sebagai mahasiswa? Apakah tugas mahasiswa hanya belajar? Ataukah, mahasiswa seharusnya berfungsi sebagai kontrol terhadap setiap kebijakan kampus dan pemerintah? Begitu banyak pertanyaan yang memenuhi benak saya, sehingga tidak mungkin saya tuangkan semuanya dalam tulisan ini. Setidaknya, beberapa pertanyaan tersebut dapat digunakan sebagai bentuk reflektif untuk mahasiswa dewasa ini. Mahasiswa yang telah keluar dari fitrahnya sebagai mahasiswa. Jas Merah Saya akan mencoba untuk mengajak para pembaca melihat fungsi-fungsi yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa. Jas Merah, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” begitu kata Bung Karno. Dalam melihat pergerakan mahasiswa di Indonesia, saya akan membaginya menjadi empat periodik. Pertama, mahasiswa pada era pergerakan nasional merupakan para pemuda yang memiliki semangat yang berapiapi dalam menentang dan menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa School tot Opleiding Van Inlandsche Arsten (STOVIA) memandang sikap kolaborator Soekarno sebagai sesuatu yang salah. Para mahasiswa STOVIA mengkritisi sikap Soekarno, (terlepas dari sikap Soekarno yang ingin menyelamatkan lebih banyak nyawa masyarakat Indonesia) yang terkesan membiarkan masyarakat Indonesia – dijadikan pekerja paksa (romusha) demi kepentingan Jepang. Selanjutnya,

natas

39


OPINI para pemuda kembali menunjukan tajinya. Peristiwa Regasdengklok merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah negara ini. Peristiwa ini dikatakan penting karena, para pemuda memaksa Soekarno dan Hatta untuk secepatnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kedua, mahasiswa pada masa orde lama. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, bukan berarti Indonesia terlepas dari masalah. Secara perlahan, timbul masalahmasalah yang merugikan masyarakat kecil dan menguntungkan yang berkuasa. Para mahasiswa melihat Soekarno sebagai sosok yang tidak lagi demokratis. Demokrasi terpimpin yang diterapkan oleh Soekarno, bukanlah sebuah demokrasi, demikian yang di katakan Soe Hoe Gie. P a d a tahun 1960-an, para mahasiswa melakukan berbagai aksi guna menuntut Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk dibubarkan. Dan mahasiswa juga yang secara intens

pada saat itu, ditunggangi oleh kepentingan politik. Akan tetapi, sikap kritis dan berani sebagai seorang mahasiswalah yang kita lihat. Ketiga, mahasiswa pada pemerintahan Orde Baru. Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) yang terjadi pada tahun 1974, menggambarkan sikap mahasiswa yang menolak masuknya investor asal Jepang. Mahasiswa kembali turun ke jalan dan melakukan berbagai aksi untuk menolak kebijakan pemerintah. Akibat aksi tersebut, pemerintahan orde baru yang otoriter, mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak mahasiswa. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru, telah mencederai demokrasi di Indonesia. Pemerintahan orde baru yang sarat akan KKN dan memerintah secara otoriter, membuat mahasiswa menjadi geram.

Peristiwa 1998 merupakan akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia selama kurang lebih 32 tahun. Krisis yang melanda negeri ini, dan diperparah dengan sistem pemerintahan meneriakan yang tirani, menjadi salah satu faktor agar Soekarno meletusnya peristiwa bersejarah. Ilustrasi: Yohakhim Ragil harus turun Mahasiswa memiliki peran besar dalam dari tampuk menggulingkan pemerintahan tirani. Mahasiswa pada kekuasaannya. ketiga periode tersebut, merupakan para mahasiswa Soekarno dipandang sebagai sosok yang tidak hanya berkuliah dan menjadikan IPK sebagai pemimpin yang tidak lagi merakyat. Dia bersenang- “Tuhannya�. Mahasiswa pada masa tersebut, memiliki senang dengan para wanita, sedangkan seratus meter di sebuah kepercayaan bahwa, mereka adalah rakyat. Jadi depannya, rakyatnya memungut makanan dari tempat sudah seharusnya mereka berdiri dan bersuara untuk sampah untuk di makan. Demikian Gie mengambarkan segala kebijakan yang merugikan rakyat. kemiskinan masyarakat pada saat itu, dan menyidir Akan menjadi sebuah kenaifan, jika kita sebagai sikap Soekarno. Mahasiswa yang terhimpun dalam pemuda dewasa ini, hanya memuji-muji idealisme Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), secara mahasiswa-mahasiswa di waktu yang silam. Itu adalah intens menuntut agar Soekarno turun, menemui masanya mereka, mereka telah berbuat sesuatu untuk keberhasilannya. Walaupun kita akui, mahasiswa masanya. Mereka telah melakukan tugasnya sebagai

40 natas


OPINI mahasiswa. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Bagaimana dengan mahasiswa sekarang? “Apakah generasi muda kita yang sudah terlanjur manja, hedonis, konsumeristik, hanya cari karier serta sudah diindoktrinasi selama puluhan tahun agar takut berpikir sendiri, agar apolitis, mampu untuk membuat perubahan mendasar?” Demikian kata Romo Mangun. Pertanyaan Romo Mangun, telah terjawab lewat sikap sebagian besar mahasiswa negeri ini. Mahasiswa yang beranggapan bahwa, tugas mahasiswa hanya belajar dan belajar. Melihat geliat mahasiswa sekarang, membuat saya menjadi miris. Mahasiswa era sekarang tak ubannya seperti rombongan bebek yang patut dan tidak berani melawan terhadap tuannya. Kenapa mereka tak berani melawan? Jawabannya yaitu IPK. IPK bagi mahasiswa dewasa ini, adalah “Tuhannya” dalam bidang akademik. Mahasiswa yang dikenal sebagai pemikir yang kritis, justru menjadi mahasiswa yang (kritis) berpikir. Kritis dalam hal literasi dan kepekaan sosial. Sikap anti terhadap literasi, membuat mahasiswa sekarang menjadi sosok yang “pendiam”. Diam merupakan wujud lain dari kematian itu sendiri, demikian kata Pram. Mahasiswa sekarang terlalu senang dengan dunianya, sehingga dia melupakan esensi awal seorang mahasiswa. Mungkin mereka (mahasiswa) telah lupa, bahwa eksistensi mereka sebagai seorang mahasiswa, ada berkat masyarakat. Berkaca dari sikap mahasiswa sekarang, saya langsung menghubungkan pola pikir mereka dengan setiap pesan yang diberikan oleh orang tua kita. Pesan berupa anaknya harus rajin belajar. Dalam persoalan ini, saya tidak menyalakan orang tua kita. Yang menjadi permasalahan ialah, pola pikir mahasiswa yang menerima pesan tersebut secara lurus. Dalam artian, mahasiswa memegang pesan dari orang tuanya sebagai sesuatu yang harus dijalankan, sehingga belajar dan belajar, merupakan tujuan mereka selama berkuliah. Saya juga menyadari, belajar merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Namun, menjadi cukup naif jika mahasiswa hanya belajar dan melupakan tugasnya sebagai kaum yang katanya memiliki intelektual dan sikap kritis. Perlu diingat, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh dalam bangku akademik, melainkan di lingkungan masyarakat sekitar, juga tersimpan ilmu pengetahuan yang mungkin tidak diajarkan, dalam dinamika ruang kelas. Pernyataan tersebut akan dikatakan objektif, jika para mahasiswa memandang sebuah dinamika pencarian ilmu, sebagai upaya untuk

memperbaiki manusia Indonesia. Namun akan menjadi sebuah subjektivitas, ketika mahasiswa melihat ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk memperoleh nilainilai kebohongan dalam secarik kertas yang penuh kebusukan. ‘MAHA-siswa’ pada era sekarang, patutnya berefleksi diri. Apakah mereka pantas disebut sebagai mahasiswa? Apakah mereka pantas disebut sebagai pemuda yang kritis? Mahasiswa yang hanya akan belajar ketika akan menempuh ujian, merupakan mahasiswa yang munafik. Dia adalah individu yang “me-lajur-kan” diksi mahasiswa. Mahasiswa yang hanya sibuk dengan dunianya dan menutup mata atas segala persoalan disekitarnya, merupakan mahasiswa yang keblinger. Mahasiswa yang hanya kuliah pulangkuliah pulang, tidak ada bedanya dengan babi di hutan (maaf). Mengapa demikian, karena dia (mahasiswa) tidak menggunakan ilmu pengetahuan yang dia peroleh untuk melihat sebuah permasalahan. Dia cenderung apatis dan menganggap negara ini amanaman saja. Dan hal tersebut tidak ada bedanya dengan babi hutan yang hanya mencari makan, tanpa melihat situasi disekitarnya. Yang dia tahu, hanyalah dia harus kenyang. Soesilo Toer berkata, bukan di mana Anda berkuliah, tapi bagaimana anda belajar. Kakaknya pun berkata, keberanian merupakan sesuatu hal yang kita punya, jika tak punya itu, apa arti hidup ini. Mahasiswa yang telah belajar dan memiliki pengetahuan sebagai seorang mahasiswa, sudah selayaknya menempatkan dirinya sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang selalu resah melihat sesuatu yang salah, dan bertindak untuk mengatasi kesalahan tersebut. Ingatlah, kalian mahasiswa bukan siswa. Sumpah Mahasiswa Indonesia Kami mahasiswa Indonesia bersumpah Bertanah air satu, tanah air tanpa penjahat Kami mahasiswa Indonesia bersumpah Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan Kami mahasiswa Indonesia bersumpah Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan Hidup Mahasiswa !!! Hidup Mahasiswa !!! (Sumpah Mahasiswa – karya Afnan Malay)

Benediktus Fatubun Pemimpin Umum UKPM natas

natas

41


PERS KITA

Pers Mahasiswa Harus Berani Move On

B

eberapa kali saya menghadiri peluncuran majalah pers mahasiswa (persma) di Yogyakarta. Rasanya selalu sama, pertama bangga dan kedua terpukul karena majalah sendiri tak kunjung terbit. Namun akhir-akhir ini ada rasa berbeda yang menyisakan tanya. Kenapa kita (pers mahasiswa) saat ini masih bertahan dengan pola organisasi yang lama. Bikin buletin bulanan, majalah tahunan, buku tahunan dan menerbitkan artikel mingguan di media online. Dalam sebuah workshop jurnalistik, seorang wartawan senior pernah bertanya, “Kenapa kok pers mahasiswa saat ini produktivitasnya menurun?” “Bukannya zaman semakin canggih (akses informasi lebih mudah) dan media online sangat memungkinkan?” “Dan kenapa persma bikin majalahnya harus setahun sekali?” tanyanya lagi. Teman saya kemudian menjawab, “Permasalahannya dipengaderan pak.” “Dalam berjuang tinggalkan yang memperlambat dan tidak mau produktif! Berjuang tak harus banyak orang!” ujarnya. Kami pulang sambil mengeluh dalam hati, “Bagaimanapun kami butuh kader pak.” Perc a kap an d e n g a n Ilustrasi: Ahmad Nur Wahyudin wartawan senior di atas membuat pikiran s a y a berkecamuk. Jika dilihat-lihat, kemajuan kualitas produk-produk persma kini memang tidak begitu

42 natas

pesat. Pertama kita bisa lihat ritme terbitan, baik dalam media cetak maupun online. Rata-rata persma menerbitkan buletin secara bulanan, itu pun sering molor berbulan-bulan. Sedangkan majalah diterbitkan satu kali dalam setahun (beberapa persma menerbitkan dua dalam setahun). Tak hanya itu, di media online berita-berita yang dimuat kebanyakan adalah event seperti aksi dan diskusi serta kejadian-kejadian tertentu yang dianggap penting. Itu pun, terbitan sering kali meleset dari target terbit alias molor. Sampai di sini saya kembali teringat nasihat wartawan senior di atas. “Kenapa persma harus menunggu terbitan bulanan dan tahunan? Kenapa tidak membuat liputan mendalam kemudian diterbitkan secara kontinyu melalui media online, ketimbang harus membuat majalah yang jelas memakan banyak waktu, padahal liputan dan menulis tidak sampai satu tahun?” Ia menyarankan, agar persma lebih bisa melihat peluang dalam dunia online saat ini. Bukan malah berkutat dengan permasalahan klasik dan melanjutkan metode lama. Saya pernah berbincang dengan kawan persma soal jumlah pembaca terbitan persma di media online, dan itu tidak banyak apalagi berita event. Salah satu contohnya media persmaporos. com, untuk kategori berita event dan sastra paling banyak 300 orang yang membaca. Selain kekuatan publikasi, saya kira kualitas produk dan konsistensi dalam media online juga menjadi pengaruh. Jika persma bisa konsisten dengan jadwal terbitan dan memperbaharui gaya penulisan serta meningkatkan kualitas produk, tanpa ragu-ragu publik akan


PERS KITA menanti-nanti terbitan persma. Pembaca bisa meningkat dengan dengan sendirinya. Namun sayang, konsistensi dalam tubuh persma masih sulit manakala molor dan malas bersatu. Saya khawatir bila media online yang dimiliki persma hadir hanya karena tuntutan zaman, tanpa konsep yang berdasar atas ke-alternatif-an pada tubuh persma. Masalah Kaderisasi atau PSDM Kualitas produk jurnalistik tampaknya memang jarang menjadi perbincangan hangat di kalangan persma. Dibalik diskusi dan perjuangan melawan kasus-kasus kemanusiaan, persma lebih erat dengan masalah kaderisasi atau PSDM. Peningkatan gaya tulisan jurnalistik jarang dibahas – amat langka . Padahal hal terpenting dalam komunikasi melalui media massa adalah keberterimaan oleh pembaca. Artinya, saat menyajikan liputan, jurnalis harus mempertimbangkan apakah gaya atau model tulisan yang dibuat bisa disantap pembaca dengan nikmat? Rasanya diskusi akan produk-produk persma perlu untuk digelar. Karena sebelum kritik keluar, kritik ke dalam juga perlu. Persoalan kaderisasi dalam tubuh persma memang tidak bisa dihindari. Dalam tubuh setiap persma, pasti ada kader yang malas, jarang tepat waktu dan sering kali menghambat proses reportase serta pengembangan anggota. Akibatnya kualitas produk tidak maksimal. Divisi kaderisasi atau PSDM persma disibukkan dengan persoalan anggota yang lambat sadar akan posisinya sebagai media alternatif. Disuruh liputan, alasan nugas. Disuruh liputan, alasannya belajar untuk ujian. Well, saya kira ini alasan yang sangat klasik. Karena jelas semua yang berada dalam tubuh persma adalah mahasiswa. Tinggal bagaimana kamu yang katanya ‘MAHAsiswa’ menjadikan dirimu benar-benar berarti sebagai mahasiswa. Salah satu caranya, mengambil peran dalam persma sebagai media alternatif. Sekali lagi, menurut pengamatan saya masalah kaderisasi atau PSDM berdampak pada produk jurnalistik persma. Hingga saat ini, terbitan persma masih dengan model tulisan hard news. Syukur alhamdulillah, bila ada liputan feature dalam majalah maupun buletin terbitan pers mahasiswa. Memang ada yang sudah mulai

berani untuk membuat pembuka tulisan dengan meniru gaya narasi, meskipun tulisan kembali kaku di tengah pembahasan, namun sayang itu bisa dihitung jari. Persma Perlu Jelajah Gaya Tulisan Lain Selain Berita Mendalam, namun berat dan kaku. Kirakira itulah kata-kata untuk model-model tulisan persma kini. Saya kira persma populer dengan buku-buku keren atau blog-blog penulis terkenal yang menyajikan ragam gaya penulisan opini muapun esai. Buku Inilah Esai karya Muhidin M Dahlan, juga pasti menjadi salah satu pegangan persma. Namun esai dengan dengan gaya-gaya tidak membosankan dan satire masih jarang kita temukan dalam produk-produk persma. Apresiasi saya untuk persma Ekspresi yang setahun sekali membuat buku kumpulan esai tematik. Melalui terbitan seperti ini, setiap penulis lebih leluasa untuk mengembangkan beragam model tulisan. Produk ini patut ditiru dan dikembangkan oleh persma yang lain. Hanya saja, ragam gaya tulisan seperti ini seharusnya juga diterapkan dalam produk cetak lainnya maupun online, agar tidak melulu tulisan berat dan kaku. Perlu diingat setiap pembaca memiliki daya tarik yang berbeda-beda. Selain sibuk berjuang dan advokasi ke lapangan, persma jangan sampai lupa bahwa tulisan adalah senjatanya. Bila itu pisau, maka tidak boleh tumpul. Bila tumpul, gugurlah perjuangan. Makanya pisau tersebut harus sering diasah. Sama halnya dengan tulisan. Semakin berkembangnya zaman, persma juga harus move on dari gaya lama dan mengevaluasi karya-karya jurnalistiknya termasuk gaya-gaya tulisan yang digunakan.

Fara Dewi Tawainela Alumni LPM Poros UAD

natas 43


JAS MERAH

Seorang pengemudi jip tour Kaliurang dalam perjalanan kembali ke pos. Foto: Ahmad NUR Wahyudin

Mengubah Bencana Menjadi Berkah

G

emuruh rintik-rintik hujan tiada henti, menemani langkahku menuju salah satu Pos Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi. Pos itu terletak di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman – desa yang dilahap ganasnya erupsi Gunung Merapi 2010 silam. Tujuanku ialah bertemu dengan Heribertus Indiantoro, pencetus pertama ide wisata jip Merapi. “Pak Heri sedang ada di warung kopi itu mas,” ujar Dany, remaja berusia 17 tahun yang merupakan salah satu sopir jip Merapi. Tanpa berpikir lama, aku pun menuju warung kopi itu. Sesampainya di sana, aku disambut wanita paruh baya yang menawarkan sebuah kopi. Namun, perhatianku beralih ke salah satu pelanggan warung kopi itu. Berambut panjang agak keriting, berkulit putih, berbadan besar dengan memakai celana jeans pendek dan kaos hitam, dialah Heribertus Indiantoro. Aku pun menemui dan menjelaskan maksud tujuan aku datang, untuk mewawancarai beliau tentang asosiasi yang digadang-gadang telah mengubah nasib pelbagai orang. Cikal Bakal Asosiasi Jip Merapi Bersuara jelas dan tegas, Heribertus Indiantoro yang biasa disapa Heri mengisahkan awal terbentuknya

44 natas

jip Merapi. Ia bersama temannya yang bernama Wanto memulai dan mengimplementasikan ide jip Merapi pada tahun 2008. Namun, animo pengunjung untuk membeli jasa jip Merapi dulu sangat kurang. “Dulu aku dan Wanto telah menggunakan berbagai cara untuk mempromosikan jip ini, tetapi tetap saja tidak payu,” ujar Herry dengan wajah agak kecewa. “Aku sampai sempat mempromosikan jip ini di televisi dan radio, tapi hasilnya sama saja.” Setelah meminum seteguk kopi miliknya, ia kembali menjelaskan bahwa dulu warga setempat tidak ada yang mendukung jip Merapi dan lebih memilih bercocok tanam. Heri menambahkan bahwa Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi dulunya hanyalah komunitas, bukan sebuah asosiasi seperti sekarang ini. Heri memiliki ide wisata jip Merapi setelah melihat potensi perekonomian yang bisa dikembangkan di sekitar lereng Merapi. Ia menilai berternak dan bercocok tanam sudah tidak bisa dikembangkan lagi, namun berbeda halnya dengan eksploitasi. “Eksploitasi tidak pernah disentuh siapa pun kala itu, karena dari itulah eksploitasi memiliki potensi paling besar,” jelasnya. Berkonsep awal menjangkau tempat-tempat yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan biasa. Heri terus


JAS MERAH mencoba mengembangkan jip Merapi untuk membantu warga sekitar pasca letusan Gunung Merapi. Pasca Erupsi Gunung Merapi Jip Merapi mulai mengalami perkembangan positif, setelah Erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Gunung Merapi sendiri merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), erupsi Merapi pada tahun 2010 lalu merupakan erupsi terdahsyat dalam 100 tahun terakhir. Erupsi itu telah melebur diberbagai desa sekitar lereng Merapi, dan meninggalkan abu vulkanis yang berdampak buruk bagi tanah di desa-desa wilayah lereng Merapi. Saat ditanya pendapat tentang erupsi Merapi, Hery menunjukkan raut muka senang bukan tanpa alasan. Ia melihat erupsi Merapi bukan seutuhnya bencana, tetapi juga tantangan yang harus ditaklukkan. “Walaupun mata pencaharian desa menjadi mati, namun pasti juga ada sisi positif yang perlu digali,” ucap Heri dengan wajah tersenyum sembari melihat derasnya hujan yang tak kunjung redup. Lebih lanjutnya, ia menerangkan bahwa di setiap kerusakan yang diakibatkan gunung Merapi, terdapat kenangankenangan erupsi yang tersimpan rapi. Kenangankenangan itulah yang menjadi minat pengunjung jip Merapi. Heri menambahkan pasca erupsi Merapi, warga setempat yang awalnya acuh tak acuh dengan jip Merapi mulai menggunakan jasa jip Merapi sebagai mata pencaharian pokok. “Sejak saat itulah awal kebangkitan perekonomian desa sekitar lereng Merapi dimulai dan komunitas jip ini berubah menjadi asosiasi,” lontar Heri dengan nada bersemangat. “Bermula hanya lima jip, namun pada tahun 2017 Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi bertambah menjadi enam ratus empat puluh buah jip.” Hujan kian meredup saat terdengar suara langkah kaki mendekati warung kopi tempat kami berbincang. Terlihat sesosok pria paruh baya berbadan kurus datang menghampiri kami. Ia adalah Basuki Tri Cahya, salah satu sopir jip Merapi sekaligus teman dari Heri. Setelah mengetahui topik pembicaraan kami, Basuki juga ikut berbicara mengenai Asosiasi Jip Wisata Lereng Merapi. ”Bagi aku, jip Merapi ini seperti penyelamat mas,” tuturnya. “Dulu aku petani, tapi setelah letusan merapi, aku bingung bagaimana caranya memberi makan keluarga, untungnya ada jip ini yang memberi pendapatan lebih

Sekelompok komunitas jip tour Kaliurang mengantar pengunjung menuju destinasi wisata. Foto: Ahmad NUR Wahyudin

daripada bertani,” ujar Basuki sembari merapikan rambutnya yang agak basah. Lebih lanjutnya Basuki mengungkapkan, hampir seluruh pengangguran di desa-desa sekitar lereng mendapat kesempatan bekerja karena asosiasi jip ini. “Tidak hanya orang dewasa, namun remaja-remaja tidak bersekolah pun mendapatkan pekerjaan berkat asosiasi jip dan perekonomian justru menjadi lebih baik setelah erupsi merapi ini,” tambahnya. Diakhir pembicaraan, Heri meninggalkan satu pesan. Pesan itu berbunyi bahwa dalam seburukburuknya situasi, seburuk-buruknya ketidakpastian, pasti ada jalan terang dibaliknya. Kita hanya perlu menggali jalan terang itu dan menyeret keajaiban di dalam untuk keluar.

Yosaphat Made Dharma Suryanata

natas 45


CATATAN SANG JURNALIS

Bisikan Kaum Hawa

T

eriknya matahari mengantarkan langkah kaki ini menuju Perpustakaan Universitas Sanata Dharma (USD) untuk bertemu dengan seorang gadis yang tak ingin disebutkan namanya. Setiba di sana tepatnya di ruang komputer (work station), mata ini mencoba mencari seorang gadis, sebut saja Yuri. Pandangan saya terhenti pada sosok wanita yang sedang duduk di belakang sambil memainkan gawainya. Ia menyambut dengan senyuman yang ramah. Perlahan saya mulai bertanya tentang kejadian liburan awal semester tahun 2017. Ketika dia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari seorang pria yang tak dikenal. Kegelisahan Diri Yuri adalah salah satu dari sekian banyak korban pelecehan di sekitar daerah Mrican. Minggu (05/02) pagi, ia dan temannya pergi berjalan-jalan di seputar STM Pembangunan. Dari kejauhan, temannya melihat ada sesosok pria yang sedang mengawasi dan membuatnya menjadi curiga. “Kayaknya kita dilihatin orang itu deh,” bisik temannya kepada Yuri. Kala itu Yuri mengatakan bahwa itu hanya perasaan temannya saja, sehingga ia hanya mengabaikan. “Dia (pelaku) ngeliatin kita dari ujung rambut sampai ujung kaki,” tuturnya. Meskipun merasa risih, ia tetap berjalan dengan tenang. Selintas beberapa langkah, pelaku mencoba untuk beraksi dengan ‘memegang’ bagian bawah tubuh. Spontan, Yuri menggerakan tangan dan menepis tangan pelaku hingga aksi pelaku itu gagal. Setelah aksi tersebut gagal, pelaku yang berpenampilan memakai jaket, celana jeans, helm, dan membawa tas kecil ini menjalankan sepeda motornya dengan santai. Kemudiaan pelaku berhenti di depan sebuah toko, sontak tertawa. Pelaku bertingkah seperti orang aneh yang membuat Yuri merasa ilfil. “Kayak orang freak mbak,” ucapnya. Katanya, pelaku

46 natas

juga ingin mengambil gawai. Terlihat raut mukanya menunjukan dengan jelas perasaan, antara sedih dan bingung. “Shock, ingin teriak sama marah tapi tidak bisa. Jadi greget sendiri. Bayangkan saja setelah kejadian itu dia (pelaku) malah ketawa tak jelas,” lontarnya dengan geram. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa temannya juga hampir menjadi bagian dari kenakalan pelaku. Kalau saja temannya tidak begitu jauh dari Yuri mungkin sudah menjadi korban pada hari itu. Sekalipun begitu, temannya juga terlihat shock. “Beberapa hari yang lalu teman saya juga melihat pelaku dengan penampilan yang rapi. Terlihat tangan dia (pelaku) sempat mau menyentuh tubuh temanku tapi tidak sampai,” ceritanya. Bertemu Somi Di pihak lain, seorang mahasiswi berjilbab angkatan 2015 menceritakan pernah menjadi korban pelecehan. Sebut saja Somi, sumber anonim yang tinggal di daerah Papringan. Sore itu di bulan Februari 2016, Somi pulang dari kampus dengan berjalan kaki melewati gang yang sering dilaluinya. Saat tiba di tengah lorong, ia bertemu dengan sosok pria tak dikenal yang modus menggodanya dengan bertanya. “Sendirian aja mbak?” tutur Somi mengikuti gaya bicara pelaku. Ia sengaja tidak menjawab dan berusaha untuk berpikir positif.


CATATAN SANG JURNALIS “Aku mencoba untuk berpikir, kalau pria itu hanya iseng untuk menggoda,” tambahnya. Akan tetapi, kala itu Somi merasa ada yang mengganjal. “Aku merasa ada yang ngikutin, tibatiba ada cowok yang ‘menyalib’ terus memegang dadaku,” ungkapnya sambil menundukan kepala. Sempat ada jeda, sebelum dia mengatakan bahwa dadanya dipegang. Tatapan matanya melihat ke atas, seolah-olah ia ingin menahan sesuatu dari kelopak matanya. Tak lama kemudian pandangannya mengarah pada laptop, seakan-akan dia takut untuk mengingat kejadian itu. Samar-samar

Somi

berpikir bahwa pelaku adalah orang yang juga menggodanya, karena menurutnya tidak mungkin ada pria lain langsung berani ‘memegang’ tanpa memerhatikan korban terlebih dahulu. “Aku tidak sempat melihat mukanya, karena setelah dipegang aku langsung kabur. Shock jadi tidak mikir buat lihat mukanya,” tukasnya. Ia juga menyakini bahwa pelaku adalah warga sekitar, lantaran waktu itu pelaku tidak menggunakan sepeda motor. Kejadian itu membuat Somi merasa tertekan. “Setelah kejadian itu aku trauma dan risih tiap aku bertemu dengan lawan jenis. Aku juga ngerasa berdosa dan kotor di hadapan Allah,” tuturnya dengan suara sedikit gemetar. Matanya tampak memancarkan kesedihan dan Ilustrasi: Julia Noor Abdilah kekesalan. “Aku sebenarnya mau melapor, tapi aku takut. Tidak ada saksi dan tidak tahu mau lapor ke mana,” tambahnya.

Rehabilitasi dan Sosialisasi Di sisi lain, Somi mengungkapkan bahwa tidak tega jika pelaku dihukum penjara, sebab ganjaran tersebut tidak membuat pelaku jera. “Aku ingin pelaku itu direhab, karena sepertinya dia (pelaku) punya kelainan,” ungkapnya. Sementara itu, Yuri mengatakan bahwa tidak terlalu memikirkan hukuman penjara untuk pelaku. Meskipun begitu, ia menginginkan pelaku melakukan hal positif untuk memperbaiki psikologisnya. “Aku mau dia (pelaku) sadar kalau wanita itu jangan digituin. Dia (pelaku) juga punya ibu jadi seharusnya menghargai wanita,” katanya. Di samping itu, Edward Theodorus, salah satu dosen Psikologi USD mengatakan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadi kasus pelecehan terhadap wanita. “Kemungkinan pertama, adanya perspektif feminis dari pelaku. Paham gender, wanita lebih rendah derajatnya dibandingkan pria, sehingga pelaku bertindak sewenang-wenang memperlakukan wanita tidak adil,” jelasnya Beliau menambahkan, menurut teori psikoanalisa ada kemungkinan pelaku pernah dilecehkan. “Saat pelaku beranjak dewasa, lalu melihat seseorang yang dianggapnya lemah atau biasa disebut korban. Maka timbul perasaan untuk melakukan hal yang sama di masa lalunya tanpa disadari,” pungkas Edward. Dalam hal ini, kasus tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh perasaan yang menimbulkan ketidaksukaan pada korban. “Jika kemungkinan pertama menjadi faktor kuat penyebab pelecehan seksual ini, maka kita harus berkomunikasi dengan pihak-pihak yang dihormati di lingkungan sekitar. Seperti ketua RT, ketua RW, pemilik kos, ustaz, dan lain-lain,” ujar dosen Psikologi USD itu. Edward juga berpesan, bahwa USD harus membangun kerja sama dengan orang-orang lingkungan sekitar, guna melakukan sosialisasi tentang masalah pelecehan seksual. Tiwi Wira Pratika

natas

47


TOKOH Suratman

15 Februari 1983 Penggagas Festival Kathok Abang

Rela Mati Demi Wa t u K o d o k foto: Yohakhim Ragil

48 natas


TOKOH

S

uratman adalah penggagas dari Festival Kathok Abang di Pantai Watu Kodok. Dalam wawancara dengan awak natas pada Sabtu (11/03), beliau mengungkapkan pendapatnya mengenai konflik yang marak terjadi di tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) serta perjuangannya mempertahankan Pantai Watu Kodok. Menurut Anda apa yang menyebabkan maraknya konflik di tanah SG dan PAG? Menurut saya maraknya konflik ini disebabkan karena hukum pertahanan di DIY ini semakin tidak jelas. Selain itu, dari pemerintahan kabupaten sendiri juga mempermudah investor masuk ke wilayah khususnya Gunung Kidul ini. Bagaimana tanggapan Anda terkait konflik tersebut? Sebagai warga yang sudah tahu duduk permasalahan termasuk paguyuban kami Kaulo Gesir Mataram, khususnya warga Watu Kodok sangat khawatir sekali dengan konflik yang sering terjadi, karena yang kehilangan tanah ini bukan hanya kami, tetapi anak cucu kami juga nanti akan kehilangan hak. Apa saran Anda bagi warga-warga yang mengalami konflik dari tanah SG & PAG? Dari pengalaman kami, bisa dimulai dari gerakan secara kecil, tetapi tetap bergerak. Kita harus sering berkonsultasi dan berani bersosialisasi ke warga yang belum tahu. Warga diajak mengobrol dan diberi pengetahuan karena orang awam tentu saja belum tahu banyak persoalan ini. Dari situlah kami bisa mengadakan Festival Kathok Abang. Kami juga melakukan sosialisasi ini bergerak dari pantai ke pantai dan terus bersosialisasi ke warga. Dari mana Anda mendapatkan ide untuk mengadakan Festival Kathok Abang? Saat itu investor sempat datang ke sini. Mereka mengklaim kalau ini milik mereka dengan bukti surat kekancingan (surat pinjam pakai) dari Sultan. Salah satu oknum pemerintah desa saat itu memang waktu itu mengejek kita ‘woh, gur kathok abang wae arep tekan ngendi’ (hanya celana merah saja mau sampai mana kemampuannya sampai berani-beraninya mempertahankan hal yang sebesar ini). Sehingga Kathok Abang yang menjadi patokan kita untuk bisa mempertahankan tempat ini dan bisa tetap beraktivitas. Kita menjadikan Kathok Abang itu sebagai momentum yang tetap kita peringati dan kita laksanakan tanggal 25 Mei. Mengapa harus tanggal 25 Mei? Karena itu pertama kalinya investor datang ke sini dan mereka langsung mengusir warga.

Apa yang investor inginkan terhadap pantai Watu Kodok ini? Ini mau dibuat resort, tapi mereka mengatakan ini adalah resort tutupan jadi tidak setiap orang bisa masuk ke sini, hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk. Bagi warga seperti kami kemungkinan besar tidak bisa masuk ke dalam area resort. Hal ini tentu saja sangat merugikan warga, khususnya kami warga Kelor Kidul. Ini memang tanah sultan, tapi yang merawat jelas dari orang tua kami, dan aset jalan kami juga yang buat. Pantai Watu Kodok yang awalnya belantara sampai jadinya seperti ini semuanya hasil kerja keras warga. Kami tentu saja tetap menumpang perekonomian warga ke pantai ini. Siapa saja yang ikut mendukung untuk mempertahankan pantai ini? Warga pada awalnya tidak tahu soal tanah SG atau tanah PAG, oleh karena itu kita jadi ingin tahu. Kami berkenalan dengan Mas Bintang, orang Jogja yang punya kegiatan rumah belajar. Dari Mas Bintang kita mulai berjejaring dengan jaringan seperti di Parang Kusumo dan Kulon Progo. Kita bisa bertemu dan kita berani karena dukungan dari mereka yang sama-sama merasakan akibat dari penggusuran. Selain itu, salah satu orang pemerintahan juga ikut membantu kita dan warga sekitar. Tapi sebenarnya kita berangkatnya mandiri, warga di sini yang pertama kali mempertahankan. Selain festival ini, apa saja bentuk perlawanan yang Anda upayakan? Kegiatan yang paling besar diadakan memang Festival Kathok Abang. Kita juga sering mengadakan event, seperti kemarin kita bekerja sama dengan Sarapan Jazz. Melalui kegiatan-kegiatan seperti itu kita mempromosikan pantai ini dan menginformasikan kepada masyarakat luas bahwa di daerah kami memang ada masalah. Apakah Anda mendapat ancaman setelah melakukan perlawanan? Ketika melawan investor itu kita bahkan dilaporkan ke Polres Gunung Kidul kalau tidak salah sampai 4 kali. Bentuk laporannya secara tertulis. Laporan aduan yang

natas 49


TOKOH

Salah satu acara dalam festival Kathok Abang di pantai Watu Kodok, Kelor Kidul, Kecamatan Tanjung Sari, Wonosari pada 25 Mei 2016. FOTO: ivaa-online.org

intinya tanah yang disewa klien mereka tetap ditempati oleh warga, sehingga mereka memohon Polres Gunung Kidul untuk segera menegur warga dan mengambil tindakan. Tapi sekali lagi ini tanah siapa? Ini kan tanah keraton, berarti ini merupakan permasalahan antara ranah warga dan ranah keraton bukan ranahnya polisi. Bentuk laporannya juga tertulis dan tertuju, bukan laporan kosong. Ada juga ancaman dari orangorang yang mengaku utusan dari keraton untuk warga segera gini-gini, hal ini sering sekali terjadi. Tetapi karena warga ini sedikit demi sedikit sudah tahu duduk permasalahannya tentang tanah SG atau tanah PAG, sehingga sampai sekarang kami masih mampu mempertahankan tanah yang kami duduki ini. Setelah diadakan festival ini dampak positif yang dirasakan oleh warga setempat? Hasil perekonomian kami sekarang merupakan dampak positif dari Festival Kathok Abang. Sampai saat ini hasil dari omset parkir, warung-warung yang berjualan, dan dari unsur segalanya sudah mulai ada peningkatan. Bahkan warga sudah bisa bilang merasa tentram, tidak seperti kemarin. Untuk saat ini, apakah masih ada ancaman lain? Tidak, sudah tidak ada. Sekitar 5-6 bulan ini sudah tidak ada lagi. Baik itu dari oknum pemerintah paling bawah sampai atas tidak ada lagi. Orang-orang yang mengaku suruhan dari keraton sudah tidak berani lagi. Tapi kita belum bisa mengatakan kita menang.

50 natas

Perjuangan apa saja yang akan tetap Anda lakukan? Watu Kodok itu urusan yang paling utama bagi saya. Kadang-kadang istirahat dan istri saja saya tinggalkan demi Watu Kodok. Waktu mempertahankan pantai ini lamanya kira-kira 1 tahun dan itu benarbenar hebat perjuangannya, dari siang hinga malam. Selama hari puasa waktu itu saya siang tidak bisa tidur, malamnya juga tidak bisa tidur. Saya memang sudah komitmen dari hati yang paling dalam untuk rela mati demi Watu Kodok, karena saya merasa bahwa Pantai Watu Kodok ini merupakan satu-satunya aset pantai yang bisa kami pakai untuk menumpang ekonomi. Selain itu, saya juga berjejaring, mencari tahu duduk permasalahan mengapa setiap tanah SG dan PAG di Jogja marak terjadi konflik di mana-mana, kemudian kami berbicara dengan warga, kami melakukan proses pembelajaran. Kami ingin tahu tanah SG dan PAG itu seperti apa, lalu ketika kami menduduki tanah SG itu hukumnya seperti apa yang sampai hari ini tetap saya galakkan dan tetap diperjuangkan. Christin Ayu Rizky


INFO

Kisruh Tarif

J

ohan Tanto tak menyangka malam pergantian tahun yang seharusnya dirayakan dengan hati gembira, berubah menjadi rasa jengkel. Bermaksud merayakan momen setahun sekali dengan anak dan istri di Alun-Alun Kidul (Alkid), pria yang sehari-hari bermukim di Jakarta ini justru dipalak oknum tidak bertanggung jawab. Dengan dalih musim libur dan kantong parkir yang penuh, oknum itu mematok tarif parkir ‘seenak perut sendiri’. “Saat itu lalu lintas benar-benar padat, tempat parkir hampir tak ada, tiba-tiba sebelum masuk Alkid, ada yang nawarin tempat di salah satu rumah warga,” tuturnya saat dihubungi via telepon dari Yogyakarta, Rabu (22/3). Tanpa berpikir panjang, pria yang bekerja di salah satu bank internasional ini langsung memarkirkan mobilnya di tempat itu. Sesudah keluar, ia diberi karcis parkir dengan tarif Rp 50.000,00. Sontak hal itu mengagetkannya. “Sungguh tak wajar. Saya hampir saja membatalkan, namun demi anak istri yang ingin sekali naik odong-odong Alkid, niat itu saya urungkan,” ungkapnya. Ia mengaku sempat berdebat dan menego tarif parkir dengan petugas yang berjaga, namun tak membuahkan hasil. “Saya bisa memahami jika musim libur tarifnya naik, tapi jangan segitunya juga.”

Parkir Liar Foto: Ahmad Nur Wahyudin

Kasus yang dialami Johan tersebut hanyalah satu dari sekian banyak problematika parkir yang ada di Yogyakarta, khususnya saat musim libur. Ada beberapa titik-titik parkir liar di Yogyakarta, diantaranya: seputaran titik 0 KM, kraton, Malioboro, Alkid, Kebun Binatang Gembiraloka, Tamansari, dan Jalan Mangkubumi. (www.solopos.com, 2 Januari 2017) Eko Sulistyo, pria yang sehari-hari bekerja serabutan ini sangat menanti musim liburan tiba untuk mengeruk rezeki. “Lumayan jaga parkir di seputaran Malioboro, kebetulan ada teman punya lahan di sekitar sana. Kerja sama dengan beberapa teman saya, sehari per orang bisa dapat Rp 300.000,” terangnya. Tetapi ketika ditanya berapa tarif yang dipatok untuk motor dan mobil, pria asli Gunungkidul ini menolak membeberkan. “Banyak yang parkir di tempat saya mengeluhkan mengapa tak sesuai tarif resmi, namun mereka juga dalam posisi kalah karena lahan parkir di mana-mana pasti penuh, mau tak mau harus dibayar,” ceritanya. Membedakan dari Seragam Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 tahun 2009 disebutkan tarif parkir kendaraan roda

natas

51


INFO

ILUSTRASI: JULIA NOOR Abdillah

dua sebesar Rp 1.000,00 dan roda empat sebesar Rp 2.000,00. Perda tersebut juga sudah disosialisasikan dalam bentuk papan plang yang dipasang di sebagian titik Kota Yogyakarta. “Jika masyarakat diminta lebih dari tarif yang sudah ditentukan, berarti itu tidak resmi atau bisa disebut parkir liar,” tutur sumber anonim Gery, salah seorang juru parkir (jukir) di kawasan Jalan Glagahsari. Masyarakat sebenarnya dapat membedakan dengan mudah, mana parkir liar dan parkir resmi. “Dari seragam yang dikenakan jukir sudah terlihat. Jukir resmi yang tergabung dalam Paguyuban Pekerja Parkir mengenakan seragam berwarna orange dan biru lengkap dengan nomor pengaduan dan identitas di dada kanan,” katanya saat ditemui di sela-sela pekerjaannya, Minggu (26/3). Selain seragam, karcis juga bisa jadi patokan. Gery menuturkan, karcis resmi dilengkapi dengan cap dan logo Kota Yogyakarta beserta besaran tarifnya. “Tapi sekarang karcis resmi juga banyak dipalsukan, maka dari itu masyarakat harus lebih jeli,” tambahnya. Lapor Jika Dicurangi Gery bercerita, dirinya sempat dicibir oleh beberapa tetangga ketika isu mahalnya tarif parkir sedang menghangat. Mereka memandang jukir sebagai tukang palak yang harus ditindak. “Saya ini jukir resmi yang tergabung dalam paguyuban. Lihat

52 natas

saja seragam saya, identitas dan nomor pengaduan ada semua. Demi Allah saya tak pernah meminta apa yang bukan seharusnya,” kisahnya sedikit jengkel. Ia berujar, jukir tak resmi yang membuat citra jukir di Yogyakarta menjadi jelek. “Mereka mempermainkan tarif sak karepe udele dewe, terutama saat musim libur,” lontarnya. Sebelum mengakhiri pembicaraan, pria yang sudah lima belas tahun bekerja sebagai jukir ini sedikit memberikan langkah-langkah menghindari dan menghadapi jukir liar. “Musim libur pastilah lahan parkir semua kurang. Satu-satunya cara adalah berangkat lebih awal ke lokasi tujuan, Insya Allah akan mendapat tempat parkir yang resmi,” tuturnya. Jika memang harus parkir di tempat yang tidak resmi, masyarakat harus cerdik. “Jika memang tarif yang diminta tak sesuai dengan peraturan apalagi dirasa tak masuk akal, ambil gambar jukir itu secara diamdiam beserta karcisnya, dan lokasi parkir,” ceritanya bersemangat. Dia juga menambahkan, “Sesudah itu masyarakat bisa melaporkan ke Dinas Perhubungan (Dishub) di nomor (0274) 7467333.”

Dionisius Sandytama Oktavian


RESENSI

LAUT DAN KISAH MUASAL Judul Film La Tortue Rouge

:

Direktor : Michael Dudok de Wit Produksi

:

Studio Ghibli dan Wild Bunch

L

autlah yang mengirim Lelaki itu ke pulau terasing. Laut pula yang mengantarnya kepada keliaran belantara. Dengan pemikiran modern, ia berusaha menetak keterasingan terhadap bentuk kehidupan yang alami. Pada mulanya Lelaki itu terombang-ambing di tengah badai. Tubuhnya terseret gulungan ombak. Ia terdampar di pulau yang asing. Ketika kerinduan terhadap peradaban semakin memuncak, ia memutuskan merangkai batang bambu menjadi rakit. Percobaan kaburnya gagal, sebab ada makhluk misterius yang mengoyak bebatang rakit. Hingga percobaan ketiga, ia berhadapan langsung dengan subjek perusak: Penyu Merah raksasa. Sedemikian marah, ia tega mengarahkan galah bambu ke kepala Penyu dan menggulingkan tubuh bercangkang itu. Sekonyong-konyong, ia dihinggapi penyesalan tiada tara setelah perlakuan keji yang telah lakukan. Dadanya dipenuhi rasa iba kepada Penyu Merah. Dari rekahan cangkang purba itu muncul perempuan cantik belia. Meskipun disutradarai oleh orang Eropa (Belanda), La Tortue Rouge tak kehilangan karakter Studio Ghibli. Seperti animasi-animasi produksi Studio Ghibli yang lain, topik seputar hubungan manusia dengan alam kembali disuguhkan. Kalau

Tahun Produksi 2016

:

Durasi 80 menit

:

Sumber: theplotbunnies.com

boleh membandingkan dengan kisah Agama Abraham, animasi ini bahkan merujuk legenda manusia pertama. Paduan antara realisme dan surealisme semakin menguatkan aspek ketimuran dalam tuturan karya. Sketsa-sketsa mimpi atau gambaran yang melampaui kesadaran manusia tampak begitu gamblang. Keinginan Lelaki untuk kabur dari pulau hingga perubahan Penyu Merah menjadi gadis cantik, merupakan gerbang awal bagi penonton untuk menelusuri dunia mimpi. Kekhasan lain terletak pada pilihan gaya penceritaan. Penuturan antartokoh hanya berwujud seruan dan isyarat. Kendati tanpa dialog, film ini tetap tak kehilangan sentuhan artistik dengan suguhan komunikasi yang lebih arkais, yakni hubungan tubuh, pikiran, dan rasa. Penonton dijamin tak perlu menghadapi bahasa menggurui yang klise — di-jojohkan film-film Disney layaknya dogma. Tidak ada pula gaya bercerita mendongeng seperti dalam film animasi Hollywood dewasa ini. Tema zoofilia melengkapi evolusi yang bersinergi dalam hubungan makhluk. Setidaknya, percintaan Lelaki dengan Penyu betina telah melampaui kisah percintaan kontemporer yang cenderung termehek-mehek. Hubungan dua spesies berbeda itu bahkan dikisahkan sampai menghasilkan seorang anak. Kisah seperti itu mungkin lazim ditemukan di kebudayaan tradisional, tapi bagi manusia modern

natas 53


RESENSI sama halnya dengan penistaan logika. Pertalian antarspesies dikisahkan secara apik. Ketiga tokoh hidup dengan kualitasnya masing-masing dan saling melengkapi untuk mencapai hubungan yang harmonis. Mereka tulus mengarungi rencana kehidupan yang kadang kala sulit untuk ditebak. Kesediaan untuk menerima apa pun yang dilimpahkan oleh alam, sekalipun itu bencana, digambarkan melalui ketabahan para tokoh. Ada pesan penting yang hendak disampaikan melalui penggambaran bencana tsunami. Bencana itu mungkin menggambarkan tsunami sesungguhnya yang terjadi selama dua dekade belakangan. Namun, bisa juga sebentuk simbol yang lain. Alam memberi, alam mengambil. Melalui simbol, Dudok de Wit berhasil merontokkan logika keilmuan yang selama ini dipertahankan. Apa yang kita kenal sebagai usaha untuk bertahan hidup tak semenakutkan dan serumit seperti dalam pemikiran para Darwinis. Sepanjang durasi pemutaran, fokus utama film memang tertuju pada kampanye peduli lingkungan. Seruan itu kembali muncul melalui tokoh Anak yang memutuskan bertualang mengarungi lautan. Bagi Si Anak, laut ialah sebaik-baiknya tempat untuk kembali. Ia sendiri begitu akrab dengan makhluk-makhluk laut, para penyu. Gen Penyu Merah telah menghubungkan Si Anak hibrid dengan muasal. Bagaimanapun, laut memanggil keingintahuan Anak untuk menjelajahi kedalamannya. Gabungan antara riwayat keluarga dengan grafis dua dimensi yang sederhana membuat La Tortue Rouge sebagai karya sinematografi yang kompleks. Namun, toh, animasi ini juga memiliki kekurangan. Tidak seperti pendahulunya yang memiliki keserupaan, misal, Ponyo (2008), Sen to Chihiro no Kamikakushi (2001), Mononoke Hime (1997), atau Tonari no Totoro (1988), film besutan Dudok de Wit ini kurang menggigit dengan alur cerita yang lambat. Jalinan cerita dengan konflik yang cenderung longgar akan membuat penonton yang terbiasa dengan gerojokan imajinasi liar Studio Ghibli menjadi cepat bosan. Untungnya, Dudok de Wit menyiasati ruang lowong itu dengan luapan ekspresi para tokoh. Ketersesatan Lelaki, kesetiaan Penyu Merah, dan rasa ingin tahu Si

54 natas

Anak hibrid mengocok perasaan penonton untuk ikut serta di dalamnya. Demikian bisa jadi, La Tortue Rouge merupakan film animasi produksi Studio Ghibli yang paling menguras perasaan. Perubahan tokoh-tokohnya, dari benci menjadi rasa cinta atau dari kanak-kanak ke dewasa, menciptakan sebentuk diorama kehidupan dalam corak gambar dua dimensi. Maka, pantas jika Festival Cannes memberikan penghargaan kepada Dudok de Wit untuk kategori Un Certain Regard. Film ini menjadi lebih menarik ketika dipandang sebagai perpaduan antara nilai barat dan timur. Dudok de Wit pun tidak segan untuk memasukkan unsur percampuran itu ke dalam goresan gambar. Itulah yang menjadikannya sebagai jembatan penyambung dari dua kebudayaan berbeda. Percikan makna dari dua dunia berbeda itu memberikan ruang yang luas kepada penonton untuk memaknai tiap-tiap percikan yang terlempar. Kendati demikian, masih tersisa ruang kosong untuk tafsir. Ada semacam penyimpulan yang terkesan misterius sekaligus histeris Sumber: allocine.fr darinya. Ketersesatan orang paria yang diasuh oleh keheningan alam secara simbolik melahirkan suatu ilham pada kematian yang sepi dan semua itu hanya laut yang bersedia menerimanya. Benar, kita semua bermula dari laut.

Achmad FH Fajar Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Angkatan 2014


RESENSI

Mendengarkan Coldplay dalam Sebuah Permenungan Hidup Judul Penulis Penyunting Penerbit Tempat Terbit Cetakan Tebal buku No. ISBN

: : : : : : : :

Mendengarkan Coldplay Mario F. Lawi Septi Ws Grasindo Jakarta Pertama 52 halaman 9786023756292

S Sumber: goodreads.com

emenjak tahun 2013, dunia kesusastraan Indonesia gencar memperbincangkan seorang penyair muda yang sontak gemilang melonjakkan karya-karyanya ke atas permukaan. Penyair muda tersebut ialah Mario F. Lawi, lelaki kelahiran Kupang 18 Februari 1991, pendiri komunitas sastra Dusun Flobamora. Dengan melahirkan puisi-puisi bernuansa keimanan Kitab Suci yang bertolak dari buah permenungannya, ia berhasil menciptakan gebrakan baru di dalam kesusastraan Indonesia. Berawal dari bukunya Memoria (2013) sampai pada buku terbarunya yang berjudul Mendengarkan Coldplay (2016), Mario telah menerobos jalan yang panjang meskipun dengan waktu yang terbilang singkat. Mendengarkan Coldplay dan Permenungannya Mendengarkan Coldplay merupakan buku kumpulan puisi Mario yang keempat dalam karir kepenulisannya sebagai penyair Indonesia. Buku dengan ketebalan 52 halaman ini memuat 30 puisi yang

natas 55


RESENSI setiap judulnya menggunakan judul dari lagu-lagu Coldplay. Di dalam buku ini, Mario berperan sebagai penafsir yang memberi penggambaran atas suatu permenungan dari pemaknaan lagu-lagu Coldplay. Permenungan itu kemudian disajikan dengan gaya yang berbeda demi mengantar pembaca pada titik pertemuan antara keimanan yang ditemukan di dalam kitab suci dengan setiap kisah yang terjadi di dalam kehidupan. Puisi berjudul See You Soon merupakan pintu yang menyambut serta mengantar pembaca untuk mecicipi sajian dari tiap-tiap makna di antara bilik-bilik permenungan Mario. . “...Setelah menemukan arah, ia Akan berkata bahwa bahkan Dante pun Kesulitan mencari persediaan yang dapat Ia temukan di dunia untuk Menggambarkan surga...”(Hlm. 2) Buku ini kemudian ditutup dengan puisi berjudul “O” yang menyematkan sebuah arti, bahwa dunia sama sekali tidak memiliki batas usai. Akan tetapi, meskipun berada di dalam ketiadaan batas usai, manusia perlu berusia di dalam pengetahuan tentang filosofi kehidupan yang membuatnya dapat menciptakan kedamaian di dalam diri. “...Tapi, Kakek, tak takutkah engkau jika suatu saat setan Laut yang selalu memusuhimu menjerat kaki-kakimu Dengan tongkat dari bagian perahu yang tak kembali Ke pantai ketika mereka menyentuh permukaan laut untuk Membawamu menolong istri tuan tanah di pulau seberang? Tidak, Ama Peke, tak ada yang perlu ditakuti dari laut Yang bersahabat. Ia dulu menolong ibumu dan menjadi Bagian paling berjasa ketika cerita membutuhkan latar Lebih luas untuk sebuah dunia yang tampak sederhana.”(Hlm. 42) Sampul yang membalut buku ini berwarna kuning dengan perpaduan warna hitam di bagian atasnya. Dalam ilmu psikologi, warna kuning merujuk pada beberapa hal, diantaranya matahari, harapan, persepsi, musim panas, resah, dan kebahagiaan. Warna hitam memaknai arti misteri, sunyi, kuat, tegas, perspektif yang dalam, dan perlindungan. Dilihat dari grafis yang ditandai dengan warna serta penggalan puisi yang terterah pada sampul belakang, dapat diketahui bahwa penulis sedang berusaha untuk melukiskan secara visual arti dari puisinya yang berjudul Yellow.

56 natas

Penilaian Terhadap Buku Membaca buku ini, kita seperti mendengarkan lagu-lagu Coldplay dengan sajian yang berbeda – terasa lebih dalam. Magis dari tiap untaian katanya sungguh menggairahkan pembaca untuk menyantapnya habishabisan, apalagi jika pembacaan itu diiringi oleh lantunan lagu-lagu Coldplay yang begitu syahdu di telinga dan menyentuh di hati. Satu hal yang menurunkan rasa penasaran pembaca untuk segera mendapatkan buku ini adalah bahwa sebagian besar puisi yang terangkul ke dalam antologi ini telah diterbitkan di beberapa media cetak seperti koran Kompas dan Tempo. Akan tetapi, dengan mendapatkan buku ini, pembaca akan semakin lebih mengerti tentang pemahaman alur dalam sebuah antologi puisi yang dirangkai oleh penyair. Sesuatu yang sangat diharapkan oleh setiap penulis ialah adanya setitik cahaya yang kiranya menerangi perjalanan masa depan dari buah karyanya. Sebulan setelah terbit, buku ini berhasil masuk ke dalam sepuluh besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-16 tahun 2015-2016. Hal ini menunjukkan bahwa buku yang ditulis oleh Mario bukanlah buku sastra yang biasa-biasa saja melainkan buku sastra yang bermutu dan bertingkat tinggi.

Endy Langobelen Mahasiswa Sastra Indonesia 2015.


SASTRA

Lautan Juang Oleh: Algonz Dimas B. Raharja

S

eorang ayah bertanya pada ayahnya, “Pak, bagaimana cara menjadi ayah yang baik?”. Ayahnya meletakkan koran yang sedari tadi menyita pandangnya. “Mungkin tak ada yang bisa jadi ayah yang baik Nak, bahkan ayahmu ini pun belum.” “Lalu apa takaran untuk menjadi ayah yang baik, Pak?” tukas ayah muda itu. Belum sempat dia menyeruput teh pahit di tangannya, si ayah yang beberapa jam lagi menjadi kakek itu menjawab, ”Hidup ini bukan tempat untuk menakar kebaikan pun keberhasilan, tidak pula untuk keburukkan dan kegagalan, Nak. Lihat di sana jukung Ayah tergolek lemas di bibir pantai, tak ada yang melaut hari ini, tak ada angin tenang yang bakal dilewati jukung tua itu, lalu apakah Ayah gagal menjadi nelayan? Atau, apakah jukung itu terlalu buruk untuk melaut? Kurasa tidak, Nak. Kita harus berbagi, kepada baik dan buruk, kepada keberhasilan dan kegagalan. Kepada ada dan tiada, karena menakar bukanlah kuasa manusia, pun gelombang laut tak pernah tahu kapan mereka meninggi.” Ayah yang mulai menua itu menutup perkataannya dengan segelas teh pahit. Pahit yang memahat lidah, lidah yang mengecap ruah, ruah dari Sang Entitas Agung. . “Baik Pak, aku hendak menamai anakku Juang, karena dia adalah perwujudan dari ketidakberdayaan hakikat,” ujar Ayah sambil bangkit dari teras menuju kamar bersalin istrinya. Kepada bayi merah di pelukan dukun bayi itu dia ucapkan perlahan, “Juang Tinarbuka Lintang Samudra, kau adalah anakku, aku adalah ayahmu.” . . Bocah lelaki berumur lima tahunan tampak basah, sekujur tubuhnya kuyup dengan pasir putih menempel di sana-sini. Tawanya riang, sambil sesekali mencoba lari dari kejaran ombak. Hari itu matahari terik, tepat di atas ubun-ubun, hanya bocah itu yang berani menantang legam, di balik kuasa surya. “Pak, airnya surut! Surut!” teriak bocah itu pada Ayahnya,

yang ia panggil Bapak. Sedang di selasar toko alat-alat pancing, si Ayah merajut jala yang robek setelah melaut semalam. “Iya Nak, hati-hati di situ, karang memang tampak indah dari kejauhan, tapi tidak untuk telapak kaki,” ujar si Ayah, ditimpali senyum Ayahnya, kakek dari si bocah kecil. “Nanti malam kakek hendak berlayar, Le. Doakan semoga ikan-ikan tak pergi ke timur ya? Sudah beberapa minggu suhu air laut tak menentu, meski gelombang dan arusnya tenang, tapi tak ada harapan di dalamnya,” ujar si Ayah Tua pada cucunya yang sedang telanjang bulat. “Iya, Mbah Kung. Juang berdoa buat Mbah Kakung dan Ayah, semoga dapat bawal yang besar-besar, atau malah kerapu merah sebesar ini,” ujar si bocah kecil sambil menunjukan kedua telapak tangannya yang ditempelkan jadi satu. Si Ayah Tua, Ayah si bocah, dan Ibu si bocah tertawa melihat tingkah satu-satunya bocah kecil di keluarga itu. Si Ibu tertawa sambil mengguyur tubuh anaknya dengan air hangat, membilas bekas sabun dan butiran pasir yang menyelinap di rongga telinganya. “Nanti kalau kamu sudah bisa berenang, pasti Kakung mengajakmu melaut Le,” ujar si Ibu sambil menyisir rambut anaknya. “Iya Bu, Juang ingin sekali melaut, tapi bawa buku gambar ya Bu?” jawab si bocah bernama Juang itu. Ibunya tak menjawab, hanya terkekeh dan terus menyisir rambut anaknya, sampaisampai matahari ikut merapikan diri, untuk kemudian pergi berkemas. Juang telah siap menantang petang dengan rambut rapi, berkemeja motif garis-garis, dengan paduan celana tiga perempat. Dia berjalan menuju tempat jukung kakeknya bersandar. Tepat di bawah menara pengamat cuaca, sebuah bangunan dua lantai, bukan mercusuar tapi memiliki makna yang sama. Kebermulaan dari pulang dan datang, tanda akhir dari pergi dan kembali. *** Pancar dimar masih mengakar di tiang malam. Debur ombak di kejauhan mengaburkan bayang

natas

57


SASTRA kerinduan. “Le, bapak sama Kakung berangkat dulu ya? Purnama telah tunai usai, saatnya jukung dilarung kembali,” ujar Ayah kepada Juang, bocah yang sedang tenggelam pada mimpi dalam. “Hati-hati, Pak! Bapak ingat kan ini tanggal berapa?” bisik Ibu sambil mencium pipi suaminya itu. “Iya, Bu. Sekarang tanggal enam belas, tujuh tahun sejak aku meminangmu,” jawab Ayah sambil terkekeh. Minyak tanah dalam dimar di kamar Juang belum habis setengahnya. Ayah dan kakeknya telah melarung jukung bersama harapan-harapan dapur di ujung malam, jelang pagi. Ibu kembali ke kamar sambil mencoba tidur, meski hanya beberapa jam. Di ujung rasi layang-layang samar tampak harapan menganga, seakan meminta untuk dibina. Angin darat mendorong tenang nyiur-nyiur yang sedang tidur. Di tengah lautan sana, puluhan jukung dan kerlip suluh salin pencar mencari ruang. Tempat untuk menjaring beberapa kuintal kehidupan, baik untuk hidup di dapur pun hidup pada sistem sosialnya. Pagi mulai mendekat. Menampar sisa-sisa perkasa gubug penceng di selatan. Memaksa malam menyingkir, meski masih enggan berakhir. Tak segan batas antara subuh dan tubuh dicecar kumulus. Cara licik pagi menyudahi gelap, dengan cerah yang samar, bahkan dengan gelap itu pula dia mencecar malam. Ketika malam enggan goyah, pagi tak memilih pasrah. Dia kumpulkan semua uap amarah di bawah malam. Tumbangkan senyap, leburkan sirap. . . “Laras...Laras... Apa suamimu sudah pulang?” suara Pak RT menguap di ambang pintu. Sublimnya meracau hingga dapur. Ibu segera bergegas dari peraduan bumbu-bumbu dapur dan ikan asin yang tadinya hendak dimasak manis pedas itu.“Wah Pak RT, ada apa ya Pak? Mas Tirto dan bapak saya belum pulang dari kemarin lusa. Melaut Pak,” jawab Ibu. “Ada orangorang proyek datang tadi, hendak beri santunan atas pembelian tanah waris dari suamimu yang tempo lalu,” ujar Pak RT. Juang, bocah kecil di rumah itu menguping dari balik kelambu kamar ibu. Dari titik jebol kelambu bekas terbakar lilin itu dia menyaksikan, tubuh kurus kering dan tubuh kurus kering lainnya bertemu. Keduanya tampak seperti cerminan ikan asin, bedanya hanya pada jabatan. Pak RT, Sadiman namanya, lulusan

SPG 1 , sampai ILUSTRASI: saat ini mengabdi di JULIA NOOR Abdillah sekolah dasar setempat, gajinya sebagai guru cum pegawai negeri sipil cum perangkat kampung nampaknya tak cukup pula untuk menghidupi ketujuh anaknya, dan dua istrinya. “Kenapa ya, Ibu terlihat gelisah? Mungkin Pak RT menagih iuran kampung, atau hutang?” batin Juang. “Sebenarnya saya ndak ikhlas, Pak. Pendapatan ikan suami dan mertua saya masih seret akhir-akhir ini. Cuaca sulit ditebak. Tapi, apa boleh buat. Terpaksa anakku, yang mungkin akan jadi satu-satunya itu tak Sekolah Pendidikan Guru.

1

58 natas


SASTRA mendapat jatah warisan kecuali jukung tua milik kakeknya. Biar saja tanah milih ayahnya dijual, untuk dia nanti sekolah, toh dibeli pemerintah juga,” jawab Ibu terbata. Air mukanya berubah, air matanya mencair tipis membasahi iris. “Sudah Laras, tak apa. Nanti, kalau jalan lintas selatan ini sudah dibangun kamu bisa buka warung, pasti bakal ramai, kan katanya pariwisata Jogja ini akan ditarik ke sini, Gunung Kidul,” ujar Pak Sadiman menenangkan Ibu. Agak lama tangis Ibu reda, Juang yang mengintip sedari tadi sudah pulas di atas tikar yang mengalasi tanah lantai rumah, tepat di balik kelambu, mimpi bercumbu. “Halo... halo... Laut? Tahu Ayahku di mana tidak?” tanya Juang pada gelombang kecil di bawah kakinya. “Kok kamu diam saja? Lho... kenapa kau tarik kakiku? Pasir-pasir ini larut, aku tak mau ikut.” “Atau... kamu beri saja aku bintang laut, nanti aku bakal berhenti bertanya. Mau kan?” tanya Juang lagi. Memang, bermain di wahana mimpi begitu indah. Semua terlarut, bidakbidak kalut dan gerah hidup ikut terpaut. Di kedalaman sana, Juang terus merayu laut, untuk memberi tahu di mana ayah dan kakeknya, atau menawarnya dengan seekor bintang laut. Sedang di kedalaman realita, di bawah horizon laut selatan, ayah dan kakeknya mengubur segala harap. Mereka ditelan harapan, terlebih dahulu dikunyah dan dikoyak ketidakpastian. Segala nyeri tiga hari habis lumat dimakan anomali.

“Bu... Bu... Ibu di mana?” Juang terbangun. Bocah kecil itu kebingungan melihat sepi seisi rumah. Di kulit tangan dan pipinya terarsir motif tikar yang ditidurinya, tak lupa butiran-butiran pasir pantai menempel di sana-sini. Dia berlari menuju pantai, di mana kenyataan yang lebih gelap daripada legam karang berada. Menuju kenyataan akan redupnya bintang laut. Menuju lautannya, yang abadi. Sebagai ahli waris abadi. Karena dari namanya sebuah perjuangan seorang bintang samudra yang terbuka telah terpatri. Ditatah oleh harapan-harapan yang kini mati. Tak ada daratan yang menawarkan hidup, semua telah tergadai. Hanya laut dan angin musimnya yang tak tentu, kepadanyalah Juang menggantung harap, bangun dari mimpi, merebut bidak-bidak air mata Ibunya yang hendak melawan gelombang laut sendirian. Di laut itulah perjuangan, ketika darat tak memberi hasrat untuk harap. ***

*Algonz Dimas B. Raharja, lulusan Antropologi UGM sekaligus jebolan Seni Karawitan ISI Yogyakarta. Kumpulan puisi dan prosanya terangkum dalam Tanpa Senja (2016). Kini menyibukkan diri sebagai junior kitchen penuh waktu di Dongeng Kopi Jogjakarta, aktif di Sekoiah Generasi Muda Boro, Kulon Progo, dan menjadi musisi paruh waktu di kelompok musik Gelembung Harmoni. Masih berusaha menyelesaikan tugas menjadi co-writer untuk buku bertema kehutanan sosial.

“Laut... Terima kasih kau telah memberiku bintang laut, sesuai janjiku, aku tak akan bertanya tentang ayah dan kakekku, karena kau telah mengganti mereka dengan bintang laut ini,” ujar Juang lirih. Di kehidupan setelah mimpi. Ibu masih merenungi sisa-sisa harapan akan warisan. Sirna semua harapan di darat dan di laut. Santunan yang akan dia terima tak ayalnya bak bintang laut. Mengganti yang terenggut, tapi tak mampu jadi subtitusi atas kehilangan. Setiap jengkal langkah kaki Ibu mengarah ke pantai. Sebuah jukung terbalik menyambutnya dalam kehilangan yang sepi. Menamparnya pada kedukaan yang kosong. Setelahnya, merebut harinya dari ketiadaan yang paling dalam.

natas

59


SASTRA Agenda Dalam roh pejuang buta arah, terbuncah amarah dan sumpah serapah Dalam kerumunan orang di jalanan, terdengar teriakan-teriakan tak tentu arah Agenda sudah dibuat, pemerintah harus lumat penguasa harus tamat Agenda menguasai jalanan, menuntun pejuang menuju lobang yang mereka tak paham Agenda masih tanda tanya, tapi serapah di mana-mana... Agenda harus terus berkobar, hingga negeri tercemar saudara tertukar suami tak berkabar ban dibakar dendam ditakar Bangsa bubar! 10 November 2016

Di Surabaya Bus kota selepas tiga sore, mengantarku pada segelas kopi pahit di Wonokromo, kulepas bahu pada kelambu, untukmu dan buah nadiku Beberapa malam setelah itu, tak jauh pergi aku diam pada terali, aku bukan lagi kerani naas, tulisanku diganjar tempeleng, nafasku dibungkam sepatu lars panjang, Aku tumbang, di Medaeng, pinggiran kota Tak jauh dari pabrik,

aku merenda waktu-waktu naas tanpa terusik.

Penjara ini asyik 25 Januari 2017

Tentang Penulis: Algonz Dimas B. Raharja, alumni Antropologi UGM. Aktif berpartisipasi dalam kegiatan edukasi di Sekolah Generasi Muda Boro. Mengawali aktivitas literasi melalui bukunya, Tanpa Senja (2016).

60 natas


SASTRA

Hegemoni Karat Sekelompok manusia kulit kardus Membicarakan kaus dan kaki corak-corak Mereka tidak berhenti menatap Aku berpaling dan tertawa Bagaimana mungkin aku berhenti mengecap setiap mereka yang kau anggap tidak sakral? Morrison masih melagu Aku, Hamlet dan Nietzsche bersulang penuh garang Pagi tiba-tiba menjulang Kami tersadar sedang menaruh Tuhan pada panci penuh roman Aku mau misa Aku mau bernyanyi dengan pendeta Aku juga ingin ke masjid Tapi aku enggan menaruh hantu pada saku celana Aku mau kamu bersama aku yang dilaknat orang lain dan neraka Aku mau pingsan Selamat makan

Proses bersalaman Dorongan Keadaan Satu kuncup mekar bunga serta nisan Saling lumat

Penulis: Ario Mahardika, Mahasiswa Sastra Indonesia 2016

natas

61


SI ICHIR

62 natas


Ilustrasi: Yohakhim Ragil


ILUSTRASI: JULIA NOOR Abdillah


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.